Anda di halaman 1dari 32

Skenario 4

Perut Buncit

Seorang laki – laki berusia 50 tahun datang ke unit gawat darurat dengan
keluhan muntah darah dan BAB berwarna hitam sejak 1 hari yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan perutnya semakin membesar sejak 1 bulan yang lalu dan terasa penuh.
Keluhan disertai nausea dan kadang vomitus, nafsu makan menurun dan kulitnya
ikterik. Pasien bekerja sebgai cleaning servis rumah sakit dan belum pernah vaksin
hepatitis sebelumnya. Riwayat pernah sakit kuning sebelumnya ada 15 tahun yang
lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan spider naevi di dada, frog like
appearance dan caput medusae. Dokter menyarankan istri pasien untuk melakukan
pemeriksaan HBsAg dan pasien di rawat dirumah sakit.

Step 1

1. Spider Naevi = kondisi yang ditandai dengan vena yang


terpilin seperti varises

2. Caput medusae = pelebaran vena cutaneus pada daerah


umbilicus pada bayi baru lahir atau pasien dengan sirosis
hati dan penyumbatan vena

3. Frog like appearance = kondisin perut abnormal (melebar dan cembung)

4. Nausea = tidak enak diperut dan mual

5. Vomitus = keluarnya isi lambung

6. HBsAg = protein yang terdapat pada permukaan virus hepatitis B

Step 2

1. Mengapa perut pasien makin membesar ?

2. Mengapa pasien mengalami nausea, vomitus, BAB hitam, muntah darah dan
ikterik ?
3. Mengapa pada pemeriksaan fisik didapatkan Frog like appearance, spider
naevi, caput medusa ?

4. Apa hubungan riwayat penyakit kuning yang 15 tahun sebelumnya dialami


pasien dengan kelainan yang dialami sekarang ?

5. Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan ?

6. Mengapa dokter menyarankan menjalani pemeriksaan HBsAg ?

Step 3

1. Perut membesar

a. Karena asites

b. Spleenomegali dan kardiomegali

2. a. BAB Hitam ganguan pembentukan UCB

ganguan ekskresi CB

b. Muntah darah dari GI tract (varises esophagus)

c. Vomitus dan Nausea rangsangan dari GI tract

d. Kulit ikterik adanya peningkatan UCB dan CB

3. Karena adanya peningkatan tekanan vena abdomen dan peningkatan


tekanan intra abdomen sel parenkim terganggu

4. Karena kekambuhan atau tidak ada hubungan sama sekali atau karena
penyakit berdiri sendiri
5. Penegakan diagnosis

Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang

Rps : sejak kapan - Shifting dullness - Rontgen polos 3


mengalami posisi
- Distensi muscular
asites
- Pemeriksaan
- Tes gelombang cairan
Rpd : sejak kapan serum
konsumsi - Hepatospleenomegali
- Darah rutin
alkohol

6. DD

a. Sirosis hati

b. Hepatitis B

c. Fatty liver

7. Untuk mengetahui kemungkinan istri tertular virus hepatitis B

Step 4

1. a. Asites terdapat cairan karena ada peningkatan tekanan


vena porta dan ada perubahan kadar albuminea

b. Spleenomegali adanya peningkatan aliran darah ke vena sehingga


terjadi peningkatan kerja lien

2. a. BAB hitam adanya perdarahan GI tract

peningkatan tekanan vena porta

b. Kulit ikterik peningkatan UCB dan CB


c. Nausea dan Vomitus rangsangan pada GI tract

3. a. Spider naevi hipertensi vena porta ganguan sel hepar inaktif


sel hepar menyekresi steroid adrenal dan gonad hipertensi kapiler

b. Frog like appearance tekanan vena porta hipertensi


menganggu aliran hepatorenalis osmolaritas terganggu asites

c. Caput medusae terlihat di umbilicus vasodilatasi vena setara


karena banyak sirkulasi kolateral

4. Kekambuhan penyakit pasien 15 tahun yang lalu untuk mencari faktor resiko

5. Penegakan diagnosis

Anamnesis Pemeriksaan fisik

Cor - Serak - Shifting dullness

- Batuk - Distensi muscular

- Nyeri dada - Tes gelombang cairan

Ren - Volume urin


- Hepatospleenomegali

- Warna urin
- Murmur

- Riwayat HD
- Gallop
Hepar - Anoreksia
- Edema paru
- Malaise
- Ronkhi basah
- Mual
- Edema pretibial
- Muntah

6. Diagnosis
a. Asites

b. Hepatitis B

c. Sirosis hati

7. Untuk mencegah penularan

Faktor Resiko

Penatalaksanaan Asites Patogenesis

Diagnosis Penegakan Diagnosis

Step 5

1. Apa hubungan hipertensi portal dan hipoalbuminea dengan asites dan


hubungannya dengan spider naevi, caput medusae, frog like appearance ?

2. Bagaimana patomekanisme melenan dan hematemesis ?

3. Bagaimana penegakan diagnosisnya ?

4. Bagaimana penatalaksanaan kelainan hepar ?

Step 6

Belajar Mandiri
Step 7

1. Hubungan asites dengan hipertensi porta dan hipoalbuminemia


Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma
yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta
akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia
akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravascular akan
menurun. Akibaat volume cairan intravascular menurun, ginjal akan bereaksi
dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme
neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intravascular
sangat menurun. (Sudoyo, 2009)

Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan


plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat
peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas
hormon natriuretik karena penurunan fungsi hati. (Sudoyo, 2009)
Evolusi dari kedua teori underfilling dan overfilling adalah teori vasodilatasi
perifer. Menurut teori ini, faktor pathogenesis pembentukan asites yang amat
penting adalah hipertensi porta yang serin disebut sebagai faktor lokal dan
gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik. (Sudoyo, 2009)

Akibat vasokontriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan


resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena
porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchic bed oleh vasodilator endogen.
Peningkatan resistensi sistem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah
akibat vasodilatasi splanchic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi
menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di
sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga
peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain:
glucagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP),
endotelin, faktor nariuretik atrial (ANP), polipeptida vasoaktif intestinal
(VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNP).
(Sudoyo, 2009)
Vasodilator endogen pada saatna akan memengaruhi sirkulasi arterial
sistemik, terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling sistem saraf simpatik, sistem rennin-angiotensin-aldosteron dan
arginin vasopressin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan
garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung. (Sudoyo, 2009)
2. Patofisiologi melena dan hematemesis
A. Melena

Perdarahan saluran gastrointestinal merupakan keadaan emergensi


yang membutuhkan penanganan segera. Insiden perdarahan
gastrointestinal mencapai lebih kurang 100 kasus dalam 100.000
populasi per tahun, umumnya berasal dari saluran cerna bagian atas.
Perdarahan saluran cerna bagian atas muncul 4 kali lebih sering
dibandingkan perdarahan pada bagian bawah, serta merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas untuk kasus gangguan pada
saluran cerna. Mortalitas akibat perdarahan saluran cerna bagian atas
ditemukan sebanyak 6-10% dari seluruh kasus (Fauci, 2005).

Perdarahan saluran gastrointestinal dapat muncul dalam lima


macam manifestasi, yaitu hematemesis, melena, hematochezia, occult
GI bleeding yang bahkan dapat terdeteksi walaupun tidak ditemukan
perdarahan pada pemeriksaan feses, serta tanda-tanda anemia seperti
syncope dan dyspnea (Fauci, 2005).

Melena adalah feses yang berwarna hitam dan berbau busuk karena
bercampur produk darah dari saluran cerna. Adanya melena
menunjukkan bahwa darah telah berada di saluran cerna dalam waktu
setidaknya 14 jam dan biasanya terjadi pada saluran cerna bagian atas,
walaupun terkadang melena dapat pula timbul akibat perdarahan dari
colon (Fauci, 2005).

Sementara hematochezia adalah terdapatnya darah segar pada


feses, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian bawah
(Fauci, 2005).

a. Etiologi

Mekanisme terjadinya perdarahan saluran cerna antara lain


disebabkan disrupsi mukosa gastrointestinal sebagai akibat
sekunder dari peristiwa inflamasi, infeksi, trauma, atau kanker.
Penyebab terbanyak adalah peptic ulcer disease, Selain itu
perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat abnormalitas vaskular,
seperti ektasis pada vaskular atau varises esofagus karena hipertensi
portal. Selain itu, riwayat penggunaan obat-obatan golongan
NSAID jangka panjang atau konsumsi alkohol juga potensial
menyebabkan kerusakan pada mukosa saluran cerna (De
Caestecker, 2006).

b. Pemeriksaan Laboratorium

1. Hitung darah lengkap

a. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit

Mungkin normal pada awal perdarahan saluran cerna akut


kemudian menurun seiring masuknya cairan ekstravaskular ke
dalam pembuluh darah sebagai upaya pengembalian volume
darah (De Caestecker, 2006).

Pasien dengan perdarahan saluran cerna kronis dapat


menunjukkan nilai hemoglobin dan hematokrit yang sangat
rendah walaupun tekanan darah dan nadi berada dalam batas
normal (De Caestecker, 2006).

b. Leukositosis dan trombositosis ringan sering terlihat

c. Distribusi sel darah merah dapat menunjukkan anemia


mikrositik dan anemia kekurangan besi sebagai akibat
kehilangan darah (De Caestecker, 2006).

2. Kimia Darah

Peningkatan kadar BUN sering terjadi pada perdarahan saluran


cerna bagian atas (De Caestecker, 2006).

c. Terapi

Pendekatan terapi pada pasien dengan perdarahan saluran


cerna adalah sebagai berikut:

1. Resusitasi dan stabilisasi hemodinamik

2. Intervensi tindakan: Endoscopic hemostatic therapy,


colonoscopic removal of bleeding polyp or mass, surgical
resection, sclerotherapy

3. Farmakoterapi: Epinefrin 1:10.000, proton pump inhibitor


(pantoprazol dosis awal 80 mg bolus diikuti 8 mg/jam, lansoprazol
60 mg bolus diikuti 6 mg/jam), eradikasi H.pylori, penghentian
penggunaan obat-obatan golongan NSAIDs, misoprostol 100 µg
3-4 kali sehari, short term treatment dengan okreotide 50 µg bolus
dan 50 µg/ jam infus untuk 2-5 hari (De Caestecker, 2006).

B. Hematemesis
Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau
hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan
saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz.
(Sudoyo,2009)

Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai


perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada
duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas
terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer
disease) (yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol). Robekan Mallory-Weiss,
varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran
cerna bagian atas yang jarang. (Sudoyo,2009)

Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi klinis


mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada
keadaan yang mengancam hidup. Perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk
melena. Hematokezia (darah segar keluar per anum) biasanya berasal dari
perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses
berwarna merah hati) dapat berasal dari perdarahan kolon bagian
proksimal (ileo-caecal). (Sudoyo,2009)

Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih


dikenal perdarahan saluran cerna bahagian atas memiliki prevalensi
sekitar 75 % hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran
cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan
akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada
perubahan selam 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya angka kematian ini
kemungkinan besar berhubungan dengan bertambahnya usia pasien yang
menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya kondisi
comorbid. Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien
perdarahan saluran cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus.
Penyebab lainnya seperti erosi gastric (15 % - 25 % dari kasus),
perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 %
- 15 % dari kasus). Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki
prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari keseluruhan kasus perdarahan
akut. (Sudoyo,2009)

a. Etiologi

Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna


bahagian atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms
(Porter, R.S., et al., 2008):
1. Duodenal ulcer (20 – 30 %)

2. Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)

3. Varices (15 – 20 %)

4. Gastric ulcer (10 – 20 %)

5. Mallory – Weiss tear (5 – 10 %)

6. Erosive esophagitis (5 – 10 %)

7. Angioma (5 – 10 %)

8. Arteriovenous malformation (< 5 %)

9. Gastrointestinal stromal tumors

Di Amerika Serikat, PUD (Peptic Ulcer Disease) dijumpai pada


sekitar 4,5 juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10 % dari populasi di
Amerika Serikat memiliki PUD. Dari sebahagian besar yang terinfeksi
H pylori, prevalensinya pada orang usia tua 20%. Hanya sekitar 10%
dari orang muda memiliki infeksi H pylori; proporsi orang-orang yang
terinfeksi meningkat secara konstan dengan bertambahnya usia.
(Anand, 2011).
Secara keseluruhan, insidensi dari duodenal ulcers telah menurun
pada 3-4 dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple gastric
ulcer mengalami penurunan, insidensi daripada complicated gastric
ulcer dan opname tetap stabil, sebagian dikarenakan penggunaan
aspirin pada populasi usia tua. Jumlah pasien opname karena PUD
berkisar 30 pasien per 100,000 kasus. (Anand, 2011)
Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominant
pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi
berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan
dengan usia, jumlah kemunculan ulcer mengalami penurunan pada pria
usia muda, khususnya untuk duodenal ulcer, dan jumlah meningkat
pada wanita usia tua. (Anand, 2011)

Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di


bagian gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka
sobekan telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus.
Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada
perdarahan oleh Mallory-Weiss Tear dibandingkan dengan pasien
hipertensi non-portal (Anand, 2011).

Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles datang


ke ICU dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang berat,
Mallory-Weiss Tear adalah diagnosis keempat yang menyebabkan
perdarahan saluran cerna bahagian atas, terhitung sekitar 5 % dari
seluruh kasus (Jutabha, 2003).

Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang


berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi
segmental portal. Beberapa penyebab dari hipertensi portal termasuk
prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit postsinusoidal.
Hepatitis B dan C serta penyakit alcoholic liver adalah penyakit yang
paling sering menimbulkan penyakit hipertensi portal intrahepatic di
Amerika Serikat. (Jutabha, 2003)

Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak


gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan
mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan
cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs
mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan
peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs adalah
usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari
NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama,
penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness.
(Anand, 2011)

Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien dengan


arthritis dengan usia diatas 65 tahun, yang secara teratur menggunakan
aspirin pada dosis rendah beresiko menderita dyspepsia apabila
berhenti menggunakan NSAIDs. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan NSAIDs harus dikurangi. (Anand, 2011)

Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak


diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada
anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Laporan
menunjukkan terjadinya ulserasi pada penggunaan ibuprofen dosis
rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis. (Anand, 2011)

Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya


tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi
untuk menimbulkan tukak gaster. (Anand, 2011)
Resiko perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat terjadi dengan
penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake inhibitor.
(Anand, 2011)

b. Faktor Resiko

The American Society for Gastrointestinal Endoscopy (ASGE)


mengelompokkan pasien dengan perdarahan saluran cerna bahagian
atas berdasarkan usia dan kaitan antara kelompok usia dengan resiko
kematian. ASGE menemukan angka mortalitas untuk 3.3% pada pasien
usia 21-31 tahun, untuk 10.1% pada pasien berusia 41-50 tahun, dan
untuk 14.4% untuk pasien berusia 71-80 tahun . (Caestecker, 2011)
Menurut organisasi tersebut, ada beberapa faktor resiko yang
menyebabkan kematian, perdarahan berulang, kebutuhan akan
endoskopi hemostasis ataupun operasi, yaitu: usia lebih dari 60 tahun,
comorbidity berat, perdarahan aktif (contoh, hematemesis, darah merah
per nasogastric tube, darah segar per rectum), hipotensi, dan
coagulopathy berat
Pasien dengan hemorrhagic shock memiliki angka kematian yang
mencapai 30 %. (Caestecker, 2011)

3. Penegakan diagnosis

1. Sirosis Hepatis

A. Anamnesis

Pada tahap awal sirosis biasanya tidak menunjukan gejala


yang khas. Karena hal tersebut sebagian besar pasien datang dengan
kondisi sirosis yang sudah parah. Dari anamnesis ini perlu di gali
keluhan atau gejala yang biasanya muncul pada penderita sirosis
hepatis seperti perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perut terasa kembung, mual, berat badan menurun, testis
mengecil, buah dada membesar serta hilangnya dorongan seksual
( Sudoyo, 2009).
Selain itu jika sirosis hepatis sudah dalam kondisi lanjut akan
muncul komplikasi-komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur dan demam tak
begitu tinggi. Beberapa pasien ditemukan adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus dengan dengan
urin berwarna seperti teh ( Sudoyo, 2009).

B. Temuan Klinis

Pada pemeriksaan fisik penderita sirosis hepatis biasanya


akan ditemukan:

1. Spide- angioma, suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa


vena kecil. Biasa ditemukan di bahu, mekanismenya dikaitkan
dengan peningkatan kadar estrogen
2. Palmar eritema, warna merah pada thenar dan hipothenar
telapak tangan.
3. Ginekomastia, dikaitkan dengan peningkatan estrogen dalam
darah.
4. Atrofi testis hipogonadisme
5. Hepatomegali, biasanya ditemukan pada sirosis hepatis dengan
komplikasi hepatoma
6. Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat
hipertensi portal dan hipoalbuminemia.
7. Caput medusa, muncul sebagai akibat dari hipertensi porta.
8. Fetor hepatikum, bau napas akibat peningkatan dimetil sulfid.
9. Ikterus, peningkatan bilirubinemia ( Sudoyo, 2009).

Selain itu Haryono Subandiri membagi manifestasi klinis


sirosis dalam dua bagian, yaitu:

1. Hepatoseluler
a. Sklera ikterik
2. Spider nevi (teleangiektasis)
3. Ginecomastia
a. Atropi testis
b. Palmar erithem
4. Hipertensi portal
a. Varices oesophagus
5. Splenomegali
6. Kolateral dinding perut
7. Ascites
8. Hemoroid Gambaran Laboratorium ( Sudoyo, 2009).

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Aspartat aminotranferase (AST)/SGOT dan alanin


aminotransferase (ALT)/SGPT meningkat tapi tak begitu
tinggi. SGOT biasanya lebih tinggi daripada SGPT.
2. Alkali fosfatase meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal.
3. Peningkatan gamma-GT
4. Bilirubin meningkat atau normal
5. Penurunan kadar albumin
6. Peningkatan kadar globulin
7. Waktu protrombin, menunjukan tingkat disfungsi sintesis
hepar, pada sirosis memanjang
8. Kelainan hematologi anemia ( Sudoyo, 2009).

2. Sindrom hepatorenal

A. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai
dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal
hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan
biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air, yang menimbulkan
asites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh ekskresi
natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air
(oliguri –anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai
dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan
penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik. Pada pasien sirosis
hepatis, 80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai ensefalopati
hepatic, dan 40% disertai ikterus ( Sudoyo, 2009).

Tabel 3. Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada Sindrom Hepatorenal

Cardiac output meninggi


Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic Shunt
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi

B. Pembagian Sindrom Hepatorenal

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:

1. Sindroma Hepatorenal tipe I


Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi
peningkatan serum kreatinin dua kali lipat. Tipe I ditandai oleh
peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood Urea
Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau
penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini
timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering
dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi
natrium dan hiponatremi (Guyton, 2012).

Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang


sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati
atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan
dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non
alkoholik. Kira-kira setengah kasus Sindroma Hepatorenal tipe ini
timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui, kadang-
kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang
erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi, seperti infeksi
bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis. Peritonitis Bakteri
Spontan (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal
pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul
Sindroma Hepatorenal tipe I (Guyton, 2012).

Sindroma Hepatorenal Tipe I adalah komplikasi dengan prognosis


yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai
95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua
minggu, lebih buruk dari lamanya hidup dibanding dengan gagal ginjal
akut dengan penyebab lainnya (Guyton, 2012).

2. Sindroma Hepatorenal Tipe II


Merupakan bentuk kronis SHR. Tipe II SHR ini ditandai dengan
penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN
dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I
SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati
relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten
diuretik. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih
panjang dari pada Sindroma Hepatorenal tipe I (Guyton, 2012).

C. Penegakan Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik sindrom
hepatorenal. Diagnosis SHR selalu dibuat setelah eksklusi gangguan-
gangguan lain yang dapat menyebabkan gagal ginjal pada pasien
sirosis. Kriteria diagnostik yang dianut sekarang adalah berdasarkan
International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal
Syndrome ( Sudoyo, 2009).
Tabel 4. Kriteria diagnostik Sindroma Hepato Renal berdasarkan International Ascites Club

Kriteria Mayor

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 µmol/L) atau kreatinin klirens
24 jam < 40 ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau
penyakitparenkim ginjal secara ultrasonografi

Kriteria Tambahan
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 mEq/liter

*Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa


Sindroma Hepatorenal, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung
untuk diagnose Sindroma Hepatorenal ( Sudoyo, 2009).
Gambar 7. Alur Diagnosis Sindroma Hepatorenal Pada Pasien Sirosis
( Sudoyo, 2009).

SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati


bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada
beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah
menyingkirkan Pseudohepatorenal Syndrome. Pseudohepatorenal
syndrome adalah suatu keadaaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal
bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak ada hubungan satu
sama lain. Beberapa penyeebab Pseudohepatorenal Syndrome adalah:
1. Penyakit kongenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati
2. Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit
Wilson
3. Penyakit sistemik, misalnya SLE, arthritis rheumatoid, sarkoidosis
4. Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis virus,
dan lain-lain
5. Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisiensi jantung
6. Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka
bakar, dan lain-lain
7. Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamid,
parasetamol, tetrasiklin, iproniazid
8. Tumor, misalnya hipernefroma, metastasis
9. Eksperimenta, misalnya defisiensi kolin, dan lain-lain ( Sudoyo,
2009).
C. Diagnosis gagal jantung kongestif

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler ( Sudoyo, 2009).

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung


yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:

1. Kriteria Mayor :

a. Paroksismal nocturnal dispnu


b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular

2. Kriteria minor :

a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120 x/menit)

3. Kriteria mayor atau minor :

a. Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan ( Sudoyo,


2009).

Gagal jantung dapat disertai spectrum abnormalitas fungsi ventrikel yang


luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal
sampai dengan dilatasi berat dan atau fraksi ejeksi yang sangat rendah
( Sudoyo, 2009).

American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association


(AHA) menyatakan bahwa dalam mendiagnosa gagal jantung tidak ada
satupun uji diagnostik yang spesifik. Diagnosa sangat ditentukan oleh
penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang teliti. Dengan
dugaan yang kuat akan adanya suatu gagal jantung pada penderita yang
beresiko tinggi, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti laboratorium rutin, foto toraks, elektrokardiografi, penilaian fungsi
ventrikel kiri, biomarker dan uji latih ( Sudoyo, 2009).

Disfungsi jantung dapat dibagi menjadi dua yaitu disfungsi sistolik dan
disfungsi diastolik. Performa ventrikel kiri adalah kemampuan untuk
mengosongkan ventrikel kiri. Kemampuan untuk mengosongkan
ventrikel kiri dapat diukur secara kuantitatif dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri (Left Ventrikel Ejection Fraction) yang merupakan rasio volume
sekuncup terhadap volume akhir diastolik. Sehingga disfungsi sistolik
dapat didefinisikan dengan turunnya nilai EF (Ejection Fraction) (EF <
50%) dapat diukur dengan ekokardiografi. Sedangkan disfungsi diastolik
dapat didefinisikan dengan menurunnya distensibilitas ventrikel kiri yang
dapat disebabkan oleh proses menua, hipertensi dan kardiomiopati
hipertrofik serta restriktif (EF > 50%). Perbandingan antara disfungsi
diastolik (DHF) dan disfungsi sistolik (SHF) dapat dilihat pada tabel II.1.

Tabel II.1. Perbandingan DHF dan SHF ( Sudoyo, 2009).


3. Karsinoma Hepar

A. Manifestasi Klinis

Timbulnya sebuah karsinoma hepatoseluler mungkin tidak terduga


sampai terjadi penurunan kondisi pasien sirosis yang sebelumnya stabil.
Gejala pada pasien HCC termasuk cachexia, nyeri pada perut, penurunan
berat badan, kelemahan, abdominal fullness dan bengkak, penyakit
kuning, dan mual yang berhubungan dengan gejala. Kemunculan asites,
kemungkinan perdarahan, yang menunjukkan trombosis vena portal atau
hati dengan tumor atau pendarahan dari tumor nekrotik. Perut bengkak
terjadi sebagai akibat dari asites karena penyakit hati kronis yang
mendasarinya atau mungkin karena tumor yang berkembang dengan
pesat. Kadang-kadang, nekrosis pusat atau perdarahan akut ke dalam
rongga peritoneum menyebabkan kematian. Di negara-negara dengan
program surveilans aktif, HCC cenderung diidentifikasi pada tahap awal.
Penyakit kuning biasanya karena gangguan pada saluran intrahepatic oleh
penyakit hati yang mendasarinya. Hematemesis terjadi mungkin
disebabkan karena adanya varises oesophagus akibat hipertensi portal.
Nyeri tulang terlihat pada 3-12% pasien. Pasien mungkin dapat tidak
menunjukkan gejala ( Fauci, 2005)

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan pembesaran hati yang


lembut, kadang-kadang dengan massa yang dapat di palpasi. Di Afrika,
presentasi khas pada pasien muda adalah massa yang berkembang pesat
pada perut. Hepatomegali adalah tanda dari fisik yang paling umum,
terjadi pada 50-90% pasien. Bruit perut dicatat dalam 6-25%, dan asites
terjadi pada 30-60% pasien. Auskultasi mungkin mengungkapkan bruit
pada tumor atau friction rub ketika prosesnya telah meluas ke permukaan
hati. Ascites harus diperiksa oleh bagian sitologi. Splenomegali terutama
karena hipertensi portal. Berat badan dan wasting otot yang umum,
terutama dengan tumor yang tumbuh dengan cepat atau besar. Demam
ditemukan pada 10-50% pasien, dari penyebab yang tidak jelas. Tanda-
tanda penyakit hati kronis dapat hadir, termasuk sakit kuning, dilatasi
vena abdomen, eritema palmar, ginekomastia, atrofi testis, dan edema
perifer (Fauci, 2005).

C. Diagnosis

Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan maju


pesat, maka berkembang pula cara-cara diagnosis dan terapi yang lebih
menjanjikan dewasa ini. Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa
dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan radiologi yang
akurasinya 70 – 95%1,4,8 dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein
yang akurasinya 60 – 70%.

Kriteria diagnosa HCC menurut PPHI Perhimpunan Peneliti Hati


Indonesia), yaitu:

1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.

2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.


3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography
Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang
menunjukkan adanya HCC.

4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC.

5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC


( Sudoyo, 2009).

Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.

D. Pemeriksaan Penunjang

a. Penanda Tumor

Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang


disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh
saluran gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20
ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60% -70% dari pasien HCC, dan
kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau sangat sugestif
untuk HCC. Nilai normal juga dapat ditemukan juga pada kehamilan.
Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy
prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada
hingga 91% dari pasien HCC, namun juga dapat meningkat pada
defisiensi vitamin K, hepatitis kronis aktif atau metastasis karsinoma.
Ada beberapa lagi penanda HCC, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi
AFP), alfa-L-fucosidase serum, dll, tetapi tidak ada yang memiliki
agregat sensitivitas dan spesifitas melebihi AFP, AFP-L3 dan
PIVKA-2 ( Sudoyo, 2009).

b. Gambaran Radiologis

1. Gambaran Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG hati merupakan alat skrining yang


sangat baik. Dua karakteristik kelainan vaskular berupa
hipervaskularisasi massa tumor (neovaskularisasi) dan trombosis
oleh invasi tumor. Perkembangan yang cepat dari gray-scale
ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas.
Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur eko jaringan
hati lebih mudah dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih
jelas, baik merupakan lesi lokal maupun kelainan parenkim difus.
Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular sering diketemukan
adanya hepar yang membesar, permukaan yang bergelombang dan
lesi-lesi fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda
dengan parenkim hati normal ( Sudoyo, 2009).

2. Computed Tomography (CT) Scan

Di samping USG diperlukan CT scan sebagai pelengkap


yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan
gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat
sebagian-sebagian saja. CT scan yang saat ini teknologinya
berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi
apalagi dengan menggunakan teknik hellical CT scan, multislice
yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga
kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan. Untuk
menentukan ukuran dan besar tumor, dan adanya invasi vena
portal secara akurat, CT / heliks trifasik scan perut dan panggul
dengan teknik bolus kontras secara cepat harus dilakukan untuk
mendeteksi lesi vaskular khas pada HCC. Invasi vena portal
biasanya terdeteksi sebagai hambatan dan ekspansi dari pembuluh
darah. CT scan dada digunakan untuk menghilangkan diagnosis
adanya metastasis ( Sudoyo, 2009).

3. Angiografi

Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati


harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini
dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang
kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan
ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali
lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang
sebenarnya ( Sudoyo, 2009).

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai


alternatif bila ada gambaran CT scann yang meragukan atau pada
penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan pada
penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian zat
contrast sehingga pemeriksaan CT angiography tak
memungkinkan padahal diperlukan gambar peta pembuluh darah (
Sudoyo, 2009).

4. Penatalaksanaan

A. Pengobatan

a. Pengobatan sirosis kompensata

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis.


Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak
ada koma hepatic diberikan diet yang mengandung protein
1g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari (Nurdjanah,
2010).

Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata


ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi
pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya:
alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat
mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian
asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat
kolagenik (Nurdjanah, 2010).

Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau


imunosupresif. Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu
sampai konsentrasi besi menjadi normal atau diulang sesuai
kebutuhan. Pada penyakit hati non-alkoholik; menurunkan
berat badan akan mencegah terjadinya sirosis (Nurdjanah,
2010).
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog
nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi
lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat.
Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga
kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak
yang kambuh (Nurdjanah, 2010).

Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan


ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara
suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan
dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan
(Nurdjanah, 2010).

Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik


pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak
terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata
sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi
aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik yang dihubungkan
dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki
efek anti peradangan dan mencegah terbentuknya kolagen,
namun belum terbukti dalam penelitian sebagai antifibrosis dan
sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai
antifibrosis (Nurdjanah, 2010).

b. Pengobatan sirosis dekompensata

Asites; tirah baring dan diawali diet rendah garam,


konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet
garam dikombinasikan dengan obat-obatan diuretic. Awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg
sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan
oenurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki
atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid
bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal
dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi
dengan pemberian albumin (Nurdjanah, 2010).

Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien untuk


mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk
mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein
dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang (Nurdjanah,
2010).

Varises esophagus; sebelum berdarah dan sesudah


berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propanolol). Waktu
perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi (Nurdjanah, 2010).

Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika


seperti sefotaksim intravena, amoksilin atau aminoglikosida
(Nurdjanah, 2010).

Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi


darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air
(Nurdjanah, 2010).
Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis
dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada
beberapa criteria yang harus dipenuhi resipien terlebih dahulu
(Nurdjanah, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

De Caestecker, J., 2006. Upper Gastrointestinal Bleeding: Surgical


Perspective,clinical reference

Fauci, A.S., 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine Edisi ke 16.


Jakarta. EGC

Guyton, Arthur C.2012.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke 11.Jakarta.


EGC

Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam:


Friedman, S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2 ed.
USA: McGraw-Hill Companies, 53 – 67.

Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms.


USA,Merck Research Laboratories.

Sudoyo A.W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ke Lima Jilid
1. Jakarta. FKUI

Anda mungkin juga menyukai