Anda di halaman 1dari 31

TUGAS PROJEK UAS

INTERAKSI OBAT

Dosen Pengampu:
Intan Julita
Disusun Oleh (Kelompok 6)

Abdur Rasyid Mu’afa (2043057011)


Citra Cornelia Laluraa (2043057001)
Muhammad Helmi (1743050007)
Nabila Okti Fariza (2043057007)
Rony Tua Simbolon (2043057009)
Vivin Dunggio (2043057010)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Berkat dan Rahmatnya kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Interaksi Obat pada Program Studi S1 Ilmu Farmasi di Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta. Dan semoga isi dari tugas ini bisa diambil manfaat dan hikmahnya untuk kita
semua pada umumnya dan untuk kami sebagai penulis khususnya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, baik
segi penulisan, tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh karena itu kami dengan rendah
hati sangat terbuka untuk menerima kritik serta saran yang membangun untuk dijadikan sebagai
bahan evaluasi.

Jakarta, 5 Februari 2021

Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak ±80 tahun yang lalu, pada tahun 1920,
Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang menggambarkan sekumpulan
dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan resiko penyakit kardiovaskular
aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan gout (Eckel, dkk, 2005). Pada tahun 1988,
Reaven menunjukkan berbagai faktor resiko dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara
bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskular dan disebut
dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin.
Dan kemudian NCEP-ATP III menamakan dengan istilah Sindrom Metabolik. Konsep
Sindrom Metabolik ini telah banyak diterima secara Internasional (Reaven, 1988).
Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang diakibatkan
oleh peningkatan obesitas. Komponen utama sindrom metabolik adalah obesitas, resistensi
insulin, dislipidemia, dan hipertensi. Sindrom metabolik merupakan kumpulan dari faktor–
faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Prevalensi obesitas telah meningkat secara
dramatis di Amerika Serikat, dan juga di berbagai negara di dunia. Telah diketahui bahwa
obesitas berhubungan dengan penyakit vaskular dan berkenaan dengan sindrom metabolik.
Data epidemiologi menyebutkan prevalensi sindrom metabolik dunia adalah 20–25%. Hasil
penelitian Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada responden berusia 26–82
tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita sindrom metabolik. Sedangkan
penelitian di Perancis menemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 23% pada pria dan
21% pada wanita. Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan
prevalensi SM sebesar 13,13%.
World Health Organization (WHO) menggunakan istilah sindrom metabolik, yang
merupakan kombinasi penyakit diabetes melitus tipe 2, hipertensi, obesitas sentral, dan
hiperlipidemia. Penanganan Sindroma Metabolik secara agresif ditujukan untuk menurunkan
risiko penyakit kardiovaskuler dan DM tipe 2. Meskipun sindroma metabolik memiliki
berbagai definisi yang berbeda, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenali
sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh kedalam beberapa
komplikasi (Grundy, 2004)
B. Tujuan
1. Dapat mengetahui interaksi obat pada pengobatan diabetes
2. Dapat mengetahui interaksi obat pada pengobatan dislipidemia
3. Dapat mengetahui interaksi obat pada pengobatan coronary arteri disease

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana interaksi obat pada pengobatan diabetes, dislipidemia, dan coronary arteri
disease?
2. Apa saja contoh kasus interaksi obat pada diabetes, dislipidemia, dan coronary arteri
disease?
3. Bagaimana mekanisme interaksi obat pada pengobatan diabetes, dislipidemia, dan
coronary arteri disease?
4. Bagaimana seharusnya mengatasi terjadinya diabetes, dislipidemia, dan coronary arteri
disease?

D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dengan menambah wawasan
pembaca mengenai interaksi obat pada penyakit sindrom metabolik, dan lebih khususnya
pada pengobatan diabetes, dislipidemia, dan coronary arteri disease.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada
awalnya atau diberikan bersamaan sehigga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih
berubah. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek
baru yang tidak dimiliki sebelumnya (Syamsudin, 2013). Interaksi obat didefinisikan etika
obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama
dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008).
B. Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang
terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi
obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi
obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan tunggal (Tatro, 2009). Dua atau lebih obat
yang diberikan pada waktu yang bersamaan dapat menghasilkan efeknya secara bebas atau
dapat berinteraksi. Interaksinya bisa bersifat potensiasi atau antagonis dari satu obat oleh
obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF, 2014).
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2013).
C. Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat adalah bagaimana interaksi itu muncul. Ada dua macam
mekanisme interaksi obat yakni interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah ketika obat diberi bersamaan obat yang satu
mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini paling sering
diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik, seperti konsentrasi serum
puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh, jumlah total obat yang diekskresikan
dalam urin (Tatro, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a. Interaksi pada absorbsi obat

- Efek perubahan pH gastrointestinal


Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah
obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan
oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait
dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung
lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
- Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk
pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi
dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida
juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin
dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang
diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).
- Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-
obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga meningkatkan
penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).
- Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan
sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).
b. Interaksi pada distribusi obat

- Interaksi ikatan protein


Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh
sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya
diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan
protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat
reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang
tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi
(Stockley, 2008).
- Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi
protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat
keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor
transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat
meningkatkan efek samping Central Nervous System (CNS) (Stockley, 2008).
c. Interaksi pada metabolisme obat

- Perubahan pada metabolisme fase pertama


Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah
dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih mudah
diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam
tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama.
Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia,
atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,
ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di
membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme
obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-
obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan
terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai
glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase
I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
- Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan
peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya
bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju
metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).
- Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat
terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah
fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi
inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum
tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley,
2008).
- Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini,
sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin (Stockley,
2008).
d. Interaksi pada ekskresi obat

- Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian
besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel
tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah
dengan nilai pKa 7,5 sampai 10,5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan
jumlah obat dalam bentuk terionisasi meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).
- Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal
dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid
mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008).
- Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin
ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat
berkurang (Stockley, 2008).

2. Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang mana satu obat menginduksi


perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah farmakokinetik objek obat. Artinya,
seseorang dapat melihat perubahan kerja obat tanpa perubahan konsentrasi plasma. Interaksi
farmakologis yaitu penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan aksi farmakologis
yang sama atau berbeda, misalnya penggunaan alkohol dengan obat anti ansietas dan
hipnotik atau antihistamin. Beberapa dokter mengatakan bahwa reaksi tersebut bukan
interaksi obat dan memang sebagian besar tanpa kecuali reaksi yang dilaporkan merugikan
(Tatro, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan
efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam
dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain)
dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang kadang efek aditif menyebabkan
toksik misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley,
2008).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan aktivitas yang
bertentangan satu sama lain. Misalnya efek penurunan glukosa dari antidiabetes akan
ditentang oleh kortikosteroid dengan aktivitas glukokortikoid (hiperglikemik) dan
hiperglikemia yang signifikan telah terlihat dengan kortikosteroid sistemik. Contonnya
adalah penggunaan dosis tinggi fluticasone inhalasi dengan glibenklamid dan metformin
(Stockley, 2008).

D. Tingkat keparahan interaksi obat

Tingkat keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko dibandingkan


dengan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi
jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga
derajat keparahan didefinisikan sebagai berikut:
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek yang ditimbulkan
biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi
tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak
diperlukan (Tatro, 2009).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk dalam keparahan moderate jika efek yang ditimbulkan
dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap,
atau perpanjangan perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009).
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas
yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen
(Tatro, 2009).
Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang
mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan
hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas bagi
profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi.
Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individual berdasarkan
parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak menyarankan efek samping yang
dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya,
profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari
obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro,
2009).
E. Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003):

a. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi


Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung
pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas
obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.
b. Penyesuaian dosis obat
Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau
penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau
menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.
c. Pemantauan pasien
Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan
pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti
karakteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat
yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.
d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Metabolic Syndrome

Metabolic syndrome atau sindrom metabolik adalah sekelompok gangguan


kesehatan yang terjadi secara bersamaan. Gangguan itu meliputi peningkatan tekanan
darah tinggi, penumpukan lemak di perut, serta kenaikan kadar gula darah, kolesterol,
dan trigliserida. Seseorang dikatakan menderita sindrom metabolik jika mengalami
sedikitnya tiga dari lima kondisi, yaitu hipertensi, hiperkolesterolemia, trigliserida tinggi,
diabetes, dan obesitas. Bila berlangsung dalam jangka panjang, sindrom metabolik bisa
meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke. Namun, perkembangan sindrom
metabolik dapat dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat setiap hari.
B. Gejala Sindrom Metabolik

Seperti telah dijelaskan di atas, sindrom metabolik merupakan sekumpulan


gangguan yang terjadi bersamaan. Oleh karena itu, gejala yang muncul adalah gejala dari
kelima kondisi tersebut. Gejala-gejala tersebut meliputi:
 Perut membuncit

 Sering merasa haus

 Frekuensi buang air kecil meningkat

 Tubuh mudah lelah

 Sakit kepala

 Pegal-pegal

 Sesak napas

Sering kali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengalami sindrom
metabolik, karena gejalanya tidak muncul atau dianggap sesuatu yang biasa terjadi.
Waspadai penyakit hipertensi, diabetes, obesitas, hiperkolesterolemia, dan trigliserida
tinggi dengan rutin kontrol ke dokter, sehingga masing-masing penyakit dapat terdeteksi
sejak dini.
C. Penyebab dan Faktor Risiko Sindrom Metabolik

Penyebab sindrom metabolik belum diketahui secara pasti. Namun, para ahli
menduga bahwa sindrom metabolik dipengaruhi oleh penurunan sensitivitas tubuh
terhadap hormon insulin, yaitu hormon yang menurunkan kadar gula dalam darah. Pada
kondisi ini, efektivitas hormon insulin jadi menurun.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang sindrom
metabolik adalah:
 Pola makan tidak sehat dengan terlalu banyak makan makanan yang berlemak dan
makanan manis.

 Tidak berolahraga secara rutin.

 Memiliki kebiasaan merokok.

 Bertambahnya usia.

 Memiliki keluarga yang terkena sindrom metabolik.

Beberapa penyakit seseorang dikatakan menderita Syndrom metabolik adalah


sebagai berikut :
1. Diabetes Melitus
Kejadian interaksi obat perlu dimonitor pada pasien yang menerima polifarmasi,
pasien usia lanjut, pasien dengan penyakit kronis. Salah satu kelompok pasien yang perlu
mendapat perhatian adalah pasien diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus merupakan
penyakit degeneratif kronis yang apabila tidak ditangani dengan tepat, lama kelamaan
bisa timbul berbagai komplikasi . Pasien dengan penyakit ini cenderung menerima
polifarmasi yang ditujukan baik untuk pengobatan penyakit diabetesnya, komplikasi yang
timbul maupun untuk penyakit penyerta yang mungkin ada. Beberapa penelitian telah
melaporkan potensi terjadinya interaksi obat antidiabetes.
Interaksi obat adalah situasi di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat lain,
yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang tidak
diinginkan atau direncanakan.
Pada kasus diabetes melitus bahwa pasien bisa mengalami penyakit penyerta
ataupun komplikasi yang diakibatkan interaksi obat akibat adanya polifarmsi( terapi
dengan beberapa obat sekaligus) Interaksi obat antidiabetes denggan obat lain yang
menyebabkan hipoglikemia dan juga interaksi obat yang menyebabkan hiperglikemia.
Bebebrapa interaksi obat yang mungkin terjadi pada penyakit diabetes melitus :
 Hipoglikemia sulfonilurea diinduksi dan diperparah oleh co-administrasi dengan
antijamur azole, klaritromisin, verapamil, inhibitor angiotensin-converting enzyme
(ACE), DPP-4s, dan agonis GLP-1.
 Toksisitas Metformin lebih mungkin terjadi dengan antikolinergik karena meningkatnya
penyerapan dan agen nefrotoksik (misalnya, media kontras iodinasi).
 Toksisitas thiazolidinedione diperkuat dengan inhibitor CYP P450 2C8 (misalnya,
ketoconazole, gemfibrozil, rifampisin, fluvoxamine, dan trimetoprim).
 Konsentrasi Saxagliptin dipengaruhi oleh inhibitor CYP3A4 dan induser, dan ACE
inhibitor meningkatkan risiko angioedema terinduksi bradikinin.
 Ginseng menginduksi CYP3A4 (penurunan glibenclamide, pioglitazone, meglitinides,
sitagliptin, dan konsentrasi saxagliptin) dan merangsang sekresi insulin.
 St John Wort menginduksi CYP3A4, 1A2, 2D6, dan 2E1 (penurunan sulfonilurea,
thiazolidinediones, meglitinides, dan DPP-4 inhibitor) dan menginduksi pompa p-
glikoprotein.
 Sulfonilurea, thiazolidinediones, dan meglitinides dipengaruhi oleh interaksi enzim hati,
toksisitas metformin dimediasi oleh nefrotoksisitas, sedangkan inhibitor dipeptidyl-
peptidase-4 kurang dipengaruhi oleh enzim hati.

Beberapa contoh kasus pada penderita Diabetes Melitus :


1) Seorang pasien yang di rawat inap di RSUD Dr. Saiful Anwar malang pada tahun 2016
menderita diabetes melitus tipe 2 yang disertai dengan komplikasi hipertensi. Pasein
diberikan terapi insulin untuk memenuhi pasokan kebutuhan hormon insulin pada pasien
,disamping itu pasien juga diberikan obat klonidin untuk menurunkan tekanan darahnya.
Namun terjadi interaksi obat antara obat antidiabes dngan obat hipertensi yang dialami
pasien , yaitu terjadi interaksi obat pada fase farmakodinamik , dimana insulin dan
klonidin menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang
disebkan oleh inhibisi pelepasan katekolamin yang menyebabkan penurunann influk ion
kalsium sehingga penurunan sekresi insulin dan peningkatan sekresi glukosa yang
diakibatkan oleh peningkatan kadar glukosa darah. Oleh karena itu penggunaan kedua
obat ini harus ditinjau kembali , dosis yang diberikaan dan waktu pemberian yang tepat
serta dilakukan monitoring secara teratur untuk melihat efek sampi ng tejadi .Untuk
terapi diabetes dengan antihipertensi , klonidin sebaiknya diganti dengan obat
antihipertensi yang lebih aman yaitu amlodiopine apabila diberikan bersamaan dengan
terapi insulin.

2) Seorang pasien 35 tahun yang menrima terapi glikiazid dan diberikan juga obat katopril.
Kaptopril meningkatkan bradikinin, yang menurunkan produksi glukosa oleh hati.
Hipoglikemia dilaporkan sebagai efek samping dari Kaptopril. Peningkatan sementara
sensitivitas insulin oleh ACE inhibitor, Pemakaian bersama kedua obat ini menyebabkan
efek agonis, sehingga dari efek samping katopril dan efek dari gliklazid yaitu
merangsang sekresi insulin menyebabkan efek hipoglikemia meningkat. Merupakan
interaksi pada fase farmakodinamik.
Mekanisme dan cara mengatasi Diabetes Melitus :
a. Mekanisme Kerja
Mekanisme terjadinya Diabetes Melitus adalah gangguan sinyal jalur insulin yang
mengakibatkan pengurangan sekresi adiponektin. Diabetes Melitus terdiri yaitu :
- Tipe Diabetes Melitus 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan pankreas
untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh
proses autoimun.
- Tipe Diabetes Melitus 2
•Resistensi Insulin
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus Diabetes Melitus Tipe-2
(DMT2) secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas.
Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan
overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot, lemak,
dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk memproduksi insulin
lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan
meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada
DMT2 semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk resistensi insulin di sisi
lain, sehingga penyakit DMT2 semakin progresif. Secara klinis, makna resistensi
insulin adalah adanya konsentrasi insulin yang lebih tinggi dari normal yang
dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat seluler, resistensi
insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari
pre reseptor, reseptor, dan post reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga
terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein kinase
B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari
protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan
mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor).
•Disfungsi Sel Beta Pankreas
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas dan
peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik
dengan segala dampaknya. Hiperglikemia kronik juga berdampak memperburuk
disfungsi sel beta pankreas. Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas
dapat memproduksi insulin secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan resistensi
insulin.
Pada saat diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat
memproduksi insulin yang adekuat untuk mengkompensasi peningkatan resistensi
insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas yang normal tinggal 50%.
Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti dengan jaringan
amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga
secara klinis DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut.
Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya seperti sel
alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas.
Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat kombinasi faktor genetik dan faktor
lingkungan. Jumlah dan kualitas sel beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain proses regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular
sebagai pengatur sel beta, kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan
mengkompensasi beban metabolik dan proses apoptosis sel. Pada orang dewasa, sel
beta memiliki waktu hidup 60 hari. Pada kondisi normal, 0,5 % sel beta mengalami
apoptosis tetapi diimbangi dengan replikasi dan neogenesis. Normalnya, ukuran sel
beta relatif konstan sehingga jumlah sel beta dipertahankan pada kadar optimal selama
masa dewasa.
Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah sel beta akan menurun karena proses
apoptosis melebihi replikasi dan neogenesis. Hal ini menjelaskan mengapa orang tua
lebih rentan terhadap terjadinya DMT2. Pada masa dewasa, jumlah sel beta bersifat
adaptif terhadap perubahan homeostasis metabolik. Jumlah sel beta dapat beradaptasi
terhadap peningkatan beban metabolik yang disebabkan oleh obesitas dan resistensi
insulin. Peningkatan jumlah sel beta ini terjadi melalui peningkatan replikasi dan
neogenesis, serta hipertrofi sel beta.
Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta,
diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid.Efek
hiperglikemia terhadap sel beta pankreas dapat muncul dalam beberapa bentuk.
Pertama adalah desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta yang
dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan kembali normal bila
glukosa darah dinormalkan. Kedua adalah ausnya sel beta pankreas yang merupakan
kelainan yang masih reversibel dan terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas.
Ketiga adalah kerusakan sel beta yang menetap. Pada DMT2, sel beta pankreas yang
terpajan dengan hiperglikemia akan memproduksi reactive oxygen species (ROS).
Peningkatan ROS yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas.
Hiperglikemia kronik merupakan keadaan yang dapat menyebabkan
berkurangnya sintesis dan sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel beta secara
gradual.
•Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit
DMT2. Faktor lingkungan tersebut adalah adanya obesitas, banyak makan, dan
kurangnya aktivitas fisik. Peningkatan berat badan adalah faktor risiko terjadinya
DMT2. Walaupun demikian sebagian besar populasi yang mengalami obesitas tidak
menderita DMT2. Penelitian terbaru telah menelaah adanya hubungan antara DMT2
dengan obesitas yang melibatkan sitokin proinflamasi yaitu tumor necrosis factor alfa
(TNFα) dan interleukin-6 (IL-6), resistensi insulin, gangguan metabolisme asam lemak,
proses selular seperti disfungsi mitokondria, dan stres retikulum endoplasma.
- Diabetes Melitus Gestasional
Selama kehamilan, resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali lipat dibandingkan
keadaan tidak hamil. Pada kehamilan, penurunan sensitivitas insulin ditandai dengan
defek post-reseptor yang menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi SLC2A4
(GLUT 4) dari dalam sel ke permukaan sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan hormon yang berkaitan dengan kehamilan. Meskipun kehamilan dikaitkan
dengan peningkatan massa sel β dan peningkatan kadar insulin, beberapa wanita tidak
dapat meningkatkan produksi insulinnya relatif terhadap peningkatan resistensi insulin,
sehingga menjadi hiperglikemik dan menderita DMG.
b. Cara Mengatasi
 DM Tipe-1 dan Tipe-2
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencegah maupun memperlambat progres
penyakit DM, baik dengan bantuan obat-obatan maupun dengan mengubah gaya hidup ke
arah yang lebih sehat. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan
mengonsumsi pangan fungsional yang terbukti dapat membantu menjaga kadar gula
darah dalam kisaran normal. Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang
bermanfaat bagi kesehatan serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau
minuman. Pangan fungsional ini mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan,
warna, tekstur, dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan
kontra indikasi dan efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap
metabolisme zat gizi lainnya. Salah satu pangan fungsional yang diduga dapat
menurunkan kadar gula darah adalah minyak zaitun. Minyak zaitun merupakan jenis
minyak yang sangat berbeda dari minyak lainnya, karena cara memperoleh dan
komposisinya. Minyak zaitun merupakan salah satu pangan fungsional yang mempunyai
kandungan mono unsaturated fatty acid (MUFA), yang sebagian besar terdapat dalam
bentuk asam oleat serta mengandung banyak antioksida (seperti tyrosol, hydroxytyrosol)
serta oleuropein yang beraktivitas sebagai antidiabetik dan antioksidan.
 DM Gestasional
1. Menurunkan berat badan sebelum konsepsi dengan pengaturan diet. Menurunkan berat
badan 4,5 kg di antara kehamilan terdahulu dan kehamilan berikutnya dapat
menurunkan risiko DMG pada kehamilan selanjutnya hingga 40%.
2. Aktivitas fisik yang intens, moderat dan reguler. Olahraga terbukti dapat memperbaiki
kontrol glikemik pada wanita dengan DMG. Olah raga sebelum dan selama masa awal
kehamilan menurunkan risiko DMG masing-masing 51% dan 48%.

2. Dislipidemia
Beberapa interaksi obat yang mungkin terjadi pada penyakit dislipedemia:
 Kolkihsin vs Statin Kemungkinan interaksi yang terjadi adalah melalui penghasil
kompetitif pada enzim CYP3A4, sehingga akan meningkatkan kontrol. Kolkihsin juga
merupakan substrat dari P-gp.
 Interaksi Warfarin Vs Statin Interaksi dengan warfarin diakibatkan karena penghambatan
CYP2C9 atau lepasnya ikatan protein warfarin. Namun demikian kombinasi statin dan
warfarin pada PJK dan Stroke justru memberikan efek menguntungkan jika INR
terpantau.
 Fibrat VS Statin Gemfibrozil merupakan obat golongan fibrat yang cukup memberikan
interaksi serius, hal ini disebabkan interaksi ganda yang terjadi, yaitu interaksi
farmakodinamik dan farmakokinetik. Gemfibrozil dapat menghambat glukoronidasi dan
konjugasi statin, Gemfibrozil merupakan substrat CYP3A4 dan kompetitor potensial pada
transpoter OAT1B1 / 3 dan OATP2B1. Dokumentasi terhadap interaksi gemfibrozil
terbukti dalam uji farmakokinetik, uji klinis dan laporan kasus, hasil kombinasi
gemfibrozil dan statin dapat mengakibatkan Rhabdomiolisis. FDA untuk membantu
menghidari kombinasi ini sebisa mungkin jika memungkinkan.
Beberapa contoh kasus pada penderita dyslipidemia :
1) Seorang wanita 57 tahun dengan keluhan kram pada jari-jari tangan, tengkuk, punggung,
bahu dan terdapat arkus kornea. Pada 7 tahun lalu terdiagnosis dislipidemia, dan hingga
saat ini kolesterol pasien selalu >200 mg/dL. Pasien juga tidak pernah kontrol ke
pelayanan kesehatan dan lebih memilih mengkonsumsi obat tradisional seperti daun
salam dan labu siam. Pasien diterapi dengan atorvastatin 10 mg perhari rutin, serta
edukasi untuk melakukan perbaikan pola makan dan melakukan olahraga rutin. Setelah
diberikan terapi kepada pasien, terdapat perubahan perilaku dalam mengatasi
kondisinya. Pasien mulai mengkonsumsi obat atorvastatin secara rutin setiap hari,
mengurangi konsumsi makanan tinggi lemak, dan melakukan olahraga berjalan kaki
disekitar rumah secara rutin. Untuk konsumsi obat tradisional hanya diminum saat
keluhan muncul dan keluhan membaik setelah meminumnya tetapi kadar lemak darah
tidak pernah mencapai kadar normal dengan hasil pemeriksaan profil lipid setelah terapi
sebagai berikut: kolesterol total: 230 mg/dL, trigliserida 155 mg/dl, HDL 40 mg/dl, LDL
175 mg/dL . Diketahui obat atorvastatin merupakan obat golongan statin diman
Atorvastatin menurunkan jumlah kolesterol dalam tubuh dengan cara menghambat
enzim yang bertugas memproduksi kolesterol di hati. Dengan demikian, jumlah
kolesterol jahat dalam darah akan turun.

2) Tn. W, 80 tahun, seorang pedagang tempe, datang ke Puskesmas Karang Anyar dengan
keluhan sakit kepala sejak 1 bulan yang lalu dan semakin memberat sejak 1 minggu
yang lalu. Nyeri kepala dirasakan terutama pada bagian belakang kepala terkadang
menjalar hingga ke leher, sehingga tengkuk pasien terasa berat. Nyeri kepala biasanya
hilang timbul. Rasa nyeri kepala mengganggu istirahat pasien sehingga pasien
merasakan sulit tidur. Selain itu pasien mengeluhkan tangan dan kaki sering pegal dan
kesemutan. Pasien merasakan agak sulit untuk berjalan. Pasien masih dapat melakukan
aktivitas sehari-hari seperti biasanya dan tidak mengonsumsi obat-obatan untuk
menghilangkan sakitnya. Awalnya sekitar 1 tahun yang lalu pasien mengalami keluhan
seperti ini. lalu pasien memeriksakan diri ke puskesmas untuk diobati dan diberikan obat
antihipertensi. Namun, setelah obat tersebut habis dan keluhan berkurang, pasien tidak
kontrol lagi untuk mendapatkan obat antihipertensi. Selain itu, sejak 3 bulan terakhir
pasien mengalami keluhan tangan dan kaki sering pegal dan kesemutan namun belum
pernah diperiksakan ke dokter. Pasien biasanya makan tiga kali sehari. Makanan yang
dimakan cukup bervariasi. Namum pasien suka mengkonsumsi makanan yang berlemak,
seperti daging dan kuning telur, kulit ayam. Pasien pun suka makan makanan gorengan,
rendang dan sayuran bersantan. Pasien masih mengerjakan aktivitas dirumah seperti
membuat tempe, membersihkan rumah serta berjualan tempe berkeliling menggunakan
motor. Pasien jarang berolahraga. Pasien mengatakan tidak mengkonsumsi alkohol
ataupun merokok saat ini, namun 5 tahun yang lalu pasien adalah perokok aktif dengan
menkonsumsi rokok sebanyak 2-3 bungkus per hari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
keadaaan umum: tampak sakit ringan; suhu: 36 oC; tekanan darah: 170/100 mmHg;;
frek. nadi: 88 x/menit; frek. nafas: 20 x/menit; berat badan: 75 kg; tinggi badan: 164 cm;
IMT: 27,8. Mata, telinga, hidung, kesan dalam batas normal. Paru, gerak dada dan
fremitus taktil simetris, tidak didapatkan rhonki dan wheezing, kesan dalam batas
normal. Batas jantung tidak terdapat pelebaran, kesan batas jantung normal. Abdomen,
datar dan supel, tidak didapatkan organomegali ataupun ascites, kesan dalam batas
normal. Ekstremitas tidak didapatkan edema, kesan dalam batas normal.
Muskuloskeletal dan status neurologis kesan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar kolesterol : 286mg/dl. Selain itu,
masalah pada pasien adalah :
1) Mengeluhkan nyeri kepala hingga tengkuk disertai pegal-pegal seluruh badan,
kekhawatiran keluhan makin berat dan tidak dapat sembuh. Harapan tekanan darah dan
kadar kolesterol terkontrol
2) Diagnosis kerja adalah hipertensi grade II dengan hiperkolesterolemia.
3) Perilaku pola makan yang tidak sehat, suka makanan berlemak, gorengan dan bersantan,
pola hidup tidak baik suka merokok dan jarang olahraga.
4) Masalah psikososial terkadang pasien merasa stress dan kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit pasien.
Sehingga disimpulkan sesuai dengan faktor pemilihan jenis obat hipertensi dan
melihat kondisi klinis pasien dengan hipertensi tanpa di sertai komplikasi, harga relatif
terjangkau, mudah didapatkan, dengan efek samping yang bisa diatasi, maka pemilihan
obat antihipertensi pada pasien dengan golongan Calsium Channal Blocker (Amplodipine)
dengan dosis 5 mg diberikan satu kali sehari pada malam hari.
Pada kunjungan pasien ke Puskesmas Karang Anyar, pasien diberi terapi
medikamentosa dengan HMG Co-A Reductase Inhibitor simvastatin 10 mg diminum stau
kali setiap malam. Obat ini dikonsumsi terus menerus, sampai kadar kolesterol pasien
mencapai target <200 mg/dl, dan pasien telah dapat mengatur diet. Tujuan pemberian
simvastatin adalah menurunkan jumlah kolesterol dengan cara menurunkan sintesis
kolesterol di hati. Terdapat beberapa macam obat yang bekerja dengan mekanisme yang
sama dengan simvastatin, misalnya lofastatatin dan atrovastatin. Dibandingkan kedua obat
ini simvastatin memiliki kelebihan yaitu absorpsinya tidak dipengaruhi oleh interaksi pada
makanan.
a. Mekanisme dan cara Mengatasi Dislipidemia
 Statin
Statin bekerja dengan mengurangi pembentukan kolesterol di liver dengan
menghambat secara kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA reduktase. Pengurangan
konsentrasi kolesterol intraseluler meningkatkan ekspresi reseptor LDL pada permukaan
hepatosit yang berakibat meningkatnya pengeluaran LDL-C dari darah dan penurunan
konsentrasi dari LDL-C dan lipoprotein apo-B lainnya termasuk trigliserida. Efek
samping pada penggunaan golongan Statin terjadi konstipasi 10%, peningkatan kreatinin
kinase, dan miopati (Dipiro et al, 2015).
Obat-obat yang digunakan untuk dislipidemia golongan statin dapat dilihat pada tabel
berikut :

 Asam Fibrat
Asam Fibrat Terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat, dan
fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid
di hati. Obat ini bekerja mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang kerjanya
memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar trigliserid, obat ini juga meningkatkan
kadar kolesterol- HDL yang diduga melalui peningkatan apoprotein A-I, dan A-II. Pada
saat ini yang banyak dipasarkan di Indonesia adalah gemfibrozil dan fenofibrat. Jika
Fibrat diberikan bersamaan dengan statin maka sebaiknya waktu pemberiannya dipisah,
misalnya Fibrat pada pagi hari dan Statin diberikan pada malam hari. Efek samping
Fibrat yaitu gangguan gastrointestinal (GI) terjadi pada 3%-5%, ruam, pusing, pandangan
kabur, vertigo, sembelit, diare (Charles, 2009).
 Asam Nikotinik
Niacin merupakan obat penurun lipid yang dapat mengurangi sintesis dalam hati
dari VLDL. Niacin juga dapat meningkatkan HDL dengan mengurangi katabolism. Obat
ini diduga bekerja menghambat enzim hormone sensitive lipase di jaringan adiposa,
dengan demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas. Diketahui bahwa asam
lemak bebas ada dalam darah sebagian akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi
sumber pembentukkan VLDL. Dengan menurunnya sintesis VLDL di hati, akan
mengakibatkan penurunan kadar trigliserid, dan juga kolesterol-LDL di plasma.
Pemberian asam nikotinik temyata juga meningkatkan kadar kolesterol- HDL. Pada dosis
maksimum Niacin diberikan dengan makanan secara perlahan-lahan untuk
meminimalkan dosis Niacin. Obat golongan Niacin sangat baik bila dikombinasi dengan
Statin karena dapat menghasilkan kadar lipid dalam plasma yang signifikan (Dipiro et al,
2015). Efek samping yang paling sering terjadi adalah flushing yaitu perasaan panas pada
muka bahkan di badan.
 Ezetimibe
Obat golongan ezetimibe ini bekerja dengan menghambat absorbsi kolesterol oleh
usus halus. Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg/hari diberikan dengan atau tanpa
makanan. Kemampuannya moderate didalam menurunkan kolesterol LDL (15-25%).
Pertimbangan penggunaan ezetimibe adalah untuk menurunkan kadar LDL, terutama
pada pasien yang tidak tahan terhadap pemberian statin. Pertimbangan lainnya adalah
penggunaannya sebagai kombinasi dengan statin untuk mencapai penurunan kadar LDL
yang lebih rendah. Ezetimibe 10 mg dapat dikombinasi dengan Simvastatin dengan
kekuatan 10 mg, 20 mg, 40 mg, atau 80 mg. Efek samping Ezetimibe yaitu dapat
mengalami gangguan gastrointestinal (GI) 4%, sakit kepala, kelelahan, miopati, hepatitis
(Dipiro et al, 2015).
 Bile acid sequestrant
BARs (cholestyramine, colestipol, colesevelam) dapat bekerja dengan cara
mengikat asam empedu di dalam usus dan meningkatkan LDL. BARs digunakan untuk
mengobati hiperkolesterolemia primer. Terdapat 3 jenis bile acid sequestrant yaitu
kolestiramin, kolesevelam, dan kolestipol. Bile acid sequestrant mengikat asam empedu
(bukan kolesterol) di usus sehingga menghambat sirkulasi enterohepatik dari asam
empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu di hati. Dosis
harian kolestiramin, kolestipol, dan kolesevelam berturutan adalah 4-24 gram, 5-30 gram,
dan 3,8-4,5 gram. Penggunaan dosis tinggi (24 g kolestiramin atau 20 g of kolestipol)
menurunkan konsentrasi kolesterol LDL sebesar 18-25%. Bile acid sequestrant tidak
mempunyai efek terhadap kolesterol HDL sementara konsentrasi TG dapat meningkat.
Walau tidak menurunkan kejadian infark miokard dan kematian akibat PJK dalam sebuah
penelitian pencegahan primer, bile acid sequestrant direkomendasikan bagi pasien yang
tidak toleran terhadap statin. Efek sampingnya terutama berkenaan dengan sistem
pencernaan seperti rasa kenyang, terbentuknya gas, dan konstipasi. Bile acid sequestrant
berinteraksi dengan obat lain seperti digoksin, warfarin, tiroksin, atau tiazid, sehingga
obat-obatan tersebut hendaknya diminum 1 jam sebelum atau 4 jam sesudah bile acid
sequestrant. Absorpsi vitamin K dihambat oleh bile acid sequestrant dengan akibat mudah
terjadi perdarahan dan sensitisasi terhadap terapi warfarin.
b. Cara mengatasi dislipidemia
 Pengobatan dislipidemia secara umum
Dalam pengelolaan dislipidemia, diperlukan strategi yang komprehensif untuk
mengendalikan kadar lipid dan faktor faktor metabolik lainnya seperti hipertensi, diabetes
dan obesitas. Selain itu faktor faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya seperti
merokok juga harus dikendalikan. Pengelolaan dislipidemia meliputi pencegahan primer
yang ditujukan untuk mencegah timbulnya komplikasi penyakit-penyakit kardiovaskular
pada pasien dislipidemia seperti penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit
aterosklerosis vaskular lainnya dan pencegahan sekunder yang ditujukan untuk mencegah
komplikasi kardiovaskuler lanjutan pada semua pasien yang telah menderita penyakit
aterosklerosis dan kardiovaskular yang jelas. Pengelolaan pasien dislipidemia terdiri dari
terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi perubahan
gaya hidup, termasuk aktivitas fisik, terapi nutrisi medis, penurunan berat badan dan
penghentian merokok. Sedangkan terapi farmakologis dengan memberikan obat anti
lipid. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai kedua terapi tersebut.
 Terapi non farmakologi
 Aktivitas fisik
Aktifitas fisik yang disarankan meliputi program latihan yang mencakup
setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang (menurunkan 4-7
kkal/menit) 4 sampai 6 kali seminggu, dengan pengeluaran minimal 200 kkal/ hari.
Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat, bersepeda statis, ataupaun berenang.
Tujuan aktivitas fisik harian dapat dipenuhi dalam satu sesi atau beberapa sesi
sepanjang rangkaian dalam sehari (minimal 10 menit).
 Terapi Nutrisi Medis
Bagi orang dewasa, disarankan untuk mengkonsumsi diet rendah kalori yang
terdiri dari buah-buahan dan sayuran (≥ 5 porsi / hari), biji-bijian (≥ 6 porsi / hari), ikan,
dan daging tanpa lemak. Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol harus
dibatasi, sedangkan makronutrien yang menurunkan kadar LDL-C harus mencakup
tanaman stanol/sterol (2 g/ hari) dan serat larut air (10-25 g /hari).
 Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko kuat, terutama untuk penyakit jantung koroner,
penyakit vaskular perifer, dan stroke. Merokok mempercepat pembentukan plak pada
koroner dan dapat menyebabkan ruptur plak sehingga sangat berbahaya bagi orang
dengan aterosklerosis koroner yang luas. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
merokok memiliki efek negatif yang besar pada kadar KHDL dan rasio K-LDL/K-
HDL. Merokok juga memiliki efek negatif pada lipid postprandial, termasuk
trigliserida. Berhenti merokok minimal dalam 30 hari dapat meningkatkan K-HDL
secara signifikan.
 Terapi farmakologi
Prinsip dasar dalam terapi farmakologi untuk dislipidemia baik pada ATP III maupun
ACC/AHA 2013 adalah untuk menurunkan risiko terkena penyakit kardiovaskular.
Berbeda dengan ATP III yang menentukan kadar K-LDL tertentu yang harus dicapai
sesuai dengan klasifikasi faktor risiko, ACC/AHA 2013 tidak secara spesifik
menyebutkan angka target terapinya, tetapi ditekankan kepada pemakaian statin dan
persentase penurunan K-LDL dari nilai awal. Namun demikian, jika mengacu kepada
ATP III, maka selain statin, beberapa kelompok obat hipolipidemik yang lain masih
dapat digunakan yaitu Bile acid sequestrant, Asam nikotinat, dan Fibrat

3. Coronary arteri disease


Beberapa interaksi yang dapat terjadi pada CAD :
 Spironolakton dengan Digoksin
Interaksi terjadi pada proses Absorpsi, dimana spironolakton menginduksi
transporter membran P-glikoprotein (P-gp).Absorpsi aktif dari dalam lumen saluran
pencernaan ke dalam darah terjadi melalui transporter membran P- glikoprotein (P-
gp).Peningkatan kemampuan dari spironolakton untuk berikatan pada glikoprotein P ini
menyebabkan glokoprotein yang dapat berikatan dengan digoksin menurun, sehingga
digoksin yang absorpsi berkurang.
 Spironolakton dengan Aspirin
Interaksi terjadi pada proses ekskresi, dimana aspirin menurunkan sekresi
natrium, sehingga natrium dalam darah meningkat, akibatnya efek spironolakton
menurun, tetapi aspirin dalam dosis kecil tidak mempengaruhi. Aspirin juga menghambat
sekresi aktif canrenone (metabolit aktif spironolakton), sehingga efek metabolit
spironolakton meningkat untuk pemberian dosis berikutnya.
 Digoksin dengan Amlodipin
Interaksi terjadi pada proses ekskresi, dimana sekresi aktif dari dalam darah ke
lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp).
Amlodipin menghambat transporter membran P- glikoprotein (P-gp),
sehinggapenghambatan ini menyebabkan digoksin yang diekskresi berkurang. Penurunan
ekskresi digoksin menyebabkan kadar digoksin di dalam darah meningkat.
 Bisoprolol dengan AINS
Interaksi obat terjadi secara farmakodinamika, dimana Anti Inflamasi Non Steroid
(AINS) bekerja menghambat enzim cyclooksigenase sehingga pembentukan
prostaglandin. Efek dari penghambatan prostaglandin yaitu menghambat vasodilatasi
(terjadi vasokontriksi) dan menghambat sekresi natrium di ginjal sehingga terjadi retensi
urine, kedua efek ini menyebabkan tekanan darah meningkat. Efek dari bisoprolol untuk
menurunkan tekanan darah tinggi berkurang dengan AINS.
Beberapa contoh kasus pada penderita Coronary arteri disease :
1)Tn.Charles, seorang pria berusia 54 tahun memiliki riwayat hipertensi selama 20 tahun,
dan angina selama 2 tahun. Kecanduan merokok dari umur 25 tahun, dapat
menghabiskan 50 batang/hari, tetapi 8 bulan yang lalu mulai berhenti merokok.Dari
catatan medisnya, diketahui bahwa Tn. Charles memiliki NSTEMI (non-ST segment
elevation myocardial infarction) dan 18 bulan yang lalu dilakukan PTCA (Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty) dan pemasangan stent pada arteri koroner kirinya
dan 6 minggu setelahnya ia menjalani rehabilitasi jantung. Sejak itu ia selalu melakukan
jalan santai selama 40 menit setiap hari.

Dari hasil pemeriksaan, didapatkan hasil berikut:


- Tekanan darah: 145/85 mm/Hg
- Denyut jantung: 80 kali/menit
- BMI: 23,5 kg/m2
- Kolesterol total: 5,5 mmol/L = 212.68368 mg/dl
- LDL: 3,9 mmol/L = 150.81206 mg/dl
- HDL: 0,8 mmol/L = 30.93581 mg/dl
- Trigliserida: 1,8 mmol/L = 159.43313 mg/dl
Pengobatan yang dijalani sekarang antara lain;
- Aspirin 100 mg/hari
- Klopidogrel 75 mg/hari
- Perindopril 4 mg/hari
- Simvastatin 20 mg/hari
a. Mekanisme dan cara mengatasi Coronary Artery Disease
1. Mekanisme Kerja
Coronary Artery Desease (CAD) adalah penyempitan atau penyumbatan arteri
korener, arteri yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah melambat,
jantung tak mendapat cukup oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan nyeri
dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri koroner tersumbat sama sekali,
akibatnya adalah serangan jantung dan kerusakan pada otot jantung.
CAD merupakan kondisi dimana terjadi penumpukan plak pada arteri koroner
yang menyebabkan arteri koroner jadi menyempit. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
terkumpulnya kolestrol sehingga membentuk plak pada dinding arteri dalam jangka waktu
yang cukup lama. Proses tersebut disebut aterosklerosis. CAD dapat menyebabkan otot
jantung melemah, dan menimbulkan komplikasi seperti gagal jantung dan gangguan irama
jantung.
Diantara penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner merupakan penyebab
utama kematian, kecacatan, penderitaan dan kerugian materi serta menyebabkan
keterbatasan fisik dan sosial yang memerlukan penataan kehidupan pasien, komplikasi
yang ditimbulkan oleh penyakit jantung koroner tidak hanya masalah bagi pasien tapi juga
pada keluarga. Jika pasien bertahan dalam serangan pertama, masalah berikutnya adalah
suatu kemungkinan peningkatan serangan akan lebih besar lagi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pencegahan agar tidak terjadi serangan berulang- ulang dan terjadi komplikasi,
proses penyembuhan bisa lebih cepat lagi dan meningkatkan kualitas hidup.
CAD adalah kondisi dimana terjadi penumpukan plak pada arteri koroner yang
menyebabkan arteri koroner jadi menyempit. Kondisi ini disebabkan oleh penumpukan
kolestrol sehingga membentuk plak pada dinding arteri dalam jangka waktu yang cukup
lama. Proses pembentukan plak tersebut disebut juga Aterosklerosis.
2. Cara mengatasi CAD
- Meningkatkan gaya hidup sehat dengan perilaku “CERDIK” yaitu Cek kesehatan secara
berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat dan seimbang, Istirahat
yang cukup dan Kelola stres
- Melakukan pola hidup “PATUH” yaitu Periksa kesehatan secara rutin, Atasi penyakit
dengan pengobatan yang tepat, Tetap aktifitas fisik dengan aman, Upayakan diet sehat dan
gizi seimbang, Hindari asap rokok, minuman beralkohol dan zat karsinogen.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Metabolic syndrome atau sindrom metabolik adalah sekelompok gangguan


kesehatan yang terjadi secara bersamaan. Gangguan itu meliputi peningkatan tekanan
darah tinggi, penumpukan lemak di perut, serta kenaikan kadar gula darah, kolesterol,
dan trigliserida. Penyebab sindrom metabolik belum diketahui secara pasti. Namun, para
ahli menduga bahwa sindrom metabolik dipengaruhi oleh penurunan sensitivitas tubuh
terhadap hormon insulin, yaitu hormon yang menurunkan kadar gula dalam darah. Pada
kondisi ini, efektivitas hormon insulin jadi menurun. Terdapat beberapa penyakit
seseorang dikatakan menderita Syndrom metabolic, yaitu :
1. Penyakit Diabetes Melitus dengan meningkatnya kadar gula dalam darah pasien atau
disebut dengan hiperglikemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk
genetik, obesitas, penyakit eksokrin pankreas dan lainnya.
2. Terjadinya Dislipidemia ditandai dengan penurunan kadar kolstrol total, trigliserida dan
LDL disertai dengan peningkatan kadar HDL.
3. Coronary Artery Disease (CAD) penyakit yang disebabkan oleh aterosklerosis pada arteri
koroner yang membatasi aliran darah ke jantung.
DAFTAR PUSTAKA

 Ardhani,M.H.dkk. (2015). study on optimization of drug interactions medication


reconciliation in patients diabetes mellitus type 2 pharmacy in hospital pku muhammadiyah
yogyakarta unit 2.
 Drugs.com. Drugs interaction Ckecker. Available:
http://www.drugs.com/drug_interaction.php (diakses juni 2017)
 Eckel RH, Grundy SM, Zimmet P. The Metabolic Syndrome. Lancet. 2005; 365:1415-28.
 Faculty of Medicine and Health Sciences University of Muhammadiyah Yogyakarta
(naskah publikasi karya tulis ilmiah 6 agst 2015)

 Grundy S. M., 2004. Obesity, Metabolic Syndrome, and Cardiovascular Disease. J Clin
Endocrinol Metab, 89(6) : 2595-2600
 Reaven GM. Role of insulin resistance in human disease. Diabetes. 1988; 37:1595- 607.
 Sandra R. 2015. Sindrom Metabolik. J Majority. 4(4): 88-93
 Stockley I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction, Eight Edition. London: Pharmaceutical
Press.
 Tatro D.S. (2009). Drug Interaction Facts. San Carlos, California: A Wolters Kluwer
Health Inc.

Anda mungkin juga menyukai