Anda di halaman 1dari 37

KEJADIAN INFEKSI PUERPERALIS

OLEH :

N.Nenok Ida Kurnia, SST


NIP. 19660411 198803 2 005

UPT PUSKESMAS SALAWU


KABUPATEN TASIKMALAYA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu indikator terhadap pelayanan kesehatan di suatu negara adalah

dengan menilai dari angka kematian ibu (AKI). Data kematian ibu di Indonesia

tidak berubah dari tahun sebelumnya, menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas)

menyebutkan bahwa AKI tahun 2012 mencapai 359/100.000 kelahiran hidup.

Target AKI turun menjadi 102 harus dicapai pada tahun 2015 sebagai komitmen

bersama Indonesia terhadap kesepakan global MDGs .

Tingginya AKI di sebabkan oleh dua penyebab yaitu penyebab langsung

dan penyebab tidak langsung. Salah satu faktor langsung penyebab kematian

tersebut adalah perdarahan 25% pasca salin, preeklampsia dalam kehamilan 12%,

sepsis puerperalis 11%, partus macet 8% dan sebab lain 7%.(Saifuddin, 2011).

Infeksi nifas merupakan salah satu penyumbang angka kematian ibu pada masa

nifas. Infeksi postpartum adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia, terjadi

sesudah melahirkan, ditandai kenaikan suhu sampai 38 derajat selsius atau lebih

selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca persalinan, dengan mengecualikan 24

jam pertama (Paranata, 2011).

Infeksi puerperalis di Jawa Barat pada tahun 2012 terdiri dari subinvolusi

uterus sebanyak 11%, bendungan payudara sebanyak 18%, endometritis 0,3%.

Adapun data kasus infkesi puerperalis di Kota Tasikmalaya menurut dinas

1
kesehatan Kota terdiri dari subinvolusi uterus 9%, bendungan payudara 14% dan

endometritis 3%.

Berbagai faktor predisposisi infeksi nifas adalah anemia, ketuban pecah

dini, trauma, kontaminasi bakteri, kehilangan darah dan karena proses persalinan.

Oleh karena itu penanganan yang dapat dilakukan saat hamil adalah mengurangi

atau mencegah faktor-faktor predisposisi, dalam proses persalinan pencegahan

terdiri atas membatasi sebanyak mungkin masuknya kuman-kuman dalam jalan

lahir dan setelah persalinan melalui perawatan luka perineum (Abid, 2011).

Berbagai dampak dari infeksi puerperalis yang terjadi pada masa nifas

seperti ibu mengalami demam tinggi, kesulitan obstipasi dan konstipasi,

kegagalan pengecilan uterus serta terjadinya perdahahan postpartum sekunder.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian

tentang “kejadian kasus infeksi puerperalis “.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian

ini adalah “

1. Bagaimana Konsep dasar infeksi puerperalis

2. faktor apa saja penyebab infeksi puerperalis

2
C. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui Kosnep dasar infeksi puerperalis

2. Mengetahui faktor infeksi puerperalis

D. Manfaat Penelitian

Makalah ini dapat menjadi bahan pengembangan bagi Ilmu Kebidanan yang

difokuskan pada asuhan kebidanan pada kasus patologis. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberi masukan dalam pengelolaan manajemen Rumah Sakit

dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan maternal, khususnya

pada masalah infeksi masa nifas.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Partum/Nifas

1. Definisi Postpartum

Pospartum adalah proses adaptasi baik fisik maupun psikososial pada

proses melahirkan sampai kembalinya fungsi tubuh pada keadaan semula

sebelum hamil. Dalam tahap ini menjadi dua kejadian penting pada

puerperium yaitu involusi uterus dan proses laktasi. Masa nifas mulai setelah

partus selesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu. Seluruh alat genital

baru pulih kembali seperti sebelum ada kehamilan dalam waktu 3 bulan

(Anggarani, 2010).

Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir

ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas

berlangsung selama 6 minggu. Masa nifas berlangsung selama 6 minggu atau

42 hari merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya alat kandungan

pada keadaan yang normal (Siswosudarmo, 2010).

Perawatan masa nifas adalah perawatan terhadap wanita hamil yang telah

selesai bersalin sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil,

lamanya kira-kira 6-8 minggu. Akan tetapi, seluruh alat genetalia baru pulih

kembali seperti sebelum ada kehamilan dalam waktu 3 bulan. Perawatan masa

nifas dimulai sebenarnya sejak kala uri dengan menghindarkan adanya

4
kemungkinan-kemungkinan perdarahan post partum dan infeksi. Bila ada

perlukaan jalan lahir atau luka bekas episiotomi, lakukan penjahitan dan

perawatan luka dengan sebaik-baiknya. Penolong persalinan harus tetap

waspada sekurang-kurangnya 1 jam sesudah melahirkan, untuk mengatasi

kemungkinan terjadinya perdarahan post partum (Saefuddin, 2010).

2. Perubahan sistem reproduksi

Setelah kelahiran plasenta, kadar sirkulasi hormon hCG (human

chorionic gonadotropin), hPL (human placental lactogen), estrogen dan

progesteron menurun. Human placental lactogen akan menghilang dari

peredaran darah ibu dalam 2 hari dan hCG dalam 2 minggu setelah

melahirkan. Kadar estrogen dan progesteron hampir sama dengan kadar yang

ditentukan pada fase folikuler dari siklus menstruasi berturut-turut sekitar 3

dan 4 hari. Penarikan polipeptida dan hormon steroid ini mengubah fungsi

seluruh sistem sehingga efek kehamilan berbalik dan wanita dianggap sedang

tidak hamil (Henderson dan Jones, 2006).

Perubahan fisiologis pada masa nifas adalah sebagai berikut (Anggraini,

2010:).

a. Perubahan Fisiologis

1) Genetalia interna dan eksterna

Dalam masa nifas alat-alat interna maupun eksterna akan

berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.

5
Perubahan alat–alat genetalia ini dalam keseluruhannya disebut

involusia.

a) Uterus

Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira – kira setinggi

sepusat, segera setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang

lebih pertengahan antara umbilikus dan simfisis. Pada hari kedua

kurang lebih sama dan kemudian mengerut. Uterus menyerupai

buah alpokat gepeng berukuran panjang ± 15cm, lebar ± 12 cm

dan tebal ± 10cm, dinding uterus sendiri ± 5cm, sedangkan pada

bekas implantasi plasenta lebih tipis daripada bagian lain. Pada

hari ke 5 – 6 post partum uterus beratnya 750 gram pada

pertengahan pusat dan simfisis (Saleha, 2009).

Uterus gravidarum aterm beratnya kira-kira 1000 gram. Satu

minggu post partum berat uterus akan menjadi ± 500 gram,2

minggu post partum menjadi 300 gram dan setelah 6 minggu post

partum berat uterus menjadi 40 – 60 gram (berat uterus normal ±30

gram).

b) Serviks

Segera setelah post partum bentuk serviks agak menganga

seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh kavum uteri yang dapat

mengadakan kontraksi sedang serviks tidak berkontraksi. Warna

serviks merah kehitam – hitaman karena penuh dengan pembuluh

6
darah dan konsistensinya lunak. Segera setelah janin dilahirkan

pemeriksa masih dapat memasukan tangan kedalam kavum uteri.

Muara serviks yang berdilatasi 10 cm pada waktu persalinan

menutup secara bertahap (Anggraini, 2010).

c) Endometrium

Perubahan – perubahan yang terdapat pada endometrium

adalah timbulnya trombosis, degenerasi dan nekrosis di tempat

implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-

kira setebal ± 2,5 mm mempunyai permukaan yang kasar akibat

pelepasan desidua dan selaput janin, setelah 3 hari permukaan

endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang

mengalami degenerasi. Sebagian dari endometrium terlepas.

Regenerasi endometrium terjadi dari sisa – sisa sel desidua basalis

yang memakan waktu 2 – 3 minggu.

d) Ligament – ligament, diafragma pelvis dan fasia

Ligament–ligament, diafragma pelvis dan fasia, yang

meregang sewaktu kehamilan dan partus, setelah janin lahir

berangsur-angsur menciut dan kembali seperti sedia kala. Untuk

memulihkan kembali jaringan – jaringan penunjang alat genetalia

tersebut juga otot dinding perut di dasar panggul dan dianjurkan

untuk melakukan latihan – latihan tertentu. Pada 2 hari post

partum sudah dapat diberikan Fisiotherapy (Siswosudarmo:2010).

7
e) Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi yang telah dijahit,

luka pada vagina dan serviks, umumnya bila tidak seberapa luas

akan sembuh sendirinya kecuali biila terdapat infeksi. Infeksi

dapat mengakibatkan selulitis yang menjalar sampai terjadi

keadaan sepsis.

2) Hemokonsentrasi

Leukosit adalah meningkatnya jumlah sel darah putih sebanyak

15.000 selama persalinan. Jika hari pertama atau kedua lebih rendah

dari titik 2% atau lebih tinggi dari pada saat memasuki persalinan

awal, maka ibu dikatakan telah kehilangan darah yang cukup berat.

Volume darah pada ibu relatif akan bertambah, keadaan ini akan

menimbulkan beban pada jantung sehingga dapat menimbulkan

decompensasi cordis pada penderita vitius cordis. Untuk keadaan ini

dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan timbulnya

hemokonsentrasi sehingga volume darah akan kembali seperti sedia

kala (Saleha, 2009).

3) Laktasi

Kelenjar mamae telah dipersiapkan semenjak kehamilan umumnya

produksi ASI baru terjadi hari ke 2 atau hari ke 3 pasca persalinan.

Pada hari pertama keluar colostrum yaitu cairan kuning yang lebih

kental dari ASI. Mengandung banyak protein albumin, globulin dan

benda – benda colostrum, bila bayi meninggal, laktasi harus dihentikan

8
dengan membalut kedua mamae hingga tertekan atau memberikan

bromokriptin hingga hormone laktogenik tertekan.

Kesulitan yang dapat terjadi pada masa laktasi :

a) Puting rata sejak hamil

Ibu dapat menarik-narik puting susu ibu dan harus tetap

menyusui agar puting selalu sering tertarik.

b) Puting lecet

Puting lecet bisa disebabkan karena cara menyusu yang

tidak benar, bayi tidak menyusui sampai aerola tertutup oleh mutut

bayi. Penatalaksanaan dengan tekhnik menyusui yang benar

puting harus kering saat menyusui, puting diberi lanolin, monilia

di therapy, dan menyusui pada payudara yang tidak lecet. Bila

lecetnya luas, menyusui ditunda 24 – 48 jam dan ASI dikeluarkan

dengan pompa (Saleha, 2009).

c) Payudara Bengkak

Payudara bengkak disebabkan pengeluaran ASI tidak lancar

karena bayi tidak cukup sering menyusu atau terlalu cepat di sapih.

Penatalaksanaaan dengan menyusui lebih sering, kompres hangat,

ASI dikeluarkan dengan pompa dan pemberian analgesik (Saleha,

2009).

9
d) Mastitis

Payudara tampak oedema, kemerahan dan nyeri yang

biasanya terjadi beberapa minggu setelah melahirkan.

Penatalaksanaan dengan kompres hangat/pemberian antibiotik dan

analgesik, menyusui tidak dihentikan (Saleha, 2009).

Menurut Mochtar (2010) matitis adalah suatu peradangan

pada payudara yang sebabkan kuman, terutama staplococcus

aureus melalui luka pada puting susu atau melalui peredaran darah.

e) Abses Payudara

Pada payudara dengan abses, ASI di pompa, Abses di insisi,

diberikan antibiotik dan analgesik.

f) Bayi tidak suka menyusu

Keadaan ini bisa disebabkan karena pancaran ASI terlalu

kuat sehingga mulut bayi terlalu penuh, bingung puting pada bayi

yang disusui selang seling dengan susu botol, puting rata dan

terlalu kecil dan bayi mengantuk, penatalaksanaan : pancaran ASI

terlalu kuat dapat diatasi dengan menyusui lebih sering, memijat

payudara sebelum menyusui,serta menyusui dengan terlentang

dengan bayi ditaruh diatas payudara. Pada bayi dengan bingung

puting,hindari pemakaian dot botol dan gunakan sendok atau pipet

untuk memberikan pengganti ASI. Pada bayi mengantuk yang

sudah waktunya diberi ASI usahakan agar bayi terbangun.

10
g) Suhu

Suhu badan pasca persalinan dapat naik lebih dari 0.5ºC dari

keadaan normal tapi tidak lebih dari 39ºC setelah 12 jam pertama

melahirkan, umumnya suhu badan kembali normal. Bila lebih dari

38ºC mungkin ada infeksi.

h) Nadi

Nadi umumnya 60 – 80 denyut per menit dan segera setelah

melahirkan dapat terjadi takikardi. Bila terdapat takikardi dan

badan tidak terasa panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau

ada penyakit jantung. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil

dibanding suhu badan (Anggraeni, 2010).

i) Lochea

Proses keluarnya darah nifas atau lochea, menurut Taufik

(2005), terdiri atas 4 tahapan :

(1) Lochea rubra (merah)

Darah yang keluar berwarna merah karena berisi darah segar,

jaringan sisi – sisa plasenta, dinding Rahim, lemak bayi, lanugo

(rambut bayi), dan mekonium (kotoran bayi saat dalam

kandungan). Darah nifas berpotensi mengandung banyak kuman.

Lamanya lochea masa rubra ini biasanya sebentar, sekitar

seminngu.

11
(2) Lochea Sanguelenta

Darah yang keluar berwarna merah dan berlendir. Dari lochea

rubra ke sanguelenta lamanya sekitar 1 – 2 minggu.

(3) Lochea Serosa

2 minggu berikutnya, cairan yang keluar berwarna

kekuningan. Kandungannya sekarang berupa jaringan serosa atau

sisa – sisa pengaruh hormone dan lainnya.

(4) Lochea Alba

Cairan yang keluar sudah berwarna putih dan bening. Hal ini

merupakan hal yang normal dan tandanya sudah memasuki tahap

pemulihan. Ke empat tahapan tersebut berkisar 6 minggu.

j) Sistem perkemihan

Hari pertama ibu biasanya kesulitan buang air kecil. Miksi harus

secepatnya dilakukan sendiri bila kandung kemih penuh dan tidak

biasa miksi sendiri, dilakukan kateterisasi, bila perlu dipasang

dawer cateter untuk mengistirahatkan otot-otot kandung kemih,

dengan melakukan ambulasi secepatnya (Anggraini, 2010).

B. Infeksi Masa Nifas

1. Pengertian Infeksi nifas

Menurut Mochtar (2010) infeksi nifas adalah keadaan yang mencakup

semua peradangan alat genital dalam masa nifas. Masuknya kuman dapat

12
terjadi dalam kehamilan, waktu persalinan dan nifas. Demam nfias adalah

demam dalam masa nifas oleh sebab apapun.

Infeksi nifas (infeksi puerperium/pueperal infection)adalah istilah

umum yang digunakan untuk nejelaskan setiap infeksi bakteri di traktus

genitalia setelah persalinan (Cunningham, 2006). Menurut Joint of Commite

on Maternal Welfare definisi morbiditas puerpuralis ialah kenaikan suhu

sampai 38OC atau lebih selama 2 hari dalam 1o hari pertama postpartum,

dengan mengecualikan hari pertama. Suhu harus diukur sedikit-sedikitnya 4

kali sehari (Amalia, 2013).

2. Patofisiologi

Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah luka

dengan diameter kira-kira 4cm. Permukaannya tidak rata, berbenjol-benjol

karena banyaknya vena yang ditutupi trombus. Daerah ini merupakan tempat

yang baik untuknya tumbuhnya kuman dan masuknya jenis yang patogen

dalam tubuh wanita. Servik sering mengalami perlukaan pada persalinan,

demikian juga vulva, vagina dan perineum, yang merupakan tempat masuknya

kuman patogen. Infeksi nifas dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu   Infeksi

yang terbatas pada perineum, vulvam servik dan endometrium, serta

penyebaran infeksi melalui vena-vena, jalan limfe dan melalui permukaan

endometrium.

13
3. Etiologi

Bermacam-macam jalan kuman masuk ke dalam alat kandungan, seperti

eksogen (kuman datang dari luar), autogen (kuman masuk dari tempat lain

dalam tubuh dan endogen (dari jalan lahir sendiri). Penyebab yang terbanyak

dan lebih dari 50% adalah streptococus anaerob yang sebenarnya tidak

patogen sebagai penghuni jalan lahir (Mochtar, 2010).

Selanjutnya Menurut Amalia (2013) Berdasarkan masuknya kuman ke

dalam alat kandungan.

a. Ektogen (Kuman datang dari luar)

b. Autogen (Kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh.

c. Endogen ( dari jalan lahir sendiri)

Berdasarkan kuman yang sering mentebabkan infeksi:

a. Streptococcus Haemolyticus Aerobik

Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang ditularkan

dari penderita lain, alat-alat yang tidak suci hama, tangan penolong

b. Staphylococcus Aureus

Masuknya secara eksogen, infeksi sedang, banyak ditemukan sebagai

penyebab infeksi di rumah sakit.

c. Escheria Coli

Sering berasal dari kandung kemih dan rektum, menyebabkan infeksi

terbatas.

14
d. Kuman Aerobik yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada abortus

kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.

4. Macam-macam infeksi masa nifas

a. Infeksi pada perineum,

vulva, vagina dan serviks

Gejalanya berupa rasa nyeri serta panas pada tempat infeksi dan

kadang-kadang perih bila kencing. Bila getah radang bisa keluar, biasanya

keadaannya tidak berat, suhu sekitar 38°C dan nadi di bawah 100 per

menit. Bila luka terinfeksi tertutup oleh jahitan dan getah radang tidak

dapat keluar, demam bisa naik sampai 39 - 40°C dengan kadang-kadang

disertai menggigil (dr. Abid, 2011).

Menurut Mochtar (2010) infeksi biasanya terdapat pada tempat-

tempat perlukaan jalan lahir karena tindakan persalinan dan pada bekas

insersi plasenta. Lokasi tempat timbulnya infeksi sepertipada vulvitis

yaitu luka bekas episiotomi atau robekan perineum yang kena infeksi.,

vaginitis diakibatkan oleh luka akibat tindakan persalinan terinfeksi dan

servisitis yaitu infeksi pada serviks agak dalam dapat menjalar ke

ligamentum dari parametrium.

b. Endometritis

Kadang-kadang lokia tertahan oleh darah, sisa-sisa plasenta dan

selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokiametra dan dapat

15
menyebabkan kenaikan suhu. Uterus pada endometritis agak membesar,

serta nyeri pada perabaan dan lembek.

Pada endometritis yang tidak meluas, penderita merasa kurang sehat

dan nyeri perut pada hari-hari pertama. Mulai hari ke-3 suhu meningkat,

nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam beberapa hari suhu dan nadi

menurun dan dalam kurang lebih satu minggu keadaan sudah normal

kembali(dr. Abid,2011). Lokia pada endometritis, biasanya bertambah dan

kadang-kadang berbau. Hal ini tidak boleh dianggap infeksinya berat.

Malahan infeksi berat kadang-kadang disertai oleh lokia yang sedikit dan

tidak berbau.

Menurut Pranata (2011) Endometriosis adalah satu keadaan di mana

jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri.

Jaringan ini yang terdiri atas kelenjarkelenjar dan stroma, terdapat di

dalam miometrium atau pun di luar uterus. Bila jaringan endometrium

terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus

disebut endometriosis. Pembagian ini sekarang sudah tidak dianut lagi,

karena baik secara patologik, klinik atau pun etiologik adenomiosis dan

endometriosis berbeda.

Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya endometriosis yaitu

Teori implantasi, yaitu implantasi sel endometrium akibat regurgitasi

trastuba pada saat menstruasi, Teori metaplasma, yaitu metaplasma sel

multi potensioal menjadi endometrium, namun teori ini tidak didukung

16
bukti klinis maupun eksperimen, Teori Induksi, kelanjutan teori

metaplasia, dimana faktor biokimia endogen menginduksi perkembangan

sel peritoneal yang tidak berdiferensiasi menjadi jaringan endometrium.

c. Septicemia dan piemia

Kedua-duanya merupakan infeksi berat namun gejala-gejala

septicemia lebih mendadak dari piemia. Pada septicemia, dari permulaan

penderita sudah sakit dan lemah. Sampai tiga hari postpartum suhu

meningkat dengan cepat, biasanya disertai menggigil. Selanjutnya, suhu

berkisar antara 39 - 40°C, keadaan umum cepat memburuk, nadi menjadi

cepat (140 - 160 kali/menit atau lebih). Penderita meninggal dalam enam

sampai tujuh hari postpartum. Jika ia hidup terus, gejala-gejala menjadi

seperti piemia.

Pada piemia, penderita tidak lama postpartum sudah merasa sakit,

perut nyeri, dan suhu agak meningkat. Akan tetapi gejala-gejala infeksi

umum dengan suhu tinggi serta menggigil terjadi setelah kuman-kuman

dengan embolus memasuki peredaran darah umum. Suatu ciri khusus pada

piemia ialah berulang-ulang suhu meningkat dengan cepat disertai

menggigil, kemudian diikuti oleh turunnya suhu. Ini terjadi pada saat

dilepaskannya embolus dari tromboflebitis pelvika. Lambat laun timbul

gejala abses pada paru-paru, pneumonia dan pleuritis. Embolus dapat pula

menyebabkan abses-abses di beberapa tempat lain.

Menurut Mochtar (2010) Septicemia adalah keadaan dimana kuman-

17
kuman dan atau toksinnya langsung masuk ke dalam peredaran darah ibu

dan menyebabkan infeksi umum. Piemia dimulai dengan tromfeblitis vena

perlukaan yang lalu lepas menjadi embolis-embolis kecil dibawa oleh

peredaran darah umum dan terjadilah infeksi dan abses pada organ-organ

tubuh yang dihinggapinya (paru-paru, ginjal, jantung, otak dan

sebagainya).

d. Sellulitis pelvika

(Parametritis)

Parametritis adalah infeksi jaringan ikat pelvis yang dapat terjadi

melalui beberapa jalan :

1) Dari serviksitis atau endometritis dan tersebar melalui

pembuluh limfe

2) Langsung luas dari serviksitis ke dasar ligamentum

sampai ke parametrium

3) Atau sekunder dari trombofeblitis

(Mochtar, 2010).

Sellulitis pelvika ringan dapat menyebabkan suhu yang meninggi

dalam nifas. Bila suhu tinggi menetap lebih dari satu minggu disertai

dengan rasa nyeri di kiri atau kanan dan nyeri pada pemeriksaan dalam,

hal ini patut dicurigai terhadap kemungkinan sellulitis pelvika.

Pada perkembangan peradangan lebih lanjut gejala-gejala sellulitis

pelvika menjadi lebih jelas. Pada pemeriksaan dalam dapat diraba tahanan

18
padat dan nyeri di sebelah uterus dan tahanan ini yang berhubungan erat

dengan tulang panggul, dapat meluas ke berbagai jurusan. Di tengah-

tengah jaringan yang meradang itu bisa tumbuh abses. Dalam hal ini, suhu

yang mula-mula tinggi secara menetap menjadi naik-turun disertai dengan

menggigil. Penderita tampak sakit, nadi cepat, dan perut nyeri. Dalam dua

pentiga kasus tidak terjadi pembentukan abses, dan suhu menurun dalam

beberapa minggu. Tumor di sebelah uterus mengecil sedikit demi sedikit,

dan akhirnya terdapat parametrium yang kaku.

Jika terjadi abses, nanah harus dikeluarkan karena selalu ada bahaya

bahwa abses mencari jalan ke rongga perut yang menyebabkan peritonitis,

ke rektum, atau ke kandung kencing.

Parametritis adalah radang dari jaringan longgar di dalam

ligamentum latum yang biasanya radang ini bersifat unilateral.

Parametritis adalah suatu infeksi atau peradangan permulaan yang

diperluas dari infeksi yang dilokalisir di bagian serviks atau kandungan

(endometritis) (Varney, 2004).

Namun, insiden infeksi uterus postpartum setelah pelahiran

pervaginam terjadi pada wanita dengan risiko tinggi yang ditandai dengan

ketuban pecah lama dan persalinan lama, pemeriksaan dalam berulang

serta pemantauan janin internal. Selain itu juga parametritis setelah

pelahiran pervaginam ini pun lebih sering terjadi pada wanita yang

kehamilannya disertai gangguan pada janin, termasuk lahir mati, BBLR,

19
persalinan prematur dan morbiditas neonatus serius.

e. Peritonitis

Menurut Dewi K (2012) Peritonitis nifas bisa terjadi karena

meluasnya endometritis, tetapi dapat juga ditemukan bersama-sama

dengan salpingo-ooforitis dan sellulitis pelvika. Selanjutnya, ada

kemungkinan bahwa abses pada sellulitis pelvika mengeluarkan nanahnya

ke rongga peritoneum dan menyebabkan peritonitis.

Peritonitis, yang tidak menjadi peritonitis umum, terbatas pada

daerah pelvis. Gejala-gejalanya tidak seberapa berat seperti pada

peritonitis umum. Penderita demam, perut bawah nyeri, tetapi keadaan

umum tetap baik. Pada pelvioperitonitis bisa terdapat pertumbuhan abses.

Nanah yang biasanya terkumpul dalam kavum douglas harus dikeluarkan

dengan kolpotomia posterior untuk mencegah keluarnya melalui rektum

atau kandung kencing.

Peritonitis umum disebabkan oleh kuman yang sangat patogen dan

merupakan penyakit berat. Suhu meningkat menjadi tinggi, nadi cepat dan

kecil, perut kembung dan nyeri, ada defense musculaire. Muka penderita,

yang mula-mula kemerah-merahan, menjadi pucat, mata cekung, kulit

muka dingin; terdapat apa yang dinamakan facies hippocratica. Mortalitas

peritonitis umum tinggi.

Menurut Mochtar (2010) peritonitis dapat berasal dari penyebaran

melaluipembuluh limfe uterus. Parametritis yang meluas ke peritoneum

20
salpingoofaris meluas ke peritoneum atau langsung sewaktu tindakan

perabdominal.

f. Salpingitis dan ooforitis

Menurut Mochtar (2010) salpingitis dan ooforitis adalah peradangan

dari aneksa terdiri dari salfingitis akut dan kronik. Diagnosis dan gejala

klinis hampir sama dengan parametritis. Bila infeksi berlanjut dapat terjadi

piosalfing.

Gejala salpingitis dan ooforitis tidak dapat dipisahkan dari pelvio

peritonitis.

g. Syok septik

Dapat ditemukan pada infeksi nifas berat, abortus septik dan operatif

obstetrik. Kuman yang sering dijumpai adalah E.Cholli. psedomonas,

lebsiela dan lain-lain. Penderita mengalami demam tinggi menggigil dan

syok, penanganannya adalah dengan memberikan antibiotik yang

tepat,cukup dan dosis tinggi. Setelah dilakukan uji kepekaan dan

persemaian kuman, sensitivity dan kultur test. Inversioi uteri dijumpai

50% menyebabkan syok karena perdarahan, kolaps vasomotor karena

adanya tarikan kuat pada ligamen serta peritoneum.

h. Bendungan ASI

Bendungan payudara adalah peningkatan aliran vena dan limfe pada

21
payudara dalam rangka mempersiapkan diri untuk ASI. Bendungan

payudara adalah bendungan air susu karena penyempitan duktus laktiferi

atau oleh kelenjar kelenjar dengan sempurna atau karena kelainan pada

puting susu.

Bendungan payudara adalah bendungan yang terjadi akibat

bendungan yang berlebihan pada limfatik dan vena sebelum laktasi..

Sebab sebab terjadinya bendungan payudara merupakan masalah yang

multi komplek dan bergantung pada pengawasan pada saat menyusui.

Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya bendungan

payudara

i. Sub Involusi

Subinvolusi adalah kegagalan perubahan fisiologis pada sistem

reproduksi pada masa nifas yang terjadi pada setiap organ dan saluran 

reproduktif. Subinvolusi  uterus adalah kegagalan uterus untuk mengikuti

pola normal involusi/ proses involusi rahim tidak berjalan sebagai

semestinya sehingga proses pengecilan uterus terhambat (Suparyanto,

2010).

Subinvolusi merupakan istilah yang dipergunakan untuk menunjukan

kemunduran yang terjadi pada setiap organ dan saluran reproduktif kadang

lebih banyak mengarah secara spesifik pada kemunduran uterus yang

mengarah keukurannya (Varney’s, 2003).

22
C. Faktor Predisposisi Infeksi masa nifas

Beberapa faktor dalam kehamilan atau persalinan yang dapat menyebabkan

infeksi pascapersalinan antara lain :

1. Anemia

Kekurangan sel-sel darah merah akan meningkatkan kemungkinan

infeksi. Hal ini juga terjadi pada ibu yang kurang nutrisi sehingga respon sel

darah putih kurang untuk menghambat masuknya bakteri.

Anemia pada selama kehamilan dan masa nifas bisa saja terjadi. Faktor

yang mempengaruhi anemia pada masa nifas adalah persalinan dengan

perdarahan, ibu hamil dengan anemia, nutrisi yang kurang, penyakit virus dan

bakteri. Anemia dalam masa nifas merupakan lanjutan daripada anemia yang

diderita saat kehamilan. Pengaruh anemia pada ibu nifas adalah terjadinya

subvolusi uteri yang dapat menimbulkan perdarahan post partum dan

memudahkan infeksi puerperium (Wijanarko, 2010).

Selanjutnya menurut Manuaba (2006) keadaan anemia selama kehamilan

akan berdampak pada masa nifas. Bahaya saat nifas diantaranya adalah terjadi

sub involusi uteri, memudahkannya infeksi purperium, pengeluaran asi

berkurang dan terjadi dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan.

23
2. Ketuban pecah dini

Keluarnya cairan ketuban sebelum waktunya persalinan menjadi

jembatan masuknya kuman keorgan genital. Komplikasi yang timbul akibat

ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan. Infeksi maternal ataupun

neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas

janin, meningkatnya insiden seksio, sesarea, atau gangguan persalinan normal

dapat terjadi (Saifuddin, 2010).

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada

ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia,

omfalitis. Umumnya korioamnionitis terjadi sebelum janin terinfeksi.Ketuban

Pecah Dini kehamilan prematur lebih sering terjadi infeksi bila dibandingkan

dengan kehamilan aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban

pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.

Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD

keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian

infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan

permulaan dari persalinan disebut periode laten. Makin muda umur kehamilan

makin memanjang periode latennya.

3. Trauma

Pembedahan, perlukaan atau robekan menjadi tempat masuknya kuman

pathogen, seperti operasi. Dalam rumah sakit terlalu banyak kuman-kuman

patogen, berasal dari penderita-penderita dengan berbagai jenis infeksi.

24
Kuman-kuman ini bisa dibawa oleh aliran udara kemana-mana termasuk kain-

kain, alat-alat yang suci hama, dan yang digunakan untuk merawat wanita

dalam persalinan atau pada waktu nifas.

4. Kontaminasi bakteri

Bakteri yang sudah ada dalam vagina atau servik dapat terbawa ke

rongga rahim. Selain itu, pemasangan alat selama proses pemeriksaan vagina

atau saat dilakukan tindakan persalinan dapat menjadi salah satu jalan masuk

bakteri. Tentunya, jika peralatan tersebut tidak terjamin sterilisasinya.

5. Perdarahan postpartum

Trauma yang menimbulkan perdarahan dan tindakan manipulasi yang

berkaitan dengan pengendalian pendarahan bersama-sama perbaikan jaringan

luka, merupakan factor yang dapat menjadi jalannya masuk kuman.

Perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal

karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa

menyebabkan sindrom sheehan sebagai akibat pada hipofisis pars anterior

sehingga terjadi infusiensi pada bagian tersebut. Gejalanya dapat berupa

asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan, penurunan fungsi seksual,

dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan

metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi

25
6. Proses persalinan bermasalah seperti partus lama/macet terutama dengan

ketuban pecah lama, korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya

proses pencegahan infeksi dan manipulasi yang berlebihan.

Partus lama/macet adalah merupakan fase teakhir dari suatu partus

yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-gejala seperti

infeksi akibat terlalu banyak manipulasi sehingga memberikan kesempatan

pada bakteri dan kuman untuk menyebar ke dalam jalan lahir, kelelahan ibu,

serta asfiksi dan kematian janin dalam kandungan (KJDK).

Partus lama atau partus kasep (prolonged expulsive phase) atau disebut

juga partus tak maju adalah suatu persalinan dengan his yang adekuat namun

tidak menunjukkan kemajuan pada pembukaan serviks, turunnya kepala dan

putaran paksi selama 2 jam terakhir. Biasanya persalinan pada primitua dapat

terjadi lebih lama. Persalinan kala II memanjang merupakan fase terakhir dari

suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala

– gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu serta asfiksia dan kematian

janin dalam kandungan (Harjono, 2011).

7. Tindakan obstetrik operatif baik pervaginam maupun perabdominam.

Tangan pemeriksa atau penolong yang tertutup sarung tangan pada

pemeriksaan dalam atau operasi membawa bakteri yang sudah ada dalam

vagina ke dalam uterus. Kemungkinan lain ialah bahwa sarung tangan atau

alat-alat yang dimasukkan ke dalam jalan lahir tidak sepenuhnya bebas dari

kuman-kuman.

26
Droplet infection. Sarung tangan atau alat-alat terkena kontaminasi

bakteri yang berasal dari hidung atau tenggorokan dokter atau petugas

kesehatan lainnya. Oleh karena itu, hidung dan mulut petugas yang bekerja di

kamar bersalin harus ditutup dengan masker dan penderita infeksi saluran

pernafasan dilarang memasuki kamar bersalin.

8. Tertinggalnya sisa plasenta, selaput ketuban dan bekuan darah dalam

rongga rahim. Dari kondisi ini ibu dihadapkan pada keadaan pengeluaran

darah yang dapat berakibat fatal. Disamping menyebabkan kematian,

perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal

karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa

menyebabkan sindrom sheehan sebagai akibat pada hipofisis pars anterior

sehingga terjadi infusiensi pada bagian tersebut.

D. Pencegahan Infeksi Nifas

1. Masa kehamilan

a. Mengurangi atau mencegah faktor-faktor predisposisi seperti anemia,

malnutrisi dan kelemahan serta mengobati penyakit-penyakit yang diderita

ibu.

b. Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau tidak ada indikasi yang perlu.

c. Koitus pada hamil tua hendaknya dihindari atau dikurangi dan dilakukan

hati-hati karena dapat menyebabkan pecahnya ketuban. Kalau ini terjadi

infeksi akan mudah masuk dalam jalan lahir.

27
2. Selama persalinan

Usaha-usaha pencegahan terdiri atas membatasi sebanyak mungkin masuknya

kuman-kuman dalam jalan lahir :

a. Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama/menjaga supaya

persalinan tidak berlarut-larut.

b. Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin.

c. Perlukaan-perlukaan jalan lahir karena tindakan baik pervaginam maupun

perabdominam dibersihkan, dijahit sebaik-baiknya dan menjaga sterilitas.

d. Mencegah terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah yang hilang

harus segera diganti dengan tranfusi darah.

e. Semua petugas dalam kamar bersalin harus menutup hidung dan mulut

dengan masker; yang menderita infeksi pernafasan tidak diperbolehkan

masuk ke kamar bersalin.

f. Alat-alat dan kain-kain yang dipakai dalam persalinan harus suci hama.

g. Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada indikasi

dengan sterilisasi yang baik, apalagi bila ketuban telah pecah.

3. Selama nifas

a. Luka-luka dirawat dengan baik jangan sampai kena infeksi, begitu pula

alat-alat dan pakaian serta kain yang berhubungan dengan alat kandungan

harus steril.

b. Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam ruangan khusus,

tidak bercampur dengan ibu sehat.

28
c. Pengunjung-pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari pertama

dibatasi sedapat mungkin.

BAB III

PEMBAHASAN

Infeksi masa nifas …beberapa penyebab infeksi tersebut diantaranya adalah

kekurangan sel-sel darah merah (hb) akan meningkatkan kemungkinan infeksi. Ibu

yang mengalami anemia selama masa kehamilan memiliki risiko untuk mengalami

infeksi seperti sub involusi uterus, hal ini terjadi karena darah tidak cukup

memberikan oksigen ke rahim. Menurut Miftar (2006) dalam Rahmah (2010) tanda

klinis anemia merupakan factor protektif dari kontraksi uterus ibu bersalin, artinya

jika ibu memiliki tanda klinis anemia beresiko untuk menyebabkan kontraksi uterus

ibu bersalin lemah. Artinya ibu yang memiliki tanda klinis anemia cenderung

mengalami tidak adekuatnya kontraksi uterus pada persalinan (ineffective utery

contraction).

Hal ini sesuai dengan Wijanarko (2010) anemia pada selama kehamilan dan

masa nifas bisa saja terjadi. Faktor yang mempengaruhi anemia pada masa nifas

adalah persalinan dengan perdarahan, ibu hamil dengan anemia, nutrisi yang kurang,

penyakit virus dan bakteri. Anemia dalam masa nifas merupakan lanjutan daripada

29
anemia yang diderita saat kehamilan. Pengaruh anemia pada ibu nifas adalah

terjadinya subvolusi uteri yang dapat menimbulkan perdarahan post partum dan

memudahkan infeksi puerperium.

Hal ini sesuai dengan Cunningham, (2006) kekurangan hemoglobin darah

pada ibu hamil menyebabkan tidak optimalnya suplai oksigen dan energi yang dapat

ditransfer ke tingkat sel, termasuk sel-sel otot polos miometrium. Penelitian yang

dilakukan oleh Ercan, et al (2007) menunjukkan bahwa ibu dengan anemia pada

kehamilannya juga beresiko tiga kali untuk mengalami persalinan lama dan atonia

uteri. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian ini, dimana didapatkan

bahwa ibu yang memiliki tanda klinis anemia cenderung mengalami tidak adekuatnya

kontraksi uterus pada persalinan (ineffective utery contraction).

Anemia merupakan suatu kondisi fisik dimana ibu kekurangan hemoglobin

darah. Hemoglobin merupakan zat pengangkut oksigen dan energy ke tingkat sel,

termasuk sel otot miometrium (Cunningham, 2006). Kekurangan oksigen dan energy

di tingkat sel inilah yang merupakan faktor yang mempengaruhi kontraksi uterus pada

persalinan. Hal ini didukung oleh penelitian Ercan, et al (2007) dalam

(Puspitasari,2010) yang menemukan bahwa ibu dengan anemia cenderung mengalami

kontraksi uterus yang tidak efektif.

Mutia (2007) juga mengungkapkan bahwa anemia merupakan faktor resiko

ibu akan mengalami berbagai komplikasi dalam kehamilan dan persalinan,

diantaranya gangguan persalinan akibat atonia uteri, gangguan subinvolusi uterus dan

kurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi nifas dan stress pasca melahirkan.

30
Selanjutnya menurut Manuaba (2006) keadaan anemia selama kehamilan akan

berdampak pada masa nifas. Bahaya saat nifas diantaranya adalah terjadi sub involusi

uteri, memudahkannya infeksi purperium, pengeluaran asi berkurang dan terjadi

dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan.

Kejadian KPD dapat mempengaruhi kejadian infeksi puerperalis, namun

kasus KPD memberikan kontribusi terhadap masalah komplikasi masa nifas yang

tinggi. Adanya kasus infeksi puerperalis dari ibu yang tidak mengalami KPD, hal ini

diduga karena adanya faktor lain seperti kontaminasi bakteri atua faktor lainnya.

Keluarnya cairan ketuban sebelum waktunya persalinan menjadi jembatan

masuknya kuman keorgan genital. Menurut Saifuddin (2010) mengatakan bahwa

komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan.

Infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali

pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio, sesarea, atau gangguan

persalinan normal dapat terjadi.

Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartum, apa lagi

terlalu sering diperiksa dalam, selain itu juga dapat dijumpai infeksi peupuralis

(nifas), peritonitis dan seftikamia, serta dry-labor. Risiko infeksi ibu dan anak

meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat

terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya korioamnionitis terjadi sebelum

janin terinfeksi.Ketuban Pecah Dini kehamilan prematur lebih sering terjadi infeksi

bila dibandingkan dengan kehamilan aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder

pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.

31
Sebelum persalinan sudah terjadi infeksi pada ari-ari dan selaput ketuban yang

ditandai dengan ketuban pecah dini dengan air ketuban yang hijau dan kadang

berbau. Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD

keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi

dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari

persalinan disebut periode laten. Makin muda umur kehamilan makin memanjang

periode latennya.

Perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal

karena daya tahan penderita berkurang. Selain itu, perdarahan penyebab infeksi

diantaranya diakibatkan karena perdarahan karena sisa palsenta, kondisi ini sebagian

kecil dari plasenta ada yang tertinggal di rahim, menyebabkan pembusukan dan

tumbuhnya kuman (Ayahbunda Onlie, 2010).

Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindrom sheehan sebagai akibat

pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi infusiensi pada bagian tersebut.

Gejalanya dapat berupa asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan, penurunan

fungsi seksual, dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,

penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi.

Trauma yang menimbulkan perdarahan dan tindakan manipulasi yang

berkaitan dengan pengendalian pendarahan bersama-sama perbaikan jaringan luka,

merupakan factor yang dapat menjadi jalannya masuk kuman. Dari kondisi ini ibu

dihadapkan pada keadaan pengeluaran darah yang dapat berakibat fatal. Disamping

menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan

32
infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak

bisa menyebabkan sindrom sheehan sebagai akibat pada hipofisis pars anterior

sehingga terjadi infusiensi pada bagian tersebut.

Trauma yang menimbulkan perdarahan dan tindakan manipulasi yang

berkaitan dengan pengendalian pendarahan bersama-sama perbaikan jaringan luka,

merupakan factor yang dapat menjadi jalannya masuk kuman. Perdarahan

pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan

penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindrom sheehan

sebagai akibat pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi infusiensi pada bagian

tersebut. Gejalanya dapat berupa asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan,

penurunan fungsi seksual, dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis

dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi

laktasi

Proses persalinan yang tidak bersih atau tidak memenuhi standar kebersihan.

Kuman bisa masuk ke dalam rahim melalui sarung tangan atau alat-alat rumah sakit

yang kurang steril sehingga Infeksi menyebar, karena naiknya kuman di vagina ke

dalam rahim, akibat kebersihan vagina yang tidak terjaga. Partus lama atau partus

kasep (prolonged expulsive phase) atau disebut juga partus tak maju adalah suatu

persalinan dengan his yang adekuat namun tidak menunjukkan kemajuan pada

pembukaan serviks, turunnya kepala dan putaran paksi selama 2 jam terakhir.

Biasanya persalinan pada primitua dapat terjadi lebih lama. Persalinan kala II

memanjang merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung

33
terlalu lama sehingga timbul gejala – gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu

serta asfiksia dan kematian janin dalam kandungan (Harjono, 2011).

Selanjutnya tindakan persalinan seperti vakum esktraksi atau tindakan lain

merupakan tempat masuknya kuman pathogen, seperti operasi. Dalam rumah sakit

terlalu banyak kuman-kuman patogen, berasal dari penderita-penderita dengan

berbagai jenis infeksi. Kuman-kuman ini bisa dibawa oleh aliran udara kemana-mana

termasuk kain-kain, alat-alat yang suci hama, dan yang digunakan untuk merawat

wanita dalam persalinan atau pada waktu nifas

Partus lama/macet adalah merupakan fase teakhir dari suatu partus yang

macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-gejala seperti infeksi

akibat terlalu banyak manipulasi sehingga memberikan kesempatan pada bakteri dan

kuman untuk menyebar ke dalam jalan lahir, kelelahan ibu, serta asfiksi dan kematian

janin dalam kandungan (KJDK).

Proses persalinan dengan tindakan baik forcep maupun vakum dapat

meningkatkan kasus infeksi masa nifas, hal ini disebabkan karena kuman bisa masuk

ke dalam rahim melalui sarung tangan atau alat-alat rumah sakit yang kurang steril

sehingga Infeksi menyebar, karena naiknya kuman di vagina ke dalam rahim, akibat

kebersihan vagina yang tidak terjaga.

34
BAB IV

PENUTUP

Infeksi nifas merupakan salah satu penyumbang angka kematian ibu pada

masa nifas. Infeksi postpartum adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia, terjadi

sesudah melahirkan, ditandai kenaikan suhu sampai 38 derajat selsius atau lebih

selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca persalinan, dengan mengecualikan 24 jam

pertama . Berbagai faktor predisposisi infeksi nifas adalah anemia, ketuban pecah

dini, trauma, kontaminasi bakteri, kehilangan darah dan karena proses persalinan.

Oleh karena itu penanganan yang dapat dilakukan saat hamil adalah mengurangi atau

mencegah faktor-faktor predisposisi, dalam proses persalinan pencegahan terdiri atas

membatasi sebanyak mungkin masuknya kuman-kuman dalam jalan lahir dan setelah

persalinan melalui perawatan luka perineum. Berbagai dampak dari infeksi

puerperalis yang terjadi pada masa nifas seperti ibu mengalami demam tinggi,

kesulitan obstipasi dan konstipasi, kegagalan pengecilan uterus serta terjadinya

perdahahan postpartum sekunder.

Oleh karena itu sebagai seorang bidan memberikan pendidikan kesehatan bagi

ibu hamil agar dapat memeriksakan kehamilannya untuk mendeteksi sedini mungkin

komplikasi anemia selama kehamilan, selain itu dapat mencegah kejadian perdarahan

psotpartum dan sterilisasi perlatan sebagai upaya pencegahan terjadi infeksi

puerperalis.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abid, 2011. Infeksi post partum . http://abid.blogspot.com

Amalia, 2013. Infeksi Masa Nifas. Htp://midwife.blogspot.com

Anggraini, Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Pustaka Rihama. Jogjakarta

Cunningham, 2006. Obststeri William. Buku Kedokteran EGC.Jakarta

Djamilus, 2007. Anemia dalam kehamilan. http://www.mediacastore.com

Harjono. 2011. Persalinan dengan kala II Memanjang. http://www.bascom-word.com

Henderson, Cristine and Jones Cathleen, 2006. Buku Ajar Konsep Kebidanan.
Jakarta. EGC

Mutia. 2007. Komplikasi Kehamilan dan Pasca persalinan. http://media.info.com

Mochtar. 2010. Sinopsis Obstetri. Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Paranata, 2011. Infeksi Postpartum. http://pranata.wordpress.com

Puspitasari,2010. infeksi nifas dan stress pasca melahirkan http://www.ui.a.cid

Saifuddin, 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan masa Nifas. Salemba Medika Jakarta

SDKI, 2007. Angka Kematian Ibu dan Bayi http://www.depkes.go.id

Siswosudarmo, 2010. Obstetri Fisologi. Bagian Obstetri & Ginekologi. FK UGM.


Jogjakarta.

Varney Midwifery. 2004. Ilmu Kebidanan. Bandung

Wijanarko, 2010. Anemia pada mas anifas. http://www.psychologymania.com


/2012/10/anemia-pada-ibu-nifas.html

36

Anda mungkin juga menyukai