TUGAS 9
BAB 9 “MENGELOLA KERAGAMAN PADA ORGANISASI”
Dosen: Siti Al Fajar, Dra, M.Si.
2. Mengendalikan diri
Sebagai manusia biasa yang memiliki perasaan, ada kalanya kita tidak dapat
memendung suatu cobaan atau godaan dari makhluk ciptaan tuhan lain yang
mengundang kita untuk berbuat yang tidak baik. sebaiknya kita dapat mengendalikan
diri kita dari keinginan untuk berbuat yang tidak baik tersebut karena banyak
kerugiannya dari pada keuntungannya. Karena Tuhan maha mengetahui dan adil untuk
umat-Nya.
8. Melakukan kaji ulang terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang potensial menjadi
pemicu munculnya kondisi disharmonis di tengah-tengah masyarakat.
9. Melakukan berbagai aksi sosial dan keagamaan yang ditujukan untuk membangun dan
menumbuhkembangkan rasa solidaritas dan harmonitas antar umat beragama
(masyarakat).
10. Meminta dukungan dari berbagai kalangan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tidak
terkecuali tokoh agama dan tokoh masyarakat, terhadap setiap tindakan tegas yang akan
dilakukan guna mencegah kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan kelompok,
sehingga setiap tindak tegas tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM.
2. Refleksi 9.2
Munculnya kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual,
and Transgender) telah menimbulkan konflik, baik vertikal maupun horizontal dengan para
penentang LGBT di Indonesia. Masyarakat pun terbelah pendapatnya, antara yang pro
dengan yang kontra terhadap kehadiran LGBT. Menurut Saudara, bagaimanakah ra kita
meiasati kehadiran LGBT secara etis dan bermoral? Apa yang perlu kita lakukan secara
bersama untuk mengatasi konfiolik vertikal dan horizontal tersebut?
Jawab:
Sebelum menentukan sikap pro atau kontra, hendaknya kenali dulu apa yang dimaksud
LGBT, apa yang sesungguhnya terjadi pada individu dengan LGBT, dsb. LGBT singkatan
dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender.
Dalam dunia psikiatri, lesbian dan gay disebut homoseksual. Orang-orang dengan
homoseksual dan biseksual disebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Menurut
Undang-Undang tersebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat
ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan
perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan
jiwa.
Istilah transgender dalam PPDGJ III dikenal istilah transeksualisme. Berdasar gejala-gejala
dan definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, transeksualisme dapat
digolongkan dalam Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Undang-undang di atas menunjukkan kepada kita bahwa kita perlu menyikapi suatu
permasalah dengan melihat berbagai sisi. Menolak lesbian, gay, dan biseksual dalam
berbagai aspek tentu tidak benar. Dari sisi kesehatan, kita perlu memberikan layanan
kesehatan mental bagi mereka.
Dari sisi kesehatan mental, tampak bahwa individu dengan masalah LGBT berhak
dilindungi dan memiliki kehidupan yang layak, sama seperti kita. Kita tidak bisa bertindak
semena-mena. Tindakan kita pun diatur oleh Undang-undang Pasal 86 menyatakan bahwa
setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan
dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau
kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi
ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menyikapi LGBT :
• Pendekatan persuasif
• Sentuh aspek afektif, kognitif, dan konatifnya
• Perjelas detil apa yang kita khawatirkan
3. Refleksi 9.3
Dalam UU Perkawinan telah disebutkan bahwa pasangan yang hendak menikah harus
memiliki keyakinan (agama) yang sama. Dalam lingkungan global saat ini, hubungan
antarmanua sering berlangsung lintas keyakinan, lintas suk, bahkan lintas negara. Jika
Saudara memiliki pasangan dan hendak menikah, tetapi dengan keyakinan masing-masing
yang berbeda, apa yang akan Saudara lakukan untuk menghadapi hal ini? Bagaimanakah
tanggapan saudara tentang wacara UU Perkawinan Campur di Indonesia?
Jawab:
UU No 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang Perkawinan menyatakan “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”.
Terdapat dua pandangan terhadap kasus pernikahan beda keyakinan, baik dalam segi
agama maupun segi hokum. Dalam pandangan agama, hampir semua agama tidak
memperbolehkan pernikah beda keyakinan.
Dalam islam, pernikahan beda keyakinan merupakan suatu larangan, hal ini terdapat dalam
potongan ayat QS. Al-Baqarah:221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu...”
Dalam Kristen, pernikahan beda keyakinan juga dilarang. Larangan tersebut dapat kita
temukan dalam ayat Alkitab tentang pernikahan Kristen di Perjanjian Baru, yaitu di 2
Korintus 6:14
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang
tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
Dalam agama lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu mengharuskan kedua mempelai
menganut keyakinan yang sama agar dapat diakui secara agama karena pernikahan
dianggap sesuatu yang sangat penting dan sakral.
Dari segi hukum di Indonesia, belum ada hukum yang mengatur secara khusus tentang
perkawinan beda agama sehingga ada kekosongan hukum bagi pasangan beda agama yang
akan menikah sesuai hukum negara Indonesia. Dalam hal mengenai sahnya perkawinan
adalah perkawinan yang dilakukan sesuai sesuai agama dan kepercayaan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada
ajaran dari agama masing-masing.
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama
di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof. Wahyono
Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama
agar pernikahannya dapat dilangsungkan.
Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. Meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.
4. Menikah di luar negeri.
Untuk pernikahan beda agama, secara hukum bisa saja tercatat resmi atau sah, namun dari
segi agama tidak menganjurkan untuk melakukan pernikahan beda agama.
Jika saya memiliki pasangan yang berbeda agama dan hendak menikah maka saya akan
tetap mengikuti ajaran agama terlebih dahulu yang memerintahkan kita untuk menikah
dengan pasangan yang berkeyakinan sama dengan kita. Maka, akan ada penundukan pada
salah satu hukum agama. Tentang wacana UU Perkawinan Campur di Indonesia, jika
disahkan saya tetap mengikuti hukum agama sebagai pertimbangan pertama.