Anda di halaman 1dari 7

ETKA BISNIS

TUGAS 9
BAB 9 “MENGELOLA KERAGAMAN PADA ORGANISASI”
Dosen: Siti Al Fajar, Dra, M.Si.

Disusun Oleh Kelompok 9:


(35) Pipit Mega Marlia 30205
(36) Mercy Paterson 30211
(37) Kartika Chandra Dewi 30225
(38) Dandi Ario Wibowo 30230
Ilustrasi:

Misinterpretasi dalam Komunikasi Lintas Budaya


Misinterpretasi terjadi karena adanya perbedaan konteks budaya dalam proses komunikasi.
Dalam budaya yang sangat kontestual (high-context cultures), seperti China, Jepang, Vietnam,
atau Indonesia, hal-hal tidak terucap seperti Bahasa tubuh, status, kedudukan, atau reputasi
seseorang di dalam masyarakat dianggap lebih pentng dibandingkan yang diucapkan. Dengan
demikian, jawaban “ya” pada suatu perbincangan tidak selalu berarti setuju, tetapi disesuaikan
dengan Bahasa tubuh atau status orang yang berbicara. Budaya konteks tinggi ini menjunjung
kepercayaan (trust) antarpihak sehingga komunikasi lisan dianggap sebagai komtmen kuat
untuk membangun kepercayaan.
Hal ini sangat berbeda di negara-negara yang menganut budaya yang kurang kontekstual (low-
context cultures), seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman yang lebih banyak
mengandalkan kata-kata yang terucap dan tertulis, sedangkan Bahasa tubuh serta status
dianggap kurang penting. Dengan demikian, untuk setiap bentuk kerja sama, mereka akan
memuat kontrak tertulis dan setiap pihak yang terlibat wajib mematuhi ketentuan-ketentuan
yang berlaku di dalam kontrak. Umumnya, kontrak ditulis dengan Bahasa yang bersifat
langsung (directness), terstruktur, rinci, dan sesuai dengan aspek legalitas.
Untuk menghindari misinterpretasi, pimpinan atau manajer perusahaan perlu melakukan
beberapa hal berikut.
1. Berasumsi bahwa ada perberdaan antarpihak yang melakukan komunikasi.
Menganggap semua orang sama adalah suatu kesalahan besar karena pada dasarnya
setiap orang memiliki perbedaan, meskipun ada hal-hal tertentu yang sedikit
menunjukan kesamaan.
2. Menghindari evaluasi sebelum memiliki bukti yang cukup untuk melakukannya.
Interpretasi atau evaluasi hanya berdasarkan kata-kata yang dinyatakan pada awal
perbincangan dapat mengarahkan kepada pemahaman yang keliru karena adanya unsur
bias secara kultural (cultural bias). Oleh karena itu, mengumpulkan bukti serta waktu
yang ukup untuk menelaah perkataan seseorang adalah tindakan bijak yang sebaiknya
dilakukan oleh pimpinan atau manajer perusahaan.
3. Berempati. Berempati berarti menempatkan sudut pandang dari sisi orang lain, atau sisi
orang yang diajak berkomunikasi. Apa sajakah nilai-nilai, pengalaman, serta kerangka
berpikir (frames of references) orang tersebut? Sampai pada tingkat Pendidikan apakah
orang yang diajak berkomunikasi? Hal-hal ini sangat penting untuk diketahui pimpinan
atau manajer terutama yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan dirinya.
4. Menganggap umpan balik sebagai sesuatu yang perlu dibuktikan. Berkomunikasi lintas
budaya mengandung risiko kesalahan interpretasi sehingga pimpinan atau manajer
perlu melakukan pengecekan melalui rekan-rekan mereka yang lebih mengetahui
tentang konteks budaya orang atau negara lain.
Sumber: Robbins, S.P., Judge, T.A. 2010. Organizational Behavior. 14th ed. Pearson: 398-
399.
Analisis:
Menurut analisis dari kelompok kami berdasarkan ilustrasi diatas terdapat makna pentingnya
seseorang untuk memiliki sifat empati, evaluasi kebenaran suatu peristiwa dengan pembuktian
yang cukup, serta menghargai perbedaan antarpihak. Meskipun adanya perbedaan antara
negara-negara dengan low/high context cultures apabila seseorang dapat memahami langkah
baik serta yang tepat untuk dilakukan maka segala kesalahpahaman dalam menginterpretasi
suatu informasi bisa diminimalisir. Selain itu, low/high context cultures memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing sehingga setiap orang yang menganut salah satu budaya
tersebut harus mampu menyesuaikan diri ketika berada disuatu daerah dengan kultur yang
berbeda. Menyesuaikan diri bukanlah berarti seseorang tersebut harus menghapus budaya lama
nya, tetapi mampu menempatkan diri pada situasi-situasi tertentu dengan tepat. Sehingga hal
tersebut juga akan menumbuhkan sikap toleransi terhadap perbedaan budaya maka setiap orang
dengan latarbelakang yang berbeda dapat hidup berdampingan sesuai dengan kepercayaannya
terhadap suatu budaya maupun agama dimanapun mereka berada.
Oleh karena itu, ilustrasi diatas dapat dikatakan sesuai dengan teori hak asasi manusia (HAM)
yang berkaitan dengan kebebasan seseorang dalam menentukan apa yang baik bagi dirinya
serta menekankan perlunya sikap menghormati hak semua orang.
Refleksi:
1. Refleksi 9.1
Kekerasan yang terjadi di negara kita yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertenu
dengan mengatasnamakan agama dan suku berpotensi memecah belah persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Sebagai generasi muda, langkah konkret apakah yang akan
Saudara lakukan untuk mengatasi berbagai tindak kekerasan yang bernuansa SARA?
Jawab:
1. Berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa
Doa pada Tuhan sangat penting dalam kehidupan orang beriman. Melihat dari sila
pertama Pancasila saja sudah menyiratkan akan betapa berharganya campur tangan
Tuhan dalam hidup manusia. Satu hal yang harus kita ingat: di manapun kita
ditempatkan oleh Tuhan, kita harus selalu bersyukur atas hidup kita dan memuliakan
nama Tuhan selamanya.

2. Mengendalikan diri
Sebagai manusia biasa yang memiliki perasaan, ada kalanya kita tidak dapat
memendung suatu cobaan atau godaan dari makhluk ciptaan tuhan lain yang
mengundang kita untuk berbuat yang tidak baik. sebaiknya kita dapat mengendalikan
diri kita dari keinginan untuk berbuat yang tidak baik tersebut karena banyak
kerugiannya dari pada keuntungannya. Karena Tuhan maha mengetahui dan adil untuk
umat-Nya.

3. Tidak menyinggung/menyakiti hati orang lain.


Tidak mungkin ada asap apabila tidak ada api, apabila kita tidak ingin diperlakukan
tidak baik oleh orang lain maka kita terlebih dahulu tidak melakukan hal yang tidak
baik kepada orang lain. Memanggil atau menghardik orang dengan kata-kata yang
menyinggung SARA sangat besar dampaknya untuk memicu terjadinya konflik sara.

4. Hilangkan prasangka buruk kepada orang lain.


Berprasangka tidak baik kepada orang lain merupakan penyakit hati yang harus
dihilangkan. Walaupun sangkaan itu benar adanya, kita tetap tidak boleh berprasangka
buruk kepada orang lain terlebih lagi apabila prasangka kita itu tidak terbukti dan hanya
rekaan kita saja tanpa adanya bukti. Selain menjadikannya suatu jurang pemisah juga
dapat menjadi pemercik api perkelahian antara kita dengan orang lain.

5. Saling menghormati dan menghargai.


Jalan satu-satunya agar terjalin suatu hubungan yang harmonis dan menjadi jembatan
dari seluruh perbedaan yang ada ialah rasa saling menghormati dan menghargai
diantara sesama makhluk tuhan. Dengan cara ini kita merasa manjadi satu bagian yang
berharga diantara lainnya, dan merasa setara tanpa ada perbedaan.
6. Menjalin hubungan dengan melakukan kegiatan positif bersama-sama.
Suatu hubungan sosial berarti suatu interaksi dari beberapa makhluk sosial yang terjadi
di suatu lingkungan. Untuk memelihara suatu hubungan yang harmonis maka
diperlukan interaksi yang harmonis pula yaitu melakukan suatu kegiatan secara
bersama-sama yang melibatkan semua pihak yang dilakukan dengan bahagia.

7. Melakukan sosialisasi tentang upaya mewujudkan keharmonisan antar warga


masyarakat bersama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, sehingga dapat
dihasilkan kesamaan pandang tentang makna keharmonisan.

8. Melakukan kaji ulang terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang potensial menjadi
pemicu munculnya kondisi disharmonis di tengah-tengah masyarakat.

9. Melakukan berbagai aksi sosial dan keagamaan yang ditujukan untuk membangun dan
menumbuhkembangkan rasa solidaritas dan harmonitas antar umat beragama
(masyarakat).

10. Meminta dukungan dari berbagai kalangan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tidak
terkecuali tokoh agama dan tokoh masyarakat, terhadap setiap tindakan tegas yang akan
dilakukan guna mencegah kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan kelompok,
sehingga setiap tindak tegas tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM.

2. Refleksi 9.2
Munculnya kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual,
and Transgender) telah menimbulkan konflik, baik vertikal maupun horizontal dengan para
penentang LGBT di Indonesia. Masyarakat pun terbelah pendapatnya, antara yang pro
dengan yang kontra terhadap kehadiran LGBT. Menurut Saudara, bagaimanakah ra kita
meiasati kehadiran LGBT secara etis dan bermoral? Apa yang perlu kita lakukan secara
bersama untuk mengatasi konfiolik vertikal dan horizontal tersebut?
Jawab:
Sebelum menentukan sikap pro atau kontra, hendaknya kenali dulu apa yang dimaksud
LGBT, apa yang sesungguhnya terjadi pada individu dengan LGBT, dsb. LGBT singkatan
dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender.
Dalam dunia psikiatri, lesbian dan gay disebut homoseksual. Orang-orang dengan
homoseksual dan biseksual disebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Menurut
Undang-Undang tersebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat
ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan
perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan
jiwa.
Istilah transgender dalam PPDGJ III dikenal istilah transeksualisme. Berdasar gejala-gejala
dan definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, transeksualisme dapat
digolongkan dalam Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Undang-undang di atas menunjukkan kepada kita bahwa kita perlu menyikapi suatu
permasalah dengan melihat berbagai sisi. Menolak lesbian, gay, dan biseksual dalam
berbagai aspek tentu tidak benar. Dari sisi kesehatan, kita perlu memberikan layanan
kesehatan mental bagi mereka.
Dari sisi kesehatan mental, tampak bahwa individu dengan masalah LGBT berhak
dilindungi dan memiliki kehidupan yang layak, sama seperti kita. Kita tidak bisa bertindak
semena-mena. Tindakan kita pun diatur oleh Undang-undang Pasal 86 menyatakan bahwa
setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan
dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau
kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi
ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menyikapi LGBT :

• Pendekatan persuasif
• Sentuh aspek afektif, kognitif, dan konatifnya
• Perjelas detil apa yang kita khawatirkan

3. Refleksi 9.3
Dalam UU Perkawinan telah disebutkan bahwa pasangan yang hendak menikah harus
memiliki keyakinan (agama) yang sama. Dalam lingkungan global saat ini, hubungan
antarmanua sering berlangsung lintas keyakinan, lintas suk, bahkan lintas negara. Jika
Saudara memiliki pasangan dan hendak menikah, tetapi dengan keyakinan masing-masing
yang berbeda, apa yang akan Saudara lakukan untuk menghadapi hal ini? Bagaimanakah
tanggapan saudara tentang wacara UU Perkawinan Campur di Indonesia?
Jawab:
UU No 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang Perkawinan menyatakan “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”.
Terdapat dua pandangan terhadap kasus pernikahan beda keyakinan, baik dalam segi
agama maupun segi hokum. Dalam pandangan agama, hampir semua agama tidak
memperbolehkan pernikah beda keyakinan.
Dalam islam, pernikahan beda keyakinan merupakan suatu larangan, hal ini terdapat dalam
potongan ayat QS. Al-Baqarah:221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu...”
Dalam Kristen, pernikahan beda keyakinan juga dilarang. Larangan tersebut dapat kita
temukan dalam ayat Alkitab tentang pernikahan Kristen di Perjanjian Baru, yaitu di 2
Korintus 6:14
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang
tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
Dalam agama lain seperti Hindu, Budha, dan Konghucu mengharuskan kedua mempelai
menganut keyakinan yang sama agar dapat diakui secara agama karena pernikahan
dianggap sesuatu yang sangat penting dan sakral.
Dari segi hukum di Indonesia, belum ada hukum yang mengatur secara khusus tentang
perkawinan beda agama sehingga ada kekosongan hukum bagi pasangan beda agama yang
akan menikah sesuai hukum negara Indonesia. Dalam hal mengenai sahnya perkawinan
adalah perkawinan yang dilakukan sesuai sesuai agama dan kepercayaan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada
ajaran dari agama masing-masing.
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama
di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof. Wahyono
Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama
agar pernikahannya dapat dilangsungkan.
Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. Meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.
4. Menikah di luar negeri.

Untuk pernikahan beda agama, secara hukum bisa saja tercatat resmi atau sah, namun dari
segi agama tidak menganjurkan untuk melakukan pernikahan beda agama.

Jika saya memiliki pasangan yang berbeda agama dan hendak menikah maka saya akan
tetap mengikuti ajaran agama terlebih dahulu yang memerintahkan kita untuk menikah
dengan pasangan yang berkeyakinan sama dengan kita. Maka, akan ada penundukan pada
salah satu hukum agama. Tentang wacana UU Perkawinan Campur di Indonesia, jika
disahkan saya tetap mengikuti hukum agama sebagai pertimbangan pertama.

Anda mungkin juga menyukai