Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN MODUL IMUNODEFISIENSI

BLOK IMUNOLOGI

Kelompok 6 :

Farkhan Reza Sulaeman (2014730029)

Mulky Maurival (2014730065)

Amalia Grahani Prasetyo (2014730006)

Ravena Maharawarman (2014730081)

Masithoh Nur Baiti (2014730054)

Larasantang Has Nuroh (2014730049)

Feby Gethia Anggreini (2014730030)

Khilda Zakiyyah Sa’adah (2014730037)

Agus Jamjam Maulana (2011730119)

Tutor:

dr. Amir Syafruddin, M.Med.Ed

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya pada kelompok kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
PBL (Problem Based Learning) Modul-3 Imunodefisiensi Blok Imunologi ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga
serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Laporan ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang wajib dilakukan
setelah selesai membahas kasus PBL. Pembuatan laporan ini pun bertujuan agar kita bisa
mengetahui serta memahami konsep dasar imunodefisiensi. Terimakasih kami ucapkan
kepada tutor kami dr.Amir Syafruddin, M.Med.Ed yang telah membantu kami dalam
kelancaran pembuatan laporan ini. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam mencari informasi, mengumpulkan data, dan menyelesaikan laporan
ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami pada khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya.
Laporan kami bukanlah laporan yang sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.

Jakarta, Juni 2015

Kelompok 6

[Type text] Page 1


DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1

Daftar Isi 2

Bab I Pendahuluan 3

Latar Belakang 3

Tujuan Pembelajaran 3

Sasaran Pembelajaran 3

Bab II Pembahasan 4

Skenario 4

Kata Sulit 4

Kata Kunci 4

Pertanyaan 4

Bab III Analisis Masalah 5

Daftar Pustaka30

[Type text] Page 2


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hal yang melatarbelakangi pembuatan laporan ini adalah untuk memenuhi dan
melengkapi tugas kelompok yang harus dipenuhi.

2. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
reaksi Imunodefisiensi, mekanisme Imunodefisiensi serta dapat mengetahui tentang
penyakit-penyakitt yang timbul akibat Imunodefisiensi, serta penatalaksanaanya.

3. Sasaran Pembelajaran
Untuk menganalisis penyebab-penyebab yang timbul pada penyakit yang ada di
skenario. Dan juga menganalisis beberapa penyakit yang diakibatkan
Imunnodefisiensi.

[Type text] Page 3


BAB II

PEMBAHASAN

1. Skenario

Seorang laki-laki umur 32 tahun datang ke Puskesmas karena merasa badannya


menjadi kurus sejak 2 tahun terakhir. Sering mencret, batuk tidak berdahak, dan
banyak berkeringat di malam hari. Mencret biasanya sampai selama dua minggu,
sembuh sebentar, kemudian mencret lagi. Susah makan, sering merasa lemas tak
bertenaga. Di mulut dan di lidah terdapat bercak putih. Beberapa tahun yang lalu
pernah memakai narkoba suntik, sekarang sudah berhenti. Pasien sudah berkeluarga
dan punya dua orang anak.

2. Kata Sulit
- Tidak Ada

3. Kata Kunci
- Badannya kurus 2 tahun terakhir
- Sering mencret, hilang timbul
- Banyak berkeringat di malam hari
- Terdapat bercak putih di mulut dan lidah
- Pernah memakai narkoba suntik, tetapi sudah berhenti
4. Pertanyaan
1. Apa yang menyebabkan pasien menjadi kurus 2 tahun terakhir?
2. Kenapa pasien mengalami susah makan?
3. Apa yang menyebabkan mencret?
4. Kenapa pada skenario mencretnya hilang timbul?
5. Kenapa keringat hanya timbul pada malam hari?
6. Bagaimana gambaran bercak putih dan apa penyebabnya?
7. Apakah bercak putih yang dialami pada skenario bisa tertular pada
keluarganya?
8. Apa akibat terkait penggunaan narkoba suntik terkait dengan skenario?
9. Apa DD dari skenario tersebut?
10. Bagaimana epidemiologi dari DD tersebut?
11. Apa saja pemeriksaan yang terkait DD tersebut?
12. Bagaimana penatalaksanaan dari DD tersebut?
13. Bagaimana pencegahan dari DD tersebut?
14. Bagaimana prognosis dari DD tersebut?

[Type text] Page 4


BAB III

ANALISIS MASALAH

PENURUNAN BERAT BADAN

Penurunan berat badan merupakan salah satu komplikasi yang meresahkan bagi pasien HIV
lama. Biasanya pasien akan mengalami penurunan masaa otot, dengan banyak atau sedikit
mengalami penurunan massa lemak. Penurunan berat badan pada HIV sendiri memilliki
dampak dari berbagai faktor.

Pasien AIDS sering mengalami anoreksia, mual, muntah, yang ketiganya mempengaruhi
pada penurunan berat badan dengan berkurangnya asupan kalori. Dalam berbagai kasus, ini
merupakan gejala sekunder infeksi tertentu seperti virus hepatitis.

Pada kasus lain, bagaimana pun, evaluasi pada gejala menunjukan tidak adanya pathogen
spesifik, dan hal ini diasumsikan karena merupakan efek utama dari HIV.

Malabsorbsi juga berperan pada penurunan asupan kalori. Pasien mungkin mengalami diare
dari infeksi dengan bakteri, virus, atau agen parasite. Banyak pasien AIDS memiliki
peningkatan metabolism meningkat, terbukti dengan cepatnya perkembangan penyakit dan
infeksi sekunder.

Pasien AIDS dengan infeksi sekunder, infeksi ini menurunkan sintesis protein yang
mengakibatkan kesulitan pada untuk mempertahankan massa otot.

Beberapa cara telah dikembangkan untuk memperlambat penurunan berat badan pada AIDS.
Kendali demam efektif menurunkan tingkat metabolisme dan dapat memperlambat laju
penurunan berat badan, seperti halnya mengobati infeksi oportunistik, suplemen makanan,
dengan minuman beralkohol tinggi dapat memungkinkan untuk pasien dengan nafsu makan
menurun untuk menjaga asupan mereka.

Pasien dengan status fungsional dinyatakan baik dan berat badan turun akibat mual tak henti
– hentinya, muntah atau diare dapat dinilai dari nutrisi parenteral total (TPN). TPN diduga
dapat meningkatkan cadangan lemak dari pada mengembalikan proses pengecilan otot.

Dua pendekatan farmakologis untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan adalah
progestional agen magesterol alami (80 mg per oral empat kali per hari), dan agen antiemetik
dronabinol (2,5-5 per oral tiga kali per hari). Efek samping magesterol asetat jarang terjadi,
tetapi fenomena tromboemboli, edema, mual, muntah dan ruam telah dilaporkan. Ekhporia,
pusing, paranoia, dan mengantuk bahkan mual dan muntah telah dilaporkan 3 – 10 % dari
pasien yang menggunakan dronabinol.

[Type text] Page 5


Dua regimen yang telah mengakibatkan peningkatan massa tubuh adalah hormone
pertumbuhan dan steroid anabolic. Hormone pertumbuhan dengan dosis 0,1 mg per hari
(sampai dengan 6 mg) subkutan selama 12 minggu telah menghasilkan kenaikan pada massa
tubuh. Steroid anabolic juga dapat meningkatkan massa tubuh tanpa lemak diantara pasien
yang HIV.

Mual

Mual menyebabkan penurunan berat badan, terkadang disebabkan oleh kandidiasis esophagus
pada pasien kandidiasis oral dan mual harus diobati secara empiris diobati dengan anti jamur.

Pasien dengan penurunan berat badan karena mual dapat diatasi dengan penggunaan
antiemetik
sebelum makan (proklorperazin, 10 mg tiga kali sehari; metoclopramide, 10 mg tiga kali
sehari; atau ondansetron, 8 mg tiga kali sehari). Dronabinol (5 mg tiga kali harian) juga dapat
digunakan untuk menambah nafsu makan. Depresi dan insufisiensi adrenal adalah dua
berpotensi dapat diobati penyebab penurunan berat badan.

Referensi :

Andrew R. Zolopa, MD, Mitchell H. Katz, MD. 2013. Current Medical Diagnosis and
Treatment. 52nd Edition. Page : 1325

[Type text] Page 6


MENCRET

Mencret adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air
saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes
RI 2011).

Penyebab Mencret
 Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit.
 Alergi terhadap makanan atau obat tertentu.
 Kelebihan vitamin C dan biasanya disertai sakit perut, dan seringkali mual dan muntah
 Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain seperti: Campak, Infeksi
telinga, Infeksi tenggorokan, Malaria, dll.
 Pemanis buatan

Secara Umum Terjadinya Mencret


Di dalam usus besar terjadi penyerapan air dan elektrolit. Diare kebanyakan disebabkan oleh
beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali akibat dari racun bakteria. Pada waktu ada
bakteri atau racun yang masuk bersama makanan, maka usus besar akan mensekresi air ke
lumen usus sehingga terjadi pengenceran. Dalam sigmoid akan memberi distensi walaupun
jumlah feses hanya sedikit sehingga akan masuk ke rectum dan menimbulkan rangsang
defekasi. 

Mekanisme  Mencret
bakteri atau toksin (racun) masuk → Intestinum Crassum → Intestinum Crassum yang
semula mengabsorbsi air dan mineral berubah menjadi mensekresi air untuk mengencerkan
kadar toksin yang ada dalam usus besar →feces menjadi cair → colon
sigmoid → recktum → menyentuh Musculus Sphingterani Internus dan merangsang
terjadinya defekasi. Namun Musculus Sphingterani Eksternus masih dapat menahan sehingga
kita dapat menentukan kapan kita akan buang air besar. Dan ini terjadi terus menerus sampai
toksin dalam Intestinum Crassum habis.

Gejala Penyakit Mencret


Gejala yang biasanya ditemukan adalah buang air besar terus menerus disertai mual dan
muntah. Tetapi gejala lainnya yang dapat timbul antara lain pegal pada pungung, dan perut
berbunyi.

[Type text] Page 7


KERINGAT PADA MALAM HARI

Pada skenario terdapat gejala keringat pada malam hari, batuk tidak berdahak,
mencret, dan penurunan berat badan. Sesuai dengan gejala yang ada, pasien tersebut bisa jadi
menderita AIDS yang disertai dengan TB peritoneal. Seperti yang kita tahu, gejala dari TB
adalah, adanya keringat pada malam hari. Jadi, kenapa bisa terjadi keringat di malam hari,
merupakan gejala dari TB peritoneal tersebut.

Adapun mekanisme dari keringat di malam hari sebagai berikut, Mekanismenya


terjadi saat kuman TB masuk ke dalam tubuh. Lalu sistem imun tubuh akan merespon dengan
memanggil makrofag yang ada pada peredaran darah untuk menuju ke sumber infeksi. Di
tempat itu, makrofag akan mengelilingi kuman dan memfagositnya. Dari makrofag-makrofag
yang telah menghancurkan kuman TB itu akan lisis sehingga keluarlah TNF-α dan mediator-
mediator inflamasi lainnya. TNF-α ini akan beredar di dalam darah dan menuju ke
hipotalamus untuk mengubah set point tubuh sehingga tubuh menjadi demam. Karena set
point tubuh meningkat, maka tubuh akan mengkompensasinya dengan menggigil untuk
menyamakan suhu tubuh dengan set point. Pada infeksi kuman TB, set point yang meninggi
hanya beberapa waktu saja dan berlangsung sebentar. Saat set point kembali turun, maka
tubuh yang telah meninggikan suhunya harus mengkompesnsasinya lagi. Caranya adalah
dengan mengeluarkan panas tubuh melalui keringat. Namun, ada beberapa sumber lain yang
mengatakan bahwa berkeringat malam hari pada infeksi TB dikarenakan toksik yang
dikeluarkan oleh kuman TB membuat kelenjar sebasea tubuh menjadi hiperekskresi.

Tapi ada infeksi lain juga dapat menyebabkan keringat malam seperti endocarditis (infeksi katup
jantung), osteomyelitis (infeksi dalam tulang), atau terjadi abses (bisul bernanah) pada kulit. Infeksi
HIV Juga dapat menimbulkan keringat malam

Referensi:

Ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi VI

Jurnal TBC pada AIDS FK TARUMANEGARA

[Type text] Page 8


GAMBARAN BERCAK PUTIH

Kandidiasis pseudomembran akut Disebut juga Oral thrush, kandidiasis pseudomembran


akut. Tampak plak / pseudomembran, putih seperti sari susu, mengenai mukosa bukal, lidah
dan permukaan oral lainnya. Pseudomembran tersebut terdiri atas kumpulan hifa dan sel ragi,
sel radang, bakteri, sel epitel, debris makanan dan jaringan nekrotik. Bila plak diangkat
tampak dasar mukosa eritematosa atau mungkin berdarah dan terasa nyeri sekali

Penyebab terjadinya bercak putih

Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi oportunistik umum pada
rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari spesies Candida.
Penyakit ini kerap terjadi pada pasien HIV/AIDS yang jumlah CD4+ dibawah 200sel/mm3

 Segera setelah virus masuk ke aliran darah kita, HIV mulai replikasi secara cepat, dan viral


load meloncat tajam (garis merah). Oleh karena itu, banyak sel CD4 dihancurkan, dan jumlah
sel CD4 turun drastis 

Tes viral load adalah tes untuk mengukur seberapa banyak virus hiv dalam darah.

Apakah bercak putih pada mulut bisa ditularkan kepada keluarga?

Bercak putih akibat candidiasis ini tidak hanya terjadi pada oral,namun bisa terjadi pada
kulit,vagina Cara Penularan melalui kontak sekret atau ekskret dari mulut, kulit, vagina dan
tinja, dari penderita ataupun “carrier”, atau tertulari melalui jalan lahir pada saat bayi
dilahirkan, penularan endogen

Jadi bercak putih ini bisa ditularkan ke siapapun termasuk keluarga.

Referensi:

Buku Ajar Penyakit Dalam hlm 755

Imunologi UI 504-505

[Type text] Page 9


PENGGUNAAN NARKOBA SUNTIK

• Infeksi HIV menyebar secara mudah bila orang memakai alat suntik secara bergantian
dalam penggunaan narkoba. Penggunaan alat bergantian juga menularkan berbagai
virus.

• Darah yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan bersama
dengan narkoba saat pengguna berikut memakai semprit tersebut. Ini adalah cara
termudah untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi langsung dimasukkan
pada aliran darah orang lain.

AKIBAT PENGGUNAAN NARKOBA SUNTIK

Jasmani

• Gangguan pada jantung

• Gangguan pada otak

• Gangguan pada tulang

• Gangguan pada pembuluh darah

• Gangguan pada sistem syaraf

• Gangguan pada paru-paru

• Gangguan pada sistem pencernaan

• Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes,
TBC, dll.

Mental/Kejiwaan

1. Menyebabkan depresi mental.

2. Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.

3. Menyebabkan bunuh diri

4. Menyebabkan melakukan tindak kejehatan, kekerasan dan pengrusakan.

[Type text] Page 10


DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

Kandidiasis OrofarIngeal

Pendahuluan

Kandida merupakan spesies jamur yg paling sering menyebabkan infeksi. Spektrum infeksi
candida sangat luas mulai dari yang bersifat tidak fatal dan hanya mengenai mukokutaneus
hingga yang bersifat invasive dan menginfiltrasi organ dalam. Didaerah tropis sebagian besar
infeksi karena candida bersifat superfisial yaitu mengenai kulit,rongga mulut dan vagina.
Patogen utama adalah Candida albicans (C. albicans)

Definisi

Infeksi jamur yang disebabkan oleh spesies Kandida disebut kandidiasis atau kandidosis.

Epidimiologi

Secara komensal candida merupakan flora di rongga mulut, traktus gastrointestinal, dan
vagina. Prevalensi karier bervariasi, sekitar 15-60% diidentifikasi pada individu normal di
dalam mulutnya. Penelitian yang dilakukan pada pasien HIV tanpa gejala infeksi candida
memperlihatkan angka kajadian kolonisasi sekitar 50% dengan sebaran CD4 dibawah dan
diatas 200 cell/uL. RSCM melaporkan sekitar 1% kasus BSI akibat candida pada tahun 2010
Dalam kurun waktu 20-25 tahun terakhir ini,tercatat peningkatan infeksi akibat candida.
Infeksi terjadi tidak hanya pada kondisi pasien imunokompromis akan tetapi juga pada pasien
imunokompeten akibat perawatan lama di RS.

Patogenesis

Kandidiasis superfisialis

Candida albicans merupakan flora normal di rongga mulut. Dapat bertahan hidup karena
berbagai factor, diantaranya kemampuan untuk menempel di sel mukosa dan berkompetensi
dengan bakteri komensal lainnya. Faktor factor yang menggangu keseimbangan tersebut akan
meningkatkan pertumbuhan jamur atau meningkatkan kemampuan invasi bakteri, misalnya
penggynaan antibiotic yang mengeliminasi flora komensal lain di rongga mulut dan usus,
sehingga mengakibatkan invasi candida. Depresi limfosit sel T atau neutrophil menyebabkan
organisme tumbuh dan menyerang inhibisi mekanisme control normal.

Gejala dan Tanda

Infeksi oral oleh Candida dapat ditemukan di semua Negara. Infeksi ini sering ditemukan
pada anak anak ,usia lanjut dan pasien dengan sistem imun yang tidak adekuat; termasuk
pada pasien AIDS. Sebagai komplikasi pada infeksi HIV, timbulnya infeeksi kandidiasis
orofaringeal sangat umum ditemukan dan merupakan menifestasi awal perkembangan AIDS.
Terdapat beberapa perbedaan dari tipe klinis kandidiasis orofaringeal. Hal ini dapat secara
luas dikenali dari kronisitas dan gambaran klinis. Kandidiasis pseudomembran muncul
dengan plak putih pada epitel yang terinfeksi dan dapat lepas dengan mudah. Bercak putih ini

[Type text] Page 11


dinamakan thrush. Secara histologis dapat ditemukan epitel yang atipiik dan beberapa pasien
dapat berkembang menjadi karsinoma oral. Pada beberapa pasien infeksi kronik Kandidiasis
oral, gambarannya dapat berubah menjadi benjol benjol (Kandidiasis kronik nodular)
Perubahan perubahan di atas, dapat muncul bersamaan dengan angular cheilitis, yaitu sudut
bibir yang kering dan pecah pecah yang dikaitkan karena infeksi candida.

Pada kebanyakan pasien, focus infeksi terdapat pada mukosa bukal, tetapi pada infeksi berat
dapat mengenai lidah,faring, dan esophagus . Kandidiasis esophageal dapat banyak dilihat
pada pasien dengan AIDS, leukemia atau kandidiasis mukoutan kronik. Kandidiasis
esophageal dapat muncul dengan nyeri retrosternal sewaktu menelan dan kadang juga tanpa
gejala.

Komplikasi

1. Rekurens atau infeksi berulang kandida pada kulit

2. Infeksi pada kuku yang mungkin berubah menjadi bentuk yang aneh dan mungkin
menginfeksi daerah di sekitar kuku

3. Disseminated candidiasis yang mungkin terjadi pada tubuh yangimmunocompromised.

Acquired Immune Deficiency Syndrome

Epidimiologi

Perkiraan distribusi kasus AIDS diseluruh dunia per Desember 2005 yaitu sekitar 40,3 juta
penduduk dunia hidup dgn AIDS. Terbanyak dari mereka hidup di Sahara, Afrika, dan Asia
Tenggara. Di Amerika Utara, dan Eropa Barat sekitar 75% dari mereka yang terkena adalah
pria, sedang di Sub- Sahara Afrika sekitar 57% adalah wanita.

ETIOLOGI AIDS.

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
lmmunodeficiency Virus (HIV) .Virus ini pertama kali diisolasi oleh Hontagnier dan kawan-
kawan di Francis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),

[Type text] Page 12


sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi virus yang sama dengan
nama Human T. Lymphotropic Virus I (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasioanl
pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Human lmmulodeficiency virus adalah
sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikal yang inert, tidak
dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama
sel Lymfosit karenanya mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam
sel lymfosit virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain dapat tetap hidup lama
dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV
selalu dianggap , infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat di tularkan selama hidup
penderita tersebut. Secara mortologis HIV tediri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core)
dan bagian selubung (envelope). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic acid). enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan
reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas,
bahan kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti
air mendidihkan sinar matahari dan sudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan
sinar ultraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati
diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosjt, makrofag, dan sel gelia jaringan
otak. Retrovirus lain yang juga menyebabkan sindrome menurunnya sistem kekebalan tubuh
seperti yang disebabkan oleh HIV (HIV-I) telah diisolasi dari penderita dengan gejala seperti
AIDS di Afrika barat oleh Montagnier dan kawan- kawan yang kemudian dinamakan HIV-2
virus HIV-2 mempunyai perbedaan dengan HIV-I, baik genetik maupun antigenetik.

PATOGENESIS AIDS.

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis Lymfosit T helper/inducer yang
mengandung marker CD4 (sel T4) . Lymfosit merupakan pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi - fungsi imunologik.
Kelainan selektif pada satu ,jenis sel menyebabkan kelainan selektif pada satu jenis sel.
Human Immunodeficiency Virus mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena
molekul CD4 yang terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi
untuk virus ini. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam target
dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah
bentuk RNAnya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi
oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda
dengan virus lain, virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama. Jarak dari masuknya
virus ketubuh sampai terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh vius
HIV menyebabkan fungsi sistem kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan
tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri protozoa dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara lansung menginfeksi sel-
sel syaraf menyebabkan kerusakan neurologis.

[Type text] Page 13


Komplikasi

1. Komplikasi pada mata  Infeksi okular, yaitu uveitis, keratitis, neuritis optik,
konjungtivitis, atrofi optik dan korioretinitis. Kelainan mata yang terbanyak adalah uveitis
(inflamasi intraokular) yang dapat terjadi pada semua stadium dan dapat sembuh spontan,
namun angka kekambuhannya tinggi bila sifilis tidak diobati
2. Komplikasi neurologi  Komplikasi ini dapat mengenai susunan saraf tepi dan
susunan saraf pusat. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi
sebagai demensia terkait HIV (7% dari penderita) dengan gejala seperti gangguan kognitif,
motorik, dan gangguan perilaku
3. Kandidiasis (infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur Candida albicans)
4. Kriptokokosis (Kriptokokosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur
Cryptococcus neoformans, infeksi ini secara luas ditemukan di dunia dan umumya dialami
oleh penderita dengan sistem imun yang rendah) ekstraparu
5. Herpes simplek : ulkus kronik (>1 bulan)
6. Ensefalitis toxoplasma Umumnya disebarkan melalui kotoran kucing dan dapat
menyebar ke hewan lainnya. Virus ini dapat menyebabkan kematian.
7. Diare
8. Tb Umum dikenal dengan tuberculosis, adalah penyakit umum yang diderita
penderita Aids dan dapat mematikan. hampir semua penderita HIV/Aids, juga menderita Tb.
9. Kaposi’s sarcoma . Adalah tumor pada dinding pembuluh darah. Gejalanya adalah
kemerahan pada kulit dan mulut. Penyakit jenis ini sangat jarang mengenai mereka yang
bukan penderita HIV.
10. Lymphomas. Kanker ini terjadi pada sel darah putih, umumnya bermula pada kelenjar
getah bening. Gejala awalnya adalah bengkak dan nyeri pada kelenjar getah bening (leher,
ketiak dan pangkal paha).

Tuberculosis Peritoneal

Epidimiologi

Tuberkulosis Peritoneal ditemukan pada 2% dari seluruh tb paru dan 59,8% dari tuberculosis
abdominal. Pada saat ini dilaporkan kasus tuberkulosis peritoneal di negara maju semakin
meningkat sesuai dengan meningkatnya insidensi AIDSnya. Di Asia dan Afrika TB
peritoneal masih merupakan masalah penting.

Etiologi

Merupakan suatu peradangan peritonium parietal atau viseral yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis . Penyakit ini jarang berdiri sendiri biasanya merupakan
kelanjutan proses tuberkulosis di paru.

Patogenesis

[Type text] Page 14


1. Dapat dikenai oleh tuberculosis dengan beberapa cara :
2. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru paru
3. Melalui dinding usus yang terinfeksi
4. Dari kelenjar limfe mesenterium
5. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberculosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran
perikontinuitatum, tetapi sering karena rektifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum
yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu.

Komplikasi

Perlengketan usus yang dapat menyebabkan usus menjadi tersumbat.

REFERENSI:

1. Baratawidjaja G Karnen, Imunologi Dasar, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Edisi ke 11, 2014 Hal. 329
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta; 2006
3. repository.unhas.ac.id
4. http://repository.usu.ac.id/

PEMERIKSAAN TERKAIT DD di SKENARIO

A. HIV

pemeriksaan laboratorium unuk mengetahui secaara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV
sangatlah penting karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah
bertahun-tahun lamanya.

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV.
Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksan serologic. Untuk mendeteksi adanya
antibody terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi
adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus,deteksi
antigen, dan detteksi materi genetic dalam darah pasien.

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibody HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme linked immunosorbent essay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalah ELISA.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibody HIV ini yaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai timbulnya

[Type text] Page 15


antibody yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibody terbentuk pada 4-8 minggu
seteleh infeksi. Jadi masa masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah
terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negative. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya
risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.

Wordl health organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi
pemeriksaan antibody terhadap HIV dibawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan
keadaan populasi dan keadaan pasien.

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya. Strategi I hanya dilakukan 1, hanya dilakukan 1
kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif maka dianggap sebgai kasus terinfeksi HIV
dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai
untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi.

Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan perama


memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif maka
dilaporkan hasil tesnya negative. Pemeriksaan pertama menggunakan reagenisia dengan
sesnsitvitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta
berbeda jenis antigen atau tekniknya dan yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil
tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate. Strategi III menggunakan 3 kali
pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua dan ketiga reaktif maka dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak
sama, misalnya hasi tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga nonreaktif maka keadaan ini
isebut sebgai equivocal atau inderterminate bila pasien yang di periksa memiliki riwayat
pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang
disebut sebelumnya terjai pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadapa HIV atau tidak
berisiko tertular HIV. Maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non reaktif. Perlu
diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal
antigen atau tekniknya serta memiliki spesifitas yang lebih tinggi.

Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling
sering dipakai saat ini adalah tehnik western Blot (WB)

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling prates . hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-
jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS.

Sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima
apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak dierlukan konseling pra tes Karenna
orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya.

Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif
maupun negative. Jika hasilnya posiif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjangan masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negative

[Type text] Page 16


konseling tetap perlu dilakukan untuk memeberikan informasi bagaimana mempertahankan
perilaku yang tidak berisiko.

pemeriksaan laboratorium

terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Yang
pertama, enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) bereaksi terhadap adanya antibody
dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibody virus
dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang
besar maka hasil uji ELISA yang positif diulang dan apabila keduanya positif maka
dilakukan uji lebih spesifik, wastern blot. Uji western blot juga di konfirmasi dua kali. Uji ini
lebih kecil kemungkinanya memberi hasil positif-palsu atau negative-palsu. Juga dapat terjadi
hasil uji yang tidak konklusif, misalnya saat ELISA atau Western blot bereaksi lemah dan
agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV pada infeksi yang sedang
berkembang (sampai semua pita penting pada uji western blot tersedia lengkap) atau pada
reaktivitas silang dengan titer retrovirus tinggi lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah
konfirmasi, pasien dikatakan seropositive HIV. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan klinis
dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dimulai usaha-usaha untuk
mengendalikan infeksi.

HIV dapat dideteksi dengan uji lain yaitu dapat mendeteksi antibody. Prosedur ini mencakup
biakan virus, pengukuran antigen p24 dan pengukuran DNA dan RNA HIV menggunakan
reaksi berantai polymerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma. 

Di seluruh dunia, sejak tahun 1981  pasien terinfeksi HIV yang meninggal karena mencapai
stadium AIDS berjumlah sekitar 25 000 000 orang. Di Indonesia, pada triwulan I tahun 2012
tercatat 5 991 kasus  baru terinfeksi HIVdan 551 orang penderita AIDS.
Infeksi HIV ditularkan melalui kontak seksual, transfusi darah, secara transplasental dari ibu
ke anak, penggunaan narkotika intra vena dan termasuk golongan retrovirus yang dapat
menyerang sistem kekebalan, dan mampu merangsang  pembentukan antibodi sehingga
dalam tubuh penderita HIV selain ada antigen yang merupakan bagian virus juga terbentuk
antibodi terhadap virus HIV.
Sebagai reaksi terhadap infeksi, tubuh membentuk antibodi yang dapat ditemukan dalam
cairan tubuh seperti darah. Hal tersebut dapat dipergunakan untuk diagnosis  penyakit infeksi.
Diagnosis infeksi HIV dapat dilakukan dengan deteksi antibodi. Antibodi yang paling banyak
ditemukan adalah antibodi anti HIV-1. Antibodi akan sebelum periode itu antibodi belum
dapat dideteksi, namun pasien dapat menularkan virus ke orang lain. Periode tanpa antibodi
tersebut dinamakan periode jendela. Dengan menggunakan uji (EIA) generasi ketiga periode
jendela dapat dipersingkat menjadi tiga minggu.Hasil pemeriksaan serologi pada HIV yang
tinggi akan memberikan hasil positif  pada orang terinfeksi HIV namun dapat memberikan
hasil positif palsu, sedangkan tinggi akan memberikan hasil negatif pada orang yang tidak
terinfeksi HIV dan hanya sedikit memberikan hasil positif palsu.

Pemeriksaan serologi untuk diagnosis

[Type text] Page 17


Pemeriksaan serologi yang digunakan untuk diagnosis HIV adalah deteksi antibodi.
Pemeriksaan tersebut terdiri atas pemeriksaan penyaring dengan metode ELISA dan
sedangkan metode (WB) digunakan untuk memastikan hasil pemeriksaan penyaring.Untuk
diagnosis infeksi HIV,  (WHO) menetapkan tiga strategi.
, bahan klinik yang diperiksa menggunakan satu jenis pemeriksaan yang bahan klinik yang
reaktif dinyatakan positif sedangkan yang tidak reaktif dinyatakan negatif. Hasil pemeriksaan
strategi I tidak  boleh dipakai untuk menegakkan diagnosis HIV akibat transfusi atau
transplantasi, semua bahan klinik diperiksa menggunakan dua  jenis pemeriksaan.
Pemeriksaaan pertama harus lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan kedua, memakai
antigen atau prinsip reaksi berbeda dari  pemeriksaan pertama. Bila pada pemeriksaan
pertama hasilnya tidak reaktif dinyatakan hasilnya negatif, tetapi jika pemeriksaan  pertama
reaktif dan pemeriksaan kedua  juga reaktif maka dinyatakan hasil  pemeriksaan positif HIV.
Sebaliknya bila  pemeriksaan pertama reaktif sedangkan  pemeriksaan kedua tidak reaktif,
harus diperiksa ulang. Bila hasilnya tetap sama dinyatakan. Tetapi bila pada  pemeriksaan
ulang, didapatkan pemeriksan  pertama tidak reaktif dan pemeriksaan kedua  juga tidak
reaktif maka hasilnya dinyatakan HIV negatif.

semua bahan klinik diperiksa menggunakan tiga jenis metode pemeriksaan. Pemeriksaan
pertama harus lebih sensitif, dan pemeriksaan kedua harus menggunakan antigen atau prinsip
pemeriksaan yang  berbeda dari yang pertama. Pemeriksaaan yang ketiga harus menggunakan
antigen atau prinsip pemeriksaan yang berbeda dari pertama dan kedua. Jika pemeriksaan
pertama tidak reaktif hasil dinyatakan negatif. Tetapi bila pemeriksaan pertama, kedua dan
ketiga reaktif hasil dinyatakan  positif. Sebaliknya jika pada pemeriksaan  pertama reaktif,
pemeriksaan kedua reaktif dan pemeriksaan ke tiga tidak reaktif, atau  pemeriksaan pertama
reaktif, pemeriksaan ke dua tidak reaktif dan pemeriksaan ketiga reaktif maka dinyatakan.

Pemeriksaan (EIA) adalah jenis pemeriksaan penyaring yang efektif dan banyak dipakai untuk
mendeteksi antibodi anti HIV karena mempunyai Sebagai bahan  pemeriksaan dipakai darah,
cairan rongga mulut, atau urin. Umumnya metode EIA mendeteksi antibodi terhadap protein
p6 dan gp 41 yang merupakan bagian virus HIV.

Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan nilai yang didapat saat pemeriksaan ELISA
dilakukan.Bila nilai sampel lebih kecil dari nilai dianggap non reaktif, tetapi bila nilai sampel
lebih besar dari nilai pemeriksaan diulang kembali (induplikat) dengan memakai sampel yang
baru. Jika hasil  pemeriksaan ulangan tersebut lebih besar dari nilai berarti hasil pemeriksaan
reaktif terhadap HIV. Bila nilai sampel mendekati nilai pemeriksaan ulang dilakukan 2-4
minggu kemudian, karena diharapkan dalam periode tersebut antibodi yang terbentuk sudah
dapat dideteksi.

 Hasil negatif palsu dapat terjadi karena rendahnya titer antibodi atau akibat terapi
immunosupresi. Hasil positif palsu dapat terjadi karena kesalahan teknik pemeriksaan
(pencucian yang salah, suhu yang tidak tepat atau sampel terkontaminasi), sampel mengalami
hemolisis atau lipemik atau terjadi reaksi silang dengan retrovirus lain.
 

[Type text] Page 18


Setiap hasil pemeriksaan EIA harus lempeng mikro untuk uji EIA
Pemeriksaan WB merupakan metode setelah dilakukan pemeriksaan penyaring misalnya
dengan EIA. Prinsip pemeriksaan nya adalah reaksi antara antibodi anti HIV dengan antigen
HIV. Protein yang berasal dari virus HIV didenaturasi dan selanjutnya dipisahkan dengan
metode elektroforesis dengan menggunakan (SDS-PAGE). Protein dengan berat molekul
besar akan bermigrasi lambat, sedangkan protein dengan berat molekul ringan akan
bermigrasi lebih cepat. Selanjutnya dari gel, protein ditransfer ke membran nitroselulose dan
direaksikan dengan serum pasien. Selanjutnya dilakukan dilakukan visualisasi hingga hasil
WB terlihat sebagai pita.

Hasil dinyatakan positif bila terdapat  pita sekurang-kurangnya dua dari antigen  berikut ini
yaitu, inti (Gag) protein (p24), (env) glikoprotein (gp41) atau gp 120/160,sedangkan hasilnya
negatif bila tidak ditemukan pita.

Hasil pemeriksaan meragukan bila ditemukan ada pita tetapi tidak memenuhi kriteria untuk
disebut positif. Menurut WHO bila hasil meragukan, dilakukan pemeriksaan ulang setelah
dua minggu. Bila hasil tetap negatif selama satu bulan berarti infeksi HIV dapat
disingkirkan.US (FDA) menyetujui empat jenis pemeriksaan yaitu Interpretasi hasil
pemeriksaan WB untuk deteksi antibodi HIV. 1). kontrol positif (kuat), 2). kontrol  positif
(lemah), 3). Kontrol negatif, 4).

untuk deteksi antibodi anti HIV telah banyak digunakan selama dekade terakhir.
Dasar adalah HIV-1 dan antibodi HIV-2 secara kualitatif. Pemeriksaan di atas mudah dilakukan,
tidak memerlukan peralatan khusus serta tidak memerlukan tenaga terlatih. Hasilnya dapat
dibaca dalam waktu kurang dari 30 menit. Karena itu sangat berguna untuk membantu
menetapkan status medis pada orang yang diduga terinfeksi HIV sehingga dapat mengurangi
penularan infeksi karena hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu yang singkat dan pasien
dapat segera ditangani.
Spesimen klinik berupa darah vena, atau ujung jari dan cairan rongga mulut. Darah
dimasukan ke dalam tabung pengencer yang mengandung 1 ml larutan buffer lalu dikocok
hingga merata, kemudian dimasukkan alat penguji (strip/carik celup) ke dalam tabung
pengencer tersebut. Cairan oral diperoleh dengan usapan pada gusi luar atas dan bawah, yang
langsung dimasukan ke dalam tabung pengencer. Antibodi anti HIV pada sampel akan
mengikat reagen  protein A koloid emas. Kompleks antibodi HIV-protein koloid emas akan
bereaksi dengan antigen di membran nitroselulosa yang mengandung peptida sintetik gp 41
(HIV-1) dan gp 36 (HIV-2) yang sesuai .

B. CANDIDIASIS

Bahan pemeriksaan dapat diambil dengan beberapa cara yaitu usapan (swab) atau kerokan
(scraping) lesi pada mukosa atau kulit. Juga dapat digunakan dara,sputum dan urin.
Selanjutnya bahan pemeriksaan tersebut diletakan pada gelas objek an larutan potassium
hydroksida (KOH) hasilnya akan terlihat pseudohyphae yang tidak berarturan atau
blastospora. Selain pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan kultur dengan menggunakan

[Type text] Page 19


agar sabouraud’s atau eosinmethylene blue pada suhu 37% C , hasillnya akan terbentuk
koloni dalam waktu 24-48 jam.

Pemeriksaan klinis diilakukan dengan meliha gambaran klinis lelsi yang terdapat rongga
mulut. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitology eksfoliatif,kultur swab,uji
saliva,biopsy sangat diperlukan dalam kandidiasis oral.

Diagnosis klinis kandidiasis dibuat berdasarkan keluhan penderita,pemeriksaan klinis,


pemeriksaan laboratorium berupa sediaan basah maupun gram dan pemeriksaan biakan
jamur.

1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau
dengan
Pewarnaan gram, terliha sel ragi,blastospora atau hifa semu.
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa sabouraud dapat
pula agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 C, koloni
tumbuh setelah 24-48 jam berupa yeast like colony. Identifikasi candida albicans
dilakukan dengan membiakkan tumbuhan tersebut pada cornmeal agar.

C.Tuberkulosis Peritoneal
Laboratorium :
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis, leukositosis
ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju
endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin
hasilnya sering negatif(2,10) Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya
memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml.
Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat(9,11) Cairan asites
yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah
(serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari
5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif
(13). Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya yang
positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan
asites yang telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur
cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu (3,11) Perbandingan serum
asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl
namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma neprotik,
penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan
>1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi (13) Perbandingan
glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal 0,96.(1) Penurunan
PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis

[Type text] Page 20


peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang
steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan
belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh
karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.(4) Pemeriksaan cairan asites
lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA
(adenosin deminase actifity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR. Dengan kadar ADA >
33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l
mengurangi false positif dari sirosis hati atau malignancy (3,7,9) Pada sirosis hati
konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis peritoneal (14 ± 10,6 u/l)
Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan konsentrasi ADA terhadap
pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal bersamaan dengan sirosis hati
dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka mendapatkan nilai ADA 131,1 ±
38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 ± 18,6 u/l pada pasien tuberculosis
dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l pada pasien yang hanya mempunyai sirosis hati,
sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA
yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asietas dengan
protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif (6). Untuk ini pemeriksaan
Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya dalah sama dengan
pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi
disbanding kedua pemeriksaan tersebut (17,18) Fathy ME melaporkan angka
sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon
adalah 90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas
100%.(17). CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini
tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan,
juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat
pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan,
menstruasi, endometriosis, myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer
ginekologi yang lain sepeerti endometrium, tuba falopi, endocervix,
pancreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal
kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti
tuberculosis,pericardium dan pleura (20), namun beberapa laporan yang menemukan
peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis peritoneal seperti yang
dilaporkan oleh Sinsek H (Turkey 1996). Zain LH (Medan 1996).(8,21) Zain LH di
Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis peritoneal dijumpai
kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2 – 907 u/ml) dan
menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites
yang eksudat, jumlah sel > 350/m3 , limfosit yang dominan maka tuberculosis
peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa(8) Bebrapa peneliti menggunakan
CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk
(Turkey, 2000) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan
setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang
sebelumnya kadar rata-rata CA-125, 475,80 ± 5,8 u/ml (Normal < 35 u/ml) setelah 4
bulan pengobatan anti tuberkulosa.(21,22). Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun
2000 di Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites

[Type text] Page 21


penderita tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai
penurunan CA19-9 menjadi normal .

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Ronsen : Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin
dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar.
Ultrasonografi : Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan
dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong)
menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai
antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam
rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe
retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan
penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama (1)
Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup
dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosis. CT Scan : Pemeriksaan CT Scan
untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun
secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk
pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari
tuberculosis peritoneal (25) Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang
membandingkan tuberculosis peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma
peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya
peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas
menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam
dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma
(26) Peritonoskopi (Laparoskopi) Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang
relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama
bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien
muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya (27,28) dan cara ini
dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang
terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya
gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan
kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah
bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan
pengkejutan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar
luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau
alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul.
2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas)
diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak
anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan
sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat

[Type text] Page 22


sangat ekstensif. 3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang
sangat kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak
jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai. Biopsi
dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang
tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus sekaligus
cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran peritonoskopi
peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya
bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy
harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan
patologi anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa. Peritonoskopi tidak selalu
mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena
secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan. 7 Adanya jaringan
perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dan kesulitan dalam memasukkan
trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam rongga abdomen juga
menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam
suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal
gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian maka
sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik
(1) Laparatomi Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs
erring dilakukan, namunsaat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya
dilakukan jika dengan cara yang sama.
Referensi:
Respository.usu.ac.id

PENATALAKSANAAN TERKAIT DD di SKENARIO

PENATALAKSANAAN HIV

TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)

Tujuan terapi ARV adalah untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load) hingga
tidak terdeteksi, mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, serta menurunkan
angka mortalitas. Pada prinsipnya, terapi ARV menggunakan kombinasi tiga obat sesuai
rekomendasi dan kondisi pasien, memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga
kesinambungan ketersediaan ARV.

a. Inisiasi ARV pada pasien remaja dan dewasa


Diberikan pada: (WHO, 2014)
1. Seluruh individu dengan infeksi HIV derajat berat atau tahap lanjut (stadium
klinis 3-4)
2. Seluruh individu terinfeksi HIV dengan hitung CD4⁺ ≤350 sel/mm3
3. Seluruh individu dengan hitung CD4⁺ > 350 sel/mm3 dan ≤500 sel/mm3 tanpa
melibat stadium klinis WHO

[Type text] Page 23


4. Tanpa melihat hitung CD4⁺
 Pasien HIV dengan penyakit TB aktif
 Pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B dengan penyakit hati kronis
 Perempuan HIV yang sedang hamil atau menyusul
 Pada pasien HIV yang memiliki pasangan serodiscordant dapat
dipertimbangkan untuk pemberian ARV untuk mengurangi transmisi
pada pasangan yang belum terinfeksi.

b. Anjuran pemilihan ARV lini pertama


Berupa kombinasi 2 nucleoside reverse-transcriptase inhibitors (NRTIs) + 1 non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI):
1. TDF + 3TC (atau FTC) + EFV; bila regimen ini dikontraindikasikan, maka
alternatifnya:
2. AZT + 3TC + EFV
3. AZT + 3TC + NVP
4. TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Tidak direkomendasikan menggunakan d4T sebagai regimen lini pertama
karena efek samping toksisitas metabolic yang berat. Perlu diingat, baik
sebagai lini pertama maupun kedua, terdapat beberapa kombinasi ARV yang
tidak dianjurkan, antara lain:
 Mono atau dual terapi, karena cepat menimbulkan resistensi
 d4T + ACT (bersifat antagonis)
 d4T + ddl (toksisitas tumpang tindih)
 3TC + FTC (bisa saling menggantikan tetapi tidak boleh digunakan
secara bersamaan)
 TDF + 3TC + ABC atau TDF + 3TC + ddl (meningkatkan mutasi
K65R dan sering terjadi kegagalan virologis secara dini)

c. Pemantauan terapi ARV


1. Pemantauan klinis
Pada minggu ke-2, 4, 6, 8, 12 dan 24 setelah memulai ARV; dilanjutkan setiap
6 bulan bila pasien mencapai kondisi stabil. Penilaian klinis termasuk evaluasi
tanda gejala efek samping obat. Kegagalan terapi ARV, frekuensi infeksi,
serta konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhan.
 Pemeriksaan hitung CD4⁺ rutin setiap 6 bulan
 Pemeriksaan jumlah RNA virus (viral load) di Indonesia belum
dianjurkan untuk pemantauan rutin terapi ARV. Namun, viral load
digunakan untuk mendeteksi kegagalan terapi. Idealnya, viral load
diperiksa pada 6 bulan setelah inisiasi ARV, dilanjutkan setiap 12
bulan. Diharapkan viral load menjadi tidak terdeteksi setelah 6 bulan
terapi ARV.
 Pemeriksaan laboratorium spesifik terkait efek samping obat:
2. Pemeriksaan laboratorium spesifik
Terkait efek samping obat

[Type text] Page 24


 Terapi AZT: pemeriksaan Hb sebelum terapi dan pada minggu ke-4, 6,
8 , 12 setelah terapi.
 Terapi TDF: pemeriksaan kretinin serum dan urinalisis
 Terapi NVP: pemeriksaan SGPT (ALT) pada minggu ke 2, 4, 8 dan 12
setelah terapi.
 Terapi d4T: deteksi kejadian asidosis laktat
 Meski tidak rutin, penggunaan protease inhibitor (PI) dapat
mempengaruhi metabolism glukosa dan lipid

d. Sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Syndrome/IRIS)


Merupakan perburukan kondisi klinis akibat respons inflamasi berlebihan saat
pemulihan respons imun pascapemberian terapi ARV IRIS dapat bermanifestasi
dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. Mekanisme IRIS belum diketahui
dengan jelas, namun respons imun yang berlebihan.
Kriteria diagnosis sindrom pulih imun menurut International Network Study
of HIV associated IRIS (INSHI), sebagai berikut:
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
 Mendapat terapi ARV
 Penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
 Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah
berhasil disembuhkan
 Efek samping obat atau toksisitas
 Kegagalan terapi
 Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Tatalaksana IRIS meliputi pengobatan pathogen penyebab untuk menurunkan
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi anti-inflamasi, seperti OAINS
dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti,
berkisar antara 0,5-1 mg/kgBB/hari prednisolone.

e. Toksisitas ARV
Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping ini sering menjadi
alasan medis untuk mengganti (subtitusi) dan/atau menghentikan pengobatan ARV.
Pasien bahkan kadnag menghentikan sendiri terapinya karena adanya efek samping.
Namun perlu diingat, efek samping ARV tidak boleh menjadi penghambat dimulainya
terapi ARV.
Pada dasarnya, penggantian atau subtitusi individual dari ARV karena
toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama. Contoh : AZT
atau TDF untuk menggantikan d4T karena kejadian neuropati, TDF dapat
menggantikan AZT karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas

[Type text] Page 25


SSP atau kehamilan. Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV
harus dihentikan segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka
dimulai dengan panduan terapi ARV yang lain.

PENATALAKSANAAN KANDIDIASIS OROFARINGEAL

Umumnya infeksi candida dapat berespons dengan baik pada pemberian obat
antifungal baik dalam bentuk topikal (krim), tablet intravagina, maupun sediaan oral. Obat
antifungal ini antara lain antifungal polyene (amfoterisin B atau nistatin) dan obat-obat
derivatazole (flukonazol, klotrimazol, ketokonazol, itrakonazol, dan mikonazol). Pasien
dengan AIDS dapat berespons buruk pada dosis terapeutik antifungal oral seperti flukanazol
(100-200mgper hari), ketoconazole (200-400mg per hari) atau itrakonazol (100-200 mg per
hari) sehingga dapat diberikan secara intermiten sampai mencapai kadar proteksi imunitas
tertentu. Penggunaan ketokonazol dan flukonazol yang diperpanjang pada pasien AIDS dapat
meningkatkan resistensi obat, walaupun hal ini dapat dikurangi dengan tersedianya HAART
(Highly Active Antiretroviral Therapy). Antifungal oral juga diperlukan pada pasien dengan
kandidiasis mukokutan kronik.

PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PERITONEAL

Pengobatannya sama dengan tuberkulosis paru. Obat-obatan seperti streptomisin,


INH,etambutol, rifampisin, pirazinamid memberikan hasil yang baik, perbaikan akan terlihat
dalam waktu 2 bulan. Lama pengobatan biasanya mencapai 9 bulan sampai 18 bulan atau
lebih.

Beberapa penulis berpendapat kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan


mengurangi terjadinya asites. Terbukti juga kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan
dan kematian, namun pemberian kortikosteroid harus dicegah pada daerah endemis dimana
terjadi resistensi terhadap mikrobacterium tuberkulosis.

REFERENSI:
Chris Tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 4.Jakarta:Media Aesculapius
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL,Loscalzo J, eds. 2012. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 18th edition. USA: McGraw-Hill.

Sudoyo, Aru W.dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI.Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

[Type text] Page 26


PENCEGAHAN TERKAIT DD di SKENARIO

A. PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU HAMIL KE BAYI

Obat ARV juga di berikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada
orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post-exposure
prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Menurut Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran 2012, regimen yang di rekomendasikan adalah AZT + 3TC +EFV,
AZT +3TC + NVP, TDF +3TC atau FTC +EVF, dan TDF + 3 TC atau FTC + NVp,. Evafirez
(EFV) sebaiknya tidak di berikan pada kehamilan trimester 1. Pemerian ARV pada bayi yang
lahir dan ibu HIV adalah AZ7 2x/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu, dosis 4
mg/kgBB/kali.

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting
untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia sudah
tertular HIV dariibunya. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%
artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ad 10 sampai 30 bayi yang akan tertular.
Sebagian besar penularanterjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui
plasenta salaam kehamilaln dan sebagian lagi melalui air susu ibu.

Kendala yang di khawatirkan adalah biaya untuk membeli oabt ARV. Obat ARV yang di
anjurkan untuk PTMCT adalh zidovudin (AZT) atau nevirapin. Pemberian nevirapin dosis
tunggal untuk ibu dan anak di nilai sangat mudah untuk di terapkan dan ekonomis.
Sebelumnya pilihan yang terbaijk adalah pemberian ARV yang di kombinasikan dengan
operasi Caesar, karena dapat menekan penuaran sebanyak 1%. Namun saying nya di Negara
berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang
murah dan aman kemudian pemberian ASI oleh wanita dengan HIV tidak di rekomendasikan
karena memiliki resiko transmisi sebesar 5-20%. Alternative pemberian susu formula.
Namun, kendala pemberian susu formula masih dialami oleh Negara berkembang
dikarenakan facto kultur dan ekonomi

B. PENGOBATAN SEBAGAI PENCEGAHAN

Berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi HIV.


Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, didapatkan bahwa peran pengobatan sebagai
pencegahan amat besar seperti yang ditunjukan pada table 8.

Berbagai upaya pencegahan ini harus diikuti dengan kepatuhan berobat yang tinggi.
Seperti yang pernah di teliti sebelumnya, terdapat nilai keberhasilan pengobatan yang tinggi
sesuai dengan tingginya tingkat kepatuhan berobat pasien. Pada pasien dengan tingkat
kepatuhan beroat 95%, maka tingkat keberhasilan pengobatannya sebesar 80%, sedangkan
pada pasien dengan tingkat kepatuha berobat kurang dari 70% akan didapatkan nilai
keberhasilan pengobatan sebesar 5%.

[Type text] Page 27


Table 8. Keberhasilan dari Strategi Pencegahan HIV

Studi Keberhasilan (95%Cl)


ARV sebagai pencegahan, Africa, Asia, America 96 (73-99)

HIV vaccine, Thailand 31 (1-51)


Sexually transmitted disease treatment; Mwanza, Tanzania 42 (21-58)

C. Kewaspadaan Universal

berarti kewaspadaan secara menyeluruh mengurangi resiko mengurangi risiko penularan


HIV/AIDS melalui cairan tubuh (air mani, air ketuban, cairan vagina, cairan luka, air susu
dd) vairan yang mengandung mikroorganisme pathogen (tinja, urin, muntah dan dahak).
Yang tidak mengandung pathogen (air mata keringat, dan air liur). Bila terkena jarum bekas
penderita HIV/AIDS harus segera di beri zidovudine

PENCEGAHAN TB

Lingkungan hidup yang sangat padat dan permukiman di daerah perkotaan kemungkingan
besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah
kasus TB. Proses tejadinya infeksi oleh M.Tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga
TB paru manifestasinya paling sering di banding organ lainnya. Penularan penyakit ini
sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya pasien
penderita TB batuk berdarah yang mengandung BTA. Pada TB jaringan Lunak atau kulit
dapat tertular melalui inokulasi langsung. Infeksi yang di sebabkan oleh m,bovis dapat di
sebabkan oleh susu yang kurang di sterilkan dengan baik dan terkontaminasi

PENCEGAHAN KANDIDIASIS

Kebersihan rongga mulut sangat membantu pencegahan oral trush pada pasien yang system
imunnya lemah. Beberapa studi menunjukkan obat kumur kloreksidin dapat membantu
mencegah kandidiasis orsal pada pasien.

[Type text] Page 28


DAFTAR PUSAKA

1. Andrew R. Zolopa, MD, Mitchell H. Katz, MD. 2013. Current Medical Diagnosis
and Treatment. 52nd Edition. Page : 1325
2. Ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi VI
3. Jurnal TBC pada AIDS FK TARUMANEGARA
4. Buku Ajar Penyakit Dalam hlm 755
5. Imunologi UI 504-505
6. Baratawidjaja G Karnen, Imunologi Dasar, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi ke 11, 2014 Hal. 329
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta; 2006
8. repository.unhas.ac.id
9. http://repository.usu.ac.id/
10. Respository.usu.ac.id
11. Chris Tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 4.Jakarta:Media Aesculapius
12. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL,Loscalzo J, eds. 2012.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition. USA: McGraw-Hill.
13. Sudoyo, Aru W.dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI.Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

[Type text] Page 29

Anda mungkin juga menyukai