BLOK IMUNOLOGI
Kelompok 6 :
Tutor:
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya pada kelompok kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
PBL (Problem Based Learning) Modul-3 Imunodefisiensi Blok Imunologi ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga
serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Laporan ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang wajib dilakukan
setelah selesai membahas kasus PBL. Pembuatan laporan ini pun bertujuan agar kita bisa
mengetahui serta memahami konsep dasar imunodefisiensi. Terimakasih kami ucapkan
kepada tutor kami dr.Amir Syafruddin, M.Med.Ed yang telah membantu kami dalam
kelancaran pembuatan laporan ini. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam mencari informasi, mengumpulkan data, dan menyelesaikan laporan
ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami pada khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya.
Laporan kami bukanlah laporan yang sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.
Kelompok 6
Daftar Isi 2
Bab I Pendahuluan 3
Latar Belakang 3
Tujuan Pembelajaran 3
Sasaran Pembelajaran 3
Bab II Pembahasan 4
Skenario 4
Kata Sulit 4
Kata Kunci 4
Pertanyaan 4
Daftar Pustaka30
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hal yang melatarbelakangi pembuatan laporan ini adalah untuk memenuhi dan
melengkapi tugas kelompok yang harus dipenuhi.
2. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
reaksi Imunodefisiensi, mekanisme Imunodefisiensi serta dapat mengetahui tentang
penyakit-penyakitt yang timbul akibat Imunodefisiensi, serta penatalaksanaanya.
3. Sasaran Pembelajaran
Untuk menganalisis penyebab-penyebab yang timbul pada penyakit yang ada di
skenario. Dan juga menganalisis beberapa penyakit yang diakibatkan
Imunnodefisiensi.
PEMBAHASAN
1. Skenario
2. Kata Sulit
- Tidak Ada
3. Kata Kunci
- Badannya kurus 2 tahun terakhir
- Sering mencret, hilang timbul
- Banyak berkeringat di malam hari
- Terdapat bercak putih di mulut dan lidah
- Pernah memakai narkoba suntik, tetapi sudah berhenti
4. Pertanyaan
1. Apa yang menyebabkan pasien menjadi kurus 2 tahun terakhir?
2. Kenapa pasien mengalami susah makan?
3. Apa yang menyebabkan mencret?
4. Kenapa pada skenario mencretnya hilang timbul?
5. Kenapa keringat hanya timbul pada malam hari?
6. Bagaimana gambaran bercak putih dan apa penyebabnya?
7. Apakah bercak putih yang dialami pada skenario bisa tertular pada
keluarganya?
8. Apa akibat terkait penggunaan narkoba suntik terkait dengan skenario?
9. Apa DD dari skenario tersebut?
10. Bagaimana epidemiologi dari DD tersebut?
11. Apa saja pemeriksaan yang terkait DD tersebut?
12. Bagaimana penatalaksanaan dari DD tersebut?
13. Bagaimana pencegahan dari DD tersebut?
14. Bagaimana prognosis dari DD tersebut?
ANALISIS MASALAH
Penurunan berat badan merupakan salah satu komplikasi yang meresahkan bagi pasien HIV
lama. Biasanya pasien akan mengalami penurunan masaa otot, dengan banyak atau sedikit
mengalami penurunan massa lemak. Penurunan berat badan pada HIV sendiri memilliki
dampak dari berbagai faktor.
Pasien AIDS sering mengalami anoreksia, mual, muntah, yang ketiganya mempengaruhi
pada penurunan berat badan dengan berkurangnya asupan kalori. Dalam berbagai kasus, ini
merupakan gejala sekunder infeksi tertentu seperti virus hepatitis.
Pada kasus lain, bagaimana pun, evaluasi pada gejala menunjukan tidak adanya pathogen
spesifik, dan hal ini diasumsikan karena merupakan efek utama dari HIV.
Malabsorbsi juga berperan pada penurunan asupan kalori. Pasien mungkin mengalami diare
dari infeksi dengan bakteri, virus, atau agen parasite. Banyak pasien AIDS memiliki
peningkatan metabolism meningkat, terbukti dengan cepatnya perkembangan penyakit dan
infeksi sekunder.
Pasien AIDS dengan infeksi sekunder, infeksi ini menurunkan sintesis protein yang
mengakibatkan kesulitan pada untuk mempertahankan massa otot.
Beberapa cara telah dikembangkan untuk memperlambat penurunan berat badan pada AIDS.
Kendali demam efektif menurunkan tingkat metabolisme dan dapat memperlambat laju
penurunan berat badan, seperti halnya mengobati infeksi oportunistik, suplemen makanan,
dengan minuman beralkohol tinggi dapat memungkinkan untuk pasien dengan nafsu makan
menurun untuk menjaga asupan mereka.
Pasien dengan status fungsional dinyatakan baik dan berat badan turun akibat mual tak henti
– hentinya, muntah atau diare dapat dinilai dari nutrisi parenteral total (TPN). TPN diduga
dapat meningkatkan cadangan lemak dari pada mengembalikan proses pengecilan otot.
Dua pendekatan farmakologis untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan adalah
progestional agen magesterol alami (80 mg per oral empat kali per hari), dan agen antiemetik
dronabinol (2,5-5 per oral tiga kali per hari). Efek samping magesterol asetat jarang terjadi,
tetapi fenomena tromboemboli, edema, mual, muntah dan ruam telah dilaporkan. Ekhporia,
pusing, paranoia, dan mengantuk bahkan mual dan muntah telah dilaporkan 3 – 10 % dari
pasien yang menggunakan dronabinol.
Mual
Mual menyebabkan penurunan berat badan, terkadang disebabkan oleh kandidiasis esophagus
pada pasien kandidiasis oral dan mual harus diobati secara empiris diobati dengan anti jamur.
Pasien dengan penurunan berat badan karena mual dapat diatasi dengan penggunaan
antiemetik
sebelum makan (proklorperazin, 10 mg tiga kali sehari; metoclopramide, 10 mg tiga kali
sehari; atau ondansetron, 8 mg tiga kali sehari). Dronabinol (5 mg tiga kali harian) juga dapat
digunakan untuk menambah nafsu makan. Depresi dan insufisiensi adrenal adalah dua
berpotensi dapat diobati penyebab penurunan berat badan.
Referensi :
Andrew R. Zolopa, MD, Mitchell H. Katz, MD. 2013. Current Medical Diagnosis and
Treatment. 52nd Edition. Page : 1325
Mencret adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air
saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes
RI 2011).
Penyebab Mencret
Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit.
Alergi terhadap makanan atau obat tertentu.
Kelebihan vitamin C dan biasanya disertai sakit perut, dan seringkali mual dan muntah
Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain seperti: Campak, Infeksi
telinga, Infeksi tenggorokan, Malaria, dll.
Pemanis buatan
Mekanisme Mencret
bakteri atau toksin (racun) masuk → Intestinum Crassum → Intestinum Crassum yang
semula mengabsorbsi air dan mineral berubah menjadi mensekresi air untuk mengencerkan
kadar toksin yang ada dalam usus besar →feces menjadi cair → colon
sigmoid → recktum → menyentuh Musculus Sphingterani Internus dan merangsang
terjadinya defekasi. Namun Musculus Sphingterani Eksternus masih dapat menahan sehingga
kita dapat menentukan kapan kita akan buang air besar. Dan ini terjadi terus menerus sampai
toksin dalam Intestinum Crassum habis.
Pada skenario terdapat gejala keringat pada malam hari, batuk tidak berdahak,
mencret, dan penurunan berat badan. Sesuai dengan gejala yang ada, pasien tersebut bisa jadi
menderita AIDS yang disertai dengan TB peritoneal. Seperti yang kita tahu, gejala dari TB
adalah, adanya keringat pada malam hari. Jadi, kenapa bisa terjadi keringat di malam hari,
merupakan gejala dari TB peritoneal tersebut.
Tapi ada infeksi lain juga dapat menyebabkan keringat malam seperti endocarditis (infeksi katup
jantung), osteomyelitis (infeksi dalam tulang), atau terjadi abses (bisul bernanah) pada kulit. Infeksi
HIV Juga dapat menimbulkan keringat malam
Referensi:
Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi oportunistik umum pada
rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari spesies Candida.
Penyakit ini kerap terjadi pada pasien HIV/AIDS yang jumlah CD4+ dibawah 200sel/mm3
Tes viral load adalah tes untuk mengukur seberapa banyak virus hiv dalam darah.
Bercak putih akibat candidiasis ini tidak hanya terjadi pada oral,namun bisa terjadi pada
kulit,vagina Cara Penularan melalui kontak sekret atau ekskret dari mulut, kulit, vagina dan
tinja, dari penderita ataupun “carrier”, atau tertulari melalui jalan lahir pada saat bayi
dilahirkan, penularan endogen
Referensi:
Imunologi UI 504-505
• Infeksi HIV menyebar secara mudah bila orang memakai alat suntik secara bergantian
dalam penggunaan narkoba. Penggunaan alat bergantian juga menularkan berbagai
virus.
• Darah yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan bersama
dengan narkoba saat pengguna berikut memakai semprit tersebut. Ini adalah cara
termudah untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi langsung dimasukkan
pada aliran darah orang lain.
Jasmani
• Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes,
TBC, dll.
Mental/Kejiwaan
Kandidiasis OrofarIngeal
Pendahuluan
Kandida merupakan spesies jamur yg paling sering menyebabkan infeksi. Spektrum infeksi
candida sangat luas mulai dari yang bersifat tidak fatal dan hanya mengenai mukokutaneus
hingga yang bersifat invasive dan menginfiltrasi organ dalam. Didaerah tropis sebagian besar
infeksi karena candida bersifat superfisial yaitu mengenai kulit,rongga mulut dan vagina.
Patogen utama adalah Candida albicans (C. albicans)
Definisi
Infeksi jamur yang disebabkan oleh spesies Kandida disebut kandidiasis atau kandidosis.
Epidimiologi
Secara komensal candida merupakan flora di rongga mulut, traktus gastrointestinal, dan
vagina. Prevalensi karier bervariasi, sekitar 15-60% diidentifikasi pada individu normal di
dalam mulutnya. Penelitian yang dilakukan pada pasien HIV tanpa gejala infeksi candida
memperlihatkan angka kajadian kolonisasi sekitar 50% dengan sebaran CD4 dibawah dan
diatas 200 cell/uL. RSCM melaporkan sekitar 1% kasus BSI akibat candida pada tahun 2010
Dalam kurun waktu 20-25 tahun terakhir ini,tercatat peningkatan infeksi akibat candida.
Infeksi terjadi tidak hanya pada kondisi pasien imunokompromis akan tetapi juga pada pasien
imunokompeten akibat perawatan lama di RS.
Patogenesis
Kandidiasis superfisialis
Candida albicans merupakan flora normal di rongga mulut. Dapat bertahan hidup karena
berbagai factor, diantaranya kemampuan untuk menempel di sel mukosa dan berkompetensi
dengan bakteri komensal lainnya. Faktor factor yang menggangu keseimbangan tersebut akan
meningkatkan pertumbuhan jamur atau meningkatkan kemampuan invasi bakteri, misalnya
penggynaan antibiotic yang mengeliminasi flora komensal lain di rongga mulut dan usus,
sehingga mengakibatkan invasi candida. Depresi limfosit sel T atau neutrophil menyebabkan
organisme tumbuh dan menyerang inhibisi mekanisme control normal.
Infeksi oral oleh Candida dapat ditemukan di semua Negara. Infeksi ini sering ditemukan
pada anak anak ,usia lanjut dan pasien dengan sistem imun yang tidak adekuat; termasuk
pada pasien AIDS. Sebagai komplikasi pada infeksi HIV, timbulnya infeeksi kandidiasis
orofaringeal sangat umum ditemukan dan merupakan menifestasi awal perkembangan AIDS.
Terdapat beberapa perbedaan dari tipe klinis kandidiasis orofaringeal. Hal ini dapat secara
luas dikenali dari kronisitas dan gambaran klinis. Kandidiasis pseudomembran muncul
dengan plak putih pada epitel yang terinfeksi dan dapat lepas dengan mudah. Bercak putih ini
Pada kebanyakan pasien, focus infeksi terdapat pada mukosa bukal, tetapi pada infeksi berat
dapat mengenai lidah,faring, dan esophagus . Kandidiasis esophageal dapat banyak dilihat
pada pasien dengan AIDS, leukemia atau kandidiasis mukoutan kronik. Kandidiasis
esophageal dapat muncul dengan nyeri retrosternal sewaktu menelan dan kadang juga tanpa
gejala.
Komplikasi
2. Infeksi pada kuku yang mungkin berubah menjadi bentuk yang aneh dan mungkin
menginfeksi daerah di sekitar kuku
Epidimiologi
Perkiraan distribusi kasus AIDS diseluruh dunia per Desember 2005 yaitu sekitar 40,3 juta
penduduk dunia hidup dgn AIDS. Terbanyak dari mereka hidup di Sahara, Afrika, dan Asia
Tenggara. Di Amerika Utara, dan Eropa Barat sekitar 75% dari mereka yang terkena adalah
pria, sedang di Sub- Sahara Afrika sekitar 57% adalah wanita.
ETIOLOGI AIDS.
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
lmmunodeficiency Virus (HIV) .Virus ini pertama kali diisolasi oleh Hontagnier dan kawan-
kawan di Francis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
PATOGENESIS AIDS.
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis Lymfosit T helper/inducer yang
mengandung marker CD4 (sel T4) . Lymfosit merupakan pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi - fungsi imunologik.
Kelainan selektif pada satu ,jenis sel menyebabkan kelainan selektif pada satu jenis sel.
Human Immunodeficiency Virus mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena
molekul CD4 yang terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi
untuk virus ini. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam target
dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah
bentuk RNAnya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi
oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda
dengan virus lain, virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama. Jarak dari masuknya
virus ketubuh sampai terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh vius
HIV menyebabkan fungsi sistem kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan
tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri protozoa dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara lansung menginfeksi sel-
sel syaraf menyebabkan kerusakan neurologis.
1. Komplikasi pada mata Infeksi okular, yaitu uveitis, keratitis, neuritis optik,
konjungtivitis, atrofi optik dan korioretinitis. Kelainan mata yang terbanyak adalah uveitis
(inflamasi intraokular) yang dapat terjadi pada semua stadium dan dapat sembuh spontan,
namun angka kekambuhannya tinggi bila sifilis tidak diobati
2. Komplikasi neurologi Komplikasi ini dapat mengenai susunan saraf tepi dan
susunan saraf pusat. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi
sebagai demensia terkait HIV (7% dari penderita) dengan gejala seperti gangguan kognitif,
motorik, dan gangguan perilaku
3. Kandidiasis (infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur Candida albicans)
4. Kriptokokosis (Kriptokokosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur
Cryptococcus neoformans, infeksi ini secara luas ditemukan di dunia dan umumya dialami
oleh penderita dengan sistem imun yang rendah) ekstraparu
5. Herpes simplek : ulkus kronik (>1 bulan)
6. Ensefalitis toxoplasma Umumnya disebarkan melalui kotoran kucing dan dapat
menyebar ke hewan lainnya. Virus ini dapat menyebabkan kematian.
7. Diare
8. Tb Umum dikenal dengan tuberculosis, adalah penyakit umum yang diderita
penderita Aids dan dapat mematikan. hampir semua penderita HIV/Aids, juga menderita Tb.
9. Kaposi’s sarcoma . Adalah tumor pada dinding pembuluh darah. Gejalanya adalah
kemerahan pada kulit dan mulut. Penyakit jenis ini sangat jarang mengenai mereka yang
bukan penderita HIV.
10. Lymphomas. Kanker ini terjadi pada sel darah putih, umumnya bermula pada kelenjar
getah bening. Gejala awalnya adalah bengkak dan nyeri pada kelenjar getah bening (leher,
ketiak dan pangkal paha).
Tuberculosis Peritoneal
Epidimiologi
Tuberkulosis Peritoneal ditemukan pada 2% dari seluruh tb paru dan 59,8% dari tuberculosis
abdominal. Pada saat ini dilaporkan kasus tuberkulosis peritoneal di negara maju semakin
meningkat sesuai dengan meningkatnya insidensi AIDSnya. Di Asia dan Afrika TB
peritoneal masih merupakan masalah penting.
Etiologi
Merupakan suatu peradangan peritonium parietal atau viseral yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis . Penyakit ini jarang berdiri sendiri biasanya merupakan
kelanjutan proses tuberkulosis di paru.
Patogenesis
Komplikasi
REFERENSI:
A. HIV
pemeriksaan laboratorium unuk mengetahui secaara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV
sangatlah penting karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah
bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV.
Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksan serologic. Untuk mendeteksi adanya
antibody terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi
adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus,deteksi
antigen, dan detteksi materi genetic dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibody HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme linked immunosorbent essay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalah ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibody HIV ini yaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai timbulnya
Wordl health organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi
pemeriksaan antibody terhadap HIV dibawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan
keadaan populasi dan keadaan pasien.
Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya. Strategi I hanya dilakukan 1, hanya dilakukan 1
kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif maka dianggap sebgai kasus terinfeksi HIV
dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai
untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling
sering dipakai saat ini adalah tehnik western Blot (WB)
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling prates . hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-
jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS.
Sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima
apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak dierlukan konseling pra tes Karenna
orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya.
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif
maupun negative. Jika hasilnya posiif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjangan masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negative
pemeriksaan laboratorium
terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Yang
pertama, enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) bereaksi terhadap adanya antibody
dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibody virus
dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang
besar maka hasil uji ELISA yang positif diulang dan apabila keduanya positif maka
dilakukan uji lebih spesifik, wastern blot. Uji western blot juga di konfirmasi dua kali. Uji ini
lebih kecil kemungkinanya memberi hasil positif-palsu atau negative-palsu. Juga dapat terjadi
hasil uji yang tidak konklusif, misalnya saat ELISA atau Western blot bereaksi lemah dan
agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV pada infeksi yang sedang
berkembang (sampai semua pita penting pada uji western blot tersedia lengkap) atau pada
reaktivitas silang dengan titer retrovirus tinggi lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah
konfirmasi, pasien dikatakan seropositive HIV. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan klinis
dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dimulai usaha-usaha untuk
mengendalikan infeksi.
HIV dapat dideteksi dengan uji lain yaitu dapat mendeteksi antibody. Prosedur ini mencakup
biakan virus, pengukuran antigen p24 dan pengukuran DNA dan RNA HIV menggunakan
reaksi berantai polymerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma.
Di seluruh dunia, sejak tahun 1981 pasien terinfeksi HIV yang meninggal karena mencapai
stadium AIDS berjumlah sekitar 25 000 000 orang. Di Indonesia, pada triwulan I tahun 2012
tercatat 5 991 kasus baru terinfeksi HIVdan 551 orang penderita AIDS.
Infeksi HIV ditularkan melalui kontak seksual, transfusi darah, secara transplasental dari ibu
ke anak, penggunaan narkotika intra vena dan termasuk golongan retrovirus yang dapat
menyerang sistem kekebalan, dan mampu merangsang pembentukan antibodi sehingga
dalam tubuh penderita HIV selain ada antigen yang merupakan bagian virus juga terbentuk
antibodi terhadap virus HIV.
Sebagai reaksi terhadap infeksi, tubuh membentuk antibodi yang dapat ditemukan dalam
cairan tubuh seperti darah. Hal tersebut dapat dipergunakan untuk diagnosis penyakit infeksi.
Diagnosis infeksi HIV dapat dilakukan dengan deteksi antibodi. Antibodi yang paling banyak
ditemukan adalah antibodi anti HIV-1. Antibodi akan sebelum periode itu antibodi belum
dapat dideteksi, namun pasien dapat menularkan virus ke orang lain. Periode tanpa antibodi
tersebut dinamakan periode jendela. Dengan menggunakan uji (EIA) generasi ketiga periode
jendela dapat dipersingkat menjadi tiga minggu.Hasil pemeriksaan serologi pada HIV yang
tinggi akan memberikan hasil positif pada orang terinfeksi HIV namun dapat memberikan
hasil positif palsu, sedangkan tinggi akan memberikan hasil negatif pada orang yang tidak
terinfeksi HIV dan hanya sedikit memberikan hasil positif palsu.
semua bahan klinik diperiksa menggunakan tiga jenis metode pemeriksaan. Pemeriksaan
pertama harus lebih sensitif, dan pemeriksaan kedua harus menggunakan antigen atau prinsip
pemeriksaan yang berbeda dari yang pertama. Pemeriksaaan yang ketiga harus menggunakan
antigen atau prinsip pemeriksaan yang berbeda dari pertama dan kedua. Jika pemeriksaan
pertama tidak reaktif hasil dinyatakan negatif. Tetapi bila pemeriksaan pertama, kedua dan
ketiga reaktif hasil dinyatakan positif. Sebaliknya jika pada pemeriksaan pertama reaktif,
pemeriksaan kedua reaktif dan pemeriksaan ke tiga tidak reaktif, atau pemeriksaan pertama
reaktif, pemeriksaan ke dua tidak reaktif dan pemeriksaan ketiga reaktif maka dinyatakan.
Pemeriksaan (EIA) adalah jenis pemeriksaan penyaring yang efektif dan banyak dipakai untuk
mendeteksi antibodi anti HIV karena mempunyai Sebagai bahan pemeriksaan dipakai darah,
cairan rongga mulut, atau urin. Umumnya metode EIA mendeteksi antibodi terhadap protein
p6 dan gp 41 yang merupakan bagian virus HIV.
Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan nilai yang didapat saat pemeriksaan ELISA
dilakukan.Bila nilai sampel lebih kecil dari nilai dianggap non reaktif, tetapi bila nilai sampel
lebih besar dari nilai pemeriksaan diulang kembali (induplikat) dengan memakai sampel yang
baru. Jika hasil pemeriksaan ulangan tersebut lebih besar dari nilai berarti hasil pemeriksaan
reaktif terhadap HIV. Bila nilai sampel mendekati nilai pemeriksaan ulang dilakukan 2-4
minggu kemudian, karena diharapkan dalam periode tersebut antibodi yang terbentuk sudah
dapat dideteksi.
Hasil negatif palsu dapat terjadi karena rendahnya titer antibodi atau akibat terapi
immunosupresi. Hasil positif palsu dapat terjadi karena kesalahan teknik pemeriksaan
(pencucian yang salah, suhu yang tidak tepat atau sampel terkontaminasi), sampel mengalami
hemolisis atau lipemik atau terjadi reaksi silang dengan retrovirus lain.
Hasil dinyatakan positif bila terdapat pita sekurang-kurangnya dua dari antigen berikut ini
yaitu, inti (Gag) protein (p24), (env) glikoprotein (gp41) atau gp 120/160,sedangkan hasilnya
negatif bila tidak ditemukan pita.
Hasil pemeriksaan meragukan bila ditemukan ada pita tetapi tidak memenuhi kriteria untuk
disebut positif. Menurut WHO bila hasil meragukan, dilakukan pemeriksaan ulang setelah
dua minggu. Bila hasil tetap negatif selama satu bulan berarti infeksi HIV dapat
disingkirkan.US (FDA) menyetujui empat jenis pemeriksaan yaitu Interpretasi hasil
pemeriksaan WB untuk deteksi antibodi HIV. 1). kontrol positif (kuat), 2). kontrol positif
(lemah), 3). Kontrol negatif, 4).
untuk deteksi antibodi anti HIV telah banyak digunakan selama dekade terakhir.
Dasar adalah HIV-1 dan antibodi HIV-2 secara kualitatif. Pemeriksaan di atas mudah dilakukan,
tidak memerlukan peralatan khusus serta tidak memerlukan tenaga terlatih. Hasilnya dapat
dibaca dalam waktu kurang dari 30 menit. Karena itu sangat berguna untuk membantu
menetapkan status medis pada orang yang diduga terinfeksi HIV sehingga dapat mengurangi
penularan infeksi karena hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu yang singkat dan pasien
dapat segera ditangani.
Spesimen klinik berupa darah vena, atau ujung jari dan cairan rongga mulut. Darah
dimasukan ke dalam tabung pengencer yang mengandung 1 ml larutan buffer lalu dikocok
hingga merata, kemudian dimasukkan alat penguji (strip/carik celup) ke dalam tabung
pengencer tersebut. Cairan oral diperoleh dengan usapan pada gusi luar atas dan bawah, yang
langsung dimasukan ke dalam tabung pengencer. Antibodi anti HIV pada sampel akan
mengikat reagen protein A koloid emas. Kompleks antibodi HIV-protein koloid emas akan
bereaksi dengan antigen di membran nitroselulosa yang mengandung peptida sintetik gp 41
(HIV-1) dan gp 36 (HIV-2) yang sesuai .
B. CANDIDIASIS
Bahan pemeriksaan dapat diambil dengan beberapa cara yaitu usapan (swab) atau kerokan
(scraping) lesi pada mukosa atau kulit. Juga dapat digunakan dara,sputum dan urin.
Selanjutnya bahan pemeriksaan tersebut diletakan pada gelas objek an larutan potassium
hydroksida (KOH) hasilnya akan terlihat pseudohyphae yang tidak berarturan atau
blastospora. Selain pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan kultur dengan menggunakan
Pemeriksaan klinis diilakukan dengan meliha gambaran klinis lelsi yang terdapat rongga
mulut. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitology eksfoliatif,kultur swab,uji
saliva,biopsy sangat diperlukan dalam kandidiasis oral.
1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau
dengan
Pewarnaan gram, terliha sel ragi,blastospora atau hifa semu.
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa sabouraud dapat
pula agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 C, koloni
tumbuh setelah 24-48 jam berupa yeast like colony. Identifikasi candida albicans
dilakukan dengan membiakkan tumbuhan tersebut pada cornmeal agar.
C.Tuberkulosis Peritoneal
Laboratorium :
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis, leukositosis
ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju
endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin
hasilnya sering negatif(2,10) Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya
memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml.
Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat(9,11) Cairan asites
yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah
(serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari
5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif
(13). Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya yang
positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan
asites yang telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur
cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu (3,11) Perbandingan serum
asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl
namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma neprotik,
penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan
>1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi (13) Perbandingan
glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal 0,96.(1) Penurunan
PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Ronsen : Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin
dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar.
Ultrasonografi : Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan
dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong)
menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai
antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam
rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe
retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan
penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama (1)
Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup
dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosis. CT Scan : Pemeriksaan CT Scan
untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun
secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk
pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari
tuberculosis peritoneal (25) Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang
membandingkan tuberculosis peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma
peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya
peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas
menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam
dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma
(26) Peritonoskopi (Laparoskopi) Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang
relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama
bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien
muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya (27,28) dan cara ini
dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang
terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya
gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan
kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah
bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan
pengkejutan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar
luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau
alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul.
2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas)
diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak
anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan
sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat
PENATALAKSANAAN HIV
Tujuan terapi ARV adalah untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load) hingga
tidak terdeteksi, mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, serta menurunkan
angka mortalitas. Pada prinsipnya, terapi ARV menggunakan kombinasi tiga obat sesuai
rekomendasi dan kondisi pasien, memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga
kesinambungan ketersediaan ARV.
e. Toksisitas ARV
Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping ini sering menjadi
alasan medis untuk mengganti (subtitusi) dan/atau menghentikan pengobatan ARV.
Pasien bahkan kadnag menghentikan sendiri terapinya karena adanya efek samping.
Namun perlu diingat, efek samping ARV tidak boleh menjadi penghambat dimulainya
terapi ARV.
Pada dasarnya, penggantian atau subtitusi individual dari ARV karena
toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama. Contoh : AZT
atau TDF untuk menggantikan d4T karena kejadian neuropati, TDF dapat
menggantikan AZT karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas
Umumnya infeksi candida dapat berespons dengan baik pada pemberian obat
antifungal baik dalam bentuk topikal (krim), tablet intravagina, maupun sediaan oral. Obat
antifungal ini antara lain antifungal polyene (amfoterisin B atau nistatin) dan obat-obat
derivatazole (flukonazol, klotrimazol, ketokonazol, itrakonazol, dan mikonazol). Pasien
dengan AIDS dapat berespons buruk pada dosis terapeutik antifungal oral seperti flukanazol
(100-200mgper hari), ketoconazole (200-400mg per hari) atau itrakonazol (100-200 mg per
hari) sehingga dapat diberikan secara intermiten sampai mencapai kadar proteksi imunitas
tertentu. Penggunaan ketokonazol dan flukonazol yang diperpanjang pada pasien AIDS dapat
meningkatkan resistensi obat, walaupun hal ini dapat dikurangi dengan tersedianya HAART
(Highly Active Antiretroviral Therapy). Antifungal oral juga diperlukan pada pasien dengan
kandidiasis mukokutan kronik.
REFERENSI:
Chris Tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 4.Jakarta:Media Aesculapius
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL,Loscalzo J, eds. 2012. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 18th edition. USA: McGraw-Hill.
Sudoyo, Aru W.dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI.Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Obat ARV juga di berikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada
orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post-exposure
prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Menurut Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran 2012, regimen yang di rekomendasikan adalah AZT + 3TC +EFV,
AZT +3TC + NVP, TDF +3TC atau FTC +EVF, dan TDF + 3 TC atau FTC + NVp,. Evafirez
(EFV) sebaiknya tidak di berikan pada kehamilan trimester 1. Pemerian ARV pada bayi yang
lahir dan ibu HIV adalah AZ7 2x/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu, dosis 4
mg/kgBB/kali.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting
untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia sudah
tertular HIV dariibunya. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%
artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ad 10 sampai 30 bayi yang akan tertular.
Sebagian besar penularanterjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui
plasenta salaam kehamilaln dan sebagian lagi melalui air susu ibu.
Kendala yang di khawatirkan adalah biaya untuk membeli oabt ARV. Obat ARV yang di
anjurkan untuk PTMCT adalh zidovudin (AZT) atau nevirapin. Pemberian nevirapin dosis
tunggal untuk ibu dan anak di nilai sangat mudah untuk di terapkan dan ekonomis.
Sebelumnya pilihan yang terbaijk adalah pemberian ARV yang di kombinasikan dengan
operasi Caesar, karena dapat menekan penuaran sebanyak 1%. Namun saying nya di Negara
berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang
murah dan aman kemudian pemberian ASI oleh wanita dengan HIV tidak di rekomendasikan
karena memiliki resiko transmisi sebesar 5-20%. Alternative pemberian susu formula.
Namun, kendala pemberian susu formula masih dialami oleh Negara berkembang
dikarenakan facto kultur dan ekonomi
Berbagai upaya pencegahan ini harus diikuti dengan kepatuhan berobat yang tinggi.
Seperti yang pernah di teliti sebelumnya, terdapat nilai keberhasilan pengobatan yang tinggi
sesuai dengan tingginya tingkat kepatuhan berobat pasien. Pada pasien dengan tingkat
kepatuhan beroat 95%, maka tingkat keberhasilan pengobatannya sebesar 80%, sedangkan
pada pasien dengan tingkat kepatuha berobat kurang dari 70% akan didapatkan nilai
keberhasilan pengobatan sebesar 5%.
C. Kewaspadaan Universal
PENCEGAHAN TB
Lingkungan hidup yang sangat padat dan permukiman di daerah perkotaan kemungkingan
besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah
kasus TB. Proses tejadinya infeksi oleh M.Tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga
TB paru manifestasinya paling sering di banding organ lainnya. Penularan penyakit ini
sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya pasien
penderita TB batuk berdarah yang mengandung BTA. Pada TB jaringan Lunak atau kulit
dapat tertular melalui inokulasi langsung. Infeksi yang di sebabkan oleh m,bovis dapat di
sebabkan oleh susu yang kurang di sterilkan dengan baik dan terkontaminasi
PENCEGAHAN KANDIDIASIS
Kebersihan rongga mulut sangat membantu pencegahan oral trush pada pasien yang system
imunnya lemah. Beberapa studi menunjukkan obat kumur kloreksidin dapat membantu
mencegah kandidiasis orsal pada pasien.
1. Andrew R. Zolopa, MD, Mitchell H. Katz, MD. 2013. Current Medical Diagnosis
and Treatment. 52nd Edition. Page : 1325
2. Ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi VI
3. Jurnal TBC pada AIDS FK TARUMANEGARA
4. Buku Ajar Penyakit Dalam hlm 755
5. Imunologi UI 504-505
6. Baratawidjaja G Karnen, Imunologi Dasar, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Edisi ke 11, 2014 Hal. 329
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta; 2006
8. repository.unhas.ac.id
9. http://repository.usu.ac.id/
10. Respository.usu.ac.id
11. Chris Tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 4.Jakarta:Media Aesculapius
12. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL,Loscalzo J, eds. 2012.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition. USA: McGraw-Hill.
13. Sudoyo, Aru W.dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI.Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam