Makalah Cross Sectional
Makalah Cross Sectional
Oleh :
Anggota :
Aidil Fitri
Dwi Kartika Sari
Elza Miaqsa
Melda Rahmatul Karimah
Elza Okta
Elvira Y
Lizatul Aini
Rigo Vomitra
Suci Amalya
Vini Handayani
Dosen :
Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa
makalah yang berjudul “Studi Cross Sectional”.
Sumber dari makalah ini diambil dari buku-buku yang berhubungan
dengan Farmakoepidemiologi dan lainnya yang ditambah dengan informasi yang
didapat dari pencarian (browsing) di internet dan sumber-sumber lainnya.
Diantara sumber-sumber tersebut di susunlah semua informasi dalam satu
makalah sehingga menurut kami makalah ini sudah cukup informatif.
Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang kami
temui namun kami berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat
waktu. Akhir kata jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati pembaca mohon
dimaklumi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian studi cross sectional.............................................................3
3.1 Kesimpulan............................................................................................20
Daftar Pustaka...................................................................................................22
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang begitu pesat seperti saat ini diikuti pula dengan
pesatnya perkembangan intelektual manusia. Banyak sekali pengetahuan yang perlu
untuk dikembangkan lagi menjadi sebuah ilmu pengetahuan baru yang dapat
dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia. Berbagai cara digunakan untuk
mengembangkan pengetahuan ataupun mencari ilmu pengetahuan baru. Salah satu
cara untuk mengembangkan pengetahuan tersebut adalah penelitian.
Dalam melakukan penelitian salah satu hal yang penting ialah membuat
desain penelitian. Desain penelitian bagaikan sebuah peta jalan bagi peneliti yang
menuntun serta menentukan arah berlangsungnya proses penelitian secara benar dan
tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa desain yang benar seorang
peneliti tidak akan dapat melakukan penelitian dengan baik karena yang bersangkutan
tidak mempunyai pedoman arah yang jelas. Manfaat desain penelitian akan dirasakan
oleh semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian, karena dapat digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan proses penelitian.
Selain itu, agar sebuah penelitian memiliki batasan-batasan dan dapat disusun
secara terstruktur dan terkonsep dengan baik, maka diperlukan sebuah metode
Cross Sectional 1
penelitian. Mengingat betapa pentingnya desain dan metode penelitian bagi sebuah
penelitian, maka kelompok kami akan membahas mengenai Desain dan Metode
Penelitian dalam Makalah ini.
Cross Sectional 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam studi cross-sectional, variabel bebas atau faktor resiko dan tergantung
(efek) dinilai secara simultan pada satu saat; jadi tidak ada follow-up pada studi
cross-sectional. Dengan studi cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam
populasi pada suatu saat; oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai
studi prevalens(prevalence studi). Dari data yang diperoleh, dapat dibandingkan
prevalens penyakit pada kelompok dengan resiko, dengan prevalens penyakit pada
kelompok tanpa resiko. Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk perencanaan
kesehatan, akan tetapi juga dapat dgunakan sebagai studi etiologi. Pembahasan
diawali dengan tinjaun ringkas tentang pengertian dasar, dan dilanjutkan dengan
langkah-langkah dalam melaknsanakan studi cross-sectional. (Sastroasmoro, 1995)
Cross Sectional 3
Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang
sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan
istilah survey. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu
survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi
kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian
adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan
mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa
digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian
penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.
Cross Sectional 4
Penelitian crosssectional ini, peneliti hanya mengobservasi fenomena pada
satu titik waktu tertentu. Penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif, ataupun
eksplanatif, penelitian cross-sectional mampu menjelaskan hubungan satu variabel
dengan variabel lain pada populasi yang diteliti, menguji keberlakuan suatu model
atau rumusan hipotesis serta tingkat perbedaan di antara kelompok sampling pada
satu titik waktu tertentu. Namun penelitian cross-sectional tidak memiliki
kemampuan untuk menjelaskan dinamika perubahan kondisi atau hubungan dari
populasi yang diamatinya dalam periode waktu yang berbeda, serta variabel dinamis
yang mempengaruhinya (Nurdini, 2006).
Studi cross-sectional hanya merupajan salah satu dari jenis studi observasional
untuk menentukan hubungan antara factor risiko dan penyakit. Studi cross-sectional
untuk mempelajari etiologi suatu penyakit dipergunakan terutama untuk mempeljari
factor risiko penyakit dipergunakan terutama untuk mempelajari factor risiko
penyakit yng mempunyai onset yang lama dan lama sakit yang panjang, sehingga
biasanya pasien tidak mencari pertolongan sampai penyakitnya relative telah lanjut.
Penyakit-penyakit jenis tersebut misalnya osteoarthritis, bronchitis kronik, dan
sebagian besar penyakit kejiwaan. Studi kohort kurang tepat digunakan pada studi
tentang penyakit-penyakit tersebut karena diperlukan sampel yang besar, waktu
follow up yang sangat lama, dan sulit untuk mengetahui saat mulainya penyakut (sulit
untuk menentukan insidens). Sebaliknya jenis penyakit yang mempunyai lama sakit
sedikit jumlah kasus yang akan diperoleh didalam kurun waktu pendek. Sesuai
Cross Sectional 5
dengan namanya, yakni studi prevalens, maka pada studi cross sectional yang dinilai
adalah subjek yang baru dan yang sudah kama menderita penyakit atau kelainan yang
sedang diselidiki. (Sastroasmoro, 1995)
Efek
Ya Tidak Jumlah
Faktor resiko Ya a B a+b
Tidak c D c+d
jumlah a+c b +d a+b+c+d
Gambar. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan studi cross sectional.
Cross Sectional 6
Rasio prevalens dihitung dnegan membagi prevalens efek pada kelompok dengan
factor resiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa factor resiko.
RP = a/ (a+b) : c/ (c+d)
Cross Sectional 7
Tabel Masalah Penelitian Dan Desain Studi
1. Mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa penyakit tertentu yang
terdapat di masyarakat.
Cross Sectional 8
2. Memperkirakan adanya hubungan sebab akibat pada penyakit-penyakit
tertentu dengan perubahan yang jelas.
3. Menghitung besarnya resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut.
Cross Sectional 9
2. Perhitungan perkiraan besarnya sampel tanpa memperhatikan kelompok yang
terpajan atau tidak.
3. Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai dengan kriteria subjek studi.
Misalnya hubungan antara Cerebral Blood Flow pada perokok, bekas perokok
dan bukan perokok.
4. Tidak terdapat kelompok kontrol dan tidak terdapat hipotesis spesifik.
5. Hubungan sebab akibat hanya berupa perkiraan yang dapat digunakan sebagai
hipotesis dalam penelitian analitik atau eksperimental.
Skema pada struktur dasar desain cross sectional melukiskan denan sederhana
rancangan studi cross-sectional. Sejalan dengan skema diatas dapat disusun langkah-
langkah yang terpenting didalam rancangan studi cross sectional, yaitu:
Cross Sectional 10
Semua variabel yang dihadapi dalam studi prevalens harus diidentifikasi
dengan cermat. Untuk ini perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas
mana yang termasuk dalam faktor resiko yang ingin diteliti, faktor resiko yang
tidak akan diteliti, serta efek. Faktor yang merupakan resiko namun tidak
diteliti perlu diidentifikasi, agar dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi
pada waktu pemilihan subyek penelitian.
Cross Sectional 11
untuk penelitian cross sectional yang mencari rasio prevalens sama dengan
penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari resiko relatif.
4. Melaksanakan pengukuran
Pengukuran variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek, atau
penyakit) harus dilakuukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran.
Pengukuran faktor resiko, penetapan faktor resiko dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara, bergantung pada sifat faktor resiko; dapat digunakan kuesioner,
catatan medik, uji laboratorium, pemeriksaan fisis, atau prosedur pemeriksaan
khusus. Bila faktor resiko diperoleh dengan wawancara, maka mungkin
diperoleh informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang merupakan
keterbatasan studi ini. Oleh karena itu maka jenis studi ini lebih tepat untuk
mengukur faktor resiko yang tidak berubah, misalnya golongan darah, jenis
kelamin, atau HLA.
Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat
ditentukan dengan kuesioner, pemeriksaan fisis ataupun pemeriksaan khusus,
bergantung pada karakteristik penyakit yang dipelajari. Cara apapun yang
dipakai, harus ditetapkan kriteria diagnosisnya dengan batasan operasional
yang jelas. Harus selalu diingat hal-hal yang akan mengurangi validitas
penelitian, seperti subyek yng tidak ingat akan timbulnya suatu penyakit,
terutama pada penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit
yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai subyek,
apakah pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.
5. Menganalisis data
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti
dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data. Analisis ini
dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh risiko
Cross Sectional 12
relatif. Hal yang terakhir inilah yang lebih sering dihitung dalam studi cross
sectional untuk mengidentifikasi faktor resiko.
RP = a/(a+b) : c/(c+d)
a/(a+b) = proporsi (prevalens) subyek yang mempunyai faktor risiko yang
mengalami efek
c/(c+d) = proporsi (prevalens) subyek tanpa faktor risiko yang mengalami
efek
Cross Sectional 13
langsung dihitung dengan berbagai jenis program statistik untuk komputer.
Bagi kita yang terpenting adalah pemahaman bahwa interval kepercayaan
tersebut harus dihitung, dan bila telah ada hasil, mengetahui bagaimana
interprestasinya.
Interprestasi hasil
1. Bila nilai risiko prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor
risiko tersebut tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan
kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula diduga pemakaian kontrasepsi
oral pada awal kehamilan merupakan faktor risiko untuk terjadinya
penyakit jantung bawaan. Bila dalam penghitungan ternyata rasio
prevalens nya = 1, maka dari data yang ada berartipemakaian kontrasepsi
oral oleh ibu bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit
jantung bawaan pada bayi yang baru dilahirkan.
2. Bila rasio prevalensnya > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko
timbulnya penyakit. Misalnya rasio prevalens pemakaian KB suntik pada
ibu menyusui terhadap kejadian kurang gizi pada anak = 2. Ini berarti
bahwa KB suntik merupakan risiko untuk terjadinya defisiensi gizi pada
bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB suntik mempunyai risiko
menderita defisiensi gizi 2x lebih besar ketimbang bayi yang ibunya
bukan pemakai KB suntik.
3. Apabila nilai rasio prevalensnya <1 dan rentang nilai interval kepercayaan
tidak mencakup angka 1, maka berarti faktor yang diteliti justru akan
mengurangi kejadian penyakit; bahkan variabel yang diteliti merupakan
faktor protektif. Misalnya rasio prevalens pemakai ASI untuk terjadinya
diare pada bayi adalah 0.3, berarti bahwa ASI justru merupakan faktor
pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum ASI mempunyai risiko
Cross Sectional 14
untuk menderita diare 0.3x apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak
minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka
berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai
prevalensnya=1, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang
dikaji tersebut merupakan faktor risiko atau faktor protektif.
Contoh:
Rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% 1.4 sampai
6.8 menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang
diteliti, kita mempunyai kepercayaan sebesar 95% bahwa rasio
prevalensnya terletak antara 1.4-6.8 (selalu lebih dari 1). Dengan demikian
maka rasio prevalens tersebut disebut bermakna. Namun suatu rasio
prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% antara 0.8-7,
menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut belum tentu merupakan
faktor risiko, sebab didalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilai
rasio prevalens tersebut terletak diantara 0.8-7, mencakup nilai 1. (Rasio
prevalens=1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tersebut bersifat
netral). Hal yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (rasio prevalens
kurang dari 1); apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari satu
berarti memang benar bahwa dalam populasi variabel independen tersebut
merupakan faktor protektif, akan tetapi bila rentang interval kepercayaan
mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum tentu merupakan
faktor protektif.
Cross Sectional 15
Misalnya peneliti ongin mencari hubungan antara kebiasaan menggunakan obat
nyamuk smprot dengan batuk kronik berulang (BKB) pada anak balita dengan desain
cross sectional. Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :
Cross Sectional 16
Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2.
BKB
Obat Ya Tidak Jumlah
Ya 30 70 100
Nyamuk Tidak 15 135 150
jumlah 45 205 250
Gambar. Hasil pengamatan cross sectional untuk mengetagui hubungan
antara pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita.
Pada gambar terdapat 100 anak yang terpajan obat nyamuk semprot, 30 anak
diantaranya menderita BKB (prevalens BKB pada kelompok yang terpajan obat
nyamuk semprot = 30/100 = 0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk
semprot, 15 dianataranya menderita BKB )prevalens BKB bila tidak terpajan obat
nyamuk semprot = 15/150 = 0,1). Maka rasio prevalens = 0,3 / 0,1 = 3.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens (RP) tersebut.
Bila nilai interval kepercayaan 95% RP tersebut selalu diatas nilai 1 (misalnya antara
1,6 sampai 5,6 dan dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat nyamuk semprot
memang merupakan factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak. Namun,
meskipun rasio prevalensinya 3, bila interval kepercayaan mencakup angka 1
(mislanya 0,6 sampai 6,7), maka penggunaan obat nyamuk semprot belum dapat
dikatakan bermakna sebagai factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak balita,
atau (2) junlah subjek yang diteliti kurang banyak.
Dari contoh tersebut tampaklah ahwa pada rancangan penelitian cross
sectional factor prevalens adalah penting. Prevalens ialah proporsi subjek yang sakit
pada suatu wajtu tertentu (kasus lama dan baru), yang harus dibedakan dengan
insidens pada rancangan penelitian kohort yang berarti proporsi subjek yang semula
sehat kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.
Cross Sectional 17
Walaupun istilah prevalens seringkali dihubungkan dengan penyakit, tetapi
dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya prevalens dari factor resiko,
atau factor lain yang akan diteliti. Prevalens sering digunakan oleh perencana
kesehatan untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang terkena penyakit tertentu
dan juga penting diklinik untuk mengetahui penyakit yang banyak terdapat dalam
suatu piusat kesehatan. (Sastroasmoro, 1995)
Cross Sectional 18
b. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa
sakit yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit yang pendek,
karena inidividu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai
kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi
c. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila variabel
yang dipelajari banyak
d. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidensi maupun
prognosis
e. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang jarang
f. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit
BAB III
PENUTUP
Cross Sectional 19
3.1 Kesimpulan
Secara umum studi cross sectional merujuk pada penelitian yang tidak
mempunyai dimensi waktu, pengukuran pelbagai variabel dilakukan satu kali.
Desain cross sectional dapat dipakai untuk studi deskriptif, studi komparatif,
studi etiologic atau factor resiko.
Pada studi etiologic, studi cross sectional mencari hubungan antara variabel
bebas 9resiko0 dengan variabel tergantung ( efek). Bila gaktor resiko hanya
satu berskala nominal dikotom, dan efek juga berskala nominal dikotom,
maka dapat diperoleh rasio prevalens, yaitu perbandingan antara prevalens
efek pada kelompok dengan resiko dan pada kelompok tanpa resiko.
Rasio prevalens = 1 menunjukkan bahwa variabel bebas yang diteliti bukan
merupakan factor resiko. Rasio prevalens >1 menunjukkan bahwa variabel
independen merupakan factor protektif.
Interval kepercayaan harus diseratakan untuk menyingkirkan kemungkinan
interval rasio prevalens mencakup angka 1. Yang berarti dalam populasi,
variabel independen belum tentu merupakan factor resiko atau factor
protektif.
Hubungan banyak variabel independen dengan satu variabel dependen dapat
diperoleh dengan mempergunakan analisis multivariate ; yang banyak dengan
mempergunakan analisis multivariate; yang banyak dipakai persamaan regresi
multiple dan regresi logistic.
Keuntungan studi cross sectional adalah relative murah, mudah, dan hasilnya
cepat diperoleh. Keterbatasannya adalah karena ditentukan mana penyebab
dan mana akibat.
Cross Sectional 20
DAFTAR PUSTAKA
Cross Sectional 21
Nurdini, Allis. 2006. “Cross-Sectional vs Longitudinal: Pilihan Rancangan Waktu
dalam Penelitian Perumahan Pemukiman”. DIMENSI TEKNIK
ARSITEKTUR Vo. 34, No. 1, Juli 2006: 52-58.
Puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/ download/…/16449.
Diakses tanggal 23 Mei 2016.
Cross Sectional 22