Anda di halaman 1dari 115

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN TERAPI PENYAKIT ISPA SEBELUM


DAN SEMASA PANDEMI COVID 19 DI WILAYAH
KERJA UPTD PUSKESMAS TABANAN I
KABUPATEN TABANAN BALI

NI WAYAN KADIASIH

PROGRAM STUDI D III FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2020
GAMBARAN TERAPI PENYAKIT ISPA SEBELUM
DAN SEMASA PANDEMI COVID 19 DI WILAYAH
KERJA UPTD PUSKESMAS TABANAN I
KABUPATEN TABANAN BALI

Karya Tulis Ilmiah ini untuk Memenuhi Syarat Kelulusan


pada Program Studi Diploma Tiga Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Mahasaraswati Denpasar

NI WAYAN KADIASIH
NIM: 1909484010221

PROGRAM STUDI D III FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN
NASKAH KARYA TULIS ILMIAH

Judul : Gambaran Terapi Penyakit ISPA Sebelum dan Semasa


Pandemi Covid 19 di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali

Penyusun : Ni Wayan Kadiasih

Nim : 190948401022

Tanggal Ujian :

Telah disetujui oleh pembimbing


Pada tanggal ……………….

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(apt. I Putu Tangkas Suwantara, (apt. Ni Putu Udayana Antari,


S.Farm.,M.Farm) S.Farm.,M.Sc)
NIDN :080804900 NIDN : 0814058701

Mengetahui

Dekan Fakultas Farmasi Ketua Program Studi Studi DIII Farmasi

apt. I Made Agus Sunadi Putra, S.Si., apt. I Gede Made Suradnyana ,S.Si.,
M.Biomed. M.Farm.
NIDN : 0812047702 NIDN : 0802117401

ii
Karya tulis ilmiah ini telah diuji pada
Tanggal 17 Juli 2020

Penguji Karya Tulis Ilmiah ditetapkan berdasarkan


SK Dekan Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Nomor : 774/FF-UNMAS/E.10/VII/2020
Tanggal : 07 Juli 2020.

Ketua : apt.I Putu Tangkas Suwantara , S.Farm.,M.Farm


Sekretaris : apt.Ni Putu Udayan Antari.S.Farm.,M.Sc
Anggota : apt.Fitria Megawati,S.Farm.,M.Sc

iii
iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya Karya
Tulis Ilmiah yang berjudul “Gambaran Terapi Penyakit ISPA Sebelum dan
Semasa Covid 19 di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten
Tabanan Bali ini tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih diberikan atas kerjasamanya dalam penyusunan
Proposal Karya Tulis Ilmiah ini kepada:
1. Bapak apt. I Made Agus Sunadi Putra, S.Si., M.Biomed. selaku Dekan
Fakultas Farmasi, Universitas Mahasaraswati Denpasar
2. Bapak apt. I Gede Made Suradnyana,S.Si.,M.Farm. selaku Ketua Program
Studi Diploma III Farmasi Universitas Mahasaraswati.
3. Bapak apt.I Putu Tangkas Suwantara,S.Farm.,M.Farm. selaku
pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan,
masukan, dan bimbingan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Ibu apt. Ni Putu Udayana Antari.S.Farm.,MSc . selaku pembimbing II
yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan, masukan, dan
bimbingan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Ibu apt. Fitria Megawati, S.Farm.,MSC selaku penguji Karya Tulis Ilmiah
yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan, masukan, dan
bimbingan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini
6. Bapak dr. I Ketut Serinata selaku Kepala UPTD Puskesmas Tabanan I
Kabupaten Tabanan, yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan
penelitian dan pengambilan di UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten
Tabanan.
7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Diploma III Farmasi, Fakultas Farmasi
Universitas Mahasaraswati yang telah memberikan arahan dan sarannya
dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah karya tulis ilmiah ini.

v
8. Orang tua yang telah senantiasa memberikan semangat dan dukungan
dalam penyusunan proposal karya tulis ilmiah ini.
9. Suami yaitu I Made Duana yang telah memberikan bantuannya dan
senantiasa memberikan perhatian, semangat dan dukungannya dalam
penyusunan Karya Tulis Ilmiah karya tulis ilmiah ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Demikian Karya Tulis Ilmiah karya tulis ilmiah ini disusun, semoga dapat
memberikan manfaat bagi diri kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Tabanan, 17 Juli 2020

Penulis

vi
ABSTRAK

GAMBARAN TERAPI PENYAKIT ISPA SEBELUM DAN SEMASA


COVID 19 DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS TABANAN I
KABUPATEN TABANAN BALI

Ni Wayan Kadiasih , I Putu Tangkas Suwantara,


Ni Putu Udayana Antari

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penggunaan obat


bagi penderita penyakit ISPA sebelum dan semasa pandemi Covid- 19 di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental dan
menggunakan rancangan penelitian deskriptif evaluatif dengan pengambilan data
dilakukan secara retrospektif. Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah
112 orang. Cara pengambilan sampel dengan cara Non Probability Sampling
dengan menggunakan purposive sampling. Penelitian ini menggunakan Analisis
univariat.
Hasil penelitian menunjukkan: Sebelum dan selama pandemi Covid 19
penderita penyakit ISPA didominasi oleh pasien dengan kelompok umur >40
tahun. Ada Perbedaan jumlah penderita ISPA berdasarkan jenis kelamin. Sebelum
dan selama pandemi Covid 19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi obat Antibiotik jenis Amoxycillin tablet, sebelum dan selama
pandemi covid-19 penderita ISPA lebih banyak mengkonsumsi obat batuk jenis
Ambroxol tablet, Sebelum dan selama pandemi Covid 19 penderita ISPA lebih
banyak mengkonsumsi obat Kortikosteroid jenis Methylprednisolone, Sebelum
dan selama pandemi Covid 19 penderita ISPA lebih banyak mengkonsumsi obat
antihistamine yaitu cetirizine, Sebelum dan selama pandemi Covid 19 penderita
ISPA lebih banyak mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek yaitu
Calortusin dan selama pandemi covid-19 yang lebih banyak dikonsumsi yaitu
Coparcetin, sebelum dan selama pandemi covid-19 obat antipiretik/penurun panas
yang lebih banyak di konsumsi yaitu Paracetamol tablet, Sebelum dan selama
pandemi Covid 19 penderita ISPA lebih banyak mengkonsumsi vitamin yang
paling banyak di konsumsi yaitu vitamin Becefort, Sebelum dan selama pandemi
Covid 19 penderita ISPA lebih banyak di dominasi oleh jenis diagnose ISPA non
pnemonia.
Kata :
kunci Antibiotik,Antipiretik,ISPA

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN KARYA TULIS ILMIAH ........................ ii
HALAMAN PENGESAHAN KTI .............................................................. iii
HALAMAN PENETAPAN PENGUJI ........................................................ iv
PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
1.4.1 Manfaat teoritis .................................................................. 4
1.4.2 Manfaat praktis .................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) .................................... 6
2.1.1 Definisi .............................................................................. 6
2.1.2 Patofisiologi ....................................................................... 6
2.1.3 Etiologi .............................................................................. 8
2.1.4 Klasifikasi ISPA ................................................................ 9
2.1.5 Faktor ISPA ....................................................................... 14
2.1.6 Gejala ISPA ....................................................................... 21
2.1.7 Terapi pada ISPA ............................................................... 22
2.1.8 Pelayanan Farmasi Klinik .................................................. 24
2.1.9 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian ..................... 26
2.1.10 Puskesmas ........................................................................ 29
2.1.11 Coronavirus Disease 2019 .............................................. 31
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 38
3.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 38
3.2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel ............................... 38
3.2.1 Variabel Penelitian ............................................................ 38
3.2.2 Definisi Operasional Variabel ........................................... 38
3.3 Populasi dan Sampel ................................................................... 39
3.4 Lokasi dan Waktu ....................................................................... 41
3.5 Prosedur Kerja/Teknik Pengumpulan Data ................................ 42
3.6 Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................... 44
4.1 Profil UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali.... 44

viii
4.2 Deskripsi Data ............................................................................ 45
4.2.1 Gambaran Terapi Penyakit ISPA Sebelum Pandemi
Covid 19 ............................................................................ 45
4.2.2 Gambaran Terapi Penyakit ISPA Selama Pandemi Covid
19 ....................................................................................... 55
BAB V PEMBAHASAN ............................................................................. 66
5.1 Pembahasan ................................................................................ 66
5.2 Kelemahan Penelitian ................................................................. 71
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 72
6.1 Simpulan ..................................................................................... 72
6.2 Saran ........................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 74


LAMPIRAN……………………………………………………………….. 77
RIWAYAT HIDUP PENULIS……………………………………………. 100

ix
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 2.1 Antibiotika pada Infeksi Saluran Pernafasan Atas ............... 22


Tabel 2.2 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Sinusitis untuk Pasien
Dewasa ................................................................................. 23
Tabel 2.3 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Faringitis untuk Pasien
Dewasa ................................................................................. 23
Tabel 2.4 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Pneumonia untuk Pasien
Dewasa ................................................................................. 24
Tabel 4.1 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Kelompok
Umur ..................................................................................... 45
Tabel 4.2 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Kelamin ................................................................................ 46
Tabel 4.3 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antibiotika .................................................................. 47
Tabel 4.4 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Antibiotika ............................................................................ 47
Tabel 4.5 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Batuk ............................................................................ 48
Tabel 4.6 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Batuk ..................................................................................... 48
Tabel 4.7 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Kortikosteroid .............................................................. 49
Tabel 4.8 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Kortikosteroid ....................................................................... 49
Tabel 4.9 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antihistamin ................................................................ 50
Tabel 4.10 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Antihistamin ......................................................................... 50
Tabel 4.11 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek ...................................... 51
Tabel 4.12 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Kombinasi untuk Batuk Pilek ............................................... 52
Tabel 4.13 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas .................................. 52
Tabel 4.14 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas ........................................... 53
Tabel 4.15 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Vitamin ................................................................................. 54

x
Tabel 4.16 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Vitamin ................................................................................. 54
Tabel 4.17 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Diagnosa ISPA ..................................................................... 55
Tabel 4.18 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Kelompok Umur ................................................................... 55
Tabel 4.19 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Kelamain ............................................................................... 56
Tabel 4.20 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antibiotik ..................................................................... 57
Tabel 4.21 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Antibiotika ........................................................................ 57
Tabel 4.22 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Batuk ............................................................................ 58
Tabel 4.23 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Batuk ..................................................................................... 58
Tabel 4.24 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Kortikosteroid .............................................................. 59
Tabel 4.25 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Kortikosteroid ....................................................................... 60
Tabel 4.26 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antihistamin ................................................................ 60
Tabel 4.27 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Antihistamin ......................................................................... 61
Tabel 4.28 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek ...................................... 61
Tabel 4.29 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Kombinasi untuk Batuk pilek ............................................... 62
Tabel 4.30 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antipiretik/ Obat Penurun Panas ................................. 63
Tabel 4.31 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas ........................................... 63
Tabel 4.32 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Vitamin ................................................................................. 64
Tabel 4.33 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Vitamin ................................................................................. 64
Tabel 4.34 Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis
Diagnosa ............................................................................... 65

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 3.1. Prosedur Kerja Penelitian Gambaran Terapi Penderita
ISPA Sebelum dan Semasa Pandemi Virus Covid-19 ......... 42

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Surat Ijin Melaksanakan Penelitian dari Fakultas Farmasi ..... 77
Lampiran 2 Surat Ijin Melaksanakan Penelitian dari Puskesmas................ 78
Lampiran 3 Daftar Peresepan ISPA di UPTD Puskesmas Tabanan I
Sebelum Pandemi ........................................................................................ 79
Lampiran 4 Daftar Peresepan ISPA di UPTD Puskesmas Tabanan I
Semasa Pandemi .......................................................................................... 89

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan pada dasarnya merupakan bagian yang sangat penting bagi
suatu kehidupan, sehat yaitu dalam keadaan yang sempurna dan bebas dari
segala penyakit, sehingga dapat beraktivitas dengan baik (Potter & Perry,
2005). Seseorang yang tidak sehat dikatakan dalam keadaan sakit, kesakitan
yang dialami sesorang dapat mengganggu aktivitas seseorang, selain itu pun
kesakitan juga dapat sebagai penyebab kematian pada seseorang jika
kesakitan tersebut tidak ditangani atau tidak tertangani (Potter & Perry,
2005).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
sering dijumpai di masyarakat dengan gejala ringan sampai berat
(Kementerian Kesehatan RI, 2009). Penyakit ISPA menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Menurut WHO (2016)
kasus ISPA di seluruh dunia sebanyak 18,8 miliar dan kematian sebanyak 4
juta orang per tahun. Tingkat mortalitas penyakit ISPA sangat tinggi pada
balita, anak-anak, dan orang lanjut usia terutama di negara-negara dengan
pendapatan per kapita rendah dan menengah (WHO, 2007). Kasus ISPA di
Indonesia pada tahun 2015 menempati urutan pertama sebanyak 25.000 jiwa
se-Asia Tenggara pada tahun 2015 (WHO, 2016).
Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat menyerang
semua umur, baik orang dewasa, remaja, atau balita. ISPA pun tidak mengenal
tempat baik di negara maju maupun negara yang kurang berkembang.
Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional
akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya
resistensi bakteri. Selain itu tidak menutup kemungkinan penggunaan obat-
obat yang lain dapat menimbulkan Drug Related Problems (DRP),
sehubungan dengan adanya Drug Related Problems (DRP), maka Farmasis

1
2

harus dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah-masalah yang


terjadi atau yang akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotika.
Antibiotika sangat berguna untuk mengobati infeksi walaupun antibiotika
bukan merupakan obat penyembuh infeksi, tetapi antibiotika dapat
mempersingkat waktu hospes untuk sembuh (Mansjoer, et al., 2000).
Penggunaan antibiotik secara tidak rasional merupakan fenomena yang
terjadi di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang (Gaash,
dalam Fajarwati, 2015). Menurut Setiabudi (2007) terapi ISPA yang
disebabkan oleh virus seperti selesma dan influenza tidak berespon terhadap
pemberian antibiotik dan dapat sembuh dengan sendirinya. Sementara itu,
ISPA yang disebabkan oleh bakteri seperti faringitis atau tonsilitis akut
karena Streptokokus grup A harus diobati menggunakan antibiotik untuk
mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya infeksi lanjutan.
Pengobatan ISPA menggunakan antibiotik sering diberikan tanpa
didahului dengan pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan terhadap
mikroorganisme penginfeksi (Karch, 2011). Selain itu dampak dari
penyalahgunaan pemberian antibiotik dapat menimbulkan kegagalan terapi,
superinfeksi (infeksi yang lebih parah), meningkatnya resiko kematian,
peningkatan efek samping, resiko terjadinya komplikasi penyakit,
peningkatan resiko penularan penyakit, peresepan obat yang tidak diperlukan,
dan peningkatan biaya pengobatan (Llor and Bjerrum, 2014).
Untuk mencegah peningkatan bakteri yang resisten yaitu dengan cara
mengoptimalkan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of
antibiotic). Prinsip penggunaan antibiotik secara bijak dapat didasarkan pada
bentuk terapinya (terapi empiris atau definitif). Terapi empiris digunakan
apabila belum diketahui jenis bakteri penginfeksi. Tujuan pemberian
antibiotik pada terapi empiris digunakan untuk eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi sebelum diketahui hasil
mikrobiologi. Pemilihan antibiotik pada terapi ini didasarkan pada tanda
klinis yang mengarah pada bakteri tertentu penyebab umum terjadinya suatu
infeksi. Sedangkan terapi definitif digunakan untuk infeksi yang sudah
3

diketahui bakteri penginfeksi dan pola resistensinya. Tujuan pemberian


antibiotik pada terapi definitif adalah eradikasi dan penghambatan
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi berdasarkan hasil
pemeriksaaan mikrobiologi (Departemen Kesehatan RI, 2005)
Penelitian ini dilakukan di UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten
Tabanan Bali. Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali melayani
pasien yang menggunakan asuransi kesehatan sosial. Sehingga diperkirakan
banyak pasien yang berobat di Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan
Bali. Dengan jumlah pasien yang cukup banyak, khususnya pasien pediatri,
dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas mengenai
penggunaan antibiotik untuk diagnosis ISPA. Kemudian menurut penelitian
yang dilakukan oleh Marthinie (2004), dapat diketahui bahwa dari 85 pasien
ditemukan 122 antibiotik masih terdapat masalah yang berkaitan dengan
ketidaktepatan antibiotik yaitu kurang tepat indikasi, kurang tepat obat,
kurang tepat aturan pakai, kurang tepat pasien, dan adanya interaksi dengan
obat lain.
Menurut data pemakaian obat di UPTD Puskesmas Tabanan I dapat
dijelaskan, bahwa: (1) Jenis obat Antibiotik: obat yang paling banyak dipakai
adalah Amoxicillin Tablet tercatat sebanyak 34 pasien atau sebesar 55,74%.
(2) Jenis Obat Batuk: obat yang paling banyak dipakai adalah Ambroxol
Tablet tercatat sebanyak 64 pasien atau sebesar 70,33%. (3) Jenis Obat
Kortikosteroid: obat yang paling banyak dipakai adalah Methylprednisolone
tercatat sebanyak 20 pasien atau sebesar 51,28%. (4) Jenis obat
Antihistamine: obat yang paling banyak dipakai adalah Cetirizine Tablet
tercacat sebanyak 8 pasien atau sebesar 50,00%. (5) Jenis obat Obat
Kombinasi Untuk Batuk Pilek: obat yang paling banyak dipakai adalah
Calortusin tercatat sebanyak 32 pasien atau sebesar 100,00%. (6) Jenis obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas: obat yang paling banyak dipakai adalah
Parasetamol Tablet tercatat sebanyak 36 pasien atau sebesar 80,00%. (7) Jenis
Vitamin: vitamin yang paling banyak dipakai adalah Vitamin Becefort
tercatat sebanyak 38 pasien atau sebesar 80,85%.
4

Menurut hasil penelitian Antoro (2015) di Puskesmas Kecamatan


Kunduran Kabupaten Blora tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 110 pasien
yang memenuhi kriteria inklusi diketahui antibiotik yang sering diberikan
untuk Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPA) adalah amoxicilin
(83,63%) dan kotrimoksazol (16,37%). Terdapat 46,37% pasien tidak tepat
obat, 34,50% pasien tidak tepat indikasi, 20,91% pasien tidak tepat dosis, dan
tidak ditemukan kasus pada ketepatan pasien. Penggunaan antibiotik yang
rasional mencapai 42,72%.
Berdasarkan pernyataan dan fenomena tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian pada penderita penyakit ISPA di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali dengan judul
“Gambaran Terapi Penyakit ISPA Sebelum dan Semasa Pandemi Covid 19 di
Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: bagaimana gambaran penggunaan obat bagi
penderita penyakit ISPA sebelum dan semasa pandemi Covid-19 di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mendapatkan gambaran penggunaan obat bagi penderita
penyakit ISPA sebelum dan semasa pandemi Covid-19 di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan
pustaka berkaitan dengan penggunaan obat bagi penderita penyakit
ISPA sebelum dan semasa pandemi Covid-19 di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali.
5

1.4.2 Manfaat praktis


Sebagai bahan masukan bagi UPTD Puskesmas Tabanan I
Kabupaten Tabanan Bali terutama yang berkaitan dengan penggunaan
obat bagi penderita penyakit ISPA sebelum dan semasa pandemi
Covid-19 di wilayah kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten
Tabanan Bali
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)


2.1.1 Definisi
ISPA merupakan salah satu penyakit pernapasan terberat dimana
penderita yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, bila udara
lembab, dingin atau cuaca terlalu panas (Saydam, dalam Saputro, 2017).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan keadaan infeksi anak paling
lazim, tetapi kemaknaannya tergantung frekuensi relatif dari komplikasi
yang terjadi pada anak. Sindrom ini lebih luas dari pada orang dewasa.
Biasanya anak dengan ISPA mengalami penurunan nafsu makan tetapi
tindakan memaksa dia untuk makan hidangan tidak ada gunanya
(Nelson, dalam Saputro, 2017). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni
sebagai berikut:
1. Infeksi
Masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan
Organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
3. Infeksi Akut
Infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit
yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.

2.1.2 Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya
virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen kesaluran

6
7

pernapasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran


nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka
virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernapasan
(Kending dan Chernick, dalam Saputro, 2017).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya
batuk kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernapasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat
pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa
yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut
menimbulkan gejala batuk (Kending and Chernick, dalam Saputro,
2017). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol
adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan
mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada
saluran pernapasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan
bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernapasan atas
seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending dan
Chernick, dalam Saputro, 2017).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul
sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri
ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan
malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya
suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan
gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, dalam Saputro, 2017).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke
tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan
kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell,
8

dalam Saputro, 2017). Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa


menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya
hanya ditemukan dalam saluran pernapasan atas, sesudah terjadinya
infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan
pneumonia bakteri (Shann, dalam Saputro, 2017).
Penanganan penyakit saluran pernapasan pada anak harus
diperhatikan aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa
sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa,
tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun
saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar,
merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah
bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG
pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (slgA)
sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas
(Siregar, dalam Saputro, 2017).

2.1.3 Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus,
Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, dan Korinebakterium. Virus
penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus,
Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain
(Suhandayani, dalam Saputro, 2017).
Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan
miksovirus (termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa,
dan virus campak), dan adenovirus. Virus para-influensa merupakan
penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit
demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab
terbesar terjadinya sindroma saluran pernapasan kecuali hanya epidemi-
epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza merupakan
penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas
9

daripada saluran nafas bagian bawah. (Siregar dan Maulany, dalam


Saputro, 2017).

2.1.4 Klasifikasi ISPA


1. Klasifikasi ISPA berdasarkan Depkes RI (2002)
a. ISPA Ringan.
Seseorang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk
pilek dan sesak.
b. ISPA Sedang.
Seseorang menderita ISPA sedang apabila ditemukan gejala sesak
nafas, suhu tubuh mencapai 39o C dan bila bernafas mengeluarkan
suara seperti mendengkur.
c. ISPA Berat.
Seseorang menderita ISPA berat apabila ditemukan gejala-gejala
meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu
makan menurun, bibir, dan ujung nadi membiru (sianosis) dan
gelisah.
2. Klasifikasi ISPA berdasarkan Kelompok Umur
Menurut Muttaqin (Saputro, 2017) bahwa klasifikasi ISPA
berdasarkan kelompok umur dibedakan menjadi:
a. Golongan umur kurang dari 2 bulan
1) ISPA berat. Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di
dinding pada bagian bawah atau nafas cepat. Batas nafas
normal untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 6x per-
menit atau lebih
2) Bukan ISPA (batuk pilek biasa). Bila tidak ditemukan tanda
tarikan di dinding pada bagian bawah atau nafas cepat. Tanda
bahaya untuk umur golongan 2 bulan yaitu:
a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya turun sampai
dari ½ volume yang biasa diminum)
10

b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Wheezing
f) Demam/dingin
b. Golongan umur 2 bulan – 5 tahun
1) ISPA berat.
Bila disertai nafas sesak di dinding bagian bawah ke dalam
pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) ISPA sedang.
Bila disertai nafas cepat. Batas nafas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan – 12 bulan = 50 kali per menit atau
lebih
b) Untuk usia 1 – 4 tahun = 40 kali per menit atau lebih
3) Bukan ISPA.
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan
tidak ada nafas cepat. Tanda bahaya untuk umur 2 bulan - 5
tahun yaitu: Tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, dan gizi buruk.
3. Klasifikasi ISPA berdasarkan Anatomi
Secara anatomik, ISPA dikelompokkan menjadi ISPA bagian
atas misalnya rhinitis, inusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis,
tonsilitis, dan otitis media dan ISPA bagian bawah seperti bronkitis,
bronkiolitis, dan pneumonia. Infeksi saluran pernapasan akut bagian
atas jarang menimbulkan kematian walaupun insidennya lebih besar
dari ISPA bagian bawah (Said, 1994).
a. Rhinitis akut. Rhinitis akut adalah penyakit infeksi catarrhal dari
saluran pernapasan bagian atas yang mempunyai ciri-ciri coryza
(suatu penyakit menular akut inflamasi yang melibatkan saluran
pernapasan bagian atas), bersin, lakrimasi, iritasi nasofaring,
11

menggigil dan malaise yang berlangsung selama 2-7 hari. Penyakit


ini bisa disertai dengan laringitis, trakeitis atau bronkitis dan bisa
terjadi komplikasi yang serius serta sinusitis dan otitis media.
Jumlah sel darah putih biasanya normal dan flora bakteri pada
saluran pernapasan biasanya dalam batas normal jika tidak terjadi
komplikasi (Anonim, dalam Saputro, 2017).
b. Faringitis. Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan
sering meluas kejaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul
bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laringitis. Faringitis
banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim
panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki
anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak (Anonim,
dalam Saputro, 2017).
c. Sinusitis. Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus
paranasal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa
yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Sinusitis
dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal
sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap
maupun berat. Sinusitis kronik didiagnosis bila gejala sinusitis
terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Sinusitis bakteri dapat
pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, yaitu
adanya obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor
dan infeksi gigi. Sebab lain adalah immunodefisiensi, abnormalitas
sel darah putih dan bibir sumbing (Anonim, dalam Saputro, 2017).
d. Laringitis. Laringitis merupakan peradangan pada laring yang
dapat menyebabkan suara parau. Pada peradangan ini seluruh
mukosa laring hiperemis dan menebal dan kadang-kadang pada
pemeriksaan patologik terdapat metaplasia skuamosa. Penyebab
tersering pada orang dewasa antara lain yaitu: merokok, alkoholik,
gastroesophageal reflux disease (GERD), pekerjaan yang terus
12

menerus terpapar oleh debu dan bahan kimia, dan penggunaan


suara yang berlebihan (Anonim, dalam Saputro, 2017).
e. Epiglottitis. Epiglottitis (kadang disebut supraglotitis) adalah suatu
infeksi pada epiglottis, yang bisa menyebabkan penyumbatan
saluran pernapasan dan kematian. Epiglottitis hampir selalu
disebabkan oleh bakteri Haemophillus influenzae tipe b. Pada
anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa kadang disebabkan
oleh streptokokus. Epiglottitis paling sering ditemukan pada anak-
anak yang berumur 2-5 tahun dan jarang terjadi pada anak yang
berumur dibawah 2 tahun (Anonim, dalam Saputro, 2017).
f. Tonsilitis. Radang amandel (tonsilitis) adalah infeksi pada amandel
yang terkadang mengakibatkan sakit tenggorokan dan demam.
Secara klinis peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan
nyeri menelan (odinofagi), dan tidak jarang disertai demam.
Sedangkan yang sudah menahun biasanya tidak nyeri menelan, tapi
jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan menyebabkan
kesulitan menelan (disfagia). Penyebab tersering radang amandel
akut adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (Anonim, 2009).
g. Otitis Media. Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel
mastoid. Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh
dari tuba eustachius terganggu. Tuba eustachius adalah saluran
yang menghubungkan antara nasofaring dan telinga tengah.
Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari
otitis media (Anonim, dalam Saputro, 2017)
h. Bronkitis (Bronchitis). Bronkitis adalah peradangan (inflamasi)
pada selaput lendir (mukosa) bronchus (saluran pernapasan dari
trachea hingga saluran nafas di dalam paru-paru). Penyebab
tersering Bronkitis akut adalah virus, yakni virus influenza,
rhinovirus, adenivirus, dan lain-lain. Sebagian kecil disebabkan
oleh bakteri (kuman), terutama mycoplasma pnemoniae, clamydia
13

pnemoniae, dan lain-lain. Keluhan yang kerap dialami penderita


bronkitis akut, meliputi batuk (berdahak ataupun tidak berdahak),
demam (biasanya ringan), rasa berat dan tidak nyaman di dada,
sesak nafas, rasa berat bernafas, dan kadang batuk darah.
i. Asma bronkial. Asma bronkial adalah peradangan pada saluran
pernapasan. Ini berarti bahwa selaput lendir bronkus menjadi
meradang dan bengkak. Para kejang otot bronkus dan selaput
lendir menghasilkan terlalu banyak lendir yang menghambat
saluran udara. Akibatnya, diameter berkurang pada bronkial dan
bernafas menjadi sulit. Terjadinya serangan asma tidak terduga dan
bisa terjadi kapan saja, terutama jika terkena alergen dan
lingkungan pemicu. Penyebab asma masih belum diketahui.
Perkembangan asma bervariasi dari pasien ke pasien. Setengah dari
semua orang dewasa didiagnosis Asma bronkial pada anak telah
dilaporkan jika terjadi penghentian gejala maka tidak lagi
memerlukan pengobatan, namun, asma dapat kembali kapan saja.
4. Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga
golongan yaitu (Suyudi, dalam Saputro, 2017):
a. ISPA ringan, bukan pneumonia
b. ISPA sedang, pneumonia
c. ISPA berat, pneumonia berat
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA
berat dan ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat
untuk bayi kurang dari 2 bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat
(60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang
kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA
sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien
kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien sangat
kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang
awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa
pengamatan sederhana.
14

2.1.5 Faktor ISPA


1. Faktor Internal
a. Umur kurang dari dua bulan. ISPA dapat menyerang semua baik
pria maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia
kurang dari 2 bulan karena daya tahan tubuh bayi kurang dari 2
bulan lebih rendah daripada orang dewasa sehingga mudah
terserang ISPA. Umur diduga terkait dengan system kekebalan
tubuhnya. Bayi dan balita merupakan kelompok umur yang
kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan
terhadap penyakit infeksi (Suhandayani, dalam Saputro, 2017).
b. BBLR. Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang
lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,
terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan
zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan
lainnya.
1) Laki–laki.
Laki-laki merupakan salah satu faktor yang meningkatkan
insiden dan kematian akibat ISPA. Bila dihubungkan dengan
status gizi, sesuai dengan status gizi, sesuai dengan analisa
data Susenas 1998 yang meyatakan bahwa secara umum status
gizi balita perempuan lebih baik dibanding balita laki-laki.
Perbedaan prevalensi tersebut belum dapat dijelaskan secara
pasti, apakah karena factor genetika, perbedaan dalam hal
perawatan dan pemberian makanan atau yang lainnya.
Sehingga kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan tubuh
terhadap infeksi (Prabu, dalam Saputro, 2017).
15

2) Status gizi.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat kosumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status
gizi buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, dalam Saputro,
2017). Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh: umur,
keadaan fisik, kondisi kesehatannnya, kesehatan fisiologis
pencernaannya, tersedianya makanan dan aktifitas dari si anak
itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain
berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan,
tinggi badan, dan lingkar lengan atas (Prabu, dalam Saputro,
2017).
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan
tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru,
sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk
dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita
dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA di
bandingkan balita dengan gizi normal karena daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan
balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang balita lebih mudah
terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Prabu,
dalam Saputro, 2017).
3) Defisiensi Vitamin A. Sejak tahun 1985 setiap enam bulan
Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada
balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang
mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun
yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko
16

terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus


dan 93,5% pada kelompok kontrol. Pemberian vitamin A yang
dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap
berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang
ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen
asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan
adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang
bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. Karena
itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara
berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak
dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah
dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu
meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap
anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang
dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya
(Prabu, dalam Saputro, 2017).
2. Faktor Eksternal
a. Pemberian ASI Eksklusif.
ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah lahir
sampai bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan
lain (Purwanti, dalam Saputro, 2017). Setelah 6 bulan bayi mulai
dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai
berumur 2 tahun. Mengapa pengenalan makanan tambahan dimulai
pada usia 6 bulan dan bukan 4 bulan. Pertama komposisi ASI
cukup untuk perkembangan bayi sampai usia 6 bulan, kedua bayi
pada usia 6 bulan sistem pencernaannya mulai matur, sehingga
usus bayi setelah berumur 6 bulan mampu menolak faktor alergi
ataupun kuman yang masuk ASI mengandung nutrisi, hormon,
unsur kekebalan faktor pertumbuhan, anti alergi, serta anti
inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat
17

makanan. Unsur ini mencakup hidrat arang, lemak, protein,


vitamin dan mineral, dalam jumlah yang proporsional (Purwanti,
dalam Saputro, 2017). Karena zat-zat protektif yang terkandung
dalam ASI, bayi yang diberi ASI memiliki kemungkinan kecil
untuk terjangkit infeksi telinga (otitis media), alergi, diare,
pneumonia, bronchitis, meningitis, serta sejumlah penyakit
pernapasan (Wicak, dalam Saputro, 2017).
b. Imunisasi.
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan kepada bayi
dan anak dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh
membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.
Sedangkan yang dimaksud vaksin adalah bahan yang dipakai untuk
merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam
tubuh melalui suntikan seperti vaksin Hepatitis B, BCG, DPT,
campak dan melalui mulut seperti vaksin polio (Hidayat, dalam
Saputro, 2017). Kekebalan diasumsikan sebagai perlindungan
terhadap suatu penyakit tertentu terdiri atas kekebalan pasif, yaitu
tubuh tidak membentuk imunitas, tetapi menerima imunitas, dan
kekebalan aktif, yaitu tubuh membentuk kekebalan sendiri.
Pemberian imunisasi penting diberikan pada tahun pertama usia
anak karena pada awal kehidupan, anak belum mempunyai
kekebalannya sendiri, hanya imunoglobin G yang didapatkannya
dari ibu dan setelah usia dua sampai tiga tahun, anak akan
membentuk imunoglobin G sendiri. Beberapa hal penting terkait
dengan pemberian imunisasi pada anak adalah status kesehatan
anak saat akan diberikan imunisasi, pengertian orang tua terhadap
imunisasi, dan kontraindikasi imunisasi (Supartini, dalam Saputro,
2017). Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat
akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai
komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari
jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah
18

dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka


peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
peberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita
yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA
diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih
berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan
pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia
balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6%
kematian pneumonia dapat dicegah (Prabu, dalam Saputro, 2017).
c. Kebiasaan merokok anggota keluarga. Perilaku merokok orang tua
adalah bahaya utama lain bagi anak (Drongowski et al., 2003,
Moya, et al., 2004, dalam Saputro, 2017). Kira-kira 22% anak dan
remaja di Amerika Serikat mengalami kontak dengan rokok
tembakau dirumah. Jumlah studi yang meningkat menyimpulkan
bahwa tinggal dirumah dimana orang tua merokok menempatkan
anak pada resiko mengalami masalah pernafasan. Anak tersebut
lebih mungkin mengalami gejala bersin dan asma dari pada anak
yang tinggal dirumah orang tuanya yang tidak merokok (Murray,
dalam Saputro, 2017). Dalam sebuah studi, jika ibu merokok,
anaknya 2 kali lebih mungkin memiliki gangguan pernafasan
(Santrock, dalam Saputro, 2017). Asap rokok dengan konsentrasi
tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA (Prabu, dalam Saputro, 2017)).
d. Membedong anak. Membedong anak atau menyelimuti berlebihan
bagi para orangtua dianggap dapat membuat anak tidak mudah
terkejut dan anak lebih nyenyak tidurnya karena seolah-olah
didekap, sama seperti pada waktu didalam kandungan ibunya.
Akan tetapi pada anak yang sudah terserang ISPA jika dibedong
19

berlebihan akan membuat anak susah bernafas sehingga


penyakitnya akan semakin berat (Prabu, dalam Saputro, 2017).
e. Pemberian makanan terlalu dini. Pemberian makan setelah bayi
berumur 6 bulan memberikan perlindungan besar dari berbagai
penyakit. Hal ini disebabkan sistem imun bayi kurang dari 6 bulan
belum sempurna. Pemberian MPASI dini sama saja dengan
membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman. Belum
lagi jika tidak disajikan higienis. Hasil riset terakhir dari peneliti di
Indonesia menunjukkan bahwa bayi yg mendapatkan MPASI
sebelum ia berumur 6 bulan, lebih banyak terserang diare,
sembelit, batuk-pilek, dan panas dibandingkan bayi yang hanya
mendapatkan ASI Eksklusif (Prabu, dalam Saputro, 2017).
f. Kepadatan tempat tinggal. Kepadatan hunian dalam rumah
menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah,
satu orang minimal menempati luas rumah 8m². Dengan kriteria
tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan
melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat
meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian
menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan
kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan
bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi
korelasi yang tinggi pada faktor ini (Prabu, dalam Saputro, 2017).
g. Ventilasi kurang memadai. Ventilasi yaitu proses penyediaan
udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara
alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar
oksigen yang optimum bagi pernapasan.
20

2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun


debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran
udara.
3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan
bangunan.
5) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh
radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
6) Mendisfungsikan suhu udara secara merata (Prabu, dalam
Saputro, 2017).
h. Sosial ekonomi. Keadaan ekonomi belum pulih dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk
miskin dan disertai dengan kemampuan menyediakan lingkungan
pemukiman yang kurang sehat dapat mendorong peningkatan
jumlah balita rentan terhadap serangan berbagai penyakit menular
termasuk ISPA. Pada akhirnya akan mendorong meningkatnya
penyakit ISPA dan pnemonia pada balita (Depkes RI, 2002).
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan
generasi yang perlu mendapat perhatian, karena balita merupakan
generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup
bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian balita
masih tinggi (Anonim, dalam Saputro, 2017). Balita diharapkan
tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani, sosial dan
bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah
kesehatan balita merupakan masalah nasional, menginggat angka
kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi.
Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya
karena penyebab utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan
antara lain; asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan kesehatan.
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam
proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat
21

dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan


terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan
pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan,
pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan
pendidikan kesehatan pada orang tua (Lamusa, dalam Saputro,
2017).

2.1.6 Gejala ISPA


1. Gejala laboratis ISPA
a. Hypoxemia
b. Hypercapnia
c. Acidosis (Metabolik dan atau respiratorik)
2. Gejala klinis penyakit ISPA
a. Sistem respiratorik:
Nafas cepat, nafas tidak teratur, retraksi dinding dada, nafas cuping
hidung, sianosis, suara nafas lemah, wheezing.
b. Sistem cardial:
Takirkardi, bradikardi, hipertensi, hipotensi dan cardiac arrest.
c. Sistem cerebral:
Sakit kepala, pepil edema, gelisah, bingung, kejang, koma.
d. Sisten integumen:
Keluar keringat banyak.
22

2.1.7 Terapi pada ISPA


Standar penggunaan antibiotik untuk terapi infeksi saluran
pernapasan atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Antibiotika pada Infeksi Saluran Pernapasan Atas

Jenis ISPA Antibiotik Dosis Lama


Pemberian
Rhinitis Tanpa Antibiotik
Laringitis Amoxicilin 500 mg 3x1 sehari 5 hari
Epiglotitis Kloramfenikol 1gr 4x/hr 5 hari
Ceftriaxon 2 gr 1x/hr 5 hari
Tonsilitis Benzathine 1,2 million IU -
benzylpenicillin
Phenoxymethylpenicill 500 mg 4x1 sehari 10 hari
in
Amoxicillin 500 mg 3x1 sehari 10 hari
Otitis Media Amoxicillin 500 mg 3x1 sehari 5 hari
Akut
Amoxyclav 500 mg 3x1 sehari 5 hari
Sulfamethoxazole+Tri 400 mg+80 mg 5 hari
methoprim 2x1 sehari
Otitis Media Tanpa Antibiotika
Kronis
Tonsilitis Benzatin 1,2 million IU
Faringitis benzylpenicillin
Phenoxymethylpenicill 500 mg 4x1 10 hari
in
Amoxicillin 500 mg 3x1 10 hari
Sumber: Anonim (Saputro, 2017)

Untuk mengatasi ISPA seperti sinusitis, pneumoniae dan faringitis berdasarkan


textbook Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach tahun 2005 dapat
dilihat pada Tabel 2.2 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Sinusitis untuk Pasien
Dewasa, 2.3 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Faringitis untuk Pasien Dewasa,
2.4 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Pneumonia untuk Pasien Dewasa

Tabel 2.2 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Sinusitis untuk Pasien Dewasa
23

Jenis Antibiotik Dosis Dewasa


Amoxicillin 500 mg 3x1 s 3x1 sehari
Dosis tinggi: 1g 3x1 s 3x1 sehari
Amoksillin-klavulanat 500/125 mg 3x1 s 3x1 sehari
500 mg (hari pertama)
Azitromisin 250mg (untuk 4 1x1 s 1x1 sehari
hari)
Klaritomisin 250- 500 mg 2x1 s 2x1 sehari
Klindamisin 150– 450 mg 4x1 s 4x1 sehari
Levoploksasin 500 mg 3x1 s 3x1 sehari
Sefaklor 250 – 500 mg 3x1 s 3x1 sehari
Sefiksim 200-400 mg 3x1 s 3x1 sehari
Sefdinir 600 mg 1-2x11-2x1
sehari
Sefpodoksin 200 mg 2x1 s 2x1 sehari
Sefprozil 250-500 mg 2x1 s 2x1 sehari
Sefuroksim 250-500 mg 2x1 s 2x1 sehari
Trometropim + 160/800 mg 2x1 s 2x1 sehari
sulfametoksazole
Sumber: DiPiro (Saputro, 2017)

Tabel 2.3 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Faringitis untuk Pasien


Dewasa

Jenis Antibioik Dosis dewasa Durasi


Amoxicillin 500 m 3x1 s3x1 sehari 10 h 10
ERitromisin hari
Estolat 20-40 mg (maks 2-4x12-4x1
1000) 1g sehari
Stearatetilsiksinat 40 mg (Maks 2-4x12-4x1
1000) sehari
Penisillin benzatin 1,2 juta unit i m 1x1 s 1x1 sehari
Penisillin VK 250 / 500 mg 4x1 s 4x1 sehari 10 h 10
hari
Sumber: DiPiro (Saputro, 2017)

Tabel 2.4 Terapi Antibiotik ISPA Jenis Pneumonia untuk Pasien


Dewasa

NO Jenis Antibiotik Dosis dewasa


1 Amoxicillin 0,75-1g
2 Ampisilin-Sulbactan 4-8g
24

3 Azitomisin 500mg (hari pertama) 250mg


(untuk 4 hari)
4. Eritromisin 1-2g
5 Gatifloksasin 0,4g
6 Gentamisin 3-6mg
7 Klaritromisin 0,5-1g
8 Levofloksasin 0,5-0,75g
9 Oksitetrasiklim 0,25-0,3 g
10 Piperasilin-tazobaktam 12g
11 Safepim 2-4g
12 Seftazidim 2-6g
13 Seftriakson 1-2g
14 Siprofloksasin 0,5-1,5g
15 Tetrasiklin HCl 1,2g
16 Tobramisin 3-6g
Sumber: DiPiro (Saputro, 2017)

2.1.8 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian
di Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin
efektivitas, keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan
kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat Puskesmas dalam rangka
meningkatkan penggunaan Obat secara rasional.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
25

4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)


5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat

1. Pengkajian dan pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan
administrasi, perayaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik
untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan
pasien.
3. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasikan dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan
Obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman
yang benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara
lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama
penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan dan penggunaan Obat.

4. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan
lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
26

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang


merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis
dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
7. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang
digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).

2.1.9 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian


Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan
untuk mencegah terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah
terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi
(medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient
safety).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja
sama.
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya,
respon dan tingkat pendidikan masyarakat.
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan
program pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang
dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
27

1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan


evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
b. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan
b. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses
berlangsung untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai
dengan yang direncanakan. Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga
kefarmasian yang melakukan proses. Aktivitas monitoring perlu
direncanakan untuk mengoptimalkan hasil pemantauan.
Contoh: monitoring pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat,
monitoring kinerja tenaga kefarmasian.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan
Kefarmasian, dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang
dikumpulkan yang diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara,
dan teknik pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
1. Retrospektif:
Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan. Contoh:
survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.

2. Prospektif:
Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan
pelayanan. Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan
waktu pelayanan kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
28

Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:


1. Langsung (data primer):
Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh pengambil
data. Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan
kefarmasian.
2. Tidak Langsung (data sekunder):
Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak langsung. Contoh:
catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
1. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Contoh: survei kepuasan pelanggan.
2. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan
menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan konseling
pasien.
Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:
1. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan
dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan
menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki
dan dengan menyempurnakan kinerja tersebut. Oleh karena itu, audit
merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan
pelayanan kefarmasian secara sistematis.
Terdapat 2 macam audit, yaitu:
a. Audit Klinis
Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap pelayanan
kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan untuk pelayanan,
penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup
pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti.
b. Audit Profesional
29

Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh


seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang
disepakati, penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh.
Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen mutu.
2. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan
pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Contoh:
kajian penggunaan antibiotik.

2.1.10 Puskesmas
1. Pengertian puskesmas
Pusat kesehatan masyarakat selanjutnya disebut Puskesmas
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Fasilitas pelayanan
kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.75, 2014).
2. Tugas dan fungsi puskesmas
Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Tugas dan
Fungsi Puskesmas adalah:
a. Tugas puskesmas adalah melaksanakan kebijakan kesehatan
untuk mencapai tujuan pembangunan kesehtan diwilayah
kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan
sehat.
b. Fungsi puskesmas
30

1) Penyelenggaran upaya kesehatan masyarakat (UKM) tingkat


pertama diwilayah kerjanya. Dalam menyelenggarakan
fungsinya, Puskesmas berwenang untuk melaksanakan
komunikasi, informasi dan edukasi dalam bidang kesehatan,
menggerakan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehtan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor
lain.
2) Penyelenggarakan upaya kesehatan perseorangan (UKP)
tingkat pertama diwilayah kerjanya. Kegiatan
penyelenggaraannya meliputi, pelayanan kesehatan dasar
secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu,
pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif dan pelayanan kesehatan yang mengutamakan
keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung.
3) Upaya kesehatan. Puskesmas menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertaman, yang dilaksanakan secara terintegritas dan
berkesinambungan. Upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama dilaksanakan dalam bentuk:
(a) Rawat jalan
(b) Pelayanan gawat darurat
(c) Pelayanan satu hari (one day care)
(d) Home care
(e) Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan
pelayanan kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 75, 2014).

2.1.11 Coronavirus Disease 2019


1. Pengertian Coronavirus Disease 2019
31

Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif,


berkapsul dan tidak bersegmen. Coronavirus tergolong ordo
Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Struktur coronavirus
membentuk struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di
permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu
protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk
penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan
masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan
reseptornya di sel inang) (Wang, 2020). Coronavirus bersifat
sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat diinaktifkan oleh
desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56℃
selama 30 menit, eter, alkohol, asam peroksiasetat, detergen non-
ionik, formalin, oxidizing agent dan kloroform. Klorheksidin tidak
efektif dalam menonaktifkan virus (Wang, 2020; Korsman, 2012).
2. Patogenesis dan Patofisiologi
Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi
di hewan. Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada
hewan dan kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada
hewan seperti babi, sapi, kuda, kucing dan ayam. Coronavirus
disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang ditransmisikan dari
hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat membawa
patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular
tertentu. Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang merupakan host
yang biasa ditemukan untuk Coronavirus. Coronavirus pada
kelelawar merupakan sumber utama untuk kejadian severe acute
respiratory syndrome (SARS) dan Middle East respiratory
syndrome (MERS) (PDPI, 2020).
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-
nya. Virus tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari
Coronavirus setelah menemukan sel host sesuai tropismenya.
Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh
32

Protein S yang ada dipermukaan virus. Protein S penentu utama


dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya (Wang,
2020). Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di
sel host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2).
ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring,
paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang,
limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus
halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil
masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus.
Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA
melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap
selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Fehr, 2015). Setelah
terjadi transmisi, virus masuk ke saluran nafas atas kemudian
bereplikasi di sel epitel saluran nafas atas (melakukan siklus
hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran nafas bawah. Pada
infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran nafas dan virus
dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal
setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit
sekitar 3-7 hari (PDPI, 2020).
3. Manifestasi Klinis
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang
atau berat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu
>38°C), batuk dan kesulitan bernafas. Selain itu dapat disertai
dengan sesak memberat, fatigue, myalgia, gejala gastrointestinal
seperti diare dan gejala saluran nafas lain. Setengah dari pasien
timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan
secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, acidosis
metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem
koagulasi dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang
muncul ringan, bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan
pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam
33

kondisi kritis bahkan meninggal. Berikut sindrom klinis yang dapat


muncul jika terinfeksi. (PDPI, 2020). Berikut sindrom klinis yang
dapat muncul jika terinfeksi. (PDPI, 2020)
a. Tidak berkomplikasi
Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul
berupa gejala yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul
seperti demam, batuk, dapat disertai dengan nyeri tenggorok,
kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan nyeri otot. Perlu
diperhatikan bahwa pada pasien dengan lanjut usia dan pasien
immunocompromises presentasi gejala menjadi tidak khas atau
atipikal. Selain itu, pada beberapa kasus ditemui tidak disertai
dengan demam dan gejala relatif ringan. Pada kondisi ini pasien
tidak memiliki gejala komplikasi diantaranya dehidrasi, sepsis
atau nafas pendek.
b. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak.
Namun tidak ada tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan
pneumonia tidak berat ditandai dengan batuk atau susah
bernafas.
c. Pneumonia berat. Pada pasien dewasa:
1) Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi
saluran nafas
2) Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi nafas: >
30x/menit), distress pernapasan berat atau saturasi oksigen
pasien <90% udara luar.
4. Penegakkan Diagnosis
Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala
utama: demam, batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit
bernafas atau sesak.
a. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek / possible
1) Seseorang yang mengalami:
34

a) Demam (±38°C) atau riwayat demam


b) Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
c) Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis
dan/atau gambaran radiologis (pada pasien
immunocompromised presentasi kemungkinan atipikal)
dan disertai minimal satu kondisi sebagai berikut:
(1) Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau
wilayah/ negara yang terjangkit dalam 14 hari
sebelum timbul gejala.
(2) Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama
setelah merawat pasien infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) berat yang tidak diketahui penyebab /
etiologi penyakitnya, tanpa memperhatikan riwayat
bepergian atau tempat tinggal.
2) Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan
ringan sampai berat dan salah satu berikut dalam 14 hari
sebelum onset gejala:
a) Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau
probable Covid-19, atau
b) Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan
sudah teridentifikasi), atau
c) Bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan
dengan kasus terkonfirmasi atau probable infeksi Covid-
19 di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit.
d) Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki
demam (suhu ±38°C) atau riwayat demam.
b. Orang dalam Pemantauan
Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam
tanpa pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok
atau wilayah/negara yang terjangkit, dan tidak memiliki satu atau
lebih riwayat paparan diantaranya:
35

1) Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi Covid-19


2) Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang
berhubungan dengan pasien konfirmasi Covid-19 di
Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai
dengan perkembangan penyakit),
3) Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan
penular sudah teridentifikasi) di Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit (sesuai dengan
perkembangan penyakit.
c. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk Covid-19
tetapi inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang
dengan hasil konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta
coronavirus.
d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi Covid-19.
5. Pemeriksaan Penunjang (PDPI, 2020)
a. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks.
Pada pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral,
konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps paru atau nodul,
tampilan ground glass.
b. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah
1) Saluran nafas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan
orofaring)
2) Saluran nafas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat
endotrakeal.
c. Bronkoskopi
d. Pungsi pleura sesuai kondisi
e. Pemeriksaan kimia darah
36

f. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran


napas (sputum, bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah. Kultur
darah untuk bakteri dilakukan, idealnya sebelum terapi
antibiotik. Namun, jangan menunda terapi antibiotik dengan
menunggu hasil kultur darah.
g. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan
penularan).
6. Tatalaksana Umum
a. Isolasi pada semua kasus sesuai dengan gejala klinis yang
muncul, baik ringan maupun sedang.
b. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)
c. Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit
d. Suplementasi oksigen
Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan, distress
napas, hipoksemia atau syok. Terapi oksigen pertama sekitar
5L/menit dengan target SpO2 =90% pada pasien tidak hamil dan
= 92-95% pada pasien hamil.
e. Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
f. Terapi cairan
Terapi cairan konservatif diberikan jika tidak ada bukti syok
Pasien dengan SARS harus diperhatikan dalam terapi cairannya,
karena jika pemberian cairan terlalu agresif dapat memperberat
kondisi distress napas atau oksigenasi. Monitoring keseimbangan
cairan dan elektrolit.
g. Pemberian antibiotik empiris
h. Terapi simptomatik
Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik, obat batuk dan
lainnya jika memang diperlukan. Pemberian kortikosteroid
sistemik tidak rutin diberikan pada tatalaksana pneumonia viral
atau ARDS selain ada indikasi lain.
i. Observasi ketat
37

j. Pahami komorbid pasien


Saat ini belum ada penelitian atau bukti talaksana spesifik pada
Covid-19. Belum ada tatalaksana antiviral untuk infeksi
Coronavirus yang terbukti efektif. Pada studi terhadap SARS-
CoV, kombinasi lopinavir dan ritonavir dikaitkan dengan
memberi manfaat klinis. Saat ini penggunaan lopinavir dan
ritonavir masih diteliti terkait efektivitas dan keamanan pada
infeksi Covid-19. Tatalaksana yang belum teruji / berlisensi
hanya boleh diberikan dalam situasi uji klinis yang disetujui oleh
komite etik atau melalui Monitored Emergency Use of
Unregistered Interventions Framework (MEURI), dengan
pemantauan ketat. Selain itu, saat ini belum ada vaksin untuk
mencegah pneumonia Covid-19 ini (PDPI, 2020).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental dan
menggunakan rancangan penelitian deskriptif evaluative yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat menggambarkan
fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang
terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah
dikumpulkan berdasarkan pedoman/standar yang ada. Dengan pengambilan
data dilakukan secara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran
dokumen terdahulu yang diambil dari rekam medis pasien pada periode
tertentu (Notoatmojo, 2012).

3.2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel


3.2.1 Variabel Penelitian
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sugiyono (2013)
bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari
orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Penelitian ini menggunakan variabel gambaran terapi
penderita ISPA sebelum dan semasa pandemi Virus Covid-19 yang
terdiri dari usia, jenis kelamin, berat badan, jenis antibiotik, jenis obat
lainnya, jenis ISPA, dan dosis berdasarkan berat badan.

3.2.2 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional merupakan definisi berdasarkan
karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut,
sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Pada

38
39

definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi komunitas,


dan replikasi (Nursalam, 2013). Penelitian ini dilakukan di UPTD
Puskesmas Tabanan I dengan kreteria sebagai berikut :
1. ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) adalah penyakit infeksi yang
menyerang saluran pernapasan bagian atas dan bawah.
2. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
3. Kelompok umur kurang dari 20 tahun sampai dengan diatas 40
tahun.
4. Antibiotik : obat-obatan yang digunakan oleh dokter untuk terapi
infeksi yang disebabkan oleh infeksi (Amoxicillin Tablet,
Amoxicillin Sirup, Cefadroxil Tablet, Cefadroxil Sirup dan
Ciprofloxacin)
5. Jenis obat lainnya adalah obat disamping jenis antibiotik seperti
Obat Batuk ( Ambroxol tablet,Ambroxol sirup,dextrofen sirup),
Obat Kortikosteroid (Dexamethasone,Methylprednisolone),
Antihistamine (Cetirizine,CTM) Obat Kombinasi Untuk Batuk
Pilek (Calortusin,Coparcetin), Antipiretik/Obat Penurun Panas
(Parasetamol tablet,Parasetamol sirup,Ibuprofen) dan Vitamin
(Becefort,Vitamin C,Vitamin B Complex).
6. Jenis ISPA seperti pneumonia dan non pneumonia.

3.3 Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi menurut Sujarweni (2016: 4) adalah: keseluruhan jumlah
yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai karakteristik dan
kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini diambil dari jumlah
penderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan
Bali bulan Januari Tahun 2020 sebelum pandemi covid-19 tercatat
sebanyak 155 orang dan bulan Juni Tahun 2020 semasa pandemi Covid-19
tercatat 155 orang.
40

2. Metode Penentuan Sampel


Menurut Sugiyono (2013) sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jumlah sampel yang dijadikan
responden ditetapkan berdasarkan rumus Slovin, (Sujarweni, 2016) sebagai
berikut:
N
n =
2
1+ (N x e )

Keterangan:
n = Ukuran sampel
N = Jumlah populasi
e = Persentase kelonggaran ketidakterikatan karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih diinginkan
Berdasarkan rumus Slovin di atas dengan jumlah populasi sebesar
155, serta batas toleransi kesalahan (error tolerance) atau tingkat presesi
yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 5 %, maka dapat ditentukan
jumlah sampel yang akan diambil:
155
n =
2
1+ (155 x 0,05 )

155
n=
1,388

n = 111,7

Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 112 orang. Cara
pengambilan sampel dengan cara Non Probability Sampling dengan
menggunakan purposive sampling. Pengambilan sampel menggunakan
metode Non Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang
tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik yang digunakan untuk
sampel ini adalah Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu dan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan (Sugiyono, 2013). Kriteria yang dipakai adalah:
a. Kriteria Inklusi:
41

Adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target


dan terjangkau untuk diteliti
1) Pasien Penderita ISPA yang berkunjung di UPTD Puskesmas
Tabanan I
2) Pasien dengan diagnosa ISPA atas (rhinitis, sinusitis, faringitis,
epiglotitis, laringitis, tonsillitis dan otitis)
3) Data rekam medik yang memuat data pasien seperti nama pasien,
jenis kelamin, unur, berat badan, diagnosa, nama obat, dosis, lama
pemberian dan rute pemberian obat.

b. Kriteria Eksklusi:
Adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi yang
tidak dapat dijadikan target untuk diteliti
1) Pasien penderita ISPA yang tidak mendapatakan Obat.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali, yang berlamat di Jalan Yeh Gangga I,
Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali 82115,
Nomor Telepon (0361) 814102, dimana waktu penelitian akan dilakukan
pada bulan Januari tahun 2020 sampai Juni tahun 2020

3.5 Prosedur Kerja/Teknik Pengumpulan Data

Permohonan Ijin Penelitian


42

Observasi di bagian rekam medik


di Puskesmas Tabanan I

Pelaksaaan Penelitian

Pengumpulan data dari rekam medik pasien


ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

Sampling:
Purposive sampling

Pengumpulan data: Editing,


Entry, dan Cleaning

Analisis data: Univariat

Hasil Penelitian dan


Pembahasan

Simpulan dan Saran

Gambar 3.1 Prosedur Kerja Penelitian Gambaran Terapi Penderita ISPA


Sebelum dan Semasa Pandemi Virus Covid-19

3.6 Pengolahan dan Analisis Data


1. Pengolahan Data
Proses pengolahan data dalam penelitian ini akan dilakukan berbagai
tahapan yaitu:
a. Editing
Hasil observasi atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan
penyutingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah
43

kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian lembar observasi


tersebut.
b. Pemasukan data (Entry)
Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan
ke dalam komputer statistik untuk dapat dianalisis atau dibuat distribusi
frekuensinya.
c. Pembersihan Data (Cleaning)
Proses pengecekan kembali data-data yang telah dimasukkan untuk
melihat ada tidaknya kesalahan, terutama kesesuaian pengkodean yang
dilakukan. Apabila terjadi kesalahan maka data tersebut akan segera
diperbaiki sehingga sesuai dengan hasil pengumpulan data yang
dilakukan.
2. Analisis Data
Analisa univariat merupakan analisa yang bertujuan untuk menjelaskan
atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian
(Notoatmodjo, 2012). Variabel univariat pada penelitian ini
mendeskripsikan karakteristik yang meliputi frekuensi dan prosentase
pada variabel penelitian yaitu terapi penderita ISPA sebelum dan selama
pandemi virus Covid-19. Data yang akan dianalisa dengan menggunakan
rumus prosentase sebagai berikut:
f
P x 100%…………………………..………………..………...(3.1)
N
Keterangan:
P = Prosentase
N = Jumlah Sampel yang mendapatkan obat misalnya:antibiotik,obat
batuk,obat kortikosteroid,obat antihistamin,antipiretik/penurun
panas,obat kombinasi untuk batuk pilek dan vitamin.
∑f = Frekuensi Jawaban
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi


penyakit ISPA sebelum dan selama pandemi Covid-19 di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali.

4. 1. Profil UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali


Puskesmas Tabanan I merupakan salah satu dari 20 Puskesmas yang
ada di Kabupaten Tabanan. Puskesmas Tabanan I mempunyai wilayah kerja
yang lokasinya di ibu kota kabupaten dengan luas wilayah 24,37 km 2
dengan batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Desa Dajan Peken
Timur : Kecamatan Kediri
Selatan : Samudra Indonesia
Barat : Kecamatan Kerambitan
Wilayah Administrasi wilayah kerja Puskesmas Tabanan I terdiri dari
4 Desa dari 12 desa yang ada di kecamatan Tabanan yaitu:
1. Desa Dauh Peken : 6 dusun
2. Desa Bongan : 11 dusun
3. Desa Gubug : 8 dusun
4. Desa Sudimara : 10 dusun
Melihat letak Puskesmas Tabanan I, yang terletak di daerah perkotaan
dan sebagian wilayahnya lagi terletak di pedesaan, jika kita lihat dari mata
pencaharian penduduk di wilayah Puskesmas Tabanan I, sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan sebagaian lagi
bermata pencaharian sebagai wiraswasta dan yang lainnya sebagai PNS,
TNI POLRI, sebagai buruh dan nelayan
Pegawai Puskesmas Tabanan I yang ada saat ini baik yang bertugas di
puskesmas induk maupun di Puskesmas pembantu berjumlah 64 orang. Dari

44
45

data yang telah ditampilkan dapat disimpulkan bahwa program-program


yang ada di Puskesmas Tabanan I ada yang sudah berjalan dengan baik,
walaupun adapula program-program yang pencapaiannya masih kurang.
Dengan adanya pencapaian program yang masih kurang, Puskesmas
Tabanan I akan senantiasa memperbaiki diri untuk meningkatkan mutu
pelayanan baik pelayanan kesehatan perorangan maupun kesehatan
masyarakat, serta akan selalu berusaha untuk mencapai target program yang
sudah ditetapkan agar bisa ikut mendukung tercapainya visi dan misi dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, Dinas Kesehatan Propinsi Bali dan
dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

4. 2. Deskripsi Data
4.2.1 Gambaran Terapi Penyakit ISPA Sebelum Pandemi Covid- 19
1. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Kelompok
Umur
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit ISPA
sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan kelompok umur.
Tabel 4.1 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Kelompok Umur

No. Kelompok Umur Frekuensi Jumlah Pasien


(Orang) (%)
1. < 20 27 24,11
2. 21-30 25 22,32
3. 31-40 12 10,71
4. > 40 48 42,86
Total 112 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa
penderita penyakit ISPA sebelum pandemi Covid-19 didominasi
oleh penderita penyakit ISPA dengan kelompok umur >40
tahun, tercatat sebanyak 48 orang atau sebesar 42,86%.
Penderita penyakit ISPA dengan kelompok umur ≤ 20 tahun
tercatat sebanyak 27 orang atau sebesar 24,11%, sementara
46

penderita penyakit ISPA untuk kelompok umur 21-30 tahun


tercatat sebanyak 25 orang atau sebesar 22,32%. Penderita
penyakit ISPA dengan kelompok umur 31-40 tahun tercatat
sebanyak 12 orang atau sebesar 10,71%
2. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit ISPA
sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.2 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA
berdasarkan Jenis Kelamin

Frekuensi Jumlah Pasien


No. Jenis Kelamin
(Orang) (%)
1. Laki-Laki 61 54,46
2. Perempuan 51 45,54
Total 112 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa


penderita penyakit ISPA sebelum pandemi Covid-19 didominasi
oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki tercatat sebanyak 61
orang atau sebesar 54,46%, sementara pasien dengan jenis
kelamin perempuan tercatat sebanyak 51 orang atau sebesar
45,54%.

3. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian


Antibiotik dan Jenis Antibiotik
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan jenis Obat
antibiotik.

Tabel 4.3 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


47

Pemberian Obat Antibiotik

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Antibiotik
Orang Persentase (%)
1 Ya 53 47,32
2 Tidak 59 52,68
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.3, dapat dijelaskan bahwa dari


112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi Covid-19 yang
mengkonsumsi antibiotik tercatat sebanyak 53 atau sebesar 47,32%
sementara yang tidak mengkonsumsi obat antibiotik tercatat
sebanyak 59 orang atau sebesar 52,68%
Tabel 4.4 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Antibiotik Yang diberikan

Frekuensi Jumlah Pasien


No Jenis ObatAntibiotik
Orang Persentase %
1 Amoxicillin Tablet 44 83,02
2 Amoxicillin sirup 2 3,78
3 Ciprofloxacin 7 13,20
53 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa dari 53


orang penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat
antibiotik sebelum pandemi covid-19 yang mengkonsumsi obat
antibiotik jenis Amoxicillin tablet tercatat sebanyak 44 orang
atau sebesar 83,02%. Penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat antibiotik jenis Amoxicillin sirup tercatat
sebanyak 2 orang atau sebesar 3,78 %. Penderita penyakit ISPA
yang mengkonsumsi obat antibiotik ciprofloxacin tercatat
sebanyak 7 orang atau sebesar 13,20 %.
4. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Batuk dan Jenis Obat Batuk
48

Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit


ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan jenis obat batuk.
Tabel 4.5 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Batuk

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Obat Batuk
Orang Persentase (%)
1 Ya 74 66,07
2 Tidak 38 33,93
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.4, dapat dijelaskan bahwa dari


112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi Covid-19 yang
mengkonsumsi obat Batuk sebanyak 74 orang atau sebesar 66,07%
dan yang tidak mengkonsumsi obat batuk sebanyak 38 orang atau
sebesar 33,93%
Tabel 4.6 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Obat Batuk

Frekuensi Jumlah Pasien


No Jenis Obat Batuk
Orang Persentase %
1 Ambroxol Tablet 46 62,16
2 Ambroxol sirup 9 12,16
3 Dextropen sirup 19 25,68
74 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.6, dapat dijelaskan bahwa


dari 74 orang penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat
batuk sebelum Pandemi covid-19 yang mengkonsumsi obat
batuk jenis ambroxol tablet tercatat sebanyak 46 orang atau
sebesar 62,16%, penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi
obat batuk jenis ambroxol sirup tercatat sebanyak 9 orang atau
sebesar 12,16 %, penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi
obat batuk jenis dextrofen sirup tercatat sebanyak 19 orang atau
sebesar 25,68%.
49

5. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian


Obar Kortikosteroid dan Jenis Obat Kortikosteroid
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan Pemberian Obat
Kortikosteroid jenis obat Kortikosteroid.
Tabel 4.7 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA
Berdasarkan Pemberian Obat Kortikosteroid

Pemberian Obat Frekuensi Jumlah Pasien


No
Kortikosteroid Orang Persentase (%)
1 Ya 35 31,25
2 Tidak 77 68,75
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.7, dapat dijelaskan bahwa


dari 112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat Kortikosteroid tercatat
sebanyak 35 orang atau sebesar 31,25%, sementara yang tidak
mengkonsumsi obat Kortikosteroid tercatat sebanyak 77 orang
atau sebesar 68,7%.
Tabel 4.8 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
jenis Obat Kortikosteroid

Jenis Obat Frekuensi JumlahPasien


No
Kortikosteroid Orang Persentase %
1 Dexamethasone Tablet 16 45,71
2 Methylprednisolone 19 54,29
Tablet
35 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 4.8 dapat dijelaskan bahwa
dari 35 orang penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat
kortikosteroid sebelum pandemi Covid-19 yang mengkonsumsi
obat Kortikosteroid jenis Dexamethasone tercatat sebanyak 16
orang atau sebesar 45,71%, penderita penyakit ISPA yang
50

mengkonsumsi obat Kortikosteroid jenis Methylprednisolone


tercatat sebanyak 19 orang atau sebesar 54,29 %.
6. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antihistamin dan Jenis Obat Antihistamine
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian dan
jenis obat Antihistamine.
Tabel 4.9 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA
Berdasarkan Pemberian Obat Antihistamin

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Antihistamin
Orang Persentase (%)
1 Ya 15 13,40
2 Tidak 97 86,60
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.9, dapat dijelaskan bahwa


dari 112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat Antihistamine tercatat
sebanyak 15 orang atau sebesar 13,40%, sementara yang tidak
mengkonsumsi obat Antihistamine tercatat sebanyak 97 orang
atau sebesar 86,60%.
Tabel 4.10 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Obat Antihistamin

Frekuensi Jumlah Pasien


No Jenis Obat Antihistamine
Orang Persentase %
1 Cettrizine Tablet 14 93,33
2 CTM Tablet 1 6,67
15 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.10, dapat dijelaskan bahwa


dari 15 orang penderita penyakit ISPAyang mengkonsumsi obat
antihistamine sebelum pandemi Covid-19 yang mengkonsumsi
obat Antihistamine jenis Cetirizine tercatat sebanyak 14 orang
51

atau sebesar 93,33%, sedangkan penderita penyakit ISPA yang


mengkonsumsi obat Antihistamine jenis CTM tercatat sebanyak
1 orang atau sebesar 6,67%.
7. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek dan Jenis Obat Kombinasi
untuk Batuk Pilek
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan Pemberian Obat
Kombinasi untuk Batuk Pilek dan jenis Obat Kombinasi untuk
Batuk Pilek.
Tabel 4.11 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek

Pemberian Obat Frekuensi Jumlah Pasien


No Kombinasi untuk batuk Orang Persentase (%)
pilek
1 Ya 41 36,60
2 Tidak 71 63,40
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.11, dapat dijelaskan bahwa


dari 112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek
tercatat sebanyak 41 orang atau sebesar 36,60 %, sementara
yang tidak mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek
tercatat sebanyak 71 orang atau sebesar 63,40%.

Tabel 4.12 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA


Berdasarkan Jenis Obat Kombinasi untuk
52

Batuk Pilek

Jenis Obat kombinasi Frekuensi JumlahPasien


No
untuk batuk pilek Orang Persentase %
1 Coparcetin 17 41,46
2 Calortusin 24 58,54
41 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.12, dapat dijelaskan bahwa


dari 41 orang penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat
kombinasi untuk batuk dan pilek sebelum pandemi Covid-19
yang mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek jenis
Coparcetin tercatat sebanyak 17 orang atau sebesar 41,46%,
sementara penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat
kombinasi untuk batuk pilek jenis Calortusin tercatat sebanyak
24 orang atau sebesar 58,54%.
8. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antipiretik/ Obat Penurun Panas dan Jenis Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan Pemberian Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas dan Jenis Obat Antipiretik/Obat
Penurun Panas.
Tabel 4.13 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Antipiretik/Obat Penurun
Panas

Pemberian Obat Frekuensi Jumlah


No Antipiretik/Obat Penurun Pasien
Panas Orang Persentase (%)
1 Ya 37 33,03
2 Tidak 75 66,97
112 100,00
Berdasarkan data pada Tabel 4.13, dapat dijelaskan bahwa
dari 112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi
53

Covid-19 yang mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun


Panas tercatat sebanyak 37 orang atau sebesar 33,03%,
sementara yang tidak mengkonsumsi obat Obat Antipiretik/Obat
Penurun Panas tercatat sebanyak 75 orang atau sebesar 66,97%.
Tabel 4.14 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas

Jenis Obat Frekuensi Jumlah


No Antipiretik/Obat Penurun Pasien
Panas Orang Persentase %
1 Parasetamol Tablet 35 94,60
2 Parasetamol sirup 2 5,40
37 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.14, dapat dijelaskan bahwa


dari 37 orang penderita penyakit ISPAyang mengkonsumsi obat
antipiretik/penurun panas sebelum pandemi Covid-19 yang
mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas jenis
Parasetamol tablet tercatat sebanyak 35 orang atau sebesar 94,60
%, sementara penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi
Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas jenis Parasetamol sirup
tercatat sebanyak 2orang atau sebesar 98,21%.
9. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Vitamin dan Jenis Vitamin
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan Pemberian
Vitamin Jenis Vitamin

Tabel 4.15 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


Pemberian Vitamin dan Jenis Vitamin.
54

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Vitamin
Orang Persentase (%)
1 Ya 75 66,97
2 Tidak 37 33,03
112 100,00
Berdasarkan data pada Tabel 4.15, dapat dijelaskan bahwa
dari 112 orang penderita penyakit ISPA sebelum pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi Vitamin tercatat sebanyak 75 orang
atau sebesar 66,97%, sementara yang tidak mengkonsumsi Vitamin
tercatat sebanyak 37 orang atau sebesar 33,03%.
Tabel 4.16 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA
Berdasarkan Jenis Vitamin

Frekuensi Jumlah Pasien


No Jenis Vitamin
Orang Persentase %
1 Becefort 41 54,67
2 Vitamin C 26 34,67
3 Vitamin B Complex 8 10,66
75 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.16, dapat dijelaskan bahwa


dari 75 orang penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi
vitamin sebelum pandemi Covid-19 yang mengkonsumsi
Vitamin Becefort tercatat sebanyak 41 orang atau sebesar
54,67%, penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi Vitamin
C tercatat sebanyak 6 orang atau sebesar 34,67 %,penderita
penyakit ISPA yang mengkonsumsi Vitamin B Complex tercatat
sebanyak 8 orang atau sebesar 10,66%
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA sebelum pandemi Covid-19 berdasarkan jenis diagnosa
ISPA.
Tabel 4.17 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Diagnosa ISPA
55

Frekuensi Jumlah Pasien


No. Diagnosa
(Orang) (%)
1. ISPA Pnemonia - -
2. ISPA Non Pnemonia 112 100,00
Total 112 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 4.17 dapat dijelaskan bahwa
penderita penyakit ISPA sebelum pandemi Covid-19 didominasi
oleh ISPA Non Pnemonia tercatat sebanyak 112 orang atau
sebesar 100,00%, sementara untuk ISPA Pnemonia hasilnya
nihil.

4.2.2 Gambaran Terapi Penyakit ISPA Selama Pandemi Covid-19


1. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Kelompok
Umur
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan kelompok umur.
Tabel 4.18 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Kelompok Umur

No. Kelompok Umur Frekuensi Jumlah Pasien


(Orang) (%)
1. < 20 19 16,96
2. 21-30 13 11,61
3. 31-40 13 11,61
4. > 40 67 59,82
Total 112 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 4.18 dapat dijelaskan
bahwa penderita penyakit ISPA selama pandemi Covid- 19
didominasi oleh penderita penyakit ISPA dengan kelompok
umur >40 tahun, tercatat sebanyak 67 orang atau sebesar
59,82%. Penderita penyakit ISPA dengan kelompok umur ≤ 20
tahun tercatat sebanyak 19 orang atau sebesar 16,96%,
sementara penderita penyakit ISPA untuk kelompok umur 21-30
56

dan 31-40 tahun, masing-masing tercatat sebanyak 13 orang atau


sebesar 11,61%.

2. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin


Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.19 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Kelamin

Frekuensi Jumlah Pasien


No. Jenis Kelamin
(Orang) (%)
1. Laki-Laki 62 55,36
2. Perempuan 50 44,64
Total 112 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 4.19 dapat dijelaskan
bahwa penderita penyakit ISPA selama pandemi Covid-19
didominasi oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki tercatat
sebanyak 62 orang atau sebesar 55,36%, sementara pasien
dengan jenis kelamin perempuan tercatat sebanyak 50 orang
atau sebesar 44,64%.
3. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Antibiotik Jenis Obat Antibiotik
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian obat
antibiotik dan jenis obat antibiotik.

Tabel 4.20 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


Pemberian Obat Antibiotik

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Antibiotik
Orang Persentase (%)
57

1 Ya 46 41,07
2 Tidak 66 58,93
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.20, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat Antibiotik tablet tercatat
sebanyak 46 orang atau sebesar 41,07%, sementara yang tidak
mengkonsumsi obat Antibiotik tercatat sebanyak 66 orang atau
sebesar 658,93%.
Tabel 4.21 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Obat Antibiotik

Frekuensi Jumlah Pasien


No Jenis ObatAntibiotik
Orang Persentase %
1 Amoxicillin Tablet 36 78,26
2 Cefadroxil Tablet 4 8,70
3 Cefadroxil Sirup 1 2,17
4 Ciprofloxacin 5 10,87
46 100
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.21, dapat dijelaskan


bahwa dari 46 orang penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat Antibiotik selama pandemi Covid-19 yang
mengkonsumsi obat Antibiotik jenis Amoxicillin Tablet tercatat
sebanyak 36 orang atau sebesar 78,26%, penderita penyakit
ISPA yang mengkonsumsi obat Antibiotik jenis Cefadroxil
Tablet tercatat sebanyak 4 orang atau sebesar 8,70%. penderita
penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat Antibiotik jenis
Cefadroxil sirup tercatat sebanyak 1 orang atau sebesar 2,17%,
penderita peyakit ISPA yang mengkonsumsi obat Antibiotik
jenis Ciprofloxacin tercatat sebanyak 5 orang atau sebesar
10,87%.
58

4. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian


Obat Batuk dan Jenis Obat Batuk
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian obat
batuk dan jenis obat batuk.

Tabel 4.22 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


Pemberian Obat Batuk

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Obat Batuk
Orang Persentase (%)
1 Ya 69 61,60
2 Tidak 43 38,40
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.22, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat batuk tercatat sebanyak 69
orang atau sebesar 61,60%, sementara yang tidak
mengkonsumsi obat batuk tercatat sebanyak 43 orang atau sebesar
38,40%.
Tabel 4.23 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA
Berdasarkan Jenis Obat Batuk

Frekuensi JumlahPasien
No Jenis Obat Batuk
Orang Persentase %
1 Ambroxol Tablet 48 69,57
2 Ambroxol sirup 2 2,90
3 Dextrofen sirup 19 27,53
69 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.23, dapat dijelaskan


bahwa dari 69 orang penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat batuk selama pandemi Covid-19 yang
mengkonsumsi obat batuk jenis Ambroxol tablet tercatat
59

sebanyak 48 orang atau sebesar 69,57%, penderita penyakit


ISPA yang mengkonsumsi obat batuk jenis Ambroxol sirup
tercatat sebanyak 2 orang atau sebesar 2,90%. penderita
penyakit ISPA selama pandemi Covid 19 yang mengkonsumsi
obat batuk jenis Dextrofen sirup tercatat sebanyak 19 orang atau
sebesar 27,53%.
Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Kortikosteroid dan Jenis Obat Kortikostiroid
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian obat
Kortikosteroid dan jenis obat Kortikosteroid.
Tabel 4.24 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Kortikosteroid

Pemberian Obat Frekuensi Jumlah Pasien


No
Kortikosteroid Orang Persentase (%)
1 Ya 22 19,65
2 Tidak 90 80,35
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.24, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat Kortikosteroid tercatat
sebanyak 22 orang atau sebesar 19,65%, sementara yang tidak
mengkonsumsi obat Kortikosteroid tercatat sebanyak 90 orang
atau sebesar 80,35%

Tabel 4.25 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


Jenis Obat Kortikosteroid

Jenis Obat Frekuensi Jumlah Pasien


No
Kortikosteroid Orang Persentase %
60

1 Dexamethasone Tablet 4 18,18


2 Methylprednisolone 18 81,82
Tablet
22 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.25, dapat dijelaskan


bahwa dari 22 orang penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat kortikosteroid selama pandemi Covid- 19
yang mengkonsumsi obat Kortikosteroid jenis Dexamethasone
tercatat sebanyak 4 orang atau sebesar 18,18%, sementara
penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi obat
Kortikosteroid jenis Methylprednisolone tercatat sebanyak 18
orang atau sebesar 81,82%.
5. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan Pemberian Obat
Antihistamine dan Jenis Obat Antihistamine
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian obat
antihistamine dan jenis obat antihistamine
Tabel 4.26 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Antihistamine

Pemberian Frekuensi Jumlah Pasien


No
Antihistamine Orang Persentase (%)
1 Ya 11 9,82
2 Tidak 101 90,18
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.26, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat Antihistamine tercatat
sebanyak 11 orang atau sebesar 9,82%, sementara yang tidak
mengkonsumsi obat Antihistamine tercatat sebanyak 101 orang
atau sebesar 90,18%.
Tabel 4.27 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
61

Jenis Obat Antihistamine

Frekuensi JumlahPasien
No Jenis Obat Antihistamin
Orang Persentase %
1 Cetirizine Tablet 11 100,00
11 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada table 4.27, dapat dijelaskan dari


11orang penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi
antihistamine selama pandemi covid-19 yang mengkonsumsi
obat antihistamine cetirizine tercatat sebanyak 11 0rang atau
sebesar 100%
6. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek dan Jenis Obat Kombinasi
untuk Batuk Pilek
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian obat
kombinasi untuk batuk pilek dan. jenis obat kombinasi untuk
batuk pilek
Tabel 4.28 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek

No Pemberian Obat Frekuensi Jumlah


Kombinasi untuk batuk Pasien
pilek Orang Persentase (%)
1 Ya 55 49,10
2 Tidak 57 50,90
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.28, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek
tercatat sebanyak 55 orang atau sebesar 49,10%, sementara yang
62

tidak mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek tercatat


sebanyak 57 orang atau sebesar 50,90%.
Tabel 4.29 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Obat Kombinasi untuk Batuk Pilek

Jenis Obat kombinasi Frekuensi Jumlah Pasien


No
untuk batuk pilek Orang Persentase %
1 Coparcetin 54 98,18
2 Calortusin 1 1,82
55 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.29, dapat dijelaskan


bahwa dari 55 orang penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat kombinasi batuk pilek selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek
jenis Coparcetin tercatat sebanyak 54 orang atau sebesar
98,18%, sementara penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek jenis
Calortusin tercatat sebanyak 1 orang atau sebesar 1,82%.
7. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian
Obat Antipiretik/Obat penurun Panas dan Jenis Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian obat
antipiretik/obat penurun panas dan jenis obat Antipiretik/Obat
Penurun Panas.

Tabel 4.30 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


Pemberian Obat Antipiretik/Obat Penurun
Panas

No Pemberian Obat Frekuensi Jumlah Pasien


Antipiretik/Obat Orang Persentase (%)
63

Penurun Panas
1 Ya 43 38,40
2 Tidak 69 61,60
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.30, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun
Panas tercatat sebanyak 43 orang atau sebesar 38,40%,
sementara yang tidak mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat
Penurun Panas tercatat sebanyak 69 orang atau sebesar 61,60%

Tabel 4.31 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan


Jenis Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas

Jenis Obat Frekuensi JumlahPasien


No Antipiretik/Obat Orang Persentase %
Penurun Panas
1 Parasetamol Tablet 39 90,70
2 Ibuprofen 2 4,65
Parasetamol sirup 2 4,65
43 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.31, dapat dijelaskan


bahwa dari 43 orang penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi obat antipiretik/penurun panas selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun
Panas jenis Parasetamol tablet tercatat sebanyak 39 orang atau
sebesar 90,70%, penderita penyakit ISPA yang mengkonsumsi
obat antipiretik / penurun panas jenis ibuprofen tercatat
sebanyak 2 orang atau sebesar 4,65%, penderita penyakit ISPA
yang mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas jenis
Parasetamol sirup tercatat sebanyak 2 orang atau sebesar
94,65%.
64

8. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Pemberian


Vitamin dan Jenis Vitamin
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid-19 berdasarkan pemberian vitamin
dan jenis Vitamin
Tabel 4.32 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Pemberian Vitamin

Frekuensi Jumlah Pasien


No Pemberian Vitamin
Orang Persentase (%)
1 Ya 88 78,58
2 Tidak 24 21,42
112 100,00

Berdasarkan data pada Tabel 4.32, dapat dijelaskan


bahwa dari 112 orang penderita penyakit ISPA selama pandemi
Covid-19 yang mengkonsumsi Vitamin tercatat sebanyak 88
orang atau sebesar 78,58%, sementara yang tidak
mengkonsumsi Vitamin tercatat sebanyak 24 orang atau sebesar
21,42%.
Tabel 4.33 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Vitamin

Frekuensi JumlahPasien
No Jenis Vitamin
Orang Persentase %
1 Becefort 42 47,73
2 Vitamin B Complex 14 15,90
3 Vitamin C 32 36,37
88 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 4.33, dapat dijelaskan


bahwa dari 88 orang penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi vitamin selama pandemi Covid-19 yang
mengkonsumsi Vitamin Becefort tercatat sebanyak 42 orang
atau sebesar 47,73%,penderita penyakit ISPA yang
65

mengkonsumsi Vitamin B complek tercatat sebanyak 14 orang


atau sebesar 15,90%, penderita penyakit ISPA yang
mengkonsumsi vitamin C tercatat sebanyak 32 0rang atau
sebesar 36,37 %
9. Deskripsi Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Diagnosa
Berikut diuraikan gambaran mengenai penderita penyakit
ISPA selama pandemi Covid -19 berdasarkan jenis diagnosa
Tabel 4.34 : Deskripsi Penderita Penyakit ISPA berdasarkan
Jenis Diagnosa

Frekuensi Jumlah Pasien


No. Diagnosa
(Orang) (%)
1. ISPA Pnemonia - -
2. ISPA Non Pnemonia 112 100,00
Total 112 100,00
Sumber: Data primer (Diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 4.34 dapat dijelaskan
bahwa penderita penyakit ISPA selama pandemi Covid-19
didominasi oleh ISPA Non Pnemonia tercatat sebanyak 112
orang atau sebesar 100,00%, sementara untuk ISPA Pnemonia
hasilnya nihil.
BAB V
PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diberikan penjelasan tentang
gambaran terapi penyakit ISPA sebelum dan selama pandemi Covid-19 di
wilayah kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali.
1. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Kelompok Umur
Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid 19 penderita penyakit ISPA didominasi
oleh pasien dengan kelompok umur >40 tahun, tercatat sebanyak 48 orang
atau sebesar 42,86%, sementara jumlah penderita paling sedikit pada
kelompok umur 31-40 tahun, tercatat sebanyak 12 orang atau sebesar
10,71%. Selama pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA masih
didominasi oleh pasien dengan kelompok umur >40 tahun, tercatat
sebanyak 67 orang atau sebesar 59,82%, sementara jumlah penderita
paling sedikit yaitu pada kelompok umur 21-30 dan 31-40 tahun, masing-
masing tercatat sebanyak 13 orang atau sebesar 11,61%.
Faktor pendukung terjadinya infeksi saluran pernafasan atas meliputi
dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan lingkungan. Infeksi saluran
pernafasan atas terutama pada lansia umumnya sering memberikan gejala-
gejala yang tidak jelas, sehingga memerlukan ketelitian untuk dapat
mengetahuinya. Sering tidak mengalami demam atau hanya demam ringan
disertai batuk ringan bahkan hanya didapati nafsu makan yang berkurang
atau tidak sama sekali, rasa lelah yang di alami dalam beberapa hari.
Penelitian ini lebih banyak diderita oleh lansia, biasanya lansia lebih
signifikan dan lebih cepat terkena bakteri maupun virus yang
menyebabkan infeksi saluran pernafasan. Selain itu pada perokok juga
memiliki resiko tinggi terkena penyakit infeksi saluran pernafasan atas.
Peningkatan aktivitas juga berpengaruh yang menyebebabkan sistem

66
67

kekebalan tubuh menurun sehingga tubuh menjadi mudah lelah yang dapat
berakibat mudah terserang infeksi. Selain itu asupan nutrisi yang kurang
baik/buruk juga berpengaruh penting agak sistem kekebalan tubuh tidak
menurun (Hayati dalam Syahila, 2018).
2. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin Sebelum
dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA didominasi
oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki tercatat sebanyak 61 orang atau
sebesar 54,46%, sementara pasien dengan jenis kelamin perempuan
tercatat sebanyak 51 orang atau sebesar 45,54%. Demikian juga selama
pandemi Covid 19 penderita penyakit ISPA didominasi oleh pasien dengan
jenis kelamin laki-laki tercatat sebanyak 62 orang atau sebesar 55,36%,
sementara pasien dengan jenis kelamin perempuan tercatat sebanyak 50
orang atau sebesar 44,64%.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bakung
(Rikomah et al., 2018), yang menyebutkan bahwa penderita infeksi saluran
pernapasan akut lebih sering didapatkan pada laki-laki dibanding dengan
perempuan, karena secara biologis sistem pertahanan tubuh laki-laki
berbeda dengan anak perempuan. Hormon estrogen memperkuat sistem
kekebalan tubuh membuat perempuan lebih tahan terhadap infeksi
(Santrock, 2003).
3. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat Antibiotik
Sebelum dan Selama Pandemi Covid- 19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi obat Antibiotik jenis Amoxicillin tablet tercatat sebanyak
44 orang atau sebesar 83,02%, sementara obat Antibiotik yang paling
sedikit dikonsumsi adalah obat Antibiotik jenis Amoxicillin sirup tercatat
sebanyak 2 orang atau sebesar 3,78 %. Selama pandemi Covid-19
penderita penyakit ISPA juga lebih banyak mengkonsumsi obat Antibiotik
jenis Amoxicillin tablet tercatat sebanyak 36 orang atau sebesar 78,26 %,
sementara obat Antibiotik yang paling sedikit dikonsumsi adalah obat
68

Antibiotik jenis Cefadroxil sirup tercatat sebanyak 1 orang atau sebesar


2,17 %.
Antibiotik merupakan kelompok obat yang paling sering dan
terbanyak digunakan untuk memerangi penyakit-penyakit infeksi di
Indonesia termasuk ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Menurut
Depkes sebagian besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat
ringan seperti batuk dan pilek tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik. Namun pemberian antibiotik dapat mempercepat penyembuhan
penyakit ini dibandingkan hanya pemberian obat obatan symptomatic,
selain itu dengan pemberian antibiotik dapat mencegah terjadinya infeksi
lanjutan dari bakterial, pemberian, pemilihan antibiotik pada penyakit ini
harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi resistensi kuman atau
baterial dikemudian hari.
4. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat Batuk
Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi obat batuk jenis Ambroxol tablet tercatat sebanyak 46
orang atau sebesar 62,16 %, sementara obat batuk yang paling sedikit
dikonsumsi adalah Ambroxol sirup tercatat sebanyak 9 orang atau sebesar
12,16 %. Selama pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA juga lebih
banyak mengkonsumsi obat batuk jenis Ambroxol tablet, tercatat sebanyak
48 orang atau sebesar 69,57%, sementara obat batuk yang paling sedikit
dikonsumsi adalah Ambroxol sirup tercatat sebanyak 2 orang atau sebesar
2,90%.
5. Gambaran Penderita Penyakit ISPA berdasarkan Jenis Obat Kortikosteroid
Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkomsumsi obat Kortikosteroid jenis Methylprednisolone tercatat
sebanyak 19 orang atau sebesar 54,29%, sementara obat Kortikosteroid
yang paling sedikit diskonsumsi adalah jenis Dexamethasone tercatat
sebanyak 16 orang atau sebesar 45,71%. Selama pandemi Covid-19
69

penderita penyakit ISPA lebih banyak mengkonsumsi obat Kortikosteroid


jenis Methylprednisolone tercatat sebanyak 18 orang atau sebesar 81,82%,
sementara obat Kortikosteroid yang paling sedikit diskonsumsi adalah
jenis Dexamethasone tercatat sebanyak 4 orang atau sebesar 18,18%.
6. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat Antihistamine
Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi obat Antihistamine jenis Cetirizine tablet tercatat sebanyak
14 orang atau sebesar 93,33%, sementara obat Antihistamine yang paling
sedikit dikonsumsi adalah jenis CTM tercatat sebanyak 1 orang atau
sebesar 6,67%. Selama pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA hanya
mengkonsumsi obat Antihistamine jenis Cetirizine tablet tercatat sebanyak
11 orang atau sebesar 100%.
7. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Obat Kombinasi
untuk Batuk Pilek Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek jenis Calortusin tercatat
sebanyak 24 orang atau sebesar 58,54%, sementara obat kombinasi untuk
batuk pilek yang paling sedikit dikonsumsi adalah jenis Caparcetin tercatat
sebanyak 17 orang atau sebesar 41,46%. Selama pandemi Covid-19
penderita penyakit ISPA lebih banyak mengkonsumsi obat kombinasi
untuk batuk pilek jenis Caparcetin tercatat sebanyak 54 orang atau sebesar
98,18 %, sementara obat kombinasi untuk batuk pilek yang paling sedikit
dikonsumsi adalah jenis Calortusin tercatat sebanyak 1 orang atau sebesar
1,82 %.
8. Gambaran Penderita Penyakit ISPA berdasarkan Jenis Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas jenis Parasetamol
tablet tercatat sebanyak 35 orang atau sebesar 94,60 %, sementara Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas yang paling sedikit dikonsumsi adalah
70

jenis Parasetamol sirup tercatat sebanyak 2 orang atau sebesar 5,40 %.


Selama pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi Obat Antipiretik/Obat Penurun Panas jenis Parasetamol
Tablet tercatat sebanyak 39 orang atau sebesar 90,70%, sementara Obat
Antipiretik/Obat Penurun Panas yang paling sedikit dikonsumsi adalah
jenis Ibuprofen dan Parasetamol Sirup masing-masing tercatat sebanyak 2
orang atau sebesar 4,65 %.
9. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Vitamin Sebelum
dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi Vitamin Becefort tercatat sebanyak 41 orang atau sebesar
54,67 %, sementara vitamin yang paling sedikit dikonsumsi adalah
Vitamin B Complex tercatat sebanyak 8 orang atau sebesar 10,66 %.
Selama pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA lebih banyak
mengkonsumsi Vitamin Becefort tercatat sebanyak 42 orang atau sebesar
47,73%, sementara vitamin yang paling sedikit dikonsumsi adalah Vitamin
B complex tercatat sebanyak 14 orang atau sebesar 15,90 %.
10. Gambaran Penderita Penyakit ISPA Berdasarkan Jenis Diagnosa Sebelum
dan Selama Pandemi Covid-19
Sebelum dan selama pandemi Covid-19 penderita penyakit ISPA
didominasi oleh ISPA Non Pnemonia, masing-masing tercatat sebanyak
112 orang atau sebesar 100,00%. Jenis ISPA ada 3 yaitu pneumonia berat,
pneumonia, dan bukan pneumonia. Dalam penelitian ini diperoleh 100%
jenis ISPA adalah bukan pneumonia. Secara umum, efek pencemaran
udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia
hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak
dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan
pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernapasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di
saluran pernapasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan
bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat
71

dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya


infeksi saluran pernafasan (Anonim, 2009).

6.2 Kelemahan Penelitian


Penelitian yang menggunakan sumber data retrospektif memungkinkan
terjadinya error pada saat sumber data. Hal ini dapat disebabkan karena
kesulitan dalam pembacaan data rekam medis dengan tulisan perawat atau
dokter yang kurang jelas.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisa data yang telah
diperoleh pada penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Tabanan I
Kabupaten Tabanan Bali dapat disimpulkan sebagai berikut: Sebelum dan
selama pandemi Covid 19 penderita penyakit ISPA didominasi oleh pasien
dengan kelompok umur >40 tahun. Ada Perbedaan jumlah penderita ISPA
berdasarkan jenis kelamin.
Sebelum dan selama pandemi Covid 19 penderita penyakit ISPA
sebagian besar mengkonsumsi obat Antibiotik jenis Amoxycillin tablet, obat
batuk jenis Ambroxol tablet, obat Kortikosteroid jenis Methylprednisolone,
obat antihistamine yaitu cetirizine, sebelum pandemi Covid-19 sebagian besar
mengkonsumsi obat kombinasi untuk batuk pilek yaitu Calortusin dan selama
pandemi covid-19 sebagian besar mengkonsumsi Coparcetin, sebelum dan
selama pandemi covid-19 obat antipiretik/penurun panas yang sebagian besar
mengkonsumsi Paracetamol tablet, vitamin Becefort, Penderita ISPA lebih
banyak di dominasi oleh jenis diagnosa ISPA non pnemonia.

6.2 Saran
Dari hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan di atas,
maka diajukan beberapa saran yang diharapkan akan memberikan manfaat
dalam pemberian obat yang tepat dan sesuai dosis dari Pemerintah di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali, yaitu:
1. Bagi UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali
a. Perlu mengkaji ulang standar terapi penggunaan antibiotik pada pasien
ISPA dengan tujuan agar terapi antibiotik yang diberikan pada pasien
ISPA lebih tepat.

72
73

b. Perlu dipertimbangkan kembali pentingnya pemeriksaan uji kultur


kuman pada setiap kasus agar dapat diketahui antibiotik yang sesuai
untuk diberikan pada pasien ISPA.
c. Perlunya perbaikan standar pelayanan medik dan formularium di
wilayah kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan Bali
seperti penggunaan obat dan pembaharuan formularium maksimal 3
tahun sekali.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
a. Perlu dilakukan penelitian dengan pengambilan data secara prospektif
mengenai evaluasi penggunaan antibiotik agar dapat melihat efek antara
penggunaan antibiotik lanjutan.
b. Penelitian tentang evaluasi terhadap terjadinya interaksi antara obat-obat
di luar antibiotik dapat dilakukan karena banyaknya penggunaan obat
yang digunakan pada masing-masing pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Radang Amandel. Accessed: http//:rivbloger. blogspot.com


/2011/03/belajar-tentang-peradangan-amandel.html

Antoro T. 2015. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Terdiagnosa


Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut (ISPA) Di Puskesmas Kecamatan
Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2013. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi


Saluran Pernapasan. Jakarta: Depkes RI

Fajarwati, Anastasia Hilda. 2015. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Penyakit


Infeksi Saluran Pernapasan Akut Kelompok Pediatri Di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013.
Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Fehr, A.R., Perlman, S. 2015. Coronavirus: An Overview of Their Replication


and Pathogenesis Methods Mol Biol. 2015 ; 1282: 1–5

Karch A.M. 2011. Buku Ajar Farmakologi Keperawatan, 2nd ed. Jakarta: EGC

Kementerian Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Korsman, S.N.J., Van Zyl, G.U., Nutt, L., Andersson, M.I, Preiser, W. 2012.
Virology. Chins: Churchill Livingston Elsevier

Llor C. and Bjerrum L. 2014. Antimicrobial resistance : risk associated with


antibiotic overuse and initiatives to reduce the problem. Vol. 5(6), 229–
241.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri., Wardhani, W.I., dan Wiwiek Setiowulan,
2000. Gastroenterologi, Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Marthinie. 2004. Kajian Penggunaan Antibiotika Pada Penyakit Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) dan Gastroenteritis (GE) Akut di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode 2002. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma

Notoatmodjo. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta

74
75

Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta

Notoatmodjo. 2012. Buku Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta

Nursalam. 2013. Buku Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2020. Panduan Praktik Klinis: Pneumonia


2019-nCoV. PDPI: Jakarta

Potter, Patricia A & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Latihan. Jakarta: EGC

Rikomah, Setya Enti., Devi Novia, Septiana Rahma. 2018. Gambaran Penggunaan
Antibiotik Pada Pasien Pediatri Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Di Klinik Sint. Carolus Bengkulu. Jurnal Ilmiah Manuntung, 4(1), 28-35,
2018. e-ISSN. 2477-1821

Said M. 1994. Pneumonia dan Bronkhiolitis pada Anak Sebagai Manifestasi ISPA
Berat; dalam: PKB lKA XXXIII. Jakarta: FKUI

Santrock, J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja, Edisi 6. Jakarta:


Erlangga

Saputro, Fajar Eko. 2017. Evaluasi Penggunaan Obat Antibiotik Pada Pasien
ISPA Di BBKPM (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat) Surakarta
Jawa Tengah Pada Tahun 2012 Dan 2013 Dengan Metode ATC/DDD.
Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta

Setiabudi R. 2007. Pengantar Antimikroba Farmakologi dan Terapi. Jakarta.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Siregar CJP. 2003. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sujarweni, V. Wiratna. 2016. Kupas Tuntas Penelitian Akuntansi Dengan SPSS.


Yogyakarta: Pustaka Baru Press
76

SYAHILA, Amelia Dian. 2018. Analisis Penggunaan Antibiotik Pada Infeksi


Saluran Pernafasan Atas Rawat Inap Di RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun
2016. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta

Wang, Z., Qiang, W., Ke, H. 2020. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia


Control and Prevention. Hubei Science and Technology Press. China
LAMPIRAN 1

77
78

LAMPIRAN 2

PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN


DINAS KESEHATAN
UPTD PUSKESMAS TABANAN I
Jalan Raya Yeh Gangga No. Sudimara Telp. (0361) 814102 Kode Pos 82151
Email : puskesmastabanan1@gmail.com

Nomor : 070/258.B/Pusk.Tbn I/2020 Kepada


Lampiran : - Yth. Dekan Fakultas Farmasi
Perihal : Ijin Melaksanakan Penelitian Universitas Mahasaraswati
Denpasar
di
Denpasar
Dengan hormat,
Berdasarkan surat dari Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Nomor :800/FF-UNMAS/E.6/VII/2020
Perihal Permohonan Ijin Penelitian dan Pengambilan Data,dengan ini saya :
Nama : dr I Ketut Serinata
NIP : 196606162002121002
Jabatan : Kepala UPTD Puskesmas Tabanan I
Memberikan ijin Penelitian dan Pengambilan Data kepada
Nama : Ni Wayan Kadiasih
NIM : 1909484010221
Pekerjaan : Mahasiswa
Untuk melaksanakan penelitian dan pengambilan data di UPTD Puskesmas
Tabanan I dengan judul, “Gambaran Terapi Penyakit ISPA Sebelum dan Semasa
Covid-19 di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Tabanan I Kabupaten Tabanan
Bali” mulai tanggal 22 Juni s/d 30 Juni 2020
Demikian surat ini kami buat , agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya,atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Tabanan,2020
Kepala UPTD Puskesmas Tabanan I

dr. I Ketut Serinata


NIP. 19660616 200212 1 002
79

LAMPIRAN 3

CONTOH PERESEPAN ISPA DI UPTD PUSKESMAS TABANAN I


80

Sebelum Pandemi covid 19

Jenis
No Nama Pasien Umur kelamin Nama Obat Dosis Diagnosa
L P
1 S.A 28 th   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Calortusin 3x1  
Vitamin B
        Complex 1x1  
2 Rb 65 th   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1  
        Ambroxol sirup 3x1 C  
3 I Abw 23th L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Ambroxol 3x1  
        Becefort 1x1  
4 N Chp 20 th   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Calortusin 3x1  
        Becefort 1x1  
5 Sam 59 th   P Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non Pnemonia
        Dexamethasone 2x1  
        Ambroxol 3x1  
6 I G Pt Ay 57 th L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Calortusin 3x1  
        Becefort 1x1  
3x 1
7 Dw 5 th L   Amoxicillin sirup cth ISPA Non Pnemonia
3x1
        Ambroxol sirup cth  
3x1/2
        Parasetamol tab  
8 Sn 52 th L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Ambroxol Syr 3x1 C  
        Methylprednisolone 2x1  
        Dextropen Syr 3x1 C  
9 NYt 28   P Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Cetirizine 2x1
        Becefort 1x1
10 An 72 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Cetirizine 2x1
        Dexamethasone 2x1
11 N Isp 34   P Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1
        Becefort 1x1
81

12 E wd 34   P Ciprofloxacin 2x1
        Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Becefort 1x1
13 Mht 10 L   Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Dexamethasone 2x1
        Ambroxol 3x1
        Cetirizine 2x1
14 Rmt 45   P Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Dexamethasone 2x1
        Cetirizine 2x1
15 Sdw 35 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Calortusin 3x1
        Becefort 1x1
16 Ngh 32   P Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Dexamethasone 2x1
        Ambroxol 3x1
        Becefort 1x1
17 Kar 10   P Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Dexamethasone 2x1
        Becefort 1x1
18 Kay 10 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Ambroxol 3x1
3x 1
19 Pt Lt 72 L   Ambroxol sirup cth ISPA Non Pnemonia
        Amoxicillin 3x1
        CTM 2x1
20 WES 28   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1
        Dextrofen sirup 3x1 C
21 M Sb 63   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1
        Ambroxol sirup 3x1 C
22 P E.N 54 L   Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Ambroxol sirup 3x1C
        Amoxicillin 3x1
23 Ay 68 L   Amoxicillin 2x1 ISPA Non Pnemonia
        Ambroxol sirup 3x1C

Methyl 2x1
        Prednisolone
24 En 24   p Amoxicillin 3x1C ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1C
        Ambroxol sirup 3x1C
82

25 Asb 41 L   Amoxicillin 3x1C ISPA Non Pnemonia


        Parasetamol 3x1C
        Dextrofen syr 3x1C
26 Kld 10 L   Amoxicillin 3x 1/2 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1/2
        Dexamethasone 3x1/2
27 Iml 45 L   Ambroxol tab 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Cetirizine 2x1
Methyl
        Prednisolone 3x1
28 Rte 34   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x1
        Dexamethasone 2x1
29 Pst 24 L   Cefadroxil Tab 2x1 ISPA Non Pnemonia
        Dextrofen Sirup 3x 1 C
        Methylprednisolone 2x1
Amoxicillin 500
30 Nml 11   P mg 3x3/4 ISPA Non Pnemonia
        Parasetamol 3x3/4
3x1
        Dextrofen Sirup cth
Parasetamol 3x1,5
31 Nmd 6   P 120sirup cth ISPA Non Pnemonia
amoxicillin 250 3x3/4
        sirup cth
        Ambroxol tab 2x 3/9
Methyl
        Prednisolone 2x2/9
32 kmp 13 L   Ambroxol tab 3x3/4 ISPA Non Pnemonia
        Coparcetine 3x1
        Vitamin C 1x1
33 Nsn 50   P Ambroxol tab 3x1 ISPA Non Pnemonia

        Dexamethasone 2x1

        Cetirizine 2x1

        Becefort 1x1
34 Ikdp 18 L   Cetirizine 2x1 ISPA Non Pnemonia
Methyl
        prednisolone 2x1
        Vitamin C 1x1
83

35 Nyg 44   P Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia


          Ambroxol tab 3x1
36 I Wya 29 L   Cetirizine 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
37 I Wyd 41 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Dextrofen Sirup 3x1 C
38 Ksn 48   P Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
Methyl
          prednisolone 2x1
Cefadroxil250 2x3/4
39 Fnh 6   P Sirup cth ISPA Non Pnemonia
Parasetamol120 3x1,5
          sirup cth
          Ambroxol tab 2x2/6
Methyl
          Prednisolone 2x2/6
40 Igwd 48 L   Coparcetin 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Abroxol tab 3x1
          Becefort 1x1
41 Shd 34 L   Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Vitamin B complex 2x1
42 Pdy 28 L   Cefadroxil Tab 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Dextrofen Sirup 3x1C
Methyl
          prednisolone 2x1
          Becefort 1x1
43 wst 50   P Amoxicillin Tab 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Dexamethasone 2x1
45 Agw 30 L   Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Vitamin C 1x1
46 Ye R 36   P Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Becefort 1x1
47 Fa P 10 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 1x1
          Becefort 1x1
48 Mrk 62 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Cetirizine 2x1
84

             
49 Mrd 21 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Coparcetin 3x1
          Becefort 1x1
50 Nst 36   P Coparcetin 3x1
          Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
51 ST MM 43   P Dextrofen sirup 3x1C ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1
          Dexamethasone 2x1
20
52 Pst bln L   Cetirizine 2x3/10 ISPA Non Pnemonia
          Dexamethasone 2x2/10
1x1
          Procurma Sirup Ctdh
53 SPT 60 L   Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Vitamin C 1x1
54 Md Al D M 27 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Coparcetin 3x1
          Becefort 1x1
             
55 SGD 21 L   Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
             
56 Br T 59 L   Cetirizine 1x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
57 SRT 55 L   Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Becefort 1x1

58 AN 20 L   Dextrofen sirup 3x1C ISPA Non Pnemonia


          Becefort 1x1
59 Md A 20   P Dextrofen sirup 3x1C ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1
          Parasetamol 3x1
60 Di P 18 L   Coparcetim 3x1
Methyl
          prednisolone 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Vitamin C 1x1
          Ambroxol 3x1
61 Bdw 33 L   Amoxicillin 3x1
          Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
85

          Becefort 1x1
62 Wbd 71 L   Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Vtamin B Complex 1x1
             
62 DSK 13 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Coparcetin 1x1
             
64 HM 19 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Dextrofan sirup 3x1C
3X1
          Parasetamol tab
65 ST KY 23   P Coparcetin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Vutamin C 1x1
             
3x1,5
66 M AT 43 L   Dextrofen sirup cth ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Amoxicillin 3x1
3x1
67 Di PR 17   P Dextrofen sirup Cth ISPA Non Pnemonia
          Cefadroxil 2x1
          Parasetamol 3x1
68 SKN 16 L   Cefadroxil 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Calortusin 3x1
          Vitamin B complex 1x1
69 SD 50 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Parasetamol 3x1
70 GNW 56 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1

          Becefort 1x1
71 AA 56   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Dextrofen sirup 3x1C
          Parasetamol 3x1
72 Sr NB 19   P Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Dexamethasone 2x1
          Becefort 1x1
73 SKD 56 L   Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Dexamethasone 2x1
          Ambroxol 3x1
86

74 KN 49   P Ambroxol 3x1
          Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 2x1
75 KT 62 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Dextrofen sirup 3x1C
          Parasetamol 3x1
76 RND 32   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 2x1
77 RI A 12   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 2x1
          Parasetamol 3x1
78 DJS 30 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
          Cetirizine 2x1
79 SKM 48   P Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
80 SD 71   P Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
             
81 SWT 41 L   Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1
82 NR 61   P Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
Vitamin B
          Complex 1x1
83 Ar W 43 L   Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
Vitamin B
          Complek 1x1
          Cefadroxil 2x1

84 YG 28 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia

          Becefort 1x1
85 RP 61   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Calortusin 3x1
Vitamin B
          Complex 1x1
86 Dwp 21 L   Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
Vitamin B
          Complex 1x1
          Cefadroxil 2x1
87 I Wyn Y A 28     Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
87

88 Gst Pt SDN 40 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia


          Becefort 1x1
89 Ni Pt R N 16   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Dextrofen sirup 3x1C
90 I Nym W D 65 L   Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1
91 Ni Luh km KM 17   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Ambroxol 3x1
92 I kt SMT 50 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Dextrofen sirup 3x1C
93 I Dw A C 27   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Methylprednisolone 2x1
94 Yu AA 28   P Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1
          Becefort 1x1
          Ambroxol 3x1
95 Pt SMB 22 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
          Ambroxol 3x1
96 Kt JLN 26   P Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Dextrofen sirup 3x1C
          Becefort 1x1
97 SMTD 45 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Cetirizine 2x1
          Becefort 1x1
98 Pt RN 44 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Calortusin 3x1
          Becefort 1x1
99 He GN 46 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Parasetamol 3x1
100 YNT 15   p Cefadroxil 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 2x1
          Parasetamol 3x1
101 HWN 29 L   Calortusin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1

          Becefort 1x1
88

          Ambroxol 3x1
102 A SN 20   P Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
          Methylprednisolone 2x1  
103 EYT 31   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Parasetamol 3x1
104 YG 32 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
          Calortusin 3x1
105 RC 63   P Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
          Dexamethasone 2x1
106 PS 17   P Parasetamol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Ambroxol 3x1
          Dexamethasone 2x1
          Becefort 1x1
107 Ku H 27   P Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Calortusin 3x1
          Becefort 1x1
108 M AY 68 L   Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 2x1
          Ambroxol 3x1
109 EM 24   P Ambroxol 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Amoxicillin 3x1
          Ambroxol Sirup 3x1C
110 SMT 63   P Cetirizine 2x1 ISPA Non Pnemonia
          Methylprednisolone 2x1

             
111 Ay P S 41   P Amoxicillin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Abroxol sirup 3x1C
          Vitamin B complex 1x1
112 WS 58 L   CalortuSin 3x1 ISPA Non Pnemonia
          Becefort 1x1
89

LAMPIRAN 4

CONTOH PERESEPAN ISPA DI UPTD PUSKESMAS TABANAN I


Semasa Pandemi covid 19

No Nama Pasien Umur Jenis kelamin Nama Obat Dosis Diagnosa


  L P    
1 I YG 30 L Cetirizine 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol tab 3x1
  Becefort 1x1
2 SKL 33 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
90

  Becefort 1x1
3 MH 22 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Vitamin C 1x1
4 DA 16 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol tab 3x1
  Vitamin C 1x1
5 Wyn 47 P Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol tab 3x1
  Vitamin C 1x1
6 SWD 51 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
7 WD 20 P Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Vitamin C 1x1
8 HW 23 L Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Vitamin C 1x1
9 In Y 27 P Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Becefort 1x1
10 MT 14 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Methylprednisolone 2x1
  Becefort 1x1
11 GN 20 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin C 1x1
  Parasetamol 3x1
12 AG G W 17 L Cefadroxyi 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Methylprednisolone 2x1
13 KP 5 L Ambroxol tab 2x ISPA Non
4/10 Pnemonia
  Cetirizine 2x2/10
  Methylprednisolone 2x2/10
91

  Vitamin C 2x3/10
14 BD 38 L Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Cetirizine 2x1
  Becefort 1x1
15 DPP 34 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Ambroxol tab 3x1
  Becefort 1x1
16 DP 16 L Amoxicillin 3x1
  Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol tab 3x1
  Vitamin C 1x1
17 DMK 62 L Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Vitamin C 1x1
18 APS 23 P Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin C 1x1
19 KB 72 P Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
20 SMY 40 L Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
21 TN 15 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dektrofen sirup 3x1
cth
  Vitamin C 1x1
22 WNK 50 P Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Methylprednisolone 2x1
  Cefadroxil Tab 2x1
  Becefort 1x1
23 BG 55 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Paracetamol 3x1
  Becefort 1x1
24 SK 65 P Paracetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
92

  Vit B Complex 1x1


25 MT 60 L Paracetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Becefort 1x1 ISPA Non
Pnemonia
26 GM 63 L Cetirizine 2x1
  Ambroxol 3x1
  Vitamin B 1x1
Complex
27 NM 54 P Paracetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin B 1x1
Complex
28 MK 11 P Dextrofen sirup 3x1cth ISPA Non
Pnemonia
  Amoxicillin 3x250
29 SBG 50 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Paracetamol 3x1
  Viamin C 1x1
30 SD 51 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Cetirizine 2x1
  Methylprednisolone 2x1
31 SD 51 L Paracetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Vitamin C 1x1

32 NN 47 P Paracetamol 3x1 ISPA Non


Pnemonia
  Vitamin C 1x1
33 OKT 34 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Becefort 1x1
34 WJ 53 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
35 SH 43 P Paracetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1C
  Vitamin B 1x1
93

Complex
36 AD 49 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Paracetamol 3x1
  Dextrofen sirup 3x1C
37 MD 70 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
38 RY 72 P Dextrofen sirup 3x1C ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin B 1x1
Complex
39 SY 54 L Cetirizine 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
40 AK 23 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Paracetamol 3x1
  Methylprednisolone 2x1
  Viamin C 1x1
41 SKS 56 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
42 B SJT 22 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Vitamin C 1x1
43 AH L W 19 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Paracetamol 3x1
  Vitamin B 1x1
Complex
44 ST 56 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Becefort 1x1
45 SDT 53 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Becefort 1x1
46 AST 32 L Dextrofen sirup 3x1,5 ISPA Non
cth Pnemonia
  Vitamin C 1x1
47 Md S 41 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
94

Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Becefort 1x1
48 GNW 66 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Becefort 1x1
49 GM 64 L Dextrofen sirup 3x1C ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin B 1x1
Complex
50 GA 12 L Ambroxol 2x2/10 ISPA Non
Bln Pnemonia
  Methylprednisolone 2x1/10
  Parasetamol Drop 3x1
ml
51 SS 59 P Dextrofen sirup 3x1C ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
   
52 A SS 30 P Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin B 1x1
Complex
   
53 SLT 42 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1C
  Becefort 1x1

54 AST 32 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non


Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1C
55 RB 60 P Ambroxol tab 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin c 1x1
   
56 KA 48 P Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Vitamin C 1x1
  Methylprednisolone 2x1
57 SKN 20 L Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
95

  Methylprednisolone 2x1
  Vitamin C 1x1
58 AST 32 L Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Vitamin C 1x1
59 SW 3 th 8 L Parasetamol sirup 3x1,5 ISPA Non
bln cth Pnemonia
  Methylprednisolone 3x4/10
  Ambroxol 3x2/10
60 KS 77 P Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Cefadroxil 2x1
  Cetirizine 2x1
61 WS 3 L Cefadroxil 250 mg 2x1/2 ISPA Non
sirup Cth Pnemonia
  Methylprednisolone 2x2/10
  Ambroxol 2x1/10
62 MW 54 L Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
63 SD 66 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1C
64 N BW 55 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1C
  Vit B Complek 1x1

65 TSW 4 p Parasetamol sirup 3x1cth ISPA Non


Pnemonia
  Ambroxol 2x2/9
  Methylprednisolone 2x1/9
66 SK 48 L Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Methylprednisolone 2x1 ISPA Non
Pnemonia
67 SM 49 L Ambroxol 3x1
  Parasetamol 3x1
  Amoxicillin 3x1
68 DS 25 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Cetirizine 2x1
96

  Methylprednisolone 2x1
69 Ta D 15 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin C 1x1
  Dextrofen sirup 3x1C
70 SYT 62 P Calortusin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin C 1x1
71 SNY 59 L Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Cetirizine 2x1
72 MDR 70 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
73 SD 70 L Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Methylprednisolone 2x1
  Becefort 1x1
74 LT 72 L Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1C
75 AAG 50 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
76 LT 73 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Methylprednisolone 2x1
  Parasetamol 3x1
77 SNY 60 L Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Becefort 1x1
78 NN Coparietin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
79 SN 63 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x 1C
  Becefort 1x1
80 ML K 33 P Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Dexamethasone 2x1
  Vitamin C 1x1
97

81 AW 16 P Coparcetin 3x1 ISPA Non


Pnemonia
  Vitamin C 1x1
82 ND 55 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Vitamin C 1x1
83 NN 27 P Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Vitamin C 1x1
84 PPN 41 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
  Coparcetin 3x1
85 GW 80 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Parasetamol 3x1
86 BG 55 P Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  3x1
Amoxicillin
  1x1
Becefort
87 SK 65 P Paracetamol 3x1
  Vitamin C 1x1 ISPA Non
Pnemonia

88 MT 60 L Ibuprofen 3x1 ISPA Non


Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Vitamin C 1x1
89 SBG 50 L Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Amoxicillin 3x1
  Vitamin B 1x1
Complex
90 SD 51 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Cetirizine 1x1
  Methylprednisolone 3x1
91 NRT 47 P Ibuprofen 3x1 ISPA Non
Pnemonia
98

  Vitamin C 1x1
  Amoxicillin 3x1
92 OKT 34 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Becefort 1x1
93 WJ 53 L Coparcetin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
94 HD 43 P Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dextrofen sirup 3x1
  Vitamin B 11
Complex
95 ARD 49 L Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Amoxicillin 3x1
  Dektrofen Sirup 3x1
96 MD 79 L Becefort 1x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
97 RYG 72 L Detrofen sirup 3x1c ISPA Non
Pnemonia
  Vitamin B complex 1x1
98 SKS 54 P Coparcetine 3x1c ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1

99 SY 54 P Cetirizine 2x1 ISPA Non


Pnemonia
  Becefort 1x1
   
100 A KR 23 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Methylprednisolone 2x1
  Vitamin c 1x1
101 SKS 55 P Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
102 BM SJK 22 L Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
99

  Vitanin B Complex 1x1


103 Ah LG 19 L Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Amoxicillin 3x3
  Vitamin B 1x1
Complex
104 FTR 26 P Cefadroxil 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Ambroxo l 3x1
105 FS 28 L Amboxol Sirup 3x1C ISPA Non
Pnemonia
  Parasetamol 3x1
  Becefort 1x1
106 SMY 40 L Dextrofen 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Becefort 1x1
  Ciprofloxacin 3x1
107 AS 37 L Ciprofloxacin 2x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dexamethasone 2x1
  Parasetamol 1x1
108 DV 29 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Coparcetin 3x1
  Dexamethasone 2x1
109 NVY 37 P Amoxicillin 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Amboxol Sirup 3x1C
    ISPA Non
Pnemonia
110 SDG 92 P Ambroxol 1x1
  Amoxyciilin 3x1
  Methilprednisonone
111 ASB 22 L Parasetamol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Ambroxol 3x1
  Becefort 1x1
112 AW 30 L Ambroxol 3x1 ISPA Non
Pnemonia
  Dexamethasone 3x1
100

LAMPIRAN 5

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Ni Wayan Kadiasih lahir di Samsam, Bali, pada tanggal 16


Maret 1981, merupakan anak pertama dari dua bersaudara
pasangan I Nyoman Kalpika dan Ni Wayan Budi. Pada
tahun 1986 memulai pendidikan di TK Cahaya Ibu Samsam,
kemudian melanjutkan ke SD Negeri 1 Samsam pada tahun
1987. Pada tahun 1993 melanjutkan ke SLTP Negeri 2
Kerambitan dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Saraswati
Denpasar pada tahun 1996. Pada tahun 2004 menikah dengan I Made Duana, dari
101

pernikahan tersebut dikaruniai 2 orang putra bernama I Gede Oka Pradnyananda


Kusuma dan I Made Sedana Arta
Untuk memperoleh gelar Ahli Madya Farmasi ia melanjutkan studinya di Program
Studi Diploma Tiga Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, angkatan 2019. Setelah menyelesaikan Program Studi DIII Farmasi, ia
berniat untuk mengabdikan diri di bidang kefarmasian yang kompeten dan
profesional.

Anda mungkin juga menyukai