Anda di halaman 1dari 67

TUGAS REFRAKTORI KELOMPOK 1

SIFAT REFRAKTORI – POROSITAS

Cakrawartya Sambyada 1206241514

Awang Pemuji 1206260955

Kevinozky Januard C.R. 1206260980

Rhaka Drastha A.P. 1306368091

Gerra Maulana 1306368103

TEKNIK METALURGI & MATERIAL

UNIVERSITAS INDONESIA

2016
Sifat Refraktori

Porositas

Definisi

Porositas memiliki pengertian sebagai persentase volume dari pori atau celah terhadap
volume keseluruhan dari Refraktori.

Bentuk porositas dapat berupa terbuka (open) dan tertutup (closed). Berdasarkan hal tersebut
didapatkan definisi porositas lebih lanjut.

Apparent Porosity :

Tanpa memperhitungkan poros yang tertutup.

True Porosity :

Dengan memperhitungkan poros yang tertutup.

Namun biasanya porositas yang tertutup akan diabaikan dalam perhitungan persentase
porositas dikarenakan jumlah yang sangat rendah, perbedaan disekitar 1-2%. Sedangkan
untuk poros terbuka dapat diklasifikasikan lebih lanjut lagi menjadi permeable dan
impermeable.

Perhitungan untuk persentase porositas yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :

𝑅𝑒𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 − 𝐴𝑝𝑝𝑎𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦


%𝑃𝑜𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥 100%
𝑅𝑒𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦

10-15%  Low Porosity

20-25%  High Porosity

Porositas dapat dikontrol dan dipengaruhi oleh beberapa hal berikut :

- Pengontrolan tekstur dari bata (pengontrolan distribusi ukuran dari partikel)


- Penggunaan metode Green Manufacturing
- Pengaturan temperatur pembakaran dan suhu perendaman
- Kualitas dari raw material (adanya porositas yang melekat pada bahan baku)
Standard penentuan porositas pada refraktori

Standard uji prosedur untuk menentukan porositas sehingga diketahui densitas asli
dari refraktori tersebut dapat diketahui dan data tersebut diatur dalam ISO 5016 : 1997 dan
ASTM C 134.

ISO 5016 : 1997

Prinsip pengujian masa dari sampel yang kering dengan bentuk geometri spesifik
ditentukan dengan berat dan dimensi yang telah diukur. Dari nilai tersebut dapat menentukan
volume bulk densitas dan porositas asli yang ditentukan oleh perhitungan. Untuk metode
pencelupan ke suatu cairan untuk menentukan massa sampel tidak berlaku pada produk
refraktori hal ini disebabkan karena sangat terbukanya tekstur permukaan yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam penentuan massa.

Peralatan

 Kaliper : Kaliper, berukuran pada 0,5 mm, atau logam datar, yang
memiliki ukuran 0,5 mm dan memiliki persegi di salah satu ujung yang dapat
dipasang ke tepi potongan uji.
 Oven pengering : yang dapat diature temperaturenya pada (110 +-5)oC
 Timbangan : dengan akurasi 0.1 gram
 Desikator

Sampel

 Jumlah sampel yang dilakukan pengujian ditentukan dengan pihak terkait


 Jika beberapa sampel dilakukan pengujian, jumlah yang sama dari sampel dapat
diambil pada tiap sampel sehingga menghasilkan perhitungan statistik
 Sampel dapat berbentuk persegi dengan permukaan yang rata dan sejajar. Volume
dari tiap sampel tidak boleh kurang dari 500 cm3 dan dimensi dari sampel tidak boleh
kurang dari 50 mm.
 Untuk bata yang dibentuk dengan gergaji, bata tersebut dapat digunakan untuk sampel
karena terdapat sisi yang datar dan paralel

Prosedur
 Menggunakan kaliper untuk menghitung tiga hal yang penting ( panjang l, luas b,
ketebalan d) dari masing-masing bagian tes untuk jarak 0,5 mm. Pengukuran dapat
dibuat dari titik tengah setiap sisi, dan rata-rata dari 4 kali perhitungan dapat
dilakukan untuk 3 dimensi penting tersebut.
 Melakukan pengeringan dari sampel uji pada drying oven yang di lakukan pada
temperature (110+- 5)oC, kemudian dilakukan pendinginan pada temperature normal
didalam desikator. Dan berat dari sampel uji mendekati 0.1 gram
 Melakukan pengeringan, pendinginan serta penimbangan kembali hingga massa
konstant dicapai sehingga akhitnya didapatkan berat sebelum dan sesudah pada
kurang lebih 2 jam di oven pengering yang tidak melebihi 0.1%.
 Menentukan densitas asli dengan menggunakan ISO 5018

Hasil

 Volume padat dari sampel uji dihasilkan dalam cm3 dengan persamaan : Vb=lbd
dengan l,b dan d merupakan panjang,lebar dan tebal dalam sentimeter
 Densitas padat ρb dari sampel uji didapatkan dengan persamaan ρb=m/Vb dengan m
merupakan masa kering dalam gram, dan Vb adalah volume padat dalam cm3
 Densitas harus ditulis dalam g/ cm3 atau dalam kg/m3 (mengalikan hasil degnan 8.2 x
103) kalkulasi dapat ditulis dengan 3 angka pasti.
 Porositasπ dapat ditentukan dengan persamaan
o π1=(ρt-ρb)/pt x 100%
 Dengan : pt merupakan densitas asli yang ditentukan oleh ISO 5018 , ρb merupakan
densitas padat

Laporan Pengujian

Laporan pengujian dibuat dengan beberapa informasi yaitu :

 Nama dari pengujian yang dilakukan


 Tanggal pengujian dilakukan
 Referensi mengacu pada standard internasional contohnya adalah “ditentukan
berdasarkan ISO 5016”
 Informasi material yang dilakukan pengujian ( pabrik pembuat, tipe dll)
 Jumlah dari sampel uji per item
 Nilai satuan dan nilai rata rata dari densitas padat dan porositas asli dari tiap item

Peranan Porositas

Setiap refraktori memiliki persentase poros yang berbeda-beda. Secara general, rekfraktori
yang memiliki porositas rendah akan memiliki karakteristik sebagai berikut :

- Higher Thermal Conductivity


- High Strenght
- High Slag Resistance.
- Low Shrinkage

Sedangkan refraktori dengan porositas tinggi memiliki karakteristik sebagai berikut :

- Insulator
Hal ini dikarenakan dengan banyaknya poros maka akan banyak udara yang terjebak.
Udara merupakan konduktor panas yang buruk.
- High Shrinkage
Banyaknya poros menyebabkan ketahanan shrinkage yang buruk dan akan
berpengaruh pada temperatur tinggi.

Oleh karena sifat-sifat diatas biasanya refraktori dengan porositas rendah lebih banyak
digunakan pada daerah yang terpapar panas langsung sedangkan refraktori dengan porositas
tinggi digunakan sebagai pelapis.

Kadar porositas yang ada pada material harus dalam jumlah yang sangat sedikit agar
material mampu memiliki ketahanan panas yang tinggi (seiring meningkatnya densitas pada
material). Porositas biasanya terjadi pada saat proses pemanasan dalam suhu yang tinggi dan
selama proses pemanasan ini, adanya beberapa unsur yang mengalami peluluhan atau
meleleh serta gas-gas yang terperangkap keluar sehingga menciptakan lubang-lubang berupa
pori.

Keuntungan porositas pada material:

1. Material akan memiliki tingkat permeabilitas yang baik

Kerugian porositas jika ada pada material:

1. Jumlah porositas yang cukup tinggi dapat mengakibatkan penurunan kekuatan


2. Jumlah porositas yang tinggi dapat mengakibatkan penurunan suhu leleh dari material
3. Porositas dapat menyebabkan cacat pada material (terciptanya crack atau flaw)
sehingga hal ini bisa memicu kepada fracture atau failure dengan mudah

Metode penentuan nilai Apparent Porosity

1. Evacuation Methode

Metode ini dapat diaplikasikan pada semua jenis refraktori dengan bahan perendam berupa
air atau paraffin cair yang telah dipanaskan sampai dengan 200oC. Ukuran spesimen yang
digunakan adalah 65x65x40 mm yang telah dibersihkan dan digerinda terlebih dahulu.

Prosedur :

- Keringkan spesimen hingga suhu 110oC kemudian dinginkan sampai dengan suhu
kamar dalam desiccator dan timbang beratnya (D) dengan akurasi 0.1g.
- Masukan sampel kedalam desiccator vacuum dan turunkan tekanan sampai dibawah
25 mmHg. Masukan cairan perendam dan diamkan selama 5-6 jam dalam kondisi
tekanan yang telah direduksi.Kemudian hitung berat ketika berada dalam larutan
tersebut (S).
- Hitung berat sampel diudara (W)

Perhitungan :

𝑉1 𝑊−𝑆
𝑃= 𝑥 100% 𝑃= 𝑋 100%
𝑉 𝑊−𝐷

2. Boiling Water Methode

Metode ini hanya dapat diaplikasikan untuk Burnt Bricks.

Prosedur :

- Keringkan spesimen hingga suhu 110oC kemudian dinginkan sampai dengan suhu
kamar dalam desiccator dan timbang beratnya (D) dengan akurasi 0.1g.
- Panskan dalam air suling hingga mendidih selama dua jam kemudian dinginkan.
Timbang berat ketika dalam perendaman (S) tanpa menyentuh dasar.
- Keluarkan dari air, lap permukaannya dan kemudian timbang diudara (W)
REFERENSI :

K.K. Strelov. Porosity of Refractories, East Institute of Refractories. 1967.

Determination of Apparent Porosity. Chemical Engineering IIT Bombay. 2016.


http://www.che.iitb.ac.in/online/files/MS-207.pdf

Apparent Porosity & True Porosity. Chemical Engineering, IDC Tech. 2016. http://www.idc-
online.com/technical_references/pdfs/chemical_engineering/Apparent_Porosity_and_True_P
orosity.pdf

http://ispatguru.com/introduction-to-the-characteristics-of-refractories-and-refractory-
materials/

ISO 5016 : 1997

ASTM C 134 : 1999


THERMAL AND ELECTRICAL CONDUCTIVITY OF REFRACTORY
MATERIALS

Meitreya Taris – 1306368255


Kalvin Saputra Irawan – 1306368274
Rachman Kurnia – 1306368122
Bayu Mahardika – 1306368192
Johanes James - 1306368280
Kelompok 2

Departemen Teknik Metalurgi dan Material


Fakultas Teknik
Universitas Indonesia
THERMAL AND ELECTRICAL CONDUCTIVITY OF REFRACTORY
MATERIALS

Refraktori didefinisikan sebagai material konstruksi yang mampu mempertahankan


bentuk dan kekuatannya pada temperatur sangat tinggi dibawah beberapa kondisi
sepertitegangan mekanik (mechanical stress) dan serangan kimia (chemical attack) dari gas-
gas panas, cairan atau leburan dan semi leburan dari gelas, logam atau slag (Hancock, 1988).
Selain itu refraktori juga memilik sifat Thermal and Electrical Conductivity.

1. Thermal Conductivity
A. Definisi
Konduktivitas Thermal/ Panas dari suatu bahan refraktori merupakan kemampuan
refraktori untuk menghantarkan panas. Refraktori merupakan material tahan temperatur
tinggi yang biasa digunakan untuk aplikasi furnace, dll. konduktivitas panas dari refraktori
merupakan sifat penting karena dengan mengetahui konduktivitas panas tersebut maka kita
dapat mengaplikasikan refraktori di tempat yang tepat. Jika konduktivitas panas rendah,
material refraktori berperan sebagai insulator dan akan ditempatkan di bagian luar dari dapur
pemanas, jika konduktivitas panas tinggi maka refraktori berperan sebagai konduktor yang
akan ditempatkan dibagian dalam tempat logam akan dilelehkan. Konduktivitas panas yang
tinggi pada refraktori memiliki pori yang besar.
B. Metode Pengujian : Hot wire cross-array method
C. Prinsip
Pemanasan dari potongan uji dalam furnace pada suhu tertentu dan ditahan pada suhu
tersebut. Pemanasan lokal lebih lanjut dengan konduktor listrik linear ( kawat panas )
tertanam dalam potongan uji yang membawa arus listrik konsisten dalam waktu dan
sepanjang potongan uji .Perhitungan konduktivitas termal dari tenaga input ke kawat
panas dan suhu di dua interval setelah pemanasan dimulai , variasi suhu kawat panas
menjadi fungsi dari termal konduktivitas bahan dari benda uji .
D. Apparatus
- Furnace, mampu menampung satu atau lebih potongan ujites sampai dengan
maksimal 1 250 'C. Suhu di dua poin di wilayah yang diduduki oleh potongan uji
tidak boleh berbeda lebih dari 10 oC. Suhu di wilayah itu selama tes tidak berbeda
lebih dari 0,5oCdan akan dikenal dengan akurasi ~ 5 oC.
- Hot wire sebaiknya dari platina atau platina / rhodium, sekitar 200 mm dan tidak
melebihi 0,5 mm, panjang yang dengan dalam toleransi 0,5 mm.
- Power supply to the hot wire, baik a.c. atau DC, dan tidak bervariasi dalam power
yang digunakan selama periode pengukuran lebih dari 2 %.
- Measuring crosspiece, dibentuk oleh kawat panas dan platinum / platinum-rhodium
termokopel yang dilas di pusatnya. Badan dari termokopel harus di sebelah kanan
sudut kekawat panas (lihat angka 1 dan 2).Maksimal diameter badan dari termokopel
harus tidak lebih besar dari diameter kawat panas (untuk meminimalkan hilangnya
panas pada titik pengukuran oleh konduksi).
- Measuring circuit, Untuk setiap ujung kawat panas dilas dua kawat dari jenis yang
sama (dari diameter yang lebih besar, jika mungkin, dibandingkan dengan kawat
panas itu sendiri), satu untuk memasok pemanasan saa tini dan yang lainnya untuk
pengukuran penurunan tegangan. Termokopel dilas kepusat kawat panas terhubung
bertentangan dengan termokopel referensi untuk memungkinkan perubahan suhu yang
akan diukur. kabel yang cukup panjang untuk mencapai luar tungku.
- Measuring apparatus
 Penurunan tegangan antara ujung-ujung kawat panas akan menjadi perhitungan
dengan akurasi 0,5 %. Sebagai alternative untuk pengukuran penurunan tegangan,
resistansi panas kawat dapat diukur, dengan akurasi yang sama; jika total kenaikan
suhu melebihi 15 °C, perlu dilakukan variasi resistansi dari kawat panas dengan
suhu .
 Arus melalui kawat panas harus diukur dengan toleransi 0,5%.
 Peralatan untuk mengukur suhu panas kawat harus memiliki sensitivitas 10
mV/cm, dengan toleransi1 %.
- Wadah untuk serbuk granular, jika Tes dilakukan pada materi tersebut, memiliki
dimensi internal yang sama dengan yang ditentukan potongan uji, sehingga bahwa
"test piece" terdiri dari dua atau tiga bagian. Bagian bawahwadah harus memiliki
empat sisi dan sebuah dasar, dan bagian atas atau tengah harus memiliki empat sisi
saja.
E. Test Pieces
- Jumlah item yang akan diuji harus ditentukan sesuai dengan ISO 5022 atau
pengambilan sampel standar lain.
- Setiap potongan uji harus terdiri dari dua atau tiga bagian identik tidak kurang dari
ukuran 200 mm x 100 mm x50 mm.
- Setiap permukaan bagian dari potongan uji harus kontak dengan bagian lain, jika
perlu, digiling sehingga penyimpangan dari kerataan antara dua titik tidak kurang dari
100 mm selain tidak lebih dari 0,2 mm.
- Dalam bahan padat, ketika sebuah uji dua-bagian yang digunakan, dua alur lurusuntuk
melintang diukur danV-groove untuk termokopel referensi harus mesin di atas
(kontak) wajah bagian bawah . Ketika potongan ujitiga bagian yang digunakan, alur
untuk melintang harus dimachining di atas bagian bawah dan V-groove untuk
referensi termokopel dalam menghadapi atas bagian tengah. Dalam kedua kasus tidak
mendalam maupun lebar alur melebihi 1 mm.
F. Prosedur
- Menyusun potongan uji. Dalam kasus dibagi menjadi dua bagian, letakkan measuring
crosspiece dan reference thermocouple antara bagian yaitu di bidang kawat panas.
Dalam kasus potongan uji threesection, menempatkan batang yang melintang, dengan
kawat panas, antara tengah dan bagian bawah dan termokopel referensi antara bagian
atas dan bagian tengah
- Dengan potongan uji dari refractory padat, crosspiece dan reference thermocouple
akan disemen dalam alur yang dipotong, menggunakan semen terbuat dari finely
ground dari bahan uji, dicampur dengan sejumlah kecil binder yang cocok (misalnya
2 % dexstrin dan air).
- Jika tes sedang dilakukan pada bahan bubuk atau butiran, Penuhi bagian bawah
sampai dan bagian teratas adalah material tes, dan tempatkan di atasnya kawat panas
dan crosspiece jika sepotong uji dua-bagian yang digunakan. Tempatkan wadah
terbuka di atas pertama dan mengisinya dengan material tes; jika dua-bagian potongan
uji yang digunakan, ini melengkapi material tes. Jika tiga bagian potongan uji yang
digunakan, letakkan beberapa referensi di posisi atas bagian tengah dan tempat dan
memenuhi bagian atas dengan cara yang sama. Menentukan bulk density jelas dari
bahan uji dalam menuangkan.
- Tempatkan potongan uji di furnace, ditumpuk masing-masing bagian (untuk
memastikan pemanasan seragam, dari bahan yang sama, memiliki dimensi 125 mm x
10 mm x 20 mm, bertumpu pada 125 mm x 10 mm , dan ditempatkan sejajar dengan
100 mm (atau 114 mm) menghadap dari potongan uji dan sekitar 20 mm dari hadapan
lainnya.
- Menghubungkan measuring circuits masing-masing bagian tes untuk measuring
apparatus .
- Dengan rangkaian hot-wire terbuka, menaikkan suhu furnace untuk suhu uji (terendah
dari suhu uji jika tes sedang dilakukan lebih dari satu suhu) tidak lebih dari 10 ° C /
menit.
- Dengan power supply terhubung ke setara perlawanan boneka nilai dengan yang ada
pada kawat panas, mengatur input daya ke nilai yang (dari tes awal) dikenal untuk
menghasilkan dalam kawat panas peningkatan suhu tidak lebih dari 100 'C dalam 15
menit.
- Ketika furnace mencapai suhu tes, memverifikasi bahwa suhu di wilayah yang
diduduki oleh test piecesis seragam dan konstan. Variasi antara suhu yang
ditunjukkan oleh termokopel dihubungkan kembali ke belakang (termokopel dilas ke
kawat panas dan termokopel referensi) tidak akan lebih dari 0,05 ° C selama waktu
pengukuran.
- Ketika kondisi stabil, menutup rangkaian kawat pemanas dan s saat itu mengukur
waktu yang berlalu dan membuat catatan terus menerus dari suhu panas-kawat.
- Setelah waktu pengukuran, biasanya 10 sampai 15 menit, matikan arus sirkuit
pemanasan dan membiarkan panas kawat dan potongan uji untuk memiliki suhu
setimbang.
- Verifikasi keseragaman dan konsistensi dari suhu sesuai dengan langkah sebelumnya.
Ulangi prosedur dan untuk memperoleh pengukuran lebih lanjut dari laju kenaikan
suhu dari kawat panas di bawah kondisi yang sama.
- Ulangi prosedur yang diuraikan dalam sebelumnya, sehingga untuk memperoleh
pengukuran Sepertiga dari laju kenaikan suhu dari kawat panas di bawah kondisi yang
sama.
G. Standar Uji Thermal Conductivity untuk Refraktori
ASTM
C182 - 88(2013) Standard Test Method for Thermal Conductivity of Insulating Firebrick
C201 - 93(2013) Standard Test Method for Thermal Conductivity of Refractories
C202 - 93(2013) Standard Test Method for Thermal Conductivity of RefractoryBrick
C417 - 05(2015) Standard Test Method forThermal Conductivityof Unfired Monolithic
Refractories
C767 - 93(2013) Standard Test Method for Thermal Conductivity of CarbonRefractories
C1113 / C1113M Standard Test Method for Thermal Conductivity of Refractories by Hot
- 09(2013) Wire (Platinum ResistanceThermometerTechnique)
C1171 - 15 Standard Test Method for Quantitatively Measuringthe Effect of Thermal
Shock and Therma lCycling on Refractories
H. Fungsi Pengujian
Untuk meneliti kenaikan local heating di tengah spesimen, dan peningkatan suhu
sebagai fungsi waktu dicatat.
I. Perhitungan
Nilai Thermal conductivity(k) dapat dihitung menggunakan input daya listrik yang
diketahui pada kawat panas per satuan panjang (Pi), waktu berlalu(t1,t2) dan perubahan
temperatur pada t1dan t2 (∆θ1, ∆θ2) seperti persamaan dibawah :

J. Metode pengujian lain : Laser flash method


- Standar Pengujian : ASTM E1461
- Prosedur Pengujian : Satu sisi dari spesimin yang tipis dikenakan pulse dari laser
dengan high-intensity. Dengan waktu yang singkat energi radiasi terserap kedalam
spesimen dan menghasilkan temperatur yang meningkat pada bagian sisi spesimen
yang lain.
- Fungsi Pengujian : Untuk mendapatkan kurva temperatur sebagai fungsi waktu dan
digunakan untuk menghitung thermal diffusivity (α).
- Perhitungan : Nilai Thermal conductivity(k) dapat dihitung menggunakan kapasitas
panas (Cp) dan densitas (ρ) seperti persamaan dibawah :

2. Electrical Conductivity
A. Definisi
Konduktivitas Listrik didefinisikan sebagai kemampuan material untuk
menghantarkan listrik. Material refraktori yang baik harus memiliki konduktivitas listrik
yang rendah. Hal ini dikarenakan menghindari terjadinya pertemuan arus listrik antara
material yang akan dilelehkan dengan refraktori yang dapat menyebabkan hubungan arus
jangka pendek.
B. Metode Pengujian
Untuk metode pengujian electric conductivity testing masih jarang dilakukan
sehingga kami mencari referensi dari jurnal dengan judul The effect of nano-size additives
on the electrical conductivity of matrix suspension and properties of self-flowing low-
cement high alumina refractory castables.
C. Apparatus

D. Test pieces
Untuk potongan uji digunakan low-cement high alumina refractory dengan
karaketeristik seperti dibawah

E. Prosedur
- Konduktivitas listrik dari suspensi matriks adalah diukur dengan sel conductimetric
yang terdiri dari dobel gelas berdinding terhubung ke sirkuit air untuk
mempertahankan suhu konstan (20-24 °C)
- Setelah memasukkan probe konduktivitas bersama dengan perangkat pengadukan,
- 80 g air suling adalahditambahkan ke gelas kimia dan larutan diaduk terus menerus
sampai suhu konstan tercapai.
- Kemudian, 16 g bubuk matriks ditempatkan ke dalam sel dan pengukuran dimulai.
Elektris konduktivitas diukur dalam mili-siemens / cm di 5-min interval
F. Standar Uji Thermal Conductivity untuk Refraktori
- ASTM D257
- ASTM D4496 - 04
G. Fungsi Pengujian
Fungsi pengujian ini dalam jurnal berfungsi mengetahui pengaruh kandungan additive
pada refraktori terhadap electric conductivity.

Referensi :
- Sasan Otroj a, *, Arezoo Sagaeian b , Arash Daghighi a , Z. Ali Nemati, The effect of
nano-size additives on the electrical conductivity of matrix suspension and properties
of self-flowing low-cement high alumina refractory castables, Ceramics International
36 (2010).
- IS 1528-21 (2007): Methods of sampling and physical tests for refractory materials,
Part 21: Determination of thermal conductivity according to hot-wire method (cross-
array) [MTD 15: Refractories
REFRACTORINESS

Walman Saurdo Silalahi (1306368343)


Rinanda Rahmat (1306368406)
Nida Fauziah (1306370354)
Sergio (1306387866)
M Tito Setiawan (1306389045)
Kelompok 3

Departemen Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas Teknik

Universitas Indonesia
Refractoriness

1. Definisi
Refractoriness menurut Zirkon Brick_Zhengzhou Sunrise Refractory mengacu pada
sifat refraktori yang multiphasa untuk mencapai ke tingkat pelunakan tertentu pada
suhu tinggi tanpa adanya beban pembebanan, yang akan menunjukkan kemampuan
tahan terhadap suhu tinggi. Sifat ini merupakan skala dasar untuk mengukur
kemampuan ketahanan terhadap suhu tinggi dan juga untuk menunjukkan sifat pada
suhu tinggi. Refractoriness merupakan sebuah acuan penting untuk menilai apakah
produk refraktori ini cocok apabila digunakan di furnace tertentu.
Komposisi kimia dan mineral serta distribusi dan kombinasi setiap fase memiliki
pengaruh yang menentukan sifat refractoriness. Semua jenis impurity dapat
mengurangi sifat refractoriness, sehingga perlu diperhatikan kandungan impurity
untuk meningkatkan kemurnian material refraktori

2. Pentingnya Refraktori

Refraktoriness dari suatu material dapat mengindikasikan kehadiran pengotor


didalamnya. Dengan membandingkan nilai refraktoriness di suatu percobaan dengan
nilai refraktoriness pada literatur, kita dapat memprediksikan presentase error pada
percobaan tersebut. Presentase error yang terbilang tinggi dapat mengindikasikan
bahwa di dala sampel tersebut terdapat pengotor.
Namun pada kenyataannya, suhu tinggi bukanlah satu-satunya parameter dalam
menentukan kualitas suatu material refraktori. Ada beberapa parameter lainnya yang
harus dipertimbangkan seperti halnya lingkungan yang korosif. Maka oleh itu, dapat
disimpulkan bahwa nilai refraktoriness dari suatu material dapat dijadikan suatu
referensi, namun tidak dapat dijadikan referensi tunggal dalam menentukan kualitas
suatu material refraktori.
Dengan mengetahui sifat refraktoriness dari suatu material, kita dapat memilih untuk
aplikasi tertentu dengan tepat dan sesuai kebutuhan. Seperti gambar dibawah ini.

Pengaplikasiannya sesuai dengan PCE, contohnya pada fireclay diaplikasian sebagai


material refraktori untuk reheating furnace, dan untuk magnesite biasanya digunakan
pada blast furnace dikarenakan temperatur dan gaya beban yang diberikan sangat
tinggi sehingga diperlukan sifat refraktoriness yang tingg juga

3. Standar

Kebanyakan refraktori merupakan campuran beberapa metal oksida, yang memiliki


melting point yang tinggi. Pengujian refraktori biasa dilakukan dengan menggunakan
Pyrometric Cone Elquipment. Pyrometric Cone Elquipment merepresentasikan
pelunakan refraktori terhadap temperature dari dimensi standar sebuah refraktori (38
mm dan 19 mm triangular base).
Metode Pyrometric Cone Elquipment:
 Metode ini digunakan pada industry keramik untuk menguji refractoriness dari
refractory brick
 Material yang diuji berbentuk cone/kerucut yang merupakan campuran oksida
yang meleleh pada temperature tertentu.
 Tinggi cone 38 mm
 Cone dipanaskan pada kondisi standar yaitu dengan laju 10oC/min

Pyrometric Cone Elquipment dapat menetukan hal-hal berikut:

 Temperature dimana refractory brick atau cone mengalami peluruhan


sehingga ujung cone menyentuh dasar (unit dari PCE)
 Refraktori tidak dapat digunakan di atas temperature tersebut

4. Pengujian

Pengukuran atau pengujian dihitung dengan membandingkan softening temperature


dari sebuah tabung uji dengan seri pyrometric cone yang membentuk pyramida.
Tabung uji disiapkan, kemudian dihitung softening temperature untuk dihitung
sebagai dimensi yang sama dari pyrometric cones. Tabung uji kemudian diletakkan di
elektrik furnace. Dapur kemudian dipanaskan pada standart rate 10oC/menit dimana
terjadi pelunakan cone. Temperature dimana puncak kerucut menyentuh dasar
tabung/lingkaran uji adalah suhu pelunakan.
Cone
Orthon pyrometric Cone di kembnagkan pertama kali pada akhir tahun 1800.
Kemampuan cone bertahan merupakan variabel dari waktu dan temperatur kerja pada
keramik tersebut.
Pemilihan cone yang tepat
Misalnya: Kita melakukan pemanasan (firing) hingga 1.147oC dan laju pemanasan
75oC/jam. Pilih refraktori yang memiliki heating rate terdekat dari yang kita
butuhkan, misalnya Cone 1 (60oC/jam) lalu aplikasikan pada 1.147oC, cone 2 yang
memiliki temperatur ekuivalen lebih besar dan cone 3 memiliki temperatur ekuivalen
lebih kecil, maka pilih cone 3. Jika profile yang diminta sudah termasuk dalam
termperatur maksimum yang di inginkan, maka pilih cone dengan cone number yang
lebih tinggi, satu-dua cone number untuk soak temperature satu jam, dua-tiga cone
number untuk dua jam.
Setelah menentukan cone number yang dibutuhkan untuk kiln’s firing, kita harus
memilih satu cone number yang lebih besar dan satu yang lebih kecil dari target cone
number. Bakar (fire) 3 cone tersebut dalam kiln untuk menentukan firing profile yang
tepat. Jika posisi akhir cone setelah dibakar antar 25 atau 75 derajat, kita harus
memilih cone yang sesuai untuk kiln’s profile.
PCE 428
Karena keberagaman komposisi dan struktur, sehingga refraktori keramik memilki
melting point yang beragam. Refraktoriness ditandai dengan optical determination
dari PCE, yaitu suhu dimana ujung kerucut menyentuh dasar. PCE428 mempunyai
mechanical lever, dimana posisi plat dasar untuk sampel dan cones di hood PCE.
Temperatur maksimum 1700oC (SK 31, ISO 170) sesuai dengan DIN EC 993-12.
Furnace dilengkapi dengan pengontrol suhu tunggal.
Key Technical Data

 Temperature range : RT to 1700oC


 Heating element : 4 Kanthal-Super 1800
 Heating and cooling rates : 0.01 K/min to 5 K/min
 Cone Support : Al2O3 Plate
 Temperature measurement : furnace-thermocouple
 Cone size : Small pyrometric cone (laboratory
cone)
 Atmosphere : air, static

Referensi :
Dr. V. S Gayathri & Dr. K. Yamuna. ‘Refractoriness’. 2008
http://www.industry.guru/pyrometricconeequivalentpcetestinortonorsegartodeterminer
efractorinessofarefractorymaterial.html diakses pada Rabu 14 September 2016
https://www.netzschthermalanalysis.com/en/productssolutions/refractorytesting/pce42
8/ diakses pada Rabu 14 September 2016
https://www.ortonceramic.com/en/Pyrometric%20Cones/ diakses pada Rabu 14
September 2016
Source: anna.allsyllabus.com
REFRACTORINESS UNDER LOAD

PRADITYO NUR O. (1306392600)


KRISIPHALA (1306392563)
AHMAD FADLI (1306392475)
AHADYA P. (1306389045)
MUSTAFA M. (1306392512)
KELOMPOK 4

Departemen Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas Teknik

Universitas Indonesia
1. PENGERTIAN REFRACTORINESS UNDER LOAD
Range temperatur di mana terjadi pelunakan pada material refraktori tidak dapat disamakan
dengan range temperatur di mana bahan baku dari material refraktori tersebut meleleh atau
fracture. Maka itu, diperlukan perhitungan untuk aplikasi dari material refraktori tersebut.
Perhitungan tersebut dinamakan Refractoriness Under Load (RUL). Refractoriness Under
Load merupakan kemampuan tahan suatu material refraktori terhadap peningkatan
temperatur dan dengan adanya deformasi. Deformasi yang diaplikasikan merupakan beban
konstan.
Peningkatan temperatur menyebabkan adanya distorsi pada suatu material yang dipanaskan.
Distorsi merupakan mobilitas dari partikel padat dengan adanya partikel cair, di mana massa
secara keseluruhan tidak dapat menahan tekanan karena beban berat sendiri. Tinggi dari
material tersebut akan berkurang dan lebar dari material tersebut bertambah sampai bentuk
akhir tercapai di mana massa secara keseluruhan dalam keadaan setimbang.
Refractoriness Under Load sangat penting untuk memeriksa kesesuaian material refraktori
yang akan diaplikasikan pada temperatur tinggi. Hal ini dapat memberikan indikasi
temperatur di mana material refraktori akan hancur sehingga indikasi ini dapat digunakan
pada pemanasan material refraktori yang sama dengan aplikasi beban yang sama pula.
Perhitungan yang umum digunakan adalah sebagai berikut:
RUL = T x 0.6
di mana, RUL = Refractoriness Under Load
T = Temperatur fracture

2. Sifat Refractory Under Load


Refractoriness under load merupakan sifat yang sangat penting terhadap sebuah material
yang tergolong refraktori. Material refraktori harus memiliki kriteria bahwa material tersebut
dapat tahan pada temperatur tinggi tanpa ada nya perubahan fasa. Akan tetapi ketika material
tersebut mengalami beban yang
berkala pada temperatur yang tinggi, material tersebut akan mengalami softening
(pelunakan). Sehingga walaupun material tersebut mempunyai sifat ketahananpanas yang
tinggi, material tersebut akan mengalami perubahan sifat mekanik ketika diberi beban yang
konstan pada temperatur yang tinggi.
Hal ini menjadi faktor yang sangat krusial pada pemilihan material yang akan digunakan
pada lingkungan yang bertemperatur tinggi dan akan mengalami beban yang konstan. Seperti
contoh pada material fireclay yang mempunyai titik lebur pada 1775oC dan kemamputahan
panas hingga 1515oC, akan tetapi ketika material tersebut mengalam pembebabnan pada
0.2MPa secara berkala maka pada temperatur 1300oC material tersebut akan mengalami
pelunakan dan sudah tidak efektif untuk digunakan pada temperatur lebih dari 1300oC
walaupun sifat refraktori dari material fireclay mampu hingga temperatur 1515oC.
Kesimpulanya ketika memilih material yang akan digunakan pada temperatur yang tinggi
harus dipertimbangkan sifat refractoriness under load untuk mengantisipasi kegagalan
material ketika diberi pembebanan.

3. Standard Pengujian
Standar pengujian refractoriness under load (RUL) menggunakan standar ISO 1893:2007.
Pada prinsipnya, proses pengujian dilakukan dengan memperlakukan beban kompresif yang
konstan pada benda uji. Pengujian dilakukan seiring dengan meningkatkan temperatur pada
laju tertentu. Peningkatan temperature dilakukan terus menerus hingga terjadi deformasi pada
benda uji.
Komponen utama pada pengujian RUL adalah furnace, loading device (pemberi beban) dan
alat pengukur. Seperti yang terlihat pada gambar 1, test piece diberi beban kompresif dari atas
ke bawah menggunakan loading device. Pada saat pembebanan, temperatur ditingkatkan pada
laju tertentu menggunakan furnace. Deformasi yang terjadi pada benda tersebut diukur
menggunakan computer device atau alat pengukur lainnya.
Berdasarkan ISO 1893:2007, standar ukuran benda uji adalah silinder dengan diameter
minimal 12 mm dan maksimal 13 mm. Sedangkan untuk pemberi beban (loading device),
minimal berukuran 45 mm.

4. Prosedur Pengujian
Refractoriness Under Load (RUL) adalah kemampuan refraktori untuk tidak memuai dan
retak saat dimasukkan muatan dan menentukan maksimal temperatur pemakaian refraktori
dibawah kondisi beban tekan serta penting untuk mengetahui kondisi tekanan /beban tinggi
Pengujian pada RUL ini menggunakan Creep Test. Creep merupakan suatu mekanisme
deformasi material dalam bentuk peregangan/ pemuluran yang disebabkan oleh tegangan
yang statis (konstan) walaupun masih dibawah yield stress dan terjadi pada temperatur tinggi
(minimal 40 % dari temperatur melting/ 0,4 Tm). Karena adanya RUL maka proses Creep
timbul
Refraktori udnerload berdasarkan iso 1893 adalah suatu pengukuran perilaku deformasi dari
produk refraktori keramik yang diberikan beban secara
konstan dan penambahan temperatur. Rentang suhu dimana pelunakan terjadi tidak sama
dengan rentang suhu pelelehan dari bahan baku murni.Untuk itu harus ditentukan dengan
mengandalkan RUL 421 untuk mengecek penggunaan dari produk refraktori pada aplikasi
suhu tinggi
RUL 421 cocok untuk pemakain beban termal jangka panjang dan mekanik. sample tes yang
digunakan berdimensi 50 mm dan tinggi 50mm . Untuk pengukuran sistem diferensial
dengan presisi tinggi sistem pengukuran untuk penentuan deformasi, tes sepotong silinder
memiliki bore co-aksial 12,5 mm.Pemilihan dan penerapan beban pada potongan uji yang
direproduksi dan independen dari deformasi melalui penggunaan kap-jenis tungku dengan
counterweight
Dengan mengurangi beban pada potongan uji sampai nilai yang dapat diabaikan
(dibandingkan dengan permukaan benda uji), pengukuran dilatometer yang tepat pada sampel
besar dan bahkan homogen dapat dilakukan di RUL 421 pada suhu sampai 1700 ° C.
Temperature range: RT to 1700°C
Heating elements: 4 Kanthal-Super 1800
Heating- and cooling rates: 0,01 K/min to 5 K/min
Sample holder: Al2O3
Load: 1 N to 1000 N (in steps from 1 N to 100 N)
Measuring range: 20000 μm
Δl resolution: 5 nm
Sample diameter: 50 mm
Sample length: 50 mm
Atmospheres: air, static (protective gas inlet optionally available)
Vacuumtight version up to 10-2 mbar (special construction RUL/CIC 421 G)
5. Referensi

http://www.restar.eu/home/testing-standards-for-refractories/refractoriness-under-load/
Fayed, Sayel M. Al-Marahleh, Ghazi S. Abu-Ein, Suleiman Q. 2012. Improvement of The
Refractoriness Under Load of Fire-Clay Refractory Bricks. Amman : Adv. Theor. Appl.
Mech.
http://ispatguru.com/introduction-to-the-characteristics-of-refractories-and-
refractory-materials/
STANDAR PENGUJIAN COLD STRENGTH

ADRY ARISGRAHA 1306392600


ADITYA WISNU P 1306402734
ARRAZY AKMAL SANI 1306392626
DANNY SETYAWAN 1306392582
NAUFAL RAKHA P 1306392651
Kelompok 5

Departemen Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas Teknik

Universitas Indonesia
Cold Strength

A. Definisi dan Gambaran Umum


Cold strength merepresentasikan kemampuan sebuah benda untuk menghambat
terjadinya kegagalan pada saat benda mengalami beban kompresif (compressive load) dari
suatu refractory brick dalam temperatur ruang. Cold Strength juga memiliki dampak yang
besar terhadap refractory insulating bricks, dimana batu-bata memiliki poros dan bulk density
yang harus dipertimbangkan agar memiliki brick refraktori yang kuat, sehingga akan lebih
tahan terhadap adanya gaya impak yang berasal dari rods atau saat terjadinya proses
pelepasan slag. Cold strength ini juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap abrasi.
Namun, apabila nilai Cold Strength terlalu tinggi maka akan meningkatkan kerapuhan dari
brick tersebut, yang akan mengakibatkan premature spalling dalam kondisi operasi yang
berat.

B. Pentingnya Sifat
Sifat dari cold strength ini sangatlah penting dalam refractory, hal ini dikarenakan
suatu refractory harus memiliki kekuatan yang tinggi baik itu dalam hal kekuatan, ketahanan
terhadap abrasi dan lain sebagainya. Jadi tidak hanya tahan terhadap temperatur yang tinggi
saja. Keuntungan yang didapatkan dengan sifat ini adalah jika misalnya saat pemrosesan
terdapat gaya impak dari suatu rod yang mengenai refraktori atau juga terdapat tumbukan
yang terjadi karena pelepasan dari slag, agar tidak menambah biaya perbaikan, akan lebih
baik dari awal pembuatan refraktori dipilih bahan yang memiliki nilai cold strength yang
tinggi. Kekuatan dari cold strength ini merupakan kombinasi pengukuran antara kekuatan
dari butir dan juga ikatan yang terjadi. Selain itu, dalam cold strength, variasi dari nilai yang
dapat dicapai merupakan hasil dari komposisi kimia benda tersebut.misalnya pada refraktori
Alumina, dengan meningkatnya komposisi alumina, maka nilai cold strength akan
meningkat. Dan dengan tidak adanya impurity oksida dan adanya penambahan Cr2O3, nilai
cold strength akan meningkat dua kali lipat.

C. Standar yang Digunakan


Pengukuran terhadap cold strength, disesuaikan dengan EN 993-5, adalah dengan
menambahkan beban kompresif pada sampel refraktori melalui sebuah mesin sampai sampel
tersebut gagal. Selain itu, dapat juga diukur dengan mengikuti metode standar yang
digunakan untuk melakukan pengujian dari nilai cold strength ini adalah Indian Standards
(IS). Terdapat 2 buah standar yang digunakan sebagai acuannya, yaitu :
- IS 1528 (part7):2009 = Methods of sampling and physical tests for refractory
materials : Part 7 Methods of sampling and criteria for conformity
- IS 4041:2006 = Glossary of terms relating to refractory material

D. Prosedur Pengujian Standar


D.1 Peralatan :
- Mesin pengujian kompresi mekanis atau hidrolik
- Vernier Caliper
- Set Square
- Drying Oven

D.2 Sampel Uji :


- Ukuran dari sampel harus sesuai dengan kondisi berikut :
+ Kubus
+ Silinder; 50 ± 2 mm untuk tingginya dan 50 ± 2 mm untuk diameter
+ Brick standar [misalnya 230x114x76 (mm) atau 230x114x64 (mm)]
- Sampelnya harus dipotong atau di drill. Jika terdapat crack atau cacat yang terllihat
harus disingkirkan
- Baik itu ujung dari spesimen yang diuji berbentuk slinder, harus dibuat menjadi
bidang dan paralel, lalu di grinding permukaannya sesuai kebutuhan.
- Keparalelan dari spesimen harus dicek dengan melakukan 4 kali pengukuran tinggi.
- Ketegaklurusan harus dicek dengan meletakan spesimen ke permukaan bidang dengan
menggunakan set square, letakan itu terhadap sisi dari spesimennya
- Selanjutnya sampel yang sudah disiapkan secara hati-hati tersebut dikeringkan dengan
menggunakan drying oven pada suhu 110±5°C. Selanjtunya didinginkan pada
temperatur kamar dan hindarkan dari moisture sampai dimulainya pengujian.

D.3 Pengujian
 Melakukan pengukuran pada slinder
- Pengukuran dilakukan terhadap 2 buah diameter tegak lurus untuk setiap permukaan
dengan ukuran 0,1 mm. Lalu hitung nilai luas penampang melintang awal Ao.
 Pengukuran Kubus
- Melakukan 2 pengukuran terhadap setiap sisi dengan besar 0,1 mm. Lalu selanjutnya
menghitung luas permukaan awal Ao.
- Lalu meletakan spesimen pada bagian tengah yaitu antara bagian platens (roll) mesin
dengan atau tanpa papan fiber selulosa dengan ketebalan antara 3 mm dan 7 mm
- Pilih rentang pembebanan sehingga pembebanan yang diharapkan untuk terjadinya
failure lebih besar dari 10% dari rentang pembebanan
- Lakukan pembebanan tersebut secara perhalan dan berkelanjutan, meningkatkan
kecepatan tekanan sebesar 1,0±0,1 N/mm. Sampai sampel mengalami kegagalan. Lalu
catat pembebanan maksimum yang diperoleh.

D.4. Perhitungan
Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus :

Gambar Compression Testing Machine


Referensi :
1) http://ispatguru.com/introduction-to-the-characteristics-of-refractories-and-refractory-
materials/
2) http://www.restar.eu/home/testing-standards-for-refractories/cold-crushing-strength/
3) https://law.resource.org/pub/in/bis/S10/is.1528.4.2012.pdf
http://www.banksengineering.com/Refrac%20Properties%20-%20definitions.pdf
Assessment of Thermal Shock Resistance of Refractory Materials

Lalita Padma Puspita (1306405143)

Aryya S. Mahardika (1306405162)

Rifa Satria (1306405175)

Dimas Pratamawansyah Putra (1306405181)

Mohammad Kemal (1306405194)

Kelompok 6

Departemen Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas Teknik

Universitas Indonesia
Assessment of Thermal Shock Resistance of Refractory Materials
DEFINISI
Ketahanan terhadap thermal shock pada suatu material merupakan salah satu parameter
penting dalam karakterisasi refraktori karena akan menentukan performance pada banyak
aplikasi. Baik refractory grains dan bonding sistem akan membesar ketika dipanaskan dan
menyusut apabila didinginkan. Ketahanan terhadap thermal shock tergantung pada ikatan
matrix grain. Ada dua metode standar untuk menentukan ketahanan thermal shock pada
refraktori. Untuk jenis brick, ketahanan thermal shock diuji dengan “Ribbon Thermal Shock
Testing” (ASTM C-1100) dan untuk refraktori jenis monolitik metode standarnya yaitu
ASTM C-1171.
STANDAR PENGUJIAN
Standar Pengujian Termal Shock:

1. ASTM C149
Standard Test Method for Thermal Shock Resistance of Glass Containers
2. ASTM C600
Standard Test Method of Thermal Shock Test on Glass Pipe
3. ASTM C385
Standard Test Method for Thermal Shock Resistance of Porcelain-Enameled Utensils
4. ASTM C1171
Standard Test Method for Quantitatively Measuring the Effect of Thermal Shock and
Thermal Cycling on Refractories
5. ASTM C1525
Standard Test Method for Determination of Thermal Shock Resistance for Advanced
Ceramics by Water Quenching
6. ASTM C484
Standard Test Method for Thermal Shock Resistance of Glazed Ceramic Tile
7. ASTM D7051
Standard Test Method for Cyclic Thermal Shock of SBS-Modified Bituminous
Roofing Sheets with Factory-Applied Metal Surface

SAMPEL
Untuk menguji ketahanan thermal shock, ada beberapa standard yang biasa digunakan.
Dalam tulisan ini, preparasi sampel yang digunakan akan mengacu kepada standar ASTM
C1171. Hal yang diperhatikan untuk jumlah sampel adalah minimal terdiri dari 2 bentuk yang
berbeda dengan jumlah total minimal 10 buah (5 buah bentuk ‘a’ dan 5 buah bentuk ‘b’).
Kemudian, sampel yang telah dibuat, harus dilakukan pemanasan awal sampai temperatur
minimal sama dengan temperatur pengujian.
Untuk ukuran dari sampel ini 25 mm x 25 mm x 152 mm. Apabila sampel harus dipotong,
maka sampel tersebut harus memiliki satu permukaan yang sama seperti kondisi standar dan
merupakan permukaan terluas (dimensi terbesar). Namun jika sampel berbentuk tidak
simetris atau irregular, maka 4 arah yang terpanjang bisa dipotong hingga membentuk suatu
permukaan. Apabila ada perbedaan dari ukuran 25 mm x 25 mm x 152 mm, maka harus
dibuat catatan dalam laporannya.
Permukaan sampel yang berseberangan harus disusun secara paralel, sementara permukaan
yang bersebelahan harus disusun secara tegak lurus. Untuk kualitas permukaan sampel, harus
diperhatikan bahwa sampel tidak memiliki crack ataupun cacat lain yang dapat dilihat oleh
mata telanjanng.
Kemudian sampel perlu dihilangkan kandungan airnya dengan cara pemanasan hingga 105 oC
atau 110oC. Pemanasan ini berhenti hingga berat sampel tidak mengalami perubahan, yang
artinya sudah tidak ada lagi air yang terjebak. Untuk sampel yang memiliki kandungan
carbon harus dibungkus dalam foil selama proses cycling penurunan/penaikan suhu.
PROSEDUR PENGUJIAN
Prosedur pengujian untuk mengetahui ketahanan material refraktori terhadap thermal shock
adalah sebagai berikut:

 Bahan kuliah pak bamsu: (DIN 51068-1)

Sampel dipanaskan kurang lebih 950 C selama 15 menit → keluarkan kemudian dinginkan
dalam air mengalir selama 3 menit → panaskan hingga 110 C (30 menit) kemudian lanjutkan
hingga 950 C (15 menit).
*prosedur diatas merupakan satu siklus, siklus tetap berlanjut, berhenti ketika pecah menjadi
dua bagian. Pengujian dihentikan jika sampel bertahan hingga 30 siklus.

 DIN EN 933-11 (air quenching method).

Sampel dipanaskan hingga temperature 950 C → quench pada media udara yang bertekanan.

 ASTM C 1100 (ribbon test)


Sampel berupa plat dipanaskan pada satu sisi nya → quench pada media udara setelah
sumber panas dimatikan.
FUNGSI PENGUJIAN
Fungsi dari Pengujian Thermal Shock Resistance berdasarkan ASTM C1171 “Standard
Test Method for Quantitatively Measuring the Effect of Thermal Shock and Thermal
Cycling on Refractories adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Pengujian ini dapat digunakan untuk mengindikasi kemampuan dari sebuah material
refraktori untuk tahan terhadap tekanan yang disebabkan oleh perubahan temperature
secara tiba-tiba.
2. Pengujian ini juga dapat digunakan untuk riset dan penelitian untuk membandingkan
antar produk refraktori dari segi ketahanan Thermal Shock Resistance.
3. Pengujian ini dapat mengetahui modulus rupture (MOR) dan Sonic Velocity dari
material refraktori.
4. Pengujian ini dapat dilakukan untuk menentukan hilangnya kekuatan dari refraktori
material akibat thermal cycling.

Berdasarkan pengujian dilakukan, hasil atau sifat yang dapat dinterpretasikan adalah sebagai
berikut

Angka-angka tersebut berasal dari perhitungan


PENGUJIAN KETAHANAN ABRASI UNTUK REFRAKTORI

Agis Rahma Faradila (1306405654)

Faisal Aldy (1306412842)

Raja Jovian Trisila (1306405686)

Raka Nuralif Verdiyanto (1306405641)

Rizki Hidayatullah (1306410811)

Siti Nadira Anindya Putri (1306415882)

Kelompok 7

Departemen Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas Teknik

Universitas Indonesia
Introduksi
Material refraktori terpapar pada kondisi lingkungan yang berbeda-beda pada
aplikasinya. Banyak dari lingkungan tersebut yang dapat menyerang dan menyebabkan
kerusakan pada material refraktori. Material refraktori dapat berada pada lingkungan dengan
fasa lelehan, seperti lelehan logam atau terak (slag), kedua jenis lelehan tersebut dapat
bersifat sangat korosif. Oleh karena itu, sangat diperlukan proses karakterisasi ketahanan
korosi dari material refraktori pada setiap lingkungan kerjan yang akan digunakan.

Peranan Slag Resistance Pada Refraktori


Chemical properties pada refraktori didefinisikan dengan kimia analisis butir refktori
dan ikatan yang terjadi antar butirnya dan juga kemampuan refraktori untuk tahan akan
aktivitas liquid ketika diekspos pada temperartur yang tinggi.
Sifat kimia refaktori paling utama dilihat dari komposisi kimia penyusunnya. Sistem
ikatan pada refraktori memiliki peranan yang paling penting. Sebuah refraktori harus
memiliki sifat ketahanan terhadap slag yang baik karena hal ini sangat penting terutama
berkaitan dengan umur pakai refraktori. Refraktori harus memiliki sifat inert sehingga
menimimalisir terjadinya reaksi antara refraktori dengan molten ataupun slag. Ketika
refraktori diekspos pada corrosive liquid pada temperatur tinggi, kemungkinan terjadinya
corrosion atau erosion tergantung pada butir refraktori dan sistem ikatan refraktori. Korosi
refraktori disebabkan oleh mekanisme pelarutan pada saat bersentuhan dengan liquid. Hal ini
juga terjadi selama penetrasi uap atau liquid dalam poros. Dalam beberapa kasus, korosi
dihasilkan dengan kombinasi dari beberapa faktor. Adanya perbedaan konsentrasi dalam
komposisi refraktori pada daerah boundary ketika refraktori bersentuhan dengan slag. Dan
korosi pada refraktori akibat bersentuhan dengan slag menyebabkan umur pakai refraktori
tidak tahan lama.
Ketahanan slag pada refraktori sangat dibutuhkan karena selain slag dapat
menyebabkan korosi, slag juga akan menyebabkan terjadinya slagging. Slagging merupakan
penyebab utama dari kerusakan refraktori. Bilamana slag yang terbentuk pada refraktori tetap
pada tempatnya, maka slag tidak akan menyebabkan kerusakan pada bahan refraktori. Tetapi
kenyataannya slag tersebut tidak tetap pada tempatnya melainkan terlepas dan keluar
membawa beberapa bagian dari bahan refraktori dan memperlihatkan suatu bagian
permukaan yang baru untuk serangan slag lebih lanjut. Hal ini disebabkan slag masuk ke
dalam pori-pori refraktori sehingga slag akan berikatan dengan komponen penyusun kimia
refraktori dan mulai merusaknya. Bila slagging dan spalling telah merusakkan bagian dari
refraktori, maka pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan membongkar bagian
refraktori yang rusak dan menggantinya dengan bahan refraktori yang baru. Ketahanan
terhadap slag juga sangat erat kaitannya dengan sifat porositas pada refraktori. Dibutuhkan
nilai porositas yang tepat agar seimbang antara nilai konduktivitas panas refraktori dengan
ketahanan terhadap slag. Untuk poros yang kecil ketahanan refraktorinya tinggi akan tetapi
nilai konduktivitas panasnya rendah.

Gambar 1. Tahapan Awal terhadap Serangan Slag.


Penggunaan refraktori harus disesuaikan dengan suasana lingkungan kerja termasuk
slag yang dihasilkan apakah slag tersebut bersifat asam atau basa dan kemudian barulah kita
memilih refraktori yang cocok digunakan agar ketahanan terhadap slag meningkat dan umur
pakai slag lama sehingga cost yang dikeluarkan dalam pemeliharaan refraktori seminimal
mungkin.

Aplikasi Sifat Slag Resistance dari Refraktori pada Industri Besi dan Baja
Hampir 70% aplikasi dari refraktori digunakan pada industri besi dan baja. Refraktori
ini dibutuhkan karena dalam industri besi dan baja sangat diperlukan material yang mampu
menahan hingga temperatur leleh dari besi dan baja itu sendiri tanpa mengalami penurunan
kekuatan ataupun perubahan bentuk.
Selain itu juga material refraktori yang digunakan juga akan mengalami kontak dengan
lelehan besi dan memungkinkan terjadinya reaksi kimia antara slag dari baja dengan material
refraktori. Sehinggadalam aplikasinya, dibutuhkan sifat slag resistance pada material
refraktori yang digunakan agar tidak mengalami reaksi kimia yang membuat material
refraktori mengalami kerusakan.
Gambar. Terjadi korosi lokal pada permukaan refraktori yang kontak dengan slag
Korosi pada material refraktori ini dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu:

- Dissolusi atau difusi, dimana akibat proses kimia, material refraktori mengalami
pelarutan secara kontinu.
- Penetrasi, dimana slag berpenetrasi masuk kedalam material refraktori dan
mengakibatkan penurunan sifat mekanik.
- Erosi, akibat proses abrasi dari penambahan gas dan pergerakan slag.

Terdapat perbedaan jenis refraktori antara proses pembuatan besi dengan proses pembuatan
baja. Pada proses pembuatan besi, lelehan logam dan slag biasanya bersifat netral atau sedikit
asam, sedangkan pada proses pembuatan baja lelehan slag bersifat basa. Jenis refraktori yang
digunakan pada pembuatan besi biasanya terbuat dari alumina dan silika, sedangkan pada
proses pembuatan baja yang biasa digunakan terbuat dari megnesia.
Pada proses BOF (basic oxygen furnace), lelehan besi dari blast furnace yang dicampur
dengan scrap dilakukan pemurnian dari impurities seperti unsur C, S, P, dan Mn dengan cara
mengalirkan oksigen ke lelehan besi. Disini sifat refraktori haruslah tahan terhadap lelehan
slag yang bersifat basa pada temperatur tinggi sehingga lelehan slag tidak mengalami
penetrasi dan bereaksi. Sehingga diperlukan material refraktori yang bersifat basa seperti
MgO-C yang memiliki ketahanan terhadap slag dengan sifat basa.
Selain itu, refraktori dengan material MgO-C dengan kadar karbon sekitar 5 – 20 wt%
banyak digunakan pada industri pembuatan besi dan baja. Karbon disini berfungsi sebagai
pengisi porous-porous yang ada pada struktur MgO sehingga akan mencegah terjadinya
penetrasi slag kedalam material refraktori.
Untuk aplikasinya lainnya yang ada di dalam suatu plant industri besi dan baja seperti pada:

 Blast furnace stoves


 BOS vessels
 Steel ladles to torpedo ladles
 Electric arc furnaces

Aplikasi Slag Resistance pada Industri Peleburan Nikel

Berdasarkan kemampuan dapat mempertahankan kekuatan dan bentuk pada


temperatur tinggi, material refraktori umumnya digunakan sebagai dinding tanur listrik pada
peleburan nikel. Salah satu sifat penting material refraktori adalah slag resistance. Slag
resistance pada peleburan nikel merupakan salah satu faktor panas yang dihasilkan elektroda
untuk melebur kalsin dan menaikkan temperatur kalsin dan matte.

Tabel 1. Desain Basis Keluaran Tanur Listrik

PT Vale Indonesia merupakan perusahaan pengolahan mineral yang berfokus pada


produk Nikel Matte. Slag resistance pada mineral PT Vale Indonesia mengacu pada rasio
silika magnesia (S/M). Tabel 1 menunjukkan desain basis keluaran tanur listrik PT Vale
Indonesia dengan komposisi silika sebesar 40-46 % dan magnesia sebesar 20-23 % pada
electric furnace slag. Rasio S/M maksimum yang diperbolehkan yakni sebesar 2,2 sesuai
gambar 1. Semakin besar nilai S/M (semakin asam), maka slag resistance akan semakin
besar sehingga panas yang dihasilkan juga akan semakin besar. Keadaan demikian akan
merusak dinding tanur listrik yang terbuat dari magnesia yang bersifat basa. Jika nilai S/M
kecil, panas yang dihasilkan akan sedikit pula sehingga akan menghambat terbentuknya slag
dan proses pengeluarannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan nilai S/M yang optimum agar proses
peleburan berjalan dengan maksimal.
Gambar 1. Rasio S/M terhadap Slag Liquidus Temperature

Standard Pengujian Slag Resistance pada Refractories


Komite Refraktori, C8, dari American Society for Testing and Materials (ASTM) telah
menetapkan dua standard pengujian yang berhubungan dengan slag, yaitu Drip Slag Testing
(ASTM C-768) dan Rotary-Kiln Slag Testing (ASTM C-874). Kedua pengujian ini dilakukan
di lapangan, dengan keadaan yang sama dengan aplikasi. Hal ini dilakukan karena hasil
pengujian slag resistance di laboratorium dinilai tidak dapat menstimulasi keadaan operasi:
ukuran dan geometri sampel yang berbeda, besarnya beban berbeda, gradien termal dan
siklus termal berbeda, serta waktu yang berbeda.

Drip Slag Testing (C-768)


Pengujian standard Drip Slag Testing memperlihatkan ketahanan relatif dari berbagai batu
refraktori terhadap lelehan slag yang dialirkan secara kontinu ke spesimen di dalam furnace.
Sampel dilekatkan pada dinding furnace dengan permukaannya menurun dengan sudut 3o. Di
bagian bawah furnace dibuat untuk menopang spesimen dan tempat untuk slag yang terpakai.
Temperatur dan waktu pengujian dapat disesuaikan, namun umumnya digunakan waktu 5-8
jam dengan temperatur 300-800 oC. Slag resistance dapat dilihat dari banyaknya slag yang
berhasil berpenetrasi kedalam batu refraktori.[1]
Gambar 1. Drip Slag Testing[2]

Rotary-Kiln Slag Testing (ASTM C-874)


Pengujian standard Rotary-Kiln Slag Testing digunakan untuk mengevaluasi ketahanan relatif
batu refraktori terhadap erosi slag. Furnace yang digunakan merupakan short-kiln, cincin baja
silindris yang ditempel pada roda pemutar, digerakan dengan motor yang kecepatan rotasi
dan sudut tiltingnya dapat diatur, serta dipanaskan menggunakan gas-oxygen torch yang
dapat memanaskan sampai temperatur 1750 oC.
Prinsip pengujian ini yaitu enam buah spesimen disejajarkan, lalu furnace dimiringkan
sebesar 3o dan dirotasi sebesar 2-3 rpm. Slag awal dimasukan ke dalam kiln, yang akan
melapisi spesimen uji. Selanjutnya slag ditambahkan ke dalam kiln secara bertahap dengan
interval yang konstan dengan kecepatan ~ 1 kg/jam setidaknya selama 5 jam. Pengujian ini
umumnya dalam atmosfer yang oksidatif, namun keadaan netral juga dapat didapatkan
dengan menggunakan api reduktif atau menambahkan bongkahan karbon ke campuran slag.
Cara untuk menghitung erosi adalah dengan menghitung ketebalan refraktori sepanjang
permukaan yang terkena slag. Hasil yang didapatkan berupa % luas area yang tererosi dari
area awal.
Gambar 2. Rotary-Kiln Slag Testing[1]

Cup Slag Test


Pengujian slag statis, dimana slag tidak bergerak untuk tidak mempengaruhi hasil.
Pengujian ini merupakan pengujian yang praktis. Biasanya dilakukan dengan melubangi ¼
ketebalan dari sampel dan mengisinya dengan slag, lalu diberikan pemanasan hingga
temperatur tinggi selama beberapa jam, kemudian membelah dua sampel dalam sumbu
longitudinal pada lubang. Setelah itu dianalisis zona reaksi. Dikarenakan pengujiannya
merupakan isotermal dan jumlah slag yang diberikan kecil sehingga tidak terdapat konveksi
arus menghasilkan pengujian yang statis.
Banyak informasi yang didapat walaupun hanya dengan pengujian simpel ini:

 Apakah slag dapat membasahi sampel refraktori


 Apakah slag dapat diserap menuju pori-pori lebih dari 1 sampel dibanding yang lain
 Apakah semua cairan dapat diserap
 Apakah shrinkage atau expansion terjadi pada saat reaksi
 Apakah bloating atau tanda-tanda kehadiran evolusi gas terjadi
 Apakah terjadi fasa baru (dengan XRD atau mikroskop optik)
Pada gambar cross section dari
magnesia-chromite slag telah
menginfiltrasi dasar lubang dari
refraktori. Pengujian backscattered
electron, memperjelas daerah
interface slag refraktori dan daerah
refraktori yang sudah diinfiltrasi
oleh slag

Daftar Pustaka

1. [1] Uhlig’s Corrosion Book 2nd Ed. Corrosion Testing of Refractories and Ceramics.
The Electrochemical Society, Inc. Pennington, New Jersey: 2000
2. [2] R. Crescent and M. Rigaud, Advances in Refractories for the Metallurgical
Industries, Proceedings of the 26th Annual Conference of Metallurgists, CIM,
Montreal, Canada, 1988, pp. 235-250.
3. Charles Schacht. 2014. “Refractories Handbook”.
4. Jansson, Sune. 2015. “A Study on Molten Steel/Slag/Refractory Reactions during
Ladle Steel Refining”. Royal Institute of Technology:Stockholm.
5. Walker, Harbison. 2005 “Handbook of Refractory Practice”.
PENGUJIAN KETAHANAN ABRASI UNTUK REFRAKTORI

Lingga Pradinda S (1306415895)


Nabila Farah Thufalia (1306415900)
Laksamana Zakiy Ramadhan (1306436754)
Pierre Wolter Winowatan (1306436786)
Dennis Edgard Jodi (1306446023)
Aji Wibisono (1306448230)
Kelompok 8

Departemen Teknik Metalurgi dan Material


Fakultas Teknik
Universitas Indonesia
PENGUJIAN KETAHANAN ABRASI UNTUK REFRAKTORI

DEFINISI
Refraktori merupakan material tahan panas yang banyak digunakan dalam bidang
industri yang berhubungan dengan pengolahan material, mineral, ataupun logam yang
berpotensi untuk mengabrasi material refraktori yang digunakan sebagai dindingnya, dimana
industri-industri seperti bidang petrokimia, bidang furnace, bidang pembangkit listrik dengan
tenaga batu bara, dan beberapa bidang lainnya akan menghasilkan partikel-partikel kecil yang
terlempar akibat tekanan tinggi akan menghantam dinding refraktori yang digunakan,
sehingga berpotensi mengikis dinding yang digunakan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan
adanya pengujian ketahanan abrasi untuk tiap-tiap jenis refraktori, sehingga dapat diketahui
ketahanan abrasi dari material refraktori tersebut dan juga dapat diketahui penggunaan jenis
yang tepat untuk tiap-tiap aplikasinya.

TUJUAN PENGUJIAN
Pengujian abrasi untuk refraktori ini dilakukan dengan tujuan antara lain sebagai
berikut.
1. Mengetahui ketahanan abrasi untuk berbagai jenis refraktori dalam kondisi standar
pada temperatur ruang.
2. Mengetahui bidang aplikasi yang tepat untuk penggunaan tiap-tiap material refraktori
yang telah diuji tersebut.

STANDAR
Pengujian abrasi refraktori dilakukan dengan mengacu pada standar ASTM C704 dan
standar EN ISO 16282, dimana untuk standar ASTM C704 sendiri pertama kali diterapkan
pada tahun 1972, sedangkan standar EN ISO 16282 merupakan turunan dan penyempurnaan
dari standar ASTM C704-01 dan dibuat pada tahun 2008.
Untuk pengujian dengan menggunakan standar ASTM C704, secara ringkas, cara
yang dilakukan adalah dengan menyemprotkan partiket SiC (silikon karbida) dalam jumlah
1000 gram melalui nozzle dengan menggunakan udara bertekanan tertentu, dimana partikel
SiC ini nantinya akan menumbuk permukaan material refraktori yang diuji tersebut yang
akan mengabrasi permukaannya. Serpihan-serpihan abrasi dari material refraktori yang diuji
tersebut selanjutnya akan ditimbang dan dihitung dengan menggunakan cara-cara yang akan
dijelaskan pada bagian prosedur pengujian.
Secara standar, ASTM C-704 ini berkaitan dengan standar-standar ASTM lainnya
yang digunakan sebagai parameter-parameter dalam pengujian, baik itu parameter
percobaannya ataupun parameter peralatan dan bahan uji yang digunakan. Standar-standar
ASTM yang berkaitan dengan ASTM C-704 ini diantaranya adalah ASTM A681, C134,
C179, C861, C862,C865, C1036, C1054, dan D4285.

PERALATAN dan MATERIAL YANG DIGUNAKAN DALAM PENGUJIAN


Peralatan yang digunakan dalam pengujian ASTM C-704 ini diantaranya adalah
sebagai berikut.
1. Blast gun
Untuk pengujian ASTM C-704 ini,
blast gun yang digunakan harus termasuk
dalam jenis Leitch Carco Gun Model LC-
CG, dimana jenis model blast gun lain
dikhawatirkan dapat mempengaruhi hasil
pengujian yang ada.

Gambar 1. Blast gun


2. Nozzle
Nozzle yang digunakan terbuat dari material flint-glass dengan dimensi
panjang 115 mm, diameter luar 7 ± 0.12 mm, serta dengan ketebalan dinding 1.1 ±
0.03 mm.
3. Venturi
Merupakan sebuah air generator yang ada pada nozzle. Yang perlu
diperhatikan adalah untuk melakukan pengecekan inside diameter venturi secara
berkala untuk keausannya.
4. Peralatan untuk suplai udara
Peralatan yang digunakan untuk menyuplai udara harus memenuhi standar
D4285, dimana peralatan ini harus dipastikan agar bisa menyuplai udara dengan
tekanan tertentu secara konsitan
5. Indikator tekanan suplai udara
Persyaratan mengenai indikator tekanan suplai udara yang diperlukan harus
sesuai dengan standar ASME B40.1000 dengan tingkat akurasi 3A ± 0.25% dari span
yang ada.
6. Media Pengabrasi
Media pengabrasi yang digunakan adalah SiC (silikon karbida) dalam kondisi
baru dengan bentuk butir angular dan jagged-edge berukuran 36.
7. Peralatan untuk mekanisme feeding
Corong untuk mekanisme feeding harus memiliki laju aliran sebesar 450 ± 15
sekon dengan massa media yang harus disalurkan adalah 1000 gram, dan material
yang bisa digunakan diantaranya adalah logam, kaca, ataupun plastik.
8. Test chamber
9. Indikator vakum
Indikator vakum yang digunakan harus sesuai dengan standar ASME B40.100
dengan tingkat akurasi 3A ± 0.25% dari span yang ada, dengan diameter minimum
yang direkomendasikan adalah 114 mm.
10. Timbangan
Timbangan yang digunakan harus memiliki akurasi setidaknya sampai dengan
±0.1 gram dengan kapasitas penimbangan 2000 sampai 3000 gram.
Sedangkan untuk persyaratan material uji yang digunakan dalam pengujian ASTM C-704 ini,
yang harus diperhatikan adalah ukuran dimensinya dengan standar 100x100x25 mm atau
114x65x76 mm untuk spesimen dari refractory brick atau monolithic refractory material,
serta 100x100 mm atau 114x114 mm untuk castable refractory. Kedua jenis spesimen ini
harus dipanaskan terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada uap air atau zat-zat sisa yang
masih terkandung di dalamnya.

Gambar 2 dan 3. Abrasion tester


PROSEDUR PENGUJIAN
Prosedur untuk melakukan pengujian ASTM C-704 ini dijabarkan sebagai berikut.
1. Mengeringkan spesimen terlebih dahulu pada temperatur 105-110 0C dengan tujuan
untuk menjaga kekonstanan massanya.
2. Menimbang massa dan volume spesimen, dimana untuk massa, melakukan
pembulatan menuju 0.1 gram terdekat, sedangkan untuk volume, melakukan
pembulatan menuju 0.5 mm terdekat sesuai dengan standar metode tes ASTM C-134.
3. Meletakkan bagian depan spesimen uji dengan sudut 900 terhadap nozzle yang
digunakan, dengan jarak antara spesimen dengan ujung nozzle sejauh 203 mm.
4. Menyalakan peralatan suplai udara dan menjaga tekanan agar stabil pada 448 kPa (65
psi).
5. Mengukur tekanan pada kabinet dengan menggunakan manometer dan menjaga
tekanan pada chamber pada 31.8 mm air dengan menggunakan katup butterfly.
6. Membuka blast gun funnel yang digunakan dan mengecek (dengan menggunakan
indikator vakum) agar kondisi vakum sebesar 380 mm dapat terpenuhi.
7. Meletakkan media pengabrasi (SiC) sebesar 1000 ± 5 gram. Mengatur mekanisme
peralatan feed agar menjaga suplai di kisaran 450 ± 15 sekon.
8. Media pengabrasi SiC hanya boleh digunakan sekali, dikarenakan dikhawatirkan
penggunaan yang lebih dari satu kali akan mengubah bentuk partikel mmenjadi tidak
sesuai dengan standar yang ada.
9. Mengeluarkan spesimen uji dari test chamber, dan selanjutnya melakukan
penimbangan dari spesimen uji tersebut dengan pendekatan ke arah desimal 0.1 gram
terdekat. Penimbangan sebaiknya dilakukan dengan segera untuk menghindari adanya
uap air yang berikatan dengan spesimen uji yang digunakan yang akan mempengaruhi
hasil akhir yang didapatkan. Apabila penimbangan dilakukan dalam jeda waktu cukup
lama setelah proses pengujian selesai dilakukan, perlu adanya pemanasan kembali
pada temperatur 105-110 0C untuk menghilangkan adanya kemungkinan uap air yang
terperangkap tersebut.
Setelah semua proses selesai dilakukan, penghitungan besarnya abrasi yang terjadi pada
spesimen uji dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini.

A : abrasi yang terjadi (cm3)


M1 : massa sebelum pengujian (gram)
M2 : massa setelah pengujian (gram)
M : massa yang hilang dari spesimen (gram)
B : bulk density (g/cm3)
Selain hasil penghitungan diatas, umumnya hal yang perlu disertakan juga dalam
laporan hasil pengujian ASTM C-704 ini adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan
pengujian serta bagian permukaan mana yang terabrasi. Untuk bagian poin terakhir,
pengujian menjadi tidak valid apabila spesimen menunjukkan adanya lubang yang
terkonsentrasi pada satu titik tertentu (bisa disebabkan akibat penyemprotan partikel yang
tidak merata).

CATATAN PENGUJIAN
Hasil yang didapatkan dari pengujian ASTM C-704 ini tidak dapat serta merta
menggambarkan situasi yang sama persis dengan situasi dengan kondisi penggunaan
aktualnya di lapangan. Hal ini disebabkan karena dalam proses pengujian ini, terdapat
beberapa variabel yang dapat memengaruhi hasil pengujian yang didapatkan, diantaranya
adalah sebagai berikut.
1. Diameter internal tabung nozzle
Adanya deviasi dari ketebalan dinding tabung nozzle berpotensi untuk
mengakibatkan adanya perbedaan diameter internal pada peralatan yang digunakan,
dimana perbedaan diameter internal akan berpengaruh terhadap laju partikel/material
pengabrasi yang digunakan.
2. Tekanan udara
Tekanan udara selama proses bergantung juga pada variasi glass plate yang
digunakan, dan tekanan harus dijaga semaksimal mungkin agar berada pada angka
konstan di kisaran 448 kPa.
3. Temperatur pengujian serta bentuk dan ukuran partikel yang bertumbukan
Pengujian yang dilakukan pada ASTM C-704 dilakukan pada kondisi
temperatur ruang, sedangkan dalam aplikasinya, material refraktori digunakan pada
temperatur yang sangat tinggi. Selain itu, bentuk dan ukuran partikel yang menumbuk
dinding / permukaan refraktori juga bervariasi, tidak homogen seperti material
penumbuk yang digunakan saat pengujian, sehingga akan berpengaruh terhadap abrasi
yang terjadi pada material refraktori.
Untuk material refraktori yang bersifat highly abrasion, biasanya yang dipesan
dengan spesifikasi tertentu, memiliki perbedaan ketentuan dalam pengujiannya. Alat-alat
yang dipakai dalam pengujian ini adalah:

1. Blast gun
Menggunakan material berbahan AISI Grade A-2 untuk mesinnya.
2. Indikator tekanan suplai udara
Menggunakan dua buah indikator tekanan yang salah satunya digunakan
sebagai alat verifikasi nilai yang tertera pada indikator tekanan adalah tepat. Jika nilai
antara kedua indikator berbeda 6.9 kPa (1 psi), kalibrasi ulang kedua indikator
tersebut. Jika perlu, lakukan perbaikan dan menggantinya dengan yang baru.
3. Peralatan untuk mekanisme feeding
Persyaratannya sama dengan corong pada pengujian standar, hanya saja pada
pengujian ini menggunakan dua corong yang disusun seri untuk menyuplai media
pengabrasi ke dalam gun.
4. Test chamber
Menggunakan mounting hole berukuran 20 mm. Perlu diperhatikan bahwa
posisi gun dan spesimen harus tegak lurus.
5. Indikator vakum
Menggunakan dua buah indikator vakum yang salah satunya digunakan
sebagai alat verifikasi nilai yang tertera pada indikator tekanan adalah tepat. Jika nilai
antara kedua indikator berbeda 6.9 kPa (1 psi), kalibrasi ulang kedua indikator
tersebut. Jika perlu, lakukan perbaikan dan menggantinya dengan yang baru.
Gambar 4. Abrasion tester yang dimodifikasi

KALIBRASI
Sebaiknya kalibrasi abrasion tester dilakukan jika:
1. Seminggu setelah dipakai
2. Setelah dilakukan penggantian gun, venturi, atau indikator
3. Menggunakan SiC baru atau tabung gelas yang baru
4. Saat dirasa hasil yang ada tidak sesuai

Prosedur untuk mengkalibrasi abrasion tester adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan spesimen 114x114x12.7 mm pelat float glass dengan densitas antara


2.48-2.51 gram/cm3.
2. Memeriksa semua bagian dari abrasion tester. Jika ada bagian alat yang terlihat sudah
aus, mengganti bagian tersebut dengan yang baru.
3. Menimbang pelat gelas mencapai 0.1 gram.
4. Meletakkan spesimen pada abrasion tester. Membuat jarak antara nozzle dengan
permukaan pelat gelas sebesar 203 mm (8 inch).
5. Memulai abrasion tester sesuai dengan melakukan langkah 2-7 dalam “Prosedur
Pengujian” dengan modifikasi:
a) Langkah 4: mengatur tekanan udara sesuai dengan hasil kalibrasi sebelumnya
b) Langkah 6: memasang feed line media pengabrasi dengan menutup corong bawah.
Kondisi vakum harus terpenuhi pada 380 mm. Jika belum terpenuhi, memperbaiki
posisi nozzle, mengecek kondisi venturi, kondisi feed line media pengabrasi, atau
kondisi blast gun. Jika ada yang rusak, menggantinya dengan yang baru.
6. Menimbang lagi pelat gelas mencapai 0.1 gram.
7. Menghitung berat hilang, AG, mencapai 0.1 cm3 dengan rumus:

Dimana:
2.49 : bulk density dari pelat gelas
MG1 : berat pelat gelas sebelum diuji (gram)
MG2 : berat pelat gelas setelah diuji (gram)
MG : berat hilang dari pelat gelas (gram)
8. Berat hilang yang diharapkan adalah sebesar 9.3 ± 0.3 cm3. Kemudian, mengamati
permukaan yang terabrasi. Permukaan tersebut haruslah seragam dan simetris. Jika
tidak, membuktikan bahwa abrasion tester tidak disiapkan dengan benar.
9. Memperbaiki bagian-bagian yang masih belum benar pada abrasion tester kemudian
memulai kembali prosedur kalibrasi dengan spesimen baru.
10. Jika masih belum memenuhi standar, mengulangi prosedur tersebut hingga didapatkan
berat hilang sebesar 9.3 ± 0.3 cm3.
11. Mencatat semua hasil kalibrasi, tanggal kalibrasi dilakukan, serta hal-hal yang terjadi
selama kalibrasi dilakukan ke dalam logbook.
ISO/TC 33 N 891 annex

TUJUAN PNGUJIAN
Untuk mengetahui standar metode pengujian spesifikasi dari ketahanan abrasi
material refraktori pada temperatur tinggi untuk refraktori yang sudah dibentuk dan yang
belum dibentuk pada temperatur pengujian 1400 0c

STANDAR
Sampel dengan dimensi yang telah dispesifikasi, diletakan ke dalam chamber pada
temperatur tinggi. Permukaan sampel harus tegak lurus dengan sand blast tube. Temperatur
dinaikkan ke temperatur pengujian dengan keceparan (5~10) 0c dengan waktu tahan 30 min.
Setelah dipanaskan, sampel ditembak dengan blast gun dengan massa tertentu dalam udara
yang compressed dengan waktu terteuntu, setelah itu berat sampel akibat abrasi akan
ditimbang.

PERALATAN YANG DIGUNAKAN

1. Pengukur abrasi pada suhu tinggi


Pengukur abrasi digunakan untuk mengukur ketahanan abrasi dari potongan uji tahan
api di suhu tinggi.
1.1 Blast Gun
Blast Gun ini adalah alat khusus yang digunakan dalam metode pengujian ini.
1.1.1 Tabung Venturi
Diameter dalam dari nosel inlet udara 2.84 mm ~ 2,92 mm, dan 2,36 mm ~ 2,44 mm
untuk saluran keluar diameter dalam. Nosel udara dilindungi dari abrasi dengan sepotong
tabung vinyl dengan panjang 9,2 mm, 6.5 mm diameter dan 0,3 mm ketebalan dinding.
Tabung vinyl harus diganti setelah dipakai setiap tes. Ketika diameter dalam tabung venturi
melebihi 10 mm, itu harus diganti.
1.1.2 Sand Blast Tube
Sand Blast Tube terbuat dari keramik 230 mm dan 5 mm diameter. Alat ini ditahan
oleh tabung baja dengan panjang 70 mm. Salah satu ujung tabung baja harus menyala dan
tetap disegel dengan memegang Sand Blast Gun tegak lurus dengan potongan sampel.
1.2 Test Furnace
Kemampuan Test Furnace harus sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam
clause 7.3 dan 7.4 dan mampu memanaskan hingga 1400 ℃. Perbedaan suhu di dalam tungku
tidak boleh lebih besar dari ± 10 ℃. Selama periode pengujian, penurunan suhu permukaan
uji tidak dianjurkan melebihi 20 ℃. Variasi suhu dari potongan uji harus diukur dengan
termokopel diposisikan dalam lubang dari samping ke arah pusat benda uji.
1.2.1 Pressure Chamber
Pressure Chamber harus terhubung dengan ruang uji. Hal ini untuk mengatur tekanan
di dalam ruang uji.
1.2.2 Exhaust Port
Sebuah kolektor debu digunakan pada Exhaust Port untuk memurnikan udara. Sebuah
katup terpasang pada port untuk mengatur tekanan di dalam ruang tekanan.
1.2.3 Tabung Pelindung
Tabung pelindung berdimensi 150 mm, 27 mm diameter luar dan 16 mm di dalam
diameter dimana tabung terbuat dari material yang mampu menanggung suhu 1400℃.
Tabung pelindung memasuki uji tungku perapian melalui lapisan tungku.
1.2.4 Cincin Perisai (menstabilkan tekanan)
Alat ini digunakan untuk memisahkan ruang tekanan dan ruang uji untuk menjaga
tekanan. Tabung pelindung tertanam pada cincin perisai.
1.2.5 Elemen Pemanas
1.2.6 Heating Guard Plates
Digunakan untuk melindungi elemen pemanas dari ledakan abrasif.
1.2.7 Test Piece Pedestal
Test Piece Pedestal diposisikan pada alas. Jarak dari tabung pelindung dan dapat
diatur dengan pengoperasian alas ke atas dan ke bawah.
1.2.8 Alat pengukur tekanan
Dua alat pengukur tekanan yang digunakan, satu adalah untuk mengukur tekanan di
dalam ruang tekanan, dan yang lain adalah untuk mengukur tekanan di dalam ruang uji
selama pengujian.
1.3 Compressed Air Supply
1.3.1 Kompresor Udara
Tekanan pengiriman ≥0.7 MPa, dan laju aliran udara adalah ≥10 L / min.
1.3.2 Pengukur Tekanan
Pengukur tekanan dengan akurasi 0,4 dan kapasitas 0 ~ 0,6 MPa, diatur sedekat
mungkin dengan Blast Gun.
1.3.3 Udara Tekan
Udara harus bersih dan kering.
1.4 Abrasif
1000 g ± 5 g pasir alumina putih atau pasir silikon karbida (digunakan di bawah 1000
℃) dapat menjadi abrasif dengan distribusi ukuran partikel yang berbeda.

1.5 Abrasive Feeding System


Corong pengisian harus memiliki lubang yang sesuai dimana mampu memberikan
1.000 g ± 5 g abrasif ke dalam corong pengiriman dalam 900 s ± 10 s. Keberadaan sela antara
mulut dan corong pengiriman memungkinkan udara untuk masuk ke dalam Blast Gun dengan
abrasif.
1.5.1 Vakum Pengukur
Dengan akurasi 2,5, vakum ini digunakan untuk menentukan derajat vakum dari
Feeding System abrasif.
1.5.2 Balance
Alat ini memiliki kapasitas 2000 g, sangat akurat untuk 0,1 g.
Pengukur abrasi pada temperatur tinggi
1. Charging funnel 16. Heating guard plate
2. Vacuum gauge 17. Heating element
3. Delivery funnel
4. Precise pressure gauge
5. Blast gun
6. Pressure gauge for measuring the
pressure inside the pressure
chamber
7. Pressure chamber
8. Exhaust port
9. Test chamber
10. Test piece
11. Test piece pedestal
12. Test furnace
13. Shielding ring
14. Protective tube
15. Pressure gauge for measuring the
pressure inside the test chamber
Skema dari blast gun

1. Compressed air supply tube


2. Precise pressure gauge
3. High pressure chamber
4. Venturi tube
5. Sand supply tube
6. Sand blast tube

PROSEDUR PENGUJIAN

1. Keringkan sampel uji pada 105 ℃ ~ 110 ℃ sampai berat konstan.


Catatan: Berat Konstan mengacu pada saat tes sepotong kering dengan perbedaan
massa antara dua penimbangan terakhir adalah kurang dari 0,1%.
2. Timbang potongan uji dengan 0.1g terdekat. Tentukan volume mereka dengan
mengukur panjang mereka, lebar, dan ketebalan ke terdekat 0,5 mm sebanyak empat
kali.
3. Letakkan salah satu potongan uji di chamber dengan bentuk persegi (114 mm x 114
mm atau 100 mm × 100 mm) tegak lurus (pada sudut 90 °) ke tabung pelindung pada
jarak 120 mm dari itu. Untuk tes dari refraktori yang belum dibentuk, permukaan uji
harus menghadap dengan bagian bawah dari cetakan, karena memiliki hasil yang
akurat
4. Tutup pintu tungku, nyalakan katup air pendingin, nyalakan tungku, tingkatkan suhu
dari suhu lingkungan 1000 ℃ pada tingkat (5 ~ 8) ℃ / menit, dan dari 1000 ℃ ke
suhu uji pada tingkat (3 ~ 5) ℃ / menit, tahan selama 30 menit pada suhu pengujian.
5. Hidupkan kompresor udara dan sesuaikan tekanan pada 450 kPa.
6. Periksa tekanan udara sebelum dan setelah abrasi berjalan ukur tekanan di dalam
ruang tekanan dengan U-jenis manometer dan jaga tekanan pada 300 Pa dengan
mengatur katup exhaust port, sementara untuk tekanan di dalam chamber adalah 16
kPa.
7. Setelah kompresi udara masuk ke dalam gun, periksa tingkat vakum dalam tabung
venturi dengan pengukur vakum. Jika pengukur vakum tidak menunjukkan tekanan
minimal 0,05 MPa, periksa posisi sand blast tube atau kondisi kompresor udara.
Setelah mendapat tekanan vakum, hubungkan kembali saluran abrasif dan cek ulang
tekanan ruang tes sebelum menempatkan 1000 g ± 5 g abrasif kering di corong
pengisian perlahan. Hubungkan saluran untuk blast gun. Ini akan memberikan efek
abrasif dalam waktu tertentu dari 900 s ± 10 s.
8. Matikan tungku ketika tes selesai. Tutup air pendingin 5 jam setelah tes. Biarkan
sampel uji untuk didinginkan secara alami. Buka pintu tungku dan bersihkan tungku.
9. Abrasive digunakan hanya sekali dan setelah itu harus dibuang
10. Keluarkan sampel uji dari ruang tes, bersihkan debu, dan timbang ke 0.1g terdekat.

PERHITUNGAN
Setelah semua proses selesai dilakukan, penghitungan besarnya abrasi yang terjadi
pada spesimen uji dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini.

A : abrasi yang terjadi (cm3)


M1 : massa sebelum pengujian (gram)
M2 : massa setelah pengujian (gram)
M : massa yang hilang dari spesimen (gram)
B : bulk density (g/cm3)
Ekspansi Termal dan Perubahan Volume
(Thermal Expansion and Volume Changes)

Ahmad Angga Utama 1306448445


Burhan Ramadhan 1306448243
Inez Togina Yuniaty 1306448451
Mukhamad Fiqih Fadzli 1306448436
Nuradityatama 1306448400
Theodora Pradnya 1306448306
Kelompok 9

Departemen Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas Teknik

Universitas Indonesia
Ekspansi Termal dan Perubahan Volume
(Thermal Expansion and Volume Changes)

Definisi
Sifat ini berupa kecenderungan material untuk berubah dimensi (baik panjang, luas, sehingga
mempengaruhi volume) sebagai respon material terhadap perubahan temperatur.

Refraktori adalah material yang bekerja pada temperatur yang tinggi, sehingga sifat yang
dibutuhkan adalah koefisien termal yang kecil. Saat material memiliki koefisien termal yang
kecil maka peruahan volumenya cenderung kecil (tidak terlalu signifikan) sehingga tidak
mengganggu struktur yang ada dan menyebabkan crack.

Ilustrasi perubahan dimensi akibat perubahan temperatur

Standar Pengujian dan Prosedur Ekpansi Termal

Referensi Pengujian
1. ASTM C 134 C 134 Test Methods for Size, Dimensional Measurements, and Bulk
Density of Refractory Brick and Insulating Firebrick2
2. ASTM C 179 Test Method for Drying and Firing Linear Change of Refractory Plastic
and Ramming Mix Specimens
3. ASTM C 210 Test Method for Reheat Change of Insulating Firebrick
4. ASTM C 436 Method of Test for Reheat Change of Carbon Refractory Brick and
Shapes
5. ASTM C 605 Test Method for Reheat Change of Fireclay Nozzles and Sleeves
6. ASTM E 230 Temperature-Electromotive Force (EMF) Tables for Standardized
Thermocouples

Peralatan
 Kiln
Didesain khusus sehingga heating schedule dan keadaan atmosfer tertentu dapat
dipertahankan pada zona pemanasan
 Alat ukur linier
Alat ukur linier dengan tingkat ketelitian hingga 0.5 mm pada span 254 mm. Jangka
sorong atau dial gage device dapat digunakan.
 Gas sampling dan peralatan analisis
Berfungsi menentukan presentasi oksigen bebas dan oksigen yang terbakar pada
atmosfer dalam bilik pemanas

Spesimen Pengujian

 Jika bulk material cukup dibuat 3 spesimen dengan bentuk balok berdimensi 228 x
114 x 64/75 mm.
 Jika Untuk spesimen yang lebih kecil dan susah dibentuk, digunakan spesimen
dengan bentuk yang paling mendekati balok
 Specimen dapat berupa material refraktori atau potongan dari material refraktori yang
lebih besar
 Penandaan dilakukan dengan cat khusus keramik atau krayon, kemudian dilakukan
pengukuran dan penandaan setiap ujung specimen. Tanda tersebut akan menjadi titik
referensi dalam pengukuran thermal expansion
Prosedur Pengujian

 Menaruh spesimen didalam kiln dalam posisi saling bersandar. Lalu, gunakan balok
penopang dari material yang sama dengan spesimen atau yang memiliki
refractoriness yang hampir sama. Lalu diantara spesimen dengan balok penopang
diletakkan sebuah lapisan material yang juga refraktori dan sesuai dengan keadaan
saat pengujian yang tidak reaktif dan dapat terlewati oleh ASTM No. 16 (1.18-mm
ekuivalen dengan 14-mesh Tyler Standard Series) dan mempertahankan ASTM No.
40 (425-μm ekuivalen dengan 35-mesh Tyler Standard Series). Selanjutnya jarak
antar spesimen diatur agar tidak kurang dari 38 mm.
 Ukur temperatur didalam kiln dengan thermocouple yang telah terkalibrasi. Gunakan
tabel 1 dan 2 untuk referensi toleransi dan batas atas temperatur dari thermocouple.
Pada temperatur yang lebih tinggi, lebih disarankan untuk memakai calibrated optical
atau radiation pyrometer. Interval pembacaan temperatur diusahakan tidak lebih dari
15 menit. Pembacaan temperatur dilakukan dengan rutin untuk memastikan perbedaan
temperatur tidak lebih dari 140 C.

 Pada temperatur diatas 14700 F (8000 C) maka atmosfer dari furnace harus
mengandung minimal 0.5% oksigen dan 0% combustibles. Sampel gas yang akan
dianalisa dapat diambil dari furnace chamber proper.
 Operasikan kiln dan mengatur heating schedule yang sesuai dengan kelas refraktori
yang akan diuji sesuai dengan tabel 1. Pembakaran pun harus diatur sehingga
temperatur hanya akan berbeda sekitar 30 C dari yang telah ditentukan. Setelah
selesai, dinginkan sampel hingga dibawah 4250 C sebelum dipindahkan.
 Mengukur kembali ukuran spesimen pada temperatur ruang dan apabila dibutuhkan
dapat menggunakan kertas amplas untuk menghilangkan blister kecil.

Perhitungan dan Report

 Menghitung persentase perubahan linear berdasar pada panjang dari spesimen. Lalu
laporkan hasil yang ada pada temperatur reheat yang berbeda.

Presisi dan Bias

 Interlaboratory test data


1. Pengujian menggunakan 4 tipe balok, masing-masing terdiri dari 3 sampel,
dan total ada 7 set di setiap laboratorium
2. Heating schedule, brick type, dan average determination and precisions ada di
Tabel 2
 Precision – hasil pengujian yang terdiri dari 3 sampel harusnya berbeda secara
signifikan dengan nilai kepercayaan 95%.
 Bias – dalam pengujian ini tidak ada resiko bias yang terjadi

Standar Pengujian dan Prosedur Perubahan Volume


Cakupan
- Metode ini digunakan untuk menghitung luas, volume, dan perubahan linear dari
sebuah spesimen refraktori tak beraturan
- Luas dari spesimen yang tidak beraturan ( baik secara konvensional dan bentuk)
dibutuhkan untuk menetapkan creep dari suatu produk refraktori.
- Perubahan linier dan perubahan volume atau bentuk refraktori yang tidak beraturan
dibutuhkan untuk menetapkan suatu perubahan panas.
Referensi Pengujian
1. ASTM C20 metode pengujian untuk porositas, water absorption, spesific gravity, dan
bulk density dari batuan refraktori yang dibakar dan bentuk pada air mendidih.
2. ASTM C830 metode pengujian untuk porositas, liquid absorption, specific gravity,
dan bulk density dari bentuk refraktori pada tekanan vacuum.

Aplikasi

1. Fireclay steel-teeming nozzles dan sleeves diklasifikasikan berdasarkan perubahan


volumepemanasan. “pembengkakan” beberapa refraktori menghasilkan dimensi
pemanasan yang tidak beraturan, yang mana akan menyulitkan untuk diukur. Bagian
ini menetapkan volume tanpa bergantung terhadap pengukuran physical linear.
2. Blast furnace checkers yang memiliki bagian yang tidak beraturan diklasifikasinya
kedalam “properti creep”. Bagian ini menetapkan rata-rata dari luas bagian tanpa
memerlukan luas pengukuran.

Prosedur Pengujian

1. Spesimen yang ingin dilakukan pengujian harus memiliki volume yang sesuai standar
prosedur pada metode tes bagian C20 atau C830
2. Setelah ukuran volume sudah sesuai standar,spesimen dikeringkan sampai berat
konstan
3. Timbang spesimen sampai sangat mendekati 0.1 gram dan tandai sebagai W.
4. Jika spesimen memiliki bagian muka yang paralel (seperti permukaan tanah untuk
menetapkan data beban mulur) maka ukur panjang terdekat sebesar 0.02 in (0.5 mm)
dan tandai sebagai L.

Perhitungan

 Perhitungan area untuk Specimen hasil Creep

 Perhitungan Perubahan Volume untuk Re-heat specimen


Va : Volume awal (cm3)
Vb : Volume akhir (cm3)
 Volume change  Linear change
o Apabila hasil perhitungan perubahan volume negative (-) maka,

o Apabila hasil perhitungan perubahan volume positif (ekspansi) maka,

Referensi
http://www.calctool.org/CALC/eng/default/cte.png
ASTM Standard Test Method for Reheat Change of Refractory Brick
ASTM Standard Practice for Calculating Areas, Volume, and Linear Change of Refractory
Shapes

Anda mungkin juga menyukai