Cukong Over All
Cukong Over All
Oleh : M. Najmuddin
Kalau mahasiswa yang teriak teriak pejabat dibiayai oleh cukong sudah biasa dan sering terjadi.
Mereka (masih) ada di luar sistem korup. Lalu bagaimana bila yang menyatakan hal itu adalah
Menkopolhukam Mahfud MD?
Mahfud MD menyampaikan dalam acara Konferensi Pers bertajuk 'Memastikan Pilkada Sehat:
Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi' yang ditayangkan oleh akun YouTube PUSaKO FHUA pada
Sabtu (12/9/2020) bahwa hampir semua calon kepala daerah disokong cukong.
“Calon-calon itu [pilkada] 92 persen dibiayai oleh cukong dan itu melahirkan korupsi
kebijakan," ungkap Mahfud.1
Sekarang, cukong cum kapitalis menjadi promotor, sedangkan rakyat “dipaksa” untuk memlih.
Artinya politisi, pejabat dan apapun itu yang masuk melalui demokrasi bukanlah cerminan dari
kehendak rakyat sesungguhnya.
Kedekatan elit politik dengan masyarakat akan terjadi dalam beberapa bulan saja, bukan karena
kemuliaan moral dan ketulusan mereka, apalagi karena kesadaran sebagai seorang yang peka
terhadap masalah masyarakat, sekali kali tidak ! Suaralah yang menjadi tujuan mereka mendekat.
Tak lama setelahnya, janji mereka melayang dan lenyap. Kepentingan partai yang mereka
utamakan. Persetan syariat agama, surga neraka ada di tangan elit partai.
Iya, memang ada sedikit kebijakan yang berbau Islami, tapi motif utama mereka bukan ketaatan
terhadap syariat Islam, namun suara pada pemilu berikutnya. Jadi jangan sampai ada di antara
kita yang latah dan bangga dengan secuil syariat yang mereka terapkan.
Surga neraka dan halal haram ditentukan oleh wakil rakyat. Ketika oligarki menginginkan
sesuatu, melalui elit partai yang diteruskan kepada wakil rakyat dan pejabat, tidak ada yang bisa
menghentikannya.
Undang undang, pergub, perda dan semisalnya tidak akan berkutik. Jeritan di jalanan hanya
menjadi angin lalu. Pemangku keadilan tidak bisa berbuat banyak, tak sedikit yang memakan
tinja oligarki.
Apa pasal? Mereka naik karena didukung penuh oleh cukong dan oligarki bukan kantongnya
sendiri, kecuali mereka yang menjadi cukong dan segelintir oknum orang kaya yang ikhlas. Rata
rata dari mereka seperti yang disebutkan oleh Mahfud MD.
1
https://www.suara.com/news/2020/09/16/123737/mahfud-md-sebut-92-persen-pilkada-dibiayai-cukong-ini-
respons-fahri-hamzah ,diakses kamis 17 September 2020
Demokrasi dan cukong tidak bisa lepas mengingatnya mahalnya demokrasi. Kemendagri pernah
menyatakan bahwa untuk pilkada derah miskin saja membutuhkan dana 25-30 Milliar serta tak
bisa lepas dari sumbangan cukong.
“Ya pasti ada sponsor dari pemodal yang (misalnya) punya bisnis di daerah itu. Nanti
kompensasinya (dari kepala daerah terpilih) nanti bisa soal izin bisnis, dan sebagainya," ungkap
Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Bahtiar, Senin (2/12/2019)2.
Kita belum membahas tentang besarnya biaya pilgub, pileg, dan pilpres. Sudah tentu trilliunan
rupiah menjadi tiketnya untuk berkompetisi. Rasa rasanya bau busuk cukong semakin kentara.
Fakta ini diperparah dengan Survei INES pada 2012 yang menemukan bahwa pertimbangan
utama masyarakat memilih adalah 50,3% karena uang yang dibagikan saat kampanye.3
Kerusakan sistem yang akut menyebabkan masyarakat menganggap politik uang merupakan hal
yang halal pada 2019 lalu menurut survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 4 Artinya
syariat Islam mengenai larangan suap menyuap telah dicampakkan secara terstruktur, sistematif,
massif dan brutal plus berjamaah.
Tak heran bila pengamat politik Hersubeno Arief mengusulkan slogan demokrasi, khususnya di
Indonesia untuk diganti menjadi Demokrasi : Dari Cukong, oleh Cukong, untuk Cukong.
Demokrasi yang dibangga banggakan sebagai sistem paripurna yang menjamin keadilan dan
surga dunia akhirnya memperlihatkan wujud bengisnya.
Segelintir bukti di atas seharusnya menjadikan kita semua sadar tentang rusaknya sistem di
Indonesia. Sudahlah sistemnya rusak, ditambah mismanagement pula. Tidak salah jika ada yang
memprediksi Indonesia akan segera bubar.
Kekacauan penanganan Covid-19 turut memperlihatkan kepada rakyat tentang mismanagement
akut di Indonesia. Sejak awal bukannya mengantisipasi dengan tegas, justru pemerintah tidak
serius mengatasinya. Koordinasi antar lembaga yang tidak baik, pemerintah yang meremehkan
covid 19, dan masih banyak lagi membuat rakyat berfikir tentang ketidakbecusan pemerintah
dalam mengatur Indonesia.
Dampak dari mismanagement pandemic corona sangat sangat tidak bisa dimaafkan. Rakyat yang
menangis kelaparan, anak yang kehilangan sandaran hidupnya, orang tua yang kehilangan
tangisan manja, tangisan pekerja harian karena dirumahkan, hingga tak sedikit nyawa yang
melayang karena covid 19.
5
Muhammad Al Mubarak, Al-Daulah wa Nidzam al Hisbah ‘Inda Ibn Taimiyah, Dzar Al-Fikr, cetakan pertama, 1967
6
Dr. Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, cetakan ketiga, 2006.