Anda di halaman 1dari 25

Pertemuan 11.

Rahasia Kedokteran
RAHASIA KEDOKTERAN
 
A.    Pengertian Rahasia Kedokteran

Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang harus dirahasiakan mengenai apa yang
diketahui dan didapatkan selama menjalani praktek lapangan kedokteran, baik yang
menyangkut masa sekarang maupun masa yang sudah lampau, baik pasien yang masih hidup
maupun sudah meninggal. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun
1996 pasal 1, pasal 2, pasal 3.  Rahasia kedokteran ini meliputi 2 hal yaitu :
1.      Rahasia pekerjaan adalah segala sesuatu yang diketahui dan harus dirahasiakan
berdasarkan lafal sumpah yang diucapkan pada waktu menerima gelar seorang
dokter.
2.      Rahasia jabatan adalah segala sesuatu yang diketahui dan harus dirahasiakan
berdasarkan lafal sumpah yang diucapkan pada waktu diangkat sebagai pegawai
negeri, yang berbunyi : “Bahwa saya akan memegang rahasia sesuai menurut sifat
atau menurut perintah harus saya rahasiakan”, Yang termasuk dalam rahasia
kedokteran mencakup aspek moril dan yuridis, tidak hanya mencakup segala
sesuatu yang diketahui karena pekerjaannya atau keilmuannya mengenai hal-hal
yang diceritakan atau dipercayakan kepada seorang dokter secara eksplisit
(permintaan khusus untuk dirahasiakan), tetapi juga meliputi hal-hal yang
disampaikan secara implisit (tanpa permintaan khusus), termasuk dalam hal ini
segala fakta yang didapatkan dari pemeriksaan penderita, interpretasi untuk
menegakkan diagnose dan melakukan pengobatan, dari anamnesa dan
pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran.

B. Sanksi Bila Membuka Rahasia Kedokteran


Seorang dokter di Indonesia tanpa kecuali, dianggap sudah mengetahui peraturan-
peraturn hukum yang berlaku terutama yang berhubungan dengan ilmu kedokteran pada
umumnya dan rahasia kedokteran pada khususnya. Apabila terjadi pembocoran rahasia
jabatan, si pelaku dapat dikenai sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi-sanksi tersebut adalah :
1.              Sanksi pidana, diatur dalam :
a.       KUHP Pasal 112 “Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-
berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan
untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau
memberikannya kepada negara asing, kepada seorang raja atau suku bangsa,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
b.      KUHP Pasal 322
1)      Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpan
karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang dahulu,diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.
2)      Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka perbuatannya itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut.
 
2.              Sanksi perdata, diatur dalam :
a.       KUH Perdata Pasal 1365 “ Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat
kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya
mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugia tersebut”.
b.      KUH Perdata Pasal 1366 “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
c.       KUH Perdata Pasal 1367 “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya”.
 
3.              Sanksi Administratif.
Diatur dalam undang-undang No. 6 Tahun 1963 pasal 11 yang bunyinya sebagai
berikut : “ Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan peraturan
perundang-undangan yang lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :
a.             Melalaikan kewajiban 
b.            Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya ataupun sebagai tenaga
kesehatan.
c.             Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.
 
4.              Sanksi Sosial
Yaitu sanksi yang datangnya dari masyarakat itu sendiri.  Contohnya: Masyarakat
enggan berobat ke dokter tersebut.

C. Kode Etik Kedokteran


Menurut Penjelasan Pasal 12 Kode Etik Kedokteran, cakupan pasal
ini adalah:
(1)   Seorang dokter wajib merahasiakan apa yang dia ketahui tentang pasien yang
ia peroleh dari diri pasien tersebut dari suatu hubungan dokter-pasien sesuai
ketentuan perundang-undangan.
(2)   Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis
dan/atau pengobatan yang terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau
kepada masyarakat luas tanpa persetujuan pasien.
(3)   Seorang dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan
pasien, keluarga atau kerabat dekatnya dengan membukanya kepada pihak
ketiga atau yang tidak berkaitan.
(4)   Dalam hal terdapat dilema moral atau etis akan dibuka  atau dipertahankannya
rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi dengan mitra bestari dan/atau
organisasi profesinya terhadap pilihan keputusan etis yang akan diambilnya.
Penjelasan dari cakupan pasal ini: Misalnya dalam penafsiran "kepentingan
umum" yang harus juga dilindungi. Dokter atau Organisasi profesi yang
diminta nasehat wajib melakukan hal terbaik untuk mencari pemecahan atas
permasalahan yang dihadapi.
(5)   Setiap dokter wajib  hati-hati dan mempertimbangkan implikasi sosial-
ekonomi-budaya dan legal terkait dengan pembukaan rahasia pasiennya yang
diduga/mengalami gangguan jiwa, penyakit infeksi menular seksual dan
penyakit lain yang menimbulkan stigmatisasi masyarakat
(6)   Setiap dokter pemeriksa kesehatan untuk kepentingan hukum dan
kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil pemeriksaaan kepada pihak
berwewenang yang memintanya secara tertulis sesuai ketentuan perundang-
undangan.
(7)   Seorang dokter dapat membuka rahasia medis seorang pasien untuk
kepentingan pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang, permintaan
pengadilan, untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah
berkonsultasi dengan organisasi profesi, sepengetahuan/ijin pasien dan dalam
dugaan perkara hukum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri
diagnosis/pengobatan penyakitnya di media massa/elektronik/internet.
(8)   Seorang dokter wajib menyadari bahwa membuka rahasia jabatan dokter
dapat membawa konsekuensi etik, disiplin dan hukum.
 
Selain itu, terdapat beberapa alasan bagi dokter untuk membuka rahasia kedokteran, hal
tersebut diatur dalam Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) dan Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan
No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis (“Permenkes 269/2008”), yang
masing-masing berbunyi demikian:
Pasal 48 UU Praktik Kedokteran:
1.      Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
2.      Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
 
Perlindungan hak rahasia medis :

1. Pasal 57 UU No.36/ 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang


berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan
2. Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokterannya wajib
menyimpan rahasia kedokteran
3. Pasal 32 (i) UU No,44 Tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien
untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya

Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut diancam pidana


kurungan badan sebagai mana yang diatur dalam pasal 322KUHP yang mengatakan : "
barang siapa yang dengan sengaja membuka rahasia yang wajib ia simpan karena jabatannya
atau karena pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan
ribu rupiah.
Rahasia medis ini hanya dapat dibukan oleh rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan
lainnya dalam hal telah mendapatkan persetujuan dari pasien yang bersangkutan, demi untuk
kepentingan orang banyak atau untuk kepentingan penegakan hukum. 
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka semua rahasia medis yang tertuang
dalam rekam medik adalah menjadi hak sepenuhnya dari pasien yang bersangkutan dan oleh
sebab itu maka berkas rekam medik perlu di jaga kerahasiaanya agar tidak dengan mudah di
baca oleh pihak-pihak yang tidak berkompeten untuk mengetahui rahasia medis pasien
tersebut. Di  beberapa negara yang menganut kebebasan mutlak melaksanakan perlindungan
rahasia medik dengan sangat ketat, sehingga rekam medik menjadi sangat konfidensial.
Seorang suami tidak dengan mudah mendapatkan isi rekam medik istrinya ataupun
sebaliknya jika oleh suami atau istri tersebut menyatakan bahwa hal tersebut konfidens bagi
pasangannya. Sebegitu ketatnya perlindungan rahasia medis tersebut , terkadang sampai
meninggalpun rahasia tersebut tetap tersimpan rapi.

Pertemuan 12. Study Case : Pengamanan


dan Hak Akses DRM
Study Case : Pengamanan dan Hak Akses DRM
 
Hak Akses
Hak akses pasien terhadap rahasia kedokteran didasarkan pada :
a.       Data-data medik yang tercantum dalam berkas rekam medis.
Rekam medis adalah data-data pribadi pasien yang merupakan tindak lanjut dari
pengungkapan penyakit yang di derita oleh pasien kepada dokternya. Maka iapun berhak
untuk memperoleh informasi untuk mengetahui apa saja yang dilakukan terhadap dirinya
dalam rangka penyembuhannya. Hal ini sudah dijabarkan dalam Permenkes Nomor 290
Tahun 2008 tersebut pengaturan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam melakukan
tindakan kedokteran dokter harus memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup :
1.      Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran ;
2.      Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3.      Altematif tindakan lain, dan risikonya;
4.      Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5.      Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
6.      Perkiraan pembiayaan.
 

b. Hubungan hukum antara dokter pasien untuk berdaya upaya menyembuhkan pasien
(inspanning verbintenis)
Hak akses terhadap rahasia kedokteran bisa disimpulkan sebagai kelanjutan dari hak
atas informasi. Atau berdasarkan itikad baik dari pihak dokternya untuk memberikan akses
terhadap rekam mediknya yang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/Menkes/Per/III /2008 diberikan dalam bentuk ringkasan rekam medis.

c. Hak akses terhadap rekam medis adalah sebagai kelanjutan dari kewajiban dokter untuk
memberikan informasi kepada pasien.
Markenstein tentang kepentingan pasien untuk melihat data-data rekam medis adalah :

1. kepentingan yang terletak di bidang finansial dalam arti untuk dapat menilai
apakah ia boleh memperoleh pembayaran kembali ataupun ganti kerugian;
2. kepentingan proses peradilan yang menurut rasa keadilan kedua pihak yang
berperkara seharusnya mempunyai hak akses yang sama terhadap informasi
yang relevan untuk diajukan pada proses peradilan;
3. kepentingan pengobatan yang diperlukan untuk meneruskan pengobatannya
pada pemberi pelayanan lain atas dasar data-data yang ada;
4. kepentingan yang bersangkutan dalam pengamanan yang menyangkut data
pribadinya (privacy).

Hak Atas Privacy


Hak privacy ini bersifat umum dan berlaku untuk setiap orang. Inti dari hak ini adalah
suatu hak atau kewenangan untuk tidak diganggu. Setiap orang berhak untuk tidak dicampuri
urusan pribadinya oleh lain orang tanpa persetujuannya. Hak atas privacy disini berkaitan
dengan hubungan terapeutik antara dokter-pasien ( fiduciary relationship ). Hubungan ini di
dasarkan atas kepercayaan bahwa dokter itu akan berupaya semaksimal mungkin untuk
memberikan pelayanan pengobatan. Pula kepercayaan bahwa penyakit yang di derita tidak
akan diungkapkan lebih lanjut kepada orang lain tanpa persetujuannya.
Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diatur bahwa
penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Hak Tolak Ungkap


Hak tolak ungkap adalah tejemahan terhadap istilah bahasa Belanda
”verschoningsrecht” yang diatur dalam berbagai peraturan yang menyangkut kewajiban
menyimpan rahasia kedokteran. Artinya bagi si pemegang rahasia (orang yang dipercayakan
suatu rahasia) diwajibkan untuk menyimpan dan tidak sembarangan mengungkapkan rahasia
tersebut kepada orang lain tanpa izin pemilik.
Ketentuan pidana yang berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran selain
diatur dalam pasal 79 Undang Udang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga
diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana sebagai berikut:
a.       Pasal 224 KUHP Barang siapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa
menurut undang-undang denagn sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang
menurut undang undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman.
(1)    dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
(2)    dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
 
b.      Pasal 322 KUHP Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun
yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
denda paling banyak enam ratus rupiah.
c.       Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan
sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk
memberikan keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini
adalah kewajiban hukum bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran.
d.      KUHP pasal 322 memberi ancaman hukuman terhadap mereka yang dengan
sengaja membocorkan rahasia yang seharusnya tidak diungkapkan kepada orang
lain. Jika ia membocorkan rahasia itu maka orang yang dirugikan dapat
mengadakan tuntutan atas dasar pasal 322 ini. Jika dilihat dari sudut rahasia
kedokteran maka sekilas tampaknya seolah-olah ada dua peraturan yang
bertentangan dalam ketentuan tersebut. Dalam hal ini jika terdapat suatu kasus dan
dokter berpendapat bahwa demi kebaikan pasien rahasia kedokteran sebaiknya
tidak diungkapkan maka dokter tersebut mempergunakan hak tolak ungkap yang
diberikan berdasarkan ketentuan : pasal 1909 KUH Perdata,pasal 322 KUHP,
pasal 170 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, dan kode etik, lafal
sumpah dokter. Nantinya diserahkan kepada hakim untuk mempertimbangkan
apakah dokter tersebut harus atau tidak mengungkapkan rahasia kedokteran, hal
ini didasarkan pasal 170 ayat (2) KUHAP , jika hakim berpendapat bahwa dokter
itu harus mengungkapkan maka dapat dianggap bahwa dokter itu dibebaskan dari
kewajiban menyimpan rahasia kedokteran oleh Pengadilan. Ini juga sejalan
dengan ketentuan dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dan Permenkes
tentang Rekam Medis.
Prof Eck mengemukakan justifikasi pengungkapan rahasia kedokteran dapat
didasarkan kerena:
a.                   Izin dari yang berhak ( pasien);
b.                  Keadaan mendesak atau terpaksa.
c.                   Peraturan Perundang-undangan;
d.                  Perintah jabatan yang sah.
Alasan penghapus pidana: pasal 48, 50,52 KUHP. Berkaitan dengan rahasia
kedokteran ini memang tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga sarat dengan
masalah etik, bagaimana jika suami datang ke praktik dokter diantar oleh isterinya sedang
ternyata suami tersebut mengidap penyakit menular seksual, rahasia ini jika diungkapkan di
depan isterinya dampaknya mungkin akan menimbulkan perpecahan rumah tangga. Dalam
hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk
mengungkapkan, karena mereka datang berdua. Namun dalam hal ini sebaiknya dokter
membicarakan terlebih dahulu dengan pasiennya ( suami ), apakah isterinya boleh
mengetahui rahasia kedokteran tersebut. Secara teori sebenarnya dokter dapat tidak
menjawab pertanyaan pasien tentang penyakitnya , dalam hal:
a.       pada pemberian terapi placebo;
b.      jika informasi yang diberikan bahkan akan merugikan atau memperburuk
keadaan pasien itu sendiri;
c.       apabila pasien belum dewasa;
d.      pasien berada di bawah pengampuan . ( Leenen).
Juga persoalan lain misalnya seseorang menderita penyakit menular yang berpotensi
wabah, ada pengecualian melalui kewajiban pelaporan penyakit wabah yang diatur sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun prinsip privacy pasien tetap harus dijaga.
Juga bagaimana jika rahasia kedokteran pasien sudah diungkapkan kepada media massa oleh
pasien sendiri sehingga menyudutkan dokternya, seharusnya dokter mempunyai hak jawab
karena rahasia kedokteran itu sudah diungkap oleh pasien itu sendiri.

Pertemuan 13. Pelepasan Informasi


Kesehatan Paper Based
PELEPASAN INFORMASI KESEHATAN PAPER BASED
 
Pelepasan Informasi Kesehatan terdapat 3 macam alur prosedur pelepasan informasi
medis kepada pihak ketiga yaitu :
 
a.         Prosedur Pelepasan Informasi Kepada Pihak Ketiga Non Pengadilan
        Prosedur pelepasan informasi kepada pihak ketiga non pengadilan terdiri dari
pelepasan informasi guna klaim asuransi dan permintaan resume medis.
        Prosedur yang telah ditetapkan untuk dapat mengambil pemeriksaan
penunjang atau resume medis guna klaim asuransi yaitu apabila pihak ketiga
merupakan petugas asuransi yang menjadi mitra kerjasama dari pasien, harus
membuat surat ijin secara tertulis  atau surat hak kuasa (tidak dengan lisan atau
kuitansi pembayaran) yang ditanda tangani oleh pasien yang bersangkutan, jika
bukan pasien tersebut yang mengambil (famili atau orang lain). Bila pasien tidak
dapat atau belum membuat surat ijin secara tertulis, maka pihak Fasilitas pelayanan
kesehatan akan menyediakan surat ijin tersebut yang diganti dengan surat
permohonan.
        Setelah pemohon mengajukan permohonan pelepasan informasi dengan
membawa surat kuasa pelepasan informasi Rekam Medis pasien kepada petugas
pelayanan serta mengisi surat permohonan pelepasan informasi Rekam Medis dari
Fasilitas pelayanan kesehatan beserta persyaratannya, seperti Kartu Tanda
Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Rujukan, Fotokopi kartu peserta asuransi, dll.
Selanjutnya petugas menerima surat permohonan yang diajukan, kemudian
mencatat surat permohonan tersebut ke dalam buku ekspedisi, lalu
kemudian mengambil berkas Rekam Medis pasien pada ruang penyimpanan berkas
pasien  kemudian memeriksa berkas Rekam Medis pasien tersebut. Apabila data
sosial dan data medis pasien yang bersangkutan sudah lengkap, maka petugas
Rekam Medis membuat dan mengisi draft permohonan pelepasan informasi Rekam
Medis tersebut. Akan tetapi, apabila data sosial pasien dalam berkas Rekam Medis
belum lengkap, maka petugas Rekam Medis melengkapi data sosial terlebih
dahulu. Sedangkan apabila data medis pasien yang belum lengkap, maka petugas
Rekam Medis mencari dokter yang merawat untuk melengkapi data medis pasien
tersebut, kemudian petugas Rekam Medis membuat dan mengisi draft permohonan
pelepasan untuk dibuatkan surat pengantar pengajuan klaim kepada PT. Asuransi
dimana pasien menjadi anggota dari asuransi tersebut. Jika pemohon menginginkan
pembuatan resume medis, Semua permintaan copy Rekam Medis
harus tertulis dengan menggunakan formulir “Permintaan Salinan
RM” yang disediakan oleh Fasilitas pelayanan kesehatan. Didalam
ruang Rekam Medis, petugas mengisi formulir permintaan salinan Rekam Medis
yang nantinya akan dicopy, dilegalisir dan dilampirkan oleh pihak petugas
pelayanan informasi kesehatan serta meminta rincian biaya perawatan sebelumnya.
        Kemudian petugas meminta autentifikasi kepada dokter yang merawat untuk
mengisi dan menandatangani formulir klaim maupun surat-surat hukum lain guna
mendapatkan persetujuan dokter. Setelah mendapat tanda tangan dokter yang
merawat, kemudian petugas pelayanan informasi kesehatan meminta pemohon
untuk mengisi dan menandatangani bukti serah terima salinan
Rekam Medis atau menandatangani buku pernyataan pelepasan informasi,
meminta melanjutkan pembayaran pada bagian administrasi lalu
petugas memberikan copy salinan Rekam Medis, resume medis serta
memberikan perincian biaya pelayanan yang sebelumnya telah
dipinjam. Kemudian Rekam Medis asli berikut bukti permintaan
salinan dan bukti serah terima salinan Rekam Medis  disimpan
kembali oleh petugas yang berwenang.
        Bahwa dalam pelepasan informasi Rekam Medis bagi pasien pribadi yang
ingin mengetahui riwayat pasien itu sendiri ataupun pihak keluarga yang diminta
langsung oleh pasien, penggunaan izin secara lisan dapat dilakukan pemrosesan
tanpa harus ada persetujuan ijin secara tertulis atau tanpa memberikan surat kuasa.
Hasil penunjang medis seperti hasil Ultrasonography (USG) ataupun hasil
Rontgen diberikan pada saat pemeriksaan. Bagi pihak asuransi yang berkaitan
dengan pembayaran keuangan, untuk copy laboratorium atau copy resep
pengobatan, pasien harus membawa rincian biaya perawatan rawat inap maupun
rawat jalan. Untuk isi dari Rekam Medis yang boleh diberikan adalah resume
medis dan hasil pemeriksaan penunjang (Laboraturium, Radiologi, USG, dll).
        Pelepasan informasi kepada pihak asuransi sebelumnya telah ada ijin tertulis
dari pasien, yakni surat kuasa persetujuan antara pasien sebagai anggota asuransi
dan pihak asuransi sendiri yang merupakan persyaratan wajib pengajuan klaim.
Untuk surat ijin tersebut, hanya berlaku 30 hari setelah tanggal pembuatan. Hal ini
sebagai bukti bahwa pihak pasien telah memberikan wewenang kepada
pihak asuransi untuk mengambil Rekam Medisnya guna keperluan klaim asuransi.
        Kelengkapan lain yang diajukan oleh asuransi seperti kwitansi panjang
bermaterai maupun blanko pengisian dari PT. Asuransi, sementara pengisian
formulir dilakukan oleh pihak Fasilitas pelayanan kesehatan.
 
b.          Prosedur Pelepasan Informasi Kepada Pihak Ketiga Dalam Lingkup Pengadilan
        Prosedur Pelepasan Informasi kepada pihak ketiga dalam lingkup pengadilan
terdiri dari pelepasan informasi guna klaim Jasa Raharja dan permintaan Visum
Et Repertum. Untuk prosedur pelepasan informasi guna klaim Jasa Raharja dan
permintaan Visum Et Repertum, hampir sama dengan proses pelepasan
informasi guna klaim Asuransi dan permintaan resume medis, hanya saja untuk
permintaan Visum Et Repertum, diharuskan ada surat resmi dari pihak
pemohon yaitu penyidik atau polisi yang diberi tanggungjawab langsung dari pihak
pemohon (Satlantas / Reskrim).
        Pada wawancara yang telah dilakukan diketahui bahwa dalam pelepasan
informasi Rekam Medis untuk keperluan Visum Et Repertum dan bukti
pengadilan, pihak pemohon yaitu penyidik tidak memerlukan ijin tertulis dari
pasien, namun tetap harus menunjukkan surat resmi dari kepolisian maupun dari
pengadilan yang ditujukan kepada direktur Fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien
yang akan divisum merupakan pasien yang dirawat di Fasilitas pelayanan
kesehatan, dimana pasien tersebut mempunyai riwayat kasus terakhir yang
bersangkutan dengan kepolisian. Pada pelaksanaan pelepasan informasi, kasus
yang bisa dilakukan Visum Et Repertum di Fasilitas pelayanan kesehatan,
seperti kasus perkosaan atau pelecehan seksual, kasus penganiayaan/kriminal,
kasus kecelakaan, kasus keracunan, penganiayaan anak atau Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) dan kasus-kasus umum lainnya yang bersangkutan dengan
hukum.
 
c.           Prosedur Pelepasan Informasi Kepada Pihak Pendidikan Atau Penelitian.
Prosedur pelepasan informasi guna penelitian di Unit Kerja Rekam Medis Fasilitas
pelayanan kesehatan, dimana Institusi pendidikan yang berkepentingan harus membawa surat
permintaan kerjasama dengan Fasilitas pelayanan kesehatan, selanjutnya pihak Diklat
Fasilitas pelayanan kesehatan memproses permintaan tersebut dengan meminta disposisi dari
Direktur Fasilitas pelayanan kesehatan. Setelah disetujui, pihak Diklat mengirimkan surat
balasan kepada Instansi pendidikan untuk dapat melakukan penelitian di Fasilitas pelayanan
kesehatan. Selanjutnya pihak diklat menyerahkan surat disposisi kepada Asisten Manajer
Rekam Medis. Penelitian dapat dilakukan dengan persyaratan dalam membuka informasi
Rekam Medis, peneliti harus tetap berada di dalam ruangan tanpa boleh membawanya ke luar
dari ruangan Unit Kerja Rekam Medis.
Dari proses pelaksanaan pelepasan informasi kepada pihak ketiga, bahwa untuk setiap
permintaan Rekam Medis yang digunakan untuk pendidikan maupun penelitian belum
ditetapkan Standar Operasional Prosedur. Hal ini belum sesuai dengan Permenkes
RI No. 269/Menkes/Per/III/2008 pasal (14) yang menyebutkan “Pimpinan
sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak,
pemalsuan, dan / atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak
berhak terhadap Rekam Medis”. Dimana masih terbukanya peluang rentan jatuhnya
informasi kepada pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya belum dioptimalkannya
penggunaan ijin tertulis pada setiap pengeluaran informasi medis dimana hanya diganti
dengan surat permohonan saja. Menurut PerMenKes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008
BAB V Pasal 12 ayat (4) menyebutkan bahwa “Ringkasan Rekam Medis sebagaimana
dimaksud dapat dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas
persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak.

Pertemuan 14. Pelepasan Informasi


Kesehatan Elektronik
PELEPASAN INFORMASI KESEHATAN ELEKTRONIK

Secara umum telah disadari bahwa informasi yang didapat dari rekam medis
sifatnya rahasia. Informasi di dalam rekam medis bersifat rahasia karena hal ini
menjelaskan hubungan yang khusus antara pasien dengan dokter yang wajib
dilindungi sesuai dengan kode etik kedokteran dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 pasal 3 disebutkan
bahwa yang wajib menyimpan rahasia antara lain tenaga kesehatan dan perawat
(DepKes, RI. 1997).

PerMenKes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008 mengatur masalah kerahasiaan


suatu informasi yang menyangkut informasi medis pasien pada pasal:
Pasal 10 : Rekam medis merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiaannya.
Pasal 11 :

(1)                            Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh


dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis
pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2)                            Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi
rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa
izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12 :

(1)   Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.

(2)   Isi rekam medis merupakan milik pasien

(3)   Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk
ringkasan rekam medis.

(4)   Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat


diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau
atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu.

Pasal 13 :

(1)                     Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai :

(a)    Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;

(b)   Alat bukti dalam proses penegakan hukum;

(c)    Keperluan pendidikan dan penelitian

(d)   Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan

(e)    Data statistik kesehatan.

(2)                     Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf


c yang menyebutkan identitas pasien harus mendapat persetujuan
secara tertulis dari pasien atau ahli warisnya dan harus dijaga
kerahasiaannya.

(3)                     Pemanfaatan rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian


tidak diperlukan persetujuan pasien, bila dilakukan untuk kepentingan
negara.

Pasal 14:

Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak,


pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak
terhadap rekam medis

Pengungkapan Informasi Kesehatan

Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi terdapat tiga masalah etik, yaitu :

a.       Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui (need to know principle).


b.      Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu
(blanked authorization).

c.       Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan


sekunder (secondary release).

Secara tradisional, standar pengungkapan infomasi adalah kebutuhan untuk


mengetahui apabila suatu perusahaan asuransi menerima permintaan pembayaran
dari seorang pasien dengan tindakan yang telah dijalaninya, maka surat permintaan
informasi dikirimkan ke sarana kesehatan terkait dan profesional Management
Informasi Kesehatan memeriksa legitimasi kelengkapan persyaratan secara seksama
kemudian akan :

a.       Membandingkan tanda tangan pasien pada surat tersebut dengan


tanda tangan yang telah diperolehnya pada saat perawatan.

b.      Meneliti tanggalnya untuk memastikan bahwa surat permintaan


bertanggal sesudah perawatan, sehingga dapat dipastikan bahwa
pasien menyadari atas informasi apa yang diotorisasikannya untuk
diungkapkan.

c.       Meneliti kebenaran bahwa perusahaan asuransi tersebut adalah


perusahaan yang sesuai dengan polis asuransi yang dimiliki oleh
pasien.

d.      Meneliti tentang informasi apa yang diminta dan apakah peminta


memang berwenang meminta informasi tersebut.

Pasien kadang kala menandatangani otorisasi yang tidak tertentu (blanket


authorization) tanpa memahami implikasinya. Peminta informasi kemudian dapat
menggunakannya untuk bertahun-tahun. Masalah pada kasus demikian adalah
bahwa pasien tidak dapat mengantisipasi penggunaan otorisasi tersebut dikemudian
hari. Pelepasan informasi kepada pihak lain (secondary release) sering muncul sejak
era komputerisasi informasi kesehatan. Suatu permintaan yang sah dapat diproses
untuk pembayaran tagihan asuransi, tetapi tidak menjamin keamanan dikemudian
hari. Peminta pertama dapat meneruskan informasi kepada pihak lain tanpa
otorisasi pasien lagi.

Pelepasan Informasi Data Rekam Medis

Pelepasan adalah proses, cara atau perbuatan (hal dan sebagainya) menjadikan
bebas atau tidak ada ikatan (DepDiknas, 2008)

Pelepasan informasi menggunakan formulir-formulir sebagai berikut :

a.       Ringkasan (Resume) keluar


Menurut PerMenKes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008 pasal 4 ayat 2
disebutkan bahwa isi ringkasan pulang (resume keluar) sekurang-kurangnya
memuat :

1)      Identitas pasien

2)      Diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat

3)      Ringkasan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis akhir,


pengobatan dan tindak lanjut; dan

4)      Nama dan tanda tangan dokter yang memberikan pelayanan


kesehatan.

Resume ini harus disingkat dan hanya menjelaskan informasi penting tentang
penyakit, pemeriksaan yang dilakukan dan pengobatannya. Resume ini harus
ditulis segera setelah pasien keluar dan isinya menjawab pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:

1)      Mengapa pasien masuk rumah sakit?

2)      Apa hasil-hasil pemeriksaan laboratorium, roentgen dan fisik?

3)      Apa pengobatan medis maupun operasi yang diberikan?

4)      Bagaiamana keadaan pasien pada saat keluar?

5)      Apa anjuran pengobatan atau perawatan yang diberikan?

b. Ringkasan Riwayat Poliklinik

Menurut PerMenKes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008 pasal 3 ayat 1


disebutkan bahwa isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana
pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat:

1)      Identitas pasien

2)      Tanggal dan waktu

3)      Hasil anamneses

4)      Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik

5)      Diagnosis

6)      Rencana penatalaksanaan

7)      Pengobatan dan atau tindakan

8)      Pelayanan yang telah diebrikan kepada pasien

9)      Persetujuan tindakan bila diperlukan

b. Formulir asuransi yang terkait dengan pelayanan kesehatan


Formulir yang terkait dengan pelayanan kesehatan dari suatu asuransi yang
diberikan kepada dokter. Prosedur pelepasan informasi medis adalah sebagai
berikut:

a.       Menerima konsep resume yang telah dibuat oleh dokter yang merawat dari
berkas rekam medis pasien keluar yang telah di assembling dan dilakukan
pengecekan data pasien berdasarkan berkas rekam medis pasien tersebut.

b.      Konsep resume yang telah diteliti kebenarannya diketik dan diprint rangkap
dua.

c.       Menyerahkan resume tersebut kepada dokter yang merawat untuk ditanda


tangani.

d.      Hasil resume rangkap dua tersebut di serahkan ke bagian keuangan dan ke


dalam file rekam medis untuk dicatat ke dalam buku kegiatan korespondensi
rekam medis. Konsep resume disimpan sebagai arsip pokok urusan
korespondensi dan pengendalian mutu rekam medis.

e.       Membuat surat bukti penerimaan atas klaim biaya perawatan pasien baik
dari perusahaan penanggung biaya pasien, perusahaan asuransi maupun
pihak ketiga yang memerlukan informasi kesehatan berdasarkan surat kuasa
atau surat ijin tertulis dari dokter dan pasien untuk kepentingan pasien.

f.       Melakukan pembukuan atas semua permintaan informasi kesehatan pasien


dengan bukti pelepasan informasi yang bermaterai (DepKes, RI. 1997).

 
Pelepasan Informasi Data Rekam Medis
Peminjaman rekam medis untuk keperluan pembuatan makalah, riset, dan lain-lain
oleh seorang dokter/tenaga kesehatan lainnya sebaiknya dikerjakan di kantor rekam
medis. Mahasiswa kedokteran dapat meminjam rekam medis jika dapat menunjukkan
surat pengantar dari dokter ruangan. Dalam hal pasien mendapat perawatan lanjutan di
rumah sakit/institusi lain, berkas rekam medis tidak boleh dikirimkan, akan tetapi cukup
diberikan resume akhir pelayanan.
 
Penyampaian informasi rekam medis kepada orang atau badan yang diberi kuasa
pasien, misalnya pihak asuransi yang menanggung biaya pengobatan, dipelukan surat kuasa
pasien atau yang bertanggungjawab terhadap pasien tersebut (bila pasien tak kuasa membuat
surat kuasa). Surat kuasa ini dapat disediakan oleh sarana kesehatan atau rumah sakit
yang bersangkutan. Selanjutnya pemegang kuasa harus menunjukkan identitas diri dan
kemudian harus memperoleh ijin dari pimpinan sarana kesehatan setelah disetujui oleh
komite medis dan rekam medis. Untuk data sosial boleh disampaikan tanpa perlu
memperoleh ijin pimpinaan sarana kesehatan.
 
Apabila diperlukan untuk pengadilan, maka bukti pelayanan yang terrekam dan
tercatat dalam formulir rekam medis harus dianggap sebagai dokumen resmi kegiatan
pemberi pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaran isinya. Pimpinan
sarana kesehatan dapat memberikan salinan rekam medisnya atas pemintaan pengadilan.
Bila diminta aslinya harus ada permintaan secara tertulis dan pada saat diserahkan harus
ada tanda terima dari pengadilan pada setiap lembar rekam medis yang diserahkan dengan
tanda bukti penerimaan. Bila dijumpai keraguan terhadap isi DRM pengadilan
dapat memerintahkan saksi ahli untuk menanyakan arti dan maksud yang terkandung
di dalammya.
 
Perlindungan data Informasi Kesehatan Elektronik
Kasus penyalahgunaan data rekam medis di Indonesia memang masih jarang. Namun
dengan semakin berkembangnya bidang rekam medis dan informasi kesehatan seiring dengan
semakin berkembangnya teknologi informasi maka penyalahgunaan data rekam medis
(terutama data elektronik) menjadi sangat mungkin. Berikut adalah beberapa tips untuk
melindungi data rekam medis elektronik:

1. Membuat SOP yang tepat untuk pelepasan informasi kesehatan pasien dan
memberikan pemahaman kepada seluruh petugas medis bahwa rekam medis
pasien bersifat rahasia.
2. Melakukan pembatasan hak akses terhadap informasi pasien sesuai dengan hak
dan wewenangnya.
3. Membuat fire wall untuk melindungi data dari luar.
4. Merekrut SDM yang memiliki kompetensi di bidang cyber security untuk
mengetahui dengan cepat apabila terjadi penyalahgunaan informasi dan
meminimalisir informasi yang telah disalahgunakan tersebar luas.

Pertemuan 15. Pemahaman Malpraktik


PEMAHAMAN MALPRAKTIK
 
 
1. Pengertian

Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter,


dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli,
kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas
profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran
etika.

Sedangkan Veronica Komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya


adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukan dokter. Selanjutnya Herman Hediati Koeswadji
menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau
praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam
menjalankan profesi medik yang mengandunf ciri-ciri khusus.

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek
profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956)

Malpraktik Kedokteran adalah dokter atau orang yang ada di bawah


perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif)
dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar
standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran, atau
dengan melanggar hukum (tanpa wewenang) karena tanpa informed consent, tanpa
SIP (Surat Ijin Praktik), atau tanpa STR (Surat Tanda Registrasi), tidak sesuai
dengan kebutuhan medis pasien, dengan menimbulkan (causal verband) kerugian
bagi tubuh, kesehatan fisik, mental, dan atau nyawa pasien sehingga membentuk
pertanggungjawaban hukum bagi dokter.

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP dan UU lain terhadap


tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal sebagai
berikut:

a.       Melalaikan kewajiban

b.      Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja
kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai
tenaga kesehatan

c.       Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini.

Malpraktek secara umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian


melibatkan lima elemen :

(1) tugas yang mestinya dikerjakan,

(2) tugas yang dilalaikan,

(3) kerugian yang ditimbulkan,

(4) Penyebabnya, dan

(5) Antisipasi yang dilakukan.


 

2.  Unsur Malpraktik

Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa


malpraktek atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):

a.       Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya


yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.

Contoh: :

Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:

1.      Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan


asuhan keperawatan.

2.      Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk


mengubah kondisi klien.

3.      Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.

b.      Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi


sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang
seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Contoh:

1.      Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti
tingkat kesadaran pada saat masuk.

2.      Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan


sebagai kebijakan rumah sakit.

3.      Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan


yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll)

c.       Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya


menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.

Contoh:

Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran


terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan
cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan
mengakibatkan fraktur.

d.      Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat


dituntut secara hukum.

Contoh: :
Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.

Dokter atau petugas kesehatan dikatakan melakukan malpraktek jika :

1.      Kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang sudah


berlaku umum dikalangan profesi kesehatan.

2.      Melakukan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi.

3.      Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan dengan ketidak hati-


hatian.

4.      Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik


kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut
penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan
adanya 4 unsur berikut :

1.      Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.

2.      Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim digunakan.

3.      Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

4.      Secara factual kerugian disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Kerugian ini kadang kala tidak memerlukan pembuktian dari pasien dengan
diberlakukannya doktrin les ipsa liquitur, yang berarti faktanya telah berbicara.
Misalnya terdapatnya kain kassa yang tertinggal dirongga perut pasien, sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus
membuktikan tidak adanya kelalaian dalam dirinya. Namun tetap saja ada elemen
yuridis yang harus dipenuhi untuk menyatakan telah terjadi malpraktek yaitu :

1.      Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat. Tidak berbuat disini
adalah mengabaikan pasien dengan alasn tertentu seperti tidak ada biaya
atau tidak ada penjaminannya.

2.      Tindakan berupa tindakan medis, diagnosis, terapeutik dan manajemen


kesehatan.

3.      Dilakukan terhadap pasien.

4.      Dilakukan secara melanggar hokum, kepatuhan, kesusilaan atau prinsip


profesi lainnya.

5.      Dilakukan dengan sengaja atau ketidak hati-hatian (lalai, ceroboh).

6.      Mengakibatkan, salah tndak, ras sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh,


kematian dan kerugian lainnya.

 
3. Jenis Malpraktik

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak
sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam
malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang
dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa
mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi
dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang
biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik
(yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu
malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan
malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).

A.    Malpraktik Medik (medical malpractice)

John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional


negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct
result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik
merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka
berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan
ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).

Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional


misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a
practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice.
(Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau
kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang
dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan
malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.

B.     Malpraktik Etik (ethical malpractice)

Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika


kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia
yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang
berlaku untuk dokter.

C.    Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan


profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.

Malpraktik Yuridik meliputi:

a.       Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)


Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar
janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik
perdata antara lain :

b.      Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan

c.       Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna

d.      Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat

e.       Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

Malpraktik Pidana (criminal malpractice)

Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak


dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan
tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative
(tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus),
dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesengajaan atau
kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :

a.       Melakukan aborsi tanpa tindakan medik

b.      Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja

c.       Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam


keadaan      darurat

d.      Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar

e.       Membuat visum et repertum tidak benar

f.       Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan


kapasitasnya sebagai ahli

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:

a.       Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut

b.      Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak


mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:

a.       Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin

b.      Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya

c.       Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.


d.      Tidak membuat rekam medik.

D.    Upaya Pencegahan Malpraktik

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga


medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan
tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

a.       Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan


upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

b.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed


consent.

c.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau


dokter.

e.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan


segala kebutuhannya.

f.       Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan


masyarakat sekitarnya.

E.     Penanganan Malpraktik

Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah


hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.

Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan


hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan
profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika
kedokteran.

Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter,


merupakan bidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini
belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang
merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya
tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang
hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum
Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum
Kesehatan.

Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan


dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian
Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah
hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum
kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic
law.

Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum


kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter
dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi
Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan
dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical
Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada
persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu
kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 36
Tahun 2009, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau
dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing
karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh
kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat.
Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu
rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas
Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker
bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat
diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system
kesehatan nasional.

F.     Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.


Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan
tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti
atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan
yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan
janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai
penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam
semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu
menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena
perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana
penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah
berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak
di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat
dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi
dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan
tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin
seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak
menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang
membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara
sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang
perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan
keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya
sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi
(peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).

Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau


kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara
penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian
kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai
anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut
ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua)
disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam
mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan
terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar
kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya
seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan
pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di


dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini
akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah
pelanggaran hukum.

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden


No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang
bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter
dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom,
mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana
Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan,
Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK,
ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena
anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada
sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan
membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan
merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan
kurang memikirkan kepentingan pasien.

Anda mungkin juga menyukai