Anda di halaman 1dari 39

18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota Semarang dengan luas wilayah 373,70 Km2. Secara administratif Kota Semarang

terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang ada, terdapat 2

Kecamatan yang mempunyai wilayah terluas yaitu Kecamatan Mijen, dengan luas wilayah

57,55 Km2 dan Kecamatan Gunungpati, dengan luas wilayah 54,11 Km2. Kedua Kecamatan

tersebut terletak di bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan yang sebagian besar

wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Sedangkan kecamatan yang

mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan, dengan luas wilayah 5,93 Km2

diikuti oleh Kecamatan Semarang Tengah, dengan luas wilayah 6,14 Km2.

Grafik 1.1 Wilayah Administrasi Kota Semarang (Km2)

Sumber : www.semarangkota.go.id (2015)

Kota Semarang memiliki posisi geografi yang strategis karena berada pada jalur lalu

lintas ekonomi pulau Jawa, dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah yang terdiri

dari empat simpul pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara; koridor Selatan ke arah kota-
19

kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-

Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/ Grobogan; dan Barat menuju Kabupaten

Kendal. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan

terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta

transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transportasi Regional Jawa Tengah dan

Kota Transit Regional Jawa Tengah.

Posisi lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa,

secara langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. Seiring dengan perkembangan

Kota, Kota Semarang berkembang menjadi kota yang memfokuskan pada perdagangan dan

jasa. Berdasarkan lokasinya, kawasan perdagangan dan jasa di Kota Semarang terletak

menyebar dan pada umumnya berada di sepanjang jalan-jalan utama. Kawasan perdagangan

modern, terutama terdapat di Kawasan Simpanglima yang merupakan urat nadi perekonomian

Kota Semarang. Di kawasan tersebut terdapat setidaknya tiga pusat perbelanjaan, yaitu

Matahari, Living Plaza (ex-Ramayana) dan Mall Ciputra, serta PKL-PKL yang berada di

sepanjang trotoar. Selain itu, kawasan perdagangan jasa juga terdapat di sepanjang Jl.

Pandanaran dengan adanya kawasan pusat oleh-oleh khas Semarang dan pertokoan lainnya

serta di sepanjang Jl. Gajahmada. Kawasan perdagangan jasa juga dapat dijumpai di Jl.

Pemuda dengan adanya DP mall, Paragon City dan Sri Ratu serta kawasan perkantoran.

Kawasan perdagangan terdapat di sepanjang Jl. MT Haryono dengan adanya Java Supermall,

Sri Ratu, ruko dan pertokoan. Adapun kawasan jasa dan perkantoran juga dapat dijumpai di

sepanjang Jl. Pahlawan dengan adanya kantor-kantor dan bank-bank. Belum lagi adanya pasar-

pasar tradisional seperti Pasar Johar di kawasan Kota Lama juga semakin menambah aktivitas

perdagangan di Kota Semarang.

Kota semarang yang merupakan kota industri, perdagangan, jasa dan pendidikan

menarik pendatang dari kota lain untuk tinggal di kota semarang dengan berbagai alasan, hal
20

ini menuntut pemerintah kota semarang untuk menegelola ruang sebaik-baiknya agar seluruh

warga kota semarang dapat tinggal dengan nyaman di kota Semarang. Berikut merupakan

demografi kota semarang sampai dengan tahun 2015

Tabel 1.1 Demografi kota Semarang (jiwa)

100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0

perempuan laki - laki Column2

Sumber: BPS Kota Semarang (Desember 2016)

Bila dilihat pertumbuhan penduduk menurut kecamatan pada tahun 2016 kondisinya

sangat bervariasi. Hal ini terjadi karena dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang masing-

masing mempunyai karakteristik yang berbeda, ada kecamatan yang terletak dipusat kota

sehingga pertumbuhannya cenderung kecil bahkan negatif, sebaliknya kecamatan-kecamatan

di pinggir kota banyak diantaranya merupakan pengembangan areal perumahan atau

pengembangan industri sehingga pertumbuhan penduduknya cukup tinggi. Dilihat dari sisi

kepadatan penduduk kota semarang:


21

Tabel 1.2
Kepadatan kota Semarang
Jumlah penduduk periode Agustus 2016
Kecamatan Jumlah
Semarang Tengah 61.704
Semarang Barat 160.424
Semarang Utara 124.028
Semarang Timur 76.428
Semarang Selatan 71.734
Gayamsari 74.229
Gajah Mungkur 60.013
Genuk 107.023
Pedurungan 187.174
Candisari 81.655
Banyumanik 136.453
Gunungpati 88.461
Tembalang 169.889
Tugu 32.855
Ngaliyan 135.919
Mijen 66.611
Total 1.634.600
Sumber : BPS KotaSemarang(Desember 2016)

Data demografi tersebut menunjukan bahwa kepadatan tertinggi terletak di kecamatan

Pedurungan yang mencapai 187,174 jiwa. Dengan kepadatan penduduk seperti tersebut maka

membutuhkan ruang yang cukup untuk memberikan fasilitas dan pelayanan umum. Oleh

karena itu perlu adanya rencana tata ruang yang berkelanjutan untuk mengantisipasi berbagai

permasalahan yang muncul di kemudian hari. Untuk itu diperlukan penataan wilayah dengan

tujuan. Tujuan Penataan ruang adalah mewujudkan Kota Semarang sebagai pusat perdagangan

dan jasa berskala internasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Menurut

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang di Kabupaten atau

Kota:

1. Perkembangan permasalahan Provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan

Kabupaten/ Kota;

2. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kanupaten/ kota;


22

3. Keselarasan aspirasi pembangunan Kabupaten/ Kota;

4. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

5. Rencana pembangunan jangka panjang;

6. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota yang berbatasan;

7. Rencana Tata Ruang Ruang Kawasan Strategis Kota/ Kabupaten;

8. Rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau;

9. Rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka non hijua;

10. Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki,

angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana yang

dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial

ekonomi dan pusat pertumbuhan.

Sejalan dengan undang-undang tersebut, kota semarang melakukan perencanaan

Penataan Ruang Wilayah yang di sesuaikan dengan Rencana Jangka Panjang Pembangunan

Kota Semarang. Rencana Tata Ruang Wilayah bertujuan untuk mengarahkan pembangunan

secar strategis dalam pemanfaatan ruang, selain itu dengan disusunnya RTRW pembangunan

antar wilayah lebih serasi, dan uga di jadikan pedoman dalam investasi oleh masyarakat,

pemerintah lain maupun pihak swasta.

Tujuan khusus Penataan ruang adalah mewujudkan Kota Semarang sebagai pusat

perdagangan dan jasa berskala internasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan,

sedangkan kebijakan dan strategi penataan ruang Kota Semarang secara umum terbagi atas:

Kebijakan pengembangan struktur ruang dan Kebijakan pengembangan pola ruang. Kebijakan

pengembangan struktur ruang Kota Semarang dilakukan melalui:

a. Pemantapan pusat pelayanan kegiatan yang memperkuat kegiatan perdagangan dan

jasa berskala internasional.


23

b. Peningkatan aksesbilitas dan keterkaitan antar pusat kegiatan.

c. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem prasarana sarana umum.

Kebijakan pola ruang meliputi kebijakan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan

budidaya. Kebijakan peningkatan pengelolaan Kawasan Lindung meliputi :

a. Peningkatan pengelolaan kawasan yang berfungsi lindung.

b. Pelestarian kawasan cagar budaya.

c. Peningkatan dan penyediaan ruang terbuka hijau yang proporsional di seluruh

wilayah Kota.

Penataan tersebut akan ditegaskan dalam beberapa program pembangunan, program-

program pembangunan tersebut dilaksanakan atas dasar perencanaan yang telah disusun

sebelumnya, Pengembangan pembangunan dibagi dalam beberapa bidang, diantaranya

pembangunan kawasan budidaya yang meliputi :

1. Pengaturan pengembangan kawasan budidaya sesuai dengan daya dukung dan

daya tampung.

2. Perwujudan pemanfaatan ruang yang efisien dan kompak.

3. Pengelolaan dan pengembangan kawasan pantai.

Berdasarkan luas, karakter daerah, koordinasi pelaksanaan pembangunan, kemudahan

dalam penyelesaian masalah, maka pembagian Bagian Wilayah Kota di Kota Semarang

ditentukan melalui pendekatan batas administratif. Bagian Wilayah Kota atau yang disebut

dengan BWK merupakan pembagian wilayah di kota berdasarkan fokus pembangunan yang

telah ditentukan pada perencanaan pembangunan yang telah di tentukan dalam Rencana Tata

Ruang dan Tata Wilayah. BWK dibentuk dengan tujuan agar fokus pembangunan di sebuah

kota bisa berjalan lebih maksimal dan kestabilan kota terjaga, dalam artian jika pembangunan

di fokuskan pada masing-masing bidang pada satu wilayah maka akan membentuk koridor kota
24

yang teratur dan rapi. Untuk itu, dalam Rencana Tata Ruang Kota Semarang Tahun 2010-2030

pembagian BWK ditetapkan sebagai berikut:

a. BWK I meliputi Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan Semarang Timur dan

Kecamatan Semarang Selatan dengan luas kurang lebih 2.223 Ha;

b. BWK II meliputi Kecamatan Candisari dan Kecamatan Gajahmungkur dengan luas

kurang lebih 1.320 Ha;

c. BWK III meliputi Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Semarang Utara

dengan luas kurang lebih 3.522 Ha;

d. BWK IV meliputi Kecamatan Genuk dengan luas kurang lebih 2.738 Ha;

e. BWK V meliputi Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Pedurungan dengan luas

kurang lebih 2.622 Ha;

f. BWK VI meliputi Kecamatan Tembalang dengan luas kurang lebih 4.420 Ha;

g. BWK VII meliputi Kecamatan Banyumanik dengan luas kurang lebih 2.509 Ha;

h. BWK VIII meliputi Kecamatan Gunungpati dengan luas kurang lebih 5.399 Ha;

i. BWK IX meliputi Kecamatan Mijen dengan luas kurang lebih 6.213 Ha; dan

j. BWK X meliputi Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Tugu dengan luas kurang

lebih 6.393 ha.

Penetapan Bagian Wilayah Kota diharapkan penataan kota akan lebih teratur membentu

koridor-koridor kota sesuai dengan perencanaan, koridor kota yang teratur akan mewujudkan

pembangunan kota yang efektif dan efisien karena mobilitas dapat berjalan dengan lancar

sehingga distribusi pembangunan dan ekonomi akan merata. Rencana pendistribusian fasilitas

pelayanan regional dimasing-masing BWK meliputi :

a. Perkantoran, perdagangan dan jasa di BWK I, II, dan III

b. Pendidikan kepolisian dan olah raga di BWK II


25

c. Perkantoran, transportasi udara dan transportasi laut di BWK III

d. Industri di BWK IV dan BWK X

e. Pendidikan di BWK VI dan BWK VIII

f. Perkantoran militer di BWK VII

g. Kantor pelayanan publik di BWK IX

Penataan Bagian Wilayah Kota tersebut dengan tujuan membentuk koridor kota yang

utuh, dari satu Bagian Wilayah Kota ke Wilayah Kota yang lin memiliki jalur untu dapat

berinteraksi dan meungkinkan adanya mobilitas yang memadai. Pembangunan koridor ota dari

satu wilayah ke wilayah yang lain memiliki variasi bidang yang tinggi sehingga diperlukan

kerjasama antar sektor, antar pihak dalam mewujudkan koridor kota sesuai yang diharapkan.

Untuk mewujudkan koridor kota tentu ada beberapa permasalahan yang harus di hadapi

terutama yang berkaitan dengan isu publi, karena pada dasarnya koridor kota dibentuk bukan

saja secara fisik saat ini tetapi juga keberlanjutan untuk generasi mendatang.

Berkaitan dengan urusan penataan ruang, isu strategis yang berkembang adalah

tingginya alih fungsi lahan, tumbuhnya bangunan liar tanpa ijin dan penempatan status

pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang pemerintah Kota Semarang. Untuk

menjawab tantangan isu pada penataan ruang, kebijakan pembangunan diarahkan pada

perwujudan tata ruang kota yang sinergis, serasi dan berkelanjutan didukung oleh dokumen

perencanaan tata ruang yang realistik dan implementatif,penegakan hukum (law enforcement)

yang tegas, dan tersedianya aparat pelaksana yang bertanggung jawab. Untuk mengukur tingkat

keberhasilan dalam urusan penataan ruang, ditetapkan 4 indikator dalam RPJMD 2010-2015.

Arah pembangunan pada urusan perencanaan pembangunan di Kota Semarang, yaitu:

1. Tingkat ketersediaan pranata ruang kota dan kawasan-kawasan khusus kota;

2. Tingkat ketersediaan pranata ruang kota dan kawasan-kawasan khusus kota;


26

3. Kelestarian kawasan kota lama;

4. Tingkat kesesuaian pemanfaatan ruang kota dan tingkat konflik pemanfaatan

peruntukan lahan.

Pada peningkatan efektifitas dan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan daerah, peningkatan kerjasama pembangunan daerah, dan peningkatan

partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah. Hal ini tidak terlepas dari

permasalahan yang terjadi pada urusan perencanaan yaitu mengenai masih adanya

ketimpangan pertumbuhan wilayah, belum maksimalnya tingkat koordinasi lintas sektoral dan

belum teruwujudnya keserasian pembangunan wilayah perbatasan.

Permasalahan dalam penataan ruang terdapat beberapa masalah yang perlu di

selesaikan oleh pemerintah kota Semarang dalam rangkai pencapaian visi dan misi. Beberapa

permasalahan yang perlu segera di selesaikan:

1. Minimnya koordinasi lintas sektoral dalam mewujudkan keserasian pembangunan

wilayah, pembangun yang dilakuakan sendiri-sendiri cenderung menjadikan

pembangunan yang tidak serasi. Koordinasi pembangunan antar sektor masih

sangat minim sehingga pembangunan antar wilayah menjadi terkesan tidak serasi

dalam artian peruntukan lahan tidak sesuai dengan ketentuan pada BWK. Ketidak

sesuain yang pada umumnya terjadi pada kasus alih fungsi lahan yaitu kaitannya

dengan Badan Lingkungan Hidup dengan Dinas Bina Marga;

2. Kurangnya konsistensi untuk melakukan pembangunan berdasarkan BWK yang

telah di tetapkan pada Rencana Pembangunan Kota yang telah di susun sebelumnya

dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah. Lahan yang sedianya diperuntukan

untuk suatu sektor pembangunan tertentu malah justru dimanfaatkan untuk

pembanguann pada sektor lain sehingga koridor pembangunan yang selama ini
27

telah ditetapkan menjadi tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana

Wilayah. Sebagai contoh, Tembalang yang ditetapkan sebagai Kawasan

pendidikan, akan tetapi seiring perkembangan kawasan tersebut maka kawasan

tersebut kemudian berkembang menjadi kawasan pemukiman bahkan merambah

pada pertokoan.

Berdasarkan data dan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti dan melihat

pelaksanaan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah di kota Semarang sehingga mengambil

judul ”Implementasi Rencana Tata Ruang dan Rata Wilayah Kota Semarang”.

Masih banyak masalah tata ruang dan tata wilayah di kota Semarang khususnya di

sektor perindustrian atau BWK IV dan X. Di daerah Genuk masuk dalam BWK IV tetapi di

wilayah Genuk juga terdapat pemukinan warga dan perumnas (perumahan masyarakat

nasional). Faktor-faktor yang menyebabkan wilayah Genuk dapat dikembangkan sebagai

daerah industri (RTRW Semarang tahun 2011-2031), antara lain:

1. Wilayahnya yang masih luas

2. Dekat dengan pelabuhan laut, pergudangan dan pusat perdagangan

3. Dekat dengan sumber tenaga kerja

4. Merupakan jalur arteri primer Jakarta – Surabaya dan jalur ekonomi nasional

5. Angin tidak menuju ke pusat kota

6. Drainase langsung ke laut

Dari berbagai faktor tersebut, sehingga daerah industri Genuk menjadi berkembang

yang ditandai adanya beberapa zona industri yaitu LIK Bugangan Baru, Kawasan Industri

Terboyo Semarang, Kawasan Industri Terboyo Megah, dan Industri- industri di sepanjang jalan

raya Kaligawe. Tetapi perlu disadari bahwa lahan merupakan benda yang banyak dicari tetapi
28

sedikit dimengerti oleh manusia. Lahan dilihat sebagai pemuas kebutuhan (atau bahkan

keserakahan) manusia akan ruang kehidupannya, tidak sebagai kehidupan yang sesungguhnya

atau sebagai sumber daya yang terbatas. Seringkali terjadi dalam menentukan perencanaan,

penggunaan lahan didasarkan pada pertimbangan ekonomis yang biasanya berjangka pendek.

Sesuai dengan RDTRK, pengembangan daerah industri pada BWK IV merupakan sentra

industri bagian timur yang terdiri dari beberapa zona industri dan wilayah industri. Fungsi

industri mencakup industri kecil atau industri yang mengolah potensi lokal, potensi sedang,

industri berat, dan aktivitas pergudangan. Pengembangan lokasi industri kecil diarahkan di

Genuk bagian tengah yang meliputi Kelurahan Muktiharjo Lor, Gebangsari dan Genuksari.

Sedangkan industri berat diarahkan di Kelurahan Trimulyo, Terboyo Kulon, Terboyo Wetan

dan Banjardowo, dengan rencana pengembangan tersebut, harus disesuaikan dengan kondisi

tanahnya berupa tegalan di sebelah selatan Jalan Raya Kaligawe dan di sebelah utaranya

merupakan tanah rawa/tambak. Tanah rawa merupakan tanah yang kurang kuat memikul beban

bangunan terlalu berat sehingga sebaiknya di lokasi ini ditempatkan industri-industri yang

aktivitasnya tidak memerlukan struktur bangunan berat, peralatan berat, maupun menghasilkan

barang-barang berat. Lahan merupakan salah satu komponen dari daya dukung lingkungan,

dengan perkembangan jumlah industri di Genuk mengakibatkan semakin meningkatnya

aktivitas industri yang berdampak pada kualitas lingkungan. Kondisi jalan tidak stabil sebagai

akibat dari banyaknya aktivitas industri yang tidak didukung oleh kestabilan tanah pada daerah

industri Genuk. Kondisi tersebut diperparah oleh rob dan banjir yang terjadi rutin tiap tahunnya

melanda di zona Genuk akibat penurunan muka tanah (amblasan tanah).

Fenomena penurunan muka tanah yang terjadi di Kota Semarang yang memiliki tingkat

terbesar terjadi di Kecamatan Genuk, yaitu >8 cm per tahun (SINDO, Senin 10 November

2014). Disamping adanya fenomena penurunan muka tanah, masalah banjir dan rob bisa

diakibatkan adanya pengurugan lahan yang cukup luas (± 300 ha) yang dilakukan oleh kawasan
29

industri Terboyo Semarang dan kawasan industri Terboyo Megah, dimana kawasan tersebut

sebelumnya merupakan areal tambak yang berfungsi juga sebagai tampungan air hujan. Pada

BWK IV, rob merupakan permasalahan yang sangat serius bahkan berdasarkan pantauan Pusat

Penelitian Sumber Daya Air Bandung tingkat penurunan tanah di wilayah pantai Kota

Semarang 3 – 14,5 cm per tahun sehingga sangat mempengaruhi kegiatan pada BWK IV

terutama pada sarana dan prasarana kota (RDTRK BWK IV).

Salah satu penyebabnya adalah pengambilan air melalui pembuatan sumur artesis.

Dampak banjir dan rob ini tidak hanya dirasakan oleh sebagian kawasan industri, tetapi juga

masyarakat disekitar kawasan industri akibat permukaan tanah permukiman penduduk lebih

rendah dari kawasan industri. Hal ini disebabkan oleh perencanaan industri berada dekat

dengan permukiman penduduk. Sesuai dengan RDTRK yaitu penggunaan lahan untuk zona

industri di Genuk yang meliputi kelurahan Muktiharjo Lor, Gebangsari dan Genuksari,

Trimulyo, Terboyo Kulon, Terboyo Wetan, dan Bandardowo tidak hanya untuk industri, tetapi

juga untuk permukiman, perdagangan dan jasa, serta kawasan pendidikan (RDTRK BWK IV).

Kasus-kasus pencemaran oleh industri juga dapat disebabkan pengetahuan akan pengolahan

limbah yang kurang. Selain industri besar yang menyebabkan pencemaran terberat, industri

rumah tangga pun juga berpotensi menyebabkan pencemaran. Lokasinya berdekatan dengan

permukiman, tetapi tidak memiliki sarana pengolah limbah yang layak. Tak terkecuali

sejumlah pabrik yang berada di kawasan industri Terboyo, juga menimbulkan kasus

pencemaran. Seperti pabrik mebel, aspal, plastik, saus, kecap, bawang goreng, galvanis, tekstil,

kemasan sayur dan buah, serta permen. Pembuangan limbah cair ke Sungai Tapak dikeluhkan

oleh para petani tambak di Mangunharjo karena mematikan ikan dan udang yang dipelihara.

Tanggulnya Sungai Beringin juga masuk dalam kasus pencemaran.


30

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana implementasi Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah kota Semarang?

b. Faktor pendorong dan faktor penghambat apa saja yang dihadapi Pemerintah kota

Semarang dalam mengimplementasikan Rencana Tata Ruang dan Rencana

Wilayah Kota Semarang?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Untuk Mengetahui implementasi Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah kota

Semarang.

b. Untuk mengetahui faktor pendorong dan faktor penghambat yang dihadapi

Pemerintah kota Semarang dalam mengimplementasikan Rencana Tata Ruang dan

Rencana Wilayah Kota Semarang

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Akademis

Penelitian ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan jurusan Ilmu

Administrasi Publik khususnya yang berkaitan dengan Rencana Tata Rencana Wilayah dan

kemudian dapat di dalami pada penelitian selanjutnya.

1.4.2. Kegunaan Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota

Semarang kaitannya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang.

1.5. Kajian Teori

1.5.1. Definisi Administrasi Publik

Banyak para ahli yang memberikan definisi pada Administrasi Publik, menurut Felix

A. Nigro dan L. Loyd G. Nigro (dalam Syafiie, 2006:23) administrasi publik adalah :

1. Administrasi Publik adalah suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan

pemerintahan.
31

2. Administrasi Publik meliputi tiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan

serta hubungan di antara mereka.

3. Administrasi Publik mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijakan

pemerintah, dan karenanya merupakan sebagian dari proses politik.

4. Administrasi Publik sangat erat berkaitan dengan dengan berbagai macam

kelompok swasta dan perorangan dalam menyajikan pelayanan kepada

masyarakat.

5. Administrasi Publik dalam beberapa hal berbeda pada penempatan pengertian

administrasi perseorangan.

Prajudi Atmosudirjo dan Arifin Abdulrachman mendefinisikan administrasi publik

(dalam Syafiie, 2006:24), menurut Prajudi Atmosudirjo administrasi public adalah administrasi

dari negara sebagai organisasi, dan administrasi yang mengejar tercapainya tujuan-tujuan yang

bersifat kenegaraan, sedangkan Arifin Abdulrachman mendifinisikan Administrasi Publik

adalah ilmu yang mempelajari pelaksanaan dari politik negara. Lain halnya dengan Dwight

Waldo yang mengartikan Administrasi Publik adalah manajemen dan organisasi dari manusia-

manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan pemerintah (dalam Syafiie, 2006:25).

Chandler dan Plano dalam (Hakim, 2011:20) menyatakan bahwa administrasi publik

adalah proses sumber daya dan personel publik yang dikoordinasi dan dikoordinasikan untuk

memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengelola (manage) keputusan-keputusan

dalam kebijakan publik.

Berdasarkan beberapa pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa,

administrasi publik adalah proses kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih ditujukan

pada pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakatnya untuk tujuan tertentu.

1.5.2. Hubungan Antara Administrasi Publik Dengan Kebijakan Publik


32

Public administration hanya dianggap sebagai ilmu usaha negara, maka urusan negara

di hari ini berkembang dibanding negara di masa lalu. Negara bahkan membentuk berbagai

organisasi yang tidak diurus dengan cara negara saja. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk adanya

Badan-Badan Usaha Milik Negara (baik yang dikelola negara maupun bukan oleh negara,

lembaga-lembaga kemitraan antara negara dan sektor masyarakat yang berupa quast

government organization.

Output dari administrasi negara bukan saja seuatu yang mengatur kehidupan bersama

warganya, namun untuk membangun kemampuan organisasi di dalam lingkup nasional untuk

menjadi organisasi-organisasi yang mampu bersaing dengan kapasitas global.

Menurut Pfifner dan Pesthus (1950), administrasi publik adalah kegiatan yang

berkenaan dengan implementasi kebijakan publik yang telah dibuat sebelumnya oleh lembaga-

lembaga perwakilan politik. Jadi, administrasi publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi

dari upaya individu dan kelompok untuk menjalankan kebijakan publik yang berarti

menyangkut kegiatan sehari-hari dari sebuah pemerintah (government).

Karena administrasi publik selalu berhubungan dengan birokasi atau pemerintahan, maka dari

itu sangat penting ilmu administrasi untuk ikut serta dalam merumuskan atau membuat

kebijakan publik.

1.5.3. Definisi Kebijakan Publik

Kebijakan merupakan kata yang tidak asing lagi bagi masyrakat yang sekarang lebih

peduli terhadap tingkah laku yang dilakukan oleh pemerintah. Kita sering menyamaartikan kata

kebijaksanaan dengan kebijakan, padahal kata kebijakan mempunyai konotasi yang berbeda

dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan berasal dari kata wisdom yang pelaksanaannya

membutuhkan pertimbangan-pertimbangan lebih jauh. Kebijakan berasal dari kata policy yang

pelaksanaannya mencakup peraturan-peraturan di dalamnya dan sangat berkaitan dengan

proses politik.
33

Dye (dalam Indiahono, 2009:17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever

governments chooses to do or not to do”. Kebijakan publik adalah apa yang pemerintah pilih

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pengertian ini menunjukkan bahwasannya

pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pilihan terhadap kebijakan mana yang

akan dilakukan atau tidak, tergantung pada permasalahan yang timbul atau capaian yang ingin

dituju dari kebijakan yang dibuat tersebut.

Pembuatan kebijakan publik dimaksudkan untuk mengatasi masalah masalah yang

timbul di masyarakat, merumuskan masalah merupakan salah satu tahapan dalam pembuatan

kebijakan, sehingga merumuskan masalah merupakan hal pokok dalam pembuatan kebijakan.

Dunn (2000:214-216) menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan antara lain :

a. Saling Ketergantungan dari masalah kebijakan

Masalah-masalah kebijakan di dalam suatu bidang kadang kadang mempengaruhi

kebijakan di dalam bidang lain. Ackoff dalam Dunn mengemukakan bahwa dalam

kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan kesatuan yang berdiri

sendiri; mereka merupakan bagian dari seluruh sistem masalah yang paling baik

diterangkan sebagai meses, yaitu, suatu sistem kondisi eksternal yang

menghasilkan ketidakpuasan diantara segmen-segmen yang berbeda.

b. Subyektivitas dari masalah kebijakan

Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalaha didefinisikan,

diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara

selektif. Meskipun terdapat suatu anggapan bahwa masalah bersifat

objektif, data yang sama mengenai suatu masalah dapat diinterpretasikan secara

berbeda.
34

c. Sifat Buatan dari masalah

Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian

mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah kebijakan

merupakan hasil/produk penilaian subyektif manusia; masalah kebijakan itu juga

bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif;

dan diubah secara sosial.

d. Dinamika masalah kebijakan

Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi

terhadap masalah tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan

yang konstan; dan karenanya msalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi

terhdap masalah dapat menjadi usang meskipun masalah itu sendiri belum usang.

Berdasarkan sejumlah definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan

bahwasannya kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan atau proses dalam mengatasi

masalah publik yang didalamnya mengandung konsep atau nilai nilai yang selaras dengan

konsep dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Kebijakan publik disusun melalui tahapan-

tahapan tertentu, dimana terdapat seorang atau sekumpulan aktor di setiap tahapan-tahapan

penyusunan kebijakan publik tersebut.

1.5.4. Tahapan Kebijakan Publik

Dunn (2000:24-25) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan kebijakan publik terdiri dari :

a. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.

Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk

ke dalam agenda kebijakan. Pada, akhirnya beberapa masalah masuk ke agenda

kebijakan para perumus kebijakan.

b. Tahap formulasi kebijakan


35

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif yang ada. Pada tahap ini masing-masing alternatif bersaing untuk dapat

dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

c. Tahap adopsi kebijakan

Dari beberapa alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,

pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan

dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan

peradilan.

d. Tahap implementasi kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.

e. Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk

melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat. Ditentukan ukuran-ukuran atau

kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah

meraih dampak yang diinginkan.


36

Tahapan-tahapan kebijakan publik menurut Dunn tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut :

Gambar 1.2

Tahap-tahap Kebijakan Publik

Sumber : William N. Dunn, 2000. Hal 25

Penelitian ini akan menggambarkan tahapan atau proses kebijakan publik. Tahapan

kebijakan publik dalam penelitian ini adalah mengkaji penataan Tatat Ruang dan Tata Wilayah

Kota Semarang, sedangkan dalam proses kebijakan stakeholder yang terkait adalah Badan

Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kota Semarang, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Cipta

Karya Kota Semarang. Pelaksanaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Semarang di

dasarkan pada Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Semarang Tahun 2011-2031, sedangkan output yang diharapkan dari penelitian ini adalah

tercapainya tujuan yang diharapkan sebagai hasil dari implementasi kebijakan.

1.5.5. Definisi Implementasi Kebijakan

Pelaksanaan program atau implementasi program merupakan suatu proses atau tahapan

yang terdapat di dalam kebijakan publik. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian

luas, merupakan tahap atau proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang.
37

Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana

berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan

kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.

Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat

dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak

(outcome).

Berbagai tujuan kebijakan tentu tidak akan tercapai dengan sendirinya tanpa kebijakan

tersebut diimplementasikan. Meskipun sebagai sebuah konsep implementasi sering dipakai

untuk menggambarkan bagaimana upaya yang dilakukan oleh para implementer dalam

mewujudkan tujuan kebijakan, akan tetapi hanya dengan menyebut implementasi saja tidak

cukup menggambarkan bagaimana sesungguhnya berbagai upaya untuk mewujudkan tujuan

kebijakan itu dilakukan.

Tahapan implementasi sebagai proses untuk mewujudkan tujuan kebijakan sering

disebut sebagai tahap yang penting (critical stage). Disebut penting karena tahapan ini

merupakan “jembatan” antara dunia konsep dengan dunia realita seperti Grindle (dalam

Purwanto, 2012:65) yang menyebut bahwa implementasi “establish a link that allows goals of

public policies to be realized as outcomes of governmental activity”. Dunia konsep yang

dimaksud di sini adalah tercermin dalam kondisi ideal, sesuatu yang dicita-citakan untuk

diwujudkan sebagaimana terformulasikan dalam dokumen kebijakan. Sementara dunia nyata

adalah realitas di mana masyarakat sebagai kelompok sasaran kebijakan sedang bergelut

dengan berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik.

Indiahono (2009:143) menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah tahap penting

dalam kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah

benar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil untuk menghasilkan output dan outcomes

seperti yang telah direncanakan. Output adalah keluaran kebijakan yang diharapkan dapat
38

muncul sebagai keluaran langsung dari kebijakan. Output biasanya dapat dilihat dalam waktu

yang singkat pasca implementasi kebijakan. Outcomes adalah dampak dari kebijakan, yang

diharapkan dapat timbul setetlah keluarnya output kebijakan. Outcomes biasanya diatur dalam

waktu yang lama pasca implementasi kebijakan.

Gambar 1.3

Dimensi Waktu Output dan Outcomes Kebijakan

Implementasi
Kebijakan
Jangka
Pendek
Jangka
Output Kebijakan Panjang

Outcomes Kebijakan

Sumber : Indiahono, Dwiyanto. 2009. Hal 143

Kamus Webster (dalam Wahab, 2008: 64) merumuskan secara pendek bahwa to

implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out;

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan

dampak/ akibat terhadap sesuatu).

Van Meter dan Van Horn (1975) yang dikutip oleh (Wahab, 2008:65) membatasi

implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau

kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebiajakn sebelumnya.

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) yang dikutip oleh (Wahab, 2008: 65),

menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa : memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan
39

fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang

timbul sesudah di sahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik

usaha-usaha untuk menimbulkan akibat/ dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-

kejadian.

Ripley dan Franklin (dalam Winarno, 2012:148) berpendapat bahwa implementasi

kebijakan adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas

program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible

output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan

maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat

pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh

berbagai actor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.

1.5.6. Rencana Tata Ruang Wilayah

Conyers dan Hill menyebutkan perencanaan merupakan sebuah proses yang

berkelanjutan yang menghasilkan keputusan-keputusan, atau pilihan-pilihan, tentang alternatif

penggunaan sumberdaya yang memungkinkan dengan tujuan untuk mencapai suatu bagian dari

tujuan dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang (Hariyono, 2010:5)

Pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan untuk mencapai

tujuan yang lebih baik bagi masyarakat, dn dilakukan dengan norma-norma atau nilai tertentu.

(Hariyono, 2010:25)

Kebijakan pada Urusan penataan ruang diarahkan pada upaya untuk mewujudkan

indikasi program dalam rencana tata ruang ke dalam program-program pembangunan,

penegakan hukum (law enforcement) yang tegas, dan tersedianya aparat pelaksana yang

bertanggung jawab. Penataan ruang di tahun 2013 mencoba mengimplementasikan beberapa

indikasi program tata ruang dalam RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031. Beberapa

kegiatan fasilitasi dan koordinasi serta kegiatan studi telah dilaksanakan dalam rangka
40

menyusun acuan implementasi program RTRW, antara lain: Koordinasi dan Fasilitasi

Kegiatan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), Koordinasi dan Fasilitasi

Kegiatan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, Koordinasi dan Fasilitasi Kegiatan

Revitalisasi Kota Lama, Penyusunan Masterplan Sarana Prasarana Pemerintah Kota di

Kawasan Bukit Semarang Baru (BSB) Mijen, Penyusunan Masterplan Simpanglima Kedua,

Inventarisasi dan Penyerahan Prasarana Sarana Utilitas Perkotaan, Penyusunan Kebijakan

Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya, Pembuatan Peta Planning Kota Semarang, Peningkatan

Pelayanan Informasi KRK, Labelisasi Bangunan Cagar Budaya, Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan Kawasan Rejomulyo dan Sekitarnya, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

Kawasan Rejomulyo dan Sekitarnya, Penyusunan Raperda RDTRK, Penyusunan Naskah

Akademis Perda PSU, Proses Pengukuran dan Penandaan Keterangan Rencana Kota,

Operasionalisasi Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG), Pengawasan dan Pengendalian

Bangunan serta Tempat Usaha, Sosialisasi Perda Bangunan dan Perda HO, Peningkatan

kapasitas personil pelayanan perijinan IMB, Pembuatan dan updating database IMB dan HO,

Penyusunan pedoman teknis ijin gangguan, Kerjasama pengelolaan kawasan dalam penataan

ruang.
41

Gambar 1.7
Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Proses Implementasi
Mudah Tidaknya Masalah Dikendakikan
1. Dukungan teori dan teknologi
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Derajat perubahan prilaku yang diharapkan

Variabel Diluar Kebijan yang Mempengaruhi


Kemampuan Kebijakan untuk
Proses Implementasi
Menstruktur Proses Implementasi 1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi
1. Kejelasan dan konsistensi tujuan
2. Dukungan publik
2. Teori kausal yang memadai 3. Sikap dan sumber daya dari konstituen
3. Ketepatan alokasi sumberdana 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi

4. Keterpaduan hirarki antarlembaga 5. Komitmen dan kalitas kepemimpinan dari


pejabat pelaksana
pelaksana
5. Aturan pelaksana dari lembaga
pelaksana

Tahapan dalam Proses Implementasi Kebijakan


Output Kepatuhan
kebijakan
Revisi
target untuk Hasil Diterimany
dari mematuhi Undang
lembaga nyata a hasil -undang
output
pelaksana Output tersebut
kebijakan
kebijakan

Sumber : Leo Agustino 2008. Hal 149

“Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang

dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama untuk menjalankan

kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.”

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik adalah

kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar stakeholder yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat

yang merupakan realisasi dari suatu kebijakan publik untuk menghasilkan suatu hasil, dampak

dan manfaat bagi masyarakat yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan di dalam Implementasi

Rencana Tata Ruang Wilayah Menurut Perda No 14 Tahun 2011sesuai dengan pasal 2 tentang
42

ruang wilayah kota sebagai berikut “Tujuan penataan ruang adalah terwujudnya Kota

Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa berskala internasional yang aman, nyaman,

produktif, dan berkelanjutan.”

1.5.7. Model Implementasi Kebijakan

Model Implementasi Kebijakan Menurut Richard Matland (1995)

1. Ketepatan Kebijakan

Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:

1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang

memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how

excelent is the policy.

2. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah

yang hendak dipecahkan.

3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi

kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.

2. Ketepatan Pelaksanaan

Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa

menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,

atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).

Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau

mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan,

sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan

masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan

pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan


43

kegiatan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana

pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-

industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan kepada

masyarakat

3. Ketepatan Target

Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:

1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada

tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi

kebijakan lain.

2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan

saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau

harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak.

3. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui

implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru

namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak

efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.

4. Ketepatan Lingkungan

Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:

1. Lingkungan Kebijakan

Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan

lembaga yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel

endogen, yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber


44

otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring

dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun

masyarakat, implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar

antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan

implementasi kebijakan.

2. Lingkungan Eksternal Kebijakan

Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari atas

public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan,

interpretive instutions yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis

dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok

kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan

individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting

dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.

5. Ketepatan Proses

Secara umum implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu:

a) policy acceptane, di sini publik memahami kebijakan sebagai sebuah aturan main yang

diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang

harus dilaksanakan;

b) policy adoption, publik menerima kebijakan sebagai sebuah aturan main yang diperlukan

untuk masa depan, disisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus

dilaksanakan;
45

c) strategic readiness, publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari kebijakan, di sisi

lain birokrat pelaksana siap menjadi pelaksana kebijakan.

Model Impelementasi Kebijakan Menurut George Edwards III (1980)

Implementasi suatu kebijakan organisasi dipengaruhi oleh 4 variabel yaitu sebagai

berikut :

1. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui

apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi sasaran kebijakan harus

ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran tidak jelas maka akan terjadi resisitensi

dari kelompok sasaran.

2. Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi

apabila implementor kekurang sumber daya untuk melaksanakan, implementasi

tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya

manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumber daya

adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar berjalan dengan efektif

3. Disposisi/ Sikap

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti

komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor mempunyai disposisi

yang baik, maka akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang

diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
46

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang

menjadi standar.

Gambar 1.4 Faktor Penentu Implementasi menurut Edward III

Komunikasi

Sumberdaya

Implement
asi
Disposisi

Struktur
Birokrasi

Sumber : Indiahono, Dwiyanto. 2009. Hal 33

1.6. Fenomena Penelitin

Fenomena penelitian merupakan suatu langkah penelitan, dimana penelitian

menurunkan variabel ke dalam konsep yang memuat indikator – indikator yang lebih rinci dan

dapat diukur. Fungsi fenomena penelitian ini adalah mempermudah peneliti dalam melakukan

pengukuran, ukuran baik tidaknya kerangka operasional, sangat ditentukan oleh seberapa tepat

dimensi – dimensi yang diurai memberikan gambaran tentang variabel. Hal ini menunnujkan

kepada bagaimana peneliti mengklarifikasi suatu kasus dalam satu kategori tertentu. Dalam

penelitian ini yang akan di amati adalah mengenai Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah

di Kota Semarang, maka di dalam penelitian ini akan dianalisis hal – hal yang berkaitan dengan

implementasi kebijakan yang akan digunakan oleh penelti sebagai berikut :


47

1. Ketepatan Kebijakan

a. Melihat bahwa apakah kebijakan yang telah dikeluarka dapat menyelesaikan

masalah.

b. Kebijakan tersebut dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak

di pecahkan.

c. Kebijakan dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan yang sesuai

dengan karakter kebijakannya.

2. Ketepatan Pelaksanaan

Pelaksanaan Program tidak terlepas dari peranan aktor – aktor pelaksana yang

berasal dari pemerintah, swasta, dan masyarakat.

a. Ketepatan aktor/pelaksana kebijakan.

b. Keterlibatan swasta maupun masyarakat dalam pelaksanaan,

3. Ketepatan Target

a. Melihat apakah targer susai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada

tumpang tindih dengan program lain.

b. Sasaran atau target yaitu lokasi yang di tempatkan itu sesuai dengan BWK

atau tidak.

4. Ketepatan Lingkungan

Interaksi atau hubungan dengan antar lembaga perumus/pembuatan kebijakan

dengan instansi dan masyarakat.

5. Ketepatan Proses

a. Melihat proses pelaksanaan program dilihat dari bagaimana para pelaksana

program dan pihak lain –lain yang terlibat memahami dan menerima dari

program tersebut.

b. Kesiapan dan kesanggupan masyarakat dalam pelaksannaan program ini.


48

Berhasil atau tidaknya program ini dapat dilihat dari faktor penghamat dan pendorong.

Berdasarkan teori yang dikemukanan oleh George Edwards III (1980) dapat di lihat bahwa

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :

 Komunikasi

o Kemampuan implementator dalam menyampaikan infrormasi

mengenai program tersebut.

o Kejelasan informasi yang disampaikan implementator.

o Ketepatan dalam menyampaikan informasi mengenai kebejiakan

tersebut.

 Sumber daya

o Kemampuan implementator dalam melaksanakan implementasi

program tersbut.

o Kejelasan informasi tentang Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011

khususnya tentang rencana tata ruang wilayah.

 Diposisi

o Kejujuran yang ditunjukan oleh implementator dalam melaksanakan

program.

o Komitmen implementator dalam melaksakan program.

 Struktur birokrasi

o Kejelasan dalam pembagian tugas dan fungsi masing – masing dalam

instansi untuk melaksakan program.

o Kejelasaan SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam menjalakan

program.

o Kejelasaan prosedur pengawasan.


49

1.7. METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang

digunakan oleh pelaku suatu disiplin. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai

suatu cara atau metode. Penelitian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk

meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan

terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. Hakekat

penelitian dapat dipahami dengan mempelajari berbagai aspek yang mendorong penelitian

untuk melakukan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda, di antaranya

dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Motivasi dan tujuan penelitian secara

umum pada dasarnya adalah sama, yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari keinginan

manusia yang selalu berusaha untuk mengetahui sesuatu. Keinginan untuk memperoleh dan

mengembangkan pengetahuan merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi

motivasi untuk melakukan penelitian. Jadi penelitian adalah proses yang sistematis, logis dan

empiris untuk mencari kebenaran ilmiah atau pengetahuan ilmiah. Hasil penelitian tersebut

dapat digunakan atau diaplikasikan untuk pemecahan masalah maupun mengembangkan

teknologi dalam kehidupan manusia. Menurut (Sugiono, 2009:15), metode penelitian kualitatif

adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositifsime, digunakan untuk

meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana

peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sample sumber dan data dilakukan

secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi

(gabungan) analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan pada makna daripada generalisasi. Metode penelitian kualitatif sering disebut

metode penelitian naturalistic (naturalistic research), karena penelitian dilakukan dalam

kondisi yang alamiah (natural setting). Disebut juga penelitian etnografi, karena pada awalnya

metode ini banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya. Selain itu disebut
50

sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan dianalisis lebih bersifat kualitatif.

Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah maksudnya, objek

yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak

begitu mempengaruhi dinamika pada objek tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam

penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau peneliti itu sendiri (humane instrument).

Untuk dapat menjadi instrumen maka peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang

luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti

menjadi lebih jelas dan bermakna. Prosedur – prosedur kualitatif dalam pengumpulan, analisis,

dan interpretasi data, serta penulisan hasil penelitian memang berbeda dengan prosedur –

prosedur kuantitatif tradisional. Pengambilan sampel secar sngaja, pengumpulan data terbuka,

analisis teks atau gambar, penyajian informasi dalam bentuk gambar dan table, serta

interpretasi pribadi atas temuan – temuan, semuanya mencerminkan prosedur – prosedur

kualitatif.

1.7.1. Desain Penelitian

Di dalam melakukan penelitiannya, peneliti memilih desain penelitian kualitatif.

Peneliti meyakini bahwa penelitian kualitatif dapat menjelaskan penelitian yang dilakukan

tersebut secara lebih mendalam. Suatu prosedur ilmiah yang sistematis yang dilakukan untuk

mengukur hasil program atau proyek (efektifitas suatu program) sesuai dengan tujuan yang

direncanakan atau tidak, dengan cara mengumpulkan, menganalisis dan mengkaji pelaksaaan

program yang dilakukan secara objektif.

Penelitian ini digunakan untuk mengamati proses pelaksanaan kebijakan yang diambil

oleh Pemerintah Kota Semarang untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi dari kebijakan

ruang rencana tata ruang wilayah di Kota Semarang. Menurut Sugiyono (2009:11), Metode

historis bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan

mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan
51

mencapai konklusi yang dapat dipertahankan, seringkali dalam hubungan hipotesis tertentu.

Dengan metode historis, seorang ilmuwan sosial peneliti historis yaitu orang yang mengajukan

pertanyaan terbuka mengenai peristiwa masa lalu dan menjawabnya dengan fakta terpilih yang

disusun dalam bentuk paradigma penjelasan.

Dengan demikian, penelitian dengan metode historis merupakan penelitian yang kritis

terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan menimbang

secara teliti dan hati-hati terhadap validitas dari sumber-sumber sejarah serta interprestasi dari

sumber-sumber keterangan tersebut.

1.7.2. Situs Penelitian

Situs penelitian adalah dengan tempat atau wilayah dimana penelitian akan

dilaksanakan. Penelitian ini memiliki fokus kajian yang akan diteliti adalah Implementasi

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang. Sedangkan yang menjadi lokus dari penelitian

ini dengan sasaran utama wilayah BWK IV Kota Semarang, lebih tepatnya di daerah Genuk

Semarang.

1.7.3. Instrumen Penelitian

Terdapat dua hal yang mempengaruhi kualitas hasil penelitian yaitu, kualitas instrumen

penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam penelitia kualitatif, yang menjadi instrumen

atau alah penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga

harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya

terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap

pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti,

kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya.

Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh

pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang

diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.


52

Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian,

memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data,

analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono,

2010:222). Dapat diketahui jika dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti

sendiri, yang dimana setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan di

kembangkan oleh peneliti sendiri menjadi lebih sederhana, yang dapat melengkapi data dan

dan dibandingkan dengan data yang telah ditemukan sebelumnya melalui wawancara dan

observasi.

1.7.4. Subyek Penelitian

Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan atau

permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas, akurat, dan

terpercaya (Moleong, 2000:97). Informasi tersebut dapat berupa pernyataan, keterangan, data-

data yang dapat membantu dalam memahami permasalahan yang diteliti.

Subjek penelitian atau Narasumber adalah sesuatu yang diteliti baik orang,

benda, ataupun lembaga (organisasi). Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan

dikenai kesimpulan hasil penelitian, di dalam subjek penelitian inilah terdapat objek penelitian.

Narasumber yang baik adalah narasumber yang dapat dipercaya, mempunyai pengetahuan

yang luas mengenai kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah yang terlibat serta yang

menangani secara langsung pada fokus permasalahan yang akan diteliti, sehingga akan didapat

informasi yang akurat.

Dari penjelasan yang telah disebutkan diatas, peneliti telah menentukan beberapa

subyek yang dapat dijadikan sebagai Narasumber, yaitu:

1. Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Kabag Pambangunan

2. Anggota DPRD Kota Semarang

3. Koordinator BKM (Badan Keswadayan Masyarakat) Genuk Sari


53

4. Ketua MP3I (Masyarakat Peduli Perumahan dan Pemukiman Indonesia) Jawa Tengah

5. Masyarakat / warga

1.7.5. Jenis Data

Jenis data yang di gunakan penulis berupa kata – kata dan tindakan selebihnya adalah

data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Jenis – jenis data yang digunakan dalam

penelitian hadir dalam bentuk kata – kata dan tindakan, yang kemudian hadir dalam wujud

berupa wawancara terhadap informan penelitian. Sumber data lainnya yang digunakan adalah

foto/gambar di Kota Semarang.

1.7.6. Penelitian tentang Implementasi Rencana Ruang Wilayah di Kota Semarang,

memperoleh sumber data:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Data- data yang

diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh peneliti

kepada responden dalam wawancara atau pengamatan langsung/observasi. Kemudian

data yang diperoleh bisa dicatat atau direkam.

2. Data Sekunder adalah catatan mengenai kejadian atau peristiwa yang telah terjadi

berupa tulisan dari buku, dokumen, internet dan sumber- sumber tulisan lain yang

berkaitan dengan penelitian. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data sekunder

peneliti menggunakan buku, internet dan dokumen-dokumen yang mendukung.

1.7.7 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini peneliti menggunakan empat teknik pengumpulan data, yaitu :

a. Interview (wawancara)

Interview atau Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan

sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari

interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relation ship) antara

si pencari informasi (interviewer atau informan hunter) dengan sumber informasi


54

(interviewee) (Sutopo 2006: 74).Penulis menggunakan tipe wawancara tidak terstuktur.

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap

untuk pengumpulan datanya (Sugiyono, 2009:140). Pedoman wawancara yang

digunakan hanya berupa garis- garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Penulis

menggunakan wawancara tidak terstruktur ini agar penulis bebas untuk menanyakan

apa saja yang dibutuhkan untuk mendapatkan data dan informasi. Sehingga tidak ada

batasan untuk penulis dalam menggali informasi.

b. Observasi

Dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, penulis menggunakan tipe Observasi

Non-Partisipan (Non-Participant Observation). Pada pengumpulan data observasi non-

partisipan, peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen. Peneliti

mencatat, menganalisis dan selanjutnya membuat kesimpulan tentang perilaku

masyarakat yang sedang diamati. Dari segi instrumensi yang digunakan, penulis

menggunakan tipe observasi tidak terstruktur. Observasi tidak terstruktur adalah

observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis mengenai apa yang akan

diobservasi. Hal ini dikarenakan peneliti tidak mengetahui secara pasti mengenai apa

yang akan diamati. Dalam melakukan penelitian, peneliti tidak menggunakan instrumen

yang telah baku, namun hanya berupa rambu-rambu pengamatan.

c. Dokumentasi

Dokumen menurut bahasa inggris berasal dari kata document yang memiliki arti suatu

yang tertulis atau tercetak dan segala benda yang mempunyai keterangan-keterangan

dipilih untuk di kumpulkan,disusun,di sediakan atau untuk disebarkan. Dokumentasi

adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis

dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.
55

Metode ini merupakan metode pengumpulan data yang berupa data-data berupa

gambar, dokumen resmi, data-data resmi yang ada di dapat dari Sub Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah.

d. Studi Pustaka

Studi Pustaka dilakukan dengan mempelajari buku – buku refrensi, perda, laporan –

laporan, dokumen – dokumen yang ada serta menggunakan internet.

1.7.8 Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu

pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2002: 103). Jadi, analisa data adalah proses

menyusun data secara sistematis yang diperoleh dari observasi melalui pengorganisasian data

kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan hipotesa sampai membuat

kesimpulan yang dapat dimengerti oleh pengamat sendiri dan orang lain.

1.7.9 Kualitas Data

Penelitian kualitatif harus memiliki standar kredibilitas. Standar kredibilitas ini untuk

menunjukan agar hasil penelitian kualitatif memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi sesuai

dengan fakta di lapangan (informasi yang digali dari subyek atau partisipan yang diteliti). Cara

memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu dengan triangulasi.

Triangulasi adalah pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut

(Sugiyono, 2009: 241)

Penelitian kualitatif ini menggunakan triangulasi teknik. Hal ini berarti peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari

sumber yang sama (Sugiyono, 2009: 241). Peneliti menggunakan pengumpulan data dengan

menggabungkan wawancara mendalam, observasi tidak terstruktur, dokumentasi dari Dinas


56

Tata Ruang serta studi pustaka yang berkaitan dengan Kebijakan dalam menjalankan kebijakan

Rencana Tata Ruang Wilayah.

Anda mungkin juga menyukai