Pengaruh Timbal Balik antara Unsur-Unsur Manusiawi dan Unsur-Unsur Teologi d
alam Ketaatan Religius yang Dewasa A. Tahap-tahap perkembangan pribadi (Loevinger) Mengandalkan suara hati yang benar dan objektif Memahami diri untuk menyerahkan diri secara total kepada Tuhan 1) Tahap Prasosial Mampu merumuskan cita-cita secara sederhana Dia yang taat kepada orang lain karena ia tidak mempunyai pengertian a kan dirinya sendiri, maka amat tergantung pada orang lain, tak dapat hid up tanpa orang lain 2) Tahap Impulsif Keinginan-keinginan dan kemauan hatinya sendiri Taat untuk menghindari rasa salah atau rasa malu Taraf kesadaran tentang ketaatan 3) Taraf Melindungi Diri Disibukkan dengan usaha menghindara apa saja yang berbahaya Muali mengendalikan dorongan-dorongan impulsif Kaum religius dapat berubah sifatnya terhadap ketaatan Berusaha mengendalikan segi kepribadiannya yaitu untuk dapat tunduk p ada orang lain tanpa kehilangan muka, untuk menunjukan bahwa ia pun mampu mengatur dan menguasai yang lain secara otonom 4) Tahap Konformis dan Kompromis Ketegangan antara melindungi diri dan keinginan untuk menjadi otonom dapat teratasi Dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan figur otoritas (ortu/oran g lain) Sikap konformis yaitu sikap asal sesuai dengan aturan tanpa menyadari a rti dan konsekuensinya 5) Tahap Otonomi-Integral Belajar pada kemampuan untuk mentoleransi keraguan moral yang ada t anpa menjadi kacau sendiri, tanpa merasa terus dikejar-kejar oleh rasa sa lah dan ancaman hukuman moral Mampu mempertanggungjawabkan akibat tindakannya, tanpa membela d iri atau mencari pembenaran diri Mampu membuat rencana hidup yang realistis untuk mengejar cita-cita s ecara objektif Mampu menerima adanya perbedaan-perbedaan pribadi namun tetap mel angkah maju B. Tahap-tahap perkembangan moral (Kohlberg) 1) Tingkat Prakonvensional Tahap 1: Orientasi pada hukuman dan ketaatan Tujuan suatu tindakan adalah untuk menghindari hukuman dan ada r asa hormat terhadap kuasa dan wibawa yang diterima begitu saja tan pa dipersoalkan Tahap 2: Orientasi instrumental dan relatif Saya taat karena kalau saya mendengarkan kamu, kamu juga akan m endengarkan saya 2) Tingkat Konvensional Tahap 3: Kesepakatan antarpribadi, orientasi “anak manis” Tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan orang lain, mem bantu yang lain, atau apa yang mereka sepakati bersama Menjadi “anak manis” orang memperoleh pengakuan diri dan mengi ra dirinya telah berbuat benar dan taat Tahap 4: Orientasi terhadap hukum dan ketertiban Perilaku yang baik adalah yang sesuai dengan tugas dan kewajiban s eseorang Menaruh hormat pada otoritas Ketertiban sosial demi otoritas 3) Tingkat Postkonvensional Tahap 5: Orientasi legalistis berdasar kontrak sosial Sudut pandangan hukum ditekankan Memungkinkan perubahan hukum atas dasar pertimbangan rasional bagi masyarakat Saya taat karena saya telah menyepakatinya dan ini sesuai dengan ha k-hak saya dan telah diterima oleh semua orang Tahap 6: Orientasi pada kaidah moral universal Apabila usara hati cukup dewasa, pasti mengandung ajakan bertangg ung jawab terhadap perilaku, perasaan dan kewajiban sendiri. Menurut Kohlberg antara umur dan perkembangan atau pertumbuha n psikologis tidak ada hubungan ketergantungan yang sempurna. 2. Penghayatan dan Penyalahgunaan Kaul Ketaatan a) Taraf Pertama: Psikofisik i) Cari hidup enak Kalau pemuasan kebutuhan fisik lebih merupakan tujuan dalam hidup kita daripada sebagai sarana, sering terjadi bahwa apa yang dapat dan apa yan g harus kita buat atau apa yang dianjurkan oleh pembesar, kita nilai dan kita pi lih atas dasar tujuan untuk mendapatkan kesenangan belaka. Menghindari rasa lelah, kegelisahan, rasa takut atau pelbagai ketidakpuasan yang lain. Ketaatan mengandung kesediaan untuk menderita sakit, lelah, ketidakpuasan dsb. Melar ikan diri dari ini semua untuk mengejar rasa enak berarti penolakan terhadap k etaatan. ii) Tidak pernah bisa diam Tidak pernah bisa diam, selalu ingin pergi, selalu butuh aktif, bekerja, bi cara dan berbuat sesuatu Sikap ini sebagai penyelewengan dari ketaatan, karena ia tidak punya wa ktu dan kesempatan untuk bersujud dan bersedia di hadapan Tuhan Dorongan kemauan dan perasaannya sendirilah yang menjadi tujuan hid upnya dan bukan rencana Tuhan. b) Taraf Kedua: Psikososial 1. Compliance (asal anda senang/asal bapak senang) Sikap menyenangkan orang lain semata-mata demi untuk menghindari h ukuman, konflik, kemarahan atau untuk mendapat pujian Orang bereaksi terhadap suatu perintah atau permintaan orang lain denga n pertimbangan apakah itu menguntungkan bagi dirinya. Selama kita hidup atas dasar keyakinan dan cinta dan bukannya rasa taku t, maka kita menjadi orang bebas dan menjadi anak-anak yang tunduk ke pada Allah Bapa 2. Identifikasi tanpa pembatinan Suatu proses psikologis dengan mana kita menaati suatu aturan atau perintah demi keuntungan sosial yang dapat dipetik daripadanya, dan bukan karena melihat nilai sejati dari aturan atau perintah tersebut. 3. Ketergantungan pada orang lain Akibat yang dapat timbul dari identifikasi tanpa pembatinan adalah sikap menggantungkan diri pada orang lain. 4. Tak mampu percaya Sikap tidak percaya entah terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. 5. Kecenderungan ingin menguasai (dominasi) Kesulitan dan penyalahgunaan terhadap kaul ketaatan terlihat dalam pemberian perintah-perintah yang kaku atau keterlaluan yang diberikan oleh pembesar yang suka menuntut, keras dan tidak fleksibel ataupun oleh sikap seorang bawahan. Biasanya lebih digerakkan oleh kebutuhan akan berkuasa daripada oleh keterbukaan yang penuh kerendahan hati serta sikap mau mendengarkan apa yang dikehendaki Tuhan agar dibuat dalam hidupnya. 6. Ketidakjujuran dalam dialog Dialog hendaknya terbuka, tanpa disertai usaha halus untuk hanya mau jadi pendengar saja, atau disertai filter tertentu hingga mau mendengar apa yang ia inginkan saja. Dialog yang terbuka tidak berarti mengadu domba antara pembesar dan orang lain, tidak juga berarti menjilat atau bahkan mencoba menghalangi tiap keputusan yang akan dibuat. Dialog janganlah dijadikan cara untuk menyelewengkan kehendak Tuhan dengan mempertahankan kehendak sendiri dalam sikap yang serba mendua. 7. Menghindari rasa sakit dan tak enak hati Ketaatan dapat dimanipulasikan dan bukan dihayati kalau ada suatu kebutuhan bawah sadar yang mendasarinya seperti sikap menghindari kesulitan, rasa sakit, yang begitu menguasai hidup seseorang. Kalau ketaatan menjadi suatu sikap tunduk pasif terhadap keputusan orang lain, suatu pelaksanaan tindakan tanpa suatu motivasi yang dihayati, kalau hanya untuk menghindari kesulitan dan cekcok dan untuk menghindari rasa sakit dan jerih lelah demi kepentingan diri sendiri, maka di sana tidak ada otonomi yang nyata. 8. Individualisme Kalau individualisme berarti suatu pembedaan roh yang egoistis, yang menilai segala sesuatu atas dasar kebutuhan, minat dan bakat sendiri, ini akan bertentangan dengan ketaatan. Kalau Yesus tidak menyetujui sesuatu tidak menaati secara hurufiah hukum Sabat, Ia melakukannya tidak dengan motif individualistis dengan menyatakan hak-Nya akan otonomi, bahkan tidak sejauh Ia menyatakan diri-Nya sebagai gema Allah Bapa. c) Taraf Ketiga: Spiritual-Rasional 1. Pembenaran diri Di hadapan ketaatan hidup membiara, sering kali dengan mudah tumbuh sikap mau membenarkan diri. Ketaatan dan keutamaan yang kita jalankan itu semata-mata bermotifkan pencarian harga diri, dan ini tidak pernah menjadi suatu tindakan cinta kasih sejati.