Buku Ajar II Revisi Ke 2
Buku Ajar II Revisi Ke 2
MATAKULIAH
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI (MPKT)
PROGRAM PENDIDIKAN DASAR PERGURUAN TINGGI (PDPT)
UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH:
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2008
0
KATA PENGANTAR
Dengan bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan
rahmat-Nya, Tim Penulis Buku Ajar “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan
Masyarakat” dapat menyelesaikan tugasnya, sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Buku tersebut merupakan bahan bacaan mahasiswa pada Program
Dasar Pendidikan Tinggi (MPK) Terintegrasi Universitas Indonesia, yang
merupakan penyempurnaan dari Modul MPK Terintegrasi yang telah disusun
sejak tahun 2004. Sejak awal tersusunnya, materi buku ini terus-menerus
diadakan perbaikan, berdasarkan komentar, asupan, dan kritik dari kalangan
yang berkompeten. Perbaikan dilakukan dari segi tekhnik penulisan, bahasa,
dan penyempurnaan materi, sehingga terwujudnya bahan bacaan ini.
1
Dalam menyiapkan karya tulis, baik berupa Buku, Modul maupun
Laporan Ilmiah, biasanya tidak pernah lepas dari kekurangan dan kekhilafan.
Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis mengharapkan saran dan kritik
untuk perbaikan Buku Ajar ini dan mohon maaf atas segala kekuarangan dan
kekhilafan.
2
KATA PENGANTAR .................................................................................. 1
DAFTAR ISI ................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ......................................................................................... 5
3
6.4 Disiplin Hukum ...................................................................123
6.5 Subyek Hukum, Obyek Hukum dan Peristiwa Hukum .......126
PENDAHULUAN
4
Manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya memiliki akhlak
dan budi pekerti yang menempatkan dirinya pada kedudukan yang luhur dan
terpuji, dan sekaligus dapat membedakannya dengan makhluk-makhluk lain
dalam kehidupan alam semesta. Akhlak dan budi pekerti memiliki peran yang
sangat penting dalam membentuk karakter manusia Indonesia, termasuk para
mahasiswanya. Sebagai calon sarjana lulusan Universitas Indonesia (UI),
mahasiswa diharapkan dapat memiliki akhlak yang mulia, budi pekerti yang
terpuji serta memiliki kepedulian terhadap masalah kemasyarakatan, lingkungan,
bangsa, dan negara. Kepedulian yang dimiliki mahasiswa hendaknya dilandasi
dengan iman dan takwa, budi pekerti yang luhur, etika akademik dan
diaplikasikan melalui keterampilan intelektual yang terus mengikuti
perkembangan yang paling mutakhir dari sains, teknologi dan seni.
5
Kesatuan manusia, sebagai makhluk individu, sosial dan budaya, maka
proses pembelajaran akhlak budi pekerti dan msyarakat mengembangkan nilai-
nilai spiritual, nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup, sehingga terciptalah apa
yang diistilahkan dewasa ini: (1) learning to know; (2) learning to do; (3)
learning to be; dan (4) learning to live together. Melalui materi akhlak dan budi
pekerti, dan materi-materi lainnya lulusan Universitas Indonesia, tidak hanya
memilki kemampuan yang tinggi di bidang sains, teknoligi dan seni, tapi juga
memiliki kepedulian yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, memiliki
kepedulian terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan hidupnya.
6
Selain itu, akhlak dan budi pekerti, berfungsi juga dalam menyaring
budaya asing atau budaya dari dalam, dengan memilih yang baik dan
menolak yang buruk. Semua itu terjadi, disebabkan adanya interaksi lintas
budaya.
7
dengan menawarkan berbagai alternatif untuk mengatasinya. Materi dalam
pembahasan ini, bersifat sederhana, hanya berfungsi sebagai contoh,
karena permasalahan penerapan akhlak dan budi pekerti akan didapati
dalam kehidupan sehari-hari dan berkembang terus sepanjang sejarah
kehidupan manusia.
8
DAN BUDAYA
Disini jelas, bahwa individu adalah seorang manusia tidak hanya memiliki
peranan khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai
kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu
atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu
keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu
aspek organik jasmaniah, aspek psikis-rohaniah, dan aspek-sosial bila terjadi
kegoncangan pada suatu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya.
9
pada kesanggupan untuk berbicara dengan dirinya dan kesanggupan memberikan
rangsangan selektif dari lingkungannya. Mampu menetapkan kenyataan,
interpretasi situasi, menetapkan aksi dari luar dan dari dirinya. Manusia
mempunyai banyak diri, masing-masing berhubungan dan berinteraksi, tetap
dalam perubahan proses interaksi.
Individu tidak akan jelas identitasnya tanpa adanya suatu masyarakat yang
menjadi latar belakang keberadaannya. Karena dari sinilah kita baru akan bisa
memahami individu seseorang. Kehadiran individu dalam suatu masyarakat
biasanya ditandai oleh prilaku individu yang berusaha menempatkan dirinya di
hadapan individu-individu lainnya yang telah mempunyai pola-pola perilaku yang
sesuai dengan norma-norma dan kebudayaan di tempat ia berada. Disini individu
berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk membentuk prilakunya
yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang sesuai dengan prilaku yang telah
ada pada dirinya.
10
timbal balik dan hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan
fungsional.
11
sukses dalam suatu tingkat perkembangan, akan sukses pula pada
perkembangan berikutnya.
5). Perkembangan antara anak satu berbeda dengan anak lain, baik dalam
perkembangan masing-masing organ/aspek kejiwaannya maupun cepat
atau lambatnya perkembangan tersebut.( Hartomo, 2004: 69)
12
dewasa dalam arti sosial tidak diukur dari tingkat usia, tinggi besar fisik, tetapi
dilihat dari “tingkat berfikir”. Pengalaman menunjukan bahwa ada saja seseorang
yang tingkat usianya sudah tinggi tapi cara berfikirnya tidak lebih dari kekanak-
kanakan. Sebaliknya, seseorang yang relatif muda tapi dalam cara berfikri sudah
matang.
13
berbicara, dan sifat anak itu tidak ubahnya seperti rusa masuk kampung. Anak
tersebut bernama Casper Hauser, anak seorang petani.
Di India oleh Mr.Singh didapatkan dua orang anak yang berumur 8 tahun
dan 1 ½ tahun. Pada waktu masih bayi anak-anak tersebut diasuh oleh srigala
dalam sebuah gua. Setelah ditemukan kemudian anak yang kecil mati, tinggal
yang besar. Selanjutnya, walaupun dia sudah dilatih hidup bermasyarakat sifatnya
masih seperti srigala, kadang-kadang meraung-raung di tengah malam,suka
makan daging mentah dan sebagainya. Juga di Amerika dalam tahun 1938,
seorang anak berumur 5 tahun kedapatan di atas loteng. Karena terasing dari
lingkungan dia meskipun umur 5 tahun belum juga dapat berjalan dan bercakap-
cakap. Jadi jelas bahwa manusia meskipun mempunyai bakat dan kemampuan,
namun bakat tersebut tidak dapat berkembang, jika tidak ada lingkungan. Itulah
sebabnya manusia dikatakan sebagai mahluk sosial.(Hartomo,200:77)
Sebagai contoh lain, hasrat ingin berkuasa tidak mungkin terjadi bila tidak
berhubungan dengan manusia lain. Sebab manusia berkuasa, pasti ada yang
dikuasai, tidak mungkin berkuasa sendirian.. Maka dari itu misalnya orang yang
berada ditengah hutan sendirian, maka hasrat kekuasaan ini tak mungkin dapat
14
terpenuhi. Dengan demikian hasrat-hasrat yang nampaknya dari luar saling
bertentangan, kalau ditinjau dari dalam, sebenarnya saling mengisi dan
melengkapi.
15
kolektivitas-kolektivitas dan kelompok-kelompok mengadakan persekutuan
dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah sebuah “masyarakat“.
Pada setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial tidak hanya
satu, di samping individu juga warga masyarakat dapat menjadi bagian dari
berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang hidup dalam masyarakat Adanya
penggolongan dalam masyarakat maka beraneka ragam bentuk dan kriteria sebuah
masyarakat. Hal ini terletak pada peran dan hubungan sosial manusia didalamnya.
16
3). Formal Group dan Informal Group
Formaal Group adalah suatu kelompok sosial yang di dalamnya terdapat
tata aturan yang tegas yang sengaja dibuat dalam rangka untuk mengatur antar
hubungan antar anggotanya. Dalam tata aturan itu dicantumkan tentang hak,
kewajiban dan kedudukan para anggotanya. Contoh kelompok social semacam ini
adalah ikatan kelompok professional seperti ikatan sarjana Ekonomi Indonesia
(ISEI). Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan sebagainya.
4). Community
Community adalah kelompok yang memperhitungkan keanggotaannya
berdasarkan hubungan anggotanya dengan lingkungan setempat (local). Setiap
usaha untuk mendifinisikan community (masyarakat) itu selalu menemui dilemma
yang sama yaitu hadirnya masyarakat (Commonity) dalam kelompok primer
maupun sekunder, dan masyarakat memiliki criteria yang bersifat fisik dan
kertaria itulah menentukan masyarakat (Community).
Orang hidup itu tidak pernah lepas dari masalah tempat tinggal. Mereka
selalu berdiam dalam suatu tempat yang tertentu dan interaksi diantara para
penghunu tempat itu di pandang lebih mudah dari pada dengan orang lain. Pada
dasarnya penghuni tempat itu bisa saja berurusan dengan orang lain, tetapi
tidaklah sesering semudah dengan penghunu lainnya. Nampaknya hubungan di
antar sesama penghuni itu dapat di pergunakan untuk memperoleh kesenangan,
kunjungan, pekerjaan dan hal-hal lainnya. Dengan mempergunakan alat-alat
komunikasi yang sederhana mereka mengadakan hubungan yang sifatnya primer
dalam wilayah yang terbatas. Orang yang masuk ke dalam suatu masyarakat
merasa lebih senang berhubungan dengan sesema anggota kelompok dari pada
dengan lain.
17
5). Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
Salah satu perbedaan yang ada dalam masyarakat modern adalah antara
desa dan kota. Hal ini karena pada umumnya desa atau dusun selalu menerima
pengaruh kota. Sementara itu masyarakat primitif adalah masyarakat yang berada
sepenuhnya bersifat pedesaan, dan masyarakat yang selalu merupakan masyarakat
kekotaan. Selanjutnya perbedaan antara desa dan kota adalah tidak tetap, karena
yang dimaksud dengan desa itu tak akan pernah memiliki sifat pedesaan secara
terus-menerus.
Secara sosial, kota adalah suatu cara hidup (way of life). Kekotaan atau
urban memang menunjukan suatu cara hidup, berkenan dengan pengetahuan
tentang barang dan orang, serta sejumlah tatak rama yang timbul dalam
lingkungan cosmopolitan. Orang kota harus mampu bersikap sesuai dengan
lingkungan, hormat dan sopan serta mampu menahan suara hati. Mereka harus
belajar tentang bagaimana mengendalikan perbedaan dalam situasi yang berbeda-
beda dan mengambil manfaat dari persahabatan. Dengan demikian orang
merupakan produk dari berbagai jenis lingkungan khusus yang berlatar belakang
kekotaan.( Kamanto Sunarto, 1993:72)
18
melalui proses belajar yang terus menerus. Selain itu manusia dikatakan pula
sebagai makhluk budaya. Budaya diartikan sebagai pikiran atau akal budi (Pusat
Bahasa Diknas, 2001: 169). Sehingga makhluk budaya dapat diartikan sebagai
makhluk yang memiliki pikiran atau akal budi.
Aspek yang terkait dengan hakekat manusia sebagai makhluk budaya antara
lain adalah unik dan universal. Secara umum, siapapun dan dimanapun manusia
berada ia adalah makhluk budaya yang mempunyai akal pikiran. Sehingga dalam
lingkup yang lebih luas sebagai bagian dari kumpulan/kelompok manusia atau
masyarakat akan mempunyai kebudayaan yang beragam karena mereka berpikir
atau mengalami proses belajar dalam berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan kebutuhannya masing-masing. Sedangkan dalam konteks
individual, manusia adalah makhluk budaya yang unik. Unik karena antara
makhluk hidup yang satu dan lainnya berbeda, dalam berperilaku, menciptakan
dan mengekspresikan simbol-simbol. Oleh karena itu manusia juga dikatakan
sebagai animal simbolikum yang mempunyai dorongan untuk mencipta simbol-
simbol tersebut.
19
dan jiwa yang mengatur atau menentukan bagaimana berperilaku. Tiap orang
secara individu mempunyai kekhasan perilaku dan pembawaan sifat atau karakter
yang berbeda satu sama lain yang disebut sebagai kepribadian. Keberadaan
keduanya, yaitu tubuh biologis dan kepribadian, merupakan satu kesatuan dalam
diri manusia yang tidak terpisahkan satu sama lain.
20
merupakan naluri pada tiap manusia disebut sebagai “dorongan” (drive), maka
disebut juga sebagai dorongan naluri.
21
Nilai-nilai budaya tersebut adalah suatu sistem nilai budaya masyarakat.
Dikatakan sebagai sistem karena merupakan himpunan nilai yang tidak terdiri dari
satuan gagasan yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan suatu kesatuan
yang berkaitan erat satu sama lain.
Sistem nilai budaya dan pedoman tingkah laku lainnya merupakan wujud
ideal dari kebudayaan. Secara lebih khusus wujud ideal tersebut dibagi dalam
empat tingkatan, yaitu:
1.Tingkat nilai budaya, bersifat paling abstrak yang berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia, contoh: nilai gotong royong.
2. Tingkat norma, bersifat abstrak
3. Tingkat sistem hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, bersifat agak
konkrit, contoh: undang-undang.
4. Tingkat aturan-aturan khusus, bersifat konkrit, contoh: aturan-aturan
pelaksanaan dari suatu undang-undang.
22
Kemudian telah dikemukakan juga bahwa tiap masyarakat mempunyai
nilai budaya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan nilai budaya suatu
masyarakat atau warga masyarakat ini dikarenakan adanya pengaruh dari orientasi
nilai budayanya. Bentuk-bentuk orientasi nilai budaya yang ada dalam berbagai
masyarakat dapat kita lihat dalam bagan berikut ini.
23
BAB II
AKHLAK DAN BUDI PEKERTI
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kata akhlak, moral dan etika
yang ketiganya merupakan tingkah laku manusia, hampir sama, namun jika dilihat
dari sumbernya, ketiga kata tersebut akan berbeda. Akhlak bersumber dari agama
wahyu. Moral, nilai bersumber dari adat istiadat masyarakat. Sedangkan etika,
filsafat moral dari akal pikiran
Jika dikaji lebih mendalam dan dihubungkan dengan kontek kalimat kata
moral, etika dan akhlak memiliki pengertian yang berbeda. Moral artinya ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
budi pekerti. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas
suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan
benar, salah, baik, buruk . Yang dimaksud penilaian benar atau salah dalam
moral, adalah masyarakat secara umum. Sedangkan akhlak, tingkah laku baik,
buruk, salah benar adalah penilaian dipandang dari sudut hukum yang ada dalam
ajaran agama . Dalam Ensiklopedi Pendidikan (1976) Sugarda Purbakawatja
menyebutkan, sesuai dengan makna aslinya moral dalam bahasa latin disebut
mos, artinya adalah adat istiadat yang menjadi dasar untuk mengukur apakah
perbuatan seseorang baik atau buruk. Karena itu, bila untuk mengukur tingkah
laku manusia, baik atau buruk dapat dilihat apakah perbuatan itu sesuai dengan
adat istiadat yang umum diterima kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Karena itu dapat dikatakan baik buruk suatu perbuatan secara moral, bersifat
lokal.(Daud Ali,1998: 354)
24
menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk. Jika diperbandingkan
ketiga kata tersebut maka etika adalah ilmu, moral adalah ajaran, akhlak adalah
tingkah laku manusia (sikap etis).
Kata akhlak dapat diartikan sebagai perangai, maka memiliki arti yang
lebih mendalam karena telah menjadi sifat dan watak yang dimiliki seseorang.
Sifat dan watak yang telah melekat pada diri pribadi maka menjadi kepribadian.
Dapat juga dikatakan bahwa perangai adalah sifat dan watak yang merupakan
bawaan seseorang. Pembentukan perangai ke arah baik atau buruk, ditentukan
oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu lingkungannya.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terdekat bagi seseorang, dan
melalui keluarga dapat terbentuk kepribadian. Perangai dalam penerapannya
mungkin menimbulkan penilaian positif atau negatif tergantung pada perilaku
orang yang melakukan.
Kata akhlak apabila diartikan sebagai tingkah laku, maka tingkah laku itu
harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan
perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seperti halnya orang berbuat
sosial dengan memberikan uang pada orang miskin atau memberikan bantuan
pada korban bencana alam, hanya sekali dia melakukan tidak dapat disebut
berakhlak, ia hanya dikatakan sebagai seorang dermawan. Bila terus menerus
melakukan kebaikan dan memperlihatkan tingkah laku yang baik maka seseorang
disebut berakhlak. Selanjutnya orang dapat dikatakan berakhlak jika timbul
dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa
banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang,
sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Jika perbuatan itu terpaksa
bukanlah pencerminan akhlak (Ensiklopedi Islam, I, 1993, 102). Dengan
demikian, seseorang dikatakan berahklak jika memenuhi empat hal. Pertama
perbuatan yang baik atau buruk; kedua kemampuan melakukan perbuatan; ketiga
kesadaran akan perbuatan itu dan keempat kondisi jiwa yang membuat cenderung
melakukan perbuatan baik atau buruk. Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak
disebut sebagai ilmu akhlak ialah studi yang sistematik tentang tabiat dari
pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebagainya tentang
prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut
juga sebagai filsafat moral.(Ensyclopaedi of Britannica, “Etics”, jilid VIII: 752)
25
Kata budi pekerti dalam kamus Bahasa Indonesia ialah tingkah laku,
perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana
dan manusiawi. Di dalam perkataan itu tercermin sifat, watak seseorang dalam
perbuatan sehari hari. Budi pekerti sendiri mengandung pengertian positif. Namun
penggunaan atau pelaksanaannya yang mungkin negatif. Penerapannya tergantung
pada manusia. Karena itu, apabila orang mengatakan budi pekerti si Badu baik
kata-kata itu menunjukkan penilaian positif yang diberikan orang lain pada
pribadi si Badu. Sebaliknya kalau orang mengatakan budi pekerti si Badu buruk,
perkataan itu menunjukkan penilaian negatif terhadap pribadi si Badu. Apabila
dihubungkan degan akhlak yang berarti perangai adalah sama mengandung
pengertian tingkah laku manusia.
Budi pekerti didorong oleh kekuatan rohani manusia yaitu rasio, rasa dan
karsa yang akhirnya muncul menjadi perilaku yang dapat terukur dan menjadi
kenyataan dalam kehidupan. Ratio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin
tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak mau
menerima yang anlogis, yang tidak masuk akal. Untuk mengisi kebutuhan rasio
dengan memberi pengetahuan dan mengisinya dengan hal yang masuk akal.
Manusia diberi kesempatan berpikir dan mengembangkan, serta membimbing
akal ke arah yang benar. Karena itu belajar menuntut ilmu merupakan pemenuhan
kebutuhan rasio. Dalam hal ini yang terpenting adalah ilmu pengetahuan tentang
benar, salah dan tentang baik dan buruk.
Di samping unsur rasio manusia mempunyai unsur rasa. Perasaan manusia
selalu berhubungan dengan pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan suasana
lingkungan. Demikian pula perasaan manusia dipengaruhi oleh keyakinan yang
diyakini tentang kebenaran dan kebaikan.
26
lingkngan, perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun mempunyai kesamaan,
yaitu keinginan mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi
sebagai tujuan hidup.
Manusia memiliki karsa berhubungan dengan rasio dan rasa. Karsa disebut
kemauan atau kehendak, hal ini berbeda dengan keinginan. Keinginan lebih
mendekati pada senang atau cinta yang kadang kadang berlawanan antara satu
keinginan dengan keinginan lainnya dari seseorang pada suatu waktu yang sama,
keinginan belum menuju pada pelaksanaan. Kehendak atau kemauan adalah
keinginan yang dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak untuk
dilaksanakan. Dengan kata lain kehendak adalah keinginan yang dimenangkan di
antara keinginan keinginan yang banyak setelah mengalami kebimbangan.
Adapun kehendak muncul melalui sebuah proses sebagai berikut:
1) Ada stimulan ke dalam panca indra
2) Timbul keinginan-keinginan
3) Timbul kebimbangan, proses memilih
4) Menentukan pilhan kepada salah satu keinginan
5) Keinginan yang dipilih menjadi salah satu kemauan, selanjutnya akan
dilaksanakan.(Rahmat Djatnika, 1992: 167).
27
ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya. Kesemuanya memerlukan
keteraturan yang membuat manusia bisa berbuat baik dan benar.
Dengan demikian ruang lingkup akhlak meliputi:
2.2.1 Akhlak terhadap Tuhan YME
Tuhan adalah pelindung dan memberi makna dalam setiap kehidupan
manusia terutama bagi manusia yang beragama, karena inti agama adalah Tuhan.
Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak disebut agama. Dalam agama
agama wahyu, Tuhan dapat dilihat dari aspek eksistensi Tuhan. Agama Yahudi
menekankan pada Tuhan yang hidup ( The Living God). Agama Kristen menyebut
Tuhan dengan tripersonal, yaitu Tuhan Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Menurut
agama Kristen, tiga person merupakan satu kesatuan tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Satu dalam
Tiga dan Tiga dalam Satu.(Amsal Bahtiar, 1999: 203) Dalam agama Islam Tuhan
adalah maha pencipta maha memberi kahidupan maha Tinggi oleh karena itu
berdimensi serba maha jika dibandingkan dengan manusia. Karena itu semua
pemeluk agama selalu memberikan penghormatan dan kedudukan yang tertinggi
kepada Tuhan. Sebagai wujud dari penghormatan dan kedudukan yang tinggi
ummat dari masing-masing agama memanjatkan dan memohon do’a kepada
Tuhan dan perlindungan serta mohon keselamatan dalam kehidupannya. Untuk itu
perilaku terhadap Tuhan perlu diatur berdasarkan pada norma-norma yang berlaku
bagi agama masing-masing. Berakhlak kepada Tuhan merupakan pengembangan
kehidupan kerohanian bagi pribadi manusia. Dengan memelihara kehidupan
rohani manusia akan merasa hidup tenang,tentram di bawah lindungan Tuhan.
Akhlak yang baik terhadap Tuhan adalah berkata-kata dan bertingkah laku
yang terpuji, baik melalui penyembahan langsung maupun melalui perilaku-
perilaku tertentu yang mencerminkan komunikasi dengan Tuhan di luar
penyembahan sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan
28
mengendalikan keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan hati yang
membawa kearah tidak baik.
Hati yang bersih akan melahirkan ucapan ucapan dan perilaku yang baik yang
merupakan gambaran akhlak yang mulia. Ucapan yang baik digambarkan dalam
tutur kata yang sopan dan dapat menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya
sendiri. Jika hati bersih dan sehat pikiranpun bisa menjadi cerdas, karena tidak ada
waktu untuk berfikir licik, dengki atau keingnan untuk menjatuhkan orang lain.
Kebencian terhadap orang lain memakan waktu produktifitas dan kebahagiaan.
Akibat hati dan pikiran bersih akan memilki akses data yang tinggi, akses
informasi yang berlimpah. Akses ilmu yang benar-benar meluas yang akhirnya
akan mampu mengambil ide-ide yang cemerlang dan gagasan yang baru. Wajah
akan memancarkan kecerahan dan penuh keramahan, murah senyum.
2). Menata keikhlasan hati merupakan hakekat diri seseorang, perbuatan apa pun
akan sia-sia tanpa ada keikhlasan hati. Ikhlas berarti bersih dari segala maksud
maksud pribadi yang buruk, bersih dari pamrih dan riya. Manusia yang ikhlas
berkarakter kuat dan tidak mengenal lelah. perilakunya sama sekali tidak
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kedudukan maupun penghargaan. Orientasi
hidupnya jelas dan tegas, langkahnya pasti dan penuh harapan, tidak ada kata
frustasi dalam hidupnya, tidak ada putus asa dalam usahanya. Orang yang paling
menikmati hidupnya adalah orang yang bersungguh-sungguh menjaga
keikhlasannya. Orang yang ikhlas hanya memiliki dua kewajiban yaitu pertama
meluruskan niat dan kedua menyempurnakan ikhtiar
3). Menjadikan diri mau bersyukur (berterima kasih). Terima kasih disampaikan
kepada semua orang yang telah memberikn kenikmatan hidup baik berupa harta
kedudukan, kesejahtraan maupun kebahagiaan. Berterima kasih kepada orang yan
lebih tinggi sering dilakukan orang tetapi berterima kasih pada orang rendah dan
kecil sulit dilakukan sekalipun telah memberikan kenikmtan hidup. Seperti kepada
orang yang menjadi tukang sapu, membuang sampah, menjadi pembantu rumah
tangga.
4) Melatih diri menjadi penyabar. Sabar dapat diartikan sebagai upaya manusia
secara sungguh sungguh untuk dapat terus berada di jalan Allah. Salah satu jenis
kesabaran adalah sabar menghadapi rasa sakit. Jadikanlah sabar sebagai
penolongmu sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar
menghadapi kenyataan kenyataan hidup seperti menemui kemacetan harus antri
panjang berurusan dengan bank harus menunggu giliran, berobat ke dokter harus
menunggu panggilan dll.
5). Melatih pola hidup bersih. Kesungguhan untuk senantiasa hidup bersih
merupakan salah satu cara untuk meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup.
Langkah menuju hidup bersih sangat tergantung pada keseriusan dan tekad diri
sendiri. Mulailah berlatih hidup bersih dari hati, lisan, sikap dan tindakan
29
6). Memaksa diri mau berbuat taat terhadap peraturan peraturan. Ucapan mau
berbuat taat biasa dilakukan dengan mengucapkan yah saya bisa atau baik akan
saya lakukan. Ucapan ini harus disertai anggung jawab, sebab tanpa tanggung
jawab ketaatan terhadap pyang pernah diucapkan tidak terlaksana. Perilaku mau
berbuat taat adalah berdisiplin terhadap waktu, menepati janji, mengikuti
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2.2.3 Akhlak kepada orang tua. Berakhlak kepada orang tua dengan
meletakkan kedudukan orang tua sebagai orang yang melahirkan, membesarkan,
memberi makan, membimbing, mendidik, menyayangi, melindungi dan menjaga
dari bahaya yang merusak lahir maupun batin. Akhlak melalui ucapan dengan
berkata lemah lembut dengan tutur kata yang sopan santun, tidak keras ataupun
menghardik orang tua., memanggil orang tua dengan panggilan yang
menyenangkan. Akhlak melalui perbuatan dengan cara:
1) Memelihara orang tua bila telah lanjut usia dan kembali memiliki sifat
kekanak-kanakan, dengan sabar menghadapai keinginan-keinginan yang
perlu dipenuhi. Memlihara orang tua ketika menderita sakit baik ringan
maupun berat, setidaknya menjenguknya pada setiap saat untuk menghibur
hatinya.
2) Mendo’akan keselamatan dan keampunan bagi orangtua kendatipun telah
meninggal dunia dan mengenang jasa-jasanya terhadap kita.
3) Berkomunikasi dengan menjenguk di tempat kediamannya serta
menggunakan kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya dan
senantiasa menghargainya di setiap saat.
30
2.2.2.5 Akhlak terhadap tetangga.Dalam kajian sosiologi tetangga adalah
kelompok sosial yang terdiri dari beberapa buah keluarga, hidup berdampingan
antara keluarga satu dengan keluarga lainnya, memiliki latar belakang kehidupan
keluarga yang berbeda berada dalam satu wadah yang disebut rukun tetangga.
Untuk menjaga hubungan baik dalam kehidupan warga rukun tetangga antara lain
dengan berperilaku: a. Saling mengunjungi; b. Saling Bantu membantu di waktu
senang lebih-lebih di kala sedang susah; c. saling beri memberi; d. saling hormat
menghormati;.e saling menghindari permusuhan dan pertengkaran.
.
2.2.2.6. Akhlak terhadap masyarakat.Masyarakat merupakan suatu
komunitas yang lebih luas dari sebuah keluarga. Dalam masyarakat terdapat
keanekaragaman karakter budaya, ideologi, keyakinan dll. Yang perlu dilakukan
dalam kehidupan di masyarakat adalah bagaimana menjalin kehidupan bersama
yang lebih harmonis dan saling menghormati perbedaan-perbedaan yang ada.
Perilaku yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat adalah saling menghargai,
menahan diri, lapang dada mengingatkan untuk kebaikan, mengedepankan
kebersamaan, membela jika salah satunya teraniaya, berbuat baik untuk bersama,
berniat suci untuk kebaikan, menghormati perbedaan, merasa bersaudara, saling
mencintai, menolong dalam kebaikan, mendukung keputusan bersama, berjuang
menegakan keputusan bersama, saling memaafkan dan saling mendoakan.
31
Sedangkan hal-hal yang harus dihormati adalah penghargaan terhadap
kebenaran agama, ideologi, perbedaan budaya masing-masing tanpa harus
mengungkapkan kekurangan ataupun kelemahan yang bernada menghina atau
melecehkan. Karena itu pokok-pokok ajaran agama yang universal seperti
kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling kasih-mengasihi dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia harus lebih dikedepankan dari pada hal-hal yang
parsial, ekslusif dan pandangan yang sempit. (Prayitno, 2003: 290-291)
32
bahan peledak yang bebas merupakan perbuatan yang tidak berakhlak pada alam
sekitarnya.
2.3.1. Agama
Agama berdasarkan asal katanya,dari bahasa sansakerta a berarti tidak dan
gam berarti kacau, jadi agama = tidak kacau. Ada juga yang mengartikan a =
tidak; gam = pergi, mengandung arti tidak pergi tetap di tempat atau diwarisi
turun-temurun . Kemudian dalam bahasa Arab agama disebut ad-Din, kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.
(Jalaluddin Rahmat, 2001: 12)
Berdasarkan pengertian dari akar kata maka intinya adalah ikatan yang
berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan
gaib yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, namun mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap kehiduapan manusia sehari-hari.
Secara terminologi maka agama dapat diungkapkan dalam pengertian:
1) Kepercayaan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan mempengaruhi perbuatan-
perbuatan manusia
2) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
3) Suatu sistem tigkahlaku yang berasal dari sesuatu kekuatan gaib.
4) Pengakuan terhadap adanya kewajiban kewajiban yang diyakini bersumber
pada kekuatan gaib.
5) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar
manusia.
6) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.
( Jalaluddin Rahmat, 2001: 13)
33
berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang diturunkan kepada Nabi atau RasulNya.
Melalui Nabi ajaran ajaran tersebut diajarkan kepada sahabat-sahabatnya yang
merupakan kelompok pertama dan utama sebagai penganut agama tersebut dan
kepada orang orang lainnya. (Roland Robertson, 1988: vi) Dalam agama-agama
besar atau Samawi, ajaran agama yang diturunkan melalui wahyu tersebut
dibukukan sebagai kitab suci, dan begitu juga ajaran para Nabi. Sedangkan agama
lokal atau primitif, ajaran-ajarannya tidak dibukukan dalam bentuk tertulis tetapi
dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi atau upacara
upacara. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat dunia dan akhirat sebagai manusia yang takwa kepada
Tuhan, beradab dan manusiawi, yang berbeda dengan cara cara hidup hewan atau
mahluk mahluk gaib yang jahat dan berdosa.
Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, dan menjadi pendorong dan penggerak serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut tetap berjalan sesuai dengan
nilai-nilai kebudayaan dan ajaran ajaran agamanya. Pengaruh ajaran agama itu
sangat kuat terhadap sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat
bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujud sebagai
simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang
menjadi acuannya. Dalam keadaan demikian secara langsung atau tidak langsung,
etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang
ada dalam masyaralkat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya),
dipengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya
adalah pada agama yang dianutnya ; dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para
warga masyarakatnya sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti
oleh simbol-simbol suci.( Parsudi Suparlan, 1988: 7)
Dalam praktek hidup sehari hari, motivasi yang terpenting dan terkuat bagi
manusia terutama bagi para pelaku moral dan berakhlak adalah agama. Hampir
semua jawaban tertumpu pada agama jika diberikan sebuah pertanyaan “mengapa
perbuatan ini dilakukan atau perbuatan ini tidak boleh dilakukan?” Setiap agama
mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para
penganutnya.
34
Mengapa ajaran moral dari satu agama dianggap penting? Karena ajaran
itu berasal dari Tuhan yang dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi yang
lebih dari dirinya sedangkan mengagungkan Tuhan merupakan kewajiban agama.
Ajaran tentang akhlak, moral maupun budi pekerti, itu diterima berdasarkan
keimanan dan keyakinan terhadap agamanya tanpa memiliki rasionalitas seperti
makan daging babi haram dalam ajaran Islam. Ada juga yang secara umum
memiliki alasan-alasan yang rasional untuk menerima aturan-aturan agama seperti
jangan berdusta, jangan membunuh, jangan menyakiti orang (K.Bertens, 2002:37)
Meskipun agama dan filsafat berbeda sudut pandang tentang hal-hal etis,
namun tidak berarti bahwa dalam bidang etis tidak ada hubungan erat antara
agama dan filsafat. Hubungan ini dapat didekati dari segi falsafat maupun agama.
Dipandang dari segi filsafat, para filosof yang beragama mau tak mau akan
dipengaruhi oleh keyakinan religiusnya. Keyakinan yang dianutnya sebagai
manusia beragama memberikan corak pemikiran yang mendasari alur pikirnya
seperti yang dikenal dalam filosof Islam Al-Farabi, Al-Kindi, Ibn Sina dan Ibn
Miskawaih, serta Immanuel Kant dan sebagainya. Tidak mengherankan bila
seorang beriman, misalnya, percaya bahwa Tuhan telah menciptakan dunia dan
manusia agar kehidupan ini penuh kesucian dan dalam diri manusia terdapat
unsur-unsur suci dan bersih.
Dipandang dari segi agama, agama yang membahas masalah masalah etis
seringkali akan menggunakan argumentasi-argumentasi yang pada dasarnya
bersifat filosofis, terutama kalau masalah-masalah itu baru dan diakibatkan oleh
perkembangan ilmiah yang modern. Sebab dalam hal ini agama hanya memiliki
pedoman-pedoman prinsip etis secara umum, yang dapat diterima oleh semua
orang pada semua zaman. Dalam menghadapi masalah aktual, agama seringkali
menggunakan argumentasi-argumentari rasional menerapkan prinsip-prinsip
umum bersangkutan, seperti masalah aborsi, kloning, eutanasia. Bagi orang
beragama, Tuhan merupakan dasar dan jaminan bagi berlakunya tatanan moral
dan tempat pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya. Bagi orang yang
tidak beragama, rasio menjadi sumber moral yang mempunyai tanggung jawab
pada diri sendiri, tanggung jawab terakhir dianggap kurang penting.
35
Salah satu ciri yang mencolok dalam agama, yang berbeda dengan isme-
isme lainnya, adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Penyerahan ini
tidak terwujud dalam bentuk ucapan melainkan dalam tidakan-tindakan
keagamaan sehari-hari.Tidak ada satu agama pun yang tidak menuntut adanya
penyerahan diri secara total dari para penganut atau pemeluknya termasuk juga
agama-agama lokal yang digolongkan sebagai kepercayaan. Dari ciri ini agama
dinilai secara pribadi yang melibatkan emosi dan pemikiran-pemikiran yang
sifatnya pribadi yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan, (upacara,
ibadat, amal ibadah) yang sifatnya individual, kelompok ataupun sosial yang
melibatkan sebagian atau pun seluruh masyarakat. Walaupun di sisi lain agama
mempunyai sifat sifat secara umum untuk dimiliki bersama orang banyak atau
kelompok. Dalam kelompok atau kebersamaan yang dilandasi oleh ajaran agama,
keyakinan keagamaan dari anggota-anggota kelompok menjadi kuat dan
mantap.Tidak ada kesimpang-siuran dalam pemahaman mengenai pedoman dan
landasan yang menentukan arah keyakinan keagamaan yang telah ditentukan
dalam kitab suci agamanya.
36
buruk tersebut, maka agama tetap lestari dalam kehidupan manusia, sepanjang
zaman selama manusia itu ada.
Jika agama dikaitkan dengan masyarakat setidak tidaknya ada empat tipe
tingkat keagamaan, yaitu:
1) Tingkat rahasia, yakni seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan
diyakininya itu untuk diriya sendiri dan tidak untuk didiskusikan atau
dinyatakan kepada orang lain
2) Tingkat privat atau pribadi, yakni dia mendiskusikan atau menambah dan
menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada
sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi
dekat hubungannya dengan dirinya.
37
3) Tingkat denominasi, yakni individu mempunyai keyakinan keagamaan yang
sama dengan yang dipunyai individu-individu lainnya dalam satu kelompok
besar, karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat
4) Tingkat masyarakat, yakni individu memiliki keyakinan keagamaan dari
warga masyarakat tersebut. (J.P. Williams, 1962).
Misalnya alam itu indah dan perbuatan itu susila. Indah dan susila adalah
sifat atau kualitas yang melekat pada alam dan perbuatan. Maka nilai itu ada,
suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. (Kaelan
2001). Beranjak dari pengertian di atas maka suatu aliran atau keyakinan yang
dianggap memiliki nilai, apakah nilai itu universal atau praktis, yang diyakini
kebenarannya, maka ia dijadikan sebagai pandagan hidup.
38
sesuatu dianggap bernilai apabila itu berharga, berguna, benar indah, baik dan
sebagainya.
39
wujudnya saja tetapi juga yang terutama dari niat yang mendasarinya. (Clifford
Geertz, 1973: 127)
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan masing
masing bangsa sesuai dengan geografisnya masing-masing memiliki falsafat
hidup tersendiri yang dapat mempengaruhi pola hidup dan perilaku manusianya.
Hal ini membuat perlu diangkatnya nilai-nilai yang bersifat pluralistik, yang
mencerminkan kesatuan Indonesia dalam kemajemukan. Selama ini nilai-nilai
persatuan, kemanusiaan, keadilan, kebersamaan telah menjadi nilai yang diyakini
kebenarannya dan dijadikan sebagai falsafat hidup bangsa dalam bermasyarakat
dan bernegara.( Prayitno 2003: 249)
2.3.3.1.Tradisi
Dalam kehidupan di masyarakat dikenal adanya tradisi sebagai suatu
gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama
dilaksanakan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi sama
dengan adat kebiasaan yang dimunculkan oleh kehendak atau perbuatan sadar
yang telah menjadi kebiasaan sekelompok orang. Ada dua faktor penting yang
melahirkan adat kebiasaan:
40
1) Adanya kecenderungan hati kepada perbuatan itu, dia merasa senang untuk
melakukannya, dengan kata lain dia tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut.
2) Diikutinya kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang ulang
sehingga menjadi biasa.
Di antara dua faktor itu yang kedua itulah yang sangat menentukan, sebab
walaupun ada kecenderungan hati untuk melakukannya, tetapi apabila tidak ada
kesempatan untuk memunculkan perbuatan, umpamanya ada pencegahan, ada
halangan maka kecenderungan hati itu tidak terealisir. Sebaliknya mungkin
mulanya tidak ada kecenderungan hati utuk berbuat tetapi selalu dihadapkan pada
keharusan untuk berbuat, maka pertama kali ada unsur keterpaksaan untuk
berbuat, sedikit demi sedikit mengenalnya dan apabila dilakukan terus menerus
kebiasaan itu akan memberi pengaruh juga pada perasaan hatinya karena terbiasa.(
Rahmat Djatmika, 1985:50) Membiasakan hal-hal baik dianjurkan dalam agama,
walaupun tadinya kurang rasa tertarik hatinya untuk berbuat, apabila terus-
menerus dibiasakan akan mempengaruhi sikap batinnya juga. Perbuatan terus-
menerus yang memang diawali oleh agama membawa dampak positif karena tidak
ada ajaran agama yang akan menjerumuskan umatnya.
41
subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri sendiri, di mana masing masing
subsistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. (Prayitno,
2003: 99).
2.3.3.2 Budaya
Budaya dapat didefinisikan secara sempit dan secara luas. Definisi secara
sempit mencakup kesenian dengan semua cabang-cabangnya dan definisi budaya
secara luas mencakup semua aspek kehidupan manusia. Menurut Sutan Takdir
Alisyahbana, budaya dalam arti sempit adalah adat istiadat, kepercayaan, seni.
Budaya dalam arti luas, melingkupi segala perbuatan manusia, hasil budi manusia,
kehidupan manusia sehari-hari (Maurits Simatupang, 2002: 139-140).
42
Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang
memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Obyek-obyek seperti
rumah, mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis
transportasi, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial budaya
berkesinambungan dan hadir di mana-mana.
43
kurun waktu tertentu. Pengaruh budaya seringkali berproses tanpa disadari oleh
yang dipengaruhinya. Sebagai contoh, bandingkan cara berbicara atau
berkomunikasi antara suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Bugis, Maluku, Irian,
Eceh, Padang dan Banjar.
44
4) Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu
telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan
kembali.
2.3.4.2 Teknologi
Dalam konsep yang pragmatis dan berlaku secara akademis dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge) dan teknologi sebagai
suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubugan dengan proses
produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga
kerja dan keterampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. Secara
konvensional ia mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas
juga meliputi teknologi sosial sehingga teknologi itu adalah metode sistematis
untuk mencapai setiap tujuan insani (Eugene Staley, 1970)
45
dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat
perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia. Jadi teknik menurut Ellul
adalah berbagai usaha, metode dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah
distandardisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
46
Lain halnya dengan E.F Scumacher (1979). Ia berpendapat bahwa
pandangan sebelumnya terhadap teknologi adalah anarki teknologi yang
memandang teknologi serba baik. Pandangan ini kemudian bergeser menjadi cinta
akan teknologi dengan mengembangkan apa yang disebut “teknologi tepat guna.”
Teknologi tepat guna merupakan pengembangan teknologi yang sesuai dengan
situasi budaya dan geografis masyarakat, penentuan teknologi sendiri sebagai
suatu identitas budaya setempat serta menggunakan teknologi dalam proses
produksi untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan dasar dan bukan barang-
barang objek ketamakan.
2.3.4.3 Seni
Seni merupakan persoalan nilai dan penilaian. Karena itu, batasan seni
adalah batasan nilai tentang apa yang disebut seni. Ketika seni diberi batasan
secara deskriptif, yang muncul adalah batasan tanpa nilai. Upaya untuk membuat
sebuah batasan memang diperlukan untuk membedakan seni dengan ilmu, seni
dengan teknologi dan seni dengan filsafat. Terdapat perbedaan-perbedaan
pendapat di antara batasan-batasan yang ada, seperti Jecques Maritain
menyebutkan bahwa seni adalah ekspresi intelektual, sedangkan Santayana
menyebutnya rasa senang seniman, Croce menyebutnya intuisi yang
diekspresikan, Freud menyebutnya hasrat bawah sadar manusia yang
diekspresikan dan Bosanquet menyebutnya jiwa keseluruhan. (Jakob Sumardjo,
2000: 51-52).
Kaitannya dengan ekspresi gagasan dan perasaan dari suatu objek seperti
ketika kita menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai, atau
menyaksikan bentuk awan senja, derasnya air terjun, gemuruhnya suara ombak di
laut. Seni selalu membawa makna tertentu dalam dirinya dan usaha komunkasi
seni dengan orang lain. Gagasan dan perasaan dari sebuah objek itu
dikomunikasikan dengan orang lain, maka menjadi karya seni.
Kebenaran tidak selamanya timbul dari teori pengetahuan tetapi ada juga
yang muncul dari perasaan seni, perasaan keindahan dan ekspresi kejiwaan yang
mendalam. Menurut Quraish Shihab, seni adalah keindahan. Ia merupakan
ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan
47
keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan
seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut
merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Tuhan kepada hamba-
hambanya. Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan
mahluk lain. Agama mendukung kesenian selama penampilannya lahir dan
mendukung firah manusia yang suci, dan karena itu pula agama bertemu dengan
seni dalam jiwa manusia. (M.Quraish Shihab, 2001: 388-390)
48
BAB III
Bila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai spiritual merupakan
nilai tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa
(Notonagoro, 1980) Dalam kehidupan sosial-budaya keterkaitan seseorang
dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan
beragama. Setiap orang akan selalu memiliki pandangan atau persepsi akan
sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam
pandangan orang beragama disebut sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang
Hyang Widi, Tuhan, God, Yang Maha Pencipta, dan sebagainya. Manusia sangat
tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar dirinya, bahkan
memujanya untuk melindungi dirinya dan bila perlu rela mengorbankan apasaja
harta, jiwa sebagai bukti kepatuhan dan ketundukan terhadap yang mempunyai
kekuatan tersebut.
49
Yang dimaksudkan dengan permasalahan hidup di sini adalah segala
sesuatu yang perlu diatasi ataupun suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Berikut
ini adalah beberapa permasalahan hidup manusia yang bersifat universal, yaitu
dimanapun manusia itu ada maka permasalahan hidup ini akan selalu ada.
Bagaimana cara manusia itu mengatasi permasalahan tersebut, misalnya dengan
mengambil hikmah, atau upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya itu, akan menunjukkan kualitas dari diri manusia sebagai sisi nilai
kemanusiaannya.
Sulit merumuskan cinta kasih secara utuh karena lebih mengandung arti
psikologis yang dalam. Cinta kasih lebih melibatkan perasaan. Beberapa ilmuwan
hanya memberikan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian cinta kasih.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan cinta adalah perasaan simpati yang
melibatkan emosi yang mendalam dan terjadi antara manusia dengan Sang
Pencipta, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam dan
manusia dengan dirinya sendiri. Di dalam pengertian simpati terkandung unsur
pengenalan/knowledge, dan di dalam emosi terkandung unsur tanggung jawab,
pengorbanan, perhatian, saling menghormati, dan kasih sayang.
Menurut Erich Fromm, ada empat syarat utama yang harus dipenuhi untuk
mewujudkan cinta kasih yaitu:
1. Konowledge (pengenalan), dengan demikian yang bersangkutan akan
menerima sebagaimana adanya;
2. Responsibility (tanggung jawab), yang mana masing-masing pihak
mempunyai tanggung jawab yang sama;
3. Care ( pengasuhan, perhatian, perlindungan, saling peduli)
4. Respect ( saling menghormati)
Iapun mengatakan bahwa cinta itu suatu tindakan yang aktif bukan perasaan yang
pasif. Sifat aktif cinta dapat dilukiskan dengan menekankan bahwa cinta itu
mengutamakan memberi bukan menerima. (Widyosiswoyo, 1996: 50-52)
50
Sebagaimana telah dikemukakan, cinta kasih merupakan kebutuhan
manusia yang mendasar dan universal, setiap manusia berusaha mendapatkannya.
Cinta kasih yang sudah ada tentunya harus selalu dijaga agar dapat dipertahankan
keindahannya.Segala sesuatu agar mendapatkan hasil yang diharapkan
memerlukan suatu proses. Demikian pula halnya dengan cinta kasih, agar dapat
mencintai/dicintai atau mempertahankan cinta kasih yang sudah ada, kita perlu
melakukan suatu tindakan atau perbuatan-perbuatan baik yang akan menghasilkan
sesuatu yang kita harapkan. Walaupun sebagai manusia seringkali kita juga belum
tentu mendapatkannya, namun proses ihktiar itu yang menunjukkan kualitas kita
sebagai manusia.
Cinta kasih bisa dipahami dari beragam hubungan yang dijalin oleh subjek-
subjek yang mengadakan hubungan tersebut, yaitu:
1. Manusia dengan Sang Pencipta, disebut Agape. Bentuknya berupa:
pengabdian, pemujaan disertai kepasrahan.
2. Manusia dengan manusia lain, yang disebut:
a. Philia, jika bentuknya cinta persaudaraan atau persahabatan;
b. Eros, jika cintanya menyangkut aspek ragawi;
c. Amor, dalam aspek psikologis dan emosional.
3. Manusia dengan alam sekitar/lingkungan. Bentuk cinta kasihnya
diwujudkan dengan menjaga/ melestarikan lingkungan, dengan
menciptakan keserasian, keselarasan, keseimbangan dengan
alam/lingkungan.Sehingga dapat diupayakan suatu kehidupan yang
menyenangkan, bahagia dan sentosa.
51
Selain itu kehidupan dunia adalah tidak abadi. Untuk mencapai kehidupan
yang kekal di akhirat dengan bahagia, tentunya manusia harus mempersiapkan
dirinya dahulu di dunia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu dengan
menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Salah satu yang
diperintahkan Tuhan adalah memberikan cinta kasih terhadap sesama manusia
termasuk dirinya sendiri dan juga terhadap alam semesta. Uraian di bawah ini
antara lain merupakan bentuk-bentuk cinta kasih antara manusia dengan manusia
dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
2. Cinta Persaudaraan
Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini
tanpa bantuan manusia atau makhluk lainnya. Selain itu manusia juga mempunyai
kebutuhan-kebutuhan hidup naluriah yang perlu dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan
mendasar tersebut antara lain:
1. Dorongan untuk mempertahankan hidup. Sebagai suatu kekuatan biologi
yang ada pada semua makhluk di dunia dan yang menyebabkan mampu
mempertahankan hidupnya di muka bumi.
2. Dorongan seksual. Dorongan yang timbul pada tiap individu normal tanpa
pengaruh pengetahuan, dan sebagai landasan biologi yang mendorong
manusia meneruskan keturunannya.
3. Dorongan untuk usaha mencari makan. Dorongan ini tidak perlu
dipelajari, dan sejak bayipun manusia sudah menunjukkan dorongan untuk
mencari makan, yaitu dengan mencari susu ibunya atau botol susunya
tanpa dipengaruhi oleh pengetahuan.
4. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lain. Sebagai
landasan biologi dari kehidupan masyarakat manusia sebagai makhluk
kolektif.
5. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan
sumber dari adanya beraneka ragam kebudayaan manusia. Dengan adanya
dorongan ini, manusia mengembangkan adat yang memaksanya membuat
kesepakatan-kesepakatan dengan manusia di sekitarnya.
6. Dorongan untuk berbakti. Dorongan ini ada dalam naluri manusia karena
manusia adalah makhluk yang hidupnya kolektif. Sehingga untuk dapat
hidup bersama dengan manusia lain secara serasi, ia perlu landasan biologi
untuk mengembangkan rasa altruistik, rasa simpati, rasa cinta dan
sebagainya, yang (mendukung ) memungkinkannya hidup bersama
tersebut. Kalau dorongan ini diekstensikan dari dorongan untuk berbakti
pada sesama manusia, kepada kekuatan-kekuatan yang oleh
perasaannyadianggap berada di luar kemampuan dirinya, maka akan
timbul religi.
7. Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, warna,
suara, atau gerak. Pada seorang bayi dorongan ini sudah tampak pada
gejala tertariknya seorang bayi kepada bentuk-bentuk dan warna-warna
tertentu. Dorongan naluri ini merupakan landasan dari suatu unsur penting
52
dalam kebudayaan manusia yaitu kesenian. (Koentjaraningrat, 1990: 109-
111)
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidak dapat dipenuhi oleh dirinya
sendiri. Oleh karena itu ia membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Artinya
ia perlu bekerjasama dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
Bagaimana agar dapat bekerjasama dan terjalin hubungan yang baik, tentunya
harus ditumbuhkan sikap altruisme yang memperlihatkan rasa cinta kasih antara
sesama manusia yang saling membutuhkan itu, dan bukan sikap yang sebaliknya.
3. Cinta Keibuan
Pada hakekatnya cinta keibuan merupakan cinta antara dua pihak yang
tidak setara, yaitu antara yang memerlukan dan yang memberikan bantuan.
Seorang anak sangat memerlukan bantuan ibu karena ia secara fisik maupun
psikis memerlukan pertolongan agar terpenuhi kebutuhan dasar naluriahnya. Di
sisi lain seorang ibu pada umumnya mempunyai kemampuan secara kodrati untuk
memenuhi kebutuhan itu.
Ciri utama dari cinta keibuan adalah altruistis dan tidak mementingkan
dirinya sendiri dengan rela berkorban demi anaknya. Cinta ini dipandang sebagai
cinta paling suci, melingkupi ikatan emosional yang dalam. Biasanya seseorang
dalam hal ini bersifat “nursisistis”, ingin menguasai, ingin memiliki, berhasil
menjadi ibu yang mencintai/menyayangi selama anak itu masih kecil.
Besar dan tulusnya cinta keibuan, digambarkan dengan peribahasa bahwa
“cinta ibu sepanjang jalan, cinta anak sepanjang penggalan”. Artinya cinta ibu
seperti panjang suatu jalan yang tidak berbatas, sedangkan cita anak adalah
sebaliknya.
Dalam cinta keibuan, seorang ibu berperan sebagai agen sosialisasi yang
primer. Ia mensosialisasi nilai-nilai kehidupan bagi anaknya untuk dapat
mempersiapkan menghadapi kehidupan di dalam masyarakat. Apabila cinta
keibuan yang diberikan berlebih-lebihan atau sebaliknya maka akan berdampak
pada penanaman atau sosialisasi nilai pada dirinya. Tidak tertutup kemungkinan
anak ini akan mengalami masalah sosial di kemudian hari.
4. Cinta Erotis
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa salah satu dorongan naluri
manusia adalah dorongan seksual. Sebagai dorongan yang merupakan landasan
biologi manusia untuk meneruskan keturunannya.
Cinta antara sepasang manusia, dikatakan sebagai cinta erotis karena
didasarkan pada dorongan seksual, yang bersifat eksklusif (tidak universal). Cinta
kasih yang ada adalah upaya “meleburkan” diri dari dua orang yang berbeda
secara fisik maupun kepribadiannya. Kualitas cinta ini akan tergantung bagaimana
kedua belah pihak menjaga jalinan hubungan atau komunikasi.
Yang perlu diingat di sini adalah batasan moral dalam melakukan
hubungan atau menyalurkan hasrat seksual tersebut. Mengingat manusia hidup
tidak sendiri, ia dilingkupi oleh nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya.
53
Sebagai makhluk hidup yang berbudaya, tentunya dalam menyalurkan dorongan
seksual tersebut akan memperhatikan dan melaksanakan nilai-nilai yang menjadi
pedoman hidupnya.
Beragam nilai yang yang hidup dalam suatu masyarakat, atau dikatakan
juga sebagai norma akan memberikan arahan mengenai berbagai hal termasuk
dalam kaitannya dengan penyaluran hasrat seksual. Contohnya adalah dengan
sebelumnya melakukan perkawinan. Dengan pranata/lembaga perkawinan ini
maka penyaluran hasrat ini akan menjadi sah, terjaga, dan tidak melanggar norma-
norma, baik norma agama, norma hukum maupun norma sosial (berkaitan dengan
kesusilaan). Sehingga dapat dihindari suatu pergaulan hidup/seks yang bebas
namun tidak bertanggung jawab dan tidak berbudaya, suatu perbuatan yang tidak
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh hewan.
Dengan mencintai diri sendiri, kita menyadari keberadaan kita, dan apa
yang seharusnya kita lakukan. Kita memperhatikan diri kita, karena kita juga
merupakan amanah dari Tuhan yang harus dipelihara dengan baik termasuk juga
memelihara dan menjaga harga diri. Mencintai diri sendiri artinya kita menyadari
bahwa hidup tidak bisa sendiri. Konsekuensi logisnya adalah kitapun harus
mencintai sesama manusia dan juga lingkungan di sekitar yang menopang
kehidupan kita.
Kata simpati berasal dari kata Yunani yang berarti “merasa dengan”.
Sedangkan empati, yang juga berasal dari kata Yunani mempunyai arti “merasa di
dalam”. Sehingga pengertian dari kata simpati menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sebagai rasa kasih atau keikutsertaan merasakan perasaan orang
54
lain. Kemudian empati diartikan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang
merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang
sama dengan orang atau kelompok lain, termasuk di sini suatu penderitaan yang
dialami orang lain. Hal ini dapat dicontohkan bagaimana seluruh bangsa
Indonesia, bahkan umat di dunia saling bahu-membahu dalam mengatasi bencana
Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, yang telah menelan banyak korban, pada
tanggal 26 Desember 2004 yang telah lalu. Yang telah dilakukan banyak pihak
ini, menunjukkan suatu sikap tidak hanya simpati tetapi juga empati terhadap para
korban musibah ini.
1. Penderitaan
Ciri kehidupan di dunia ditandai oleh tawa dan tangis yang mencerminkan
keadaan yang fana. Pada suatu saat kita temukan kebahagiaan, yang pada
umumnya diungkapkan dengan tawa ria. Pada saat lain kita mengalami
penderitaan, kesakitan, kesusahan, yang biasanya diungkapkan dengan tangis.Kata
penderitaan yang berkata dasar ‘derita’ berasal dari kata ‘dhra’ dari bahasa
sangsekerta yang artinya menahan, menanggung/merasai sesuatu yang tidak
menyenangkan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2001: 255.). Penderitaan merupakan
pengalaman pahit yang tidak didambakan oleh setiap manusia.
Sumber penderitaan ada yang berasal dari a) Sang pencipta, melalui alam
misalnya: gunung meletus, gempa bumi, Tsunami, dll. b) Lingkungan hidup
manusia sendiri yang berasal dari masyarakat, kelompok atau orang lain secara
individual, bentuknya dapat berupa perang, pengucilan, dll. c) Diri sendiri,
misalnya tidak lulus ujian karena tidak belajar, terjatuh karena tidak hati-hati, dll.
Ketiga penderitaan yang berasal dari sumber yang berbeda dapat muncul
bersamaan dalam satu waktu.
55
psikis, misalnya: seseorang yang menderita sakit parah dan sulit untuk
disembuhkan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan atau mengalami stress.
Sebaliknya, seseorang yang sedang mengalami kesedihan yang mendalam,
misalnya karena ditinggal mati orang yang sangat dicintainya, atau ketakutan yang
sangat, misalnya phobia tertentu, dapat mengalami gangguan kesehatan fisik.
Dalam menerima suatu penderitaan adalah subyektif bagi tiap individu. Hal ini
tergantung pada tinggi rendahnya toleransi individual, sehingga mengandung
gradasi dalam penghayatannya.
Akhirnya, secara umum manusia ingin bebas dari penderitaan, karena itu
selalu berupaya untuk “melepaskan diri” dari keadaan-keadaan yang memberikan
pengalaman tersebut, dalam bentuk-bentuk:
a. Perilaku nyata, yaitu menghindar atau menjauhkan diri dari
keadaan-keadaan yang disadari dapat memberi pengalaman tersebut
(mengandung antisipasi);
b. “Mencairkan” makna penderitaan, meyakini bahwa setiap
pengalaman yang tidak dikehendaki memuat hikmah tertentu. Yang
dimaksud di sini adalah penderitaan diterima sebagai kenyataan tetapi
56
diperkecil nilai bebannya, atau diterima sebagai kenyataan tetapi
ditafsirkan sebagai sesuatu yang bernilai di kemudian hari.
c. Menolak kenyataan sebagai mekanisme pertahanan diri (defence
mechanism; escape mechanism)
2. Kegelisahan
Kegelisahan adalah suatu rasa tidak tentram, tidak tenang, tidak sabar, rasa
khawatir/cemas pada manusia. Jadi gelisah merupakan suatu rasa (-) yang
berkembang dalam diri manusia, sifatnya psikologis/kejiwaan. Kegelisahan
merupakan gejala universal yang ada pada manusia manapun. Namun kegelisahan
hanya dapat diketahui dari gejala tingkah laku atau gerak-gerik seseorang dalam
situasi tertentu. Jadi merupakan sesuatu yang unik, sebagai manifestasi dari
perasaan tidak tentram, khawatir/cemas, dsb.
57
haruslah menyadari adanya kegelisahan diri, kemudian introspeksi diri,
melakukan tindakan nyata, mengambil hikmah/beauty dari suatu pengalaman, dan
tidak lupa untuk berdoa dan pasrah/ikhlas, menyerahkan diri pada Tuhan YME.
3.2.3. Kebersamaan
Secara kodrati, kebersamaan merupakan suatu kata yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Konon, manusia
pertama, Adam, pun sejak diciptakan telah memiliki kecenderungan tidak mampu
hidup sendiri, sehingga diciptakan manusia kedua, Hawa, sebagai teman
hidupnya. Demikian pula kehidupan manusia dari generasi lampau sampai
sekarang, ia tidak bisa hidup sendirian. Manusia menghadapi tantangan dari alam,
dari sesama, juga dari dirinya sendiri. Hanya melalui kerjasama dengan pihak lain,
tantangan itu dapat lebih mudah dan lebih ringan dihadapi.
58
Azas-azas yang mengemuka ketika membicarakan pergaulan dalam
kehidupan kolektif tersebut adalah azas egoisme dan azas altruisme. Azas egoisme
atau azas mendahulukan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan di atas
kepentingan orang lain. Azas egoisme di sini adalah dalam konteks upaya
mempertahankan diri kehidupan kolektifnya terhadap kolektif lainnya di dalam
alam yang kejam (survive). Sikap egois memungkinkan “the survival of the
fittest”. Sebaliknya, azas altruisme adalah hidup berbakti untuk kepentingan yang
lain sebagai lawan dari azas egoisme, yang juga digunakan untuk dapat bertahan
dalam proses seleksi alam yang kejam. Dengan altruisme maka makhluk kolektif
itu mampu mengembangkan suatu hubungan bantu membantu, dan kerja sama
yang serasi sehingga sebagai kolektif mereka menjadi kuat menghadapi tantangan
alam yang keras (Koentjaraningrat, 1996: 137). Bagaimana menyikapi penerapan
azas-azas ini dalam kehidupan kolektif manusia?
Manusia dalam hidupnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi dirinya
sebagai individu, yang tingkah lakunya dipengaruhi oleh unsur
genetisnya/fisiologis dan unsur kepribadian yang beretik autonom. Kemudian sisi
dirinya sebagai bagian/anggota dari suatu masyarakat yang beretik heteronom.
Etik autonom pribadi berpusat pada kata hati tiap-tiap orang. Sedangkan etik
masyarakat yang heteronom terjelma dalam adat istiadat, kebiasaan maupun
undang-undang. Adat istiadat, kebiasaan dan undang-undang inilah yang
merupakan norma-norma yang menentukan kelakuan individu-individu sebagai
anggota suatu masyarakat ( Takdir Alisyahbana, 1982: 8-16).
Sebagai bagian dari suatu kolektif manusia, yaitu masyarakat Indonesia, kita
menyadari bahwa Indonesia adalah masyarakat majemuk yang keheterogenitasnya
dapat dilihat dari jumlah suku bangsa yang beragam, bahasa, agama yang dianut,
demografi, jenis pekerjaan dan sebagainya. Dengan semboyan Bhineka tunggal
ika kita berupaya selalu menjaga persatuan bangsa. Namun dalam perjalanan
hidup kebersamaan bangsa Indonesia, kita mengalami berbagai masalah serius
terutama masalah disintegrasi bangsa yang ekskalasinya meningkat akhir-akhir
ini. Permasalahan disintegrasi bangsa tersebut antara lain berkaitan dengan
masalah hubungan antara aneka warna suku bangsa, hubungan mayoritas
minoritas, hubungan antar umat beragama, daerah-daerah yang masih terbelakang,
separatisme, dan sebagainya.
59
Dalam menyikapi hal ini perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang
melibatkan seluruh bangsa Indonesia. Upaya-upaya tersebut antara lain sebagai
berikut.
60
Perbedaan karakteristik pada masyarakat yang kolektivisme dan
individualisme menurut Hofstede
Individualisme Kolektivisme
61
terus menerus, dengan kata lain, melaksanakan komunikasi secara lateral,
mengadakan dialog dan memecahkan masalah bersama melalui konsensus.
( Leliweri, 2002: 38)
Dalam komunikasi antar budaya kita berusaha untuk membuka diri dengan
menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana saya melihat diri sendiri ? (untuk seterusnya, “saya” di sini
dapat dianalogikan dengan “suku saya” atau “bangsa saya”, dst.)
2. Bagaimana saya melihat anda? (untuk seterusnya, “anda” di sini dapat
dianalogikan dengan “suku anda” atau “ bangsa anda”, dst.)
3. Bagaimana Anda berpikir tatkala Anda melihat saya?
4. Bagaimana Anda melihat diri Anda?
5. Bagaimana Anda melihat diri saya? dan
Bagaimana Anda berpikir tatkala saya melihat Anda (Hybells and Weaver II,
1992 hlm. 26). ( Leliweri, 2002: 32-33)
62
Unsur bahasa misalnya adalah bahasa daerah atau bahasa suku bangsa, dan
unsur-unsur kesenian adalah semua unsur kesenian tradisional yang berasal dari
kebudayaan daerah. Oleh karena itu oleh konsepsi Ki Hajar Dewantara unsur-
unsur itu disebut sebagai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Di samping itu
masih ada sejumlah unsur yang kiranya perlu diperhatikan sebagai unsur-unsur
kebudayaan nasional yaitu sains dan teknologi. Unsur-unsur itu umumnya berasal
dari peradaban dunia masa kini, dan perlu kita jadikan bagian integral dari
kebudayaan nasional kita
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam upaya mengembangkan
kebudayaan nasional Indonesia adalah unsur-unsur kebudayaan yang akan
menjadi kebudayaan nasional Indonesia harus memiliki watak khas atau
kepribadian sebagai kebudayan nasional Indonesia. Watak itu dalam ilmu-ilmu
sosial disebut sistem atau orientasi nilai budaya. Nilai budaya adalah suatu
gagasan, suatu hasrat, atau suatu perilaku yang dinilai tinggi dan sudah
dibudayakan sejak usia dini dalam jiwa warga suatu kebudayaan. Oleh karenanya
nilai ini sulit diubah dalam hanya satu generasi saja. Sebagai contoh misalnya adat
gotong royong dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di seluruh Nusantara,
adat merantau dalam kebudayaan Minangkabau, hasrat untuk bersaing dalam
kebudayaan Batak (diambil hanya dalam konteks yang positif), dan sebagainya.
Jiwa kebudayaan nasional Indonesia pada hakekatnya memang terdiri dari
nilai-nilai budaya yang memberi watak dari kepribadiannya dari kebudayaan suku
bangsa. Untuk itu perlu dilakukan seleksi dan pengembangan terhadap nilai-nilai
budaya tersebut dengan cara antara lain:
1. mengembangkan sikap hidup yang positif dan mengurangi sikap
menggantungkan diri pada nasib;
2. mengembangkan sikap yang menilai tinggi disiplin, kesinambungan,
dan mutu hasil kerja;
3. mengukuhkan kembali sikap hidup selaras dengan alam;
4. lebih banyak mengembangkan orientasi hidup ke masa depan daripada
mengagungkan masa kejayaan bangsa Indonesia di masa lalu,
mengembangkan sikap tepat waktu dalam aktivitas sehari-hari, suatu orientasi
hidup yang erat kaitannya dengan orientasi ke masa depan, dan kebiasaan
hidup berhemat;
5. mengukuhkan nilai gotong royong dengan mengurangi aspek-aspek
negatifnya seperti sikap kurang mandiri, kurang bertanggung jawab;
mengurangi sikap ketergantungan kepada orang-orang yang lebih “tinggi”;
dan meningkatkan disiplin nasional sesuai dengan aturan-aturan yang ada.
(Koentjaraningrat, Kompas, 14 Januari 1991)
63
mengatasi hal ini antara lain telah dikeluarkan Ketetapan MPR-Republik
Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Dengan ketentuan ini maka diberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan
Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman Daerah.( Indonesia, Penjelasan Undang-Undang RI No 22 Th
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah digantikan oleh Undang-Undang
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
3.2.4. Keadilan
Begitu sering kita mendengar kata keadilan dikemukakan orang, namun
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keadilan yang begitu kita dambakan
ini. Keadilan yang berasal dari kata adil, dapat diartikan sebagai suatu keadaan
seimbang, tidak berat sebelah atau tidak memihak. Sehingga keadilan lebih jauh
dapat diartikan sebagai suatu tuntutan sikap yang seimbang antara hak dan
kewajiban.
Pemberian hak dimaksud adalah kepada siapa saja yang memang menjadi
haknya. Dengan demikian kewajibanpun adalah kita memberikan apa yang
menjadi kewajiban kita kepada orang yang seharusnya mendapatkannya. Selain
itu kata keadilanpun dapat diartikan sebagai memberikan perlakuan yang sama
kepada setiap orang dalam situasi yang sama. Hal ini karena pada hakekatnya
setiap manusia itu mempunyai nilai yang sama sebagai manusia. Namun pada
kasus-kasus atau situasi tertentu perlu suatu perlakukan yang tidak sama untuk
mencapai apa yang dikatakan sebagai keadilan, jadi harus ada alasan khusus yang
dapat membenarkan sikap/perlakuan tersebut. Sebagai contoh: ketentuan
membunuh adalah suatu tindakan atau perbuatan jahat yang melawan hukum yang
akan mendapat hukuman yang berat menurut KUHP. Ketentuan ini menurut azas
keadilan adalah diperlakukan sama pada setiap orang yang melakukannya. Namun
ketika proses di pengadilan, seorang hakim akan menelaah lebih jauh perbuatan
membunuh dari seseorang tersebut. Hal ini karena bisa saja seseorang itu
membunuh karena ia membela diri karena ia akan diperkosa misalnya. Di lain
kasus, bisa saja membunuhnya seseorang itu karena tuntutan pekerjaan seperti
seorang polisi yang membunuh penjahat yang melarikan diri atau membahayakan
masyarakat lain, jadi tindakannya itu ada alasan pembenarnya.
Mengingat keadilan merupakan suatu hak yang asasi dari manusia
dimanapun dan dimasa manapun ia berada, sehingga merupakan hak yang bersifat
universal maka banyak pendapat yang mengemukakan hakekat dari keadilan ini
disesuaikan dengan jamannya. Ungkapan-ungkapan keadilan tersebut antara lain
yaitu pada jaman Romawi Kuno ada ungkapan Tribuere Suun Cuiqe yang artinya
betapa pentingnya memberikan hak-hak apa yang ada pada setiap orang, apa yang
dimilikinya harus diberikan kepadanya tanpa kecuali. Pada jaman Yunani purba,
64
dewa Zeus dianggap sebagai penegak hukum dan keadilan yang menguasai jagad
raya.
Selain itu beberapa pendapat para ilmuwan/filsuf berkaitan dengan
keadilan antara lain adalah pendapat dari Socrates yang menitikberatkan keadilan
pada pemerintahan yaitu bilamana pemerintah dengan rakyatnya terdapat saling
pengertian yang baik. Kemudian bila penguasa mematuhi dan mempraktekkan
ketentuan hukum serta pimpinan negara bersikap bijaksana. Aristoteles
mengemukakan bahwa keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia
(Faierner in human action). Plato pada jaman Yunani Kuno memberi nilai
keadilan sebagai “Kebajikan Tertinggi dalam Kehidupan Negara Yang Baik” (The
Supreme Virtue of The Good State) dan orang yang adil adalah “orang yang
mengendalikan diri, yang perasaannya dikendalikan oleh akal” (the discipline
man whose passion are controlled by reason). John Lock mengaitkan keadilan
dengan beberapa hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga,
hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk berpendapat dan hak untuk tidak
boleh dihukum sebelum ada petunjuk atau bukti sah.(Mustopo, 1992: 157-159)
Sebagaimana dikemukakan di atas sebagian dari pandangan-pandangan
manusia tentang keadilan yang beragam. Sebagaimana manusia yang mempunyai
berbagai pendapat, seringkali menimbulkan bias dalam menilai suatu keadilan
menurut cara pandangnya yang disesuaikan dengan keadaan dirinya. Itulah
sebabnya keadilan manusia dalam prakteknya seolah-olah menjadi variatif.
Misalnya menurut pengusaha, keadilan adalah apabila keuntungan terbesar jatuh
pada pihak pedagang. Menurut buruh, adil bila upah dibayar pada waktunya dan
keuntungan perusahaan dibagi secara wajar.
Begitulah keadilan manusia yang nampak relatif, yang berbeda dengan
keadilan Tuhan. Relatifnya keadilan manusia karena cenderung subyektif.
Sedangkan keadilan Tuhan adalah keadilan mutlak yang terkadang manusia
melihatnya sebagai ketidakadilan dengan ukuran manusia yang serba terbatas.
Setiap manusia pasti pernah mengalami perlakuan adil dan tidak adil. Hal
ini berhubungan erat dengan hak-hak alamiah (hak asasi manusia) yang antara lain
adalah: 1) hak untuk hidup; 2) hak untuk kemerdekaan hidup; 3) hak untuk
memiliki sesuatu; 4) hak untuk mendapatkan perlindungan hukum; 5) hak untuk
memperoleh nama baik; 6) hak untuk berpikir dan mengeluarkan pendapat; 7)
hak untuk menganut agama dan kepercayaan; 8) hak untuk mendapat pendidikan
dan pengajaran; 9) hak untuk memperoleh pekerjaan. Yang dimaksudkan dengan
hak di sini antara lain adalah suatu kekuasaan yang secara sah dimiliki seseorang,
baik atas diri pribadi, atas orang lain maupun atas harta atau benda yang berada di
luar dirinya.
Sehubungan dengan hak-hak tersebut, orang merasa diperlakukan adil
apabila dapat mempertahankan/membela hak-haknya. Sedangkan jika
dihubungkan antara hak dan kewajiban, dalam masalah keadilan seringkali
dibicarakan mengenai sejauh mana individu dapat memperoleh hak-haknya sesuai
dengan kewajiban yang telah dipenuhinya. Kewajiban di sini meliputi dalam arti
yang subyektif yaitu keharusan moral untuk melakukan sesuatu atau
65
meninggalkannya, dan kewajiban dalam arti objektif yaitu sesuatu yang harus
dilakukan atau ditinggalkan. Jadi mendapatkan suatu hak harus diimbangi pula
oleh suatu kewajiban. Dalam kenyataan seringkali sulit untuk dilaksanakan,
sehingga rasa ketidakadilan menjadi sering mengemuka.
Bagaikan dua sisi mata uang yang saling bersebelahan demikianlah
gambaran antara keadilan dan ketidakadilan. Kita dapat mengatakan sesuatu itu
tidak adil karena kita mempunyai suatu acuan yang mana keadilan itu, demikian
pula sebaliknya. Banyak rasa ketidakadilan yang kita rasakan dalam kehidupan
ini.
Dari apa yang diuraikan di atas, nampak bahwa keadilan bersifat universal
dan unik. Universal artinya, rasa keadilan itu adalah kebutuhan atau bagian hidup
manusia dimanapun dan pada masa apapun manusia berada. Keadilan merupakan
kebutuhan mutlak bagi manusia. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia karena keadilan merupakan proses kejiwaan yang dibawa semenjak
manusia lahir. Sedangkan yang dimaksudkan dengan unik adalah tiap manusia
atau manusia pada tiap jamannya mempunyai ukuran keadilan yang relatif. Suatu
sifat keadilan yang berbeda dengan keadilan Tuhan yang bersifat mutlak.
Secara teoritis, azas untuk menentukan apakah sesuatu hal itu adil atau
tidak adalah:
1. Azas persamaan, yaitu setiap orang mendapatkan bagian secara merata;
2. Azas kebutuhan, yaitu setiap orang mendapat bagian sesuai dengan
kebutuhan/keperluannya;
3. Azas kualifikasi, yaitu keadilan yang didasarkan pada kenyataan bahwa
yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan padanya;
4. Azas prestasi objektif, yaitu apa yang menjadi bagian seseorang
didasarkan pada syarat-syarat objektif , misalnya: kemampuan/keahlian
seseorang;
5. Azas subjektif, yaitu keadilan yang didasarkan pada syarat-syarat subjektif
misalnya ketekunan, kerajinan, dan sebagainya.
66
pandang bulu/pilih kasih dalam penerapannya dilambangkan dengan mata yang
tertutup.
Bagaimana seseorang itu bertingkah laku tergantung pada bagaimana
norma-norma yang mengatur berbagai interaksi yang berkaitan dengan keadilan
tersebut dipatuhi. Berbagai norma-norma yang menjadi prinsip dasar keadilan
adalah norma yang mengatur bagaimana hubungan/interaksi antara manusia
dengan manusia lainnya, norma hubungan antara manusia dengan
benda/lingkungan, dan norma yang terkait dengan hubungan antara manusia
dengan Tuhannya.
Bentuk-bentuk keadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat antara
lain adalah:
1. Keadilan seharga atau timbal balik dalam pertukaran (Justitia
Commutativa)
2. Keadilan pembagian/penyebaran (Justitia Distributiva)
3. Keadilan berdasarkan undang-undang (Justitia Legalis)
4. Keadilan sosial (Justitia Socialis)
67
dari nilai keadilan, yang meliputi kejujuran terhadap diri sendiri maupun dengan
orang lain. Jika nilai kejujuran tidak dapat ditegakkan, maka dapat dikatakan sama
dengan kita tidak melakukan tindakan yang adil.
3.2.5. Kejujuran
Ada pepatah mengatakan bahwa kejujuran adalah mata uang yang berlaku
dimana-mana, yang artinya antara lain bahwa kejujuran itu adalah nilai kebaikan
sebagai sifat positif yang akan diterima oleh semua orang dimanapun dan
kapanpun ia berada. Jadi nilai kejujuran ini adalah nilai kebaikan yang bersifat
universal. Pengertian kejujuran itu sendiri yang akar katanya jujur, dalam Kamus
Bahasa Indonesia berarti lurus hati; tidak berbohong; tidak curang; tulus; ikhlas.
Sehingga kejujuran diartikan sebagai sifat (keadaan) jujur; ketulusan hati atau
kelurusan hati.(Pusat Bahasa Depdiknas, 2001: 479)
Berbicara mengenai kejujuran berarti kita berbicara mengenai sikap moral.
Sikap moral yang sebenarnya diistilahkan sebagai moralitas. Yang dimaksudkan
dengan moralitas di sini adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul
dilakukan tanpa pamrih. Suatu perbuatan baik yang dilakukan dengan kesadaran
bahwa perbuatan itu memang baik yang berasal dari hati nurani.
Mengapa kita perlu mengedepankan masalah kejujuran? Banyak
permasalahan kita dimanapun dan pada masa apapun , baik di Indonesia maupun
negara-negara lain, yang sesungguhnya berpangkal dari masalah kejujuran.
Ironisnya justru dalam kenyataannya kini seringkali kejujuran menjadi “barang”
yang semakin langka. Majalah Time (25 Mei 1987) memaparkan pengumpulan
pendapat pada bulan Pebruari 1987 oleh US News dan CNN, yang
memperlihatkan bahwa lebih dari setengah peserta survei yakin bahwa orang-
orang sekarang lebih kurang jujur dibandingkan sepuluh tahun lalu. Time
melaporkan bahwa lebih dari 100 anggota pemerintahan Reagen pernah
mendapatkan tuduhan atas pelanggaran etika dan hukum yang diajukan terhadap
mereka. Jumlah itu belum pernah terjadi sebelumnya. Menurut Time banyak
bagian etis nasional yang telah sangat merosot, dari Gedung Putih hingga gereja-
gereja,sekolah-sekolah, industri, pusat-pusat kesehatan, lembaga hukum, dan
pasar saham.(Leliweri, 2002: 35-36) Bagaimana dengan di Indonesia? Kita dapat
merasakan seberapa parahnya kondisi moral bangsa ini dengan melihat
permasalahan yang sangat terkait dengan masalah kejujuran, misalnya korupsi.
Sumber daya alam yang melimpah di bumi Indonesia seakan tidak ada artinya
melihat sebagian besar masyarakat kita yang masih berada di bawah garis
kemiskinan. Pendapatan Negara tidak dapat menutupi kemiskinan atau
meningkatkan taraf hidup rakyat karena sudah begitu banyak terjadi kebocoran
pada anggaran negara akibat korupsi, yang akan dikemukakan lebih lanjut pada
uraian mengenai korupsi.
Jika kita telaah lebih jauh nilai kejujuran maka dari nilai kebaikan ini
dapat kita lihat dari beberapa bentuk, yaitu antara lain: a) kejujuran terhadap diri
sendiri, dan b) kejujuran terhadap orang lain. Bentuk ini hanya merupakan telaah
tentang kejujuran yang dikaitkan dengan interaksi seseorang, dalam arti sikap
68
jujur atau tidak jujurnya seseorang dalam kondisi ada atau tidaknya interaksi
dengan orang lain.
Kejujuran terhadap diri sendiri adalah suatu sikap yang lurus dari
seseorang ketika dia dihadapkan pada beberapa pilihan sikap yang baik dan tidak
baik, yang orang lain tidak mengetahuinya. Dengan kata lain sikap ini merupakan
sikap dari seseorang yang berusaha menjadi dirinya sendiri. Sebagai contoh:
Seorang mahasiswa yang ditugaskan membuat karya tulis. Walaupun tugas itu
dirasakan sulit untuk ia lakukan karena keterbatasan kemampuannya, walaupun ia
mempunyai kesempatan untuk mencontek karya orang lain atau temannya dan
kalaupun ia mencontek tidak ada yang mengetahuinya, namun ia tetap tidak
melakukannya dan melakukannya tugasnya itu sendiri sebatas kemampuannya.
Sedangkan kejujuran terhadap orang lain sebagaimana telah dikemukakan
di atas adalah suatu sikap lurus seseorang dalam hal ia berinteraksi/berkomunikasi
dengan orang lain. Contohnya: Seorang Developer/ pengembang yang
mempromosikan perumahan di suatu kawasan. Diiklankan bahwa daerah itu bebas
banjir dan tersedia fasilitas umum. Apabila ia pengembang yang jujur maka apa
yang dipromosikan akan sesuai dengan kenyataannya. Sebaliknya apabila ia
adalah pengembang yang tidak jujur maka hal yang dijanjikannya itu hanya ada di
iklan saja agar perumahannya banyak diminati orang. Hal ini sebagai contoh
kasus yang banyak ditemui dalam praktek belakangan ini.
Lebih jauh, bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua yaitu:
1. Sikap terbuka
Yang dimaksudkan dengan sikap terbuka di sini bukan berarti terbuka
dalam segala-galanya sehingga kita tidak mempunyai rahasia pribadi/privacy
lagi. Yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana kita dapat bersikap sebagai
apa adanya kita. Kita tidak menipu diri atau orang lain dengan bersikap
seolah-olah menjadi orang lain. Melainkan berusaha menampilkan diri kita
yang sesungguhnya dengan apa adanya.
2. Sikap wajar
Bersikap objektif, dengan memperlakukan orang berdasarkan ukuran-
ukuran standar bagaimana seseorang itu menghargai hak orang lain
sebagaimana mestinya dan tidak bertentangan dengan hati nurani. (Frans
Magnis Suseno, 1987: 131-132).
Dalam kehidupan sehari-hari nilai kejujuran banyak dikaitkan dengan
beberapa permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Berikut ini adalah
beberapa contoh permasalahan dalam masyarakat yang berkaitan dengan masalah
kejujuran.
a. Masalah Korupsi
Masalah korupsi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh bangsa ini,
yang menyebabkan rusaknya kehidupan sosial ekonomi maupun tatanan nilai
budaya masyarakat. Menjelang tutup tahun 2003, Indonesia tercatat sebagai
negara terkorup ke-6 di dunia. Data korupsi tahun 2003 yang diungkapkan
69
Transparency International (TI) ini juga menempatkan Indonesia sebagai negara
terkorup di kawasan Asia Tenggara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
mencapai 1,9 dari rentang angka 0-10. Lima negara tetangga seperti malaysia
mendapat IPK 5,2, Philipina 2,5, Vietnam 2,4, dan papua Nugini 2,1. IPK
Indonesia tahun ini sama persis dengan posisi dua tahun sebelumnya. Artinya,
selama tiga tahun terakhir, pemerintah atau masyarakat Indonesia tidak mampu
memerangi atau sekurang-kurangnya menurunkan tingkat korupsi yang ada.
Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Bangladesh, Myanmar, Nigeria, dan
Kamerun. Negara Asia yang dinilai paling rendah IPK-nya adalah Singapura
dengan nilai 9,4. Sedangkan negara paling bersih dari 133 negara yang disurvei TI
adalah Finlandia dengan IPK 9,7.( Suara Publik edisi Oktober 2003)
Begitu seriusnya masalah ini sehingga banyak wacana atau pendapat yang
mengulas masalah korupsi ini sebagai masalah yang menyebabkan bangsa
Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah dapat terpuruk
sedemikian memprihatinkan. Tingkat korupsi sudah demikian tinggi dan meluas,
dalam arti pelaku adalah meliputi hampir semua kalangan, dari korupsi tingkat
tinggi seperti kasus-kasus dana perbankan, reboisasi, bulog sampai kasus-kasus
penyalahgunaan jabatan di level-level bawah seperti di kelurahan dalam
pembuatan KTP, PBB, IMB dan sebagainya.
b. Masalah Plagiat
Hakekat dari Ilmu pengetahuan adalah kejujuran. Hal ini terlihat dari
bagaimana proses terjadinya suatu ilmu pengetahuan, yang berasal dari kumpulan
pengetahuan yang disusun secara sistematis yang dapat diuji kebenarannya. Oleh
karena dapat diuji kebenarannya ini dengan suatu pembuktian, maka kejujuran
menjadi suatu hal mendasar dalam ilmu pengetahuan. Jika tidak ada kejujuran
dalam diri seorang ilmuwan dalam mendalami suatu ilmu pengetahuan maka ia
tidak dapat dikatakan sebagai seorang ilmuwan sejati. Oleh karena itu di kalangan
akademisi, masalah plagiat merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian
karena merupakan pelanggaran terhadap kejujuran ilmiah.
Kata plagiat yang dalam bahasa Belanda disebut plagiaat dan dalam
bahasa Inggris yaitu plagiarism/plagiary, menurut kamus bahasa Indonesia
plagiat diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang
lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri.
70
Sebagai contoh, menerbitkan karya tulis orang lain atas namanya sendiri atau
jiplakan.
Dalam hal yang lebih luas, dengan mengamalkan nilai kejujuran maka
artinya kita dapat menempatkan sesuatu hak dan kewajiban dengan semestinya
sesuai dengan kedudukan dan peranannya masing-masing. Sebagai contoh
seorang aparat pemerintah yang bersikap jujur akan melaksanakan kewajibannya
sebagaimana peranan yang menjadi kewe-nangannya. Kemudian ia akan
mendapatkan/mengambil haknya sesuai dengan hak sebagai seorang aparat
pemerintah. Sebaliknya ia misalnya tidak sering-sering meninggalkan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya, atau menyalahgunakan jabatannya dengan
mengambil/mengutip uang yang bukan menjadi miliknya.
71
Dalam menjalani kehidupannya, manusia mempunyai berbagai
tanggungjawab yang tergantung pada status dan peranannya. Status atau
kedudukan dapat diartikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan
kelompok lainnya. Status berkaitan erat dengan hak dan kewajiban yang melekat
pada seseorang, sehingga sifatnya adalah statis. Seseorang yang mempunyai status
tertentu diharapkan melakukan pemeranan dari perangkat hak dan kewajibannya.
Di sini peran (role) dapat didefinisikan sebagai perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang mempunyai status, atau dapat pula dikatakan sebagai aspek
dinamis dari status. Koentjaraningrat mengartikan peranan sosial sebagai tingkah
laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu.( Koentjaraningrat,
1986: 169). Setiap orang mempunyai berbagai status sehingga melahirkan
peranan-peranan yang berbeda, sebagai tingkah laku yang diharapkan menjadi
tanggung jawabnya. Sebagai contoh, seseorang di rumah mempunyai status
sebagai anak, adik, kakak dan sebagainya dengan peranannya yang tertentu,
kemudian ketika ke luar rumah ia mungkin mempunyai status sebagai mahasiswa,
teman, penumpang bus, pejalan kaki, warga masyarakat komunitas tertentu dan
sebagainya yang mempunyai peranan tertentu pula.
72
mempunyai tanggung jawab-tanggung jawab tertentu dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Contoh: menjaga lingkungan tetap bersih merupakan salah
satu wujud tanggung jawab manusia terhadap masyarakat.
Hak-hak yang didapat manusia berasal dari beberapa sumber, antara lain:
negara, kontrak atau perjanjian, kebebasan, dan kebiasaan.
73
Di sisi lain, perjalanan hidup manusia ditandai oleh beragam pengalaman
yang berkisar sekitar dimensi-dimensi: penderitaan-kebahagiaan, kegelisahan-
harapan, kebencian/prasangka-cinta kasih, ketidakadilan-keadilan, dan lain-lain.
Sehingga hal ini menumbuhkan kesadaran akan keberadaannya yang berhadapan
dengan kenyataan-kenyataan yang tidak terelakan, suatu dikhotomi asasi
kehidupan manusia dalam setiap ragam hubungan yang terbentuk, serta berbagai
kemungkinan untuk dipilih dalam menetapkan arah dalam melangkah dan menjadi
landasan untuk berpijak.
Pengalaman dan pengetahuan manusia tentang pengenalan alam yang
mengitari dirinya, kehidupan budaya yang melingkupi diri, serta dirinya sendiri,
melahirkan suatu pemikiran, gambaran dan gagasan tentang kesemestaan dunia
dan kedudukan manusia di dalamnya. Inti dari pemikiran/gambaran/gagasan
tersebut adalah membentuk pendirian dan keyakinan manusia tentang arti hidup
ini, tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Hal ini terwujud dalam suatu
sikap atau pandangan hidup yang menuntunnya ke arah perbuatan-perbuatan
tertentu dalam hubungannya dengan Tuhan, alam sekitar, masyarakat, sesama
manusia, dan dengan dirinya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan pandangan hidup di
sini adalah bagaimana manusia memandang kehidupannya, atau bagaimana
manusia memiliki konsepsi tentang kehidupan ini. Sehingga pandangan hidup
dapat dijadikan pedoman yang digunakan oleh manusia untuk dapat mencapai
kehidupan yang diharapkan/didambakan di dunia maupun di akhirat.
Dalam suatu tinjauan kehidupan manusia, ia adalah makhluk yg dpt
ditinjau secara biologis, sosiologi, psikologis maupun budaya. Berkaitan dengan
pandangan hidup manusia, maka tinjauannya tidak terlepas dari masalah nilai
(budaya) manusia. Sebagai gambaran dapat kita lihat lima masalah pokok
orientasi nilai budaya manusia yang dikemukakan oleh C. Kluckhohn yaitu:
1. Masalah hakekat dari hidup manusia(MH)
2. Masalah hakekat dari karya manusia(MK)
3. Masalah hakekat manusia dengan waktu (MW)
4. Masalah hakekat manusia dengan alam (MA)
5. Masalah hakekat manusia dengan sesama (MM)
(Koentjaraningrat, 1985: 28- 31)
Suatu orientasi nilai budaya adalah berbeda-beda pada tiap
manusia/kelompok manusia sesuai dengan kebudayaannya. Selanjutnya ini akan
memberi arah atau orientasi pada karakter/ mentalitas manusia yang terkait
dengan pandangan hidupnya.
Hakekat dari pandangan hidup adalah:
a. Inti pemikiran, gambaran, gagasan manusia tentang kesemestaan
dunia/alam dan kedudukan manusia di dalamnya (mengandung makna
filosofis).
74
b. Dikhotomi, yaitu di satu sisi universal, jika dilihat dari segi kebudayaan
(ad. orientasi nilai budaya dari Kluckhonn). Kemudian di sisi lain adalah
sesuatu yang unik jika di lihat secara subjektif, seperti adanya perbedaan-
perbedaan antar bangsa, masyarakat, kelompok maupun individual (sosial-
psikologis).
c. Merupakan perpaduan antara cita-cita dan kebajikan. Kedua aspek ini
seyogyanya tidak dilepaskan satu dengan lainnya. Cita-cita tanpa kebajikan
dapat menimbulkan penderitaan, ketidakadilan, dll.
d. Menunjukkan “kematangan”/ “kedewasaan” diri manusia. Pandangan
hidup memberi arah dan landasan dalam kehidupan manusia, sehingga tanpa
pandangan hidup yang jelas dan mantap, manusia akan terombang-ambing,
tidak memiliki daya menghadapi “cobaan”/ tantangan hidupnya.
e. Merupakan kristalisasi nilai-nilai yg luhur yang diyakini kebenarannya, dapat
menumbuhkan sikap/semangat dalam menjalani kehidupan dan diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Klasifikasi pandangan hidup berdasarkan asalnya, terdiri atas 3 macam:
1. Yang berasal dari agama, yang mutlak kebenarannya;
2. Berupa ideologi, yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang
terdapat pada suatu negara tertentu;
3. Hasil renungan, yang relatif kebenarannya.
75
bahwa pandangan hidup adalah sesuatu yang positif, sehingga akan mencapai
tujuan yang positif pula.
3.2.8. Keindahan
Berbagai sebutan dikenakan pada manusia, selain ia dikatakan sebagai
makhluk yang berpikir (homo sapiens), makhluk sosial, makhluk budaya, dll.,
manusia secara kodrati juga diberikan indera untuk menangkap/merasakan
berbagai hal di luar dirinya. Dari berbagai hal yang ia rasakan tersebut diantaranya
adalah suatu rasa terhadap keindahan, sebagai rasa yang pada umumnya disukai
dan dibutuhkan orang karena keindahan merupakan rasa yang
menyenangkan/menggembirakan, menimbulkan rasa puas dan bernilai positif.
Keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok,
molek dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah adalah segala hasil
seni (meskipun tidak semua hasil seni indah), pemandangan alam/lingkungan
manusia, manusia itu sendiri, dan sebagainya. Kawasan keindahan bagi manusia
sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan
perkembangan peradaban teknologi, sosial dan budaya. Karena itu dapat
dikatakan bahwa keindahan merupakan bagian hidup manusia. Keindahan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dimanapun, kapanpun, dan siapa saja
dapat menikmati keindahan. (Widagdo, 1994: 60)
Mengenai definisi keindahan sampai sekarang belum ada kata sepakat tentang
pengertian keindahan yang objektif, karena keindahan terkait dengan perasaan
seseorang. Pada umumnya definisi keindahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a) definisi-definisi yang bertumpu pada objek (keindahan yang objektif);
b) definisi-definisi yang bertumpu pada subjek (keindahan yang subjektif).
Keindahan objektif adalah keindahan yang memang ada pada objeknya, yang
harus diterima sebagaimana mestinya. Sedangkan yang dimaksud dengan
keindahan subjektif adalah keindahan yang ditinjau dari subjek yang
menghayatinya. Dalam hal ini keindahan adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan rasa senang pada diri si penghayat tanpa diiringi keinginan-
keinginan terhadap segala sesuatu yang praktis untuk kebutuhan-kebutuhan
pribadi. (Mustopo, 1989: 98-99)
76
2. Leo Tolstoy (Rusia)
Keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa yang menyenangkan
bagi yang melihat.
3. Alexander Baumgarten (Jerman)
Keindahan adalah keseluruhan yang merupakan susunan yang teratur dari
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, atau dengan keseluruhan
itu sendiri.
4. Sulzer
Yang indah itu hanyalah yang baik. Jika belum baik, ciptaan itu belum
indah. Keindahan harus dapat memupuk perasaan moral. Jadi ciptaan amoral
adalah tidak indah karena tidak dapat digunakan untuk memupuk moral.
5. Shaftesbury (Jerman)
Yang indah adalah yang memiliki proporsi yang harmonis.
6. Hume (Inggris)
Keindahan adalah sesuatu yang mendatangkan rasa senang.
7. Hemsterhuis (Belanda)
Yang indah adalah yang paling banyak mendatangkan rasa senang, dan itu
adalah yang dalam waktu sesingkat-singkatnya paling banyak memberikan
pengamatan-pengamatan yang menyenangkan itu.
8. Emmanuel Kant
Meninjau keindahan dari 2 (dua) segi. Pertama dari segi arti yang
subjektif, dan kedua dan kedua dari segi yang objektif. Yang subjektif adalah
sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis,
tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat. Yang objektif adalah
keserasian dari suatu abjek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek ini
tidak ditinjau dari segi gunanya.
9. Al- Ghazzali
Keindahan suatu benda terletak di dalam perwujudannya yang sempurna,
yang dapat dikenali kembali dan sesuai dengan sifat benda itu. Ia menambahkan
bahwa yang dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner
world) adalah nilai-nilai spiritual, moral dan agama.
Menurut luasnya, pengertian keindahan dapat dibedakan dalam:
1. Keindahan dalam arti luas;
2. Keindahan dalam arti estetik murni;
3. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
77
Ad.2) Keindahan dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik
seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya.
Ad.3) Keindahan dalam arti yang terbatas, mempunyai arti yang lebih
disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dapat diserap dengan
penglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan warna.
Keindahan ada di sekitar kita namun ada orang yang sulit menangkap atau
tidak merasa ada keindahan. Hal ini dikarenakan nilai keindahan dapat kita
peroleh melalui proses belajar atau proses sosialisasi. Indah atau tidak indahnya
sesuatu itu tergantung pada: a) kepedulian/kepekaan individu terhadap suatu
objek; b) tata nilai individu yang bersangkutan. Oleh karena itu hakekat dari
keindahan adalah relatif dan unik pada setiap orang karena mempunyai sudut
pandang yang berbeda tiap orangnya. Di samping itu hakekat dari keindahan
adalah juga universal, yaitu rasa keindahan adalah suatu kebutuhan/perasaan yang
ada pada semua orang dimanapun ia berada.
Ada pula yang mengartikan seni sebagai produk daya inspirasi dan daya
cipta manusia yang bebas dari cengraman atau belenggu berbagai ikatan. Seni
78
mendekripsikan sebuah gejala (objek) dengan sepenuh-penuhnya makna melalui
berbagai kemampuan: pikiran, emosi dan panca indra. Seni mempunyai sifat yang
individual dan personal. Pada umumnya karya seni merupakan ciptaan yang
komunikatif agar pesan yang ingin disampaikan dapat ditangkap. Sifat pesan
tersebut antara lain berisi pesan moral atau estetik, sebagai suatu gagasan
pemikiran, himbauan kepada manusia yang diharapkan dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku.
79
3.2.9. Harapan
Dalam hidup manusia ia mempunyai berbagai kebutuhan, baik yang
bersifat kodrati maupun yang tidak. Untuk dapat melangsungkan hidupnya,
kebutuhan-kebutuhan tersebut harus atau diupayakan untuk dipenuhi, hal inilah
yang menyebabkan manusia mempunyai harapan-harapan. Harapan yang berasal
dari kata harap ini adalah suatu keinginan supaya sesuatu itu terjadi. Jadi dua hal
yang mendorong manusia mempunyai harapan adalah dorongan kodrat dan
dorongan kebutuhan hidup. Hal ini mengingat selain manusia merupakan makhluk
yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan naluriah, ia juga adalah makhluk sosial
yang dalam hidupnya terdapat banyak tuntutan hidup untuk dapat dipenuhi.
80
BAB IV
Sebagian dampak negatif dari era globalisasi dan era Informasi Teknologi
adalah kemerosotan akhlak dan budi pekerti yang terus menggerogoti sebagian
besar anggota masyarakat kita, dari kalangan anak-anak muda sampai kalangan
orang dewasa, bahkan di kalangan manula. Kemerosotan akhlak dan budi pekerti
merupakan gejala yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, bagaikan
berputarnya bola salju (snow ball) yang terus-menerus semakin membesar.
Berbagai tindakan amoral dan tindakan tidak terpuji terkuak dalam berbagai
kalangan, baik yang terungkap secara fakta ataupun yang tidak terungkap. Bahkan
menurut pengamatan yang kritis, perbuatan amoral dan perbuatan tidak terpuji itu,
bisa dikategorikan sebagai suatu gejala yang nampaknya kecil dipermukaan,
sebetulnya yang tersembunyi, yang belum terungkap atau yang tidak mungkin
dapat diungkapkan lebih besar, seperti gumpalan es yang terapung di atas
permukaan air laut.
81
disadarinya, dalam lumpur kenistaan yang mungkin akan mengantarkan mereka
pada derajat yang lebih rendah, menuju pada prilaku hewan atau bahkan lebih
rendah lagi.
82
perkataan atau tulisan. Kita harus mengembangkan pandangan yang universal
tentang nilai-nilai kemanusiaan yang baik dan terpuji, secara terbuka. Kita
menerima nilai-nilai yang baik itu, dari manapun datangnya termasuk yang datang
dari masyarakat kita, dan menolak prilaku tercela, baik yang datangnya dari dalam
ataupun dari luar. Dengan demikian, akhlak dan budi pekerti sangat dominan
dalam pembetukan masyarakat beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur.
Istilah hak, berasal dari bahasa Arab al-Haqq yang artinya menurut bahasa
adalah sesuatu yang dimiliki seseorang secara layak, pantas dan patut. (al-
Munawir, 1984 : 305). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak diartikan milik,
kepunyaan, kewenangan, kebenaran dan sebagainya, (KBBI:335), pengertian
selanjutnya tergantung pada susunan kalimat. Pengertiannya secara terminologis,
hak adalah merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu
terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Orang yang mempunyai hak bisa
menuntut, bukan hanya mengharap atau menganjurkan, bahwa orang lain akan
83
memenuhi dan menghormati hak itu. Pengertian seperti ini terjadi sebagai suatu
klaim, atau hak yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan. (Bertens : 178)
Kata kewajiban juga berasal dari bahasa Arab, dari kata al-wajib, yang
artinya sesuatu yang mesti, yang tidak dapat dielakkan. (al-Munawir, 1984 :
1641). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wajib adalah harus melakukan,
tidak boleh tidak dilaksanakan. (KBBI:1123). Misalnya dicontohkan dalam suatu
kalimat: “Setiap pemeluk agama, wajib mentaati ajaran agamanya”. Dengan
demikian, pengertian kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan
seseorang, yang biasanya selalu berkaitan dengan hak yang dimilikinya.
Pengertian diatas, mengantarkan pada suatu pemahaman yang bersifat pasti,
bahwa setiap ada hak pasti dibarengi dengan kewajiban. Sebaliknya, setiap ada
kewajiban pasti dibarengi dengan hak, baik terjadi antar individu, maupun
masyarakat.
Kelompok yang ketiga (yang menjadi pilihan kita) adalah pola pemikiran
yang mengambil jalan tengah diantara kedua pemikiran diatas, yaitu pemikiran
yang menempatkan kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat secara
84
berkaitan satu dengan lainnya, timbal balik dan berimbang. Kelompok ini
mendahulukan dan mengutamakan kewajiban-kewajiban perorangan dan
kewajiban masyarakat. Setiap individu, sebagai anggota masyarakat berkewajiban
melayani kepentingan masyarakat, sesuai dengan bakat dan keahliannya dan
sekaligus menjadi kewajiban masyarakat untuk mengarahkan setiap orang tidak
mengabaikan tugasnya masing-masing terhadap masyarakat. (M. Daud Ali, 1986 :
293).
85
karyawannya. Pimpinan perusahaan wajib memberikan upah yang layak,
sebaliknya para karyawan harus bekerja dengan baik untuk mengkelola
perusahaan tempat mereka bekerja.
Menanamkan kesadaran akan hak dan kewajiban dimulai dari dalam diri
kita. Dimulai dari niat yang suci yang kemudian diwujudkan dalam aktivitas yang
baik dan terpuji. Berdasarkan niat yang ditanamkan dalam batinnya, perbuatan
manusia akan dinilai apakah ia berbuat kebaikan atau berbuat buruk.(Al-Jaziri,
2003: 15). Selanjutnya terpuji atau tercelanya perilaku seseorang ditentukan oleh
pekerjaan atau amal yang dilakukannya. Apabila ia melakukan kebaikan dan
86
menghindari kejahatan, ia menjadi manusia yang terpuji, sebaliknya apabila ia
bergelimang dalam perbuatan buruk, menjadi manusia yang tercela.
Tuhan Yang Maha Esa melihat batin manusia, berarti menilai niat
seseorang, sebagai penggerak dan pendorong terjadinya suatu perbutan. Karena
itu orang yang sungguh-sungguh berniat akan melakukan suatu perbuatan yang
baik, namun ia belum dapat melaksanakannya karena suatu halangan, maka
dicatat sebagai suatu kebajikan baginya. Dengan kesungguhan niat yang ia
tetapkan dalam dirinya dan mempertimbangkan, bahwa setiap perbuatan baik
harus dilakukan dengan cara yang baik pula, maka iapun memperoleh balasan
kebajikan yang serupa.
Masih mengenai niat yang baik ataupun buruk dapat mempengaruhi baik
atau buruknya amal perbuatan seseorang, dijelaskan dalam pesan-pesan yang
suci : “Jika ada dua orang bertemu dan berkelahi masing-masing dengan
pedangnya, maka orang yang membunuh ataupun yang terbunuh, keduanya
masuk neraka. Seorang bertanya : “Adalah wajar orang yang membunuh itu
87
masuk neraka, bagaimana dengan orang yang terbunuh”. Pertanyaan itu dijawab:
“Karena orang itu juga ingin membunuh lawannya”. (Al-Jaziri, 2003: 18)
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa setiap diri manusia harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh mengenai sangat penting dan seriusnya
makna niat. Seluruh perbuatan yang dilakukannya harus disesuaikan dengan niat
yang suci. Niat merupakan spirit dari amal perbuatan yang mempunyai nilai.
Amal perbuatan akan menjadi baik jika disertai dengan niat yang baik dan amal
perbuatan akan menjadi buruk jika disertai niat yang buruk. Barang siapa yang
berbuat suatu amal tanpa disertai dengan niat yang suci maka perbuatannya
menjadi sia-sia.
Lebih halus dan mendalam pada pandangan kaum sufi, akhlak dan
budipekerti tidak saja dikembangkan antar umat manusia, tetapi juga menyangkut
hubungan dengan makhluk-makhluk lain seperti benda mati, flora dan fauna.
Sebagian ahli sufi membagi makhluk kedalam beberapa jiwa, dengan tingkatan-
tingkatan yang berbeda, seperti jiwa mineral, jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan,
jiwa pribadi, jiwa insani dan sebagainya.(Robert Freger, dkk, 1999: 139)
Terhadap jiwa-jiwa itu ada akhlak dan budipekerti yang harus ditegakkan, sesuai
dengan tingkatannya masing-masing. Terhadap jiwa mineral misalnya, tidak
diperbolehkan merusak, demikian juga terhadap jiwa tumbuh-tumbuhan, tidak
boleh menyiksa dan menyakiti hewan dan juga tidak diperkenankan merusak
lingkungan.
Setiap orang yang berakhlak dan berbudi pekerti, pasti berfikir tentang
ilmu-ilmu Tuhan yang maha luas dan dalam, ia selalu menyadari bahwa Tuhan
senantiasa memperhatikan gerak-geriknya pada setiap keadaan. Hati setiap orang
yang beriman pasti akan dipenuhi dengan perasaan kagum, hormat dan
mensucikan Tuhannya. Sesungguhnya tidaklah layak jika seorang manusia tidak
mentaati Tuhannya, dengan cara mengingkari, berbuat jahat dan membangkang,
sementara Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menyaksikan dan
memperhatikannya. Mengapa kita semua tidak meletakkan harapan dan keinginan
88
kita untuk kebajikan dan kesabaran pada-Nya, padahal Dia telah menciptakan
semua makhluk dalam berbagai tingkatan.
89
sama dalam sesuatu urusan yang memerlukan penyelesaian, mereka tidak
meninggalkan bimbingan mereka, dengan penuh ketaatan. Sesungguhnya orang-
orang yang mengikuti petunjuk para nabi, mereka itulah orang-orang yang
beriman kepada Tuhan dengan iman yang sempurna.
90
sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu kebahagiaan baik di
dunia maupun akhirat, sehingga mereka akan menjumpai kesulitan dalam
berbagai kehidupannya.
Manusia beragama yang tidak lagi mampu menjaga dirinya dari perbuatan
yang tercela, maka jiwanya menjadi kotor, titik-titik noda akan menutup kalbunya
sehingga menjadi hitam pekat. Kalbu itu yang diumpamakan sebagai cermin tidak
lagi mampu menyerap cahaya kebenaran dari Tuhan Yang Maha Memberi
Petunjuk. Hatinya menjadi gelap dan mati. Sesungguhnya seorang manusia
apabila berbuat dosa maka akan menimbulkan titik hitam dalam hatinya. Apabila
ia meninggalkan perbuatan dosanya dan tidak mengulanginya lagi, maka hatinya
akan bersih dari noda tersebut. Namun jika dia terus-menerus berbuat dosa, maka
seluruh hatinya akan tertutup kegelapan.
91
dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang, sampai seorang anak memasuki
usia dewasa. (Fathurrahman, 1996:158)
Durhaka kepada kedua orang tua merupakan perbuatan dosa yang sangat
berat yang harus ditanggung dalam kehidupan dunia maupun di akhirat. Anak
yang durhaka kepada kedua orang tuanya akan tercampakkan dalam lembah
kehinaan dan kenistaan. Dosa seperti itu digolongkan dalam dosa-dosa terbesar
dari segala dosa. Maukah di beritakan kepadamu tentang dosa yang paling besar
dari dosa yang terbesar? “Pertama menyekutukan (syirik) kepada Tuhan, kedua
durhaka kepada kedua orang tua, bersumpah palsu dan bersaksi palsu.
(Fathurrahman, 1966: 171).
Secara umum berbakti kepada kedua orang tua dapat dilakukan dengan
mentaati dan mengasihinya, mendoakan dan memohonkan ampunan kepada
Allah, memenuhi dan melaksanakan rencana-rencananya yang baik, menghormati
teman-teman dekat mereka dan melanjutkan hubungan silaturahim. Seorang anak
harus patuh kepada kedua orang tuanya dalam segala hal yang sesuai dengan
tuntunan agama, baik berupa mentaati perintah-perintahnya ataupun menghindari
larangan-larangannya. Anak harus menghormati dan memuliakan kedua orang tua
mereka dalam berbagai keadaan, baik dalam tutur kata maupun tindakannya.
Jangan membuat mereka kesal dan marah, jangan bersuara lebih keras dari suara
mereka, jangan melebihkan perhatian kepada suami atau istri dan anak-anak
melebihi mereka. Tidak memanggil keduanya dengan sebutan nama yang tidak
terpuji dan selalu menyapanya dengan penuh hormat dan kasih. Anak-anak harus
melakukan tugas yang terbaik bagi mereka dan memberikan sesuatu yang terpuji
bagi kedua orang tua mereka, termasuk menyantuni mereka untuk kebutuhan
makanan, pakaian, perawatan, perlindungan, dan kasih sayang.
92
atau disebut juga dengan interaksi sosial adalah merupakan syarat utama
terjadinya berbagai aktivitas kemasyarakatan. Selanjutnya bentuk lain dari proses
sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Ia merupakan
hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar orang-perorang,
antar kelompok-perkelompok manusia, maupun antar orang dengan perkelompok.
Apabila dua orang saling bertemu, maka interaksi sosial telah dimulai;
pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau
bahkan saling bermusuhan. Kegiatan seperti itu merupakan perwujudan dari
bentuk-bentuk interaksi sosial. Sungguhpun mereka yang bertemu muka itu tidak
saling berbicara, atau tidak saling menukar simbol-simbol, interaksi sosial
sebenarnya telah terjadi. Masing-masing dari mereka telah menyadari adanya
pihak lain yang menyebakan perubahan-perubahan dalam perasaan ataupun image
dari mereka yang bersangkutan, disebabkan karena interaksi tersebut. Peristiwa itu
pasti menimbulkan kesan dalam fikiran seseorang yang kemudian menentukan
tindakan apa yang akan dilakukannya.(Soerjono Soekanto, 1986:51)
93
masyarakat. Ajaran tentang akhlak dan budipekerti serta aplikasinya dalam amal
perbuatan dapat berfungsi sebagai stabilisator dalam kehidupan sosial dan budaya.
Dengan sikap toleransi dan tasamuh yang luas dan terbuka, maka akan
terbentuk suatu masyarakat yang saling menghargai, saling tenggang rasa, dan
terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, bangsa maupun
negara. Kehidupan yang harmonis yang dapat ditumbuh kembangkan dalam
kehidupan suatu masyarakat atau suatu bangsa, akan menimbulkan kemampuan
dan kemajuan yang luar biasa. Kemuliaan dan kehebatan suatu bangsa atau
masyarakat hanya dapat diwujudkan dengan ketenangan, keamanan, keserasian
yang dirajut dalam suasana yang harmonis. Karya-karya besar yang spektakuler
yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, akan terwujud dari masyarakat
yang memiliki kriteria tersebut di atas.
94
4.4. Filter dalam Interaksi Lintas Budaya
Perkembangan yang sangat bebas dan tanpa batas, sebagai akibat dari
interaksi lintas budaya, mengakibatkan tercampuraduknya berbagai macam nilai-
nilai kehidupan, antara yang baik atau buruk, antara yang terpuji atau tercela. Hal
seperti ini pasti akan membingungkan umat manusia. Akhlak dan budipekerti
yang baik, yang telah menyatu dan mendarah daging dalam kehidupan
masyarakat, akan berfungsi sebagai filter yang dapat menyaring dan sekaligus
membedakan antara nilai-nilai yang baik dan luhur dari nilai-nilai buruk dan
tercela. Manusia yang baik dan berkualitas, adalah mereka yang mampu meyerap
informasi sebanyak-banyaknya, kemudian ia memiliki kemampuan untuk
memilah dan memilih yang terbaik daripadanya serta meninggalkan yang buruk
dan tercela. Kita tidak mungkin membendung arus informasi yang sangat kuat itu
dan mengisolasi masyarakat dari interaksi lintas budaya. Cara yang terbaik adalah
membekali masyarakat agar memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik
dari yang buruk. Sekaligus membentuk mereka agar memiliki kemampuan dan
kemauan untuk melaksanakan kebaikan itu, serta memiliki kemampuan untuk
menghindari berbagai macam keburukan dan sifat tercela lainnya.
Memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk atau
yang terpuji dan tercela, merupakan kemampuan yang sangat potensial untuk
memfilter berbagai macam informasi dalam interaksi lintas budaya. Dalam
kehidupan masyarakat, banyak dijumpai orang-orang yang terjerumus dalam
perbuatan yang tercela, disebabkan mereka belum memahami secara baik, bahwa
perbuatan itu dapat mencelakakan dirinya dan orang lain. Setelah mereka
memahami dengan baik, mereka pasti akan menghindari perbuatan tercela
tersebut, kecuali mereka yang dengan sengaja akan mendzalimi dirinya sendiri.
Kita bisa mengambil pelajaran dari da’wah yang dilakukan oleh para Nabi dan
Rasul, pada awal mulanya, sebelum umatnya memahami ajaran Nabi tersebut
mereka menolak dengan keras, bahkan sebagian dari mereka ada yang berencana
untuk membunuh dan membinasakan Nabi tersebut. Setelah mereka mengetahui
bahwa yang dibawa oleh Nabi itu adalah suatu kebenaran yang akan
mengantarkan mereka kepada kebahagiaan masa kini dan masa depan, secara
beramai-ramai mereka menerimanya.
95
BAB V
96
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan segala firman-Nya yang
terangkum dalam kitab suci.
Sebagian dari langkah yang sangat baik dalam menghargai kehidupan bisa
diwujudkan dalam hal berikut ini: (1) mensyukuri karunia Tuhan, yang
dianugerahkan kepada kita, kedua orang tua, para pendahulu kita, dan kepada
97
bangsa dan negara. Karunia dan nikmat Tuhan yang diberikan kepda makhluk-
Nya amat banyak tidak mungkin dapat dihitung secara matematis. Bahkan apabila
Anda mencoba menghitung nikmat itu, pasti tidak mampu menghitungnya,
meskipun menggunakan mesin-mesin hitung yang sangat canggih. Karunia dan
nikmat Tuhan selalu dirasakan dalam segala aspek dari kehidupan manusia, sejak
ia lahir, dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang, kemudian
memasuki masa balita, kanak-kanak, remaja, sampai usia dewasa. Sampai nanti
pada saat manusia kembali menghadap Khaliknya ia memperoleh karunia yang
tidak henti-hentinya. Karunia dan nikmat Tuhan, dirasakan oleh manusia secara
lahir dan batin, nikmat yang besar dan agung, demikian juga nikmat-Nya yang
lembut dan halus.
Langkah berikutnya, (2) bekerja keras secara baik dan terprogram, agar
dapat melahirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi sesama umat manusia
dan makhluk lain. Kerja keras itu, terdiri dari terus menerus mencari ilmu dan
menambah pengetahuan sehingga terwujud life long education atau pendidikan
seumur hidup, karena dengan ilmu pengetahuan itulah manusia akan menuju
langkah yang benar dalam melaksanakan aktifitasnya. Bekerja secara profesional,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, sehingga
pekerjaan yang ditekuninya akan dapat ditangani dengan baik, sesuai dengan
profesinya. Harus dihindari sistem bekerja yang amburadul, seperti digambarkan
seorang nenek tua yang siang harinya bekerja menenun kain, setelah tenunan itu
teguh, malam harinya diuraikan kembali, benangnya satu persatu, sehingga
pekerjaannya tidak pernah selesai.
Agar meraih kesuksesan yang maksimal dalam bekerja keras yang terpola
itu, hendaknya dibarengi dengan rasa tanggung jawab yang kuat, sehingga dapat
melahirkan hasil yang diharapkan. Pekerjaan yang tidak disertai dengan tanggung
jawab akan mengalami kegagalan bahkan kerusakan. Pekerjaan harus dilakukan
dengan tidak mengenal menyerah atau putus asa, meskipun menghadapi berbagai
rintangan yang amat menyulitkan, atau bahkan menjumpai kegagalan. Kegagalan
jangan diangap sebagai suatu yang menghalangi usaha kita, justru harus
diterapkan bahwa kegagalan itu sesungguhnya merupakan awal kesuksesan
apabila dikelola dengan cara yang baik. Tantangan dan rintangan disadari sebagai
suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena itu, harus disikapi
sebagai suatu pendorong untuk bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh,
sehingga mencapai hasil yang maksimal.
98
bagi sesama, akan memperoleh dukungan yang besar dan perhatian yang simpatik
dari masyarakat.
Dalam berinteraksi dengan sesamanya, terjadi antara dua orang atau lebih,
masing-masing pihak memiliki kepentingan, ada yang sama, ada pula yang
berbeda. Interaksi sosial akan terjalin secara baik dan seimbang, serta saling
menguntungkan, apabila masing-masing pihak saling mengerti dan memahami
serta bertenggang rasa di antara sesama mereka. Akhlak dan budi pekerti memiliki
peran yang sangat penting dalam mengatur kehidupan sosial budaya yang terjalin
di tengah masyarakat, akhlak dan budi pekerti berisi nilai-nilai yang harus
menjadi pedoman bagi setiap anggota masyarakat, seperti nilai kebersamaan,
tolong-menolong, keadilan, kejujuran, keindahan, dan sebagainya. Secara naluri
yang murni, setiap orang mencintai nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan nilai-nilai
lain yang terpuji, sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana bersikap terhadap
orang lain, ukurannya adalah diri kita sendiri. Apabila kita merasa senang
99
terhadap kebaikan orang lain, maka orang lainpun merasa senang terhadap
kebaikan yang kita lakukan. Sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kita, pasti
tidak menyenangkan juga bagi orang lain. Nilai-nilai kebaikan itu, dalam
kehidupan sosial budaya, direalisasikan dalam kehidupan yang nyata.
Dalam perkembangan lebih jauh, anak dari keluarga itu akan berinteraksi
dengan pihak luar, baik melalui pergaulan dengan teman-temannya, melalui media
komunikasi baik cetak maupun elektronik, sehingga mereka memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baru yang lebih luas. Pengetahuan dan pengalam
yang baru yang telah dimiliki anak-anak itu akan beradaptasi dengan pengalaman
dan pengetahuan yang mereka peroleh dari kehidupan keluarga. Tentu mereka
akan menjumpai persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara
kehidupan keluarga dan kehidupan maysrakat di luar keluarganya sendiri. Di sini,
peran orang tua sangat menentukan untuk dapat membimbing mereka dengan
baik, berlaku bijaksana, berlatih untuk bisa membedakan yang baik dan yang
buruk sekaligus diarahkan agar anak-anak itu dapat mewujudkan kebaikan
tersebut dan menghindari perbuatan yang buruk dan tercela.
Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, menjadi media yang sangat
signifikan dalam membudayakan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti yang terpuji.
Perilaku orang tua yang bersikap jujur, adil terhadap anak-anaknya, amanah,
bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, dan berusaha
menciptakan keharmonisan, akan sangat berpengaruh dalam pembentukan
perilaku anak dan keteladanan dalam berkeluarga. Anggota keluarga akan selalu
100
menjadikan orang tuanya sebagai panutan dan contoh dalam hidup dan
kehidupannya. Dalam kehidupan keluarga tentu tidak selamanya mulus, mungkin
ada kekeliruan dan kesalahan, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun anak-
anaknya. Dalam menghadapi hal ini, orang tua harus bersifat fair, demikian juga
anak-anaknya dilanjutkan dengan suatu kebiasaan untuk saling mengingatkan,
agar tidak terjerumus dalam kesalahan-kesalahan di masa yang akan datang.
101
ini, maka hubungan kasih sayang sesama tetangga dalam suatu msyarakat menjadi
sangat penting.
102
kelompok saja. Manusia yang merupakan bagian dari masyarakat, tidak bisa
terlepas dari kondisi wilayah yang didiaminya. Tata cara kehidupan manusia,
seperti cara berpikir, cara bergaul dan cara hidupnya, akan selalu dipengauruhi
oleh konstalasi eilayah, seperti bentuk, letak, iklim, dan sumber daya alam yang
ada. Bangsa dan negara melindungi warga dengan berbagai budaya, adat,
kebiasaan, agama, karakter dan sebagainya.
103
memiliki masa depan yang suram yang akan menjadi makanan negara-negara lain
dan menjadi bahan tertawaan mereka.
Sebagai bangsa dan negara yang terbuka, serta terletak di posisi yang
strategis di tengah percaturan dunia, maka tantangan yang dihadapi tidak hanya
datang dari dalam, tetapi juga datang dari luar. Arus informasi dan komunikasi
global yang berkembang melalui media cetak dan elektronik, terus menyerbu
segala aspek dari kehidupan bangsa dan negara. Telah disadari secara seksama
bahwa pengaruh dari luar itu tidak semuanya baik, tetapi juga banyak
pengaruhnya yang tidak baik. Untuk menghadapi kenyataan ini, setiap diri Bangsa
Indonesia harus dapat membekali dirinya dengan suatu kemampuan yang sangat
cerdas untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
terpuji dan mana yang tercela, sekaligus dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
104
pemimpin memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi dan
membentuk perkembangan dan peradaban bangsa. Keteladanan para pemimpin
merupakan wujud yang nyata bagi pembentukan masyarakat yang baik dan
berperadaban yang tinggi.
Setiap kelompok dan golongan serta para pemeluk agama hendaknya tidak
mempersoalkan perbedaan diantara mereka, tetapi justru diarahkan agar saling
belomba untuk berbuat kebajikan antara sesama. Misalnya, membantu para fakir
miskin, mengusahakan tempat-tempat pendidikan bagi rakyat miskin, menyantuni
dan mengelola anak-anak yatim-piatu, melakukan pengelolaan pendidikan suku
terasing, dan berbagai kebajikan lain. Mengembangkan saling pengertian,
dilakukan dengan memahami secara baik terhadap filsafat kehidupan dari
kelompok atau sukunya, memahami agamanya dengan baik, dan mengerti
keyakinan yang dimiliki orang lain. Hal ini dikembangkan juga untuk
menumbuhkan saling pengertian di dalam kelompok dan agamanya masing-
masing. Karena, konflik yang sering terjadi bukan saja disebabkan oleh antar suku
atau antar agama tetapi juga terjadi dalam suku dan agama yang sama. Misalnya,
permusuhan antar golongan dan sekte dalam satu agama.
105
Sesungguhnya dalam perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas banyak
dijumpai persamaan-persamaan, bahkan perbedaannya amat sangat sedikit.
Akhlak dan budi pekerti terpuji, misalnya bersifat universal dan banyak
persamaan-persamaan bukan saja dalam suatu bangsa, bahkan persamaan itu
banyak dijumpai juga dalam bangsa-bangsa lain. Berbakti kepada orang tua
misalnya, berbuat baik kepada sesama, menegakkan sopan santun, pergaulan yang
ramah, penerimaan yang simpatik, dan lain sebagainya merupakan suatu contoh
akhlak yang bersifat universal yang diakui oleh berbagai lapisan masyarakat.
Secara umum, akhlak yang harus diterapkan dan diaplikasikan dalam masyarakat
global adalah selalu memperhatikan sikap terhadap orang lain sebagaiman sikap
terhadap kita sendiri. Tidaklah beriman salah satu diantara kita, sehingga kita
mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri kita sendiri.
106
5.3. Akhlak dalam Kehidupan Akademik dan Profesi
107
baik atau buruk dari segi etis. Ilmu pengetahuan yang baik adalah ilmu yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat dan dapat mendatangkan
kemaslahatan secara menyeluruh.
108
sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kode etik itu. Pengenaan sangsi terhadap
para pelanggar kode etik, merupakan penegakkan disiplin dan
pertanggungjawaban moral dalam dunia profesinya.
109
menimbulkan dampak negatif dan bahaya yang sangat besar dalam kehidupan
masyarakat. Misalnya, penyalahgunaan zat kimia untuk pemusnahan manusia
secara masal (genosida), ekploitasi tenaga kerja secara berlebihan untuk
kepentingan pemilik perusahaan, pemanfaatan kekayaan alam secara berlebihan
dan tidak dibarengi dengan usaha pelestariannya kembali.
110
(karena sikap subyektif lainnya). Seorang dokter, pada saat ia menuliskan resep
untuk pasiennya harus bersikap obyektif dalam menentukan obat, sesuai dengan
kegunaannya, jangan mempertimbangkan tawaran dari peerusahaan-perusahaan
obat tertentu yang menawarkan imbalan materi. Seorang Hakim harus
menetapkan hukum secara obyektif tidak boleh menetapkan hukum dengan cara
subyektif sehingga keputusannya tidak adil, dan tidak diperkenankan juga untuk
mengambil imbalan materi yang tidak halal dari aktifitas profesinya.
111
sumber dayanya yang dermawan dan kaya dalam rangka mempertahankan
keseimbangan ekologisnya.
112
lingkungan. Bersikap ramah dan bersahabat bersama alam, termasuk alam
tumbuh-tumbuhan dan alam mineral adalah dengan pemahaman yang baik,
seolah-olah kita bersikap terhadap makhluk yang bernyawa. Manusia dituntut
untuk menghormati proses-proses yang sedang tumbuh dan terhadap segala apa
saja yang ada dalam alam. Akhlak kepada alam, mengantarkan manusia untuk
memiliki tanggungjawab yang tinggi sehingga ia tidak melakukan perusakan
terhadap alam. Atau dengan istilah lain "setiap perusakan terhadap lingkungan
harus dinilai sebagai perusakan terhadapan dirinya sendiri". Dengan demikian
manusia yang berakhlak pasti tidak sejalan dengan pandangan sementara
kelompok yang menganggap alam hanya semata-mata sebagai alat untuk
kepentingan manusia belaka. Manusia harus membatasi diri dalam pemanfaatan
alam dan tumbuh-tumbuhan dan tidak terjerumus dalam pemborosan yang
berlebihan. Tidak ada kebaikan dalam pemborosan dan tidak ada pemborosan
dalam kebaikan, gunakan segala sesuatu secukupnya.
113
Merubah tanah yang tandus menjadi tanah yang subur, menghutankan
gunung-gunung dan tanah gersang yang gundul, memperbaiki tatanan kehidupan
dalam alam lingkungannya, merupakan suatu usaha yang sangat terpuji yang
dapat mendatangkan manfaat yang besar bagi sesama makhluk. Masih berkaitan
dengan akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan dan alam mineral, adalah menjaga
lingkungan dan kebersihan, dengan tidak membuang kotoran, buang air besar atau
kecil dalam air yang tergenang atu air yang mengalir. Larangan membuang
kotoran air seni dan sampah di jalan-jalan umum, atau di bawah pohon tempat
peristirahatan di tempat-tempat berteduh dan di sumber-sumber air yang bersih.
Hubungan antara manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan
sesamanya bukanlah merupakan hubungan antara seoranga penakluk dan yang
ditaklukkan, atau seorang majikan dengan budaknya, akan tetapi merupakan
hubungan kebersamaan dan kemitraan. Karena itu, manusia yang bertugas untuk
mengelola alam semesta harus melakukan interaksi dengan sesamanya dan dengan
alam lingkungannya harus bersikap harmonis dan serasi. Inilah prinsip dasar yang
harus dijadikan landasan dalam berinteraksi antarsesama manusia dan
keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari akhlak dan budi
pekerti.
114
kepentingan yang bermanfaat, seperti memanfaatkan dagingnya, kulitnya, lemak,
tulang, dan berbagai hal yang bisa dimanfaatkan. Selain itu, hewan bisa juga
dimanfaatkan sebagai hiasan, sebagai hewan peliharaaan dan dipelihara sebagai
hobi dan kesenangan. Semua hal yang diperlakukan terhadap hewan tersebut tidak
boleh bersifat menyiksa atau menyakiti, misalnya dalam hal memotong hewan
disyaratkan menggunakan pisua atau alat potong yang tajam, sehingga tidak
menyiksa. Apabila memelihara harus dilakukan dengan baik, memberi makanan
yang cukup dan mengurusnya sesuai dengan yang dibutuhkan oleh hewan
peliharaannya. Dalam kajian agama misalnya, kita jumpai betapa tingginya
perhatiannya, agar manusia mengakkann akahlaknya yang baik terhadap alam
hewani, tergambar dalam uraian beikut.
Disebutkan dalam sabda Nabi, terdapat dua hal yang sangat kontras; (1)
disebutkan ada seorang wanita yang memasuki alam akhiratnya sangat menderita,
masuk dalam neraka, karena pada waktu hidup di dunia ia pernah mengurung
seekor kucing dalam kamarnya, sehingga kucing itu mati kelaparan, karena tidak
diberi makan dan tidak dilepas.(Bukhari: 3223, Muslim: 4160). (2) dikisahkan ada
seorang wanita jalang yang sering berbuat keji, pada suatu saat ia mengadakan
perjalanan di tengah padang pasir. Pada saat ia kehausan, ia berusaha mencari
perigi atau oase untuk segera ia meminum airnya, agar menghilangkan dahaganya
yang sangat mencekam. Setelah ia berusaha dengan susah payah untuk mencari
air itu, ia jumpai sebuah oase yang di keliling bukit-bukit berbatu berada di dalam
tanah yang cukup jauh dan menyulitkan. Akhirnya dengan sangat berhati-hati ia
menuruni oase itu kemudian ia meminum airnya sepuas-puasnya. Setelah itu, ia
pun naik kembali ke atas. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia jumpai
seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan mengibas-ibaskan ekornya. Wanita
jalang itu menyadari dan memahami bahwa anjing tersebut sedang ditimpa
kehausan yang dahsyat.
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil pemahaman yang sangat jelas,
bahwa penerapan akhlak terhadap alam hewani merupakan suatu keharusan dan
sikap seseorang terhadap alam hewani akan menentukan kualitas akhlak dan budi
pekerti dari orang tersebut.
115
5.4.4. Alam Insani
Alam insani atau manusia memiliki daya-daya yang ada pada alam
mineral, alam nabati, dan alam hewani serta dilengkapi dengan daya-daya lain
yang mengantarkan dirinya pada kesempurnaan yang maksimal. Daya-daya yang
dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk nyata lainnya, adalah tiga
potensi yang sangat signifikan yaitu; (1) akal, (2) fikiran dan (3) kalbu. Sebagai
makhluk yang paling sempurna, manusia memiliki keistimewaan-keistimewaan
dan kelebihan-kelebihan yang luar biasa, apabila dibandingkan dengan makhluk-
makhluk lain. Keistimewaan yang dimilikinya bukan saja terletak pada kejadian
fisiknya (jasmaniah), tetapi juga pada kejadian ruhaniahnya. Kesempurnaan dan
kelebihan manusia pada bentuk fisik telah banyak dikaji dan dijelaskan oleh
disiplin ilmu, dalam berbagai uraian yang membandingkannya dengan makhluk
lain. Psikologi dan akhlak (tasawuf) adalah dua disiplin ilmu yang biasa
digunakan untuk membaca struktur kerohanian manusia. Khusus pada kejadian
ruhaniahnya, manusia juga memiliki kelebihan-kelebihan yang luar biasa yang
tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.
116
5.4.5. Alam Ruhani
Akhlak terhadap alam ruhani berkaitan dengan pendekatan spritual, bahwa
dalam pandangan akhlak dan budi pekerti selain makhluk-makhluk nyata terdapat
makhluk ghaib yang tidak dapat diinderai dengan indera manusia. Terhadap
makhluk ghaibpun kita memiliki sikap akhlak, misalnya akhlak terhadap malaikat.
Informasi mengenai ini kita terima berdasarkan wahyu Tuhan Pencipta alam
semesta melalui para nabi dan rasul-Nya yang tercantum dalam kitab suci.
117
BAB VI
118
a. kaedah-kaedah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian
hidup pribadi atau kehidupan beriman;
b. kaedah-kaedah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit)
yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan
akhlak (kehidupan dengan geweten)
Telaah terhadap hukum dari segi kaedahnya atau normanya tidak terlepas
dari norma-norma lain yang hidup dalam masyarakat. Terbentuknya norma
hukum, ada yang berasal dari norma-norma sosial tersebut dan ada yang karena
kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang memerlukan aturan-aturan hukum
sebagaimana uraian berikut ini.
Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup
bersama yang ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar
manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman
yang mengatur bagaimana manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di
dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku pantas tersebut adalah
dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Mengingat
setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya yang berbeda-
beda dengan manusia lainnya, sehingga sebagai makluk sosial kehidupan
119
sosialnyapun perlu diatur oleh suatu pedoman, patokan atau standard yang
disepakati bersama, yang disebut dengan kaedah atau norma.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa norma sosial merupakan suatu
peraturan yang memuat rincian pedoman untuk rentang kelakuan yang pantas dan
dapat diterapkan pada situasi-situasi sosial tertentu. Selain itu norma sosial juga
dikatakan sebagai suatu aturan atau ukuran baku mengenai perilaku yang
dianggap dapat diterima secara sosial. Hal mana ditentukan oleh harapan-harapan
orang tentang perilaku yang bersangkutan. Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai
120
budaya, maka norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan peranan-
peranan tertentu dari status atau kedudukan manusia, sehingga perumusannya
menjadi lebih jelas, tegas dan lebih terinci.
Sehubungan dengan norma di atas, antara Peranan dan status saling terkait
satu sama lain. Status ((status) merupakan suatu peringkat atau posisi seseorang
dalam kelompok atau masyarakat, atau posisi suatu kelompok dalam
hubungannya dengan kelompok lain. Status berkaitan juga dengan hak dan
kewajiban yang melekat pada seseorang, jadi sifatnya statis. Sedangkan peranan
(role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status,
atau peranan merupakan aspek dinamis dari status. Koentjaraningrat mengartikan
peranan sosial sebagai tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan
tertentu. (Koentjaraningrat, 1986, hal. 169). Jadi terkait dengan kewajiban-
kewajiban seseorang berkenaan dengan peranan-peranan yang harus
dijalankannya, dirumuskan dalam norma-norma sosial tertentu.
Dengan demikian nampak setelah tingkat norma, yaitu norma pada situasi
sosial tertentu sebagai norma sosial, tingkat selanjutnya adalah tingkat sistem
hukum, baik hukum tertulis sebagai perundang-undangan maupun tidak tertulis
121
sebagai hukum adat. Jadi sistem hukum tersebut bersandar pada norma-norma
yang hidup dalam masyarakat.
Tujuan dari adanya hukum itu sendiri, sebagaimana definisi dari hukum
yang beraneka, para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda pula.
122
Menurut pendapat yang mengacu pada teori etis (etische theorie), hukum hanya
semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan
oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya Ethica Nicomachea dan
Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu
memberi kepada setiap orang sesuatu yang ia berhak menerimanya.(Ridwan
Syahrani, 1988: 23-27) Namun dalam kenyataannya kebutuhan manusia akan
hukum tidak hanya untuk mencapai keadilan tetapi juga untuk mengatur dirinya,
misalnya aturan tentang berlalu lintas, yang bertujuan agar lalu lintas di jalan
menjadi lancar, tertib, dan menghindari seminimal mungkin terjadinya
kecelakaan.
123
kenyataan-kenyataan tertentu. Sebagaimana disiplin hukum, filsafat juga
merupakan disiplin yang preskriptif. Hal ini berbeda misalnya dengan bidang-
bidang sosiologi, antropologi, psikhologi, ekonomi yang merupakan disiplin
analitis, yaitu sistem ajaran yang menganalisa, memahami serta menjelaskan
gejala-gejala yang dihadapi.
124
sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau beberapa masyarakat.
e. Sejarah hukum, mempelajari perkembangan dan asal usul dari sistem hukum
dalam
suatu masyarakat tertentu.
125
oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan ini digunakan apabila
orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya
tersebut.
b. Hukum memaksa (hukum imperatif, dwingend recht), yaitu
peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan oleh orang-orang yang
berkepentingan. Peraturan ini harus ditaati oleh orang-orang yang
berkepentingan.
126
manusia (person) dan badan hukum (rechtperson) yang berhak, berkehendak dan
melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi
yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dalam
pengalihan hak, perjanjian, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum adalah
perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum, misalnya jual beli, perkawinan,
dan sebagainya. (Sudarsono, 2004: 275-279)
Dengan adanya subyek hukum dalam suatu hubungan hukum, maka tentu
ada obyek hukumnya. Yang dimaksud dengan obyek hukum adalah segala sesuatu
yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu
hubungan hukum, yang dapat juga disebut sebagai hak, karena merupakan sesuatu
yang dapat dikuasai oleh subyek hukum. Jadi yang dimaksudkan sebagai obyek
hukum di sini tidak hanya benda dalam pengertian yang umum melainkan juga
benda dalam arti yang luas.
127
BAB VII
Dalam arti luas yang dimaksud masyarakat adalah keseluruhan dari semua
hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa
dan lain-lain. Dalam arti sempit masyarakat merupakan sekelompok manusia yang
dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, umpamanya : teritorial, bangsa, golongan dan
128
sebagainya, maka ada masyarakat jawa, masyarakat sunda, masyarakat minang
dan lain-lain.
Berdasar arti tersebut diatas dapat kita tarik satu kesimpulan sebagai
berikut : “Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah lama bertempat
tinggal disuatu daerah yang tertentu dan mempunyai aturan (undang-undang)
yang mengatur tata hidup mereka, untuk mencapai tujuan yang sama”.
129
Dari kedua tipe ini memberikan kemungkinan masyarakat dapat diteliti
melalui kajian antropologi untuk masyarakat kecil dan kajian sosiologi bagi
masyarakat yang komplek.
130
Dengan demikian, seakan-akan terjadi tumpang tindih pengertian antara
masyarakat dan komunitas. Agar tidak terjadi kerancuan, ditegaskan di sini
bahwa bila masyarakat mengacu pada pengertian yang luas mengenai kesatuan
hidup manusia, abstrak dan umum, maka komunitas menunjuk pada arti khusus
dari kesatuan tersebut. Menurut MacIver (dalam Jha 2003), terdapat dua dasar
untuk menetapkan komunitas, yaitu (a) lokalitas (geografi, bahasa, pakaian,
kebiasaan makanan, dsb.), dan (b) sentimen-sentimen komunitas (cara berpikir,
alam pikir-an, ideologi, aktivitas bersama, dsb.)
131
keputusan politik yang penting lebih dapat dipengaruhi secara efektif melalui
kelompok yang teroganisasi secara baik.
Dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah wilayah, dimana hidup berbagai
suku bangsa dan bahasa, maka bila dilihat dari keragamannya termasuk
masyarakat majemuk. Di Indonesia telah teridentifikasi sekitar 500 suku bangsa
(Suparlan 2001). Masing-masing suku bangsa menempati wilayah geografis
tertentu sebagai wilayah budayanya. Kelompok suku-suku bangsa itu merasa
memilliki kebudayaan yang sama sebagai acuan identitasnya untuk membedakan
diri masing-masing. Di dalam satu kesatuan suku bangsa juga sering ditemukan
sub-sub suku bangsa yang memiliki sub-sub kebudayaan yang berbeda pula.
Demikian pula bila dilihat dari segi ras (yang mengacu pada kesamaan fisik)
ditemukan keragaman yang cukup banyak.
132
waktu yang berbeda-beda. Di samping itu, jelas pula bahwa di Indonesia
berkembang berbagai kepercayaan setempat yang lazim dikaitkan dengan paham
animisme. Betapapun, berbagai kepercayaan tersebut merupakan bentuk-bentuk
religi lama yang telah hidup dan berkembang jauh sebe-lum datangnya agama-
agama besar. Bahkan ketika agama-agama baru bermunculan, berbagai
kepercayaan itu tidak hilang begitu saja melainkan berinteraksi dengan agama-
agama penda-tang tersebut.
133
perajin, petani kelapa dan petani sawah yang tinggal di pedalaman atau kota-kota
kecil dekat pantai.
7.2. Multikulturalisme
Di dalam kamus, “multi” berarti banyak, lebih dari satu, dan berbeda-beda
(heterogen), sedangkan “kultur” berarti kebudayaan dan kulturalisme adalah
pandangan atau faham tentang kebudayaan. Pengertian awal yang segera timbul
dari gabungan dua kata ini adalah pandangan atau pemikiran mendalam tentang
perihal kebudayaan-yang-banyak. Bukan pandangan tentang satu kebudayaan saja
(monokultural) yang homogen.
134
Pola hubungan antarbudaya tersebut bisa positif atau negatif,
menguntungkan atau merugikan, bagi salah satu, beberapa atau seluruh
kebudayaan dan masyarakat pemiliknya di suatu negara. Di dalam interaksi sering
terjadi kebudayaan tertentu lebih kuat dan dominan atas kebudayaan lainnya.
Dominasi budaya sering kali muncul bersama diskriminasi budaya atau ras
tertentu, atau berkembang menjadi bias budaya, hegemoni budaya dan
imperialisme budaya. Masyarakat pemilik kebudayaan yang lemah dan
“terkorbankan” merasakan adanya ketidakadilan budaya. Di sinilah interaksi atau
hubungan antarbudaya, dalam situasi masyarakat plural/majemuk, menjadi
bermasalah.
135
atau umum. Ada pula yang sebaliknya, definisi dibuat untuk tujuan yang khusus.
Berikut ini beberapa definisi tentang multikulturalisme.
1. “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia –yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan–
yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman,
pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra,
2007).
2. “A multicultural society, then, is one that includes several cultural
communities with their overlapping but none the less distinct conceptions
of the world, systems of meaning, values, forms of social organization,
histories, customs and practices” (Parekh, 1997:167 yang dikutip Azra,
2007).
3. Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip
Lubis, 2006: 174).
4. Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan”
(Suparlan, 2002, merangkum Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000).
5. Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan,
penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk
dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-
cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan
mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut
(A.Rivai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
136
hukum dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan
memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan
dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas
tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme akomodatif ini dapat
ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
137
dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang
berkeadaban maupun sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan,
kewarganegaraan, dan pendidikan. “Multi-kulturalisme demokratis sebagai
landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility
(keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban
yang demokratis (democratic civility).”
Konsep tentang multikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial
dan kemanusiaan yang tidak (pernah) bebas nilai (value free), tidak luput dari
pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula
ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok
keberagamaannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan
agama, yakni “multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya
agama dari negara, tidak mentolerir adanya faham, budaya ,dan orang-orang
yang atheis (antiagama/antiTuhan) (Harahap, 2008). Dalam konsteks ini,
multikulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan
umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
138
solusi bersifat individual baik bersifat biologis, estetik, maupun kultural. (Okke
KS Zaimar, 2007).
Di Benua Amerika, pada sekitar tahun 1861-1865 terjadi pula tragedi yang
sangat menyakitkan, yaitu terjadinya perang sipil disebabkan adanya pertentangan
139
ras dan etnis yang telah merenggut ratusan ribu jiwa manusia dan kerugian harta
yang sangat banyak. Tragedi kemanusiaan sebagaimana disebutkan di atas terjadi
juga di belahan dunia lain, termasuk di Nusantara. Kekerasan, pemberontakan,
pengambilalihan kekuasaan, pembumihangusan, pemusnahan generasi
(genocide), terjadi dari masa ke masa, sejak zaman Kerajaan Singosari, Sriwijaya,
Majapahit, Mataram, dan kerusuhan-kerusuhan lain yang masih sering terjadi
sampai pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan pada masa-masa berikutnya.
140
Pada sekitar tahun 1980, dilakukan politik “minoritas etnis yang tujuan
resminya adalah mengizinkan kaum imigran untuk memelihara identitas kultural
dan tradisi mereka. Hal ini ditopang oleh berbagai tindakan, antara lain
pengajaran bahasa imigran di sekolah pemerintah, dibangunnya sekolah-sekolah
swasta yang disubsidi oleh pemerintah, dukungan pada asosiasi etnis dan lain-
lain. Tindakan ini, sejalan dengan usaha untuk menyetarakan orang asing dan
warga nasional dan merupakan karakteristik-karakteristik tahun 1970-1980.
Kaum imigran sering kali diperlakukan sebagai anggota blok kultural yang
monolitik, dengan landasan kebangsaan. Komunitas ini berkomunikasi dengan
pemerintah Belanda dalam bahasa yang dianggap sebagai bahasa mereka, bahasa
Arab bagi orang Maroko. Oposisi terhadap konsensus ini secara politis bersifat
marjinal. (Okke KS Zaimar, 2007: 8).
141
konsensus tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, di Negeri Belanda terus
terjadi perdebatan antara dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama
mendukung multikulturalisme, sedangkan kelompok kedua menolaknya, pada
perkembangan terakhir kelompok-kelompok yang menentang multikulturalisme
semakin keras dan dilakukan secara terang-terangan. Perdebatan mengenai hal ini
dan perselisihan paham yang berkaitan dengan imigrasi, monokulturalisme, atau
multikulturalisme, selalu diselesaikan secara final oleh pemerintah.
142
pendatang. Dengan demikian, pemerintah membantu golongan minoritas untuk
memelihara budaya mereka, pengakuan ini juga merupakan bantuan untuk
menjaga hak mereka, selain membantu partisipasi mereka membantu negara.
Dalam perkembangan terakhir, multikulturalisme di Inggris tidak jauh berbeda
dengan di Negeri Belanda, yaitu terus berkembang perbedaan antara yang pro
dan yang kontra. Perbedaannya, di Negeri Belanda kelompok yang menentang
multikulturalisme bersikap lebih keras, sedangkan di Inggris berjalan lebih lunak.
Pada tahun 1998, Prancis menempatkan dirinya sebagai negeri yang dihuni
oleh banyak ragam sosial, budaya, dan etnis. Mungkin tidak bijaksana bila
memperdebatkan masyarakat mana yang lebih pluralis. Usaha untuk menuju
masyarakat pluraslis terus diusahakan dari waktu ke waktu, namun demikian
jalan ke arah itu tidak selalu rata, banyak pertentangan dan halangan yang
menghadang. Hal itu dapat disaksikan bahwa tantangan dari bawah hanya akan
bersifat sementara dan hal itu akan segera hilang, ketika pemerintah menyetujui
gerakan pluralisme kultural. Prancis ingin menjadi negeri yang terbuka,
reputasinya sebagai negeri kebebasan sejak munculnya revolusi Prancis,
143
menyebabkan banyak yang mencari suaka politik yang datang ke sana, selain
mereka yang mencari kerja. Masalahnya menjadi semakin rumit ketika datang
juga ke sana para imigran yang datang, tidak memiliki pendidikan yang memadai
dan tidak memiliki ketrampilan, sehingga menyulitkan keadaan. Kaum politisi
konservatif banyak yang menentang kebijakan pemerintah dalam politik “pintu
terbuka.”
144
antarpolitk, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, pelanggaran terhadap
hak asasi adalah merupakan bentuk nyata sebagai dampak yang buruk dari
masyarakat multikultural, di samping dampak yang baik dan mengutungkan.
Seperti juga bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika, bangsa Indonesia juga
mengalami masa-masa pahit dan mengerikan, yang terjadi dari masa ke masa,
sejak zaman Kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Mataram, zaman
penjajahan, sampai zaman setelah merdeka. Pengalaman pahit itu dialami bangsa
kita, dengan terjadinya peperangan antarkerajaan, perebutan kekuasaan
antarkeluarga raja, pemerasan dan penganiayaan di zaman penjajahan dan
peristiwa-peristiwa lain sebagaimana disebutkan di atas. Pengalaman pahit yang
dialami bangsa kita, terasa lebih berat bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain, karena peristiwa seperti itu terjadi selama berabad-abad.
145
perbedaan yang muncul. Dalam rangka mewujudkan kesadaran kolektif tersebut
yakni membangun kesadaran masayarakat untuk mingkatkan etika kemajemukan,
ada hal-hal yang harus dilakukan secara bersama sama. Ada hal-hal yang tidak
perlu dilakukan dan adap ula hal-hal yang perlu dihormati.
Adapun hal-hal yang harus dilakukan sebagai berikut :
1. mewujudkan kemauan bersama untuk mewujudkan perdamaian dengan
menggalang kesadaran kolektif.
2. Duduk bersama merumuskan solusi-solusi terbaik untuk menciptakan
perdamaian dengan mengedepankan kepentingan bersama dari pada
kepentingan golongan atau kelompok.
3. Bersama menahan diri untuk terlibat dalam konflik kepentingan yang
mengareah kepada konfrontasi fisik secra masal
4. Mengedapankan kesaudaraan bersama dalam mencari upaya untuk
menciptakan kesadaran kolektif, tanpa asa kepentingan pribadi (vested
interest)
146
keputusan bersama, berjuang menegakkan keputusan bersama, mengalah
bila tidak mencapai sepakat.
3. Berprilaku saling beradab ( beretika ) tidak terprovokasi saling mencintai,
saling bersahabat secara akrab, saling menolong dalam kebaikan.
147
dan munculnya masalah kritikal. Yang dimaksud dengan sistem budaya adalah
kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma untuk mengatur hubungan sosial dalam
masyarakat. Sistem budaya itu hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari
warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Oleh karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya.
Secara garis besar terdapat empat macam sistem budaya di Indonesia yang
jelas berbeda satu sama lain (Bachtiar 1987). Masing-masing sistem budaya ini
praktis mengatur seluruh aspek kehidupan orang-orang yang dianggap penting,
atau yang lebih penting lagi menganggap dirinya sendiri, sebagai pemilik sistem
itu.
Pertama adalah sistem budaya dari berbagai kelompok etnik di Indonesia.
Masing-masing kelompok etnik itu beranggapan bahwa kebudayaan mereka
diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang yang hidup di “zaman
dongeng.” Masing-masing budaya kelompok etnik itu mempunyai tanah asal,
wilayah tempat para nenek moyang pertama kali menetap, asal dari masyarakat
etnik yang kemudian makin meluas. Sistem budaya ini biasanya disebut sebagai
sistem adat.
Pada mulanya, inti dari sistem budaya etnik adalah kepercayaan religi
yang masuk ke dalam keseluruhan sistem budaya. Termasuk di dalamnya mitos-
mitos mengenai asal-usul nenek moyang dan biasanya merupakan suatu
kosmologi yang rumit. Kepercayaan itu memberi batasan tentang apa itu
masyarakat yang baik. Pada kebanyakan masyarakat pedesaan, kehidupan
sosialnya terutama dikendalikan oleh suatu sistem budaya etnik. Sedangkan di
kota-kota besar mungkin dijumpai aneka ragam kelompok etnik yang berbeda-
beda. Oleh karena itu kota-kota besar biasanya menampakkan aneka ragam
sistem budaya etnik.
Kedua, sistem budaya yang terdiri dari sistem-sistem budaya agama besar
yang tanpa kecuali, berasal dari luar kepualuan Indonesia. Tidak satu pun dari
sistem budaya yang berdasarkan agama ini mempunyai tanah asal di Indonesia,
dan semua sistem budaya ini mempunyai banyak pengikut di luar Indonesia. Hal
itulah yang merupakan pembeda terpenting antara sistem budaya yang berdasar
agama dengan sistem budaya yang berdasar pada kelompok etnik. Seiring dengan
perkembangan waktu, berbagai kelompok etnik (yang semula animistik) beralih
atau menyesuaikan diri kepada agama-agama pendatang itu.
148
beranggapan diri mereka sebagai anggota masyarakat etniknya masing-masing,
dan karena itu merasa bertanggung jawab atas sistem budaya masyarakat sendiri.
149
pengetahuan ilmiah, teknologi, sistem ekonomi dan sistem politik. Meskipun
berasal dari sistem budaya asing, unsur-unsur budaya tersebut telah dimasukkan
menjadi bagian dari sistem budaya nasional atau setidak-tidaknya dianggap
begitu.
150
kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kumpulan atau kelompok orang dapat
disebut masyarakat, yaitu (1) memiliki kemampuan bertahan melebihi masa hidup
(seorang) individu; (2) rekrutmen seluruh anggotanya melalui reproduksi; (3)
kesetiaan pada suatu sistem tindakan utama bersama; dan (4) adanya sistem
tindakan utama yang bersifat swasembada (Marion Levy). Konsekuensi dari
kriteria tersebut ialah bahwa suatu kelompok dapat disebut masyarakat bila
kelompok itu memenuhi keempat kriteria tersebut; atau bila kelompok itu dapat
bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun sama sekali tidak ada orang
atau kelompok lain di luar kelompok tersebut. (Sunarto 1993)
151
menggunakan bahasa lokal agar masyarakat yang mampu baca tulis lebih banyak.
Akibat lanjutnya adalah tumbuhnya faham egalitarisme di kalangan masyarakat.
Faham egalitarisme merupakan awal pertumbuhan demokrasi dan nasionalisme.
Rupanya faktor inilah menjadikan Hans Kohn membuat definisi seperti ini. Bagi
Negara yang dikuasai ras lain, nasinalisme tumbuh seperti dari Ernes Renan, yang
pada hakekatnya juga merupakan pemberontakan terhadap penguasa yang ingin
memaksakan penggunaan bahasa dan budaya penguasa. Oleh karena itu Ernes
Renan ( kini menjadi suatu acuan oleh para pemimpin nasional di dunia
ketiga/Negara sedang berkembang) masyarakat : bahwa bangsa adalah, bukan
suatu ras, bukan orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama, bukan
pula dibatasi oleh batas-batas geografis atau batas alamiah. Nation (bangsa)
adalah suatu solidaritas, suatu jiwa , suatu asas spiritual, suatu asas solidaritas
yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia
dibuat dimasa yang akan dating. Nation tidak terkait oleh negara, karena
berdasarkan hukum. Menurutnya wilayah dan ras bukan penyebab timbulnya
bangsa.
152
benteng Batavia( Simbolon, 1995:372). Namun yang jelas kebangkitan ras
Melayu menjadi bangsa Indonesia didahului dengan kebangkitan semangat
egaliter, yang diwujudkan melalui tiga jalur yaitu : kebudayaan, ekonomi dan
administrasi politik. Sumpah Pemuda yang menyatakan Satu Nusa, satu bangsa
dan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan
gambaran terbentuknya bangsa Indonesia sebagai bagian dari “nation state”
dengan bahsa Indonesia sebagai bahasa kesatuan. Tujuh belas tahun kemudian
terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu unsure Negara yang
harus ada rakyat atau penduduk yang mendiami wilayah dan penduduk itu
hendaknya mayoritasnya adalah warganegara. Sedangkat pendududk Negara
Indonesia ( sebelum merdeka) terdiri atas tiga golongan, yang tentunya tidak
setiap golongan akan setia pada Negara baru. Dari ketiga penduduk ini kemudian
ditetapkan siapa-siapa yang menjadi warga Negara Indonesia.
153
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Al-Jazairi, Abu Bakar, 1998, Mengenal Etika dan Akhlak Islam, Jakarta: Lentera
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1982, Sejarah dan Kebudayaan Indonesia: Di lihat
dari Segi Nilai-nilai. PT. Dian Rakyat, Jakarta.
Ali, Muhammad Daud, 2000, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
______, 1986, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Al-Munawir, Ahmad Warson, 1984, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
Yogyakarta: Pesantren Krapyak
al-Qardhawi, Yusuf, al-Qur‘an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
terj.Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani Press. (1996).
Apeldoorn, Van, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Inleiding tot de
studie van het Nederlandse Recht oleh Mr. Oestarid Sadino. Jakarta:
Noordhoff-halff N.V.
Bakhtiar, Amsal, 1987, Filsafat Agama. Logos: Jakarta
Ball, Gran T., 1973, Civics, New Revisied Edition. Chicago III: Follet Publishing
Co: 1973
Bertens, K. 1993, Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bukhari, Muhammad bin Ismail, Abu Abdillah, (1407 H/1987 M). Shahih al-
Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir.
Cassese, Antonio, 1994, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Yayasan
Obor, Jakarta.
Deddy Mulyana, 2006, et.al, Komunikasi Antarbudaya, Bandung: PT Rosda
Karya.
Departemen Agama RI, 1980 Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama,
Depag RI, Jakarta.
Departemen Luar Negeri, 1983, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
Hukum Laut, Direktorat Perjanian Internasional Deparlu, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka
Djatmika, Rahmat, 1985. Sistem Etika Islam, Pustaka Islam, Surabaya,
Durkhem, Emile. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Disunting
oleh Taufik Abdullah. dan AC.Van der Leeden. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Fathurrahman, 1966, Alhaditsun Nabawi, Semarang: Menara Kudus
154
Finoza, Lamuddin, 2008, Komposisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Diksi Insan
Mulia.
Freger, Robert, 2002, Hati, Diri, dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi.
Jakarta: Serambi.
Geertz, Clifford. 1966. The Religion of Java, New York: The Free Press of
Gleucoe.
Hagoo, John A., 1977 Peace of Westphalia, Encylopedia Americana vol 28). New
York, NY: American Corp: 1977
Harahap, Ahmad Rivai, 2004 “Multikulturalisme dan Penerapannya dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama”,
Hasyim, Husmiaty. 2003. Membangun Komunikasi Dalam Keluarga. Jakarta:
Pustaka al-Husna.
Hirts, Paul, 2004 War and Power I The 21 Century (terjemahan), Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Holborn, Hajo, William II, Encylopedia Americana vol 28). New York, NY:
Americana Corp.
Huntington, Samuel, P. 1996,The Class Of the Civilazation and The Remarking of
The Word Order. Cox and Wyman, United Kingdom.
Ibn Manzhur, Jamal al-Din, Muhammad, Lisaan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir,
1992)
Ihromi, TO, 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
______, 1986. Biang Lala Hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah. . Bandung: Tarsito,
Jalaluddin, Rahmat, 1996, Psikologi Agama, Jakarta:
Kaelan, HM. 2001. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Koentjaraningrat, 1985.Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia,
Koentjaraningrat, 1991, Kendala Sosial Budaya Dalam Pengamalan Pancasila,
Kompas, 14 Januari 1991
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Liliweri, Alo, 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: LKiS,.
Lubis, Akhyar Yusuf, 2006 Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu.
Mubarak, Zakky, 2007 Menjadi Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Yayasan
Ukhuwah Insaniah, 2007.
Mujilan, 2007, Akhlak, Budi pekerti dan Masyarakat (Modul II), Depok :
Universitas Indonesia
Muslim, al-Hajjaj Abu al-Husain, tt. Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya` al-
Turats al-'Arabi
Mustopo, M Habib. 1989.Ilmu Budaya Dasar, Kumpulan Essay- Manusia dan
Budaya. Surabaya: Usaha Nasional.
Nasution, Andi Hakim. 1988. Filsafat Ilmu. Jakarta.
Okke, KS. Zaimar, 2007, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Jakarta: Pascasarjana,
Universitas Indonesia
155
Panuju, Redi, 1996.Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan. Jakarta: P.T. Gramedia
Pustaka Utama,
Prayitno, H.A. dan Trubus MS. 2003. Etika Kemajemukan. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti.
Poespowardoyo, Soerjanto. 2001. Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa
Depan. Dalam Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Jakarta: MSI &
Arsip Nasional
Purbacaraka, 1982 Perihal Kaedah Hukum. Bandung: Alumni,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001.Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Rakhmat, Jalaluddin, 2005. Psikologi Agama. Edisi Revisi. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis.
Jakarta: Rajawali
Sarwono, Sarlito Wirawan.2002. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Shihab, Quraish, 1992 Membumikan Al-Qur'an, Bandung, Mizan.
---------, 2002. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan
Simanjuntak, Bungaran Anthonius. 2002. Konflik Status & Kekuasaan Orang
Batak Toba. Yogyakarta: Jendela.
Simatupang, Mauritis. 2002. Budaya Indonesia Yang Supra Etnis. Jakarta:
Soekanto, Soerjono, 1988. Teori Sosiologi Tentang Pribadi dan Masyarakat.
Jakarta:Ghalia Indonesia.
--------, 1986, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press.
Soelaeman, Munandar. 1995. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT.Eresco.
Suara Publik-Edisi Oktober 2003.
Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT.Dunia Pustaka
Jaya.
Sudarsono, 2004.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Sujatmo. 2000. Pandangan Hidup Jawa. Semarang : Dahara Priz.
Sumardjo. Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE.UI.
Suseno, Frans Magnis. 1987 Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisiu
Syahrani, Riduan, 1988.Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Banjarmasin: Pustaka
Kartini.
Widagdho, Djoko. 1994. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara,
Widyosiswoyo, Supartono, 1996, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Yaqin, M. Ainul, 2007. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media.
Internet:
156
Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Simposium
Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002,
1987, http://www.duniaesai.com/ antro/antro3.html
TENTANG PENULIS
R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap yang mengasuh beberapa mata
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan fasilitator MPKT-PDPT UI
di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1
Fakultas Hukum UI, S2 Program Pascasarjana UI Fakultas Hukum, Kandidat
Doktor pada Program S3 Studi Hukum di Universitas Indonesia. Selain sebagai
tenaga pengajar di UI, ia aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
disiplin ilmu hukum dan kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Ari Harsono adalah tenaga pengajar tetap Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia, fasilitator MPKT-PDPT di Universitas Indonesia. Ia
memberikan kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi, Psikologi Komunikasi, Ilmu
Sosial Dasar, dan Seminar Masalah-masalah Komunikasi. Latar belakang
157
pendidikannya adalalh S1 FISIP UI, S2 STIE IPWIJA dengan tesis tentang
‘Paradigma Kepemimpinan Pendapat’. Saat ini ia menekuni kajian tentang
kepemimpinan berbasis uji kejujuran dan uji logika dalam masyarakat
komunikatif (semisal ‘Kepemimpinan Pancasila’). Berdasarkan pengalaman
mengajar ISD, sejak tahun 1999 ia mengembangkan ‘Metode Analisis Akar
Masalah dan Solusinya’ yang merupakan Problem-Based Learning dalam bentuk
lain.
158