Anda di halaman 1dari 6

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Nama : Alvin Alfandi


NIM : 041516929
Email : alvinalfandi20@gmail.com
TUGAS 1
1. Dengan kondisi seperti ini coba Anda jelaskan perbedaan Hukum
Ketenagakerjaan Era Reformasi dengan Era Orde Baru!

2. Irma adalah seorang Karyawan pada Perusahaan Manufaktur pada PT. Prima. Saat
ini Irma sedang dalam keadaan Hamil 3 Bulan. Jika anda sebagai seorang HRD
pada PT. Prima, Uraikan apa yang menjadi Hak dan Kewajiban Irma!

3. Sejauh mana anda memahami status magang ? Uraikan jawaban Anda berdasar
aturan hukum yang berlaku!
JAWABAN
1. Era orde lama merupakan era kebebasan berserikat. Hal ini sejalan
dengan kebebasan berpolitik di bawah presiden Soekarno. Instrumen instrumen
hukum perburuhan di era rezim orde lama, antara UU No. 1 Tahun 1951 tentang
pernyataan berlakunya UU No 12 tahun 1948 tentang Kerja, yang mengatur
tentang larangan mempekerjakan anak, pembatasan waktu kerja 7 jam sehari, 40
jam dalam seminggu, waktu istirahat bagi buruh. Serta larangan mempekerjakan
buruh pada hari libur, hak cuti haid, hak cuti melahirkan/keguguran serta sanksi
pidana pelanggaran terhadap UU ini. Lalu terbit UU No. 2 tahun 1951 tentang
pernyataan berlakunya UU No 33 tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja. UU ini
mengatur tengang jaminan atas keselamatan kerja, hak pegawai pengawas untuk
menjamin untuk menjamin pelaksanaan keselamatan kerja serta sanksi pidana
dalam pelanggaran terhadap UU ini. Kemudian terbit UU No. 3 tahun 1951
tentang pernyataan berlakunya UU No 23 tahun 1948 tentang Pengawasan
Perburuhan. Materi UU ini mengatur kewajiban negara untuk melakukan
pengawasan pelaksanaan UU dan peraturan perburuhan, hak pegawai pengawas
memasuki dan memeriksa tempat usaha serta kewajiban majikan untuk
memberikan keterangan lisan dan tertulis kepada pegawai pengawas serta sanksi
pidana dalam pelanggaran terhadap UU ini. Kemudian, terbit UU No 21 tahun
1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara serikat buruh dan majikan. Selanjutnya
terbit UU No. 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No 98 mengenai
berlakunya dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding
bersama. Lalu UU No 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Tahun berikutnya, lalu lahir UU No. 3 tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Asing dan kemudian terbit UU No. 12 tahun 1964 tentang
Pemutusan Kerja di Perusahaan Swasta.
Instrumentasi hukum perburuhan di era orde lama cukup memberikan
jaminan pemenuhan HAM terhadap kaum buruh. Negara sangat melindungi kaum
buruh ketika menghadapi berbagai konflik dengan perusahaan. Serikat buruh
diberikan peran strategis untuk menyelesaikan dengan baik kasus-kasus buruh dan
pengusaha. Negara sebagaimana aturan-aturan di atas telah mengikatkan dirinya
untuk mengawasi pelaksanaan aturan perburuhan di perusahaan-perusahaan.
Sebagai komitmen terhadap pemenuhan HAM di era orde lama, beberapa
konvensi ILO telah diratifikasi.
Serikat buruh yang ketika orde lama bergerak pada ranah politik,
distigmakan rezim Orde Baru sebagai organisasi yang menjadi basis gerakan
komunisme di Indonesia. Karena itu, buruh dan organisasinya harus diawasi,
dirombak dan diganti dengan organisasi baru. Di awal orde baru, dibentuklah
Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) yang menyatukan seluruh
organisasi buruh di Indonesia. Pada Februari 1973, MPBI berubah nama menjadi
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu-satunya organisasi buruh
yang diakui pemerintah. Kemudian berubah lagi tahun 1985 menjadi Konfederasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dimana seluruh serikat buruh di
Indonesia harus berafiliasi dengan KSPSI. Untuk mengendalikan KSPSI,
pemerintah merumuskan sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), berupa
larangan berserikat selain organisasi bentukan pemerintah dan larangan aksi
mogok karena bertentangan dengan pancasila.
Sifat pemerintah yang otoriter di era orde baru berubah saat memasuki
era reformasi. Pekerja/buruh mulai bebas berserikat dan dilindungi undang-
undang. Pekerja/buruh memiliki kebebasan untuk berekspresi. Pengaturan tentang
perburuhan era reformasi berbeda sama sekali. Misalnya terbit UU No. 21 tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh mengatur adanya kebebasan untuk berserikat.
Lalu terbit UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Instrumen hukum
ketiga ialah UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI). Instrumen hukum terbaru ini selain melalui media penyelesaian
bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase juga menghendaki penyelesaian kasus
lewat pengadilan hubungan industrial yang dibentuk di Pengadilan Negeri
menggantikan kewenangan P4D/P4P. Penyelesaian jalur Pengadilan Hubungan
Industrial ialah puncak penyelesaian konflik buruh, serikat buruh dan majikan.
(Hardjoprajitno Purbadi, 2020)

2. Hak atas Cuti Hamil dan Melahirkan


Pada pasal 82 ayat 1 UU Ketenagakerjaan No. 13/ 2003 diatur tentang hak
karyawan perempuan mendapatkan hak cuti hamil dalam masa kehamilan dan hak
cuti melahirkan / cuti bersalin dalam masa persalinan:
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”
Meskipun didalam undang-undang tenaga kerja wanita yang hamil telah diatur
pembagian waktunya demikian, namun beberapa perusahaan memberi kebebasan
karyawannya untuk menentukan sendiri kapan waktu yang diinginkan untuk cuti.
Biasanya karyawan perempuan akan memilih mengambil cuti mendekati hari
kelahiran. Alasannya agar setelah melahirkan dapat lebih lama merawat bayinya
di rumah. Yang perlu diperhatikan oleh HR adalah kesamaan persepsi waktu “3
bulan” antara perusahaan dengan karyawan. Beberapa perusahaan memperinci
artinya menjadi 90 hari kalender dalam peraturan perusahaan agar tidak terjadi
kesalahpahaman.

Hak Cuti Menyusui


Seiring maraknya kampanye dan kesadaran pemberian ASI ekslusif, sangat
penting bagi perusahaan melihat urgensi pemenuhan hak karyawan perempuan
untuk menyusui bayinya saat ini. Perusahaan perlu menyediakan tempat laktasi
dan memberi kesempatan setidaknya untuk memerah ASI bagi karyawan
perempuan pada waktu kerja.UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah
mengatur hal ini, sebagai berikut:
“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan
selama waktu kerja.”
Penjelasan pasal 83: Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam
pasal ini adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan
untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Hak atas Cuti Keguguran


Apabila keguguran kandungan dialami karyawan perempuan, karyawan
tersebut berhak untuk beristirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan/ bidan. Ketentuan ini tercantum dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13/ 2003 pasal 82 ayat 2, dan hendaknya ditaati oleh
perusahaan.
Istilah keguguran sendiri dalam dunia kedokteran, merupakan kondisi
kehilangan janin sebelum janin itu dapat bertahan hidup di luar kandungan, yang
diartikan usia janin kurang dari 20 minggu.

Hak perlindungan selama hamil


Pasal 76 (2) UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 menyatakan “Pengusaha
dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang bisa berbahaya bagi
kandungannya dan dirinya sendiri”. Wanita yang sedang hamil lebih rentan
dibanding pekerja lainnya. Makanya perusahaan atau pemilik usaha wajib
menjamin perlindungan bagi pekerja tersebut. Misalnya tidak memberi tugas
keluar kota yang mengharuskan menggunakan transportasi udara di trimester
pertama kehamilan, atau menghindari pekerjaan berat untuk pekerja pabrik. Yang
penting ibu dan bayi aman dan selamat.
Hak biaya persalinan
UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan PP No.14
tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
mengatur kewajiban perusahaan yang memiliki lebih dari 10 tenaga kerja atau
membayar upah sedikitnya Rp1.000.000 untuk mengikutsertakan seluruh tenaga
kerjanya dalam program BPJS Kesehatan. Dalam program BPJS kesehatan
tersebut, termasuk juga layanan kesehatan pemeriksaan kehamilan dan
melahirkan. Jika peserta belum terdaftar, perusahaan atau pemilik usaha tetap
wajib memberi bantuan dana dan fasilitas kesehatan sesuai standar BPJS.
Kewajiban Irma saat sedang Hamil :
Setelah memahami hak-hak nya, kini saatnya Irma memahami kewajibannya
yang juga menjadi hak dari perusahaan. Kewajiban Irma terbagi menjadi tiga hal
utama yaitu:
1. Kewajiban Ketaatan, hal ini berarti bahwa karyawan harus memiliki
konsekuensi dan patuh pada peraturan perusahaan yang telah ditetapkan.
2. Kewajiban Konfidensialitas, setiap karyawan berkewajiban untuk menjaga
kerahasiaan data-data di perusahaan.
3. Kewajiban Loyalitas, artinya karyawan harus mendukung visi dan misi
perusahaan dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan.
Dengan catatan, setelah mendapat keringanan pekerjaan dari perusahaan, Irma
tetap dituntut untuk profesional dan menyelesaikan tugas dan fungsinya di
perusahaan dengan baik.

3. Pemagangan merupakan salah satu metode yang dapat mengakselerasi


peningkatan kualitas dan kuantitas kompetensi tenaga kerja secara masif. Hal ini
sejalan dengan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan sumber daya
manusia dalam rangka mempersiapkan dan menyediakan tenaga kerja yang
kompeten, produktif dan berdaya saing. Disamping aspek keterampilan dan
pengetahuan, para peserta juga mendapatkan pengalaman kerja yang
sesungguhnya di dunia kerja yang membantu membentuk sikap, mental, perilaku
kerja, budaya kerja dan kinerja dengan produktivitas tinggi di perusahaan.
Pemagangan di Indonesia diatur dalam Pasal 1, ayat (11) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

"Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang


diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan
bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
pekerja yang lebih berpengalaman dalam proses produksi barang dan/ atau jasa
di perusahaan dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu."
Di dalam Pasal 21 sampai 29 terkait mengenai perjanjian pemagangan yang
memuat hak dan kewajiban peserta magang dan perusahaan, pengakuan
kualifikasi/kompetensi dan sebagainya. Untuk memastikan pemagangan
apprenticeship ini tidak disalahgunakan sebagai bentuk eksploitasi tenaga kerja,
maka Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 36 Tahun 2016 tentang Pemagangan Dalam
Negeri secara rinci.
Pemagangan pada dasarnya merupakan pelatihan yang dilaksanakan oleh
perusahaan kepada calon tenaga kerja di lokasi kerja untuk mendapatkan
keterampilan tertentu. Bagi perusahaan, tujuan pemagangan adalah untuk
mendapatkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan sesuai dengan kualifikasi
yang diperlukan oleh perusahaan. Peserta pemagangan mengikutinya untuk
mendapatkan keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai
dengan keterampilan yang didapatkannya dalam pemagangan. Maka
pemagangan bukan merupakan relasi pemberi kerja dan pencari kerja,
namun relasi antara pencari keterampilan dengan penyedia keterampilan yang
dilakukan di lingkungan pekerjaan. Pemagangan juga bukan merupakan pelatihan
yang diberikan perusahaan kepada siswa sekolah sebagai prasyarat untuk
mendapat keterampilan tertentu sebagai salah satu prasyarat kurikulum
pendidikan.

Terdapat perjanjian pemagangan. Perjanjian pemangangan antara perusahaan


dan peserta magang di mana di dalamnya mencakup jangka waktu program
pemagangan, hak dan kewajiban peserta magang serta perusahaan, termasuk
jaminan perlindungan sosial dan besaran uang saku. Terdapat struktur pelatihan
pemangangan yang sistematis dan berdasarkan standar yang telah ditentukan,
seperti standar khusus, standar nasional atau internasional melalui pelatihan teori
(off the job training) dan praktik kerja (on the job training). Ini termasuk juga
penunjukan instruktur pelatihan maupun mentor (pembimbing) pelatihan serta
sertifikasi baik internal maupun eksternal yang diberikan pada akhir program
pemagangan. Pengawasan dan evaluasi dilakukan secara berkala baik secara
internal maupun eksternal untuk memastikan program pemagangan dilaksanakan
sesuai dengan struktur pelatihan yang telah ditentukan. Memastikan pelatihan dan
jaminan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi peserta magang dengan
memberikan perangkat K3 yang diperlukan pada saat mereka praktik kerja

Kegiatan magang ini sangat menguntungkan kepada kedua belah pihak,


para peserta magang mendapat keuntungan dengan memiliki kesempatan untuk
mengaplikasikan semua ilmu yang telah dipelajari saat menjalankan pendidikan,
dan kemudian pengalaman ini dapat menjadi bekal dalam menjalani jenjang karir
yang sesungguhnya. Pengusaha sebagai salah satu pihak yang diuntungkan dengan
adanya pemagang karna dapat lebih meringankan kerja karyawan yang ada
tentunya harus tetap menjaga hak-hak yang perlu diperoleh peserta magang agar
terjamin haknya dan sebagai sumber daya untuk mengantar perusahaan pada
tujuannya karena keberhasilan suatu perusahaan tergantung dari para pekerjanya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa hubungan antara pekerja
dengan perusahaan saling membutuhkan, oleh karena itu pekerja tidak boleh
menjadi pihak yang semata-mata dieksploitasi oleh perusahaan, walaupun
memang pada kenyataannya pekerja membutuhkan pekerjaan dan perusahaan
memberinya upah, tetapi hak-hak pekerja ini harus diperhatikan dan dilindungi
agar pekerja dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan produk yang baik pula.
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perushaan atau lembaga sertifikasi (Pasal 23
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003).

Referensi:
Hardjoprajitno Purbadi, d. (2020). Hukum Ketenagakerjaan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai