Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

BETON, BAJA, DAN BESI

DOSEN PEMBIMBING :

Marguan Fauzi

DISUSUN OLEH :

Manda Tri Putra

(2018250022)

UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL
2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Beton, Besi dan Baja” ini dapat
terselesaikan. Berbagai sumber telah penulis ambil sebagai bahan dalam pembuatan
makalah ini. Penulis berharap makalah beton ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis juga menyadari bahwa buku tugas besar ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki kesalahan dalam
penyusunannya.

Palembang, April 2019

PENULIS
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………. ............................ ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….. iii

BAB I BETON…….……………………………………………………………………...

1.1 landasaan teori Beton............................................................................................................... 1

1.2 material penyusun beton........................................................................................................... 6

1.3 perencanaan campuran……………………………………………………………………...11

1.4 bahan capping …………………………………………………………………………...…11

1.5 karbonasi …………………………………………………………………………………...12

BAB II BAJA……...……………………………………………………………………...

2.1 Pengertian Baja ………………………………………………………………………..……14

2.2 pengaruh unsur paduan pada baja………………………………………………….............15

2.3 pengertian baja pegas daun …………………………………………………………..…..…17

2.4 diagram TTT ………………………………………………………………………………..19

2.5 holding time (waktu tahan) …………………………………………………………..….….21

2.6 diagram fase fe……………………………………………………………………………... 21

2.7 struktur mikro baja ……………………………………………………………………...….23

2.8 perlakuan panas ……………………………………………………………………... ….....25

2.9 hardening ……………………………………………………………………………...….. .26


2.10 Quenching………………………………………………………………………………... .27

2.11 Tempering ………………………………………………………………………………....28

2.12 ketangguhan baja …………………………………………………………………………..29

2.13 optical emission spectrometry ……………………………………………………………..30

BAB III BESI……...…………………………………………………………………...

3.1 Pengertian Besi ........................................................................................................................31

3.2 jenis jenis Besi..........................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
BETON

1.1 Landasan Teori Beton


1.1.1 Pengertian Beton
Beton adalah campuran antara semen portland atau semen
hidrolik yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau
tanpa bahan tambahan yang membentuk massa padat (SNI-03-2847-
2002). Seiring dengan penambahan umur, beton akan semakin
mengeras dan akan mencapai kekuatan rencana (f’c) pada usia 28 hari.

1.1.1 Kekuatan Beton


Kekuatan tekan merupakan salah satu kinerja utama beton.
Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk dapat menerima gaya
per satuan luas (Tri Mulyono, 2004). Nilai kekuatan beton diketahui
dengan melakukan pengujian kuat tekan terhadap benda uji silinder
ataupun kubus pada umur 28 hari yang dibebani dengan gaya tekan
sampai mencapai beban maksimum. Beban maksimum didapat dari
pengujian dengan menggunakan alat compression testing machine.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mutu dari kekuatan beton,
yaitu :
1. Faktor air semen (FAS)
Faktor air semen (FAS) merupakan perbandingan antara jumlah air
terhadap jumlah semen dalam suatu campuran beton. Fungsi FAS,
yaitu :
 Untuk memungkinkan reaksi kimia yang menyebabkan
pengikatan dan berlangsungnya pengerasan.
 Memberikan kemudahan dalam pengerjaan beton (workability)
Semakin tinggi nilai FAS, mengakibatkan penurunan mutu kekuatan
beton. Namun nilai FAS yang semakin rendah tidak selalu berarti

1
bahwa kekuatan beton semakin tinggi. Umumnya nilai FAS yang
diberikan minimum 0,4 dan maksimum 0,65 (Tri Mulyono, 2004).
2. Sifat agregat
Sifat-sifat agregat sangat berpengaruh pada mutu campuran beton.
Adapun sifat-sifat agregat yang perlu diperhatikan seperti, serapan
air, kadar air agregat, berat jenis, gradasi agregat, modulus halus
butir, kekekalan agregat, kekasaran dan kekerasan agregat.
3. Proporsi semen dan jenis semen yang digunakan
Berhubungan dengan perbandingan jumlah semen yang digunakan
saat pembuatan mix design dan jenis semen yang digunakan
berdasarkan peruntukkan beton yang akan dibuat. Penentuan jenis
semen yang digunakan mengacu pada tempat dimana struktur
bangunan yang menggunakan material beton tersebut dibuat, serta
pada kebutuhan perencanaan apakah pada saat proses pengecoran
membutuhkan kekuatan awal yang tinggi atau normal.
4. Bahan tambah
Bahan tambah (additive) ditambahkan pada saat pengadukan
dilaksanakan. Bahan tambah (additive) lebih banyak digunakan
untuk penyemenan (cementitious), jadi digunakan untuk perbaikan
kinerja. Menurut standar ASTM C 494/C494M – 05a, jenis bahan
tambah kimia dibedakan menjadi tujuh tipe, yaitu :
a) water reducing admixtures
b) retarding admixtures
c) accelerating admixtures
d) water reducing and retarding admixtures
e) water reducing and accelerating admixtures
f) water reducing and high range admixtures
g) water reducing, high range and retarding admixtures

1.1.2 Tegangan dan Regangan Beton


Tegangan didefinisikan sebagai tahanan terhadap gaya-gaya luar.
Intensitas gaya yaitu gaya per satuan luas disebut tegangan dan diberi
2
notasi huruf Yunani “σ” (sigma). Apabila sebuah batang ditarik dengan
gaya P, maka tegangannya adalah tegangan tarik (tensile stress),
sedangkan apabila ditekan, maka terjadi tegangan tekan (compressive
stress). Dengan rumus :

(2.1)
2 2
Asilinder = 1/4**d ; Akubus = r
Dimana, σ = tegangan (N/mm2)
P = beban maksimum (N)
A = luas bidang tekan
2
(mm ) d = diameter
silinder (mm)
r = rusuk kubus (mm)
P

15 cm
30 cm

15 cm 15 cm

(a) (b)

Gambar 2.1 Sampel uji kuat tekan, (a) silinder beton dan
(b) kubus beton

Jika suatu benda ditarik atau ditekan, gaya P yang diterima benda
mengakibatkan adanya ketegangan antar partikel dalam material yang
besarnya berbanding lurus. Perubahan tegangan partikel ini
menyebabkan adanya pergeseran struktur material regangan atau
himpitan yang besarnya juga berbanding lurus. Karena adanya
pergeseran, maka terjadilah deformasi bentuk material misalnya
perubahan panjang menjadi L + ∆L (jika ditarik) atau L - ∆L.(jika
ditekan). Dimana L adalah panjang awal benda dan ∆L adalah
perubahan
3
panjang yang terjadi. Rasio perbandingan antara ∆L terhadap L inilah
yang disebut strain (regangan) dan dilambangkan dengan “ε” (epsilon).
Dengan rumus :

(2.2)

Gambar 2.2 Regangan (strain)

1.1.3 Kurva Tegangan – Regangan Beton


Beton adalah suatu
material heterogen yang sangat kompleks
dimana reaksi
terhadap tegangan tidak hanya tergantung dari reaksi
komponen individu tetapi juga interaksi antar komponen. Kompleksitas
interaksi diilustrasikan dalam Gambar 2.3, dimana ditunjukkan kurva
tegangan-regangan tertekan untuk beton dan mortar, pasta semen dan
agregat kasar. Agregat kasar adalah suatu material getas elastis linier,
dengan kekuatan signifikan diatas beton. Pasta semen mempunyai nilai
modulus elastisitas rendah, tetapi kuat tekan lebih tinggi dibandingkan
dengan mortar atau beton. Penambahan agregat halus ke pasta semen
menjadi mortar mengakibatkan suatu
peningkatan modulus elastisitas,
tetapi mereduksi kekuatan. Penambahan agregat kasar ke mortar, dalam
ilustrasi diatas, hanya sedikit mempengaruhi modulus elastisitas, tetapi
mengakibatkan penambahan reduksi kuat tekan. Secara keseluruhan,
perilaku beton
adalah serupa dengan unsur pokok mortar, sedangkan
perilaku mortar dan beton secara signifikan berbeda dari perilaku baik
pasta semen atau agregat.

4
(Sumber : Concrete, Mindess et al., 2003)
Gambar 2.3 Kurva stress-strain tipikal untuk agregat, pasta
semen, mortar dan beton.

Kurva tegangan-regangan pada Gambar 2.4 dibawah


menampilkan hasil yang dicapai dari hasil uji tekan terhadap sejumlah
silinder uji beton standar berumur 28 hari dengan kekuatan beragam.
Dari kurva tersebut dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : semakin
tinggi mutu beton, maka modulus elastisitasnya akan semakin besar
sehingga beton dengan kekuatan lebih tinggi bersifat lebih getas
(brittle); sedangkan beton dengan kekuatan lebih rendah lebih ductile
(ulet) daripada beton berkekuatan lebih tinggi, artinya beton tersebut
akan mengalami regangan yang lebih besar sebelum mengalami
kegagalan (failure).

(Sumber : Concrete, Mindess et al., 2003)


Gambar 2.4 Contoh kurva tegangan-regangan pada beton
dengan berbagai variasi kuat tekan.
5
1.1.4 Modulus Elastisitas Beton
Modulus
elastisitas atau modulus Young merupakan hubungan
linier antara tegangan dan regangan untuk suatu batang yang
mengalami tarik atau tekan. Semakin besar harga modulus ini maka
semakin kecil
regangan elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu,
atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff).
Modulus elastisitas adalah kemiringan kurva tegangan-regangan di
dalam daerah elastis linier pada sekitar 40% beban puncak (Concrete,
Mindess et al., 2003 & ASTM STP 169D Chapter 19), dengan rumus :

E= atau E = tanα (rumus umum)


(2.3)

E= (rumus ASTM STP 169D)


(2.4)

40%

50

(Sumber : ASTM STP 169D Chapter 19, 1994)


Gambar 2.5 Macam-macam bentuk modulus elastisitas

1.1.5 Poisson’s Ratio


Ketika sebuah silinder beton menerima berkurang atau beban
beban tekan
tarik, silinder tersebut tidak hanya atau bertambah tingginya tetapi juga
mengalami ekspansi (pemuaian) dalam arah lateral yaitu
kontraksi tegak lurus arah beban. Regangan lateral disetiap titik pada
suatu batang sebanding dengan regangan aksial di titik tersebut jika
bahannya elastis linear. Oleh karena itu, dibuatlah kesepakatan bahwa :
a. Regangan yang arahnya segaris dengan arah gerak gaya disebut
regangan Longitudinal. Dengan rumus :

(2.5)

b. Regangan yang arahnya tegak lurus terhadap arah gerak gaya disebut
regangan Lateral. Dengan rumus :

(2.6)

Gambar 2.6 Regangan longitudinal dan lateral

Dimana :  = Regangan
L = Panjang Benda Mula-mula (m)
∆L = Perubahan Panjang Benda (µm)
d0 = Diameter Penampang Mula-mula (m)
∆d = Perubahan Diameter Penampang (µm)

Besarnya nilai perbandingan antara regangan lateral ( ) terhadap


regangan longitudinal (
) pada suatu bahan/ material adalah tetap
(konstan). Nilai perbandingan inilah yang disebut dengan Rasio Poisson
dan dilambangkan dengan “ν“ (nu).

(2.7)

Nilai rasio poisson untuk beton berkisar antara 0,15 - 0,25 (ASTM
STP 169D Chapter 19, 1994).

1.2 Material Penyusun Beton


Beton dihasilkan dari sekumpulan interaksi mekanis dan kimiawi
sejumlah material pembentuknya (Nawy, 1985:8). Sehingga untuk
memahami dan mempelajari perilaku beton, diperlukan pengetahuan
6
tentang karakteristik masing – masing komponen pembentuknya.
Bahan pembentuk beton terdiri dari campuran agregat halus dan agregat
kasar dengan air dan semen sebagai pengikatnya.

1.2.2 Agregat
Pada beton biasanya terdapat sekitar 70% sampai 80 % volume
agregat terhadap volume keseluruhan beton, karena itu agregat
mempunyai peranan yang penting dalam propertis suatu beton
(Mindess et al., 2003). Agregat ini harus bergradasi sedemikian rupa
sehingga seluruh massa beton dapat berfungsi sebagai satu kesatuan
yang utuh, homogen, rapat, dan variasi dalam perilaku (Nawy, 1998).
Dua jenis agregat adalah :
1.2.2.1 Agregat halus (pasir alami dan buatan)
Agregat halus disebut pasir, baik berupa pasir alami yang diperoleh
langsung dari sungai atau tanah galian, atau dari hasil pemecahan
batu. Agregat halus adalah agregat dengan ukuran butir lebih kecil
dari 4,75 mm (ASTM C 125 – 06). Agregat yang butir-butirnya lebih
kecil dari 1,2 mm disebut pasir halus, sedangkan butir-butir yang
lebih kecil dari 0,075 mm disebut silt, dan yang lebih kecil dari
0,002 mm disebut clay (SK SNI T-15-1991-03). Persyaratan
mengenai proporsi agregat dengan gradasi ideal yang
direkomendasikan terdapat dalam standar ASTM C 33/ 03 “Standard
Spesification for Concrete Aggregates”.
Tabel 2.1 Gradasi Saringan Ideal Agregat Halus
Diameter Saringan Persen Lolos Gradasi Ideal
(mm) (%) (%)
9,5 mm 100 100
4,75 mm 95 - 100 97,5
2,36 mm 80 - 100 90
1,18 mm 50 - 85 67,5
600 m 25 - 60 42,5
300 m 5 - 30 17,5
150 m 0 - 10 5
(Sumber: ASTM C 33/ 03)

7
1.2.2.2 Àgregat kasar (kerikil, batu pecah, atau pecahan dari blast
furnance) Menurut ASTM C 33 - 03 dan ASTM C 125 - 06, agregat
kasar adalah agregat dengan ukuran butir lebih besar dari 4,75 mm.
Ketentuan mengenai agregat kasar antara lain :
1.2.2.2.1 Harus terdiri dari butir – butir yang keras dan tidak
berpori.
1.2.2.2.2 Butir – butir agregat kasar harus bersifat kekal,
artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh – pengaruh
cuaca, seperti terik matahari dan hujan.
1.2.2.2.3 Tidak boleh mengandung zat – zat yang dapat
merusak beton, seperti zat – zat yang relatif alkali.
1.2.2.2.4 Tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1 %.
Apabila kadar lumpur melampaui 1 %, maka agregat kasar
harus dicuci.
Persyaratan mengenai proporsi gradasi saringan untuk campuran
beton berdasarkan standar yang direkomendasikan ASTM C 33/ 03
“Standard Spesification for Concrete Aggregates” (lihat Tabel 2.1).
Dan standar pengujian lainnya mengacu pada standar yang
direkomendasikan pada ASTM.
Tabel 2.2 Gradasi Saringan Ideal Agregat Kasar
Diameter Saringan Persen Lolos Gradasi Ideal
(mm) (%) (%)
25,00 100 100
19,00 90 -100 95
12,50 - -
9,50 20 – 55 37,5
4,75 0 – 10 5
2,36 0-5 2,5
(Sumber: ASTM C 33/ 03)

1.2.3 Semen (Portland Cement)


Portland cement merupakan bahan pengikat utama untuk adukan
beton dan pasangan batu yang digunakan untuk menyatukan bahan
menjadi satu kesatuan yang kuat.

8
Menurut ASTM C150, semen Portland dibagi menjadi lima tipe, yaitu :
Tipe I : Ordinary Portland Cement (OPC), semen untuk
penggunaan umum, tidak memerlukan persyaratan khusus
(panas hidrasi, ketahanan terhadap sulfat, kekuatan awal).
Tipe II : Moderate Sulphate Cement, semen untuk beton yang tahan
terhadap sulfat sedang dan mempunyai panas hidrasi
sedang.
Tipe III : High Early Strength Cement, semen untuk beton dengan
kekuatan awal tinggi (cepat mengeras)
Tipe IV : Low Heat of Hydration Cement, semen untuk beton yang
memerlukan panas hidrasi rendah, dengan kekuatan awal
rendah.
Tipe V : High Sulphate Resistance Cement, semen untuk beton yang
tahan terhadap kadar sulfat tinggi.

Selain semen Portland di atas, juga terdapat beberapa jenis semen lain :
1.2.3.1 Blended Cement (Semen Campur)
Semen campur dibuat karena dibutuhkannya sifat-sifat khusus yang
tidak dimiliki oleh semen portland. Untuk mendapatkan sifat khusus
tersebut diperlukan material lain sebagai pencampur. Jenis semen
campur :
a) Portland Pozzolan Cement (PPC)
b) Portland Blast Furnace Slag Cement
c) Semen Mosonry
d) Portland Composite Cement (PCC)
1.2.3.2 Water Proofed Cement
Water proofed cement adalah campuran yang homogen antara semen
Portland dengan “Water proofing agent”, dalam jumlah yang kecil.
1.2.3.3 White Cement (Semen Putih)
Semen putih dibuat untuk tujuan dekoratif, bukan untuk tujuan
konstruktif.

9
1.2.3.4 High Alumina Cement
High alumina cement dapat menghasilkan beton dengan kecepatan
pengerasan yang cepat dan tahan terhadap serangan sulfat, asam
akan tetapi tidak tahan terhadap serangan alkali.
1.2.3.5 Semen Anti Bakteri
Semen anti bakteri adalah campuran yang homogen antara semen
Portland dengan “anti bacterial agent” seperti germicide.
(Sumber : http://en.wikipedia.org)
1.2.4 Air
Fungsi dari air disini antara lain adalah sebagai bahan pencampur
dan pengaduk antara semen dan agregat. Pada umumnya air yang dapat
diminum memenuhi persyaratan sebagai air pencampur beton, air ini
harus bebas dari padatan tersuspensi ataupun padatan terlarut yang
terlalu banyak, dan bebas dari material organik (Mindess et al.,2003).
Persyaratan air sebagai bahan bangunan, sesuai dengan
penggunaannya harus memenuhi syarat menurut Persyaratan Umum
Bahan Bangunan Di Indonesia (PUBI-1982), antara lain:
1.2.4.1 Air harus bersih.
1.2.4.2 Tidak mengandung lumpur, minyak dan benda terapung lainnya
yang dapat dilihat secara visual.
1.2.4.3 Tidak boleh mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2
gram
/ liter.
1.2.4.4 Tidak mengandung garam-garam yang dapat larut dan dapat
merusak beton (asam-asam, zat organik dan sebagainya) lebih dari
15 gram / liter. Kandungan klorida (Cl), tidak lebih dari 500 p.p.m.
dan senyawa sulfat tidak lebih dari 1000 p.p.m. sebagai SO3.
1.2.4.5 Semua air yang mutunya meragukan harus dianalisa secara kimia
dan dievaluasi.

10
1.3 Perencanaan Campuran (Mix Design)
Tujuan utama mempelajari sifat – sifat beton adalah untuk
perencanaan campuran (mix design), yaitu pemilihan bahan – bahan
beton yang memadai, serta menentukan proporsi masing – masing
bahan untuk menghasilkan beton ekonomis dengan kualitas yang baik
(Antoni – P.Nugraha, 2007). Dalam penelitian ini, mix design
dilaksanakan menggunakan cara DOE (Department of Environment).
Perencanaan dengan cara DOE dipakai sebagai standar perencanaan
oleh Departemen Pekerjaan Umum di Indonesia dan dimuat dalam
buku standar SK SNI T- 15-1990. Pemakaian metode DOE karena
metode ini yang paling sederhana dengan menghasilkan hasil yang
akurat, diantaranya penggunaan rumus dan grafik yang sederhana.
Secara garis besar langkah perhitungan mix design cara DOE dapat
diuraikan sebagai berikut: menentukan kuat tekan rata-rata rencana
(f’c); faktor air semen; nilai slump; besar butir agregat maksimum;
kadar air bebas; proporsi agregat; berat jenis agregat gabungan, dan
menghitung proporsi campuran beton.

1.4 Bahan Capping


Pada saat pengujian compression, permukaan silinder beton
haruslah rata sehingga gaya tekan menyebar di semua permukaan
silinder beton tersebut. Untuk mendapatkan permukaan silinder beton
yang rata diperlukan bahan tambahan yang disebut capping. Bahan
capping yang biasa digunakan adalah belerang.
Bahan pembuatan belerang sebagai capping adalah dengan cara
memanaskan bubuk belerang hingga mencair dan dituang ke alat cetak
capping. Selanjutnya ujung permukaan silinder beton yang tidak rata di
timpa ke alat cetak capping tersebut sampai belerang menutup ujung
permukaan beton dan mengeras.
Selain belerang terdapat juga bahan capping lainnya yaitu topi
baja dan teflon. Topi baja berupa pad elastomer yang dimasukkan ke
dalam
11
topi logam kaku yang berfungsi menahan atau mereduksi beban.
Ukuran diameter topi baja 6 mm lebih besar dari diameter silinder
beton. Sedangkan untuk penggunaan teflon dibentuk mengikuti bentuk
permukaan benda uji. Teflon ini mempunyai dua jenis ketebalan yaitu
100 m dan 50 m.

(a)

(b) (c)
Gambar 2.7 Jenis capping, (a) belerang (b) topi baja dan (c) teflon

1.5 Karbonasi
Karbonisasi pada beton terjadi akibat unsur kalsium yang ada
pada beton tercampur oleh karbon dioksida yang ada di udara dan
berubah menjadi kalsium karbonat. Pasta semen mengandung 25-50%
kalsium hidroksida (Ca(OH)2), dimana rata-rata nilai pH dari pasta
semen segar
12
setidaknya 12,5. Sedangkan nilai pH pasta semen yang terkarbonasi
seluruhnya berkisar 7.
Beton akan terkarbonasi jika karbon dioksida dari udara atau
dari air meresap ke dalam beton. Tingkat karbonasi tergantung dari
porositas dan unsur kelembaban pada beton. Jika beton terlalu kering
(RH<40%) CO2 tidak dapat larut dan karbonasi tidak terjadi.
Sebaliknya jika beton terlalu basah (RH>90%) CO 2 tidak dapat
meresap ke dalam beton dan karbonasi juga tidak dapat terjadi pada
beton. Kondisi optimal untuk terjadinya karbonasi pada saat RH 50%
(berkisar antara 40-90%).
Karbonasi sangat merugikan pada beton bertulang karena
menyebabkan atau berhubungan langsung dengan proses korosi pada
tulangan dalam beton dan proses penyusutan (shrinkage). Tetapi pada
beton biasa, karbonasi menyebabkan peningkatan nilai kuat tekan
maupun tarik. Sehingga tidak semua efek karbonasi itu merugikan.
Untuk mengetahui secara cepat dimana beton mengalami karbonasi,
dapat dilakukan dengan cara menuangkan/meneteskan cairan
Phenolphthalein, yang biasa disebut Phenolphthalein indicator. Jika
setelah dituang beton berwarna keunguan, maka beton tidak
terkarbonasi. Tetapi jika tidak berwarna, maka beton telah
terkarbonasi.

Gambar 2.8 Gambar beton terkarbonasi

13
BAB 2
BAJA

2.1 Pengertian Baja

Baja adalah logam paduan, logam besi sebagai unsur dasar dengan karbon sebagai

unsur paduan utamanya. Kandungan unsur karbon dalam baja berkisar antara

0,2% hingga 2,1% berat sesuai grade-nya. Fungsi karbon dalam baja adalah

sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal

(crystal lattice) atom besi. Baja karbon ini dikenal sebagai baja hitam karena

berwarna hitam, banyak digunakan untuk peralatan pertanian misalnya sabit dan

cangkul. Unsur paduan lain yang biasa ditambahkan selain karbon adalah

titanium, krom (chromium), nikel, vanadium, cobalt dan tungsten (wolfram).

Dengan memvariasikan kandungan karbon dan unsur paduan lainnya, berbagai

jenis kualitas baja bisa didapatkan. Penambahan kandungan karbon pada baja

dapat meningkatkan kekerasan (hardness) dan kekuatan tariknya (tensile

strength), namun di sisi lain membuatnya menjadi getas (brittle) serta

menurunkan keuletannya (ductility) (Anonimous A, 2012).

Menurut komposisi kimianya baja karbon dapat klasifikasikan menjadi tiga, yaitu

Baja karbon rendah dengan kadar karbon 0,05% - 0,30% C, sifatnya mudah

ditempa dan mudah di kerjakan pada proses permesinan. Penggunaannya untuk

14
komposisi 0,05% - 0,20% C biasanya untuk bodi mobil, bangunan, pipa, rantai,

paku keeling, sekrup, paku dan komposisi karbon 0,20% - 0,30% C digunakan

untuk roda gigi, poros, baut, jembatan, bangunan. Baja karbon menengah dengan

kadar karbon 0,30% - 0,60%, kekuatannya lebih tinggi dari pada baja karbon

rendah. Sifatnya sulit untuk dibengkokkan, dilas, dipotong. Penggunaan untuk

kadar karbon 0,30% - 0,40% untuk batang penghubung pada bagian automotif.

Untuk kadar karbon 0,40% - 0,50% digunakan untuk rangka mobil, crankshafts,

rails, ketel dan obeng. Untuk kadar karbon 0,50% - 0,60% digunakan untuk palu

dan eretan pada mesin. Baja karbon tinggi dengan kandungan 0,60% - 1,50% C,

kegunaannya yaitu untuk pembuatan obeng, palu tempa, meja pisau, rahang

ragum, mata bor, alat potong, dan mata gergaji, baja ini untuk pembuatan baja

perkakas. Sifatnya sulit dibengkokkan, dilas dan dipotong (Arifin dkk, 2008).

Sedangkan menurut kadar zat arangnya, baja dibedakan menjadi tiga kelompok

utama baja bukan paduan yaitu baja dengan kandungan kurang dari 0,8% C (baja

hypoeutectoid), himpunan ferrit dan perlit (bawah perlitis), baja dengan

kandungan 0,8% C (baja eutectoid atau perlitis), terdiri atas perlit murni, dan baja

dengan kandungan lebih dari 0,8% C (baja hypereutectoid), himpunan perlit dan

sementit (atas perlitis) (Mulyadi, 2010).

2.2 Pengaruh Unsur Paduan pada Baja

Pengaruh unsur-unsur paduan dalam baja adalah sebagai berikut (Mulyadi, 2010).

1. Silisium (Si), terkandung dalam jumlah kecil di dalam semua bahan besi dan

dibubuhkan dalam jumlah yang lebih besar pada jenis-jenis istimewa.

Meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan, ketahanan aus, ketahanan

15
terhadap panas dan karat, dan ketahanan terhadap keras. Tetapi menurunkan

regangan, kemampuan untuk dapat ditempa dan dilas.

2. Mangan (Mn), meningkatkan kekuatan, kekerasan, kemampuan untuk dapat di

temper menyeluruh, ketahanan aus, penguatan pada pembentukan dingin, tetapi

menurunkan kemampuan serpih.

3. Nikel (Ni), meningkatkan keuletan, kekuatan, pengerasan menyeluruh,

ketahanan karat, tahanan listrik (kawat pemanas), tetapi menurunkan kecepatan

pendinginan regangan panas.

4. Krom (Cr), meningkatkan kekerasan, kekuatan, batas rentang ketahanan aus,

kemampuan diperkeras, kemampuan untuk dapat ditemper menyeluruh,

ketahanan panas, kerak, karat dan asam, pemudahan pemolesan, tetapi

menurunkan regangan (dalam tingkat kecil).

5. Molibdenum (Mo), meningkatkan kekuatan tarik, batas rentang, kemampuan

untuk dapat ditemper menyeluruh, batas rentang panas, ketahanan panas dan

batas kelelahan, suhu pijar pada perlakuan panas, tetapi menurunkan regangan,

kerapuhan pelunakan.

6. Kobalt (Co), meningkatkan kekerasan, ketahanan aus, ketahanan karat dan

panas, daya hantar listrik dan kejenuhan magnetis.

7. Vanadium (V), meningkatkan kekuatan, batas rentang, kekuatan panas, dan

ketahanan lelah, suhu pijar pada perlakuan panas, tetapi menurunkan kepekaan

terhadap sengatan panas yang melewati batas pada perlakuan panas.

8. Wolfram (W), meningkatkan kekerasan, kekuatan, batas rentang, kekuatan

panas, ketahanan terhadap normalisasi dan daya sayat, tetapi menurunkan

regangan.

16
9. Titanium (Ti), memiliki kekuatan yang sama seperti baja, mempertahankan

sifatnya hingga 400 C, karena itu merupakan kawat las.

2.3 Pengertian Baja Pegas Daun

Pegas daun ini terbentuk dari sejumlah pelat-pelat (berbentuk seperti daun). Daun-

daun ini biasanya mempunyai ciri dilengkungkan sehingga daun-daun itu akan

melayani untuk melentur menjadi lurus oleh karena kerja beban, seperti

ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Baja Pegas Daun (Daryono, 2010).

Daun-daun itu disatukan bersama oleh sabuk seperti gelang yang disusutkan

melingkarinya pada posisi tengah atau dengan baut yang menembusnya di tengah.

Daun yang lebih panjang dikenal sebagai daun utama (main leaf atau master leaf )

dengan ujung dibentuk menyerupai lubang mata yang mana dipasang dengan baut

untuk mengikat pegas pada tumpuannya. Biasanya pada mata tersebut, pegas

disematkan pada sengkang (shackle), yang juga diberikan bantalan yang terbuat

dari bahan anti gesekan seperti perunggu (bronze) atau karet (rubber). Daun pegas

yang lainnya dikenal sebagai graduated leaves. Agar mencegah terjadinya

17
gesekan atau desakan pada daun yang berbatasan, ujung-ujung dari graduated

leaves diatur dalam bermacam-macam bentuk seperti diperlihatkan oleh Gambar

1. Daun utama akan melawan beban-beban lentur vertikal dan juga beban-beban

yang disebabkan bagian samping kendaraan dan torsi, oleh karena adanya

tegangan disebabkan oleh beban-beban ini, sudah menjadi kebiasaan memberikan

dua daun dengan panjang penuh dan blok bantalan pada daun tersusun (graduated

leaves) seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Jepitan pantul (rebound clips)

diletakkan pada posisi pertengahan panjang pegas, sehingga susunan daun-daun

juga ikut andil menghantarkan tegangan pada daun panjang penuh (full length

leaves) ketika pegas memantul (Daryono, 2010).

Pegas ini biasanya dibuat dari plat baja yang memiliki ketebalan 3 – 6 mm.

Susunan pegas daun terdiri atas 3 – 10 lembar plat yang diikat menjadi satu

menggunakan baut atau klem pada bagian tengahnya. Pada ujung plat terpanjang

dibentuk mata pegas untuk pemasangannya. Sementara itu, bagian belakang dari

plat baja paling atas dihubungkan dengan kerangka menggunakan ayunan yang

dapat bergerak bebas saat panjang pegas berubah-ubah karena pengaruh

perubahan beban. Camber ialah untuk menentukan tinggi lengkungan daun pegas

yang sudah disusun pada saat tidak menerima beban. Pegas daun dipasang di atas

dan di bawah poros roda belakang. Dominan pegas daun dipasang tepat pada

pertengahan panjang pegas tersebut sehingga bagian depan dan belakang sama

panjang (Anonimous D, 2010).

Menurut penelitian yang dilakukan Pramuko Ilmu Purboputro (2009), pegas daun

mengandung 0,300% C sehingga berdasarkan unsur karbon diklasifikasikan

18
sebagai baja karbon sedang. Unsur penyusun utamanya selain besi (Fe) = 97,07%

juga didapatkan unsur silikon (Si) = 1,292% yang berpengaruh dalam

meningkatkan kekuatan, kekerasan, kemampuan diperkeras secara keseluruhan,

tahan aus, ketahanan terhadap panas dan karat, tetapi juga mampu menurunkan

tegangan, kemampuan tempa dan meningkatkan kemampuan las. Mangan (Mn) =

0,735 % berguna untuk meningkatkan kekerasan, kekuatan, dan mampu

diperkeras pada baja. Unsur tambahan dalam jumlah yang relatif kecil yaitu

wolfram (W) = 0,04%, molibden (Mo) = 0,031%, sulphur (S) = 0,013%, niobium

(Nb) = 0,01%, phosphor (P) = 0,004%, vanadium (V) = 0,000%, alumunium (Al)

= 0,000% dan titanium (Ti) = 0,000%.

2.4 Diagram TTT (Time Temperature Transformation)

Dalam diagram TTT ini menunjukkan batas-batas transformasi untuk temperatur

dalam waktu tertentu. Jadi, dari diagram ini dapat dilihat pada temperatur dan

waktu berapa suatu fase mulai dan berakhir terbentuk (Sumiyanto dkk, 2012).

Diagram ini spesifik untuk setiap baja dengan konsentrasi karbon tertentu. Seperti

Gambar 2 di bawah ini.

19
Gambar 2. Diagram TTT (Anonimous B, 2012).

Kurva sebelah kiri menunjukkan saat mulainya transformasi isothermal dan kurva

sebelah kanan menunjukkan saat selesainya transformasi isothermal. Diatas garis

A1, austenit dalam keadaan stabil (tidak terjadi transformasi walaupun waktu

penahannya bertambah). Di bawah temperatur kritis A1 pada daerah di sebelah

kiri kurva awal transformasi austenit tidak stabil (austenit akan bertransformasi)

dan disebelah kanan kurva akhir transformasi terdapat hasil transformasi

isothermal dari austenit, sedang pada daerah diantara dua kurva tersebut terdapat

sisa austenit (yang belum bertransformasi) dan hasil transformasi isotermalnya.

Titik paling kiri dari kurva awal transformasi disebut hidung (nose) diagram ini.

Transformasi austenit diatas nose akan menghasilkan perlit sedangkan di

bawah nose akan menghasilkan bainit. Tetapi bila transformasi berlangsung pada

temperatur yang lebih rendah lagi (dibawah garis Ms = Martensite start) akan

20
diperoleh martensit (Anonimous C, 2012).

2.5 Holding Time (Waktu Tahan)

Holding Time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu

bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk

memperoleh pemanasan yang homogen sehingga struktur austenitnya homogen

atau terjadi kelarutan karbida ke dalam austenit dan difusi karbon dan unsur

paduannya. Untuk baja jenis Low Alloy Tool Steel, memerlukan holding time yang

tepat, agar kekerasan yang diinginkan dapat tercapai. Dianjurkan menggunakan

0,5 menit per milimeter tebal benda, atau 10 sampai 30 menit. Holding Time

terlalu lama akan terjadi pertumbuhan butiran yang menyebabkan turunnya

kekerasan (Dalil dkk, 1999).

2.6 Diagram Fase Fe-Fe3C

Diagram Fase Fe-Fe3C merupakan sebuah diagram yang menampilkan hubungan

antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan

lambat dan pemanasan lambat dengan kandungan karbon (C). Diagram fasa besi

dan karbida besi Fe3C ini menjadi landasan untuk perlakuan panas terhadap

kebanyakan jenis baja yang kita kenal, seperti Gambar 3 di berikut ini.

21
Gambar 3. Diagram Kesetimbangan Fe-Fe3C (Anonimous D, 2012).

Beberapa istilah dalam diagram kesetimbangan Fe-Fe3C dan fasa-fasa yang

terdapat didalam diagram diatas akan dijelaskan dibawah ini. Berikut adalah

batas-batas temperatur kritis pada diagram Fe-Fe3C (Anonimous C, 2012):

1. A1 adalah temperatur reaksi eutektoid yaitu perubahan fasa γ menjadi α+Fe3C

(perlit) untuk baja hypoeutectoid.

2. A2 adalah titik Currie (pada temperatur 769 oC), dimana sifat magnetik besi

berubah dari feromagnetik menjadi paramagnetik.

3. A3 adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi α (ferit) yang ditandai

pula dengan naiknya batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya

temperatur.

22
4. Acm adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi Fe3C (sementit) yang

ditandai pula dengan penurunan batas kelarutan karbon seiring dengan

turunnya temperatur.

5. A123, adalah temperatur transformasi γ menjadi α+Fe3C (perlit) untuk baja

hypereutectoid.

2.7 Struktur Mikro Baja

Beberapa fasa yang sering ditemukan dalama baja karbon adalah (Yogantoro,

2010):

a. Austenit

Austenit adalah campuran besi dan karbon yang terbentuk pada pembekuan, pada

proses pendinginan selanjutnya austenit berubah menjadi ferit dan perlit atau

perlit dan sementit. Sifat austenit adalah lunak, lentur dengan keliatan tinggi.

Kelarutan maksimal kandungan karbon sebesar ± 2,06% pada suhu 1148 oC,

struktur kristalnya FCC (Face Center Cubic). Sifat ketangguhan tinggi dan tidak

stabil pada suhu ruang (Saefudin dkk, 2008).

b. Ferit

Fasa ini disebut alpha (α). Ruang antar atomnya kecil dan rapat sehingga akan

sedikit menampung atom karbon. Batas maksimum kelarutan karbon ± 0,025% C

pada temperatur 723 oC, struktur kristalnya BCC (Body Center Cubic). Pada suhu

ruang, kadar kelarutan karbonnya ± 0,008% sehingga dapat dianggap besi murni.

Ferit bersifat magnetik sampai suhu 768 oC. Sifat-sifat ferit adalah ketangguhan

rendah, keuletan tinggi, ketahanan korosi medium dan struktur paling lunak

diantara diagram Fe3C.

23
c. Perlit

Perlit ialah campuran eutectoid antara ferrite dengan cementite yang terbentuk

pada suhu 723 oC dengan kandungan karbon 0,83% (Aisyah, 2012). Fasa perlit

merupakan campuran mekanis yang terdiri dari dua fasa, yaitu ferit dengan kadar

karbon 0,025% dan sementit dalam bentuk lamellar (lapisan) dengan kadar

karbon 6,67% yang berselang-seling rapat terletak bersebelahan. Jadi, perlit

merupakan struktur mikro dari reaksi eutektoid lamellar.

d. Bainit

Bainit merupakan fasa yang terjadi akibat transformasi pendinginan yang sangat

cepat pada fasa austenit ke suhu antara 250 - 550 oC dan ditahan pada suhu

tersebut (isothermal). Bainit adalah strukur mikro dari reaksi eutektoid

(γ⇾α+Fe3C) non lamellar. Bainit merupakan struktur mikro campuran fasa ferit

dan sementit (Fe3C). Kekerasan bainit kurang lebih berkisar antara 300 - 400

HVN.

e. Martensit

Martensit merupakan fasa diantara ferit dan sementit bercampur, tetapi bukan

lamellar, melainkan jarum-jarum sementit. Fasa ini terbentuk austenit meta stabil

didinginkan dengan laju pendinginan cepat tertentu. Terjadinya hanya prepitasi

Fe3C unsur paduan lainnya tetapi larut transformasi isothermal pada 260 oC untuk

membentuk dispersi karbida yang halus dan matriks ferit.

f. Sementit (karbida besi)

Sementit merupakan paduan besi melebihi batas daya larut membentuk fasa

kedua. Karbida besi mempunyai komposisi kimia Fe3C. Dibandingkan dengan

ferit, sementit sangat keras. Karbida besi dalam ferit akan meningkatkan

24
kekerasan baja. Akan tetapi karbida besi murni tidak liat, karbida ini tidak dapat

menyesuaikan diri dengan adanya konsentrasi tegangan, oleh karena itu kurang

kuat.

2.8 Perlakuan Panas (Heat Treatment)

Perlakuan panas didefinisikan sebagai kombinasi operasional pemanasan dan

pendinginan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat dengan waktu

tertentu, yang dimaksud memperoleh sifat-sifat tertentu. Pengerasan permukaan

disebut juga case hardening (Lilipaly, 2011).

Proses perlakuan panas yang (heat treatment) yang dapat membentuk (merubah)

sifat dari baja yang mudah patah menjadi lebih kuat dan ulet atau juga dapat

merubah sifat baja dari yang lunak menjadi sangat keras dan sebagainya.

Pembentukan sifat-sifat inilah yang sangat diperlukan untuk memperoleh material

bahan industri yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya

(Purboputro, 2009).

Perlakuan panas (heat treatment) dapat digunakan untuk mengatur ukuran butir

dan meningkatkan sifat mekanik material. Yang tidak berubah pada proses

perlakuan panas ini ialah komposisi bahan. Conteh proses perlakuan panas adalah

full anealling, normalizing, dan tempering (Darmawan, 2007).

Melalui perlakuan panas yang tepat, tegangan dalam dapat dihilangkan, besar

butiran dapat diperbesar atau diperkecil, ketangguhan dapat ditingkatkan atau

dapat dihasilkan suatu permuakaan yang keras disekelilingi inti yang ulet (Dalil,

1999).

25
Perlakuan panas hampir dilakukan pada material yang akan dilakukan pengerjaan

lanjut, dengan kata lain perlakuan panas menyiapkan material setengah jadi untuk

dilakukan pengerjaan selanjutnya. Pada perlakuan panas akan terjadi distorsi atau

perubahan dimensi yang seharusnya tidak boleh terjadi terutama untuk komponen-

komponen permesinan yang mempunyai presisi atau toleransi yang tinggi seperti

dies dan roda gigi. Namun, karena tidak dapat dihindari harus diupayakan agar

distorsi yang terjadi sekecil mungkin. Distorsi dalam proses perlakuan panas baja

dapat timbul antara lain karena adanya perubahan volume yang tidak seragam

pada saat proses pencelupan benda kerja, dapat juga disebabkan karena adanya

gradien temperatur pada benda kerja yang menyimpan tegangan sisa (Hadi, 2010).

2.9 Hardening

Memanaskan suatu bahan hingga diatas suhu transformasi (723 oC) kemudian

didinginkan secara cepat, melalui media pendingin seperti air, oli atau media

pendingin lainnya. Tujuannya adalah untuk mengeraskan bahan. Pengertian

pengerasan ialah perlakuan panas terhadap baja dengan sasaran meningkatkan

kekerasan alami baja. Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses hardening

terhadap kekerasan baja yaitu oksidasi oksigen udara. Selain berpengaruh

terhadap besi, oksigen udara berpengaruh terhadap karbon yang terikat sebagai

sementit atau yang larut dalam austenit. Oleh karena itu, pada benda kerja dapat

berbentuk lapisan oksidasi selama proses hardening. Pencegahan kontak dengan

udara selama pemanasan atau hardening dapat dilakukan dengan jalan menambah

temperatur yang tinggi karena bahan yang terdapat dalam baja akan bertambah

26
kuat terhadap oksigen. Jadi semakin tinggi temperatur, semakin mudah untuk

melindungi besi terhadap oksidasi (Schonmetz, 1985).

Pada perlakuan panas ini, panas merambat dari luar ke dalam dengan kecepatan

tertentu. Bila pemanasan terlalu cepat, bagian luar akan jauh lebih panas dari

bagian dalam sehingga dapat diperoleh struktur yang merata. Melalui perlakuan

panas yang tepat, tegangan dalam dapat dihilangkan, besar butir diperbesar atau

diperkecil, ketangguhan ditingkatkan atau permukaan yang keras disekeliling inti

yang ulet (Haryadi, 2006).

2.10 Quenching

Quenching adalah sebuah upaya pendinginan secara cepat setelah baja

mengalami sebuah perlakuan pemanasan. Pada perlakuan quenching terjadi

percepatan pendinginan dari temperatur akhir perlakuan dan mengalami

perubahan dari austenite menjadi ferrite dan martensite untuk menghasilkan

kekuatan dan kekerasan yang tinggi. Banyak material dan cara yang dapat

digunakan dalam proses quenching pada baja. Media quenching meliputi: air, air

asin, oli, air-polymer dan beberapa kasus dengan inert gas (Mulyadi, 2010).

Quenching dilakukan dengan memanaskan baja sampai suhu austenit (struktur γ)

dan dipertahankan dalam jangka waktu tertentu pada suhu austenit tersebut, lalu

didinginkan cepat dalam media pendingin. Pada umumnya, baja yang telah

mengalami proses quenching memiliki kekerasan yang tinggi tetapi agak rapuh.

Sifat rapuh tersebut dapat dikurangi dengan melakukan proses tempering pada

baja yang telah mengalami proses quenching (Malau dkk, 2008).

27
2.11 Tempering

Proses tempering adalah pemanasan kembali hasil proses hardening pada

temperatur dibawah temperatur kritis (A1 / 723 oC), kemudian menahan beberapa

saat, selanjutnya didinginkan dengan lambat yang biasanya dilakukan dengan

udara. Akibat proses hardening pada baja, maka timbulnya tegangan dalam

(internal stresses), dan rapuh (britles), sehingga baja tersebut belum cocok untuk

segera digunakan. Oleh karena itu, baja tersebut perlu dilakukan proses lanjut

yaitu temper. Dengan proses temper, kegetasan dan kekerasan dapat diturunkan

sampai memenuhi syarat penggunaan, kekuatan tarik turun sedangkan keuletan

dan ketangguhan meningkat (Fariadhie, 2012). Tujuan dari tempering adalah

untuk mendapatkan baja yang lebih tangguh (tough) dan juga liat (ductile) tanpa

banyak mengurangi kekuatan (strength) (Darmawan dkk, 2007). Menurut

Mulyanti (1996) meneliti pengaruh perlakuan panas pada paduan baja mangan

austenit dimana kekerasan akan turun dan harga impak akan naik jika dilakukan

proses temper, disebutkan juga bahwa dengan naiknya temperatur austenisasi,

maka kekerasan akan turun dan harga impak akan naik.

Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lunak, proses ini berbeda dengan

proses anil karena disini sifat-sifat dapat dikendalikan dengan cermat. Temper

dimungkinkan oleh karena sifat struktur martensit yang tidak stabil (Djaprie,

1990).

Struktur logam yang tidak stabil, tidak berguna untuk tujuan penggunaan, karena

dapat mengakibatkan pecah. Dengan penemperan, tegangan dan kegetasan

diperlunak dan kekerasan sesuai dengan penggunaan (Haryadi, 2006).

28
Temper pada suhu rendah antara 150 oC – 230 oC tidak akan menghasilkan

penurunan yang berarti, karena pemanasan akan menghilangkan tegangan dalam

terlebih dahulu. Penemperan pada suhu hingga 200 oC ini disebut penuaan buatan.

Baja yang memperoleh perlakuan seperti ini memiliki ukuran yang tetap untuk

waktu lama pada suhu ruangan. Penemperan antara suhu 200 oC - 380 oC untuk

memperlunak kekerasan yang berlebihan dan meningkatkan keuletan, sedangkan

perubahan ukuran yang terjadi pada pengejutan diperkecil. Penemperan pada suhu

antara 550 oC - 650 oC untuk meningkatkan kekerasan dengan menguraikan

karbid. Penemperannya hanya pada baja perkakas paduan tinggi. Penemperan baja

bukan paduan berlangsung pada suhu penemperan yang berpedoman pada karbon

dan kekerasan yang dikehendaki (Schonmetz, 1985). Proses temper pada

pemanasan sampai suhu temperatur tertentu (temperatur kritis) dan didinginkan

dengan lambat. Pemanasan dilakukan sampai temperatur yang diperlukan,

biasanya antara 200 oC – 600 oC tergantung pada keperluan.

Menurut Susri Mizhar dan Suherman (2011), setelah proses temper pada

temperatur 600 oC nilai rata-rata kekerasan as bar menurun selama peningkatan

waktu penahanan pada kondisi temper.

2.12 Ketangguhan Baja

Ketangguhan adalah kemampuan bahan untuk berdeformasi secara plastis dan

menyerap energi sebelum dan sesudah putus (Asiri dkk, 2010). Menurut Anang

Setiawan dan Yusa Asra Yuli Wardana (2006), semakin rendah suhu pengujian

maka nilai ketangguhan dari sambungan las semakin rendah, dan semakin tinggi

suhu pengujian maka semakin besar nilai ketangguhan sambungan las.

29
Ketangguhan ini adalah suatu ukuran energi yang diperlukan untuk mematahkan

bahan. Energi yang merupakan hasil kali gaya dan jarak dinyatakan dalam joule.

Suatu bahan ulet dengan kekuatan yang sama dengan bahan rapuh (tidak ulet) akan

memerlukan energi perpatahan yang lebih besar dan mempunyai sifat tangguh yang

lebih baik. Cara standar Charpy atau Izod merupakan dua cara untuk menentukan

ketangguhan. Perbedaan terletak pada bentuk benda uji dan cara pemberian energi.

Karena ketangguhan tergantung pada geometri konsentrasi energi (Van Vlack, 1992).

2.13 Optical Emission Spectrometry (OES)

Atomic (atau Optical) Emission Spectrometry (AES, OES) adalah teknik penting

untuk analisis multi elemen dari berbagai macam bahan. OES melibatkan pengukuran

radiasi elektromagnetik yang dipancarkan dari atom. Baik data kualitatif dan

kuantitatif dapat diperoleh dari jenis analisis ini. Mesin OES, seperti Gambar 4

dikalibrasi terlebih dahulu dan masuk ke mode analisa Fe-base. Setelah dikalibrasi,

sampel yang telah dipersiapkan diletakkan di tempat yang telah disediakan untuk

selanjutnya ditembak sebanyak 3x. Selanjutnya data tercatat secara otomatis di dalam

komputer untuk dianalisa (Yunior, 2011).

Gambar 4. Mesin Optical Emission Spectrometry (OES).


30
BAB 3

BESI

3.1 Logam Besi (Fe)


Besi adalah logam yang berasal dari bijih besi (tambang) yang banyak
digunakan untuk kehidupan manusia sehari-hari. Dalam tabel periodik, besi
mempunyai simbol Fe dan nomor atom 26. Besi juga mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi. Besi telah ditemukan sejak zaman dahulu dan tidak diketahui siapa
penemu sebenarnya dari unsur ini.
Besi dan unsur keempat banyak dibumi dan merupakan logam yang terpenting
dalam industri. Besi murni bersifat agak lunak dan kenyal. Oleh karena itu, dalam
industri, besi selalu dipadukan dengan baja. Baja adalah berbagai macam paduan
logam yang dibuat dari besi tuang kedalamnya ditambahkan unsur-unsur lain seperti
Mn, Ni, V, atau W tergantung keperluannya. Besi tempa adalah besi yang hampir
murni dengan kandungan sekitar 0.2% karbon.

3.1.1 Keberadaannya di alam


Besi terdapat di alam dalam bentuk senyawa, misalnya pada mineral hematite
(Fe2O3), magnetit (Fe2O4), pirit (FeS2), siderite (FeCO3), dan limonit (2Fe2O3.3H2O).
Unsur besi sangat penting dalam hampir semua organisme yang hidup. Pada manusia
besi merupakan unsur penting dalam hemoglobin darah.

3.1.2 Kegunaan
Besi adalah logam yang paling banyak dan paling beragam penggunaannya.
Hal itu karena beberapa hal, diantaranya :
3.1.2.1 Kelimpahan besi di kulit bumi cukup besar
3.1.2.2 Pengolahannya relatif lebih mudah dan murah
3.1.2.3 Besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah
dimodifikasi

31
3.1.3 Sifat Fisik dan Kimia Besi (Fe)
Lambang : Fe
No. Atom 26
Golongan, periode : 8,4
Penampilan : Metalik Mengkilap keabu-abuan
Massa Atom : 55,854 (2) g/mol
Konfigurasi Elektron : [ Ar ] 3d64s2
Fase : Padat
Massa Jenis (Suhu Kamar) : 7,86 g/cm3
Titik Lebur : 1811 ºK (1538 ºC, 2800 ºF)
Titik Didih : 3134 ºK (2861 ºC, 5182 ºF)
Kapasitas Kalor : (25 ºC) 25,10 J/ (mol.K)

3.1.4 Tingkat Bahaya Besi


Adapun besi terlarut yang berasal dari pipa atau tangki-tangki besi adalah
akibat dari beberapa kondisi, di antaranya adalah :
1. Akibat pengaruh pH yang rendah (bersifat asam), dapat melarutkan logam besi.
2. Pengaruh akibat adanya CO2 agresif yang menyebabkan larutnya logam besi.
3. Pengaruh tingginya temperature air akan melarutkan besi-besi dalam air.
4. Kuatnya daya hantar listrik akan melarutkan besi.
5. Adanya bakteri besi dalam air akan memakan besi.
Apabila konsentrasi besi terlarut dalam air melebihi batas tersebut akan
menyebabkan berbagai masalah, diantaranya :
1. Gangguan teknis
Endapan Fe (OH) bersifat korosif terhadap pipa dan akan mengendap pada
saluran pipa, sehingga mengakibatkan pembuntuan dan efek-efek yang dapat
merugikan seperti mengotori bak yang terbuat dari seng. Mengotori wastafel dan
kloset.

32
2. Gangguan Fisik
Gangguan fisik yang ditimbulkan oleh adanya besi terlarut dalam air adalah
timbulnya warna, bau dan rasa. Air akan terasa tidak enak bila konsentrasi besi
terlarutnya >1,0 mg/l.
3. Gangguan kesehatan
Senyawa besi dalam jumlah kecil didalam tubuh manusia berfungsi sebagai
pembentuk sel-sel darah merah, dimana tubuh memerlukan 7-35 mg/hari yang
sebagian diperoleh dari air, tetapi zat Fe yang melebihi dosis yang diperlukan oleh
tubuh dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan tubuh manusia
tidak dapat mengsekresi Fe, sehingga bagi mereka yang sering mendapat transfusi
darah warna kulitnya menjadi hitam karena akumulasi Fe. Air minum yang
mengandung besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Selain
itu dalam dosis besar dapat merusak dinding usus. Kematian sering kali
disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Kadar Fe yang lebih dari 1 mg/l akan
menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam
air melebihi 10 mg/l akan menyebabkan air berbau seperti telur busuk.
Pada hemokromatesis primer besi yang diserap dan disimpan dalam jumlah
yang berlebihan di dalam tubuh. Feritin berada dalam keadaan jenuh akan besi
sehingga kelebihan mineral ini akan disimpan dalam bentuk kompleks dengan
mineral lain yaitu hemosiderin. Akibatnya terjadilah sirosi hati dan kerusakan
pankreas sehingga menimbulkan diabetes. Hemokromatis sekunder terjadi karena
transfusi yang berulang-ulang. Dalam keadaan ini besi masuk kedalam tubuh
sebagai hemoglobin dari darah yang ditransfusikan dan kelebihan besi ini tidak
disekresikan.
33

3.2 Jenis - jenis Besi :


3.2.1 Besi Kasar
Merupakan hasil pokok dari dapur tinggi yang berasal dari reaksi reduksi atas bijih besi
dengan komposisi sebagai berikut :
- Karbon (C) = 3,85% (rata-rata)
- Mangan (Mn) = 0,9% (rata-rata)
- Phospor (P) = 0,9% (rata-rata)
- Belerang (S) = 0,025% (rata-rata)
- Silikon (Si) = 0,12% (rata-rata)
Sifat utama dari besi kasar adalah rapuh (getas). Sehingga hal ini perlu dilakukan
pengolahan lebih lanjut dengan menggunakan dapur-dapur baja dan kupola.
Pig iron dapat dibedakan dalam dua macam, yakni :

a. Besi kasar putih : Berwarna putih (mengandung 2,3 ~ 3,5% C), bersifat getas dan keras,
kandungan Mangan (Mn) masih cukup tinggi serta sulit ditempa.

b. Besi kasar kelabu : Berwarna kelabu (mengandung lebih dari 3,5% C), kandungan Si
masih cukup tinggi, kekuatan tarik lebih rendah dari besi kasar putih, mudah dituang
meskipun masih cukup getas. Besi kasar kelabu digolongkan menjadi : besi kasar kelabu
muda yang mengandung 0,5 ~ 1% Si dengan butir-butir halus serta banyak dipakai sebagai
bahan pembuat silinder mesin dan jenis yang kedua yakni besi kasar kelabu tua yang
mengandung hingga 3% Si dengan butir-butir kasar serta tahan getaran.    

  3.2.2 Besi Beton


Besi beton diproduksi secara umum terdiri dari 3 jenis: besi beton permukaan polos
(round bar), besi beton ulir (deformed bar) dan besi beton kanal u (shape). Bahan baku besi
beton adalah billet, yang merupakan balok baja berukuran 100 x 100 mm, 110 x 110 mm,
120 x 120mm dengan panjang masing-masing sekitar 170 mm. Bahan baku dari billet
sendiri adalah besi-besi tua, skrap, serta bahan penolong seperti kokas, grafit, lime, ferro
alloys yang dilebur dengan berbagai metode. Bahan penolong tadi digunakan untuk
mendapatkan unsur carbon (C), Si (silicon), Mn (Mangan) yang akan sangat berpengaruh
pada qualitas besi beton.
Mutu besi beton yang baik adalah yang memiliki kekuatan tarik (standard yield strength /
Ys) minimal 24 kg / mm2.
34
Kadar carbon berpengaruh besar kepada sifat mekanik dari besi beton. Kadar
carbon yang terlalu besar akan membuat besi beton menjadi lebih getas dan akan
meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik tetapi keuletannya cenderung menurun. Kadar
unsur silikon berpengaruh terhadap struktur mikro besi beton. Kadar silikon yang rendah
mengakibatkan besi menjadi kropos. Kadar unsur mangan berpengaruh besar pada keuletan
besi beton. Unsur mangan yang terlalu banyak dapat meningkatkan keuletan tetapi
mengurangi kekerasan.

 Proses pembuatan  Besi :

35
Daftar Pustaka

Asroni, A., 2014. Teori Dan Desain Balok Plat Beton Bertulang Berdasarkan Sni
2847-2013, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.

C.A Roger, G. H., 1997. Bolted Connection Test Of Thin G550 And G300 Sheet
Steels, Departement Of Civil Engineering Sydney, Australia.

Institution, B. S., 2000. Structural Use Of Concrete Part 1, BSI Standard. Institution,

B. S., 2000. Struktural New Of Steelwork In Building Part 1, BSI


Standard.

Istimawan, D., 1996. Strktur Beton Bertulang, Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Mccormac, J., 2004. Desain Beton Bertulang, Penerbit Erlangga, Jakarta. Mindess,

Sidney, Dan Young, J. Francis., 1981. Concrete, Prentice-Hall, Inc.,


Englewood Cliffs, New Jersey.

Setiyono, H., 2006. Investigasi Analitis Dan Experimental Kekuatan Profil Baja
Ringan Terhadap Interaksi Local dan Global Buckling, Indonesian Journal
Of Materials Science Edisi Oktober, Jakarta.

Tjokrodimuljo., 1992. Bahan Bangunan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Tjokrodimuljo., 1996. Teknologi Beton, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai