menatap mengalirkan kerinduan rasa kasih belaian embun yang berbulan bulan menyelimuti kehadiran pagi. Di kejauhan, dalam pemandangan yang membuat suatu kata terjatuh mengalir dari sucinya batu. Berair antara tepian bambu hijau pucat, yang bangun tertatih-tatih dari lutut untuk mendaki kegelisahan demi melihat mereka telah menunjukkan jalan kebahagiaan, Aku semakin asing dari potretnya yang sejenak takakan berfikir lagi membahagiakannya, dia mungkin sudah sampai pada tempat yang ia impikan tempat yang ia puja untuk rehat sejenak mengaggumi antara satu sama lain. Katakanlah dia udara tidak berangin dan hangat, dengan sedikit bau terbakar. Lautan rasa menyayat, yang garamnya tenggelam dalam larutan kecemasan “tak pantaskah aku mendekapmu?, berbincang hangat kembali sembari menunggu pergantian antara malam dan pagi”, lebih muram ketimbang kebiruan dengan ombak-ombak yang terlalu melempem untuk pecah jadi buih rasa manis perbincangan. Pada hari seperti itulah di awal 21 tahun aku mendapati diriku, dengan semua indera terbuka lebar, berada di salah satu jalan yang berisikan kegaduhan karena rasanya telah ia paksa lupa di pergantian musim, mengamati segalanya sekaligus, tadarus suci, kitab suci bertempat diatas pusar, aku mendapati potretnya yang tertulis bermakna biru ambigu, semua berkelakar, menangis mendapatinya. Di sana-sini mempertahankan kenangan yang lama lama memudar. Aku suka Fialta; aku suka, karena aku merasakan dalam rongga suku-suku kata warna violet itu kelembaban manis dan gelapnya bunga-bunga kecil paling kusut, dan karena nama kealto-altoan. Jadi aku bahagia di sani lagi, bahagia berjalan susah-payah mendaki bukit ke arah berlawanan dengan kehangatan meski hanya dilapisi sajadah tipis di atas sarungku Seorang teman hadir sambil membawa muka kusut entah mengapa, bergumam tanpa arah, berbincang hangat sembari mengetikan perasaan yang tak tau kapan menghilang. Indah merekah kehangatan senyum tawanya yang sebenarnya bukan untukku. Aku membuka perbincangan dengan mengatakan “Apa itu keromantisan sebuah cinta?” dia mengerutkan jidat, merengek untuk segera mendapatkan jawaban. Saya kembali bercerita memaparkan jawaban atas pertanyaanku sendiri, “jadi gini, menurutku cinta romantis itu akan selalu dianggap memiliki status metafisik dan etis dan akan selalu lebih tinggi daripada daya tarik seksual atau fisik saja. Bulshit mereka yang selalu memamerkan cinta dengan selalu memamerkan keinginan akan kecantikan, kekayaan dari pasangan, mereka hanya menilai kekhasan tubuh fisik dari pasangan. Bagiku cinta romantis yaitu cinta yang terlihat indah setelah melalui pendakian memuncak dalam cinta filsafat. Yang seharusnya memamerkan dari cinta romantis ialah para ksatria bukan yang mengaku ngaku ksatria tapi perwujudan romansa damsels. Cinta romantis secara teoritis tidak untuk disempurnakan, karena cinta semacam itu secara transendental dimotivasi oleh rasa hormat yang dalam kepada wanita itu; Namun, itu harus dikejar secara aktif dalam tindakan kesatria daripada hanya direnungkan yang semakin lama akan membuatmu lelah dan penat. Cinta romantis modern seharusnya kembali mengenal tentang cinta istimewa yang ditemukan dua orang dalam kebajikan satu sama lain - satu jiwa dari dua tubuh. Jam telah menunjukan pukul 11 malam, kita telah berbincang cukup lama sudah seharusnya tulisan ini aku mulai akhiri tanpa adanya kesimpulan, terlalu payah aku berfikir atas tindakan atas nama cinta, dengan rasa yang telah memuncak dikeabadian rasa yang jenuh, kuharap diriku sendiri bisa lari dari dalamnya kehangatan perbincangan lalu, rasa maluku telah merengguk kebahagian yang akau bangun dengan penuh kerinduan akan masa depan yang begitu dalam.
"Aku tahu, mulai mencintai seseorang itu pekerjaan yang cukup
baik. Aku seharusnya memiliki energi untuk memulai keberanian, kemurahan hati, kebutaan. Bahkan ada saat, tujuan akhir dari semua intrik cinta, apakah itu lucu atau tragis: jika kita hanya memikirkannya, kita tidak akan melakukannya, yang ada hanyalah keletihan menunggu keberanian siapa yang mendahului atau didahului keberanian orang lain." – wawan susanto (2021/28/4)
Dari sini aku mulai merefleksikan keidakbecusanku lalu mempertanyakan lagi dari persoalan Apakah aku akan lebih baik tanpanya?.