Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kalila Aisyah Saharani

Nim : 042547521
Program Studi : Administrasi Bisnis

TUGAS 3
ISIP 4211 (LOGIKA)

Soal :
Pada Tugas 3 ini merupakan evaluasi tentang Penalaran Oposisi dan Silogisme
Beraturan. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penalaran oposisi dan bentuk


penalaran oposisi sebagai penyimpulan langsung?
2. Lalu, berikan dua contoh setiap bentuk peralaran oposisi?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan silogisme beraturan dan bentuk
silogisme beraturan sebagai penyimpulan tidak langsung?
4. Lalu, berikan dua contoh setiap bentuk silogisme beraturan?

Jawaban :

1. Penalaran oposisi adalah Penalaran dalam logika pertentangan dua pernyataan


dengan term yang sama, yang didefinisikan pertentangan antara dua pernyataan
atas dasar pengolahan term yang sama. Pertentangan di sini diartikan juga dengan
hubungak logik, yaitu hubungan yang di dalamnya terkandung adanya suatu
penilaian benar atau salah terhadap dua pernyataan yang diperbandingkan. Adapun
dua pernyataan yang diperbandingkan itu keduanya berbentuk pernyataan yang
terdiri dua term sebagai subjek dan predikat yang menghasilkan penyimpulan
langsung.
2. Contoh:

Pertama

a) Benarkah pengertian identitas sebagai bangsa Indonesia pada generasi muda


berbeda dengan generasi tua? Benar
b) Identitas bangsa yang dirasakan oleh generasi muda dan generasi tua
mengalami perbedaan (distinction) dalam praktiknya. Globalisasi telah
memberikan ruang “antara”, sehingga konstruksi identitas “antara” tumbuh di
kalangan generasi muda, bukan penipisan rasa identitas sebagai bangsa.

Kedua

c) Dalam studi budaya dan studi poskolonial, poskolonialisme merupakan upaya


rekonstruksi diri, yang menjelaskan bahwa “identitas bangsa Indonesia”
dikonstruksi di dalam konteks antar-budaya. (Benar)
d) Generasi muda atau generasi tua yang progresif-kritis lebih lekat dan sadar atas
identitas “antara” dalam memaknai identitas bangsa. Identitas bangsa sebagai
hasil interaksi antar-budaya. Dengan demikian, pluralitas adalah keniscayaan
realitas sosial-budaya Indonesia, bukan keseragaman.
3. "silogisme beraturan" adalah sebuah bentuk dari penyimpulan yang dimana
kemudian akan didasari berdasrkan sebuah perbandingan terhadap dua macam
proposisi yang dimana kemudian di dalamnya terdapat sebuah bentuk pembanding
yang dimana akan dapat menciptakan sebuah bentuk proposisi lainnya sebagai
sebuah kesimpulanh dan terdiri dari dua proposisi yang berupa premis mayor dan
premis minor, dan sebuah konklusi.

bentuk silogisme beraturan sebagai penyimpulan tidak langsung adalah sebuah


bentuk dari kumpulan dari berbagai macam bentuk silogisme, yaitu adalah silogisme
kategorik yang idmanakemudian secara proporsisinya tidak akan dapat dinyatakan
maupun akan berhubungan dengan berbagai macam bentuk hal atau dengan
sebuah bentuk dari silogisme itu sendiri yang dimana kemudian terdiri atas beberapa
macam silogisme yang dimana akan saling berkaitan. Pada silogisme tidak beraturan
semua akan dilakukan pengembalian kepada bentuk dari silogisme yang beraturan
dan juga yang akan berkaitan dengan hal yang dimana akan dapat diuraikan secara
bertahap.
4. Contoh:
a.   Pertama
 Relasi antara habitus, kapital budaya, dan ranah menghasilkan praktik dengan
strategi, sesuai dengan formula {(habitus) (capital)} + field = practice (Bourdieu,
1984: 101)
 Gus Dur bersama The Wahid Institute mereproduksi misi plural and peaceful
Islam.yang dipraktikkan melalui habitus dengan kapital budaya di dalam ranah (field)
pendidikan kritis-emansipatoris
 Konsepsi habitus Bourdieu itu menjelaskan Gus Dur sebagai cendikiawan,
budayawan, dan politikus memiliki skemata sebagai wujud dari habitus yang
mempunyai kapital budaya, ekonomi dan politik
b.    Kedua
 Identitas bangsa yang dirasakan oleh generasi muda dan generasi tua
mengalami perbedaan (distinction) dalam praktiknya. Globalisasi telah
memberikan ruang “antara”, sehingga konstruksi identitas “antara” tumbuh
di kalangan generasi muda, bukan penipisan rasa identitas sebagai bangsa.
Generasi muda atau generasi tua yang progresif-kritis lebih lekat dan sadar
atas identitas “antara” dalam memaknai identitas bangsa. Identitas bangsa
sebagai hasil interaksi antar-budaya. Dengan demikian, pluralitas adalah
keniscayaan realitas sosial-budaya Indonesia, bukan keseragaman.

Anda mungkin juga menyukai