Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 13

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

“Teori-Teori Sosiologi dan Implikasinya Terhadap Pendidikan IPS”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Firman, M.S., Kons.

Disusun Oleh
NAMA : Zakiyatul Hadi
NIM : 19006235

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
PETA KONSEP

“Teori-Teori Sosiologi dan Implikasinya


Terhadap Pendidikan IPS”

Konsep Dan Proposisi Teori


Teori Struktural Fungsional
Evolusi Dan Difusi
Teori fungsional struktural
Teori Evolusi
sampai sekarang masih
Evolusi didefinisikan sebagai suatu
mempengaruhi dunia
perubahan atau perkembangan,
pendidikan meskipun disana
seperti perubahan dari bentuk
sini mendapat kritik. Teori ini,
sederhana menjadi kompleks.
masih dinggap up date–tentu
Teori Difusi
saja terdapat modifikasi dari
Difusi merupakan proses
para penganutnya, sosiolog–
penyebaran unsur-unsur baru dari
untuk menjadi pisau analisis
suatu tempat ke tempat lain,
dalam mengkaji pendidikan
penyebaran ini biasa disebut
dalam perspektif sosiologi
dengan migrasi oleh manusia.

Implikasinya Pendidikan IPS


Teori Konflik (Marxis, Cosser, Dahrenrof)
Teori konflik menurut Karl Marx Sekolah mengubah orientasi kekhususan
Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis ke universalita salah satunya yaitu mainset
mendorong terbentuknya gerakan sosial besar yang disebut selain mewarisi budaya yang ada juga
revolusi membuka wawasan baru terhadapdunia
Teori konflik menurut Coser luar. Selain itu juga mengubah alokasi
Teori konflik menurut Coser dibagi menjadi dua, yang pertama seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan
konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari dengan usaha seperti hubungan darah,
kekecewaan terhadap adanya tuntutan-tuntutan khusus yang kerabat dekat, dll) ke peran dewasa yang
terjadi dalam hubungan yang ditujukan kepada obyek yang diberikan penghargaan berdasarkan
dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik non realistis berasal prestasiyang sesungguhnya. Sekolah
dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan yang paling tidak dari sebagai seleksi dan alokasi dimana sekolah
salah satu pihak. memberikan motivasi- motivasi prestasi
Teori konflik menurut Dahrendorf \ agar dapatsiap dalam dunia pekerjaan dan
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah dapat dialokasikan bagi mereka yang
perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan unggul. Sekolah memberikan kesamaan
untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan kesempatan. Suatu sekolah yang baik
struktur-struktur sosial, bentukbentuk kongkret dari perilaku pastinya memberikan kesamaan hak dan
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, kewajiban tanpa memandang siapa dan
interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, bagaimana asal usul peserta didiknya.
pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
“Teori-Teori Sosiologi dan Implikasinya Terhadap Pendidikan IPS”

A. Konsep Dan Proposisi Teori Evolusi Dan Difusi


1. Teori Evolusi
Evolusi didefinisikan sebagai suatu perubahan atau perkembangan, seperti
perubahan dari bentuk sederhana menjadi kompleks. Perubahan itu bersifat
lambat, paradigma yang berkaitan dengan konsep evolusi adalah evolusionalisme
yang berarti cara pandang yang menekankan evolusi menjadi lebih baik atau lebih
maju dari konstruk yang sederhana ke yang lebih kompleks.
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisis oleh
seorang peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga
dipandang seolah-olah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-
perubahan yang tampak besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya
yang dianalisis secara detail disebut “proses-proses berulang” di dalam ilmu
antropologi.
Proses itu bercirikan empat hal yaitu struggle for life, survival of the fittest,
natural selection dan progress. Aguste Comte (1798-1857) mengambil ciri khas
manusia yaitu akal budinya sebagai prinsip evolusi. Akal budi manusia dikekang
oleh suatu hukum atau daya gerak evolusioner dari dalam diri yang secara
bertahap menyebabkan umat manusia mula-mula berpikir kongkret dan partikular,
lantas berpikir abstrak dan umum dan akhirnya positif dan empiris.
2. Teori Difusi
Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur baru dari suatu tempat ke
tempat lain, penyebaran ini biasa disebut dengan migrasi oleh manusia.
Penyebaran unsur-unsur baru ini akan menyebar dan menularkan unsur-unsur
tersebut kepada daerah yang didatanginya.
Difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke
tempat lain. Penyebaran tersebut menimbulkan peleburan. Peleburan yang terjadi
saat suatu kebudayaan beradaptasi dengan kebudayaan lain sehingga akan
mengalami penyebarluasan atau bahkan memunculkan kebudayaan baru.
B. Teori Struktural Fungsional
Robert Nisbet pernah berpendapat bahwa fungsionalisme struktural “tak
diragukan lagi, adalah satu-satunya teori paling signifikan dalam ilmu sosial pada
abad ini” (dikutip dalam Turner dan Marsyanski, 1979: xi). Teori fungsional
disebut juga teori integrasi atau teori konsensus. Tujuan utama pemuatan teori ini
tidak lain agar pembaca lebih jelas dalam memahami masyarakat secara integral.
Teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan
pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem
yang terlembagakan dan saling berkaitan.
Teori fungsional struktural sampai sekarang masih mempengaruhi dunia
pendidikan meskipun disana sini mendapat kritik. Teori ini, masih dinggap up
date–tentu saja terdapat modifikasi dari para penganutnya, sosiolog–untuk
menjadi pisau analisis dalam mengkaji pendidikan dalam perspektif sosiologi.
C. Teori Konflik (Marxis, Cosser, Dahrenrof)
1. Teori konflik menurut Karl Marx
Karl Marx menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad
ke-19 di Eropa terdiri dari kelas pemilik modal (kaum borjuis) dan
kelas pekerja miskin (kaum proletar). Kedua kelas tersebut tentunya
berada dalam struktur sosial hierarki yang jelas sekali perbedaannya.
Dengan jahatnya kaum borjuis kepada kaum proletar maka kaum
borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum borjuis
melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses
produksi.

Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum


borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar yang disebut
revolusi, hal ini bisa terjadi karena adanya kesadaran dari kaum
proletar yang dieksploitasi kepada kaum borjuis, dari kesadaran
tersebut menjadikan persaingan yang merebutkan kekuasaan,
sehingga lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian
mampu membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju
dalam masyarakat.

2. Teori konflik menurut Coser


Teori konflik menurut Coser dibagi menjadi dua, yang pertama konflik
realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan
terhadap adanya tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan yang
ditujukan kepada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya seperti para
karyawan perusahaan yang melakukan mogok kerja supaya gaji mereka dapat
dinaikkan oleh atasannya.
Sedangkan konflik non realistis berasal dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan yang paling tidak dari salah satu pihak. Contohnya pada masyarakat
yang buta huruf yang dalam membalaskan dendamnya dengan pergi ke dukun
santet supaya dendam-dendamnya terbayarkan, sedangkan pada masyarakat maju
yang melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan untuk
melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
3. Teori konflik menurut Dahrendorf
Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi
dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang
berada pada posisi marginal atau subordinat berusaha mengadakan
perubahan. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik
dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Misalnya generasi tua dan muda dan seterusnya. Konflik dengan
kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi
suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
Misalnya, perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah
telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel
D. Teori Interaksional Simbolik
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif
yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan
sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentukbentuk
kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan,
interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-
pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang
berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang dan sosialisasinya
dalam komunitas (community) yang lebih besar yaitu:
1. Meaning (Makna)
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang
terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia
pahami tentang obyek atau orang tersebut.
2. Languange (Bahasa)
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna
tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini
kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
3. Thought (Pemikiran)
Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik menjelaskan proses
berpikir sebagai inner conversation, Secara sederhana proses menjelaskan
bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika
berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi
tersebut. Seseorang memerlukan bahasa untuk berpikir dan berinteraksi
secara simbolik. Bahasa merupakan software untuk menjalankan mind.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi
dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu
untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota
komunitas.
E. Implikasinya Pendidikan IPS
Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi
yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun
tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang
memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum
tetntu mereka yang berpendidikan tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi
latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang
menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan
melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.

Sekolah mengubah orientasi kekhususan ke universalita salah satunya yaitu


mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru
terhadapdunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang
diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat, dll) ke
peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasiyang
sesungguhnya. Sekolah sebagai seleksi dan alokasi dimana sekolah memberikan
motivasi- motivasi prestasi agar dapatsiap dalam dunia pekerjaan dan dapat
dialokasikan bagi mereka yang unggul. Sekolah memberikan kesamaan
kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak dan
kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya.

Perubahan pola pikir manusia akibat dari perubahan yang terjadi baik dari
dalam maupun dari luar diri manusia tersebut,disini pendidikan juga berperan
penting dalam mengubah pola pikir seseorang dari ia tidak tau menjadi tau
sehingga akal dan budinya pun akan berubah dan menjadi manusia yang lebih
baik. Berguna untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
KEPUSTAKAAN

Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society, (London:
Routledge; First Pub. 1957).

Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Marzali, A. 2006. Struktural-Fungsionalisme. Antropologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai