Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH DISKUSI KELAINAN KONGENITAL MAYOR

“ANUS IMPERFORATA”

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Neonatus

Dosen Pembimbing : Dian Kusumaningtyas.,SST., M.Keb

Disusun oleh :

Ajeng Khamara Maulidya 185070607111004

Nadhifah Aulia Nisa 185070607111005

Dinar Kusumaningrum 185070607111006

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana
telah senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Semoga hasil diskusi kami
dapat berguna bagi penulis pada khususnya, pembaca, dan berbagai pihak
yang terlibat dalam penyusunan laporan ini secara umum.

Makalah Diskusi Kelainan Kongenital Mayor “Anus Imperforata” ini dapat


terwujud dengan bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang kami hormati Ibu Dian
Kusumaningtyas.,SST.,M.Keb selaku dosen pembimbing dan teman-teman
yang sudah ikut membantu dalam pembuatan laporan ini.

Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan


bagi masyarakat luas sebagai pembaca. Kami pun menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Atas perhatiannya,
kami ucapkan terima kasih.

Malang, 20 November
2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 5
1.3 Tujuan .................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi ................................................................................................. 7
2.2 Klasifikasi ............................................................................................. 7
2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi ........................................................... 9
2.4 Patofisiologi ......................................................................................... 12
2.5 Manifestasi Klinik ................................................................................. 13
2.6 Kelainan Penyerta................................................................................ 13
2.6 Penetapan Diagnosa ........................................................................... 15
2.7 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 17
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................. 18
2.9 Komplikasi ........................................................................................... 20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 21
3.2 Saran ................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anus Imperforata atau Atresia ani paling sering terjadi pada bayi
yang baru lahir. Frekuensi seluruh kelainan kongenital anorektal
didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan atresia ani
didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan
dapat muncul sebagai penyakit tersering.

Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi


pada anak. Atresia ani (anus Imperforata) merupakan suatu keadaan
lubang anus tidak berlubang (Rizema, Setiatava P, 2012). Jumlah pasien
dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan dari
pada pasien perempuan.

Insiden terjadinya anus imperforata berkisar dari 1500-5000


kelahiran hidup dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -
75 % bayi yang menderita atresia ani juga menderita anomali lain.
Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus
imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan
vestibulum vagina pada perempuan.

Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari


data yang didapatkan, kasus anus imperforata yang terjadi di Jawa
Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50 % dari tahun 2007-2009
(Yusriani, 2017).

Atresia Ani merupakan suatu kelainan malformasi dimana tidak


lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya
anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara
tetap pada daerah anus. Malformasi anorektal menyebabkan
abnormalitas jalan buang air besar. Masalah ini akan bervariasi
bergantung tipe malformasinya. Ketika lubang anal sempit, bayi kesulitan

4
BAB menyebabkan konstipasi dan ketidaknyamanan, Jika terdapat
membran pada akhiran jalan keluar anal, bayi tidak bisa BAB, ketika
rectum tidak berhubungan dengan anus tetapi terdapat fistula, feses
akan keluar melalui fistula tersebut sebagai pengganti anus, hal ini dapat
menyebabkan infeksi (Wicaksono, 2015)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari anus imperforata ?


2. Bagaimana klasifikasi dari anus imperforata ?
3. Apa etiologi dan faktor predisposisi anus imperforata ?
4. Bagaimana patofisiologi dari kelainan anus imperforata ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari kelainan anus imperforata ?
6. Bagaimana kelainan penyerta pada kelainan anus imperforate?
7. Bagaimana penetapan diagnosis anus imperforata ?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari anus imperforata ?
9. Bagaimana penatalaksanaan dalam kasus anus imperforata ?
10. Apakah komplikasi yang dapat terjadi dari anus imperforata ?

1.3 Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi dari anus


imperforate
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami klasifikasi dari anus
imperforata
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami etiologi dan faktor
predisposisi anus imperforata
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami patofisiologi dari
kelainan anus imperforata
5. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami manifestasi klinis
dari kelainan anus imperforata
6. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penetapan
diagnosis anus imperforata

5
7. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan
penunjang dari anus imperforata
8. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan
dalam kasus anus imperforata
9. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami komplikasi yang
dapat terjadi dari anus imperforata

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Atresia Ani merupakan salah satu kelainan bawaan, dimana anus
tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur jari tidak dapat
masuk lebih dari 1-2 cm. Insidens: 1: 3.000-5.000 kelahiran hidup.
Sinonim Atresiaa Ani = Imperforated Anal = Malformasi Anorektal =
Anorektal Anomali.
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membrane yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau
sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rectum (Purwanto, 2011). Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (congenital), tidak adanya lubang atau
saluran anus (Donna L. Wong, 2013).
Malformasi anorektal (MAR) merupakan malformasi septum
urorektal secara parsial atau komplet akibat perkembangan abnormal
hindgut, allantois dan duktus Mulleri. Malformasi anorektal merupakan
spektrum penyakit yang luas melibatkan anus dan rektum serta traktus
urinarius dan genitalia (Levitt, 2010).
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi internasional yang paling umum untuk malformasi
anorektal adalah klasifikasi Wingspread pada tahun 1984. Menurut
klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani di kelompokkan menurut jenis
kelamin, yaitu:

7
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dikelompokkan dalam
4 golongan, yaitu:
1) Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga
fesest idak dapat keluar

2) Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus

3) Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara


rectum dengan anus

4) Rektal atresia adalah tidak memiliki rectum

(Anggraeni, 2018).

Tipe Atresia Ani berdasarkan letak menurut Stephens dan Smith (1984)
yaitu:

8
1) High/tinggi (Supra levator)
Pada anomaly tinggi, ujung rectum di atas otot puborektalis dan
sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan
fistula genitourinarius-retrouretral (pria) atau retrovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntuk rectum sampai kulit
perineum lebih dari 1cm.
2) Intermediate/sedang (sebagian translevator)
Pada anomaly intermediet, rectum berada pada atau di bawah tingkat
otot puborektalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada
posisi yang normal.
3) Low/rendah (fully translevator)
Pada anomaly rendah, rectum mempunyai jalur desenden yang
normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan
eksternal yang berkembang biak dengan fungsi normal dan tidak
terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.

2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi

9
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada
beberapa penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic
maupun faktor lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun,
lingkungan yang kumuh dan pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.
a) Faktor Teratogenik
Teragogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa
menyebabkan atau meningkatkan resiko suatu kelaian bawaan.
Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen. Secara
umum seorang wanita hamil sebaiknya mengonsultasikan kepada
dokternya setiap obat yang dia minum, berhenti merokok, tidak
mengonsumsi alkohol, serta tidak menjalani pemeriksaan rontgen
kecuali jika sangat mendesak.
b) Faktor Gizi
Menjaga kesehatan janin tidak hanyadilakukan dengan
menghindari teratogen, tetapi juga mengkonsumsi gizi yang baik.
Salah satu zat yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam
folat. Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya
spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya. Karena spina bifida
bisa terjadi sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia hamil,
maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat
minimal sebanyak 400 mg/ hari.
c) Faktor Fisik pada Rahim
Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga
merupakan pelindung terhadap cedera. Jumlah cairan ketuban yang
abnormal bisa menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan
bawaan. Cairan ketuban yang terlalu sedikit bisa mempengaruhi
pertumbuhan paru-paru dan anggota gerak aau bisa menunjukkan
adanya kelainan ginjal yang memperlambat proses pembentukan air
kemih. Penimbunan cairan ketuban terjadi jika janin mengalami
gangguan menelan, yang bisa disebabkan oleh kelainan otak yang
berat (misalnya anensefalus atau atresia esofagus).
d) Faktor Genetik

10
Genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan
bawaan. Beberapa kelainan merupakan penyakit keturunan yang
diwariskan melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua
orang tua. Gen adalah pembawaan sifat individu yang terdapat di
dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen
hilang atau cacat, bisa terjadi kelainan bawaan. Semakin tua usia
seorang wanita ketika hamil (terutama diatas 35 tahun) maka
semakin besar kemungkinan terjadinya kelainan kromosom pada
janin yang dikandungannya (Nur, 2011).
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1) Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur
2) Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna
karena gangguan pertumbuhan fusi atau pembentukan anur dari
tonjolan embrionik
3) Gangguan organogenesis dalam kandungan di mana terjadi
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan
4) Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang
tua menjadi karier, maka 25-30% menjadi peluang untuk terjadinya
atresia ani, adanya kelainan sindrom genetik, kromosom yang tidak
normal dan kelainan congenital lainnya juga dapat berisiko mederita
atresia ani
5) Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sunus
urogenital. Biasanya karena gangguan perkembangan septum
urogenital pada minggu ke-5 sampai ke-7 pada usia kehamilan
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat
lahir, seperti :
• Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan
anomali pada gastrointestinal.
• Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari

11
2.4 Patofisiologi
Pada usia gestasi minggu ke-5, kloaka berkembang menjadi
saluran urinari, genital dan rektum. Usia gestasi minggu ke-6, septum
urorektal membagi kloaka menjadi sinus urogenital anterior dan intestinal
posterior. Usia gestasi minggu ke-7, terjadi pemisahan segmen rektal
dan urinari secara sempurna. Pada usia gestasi minggu ke-9, bagian
urogenital sudah mempunyai lubang eksterna dan bagian anus tertutup
oleh membrane. Setelah itu urogenital ventral membuka dan disusul oleh
dorsal anal membrane Atresia ani muncul ketika terdapat gangguan
pada proses tersebut. (Sari, 2020)

Menurut Anik Maryunani, dkk, 2009. Atresia ani dapat Terjadi


karena kelainan kongenital, dimana pada saat proses perkembangan
embrionik, proses perkembangan anus dan rektum Tidak lengkap.
Kegagalan disebabkan karena terjadinya stenosis anal karena
penyempitan pada kanal anorektal. Atresia anal ini Terjadi karena
ketidak sempurnaannya migrasi dan perkembang struktur kolon antara
7-10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan migrasi Tersebut
juga karena gagalnya agenesis sakral dan abnormalis pada daerah
uretra dan vagina atau juga pada proses obstruksi. Tidak adanya
pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan feses tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Selama pergerakan usus, mekonium melewati usus besar ke
rektum dan kemudian menuju anus. Persarafan di anal kanal membantu
sensasi keinginan untuk buang air besar (BAB) dan juga menstimulasi
aktivitas otot. Otot tersebut membantu mengontrol pengeluaran feses
saat buang air. Pada bayi dengan malformasi anorektal (atresia ani)
terjadi beberapa kondisi abnormal sebagai berikut: lubang anus sempit
atau salah letak di depan tempat semestinya, terdapat membrane pada
saat pembukaan anal, rectum tidak terhubung dengan anus, rectum
terhubung dengan saluran kemih atau sistem reproduksi melalui fistula,
dan tidak terdapat pembukaan anus. (Sari, 2020)

12
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, konsentrasi cairan,
muntah dengan segala akibatnya
• Selama 24-28 jam pertama kelahiran, bayi mengalami muntah-
muntah dan tidak ada defekasi mekonium. Selain itu anus tampak
merah.
• Perut kembung baru kemudian disusul muntah.
• Tampak gambaran gerak usus dan bising usus meningkat (
hiperperistaltik ) pada auskultasi.
• Tidak ada lubang anus.
• Invertogram dilakukan setelah bayi berusia 12 jam untuk
menentukan tingginya atresia.
• Terkadang Tampak ileus obstruktif.
• Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki2 biasanya letak tinggi ,
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika) . pada letak rendah fistula menuju ke urethra
(rektourethralis (Vivian Nanny Lia Dewi, 2011)

2.7 Kelainan kongenital Penyerta.

Sebagian besar bayi dengan Malformasi Anorektal memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% -
60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang
lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan,
akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan


malformasi anorektal adalah :

13
1. Kelainan kardiovaskuler.

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikut i oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
transposisi arteri besar, dekstrokardia, dan stenosis pulmonal.

2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi


duodenum (1%-2%).

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan


lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia


ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan
atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak
rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae,
Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality)

Kelainan kongenital penyerta lebih cenderung mengikuti pasien malformasi


anorektal letak tinggi mungkin disebabkan oleh karena pembentukan anus
dan rektum lebih gagal pada tipe letak tinggi, sehingga kelainan yang terjadi
lebih kompleks dan cenderung diikuti oleh kelainan kongenital penyerta
lainnya.Prognosis fungsional pasien malformasi anorektal letak tinggi juga

14
lebih buruk dibanding letak rendah.1 Hal ini menegaskan bahwa pasien
malformasi anorektal letak tinggi memiliki kelainan yang lebih kompleks
dibanding tipe letak rendah. Hasil ini sesuai dengan penelitian Mittal yang
menyatakan pasien dengan malformasi anorektal letak tinggi cenderung
memilki kelainan kongenital penyerta daripada pasien dengan malformasi
anorektal letak intermediet dan letak rendah.

(Indra, 2018)

2.6 Penetapan Diagnosis


• Anamnese:
- Meconium tidak dijumpai dalam 24 jam.
- Perut kembung dijumpai.
- Muntah dijumpai.
• Pemeriksaan Fisik
Bayi ditempatkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang
cukup, dilakukan penelusuran lubang anus dengan menggunakan
termometer, pipa sonde ukuran 5 F, spekulum nasal atau probe duktus
lakrimalis. Pada bayi laki-laki dilakukan penelusuran dari anal dimple
ke medial sampai ke arah penis. Sedangkan pada perempuan
dilakukan penelusuran dari lubang di perineum ke arah vestibulum
Rectal Toucher:
- Anus tidak ada, hanya lengkungan saja (Anal dumple).
- Lihat apakah anus di tempat normal.
- Apakah kalibernya normal.
- Apakah ditemukan fistel
• Klinis:
Pada wanita juga dapat terbentuk fistel pada perineum.
- Pada wanita Arteria Ani supralevator, bila:
1. Urin bercampur mekonium.
2. Hematuria
- Disebut translevator, bila:
a. Dari uretra keluar mekonium.

15
b. Kencingnya jernih.
Pada bayi perempuan didapatkan 90% dengan fistel,
apabila tidak diketemukan adanya fistel maka dilakukan
invertogram. Apabila hasil invertogram akhiran rectum kurang dari 1
cm dari kulit berarti letak rendah dan segera dilakukan minimal
PSARP, apabila akhiran rektum lebih dari 1 cm berarti malformasi
anorektal letak tinggi dilakukan kolostomi terlebih dahulu
c. Ada fistel ke perineum
• Pada bayi laki-laki, oleh Pena dilakukan pemeriksaan perineal dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan urinalisa. Apabila diketemukan
fistula perineal, bucket handle, stenosis ani atau anal membrane
berarti atresia ani letak rendah. Sedangkan apabila pada
pemeriksaan urinalisa didapatkan mekoneum, udara dalam vesica
urinaria serta flat bottom berarti letak tinggi. Apabila masih ada
keraguan dilakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan
radiologis ini dilakukan dengan posisi kepala bayi diletakan di
bawah selama 3-5 menit, dengan petanda yang ditempelkan ke
kulit. Posisi ini pertama kali ditemukan oleh Wangensten dan Rice
pada tahun 1930. Apabila hasil invertogram akhiran rektum
kurang dari 1 cm dari kulit berarti letak rendah dan apabila akhiran
rektum lebih dari 1 cm berarti malformasi anorektal letak tinggi.
• Pemeriksaan yang radiologis ditemukan :
1. Udara dalam usus terhenti tiba-tiba yang menandakan terdapat
obstruksi didaerah tersebut.
2. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bayi baru
lahir.
Dari gambaran ini harus difikirkan kemungkinan atresia rekti atau
anus imferforata. Pada bayi dengan anus imperforata, gambaran
udara terhenti tibatiba didaerah sigmoid, kolon atau rektum.
3. Dibuat foto anteroposterior (AP)dan lateral, bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas (wangesten dan rice). Pada anus
diletakkan benda yang radio opak, sehingga pada foto daerah

16
antara benda radio opak dengan bayangan udara yang tertinggi
dapat diukur.
Invertogram
Invertogram adalah teknik radiografi digunakan untuk
memperkirakan tingkat rektal kantong pada pasien dengan
anorectal malformasi. Meski tekniknya punya digunakan untuk
diagnosis anorectal anomali dalam delapan puluh tahun terakhir,
masih merupakan investigasi pilihan untuk evaluasi neonatal
malformasi anorektal.
(El Sinta, dkk 2019 dan buda sajekti 2011)
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Yusriani, 2017) Untuk memperkuat diagnosis dapat di
lakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan radiologis, yang brtujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum
yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan,
bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3
menit, sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi,
kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral
setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus.
b. Sinar –X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfrinternya.
c. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat
fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
d. CT scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi intrevena, yang bertujuan untuk menilai pelviokalises
dan ureter.
f. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengkonfirmasi adanya yang berhubungan dengan saluran
urinaria

17
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kelainan Anus Imperforata atau Atresia Ani
(Haryono, 2012):
a. Kolostomi
Pada Anus Imperforata atau Atresia ani letak tinggi harus
dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Kolostomi merupakan sebuah
lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen
untuk mengeluarkan feses. Lubang kolostomi yang muncul
dipermukaan yang berupa mukosa kemerahan disebut dengan
stoma.
Kolostomi merupakan perlindungan sementara (4-8 minggu) sebelum
dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi dilanjutkan 6-8
minggu setelah anoplasty atau bedah laparoskopi. Kolostomi ditutup
2-3 bulan setelah dilatasi rektal/anal postoperatif anoplasty.
Kolostomi dilakukan pada periode perinatal dan diperbaiki pada usia
12-15 bulan
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Setelah 6 – 12 bulan atau berat badan > 10 kg baru dikerjakan
tindakan definitif (PSARP). Penundaan ini dimaksudkan untuk
memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Penutupan kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB
akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang
frekuensinya dan agak padat.

Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasinya (Faradilla, 2009) :

a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet

18
Maka dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 – 12
bulan atau berat badan > 10 kg baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP)
b. Atresia ani letak rendah
Maka dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan
tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

Peran bidan dalam menangani Anus Imperforata atau Atresia Ani


(Setiyani, 2016) :

a. Penanganan secara preventif antara lain:


Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk
berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol
yang dapat menyebabkan atresia ani.
b. Pemeriksaan segera setelah bayi lahir
Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena akan terancam
jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal
ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga
mendesak paruparunya.
c. Asuhan setelah diketahui atresia ani
Bidan sesegera mungkin merujuk bayi tersebut ke rumah sakit.
d. Konseling
Konseling yang dilakukan bidan adalah:
• Memberikan dukungan psikologis kepada ibu dan keluarga
bayi.
• Menjelaskan keadaan bayi kepada keluarga secara lengkap
dan mudah dimengerti
• Memberikan saran tentang langkah-langkah yang bisa
dilakukan keluarga selanjutnya
• Menjelaskan dan meminta inform concern keluarga
untuk melakukan rujukan segera

19
2.9 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek yang dapat terjadi pada klien atresia ani :
a. asidosis hiperkloremi
b. infeksi saluran kemih yang berkepanjangan
c. kerusakan uretra.

Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi antara lain :

a. eversi mukosa anal


b. stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Kostipasi
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training
f. Prolaps mukosa anorectal
g. fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

Komplikasi lainnya antara lain obstruksi intestinal dan inkontinensia bowel


(Sudarti, 2010)

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Atresia ani (Imperforate anus) adalah kelainan kongenital yang ditandai


dengan persisten membran anal yang menghasilkan selaput tipis yang
menutupi saluran normal anal atau kegagalan membran anal untuk
memecah. Atresia ani merupakan kasus bedah anak yang paling sering
dijumpai. Bila tidak ditangani akan memberikan morbiditas yang tinggi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis malformasi anorektal. Para ahli bedah
anak telah menemukan beberapa teknik operasi untuk malformasi
anorektal. Tindakan kolostomi merupakan prosedur yang ideal untuk
penatalaksanaan awal malformasi anorektal. Tindakan kolostomi
merupakan upaya dekompresi, diversi dan sebagai proteksi terhadap
kemungkinan terjadinya obstruksi usus. Pena menganjurkan dilakukan
kolostomi kolon desenden.
3.2 Saran
Untuk penanganan kasus Atresia Ani sebaiknya dilengkapi lagi
dengan peralatan pemeriksaan penunjang dalam mendiagnosis
penyakit, agar dalam penangan dapat dilakukan secara maksimal yang
menunjang proses kesembuhan pasien, untuk pasien atresia ani
penanganan yang tepat yaitu melalui denga pembedahan agar penderita
tidak mengalami kesakitan yang berkepanjangan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwanto, Fitri. (2011). Buku Pedoman Rencana Asuhan Keperawatan


Bedah Anak. Jakarta: Amarta Jakarta.
2. Wong dkk. (2013). Buku Ajar Keperwatan Pediatrik. Jakarta : EGC
3. Levitt M., Pena A. (2010). Imperforate anus and cloacal malformations.
In: G.W. Holcomb III, J.P. Murphy, D.J. Ostlie (Ed.): Aschraft’s Pediatric
Surgery 5th ed. Elsevier-Inc, Philadelphia pp: 468-90.
4. Anggraeni, Desi. (2018). Analisis praktek klinik keperawatan pada an. D
dengan diagnosa post op tutup kolostomi e.c atresia ani dengan
intervensi inovasi bermain boneka tangan dan bercerita terhadap
penurunan tingat kecemasan anak diruang picu rsud. Abdul wahab
sjahranie samarinda tahun 2018. Karya Ilmiah Akhir Ners.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
https://dspace.umkt.ac.id//handle/463.2017/779
5. Yusriani, E., & Tisnilawati, T. (2017). GAMBARAN FAKTOR KEJADIAN
ATRESIA ANI PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD DR. PIRNGADI
MEDAN TAHUN 2017. JURNAL KEBIDANAN FLORA, 10(1), 41-49.
6. Setiyani, Astuti, dkk. (2016). Modul Bahan Ajar Asuhan Kebidanan
Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah. Jakarta: Tim P2M2
7. Faradilla, Nova. (2009). Ileus Obstruksi. Pekanbaru: FKUNRI
8. Sudarti. (2010). Kelainan Dan Penyakit Pada Bayi dan Anak. Nuha
Medika, Yogyakarta
9. Haryono, Rudi. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Kelainan Bawaan
Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Goysen Publishing
10. Kamalakar, G. J. Devaratnam, R. Brahmaji, B. Jyothsna. 2015.
Congenital atresia ani associated with recto-vaginal fistula in Ongole calf.
Journal of Livestock Science (ISSN online 2277-6214) 6:80-84

22
11. Lokananta, I. (2016). Malformasi Anorektal. Jurnal Kedokteran Meditek.
12. Wicaksono, S. T., & Wahyuni, T. (2015). Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Pada An. J Dengan Down Sindrome dan Malformasi
Anorektal Post PSARP Dengan Terapi Bermain dan Terapi Jus
Mengkudu di Ruang Pediatric Intensive Care Unit RSUD Abdul Wahab
Sjahrani Samarinda Tahun 2015.
13. Indra, B., Dastamuar, S., & Hidayat, R. (2018). HUBUNGAN TIPE
MALFORMASI ANOREKTAL, KELAINAN KONGENITAL PENYERTA,
SEPSIS, DAN PREMATURITAS DENGAN MORTALITAS PASIEN
MALFORMASI ANOREKTAL. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 50(1).

23

Anda mungkin juga menyukai