Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ulkus Peptikum Perforasi


Ulkus peptikum (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi
asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor
pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran
darah mukosa)(Berardi &Lynda, 2005; Tas et al, 2015). Ulkus peptikum
merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di
bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebut erosi. Walaupun sering kali dianggap juga sebagai ulkus (misalnya
ulkuskarena stres) (Wilson dan Lindseth, 2005).

Ulkus peptikum perforasi didefinisikan sebagai suatu defek mukosa atau


submukosa yang berbatas tegas yang menembus lapisan muskularis mukosa
sampai lapisan serosa sehingga terjadi perforasi (Akil, 2006). Ulkus gaster
merupakan suatu gambaran bulat atau semibulat/oval dengan ukuran lebih dari 5
mm dari kedalaman submukosa pada mukosa gaster akibat terputusnya
kontinuitas/integritas mukosa gaster dengan dasar ulkus ditutupi debris (Tarigan,
2006).
Gambar 2.1. Peptic Ulcer

2.2. Epidemiologi Ulkus Peptikum


Setiap tahun 4 juta orang menderita ulkus peptikum di seluruh dunia,
sekitar 10%-20% terjadi komplikasi dan sebanyak 2%-14% didapatkan ulkus
peptikum perforasi. Perforasi ulkus peptikum relatif kecil tetapi dapat mengancam
kehidupan dengan angka kematian yang bervariasi dari 10% - 40%. Lebih dari
setengah kasus adalah perempuan dan biasanya mengenai usia lanjut yang
mempunyai lebih banyak risiko komorbiditas daripada laki-laki. Penyebab utama
adalah penggunaan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), steroids,
merokok, Helicobacterpylori dan diet tinggi garam (Saverio et al, 2014).
Penyebab lain dari gastroduodenal perforasi seperti trauma, neoplasma, benda
asing yang bersifat korosif dan hal ini terjadi akibat hasil dari diagnosis atau terapi
intervensi (iatrogenic). Trauma pada lambung dan duodenum hanya 5.3% dari
seluruh trauma tumpul hollow viscus organ tetapi berhubungan dengan
komplikasi sekitar 27% to 28%. Perforasi yang terjadi karena
keganasan/malignancy dapat berasal dari adanya obstruksi dan meningkatkan
tekanan intralumen dan respon dari chemotherapy dan tumor transmural
(Saverioet al, 2014).
Sekitar 4 juta penduduk terdiagnosis ulkus peptikum setiap tahunnya di Amerika
Serikat dengan gangguan asam–pepsin, prevalensinya adalah 12% pada pria dan
10% pada wanita dengan angka kematian pasien 15.000 per tahun dan
menghabiskan dana 10 milyar dolar per tahun. Di Inggris sekitar 6–20%
penduduk menderita ulkus pada usia 55 tahun, sedangkan prevalensinya 2–4%
(Tarigan, 2009).

2.3. Patofisiologi Ulkus Peptikum


Epitel gaster terdiri dari rugae yang mengandung gastric pits atau lekukan
yang berukuran mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi empat atau lima
kelenjar gaster dari sel -sel epitel khusus. Susunan kelenjar tergantung letak
anatominya. Kelenjar di daerah cardia terdiri < 5%kelenjar gaster yang
mengandung mukus dan sel-sel endokrin. Sebagian terbesar kelenjar gaster (75%)
terletak didalam mukosa oksintik mengandung sel-sel leher mukosa, parietal,
chief, endokrin dan sel enterokromafin (Wilson dan Lindseth, 2005).
Kelenjar pilorik mengandung mukus dan sel -sel endokrin(termasuk sel-sel
gastrin) dan didapati di daerah antrum. Sel parietal juga dikenal sebagai sel
oksintik biasanya didapati didaerah leher atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel
parietal yang tidak terangsang, mempunyai sitoplasma dan kanalikuli intraseluler
yang berisi mikrovili ukuran pendek sepanjang permukaan atas. Enzim H+, K+
-ATPase didapati didaerah membran tubulovesikel. Bila sel dirangsang, membran
ini dan membran atas/apikal lainnya diubah menjadi jaringan padat dari kanalikuli
intraseluler apikal yang mengandung mikrovili ukuran panjang (Tarigan, 2009).
Permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus, hasil dari
inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Asam lambung dan
enzim pencernaan memasuki jaringan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada
pembuluh darah dan jaringan disekitarnya (Keshav, 2004).
Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi asam dan pepsin yang berlebih
olehmukosa lambung atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa
gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam-
pepsin (Guyton dan Hall, 2007). Asam pepsin penting dalam patogenesis ulkus
peptikum. Akan tetapi berlawanan dengan ulkus duodeni, pasien umumnya
mempunyai laju sekresi asam yang normal atau berkurang dibandingkan dengan
individu tanpa ulkus. Sepuluh sampai dua puluh persen pasien dengan ulkus
peptikum juga mempunyai ulkus duodeni (Mc.Guigan, 2001). Telah diduga
bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol, indometasin, fenilbutazon dan
kotikostreroid mempunyai efek langsung terhadap mukosa lambung dan
menimbulkan ulkus. Obat-obatan lain seperti kafein, akan meningkatkan
pembentukanasam. Stress emosi dapat juga memegang peranan dalam patogenesis
ulkus peptikum, agaknya dengan meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat
perangsangan vagus. Sejumlah penyakit tampaknya disertai pembentukan ulkus
peptikum yaitu sirosis hati akibatalkohol, pankreatitis kronik, penyakit paru
kronik, hiperparatirioidisme dan sindrom Zollinger-Ellison (Wilson dan Lindseth,
2005).
Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut berperan terhadap ulserasi.
Pada kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum dibagian awal duodenum,
jumlah sekresi asam lambung lebih besar dari normal, sering sebanyak dua kali
normal. Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan
infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan
berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita ulkus
peptikum mengarah kepada sekresi cairan lambung yang berlebihan untuk alasan
apa saja (sebagai contoh, pada gangguan fisik) yang sering merupakan penyebab
utama ulkus peptikum (Guyton dan Hall, 2007).

2.4. Manifestasi Klinis Ulkus Peptikum


Ulkus biasanya sembuh sendiri tetapi dapat timbul kembali. Nyeri dapat
timbul selama beberapa hari atau minggu dan kemudian berkurang atau
menghilang. Gejala bervariasi tergantung lokasi ulkus dan usia penderita.
Contohnya anak-anak dan orang tua biasanya tidak memiliki gejala yang sering
didapat atau tidak ada gejala sama sekali. Oleh karena itu ulkus biasanya diketahui
ketika komplikasi terjadi. Hanya setengah dari penderita ulkus duodenum
mempunyai gejala yang sama seperti perih, rasa seperti terbakar, nyeri, pegal, dan
lapar. Rasa nyeri berlangsung terus-menerus dengan intensitas ringan sampai
berat biasanya terletak di bawah sternum. Kebanyakan orang yang menderita
ulkus duodenum, nyeri biasanya tidak ada ketika bangun tidur tetapi timbul
menjelang siang. Minum susu dan makan (yang menyangga keasaman PH
lambung) atau meminum obat antasida mengurangi nyeri, tapi mulai timbul
kembali setelah 2 atau 3 jam kemudian.
Gambaran klinis utama ulkus peptikum adalah kronik dan nyeri epigastrium.
Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari
sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai teriris,
terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan eksaserbasi merupakan ciri yang begitu
khas sehingga nyeri di abdomen atasyang persisten. Pola nyeri-makan-hilang ini
dapat saja tidak khas pada ulkus peptikum. Bahkan pada beberapa penderita ulkus
peptikum makanan dapat memperberat nyeri. Biasanya penderita ulkus peptikum
akan mengalami penurunan berat badan. Sedangkan penderita ulkus duodenum
biasanya memiliki berat badan yang tetap (Wilson dan Lindseth, 2005).
Penderita ulkus peptikum sering mengeluh mual, muntah dan
regurgitasi.Timbulnya muntah terutama pada ulkus yang masih aktif, sering
dijumpai pada penderita ulkus peptikum daripada ulkus duodenum, terutama yang
letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di pilorus atau duodenum.
Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut merasa selalu
penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat instabilitas
neromuskuler dari kolon (Akil, 2006). Penderita ulkus peptikum terutama pada
ulkus duodenum mungkin dalam mulutnya merasa dengan cepat terisi oleh cairan
terutama cairan saliva tanpa ada rasa. Keluhan inidiketahui sebagai water brash.
Sedang pada lain pihak kemungkinan juga terjadi regurgitasi pada cairan lambung
dengan rasa yang pahit (Akil, 2006). Secara umum pasien ulkus gaster mengeluh
dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom atau kumpulan keluhan beberapa
penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa
atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang
(Tarigan, 2009).
Nyeri yang dapat membangunkan orang ketika malam hari juga
ditemukan. Seringkali nyeri timbul sekali atau lebih dalam sehari selama beberapa
minggu dan hilang tanpa diobati. Namun, nyeri biasanya timbul kembali 2 tahun
kemudian dan terkadang juga dalam beberapa tahun kemudian. Penderita biasanya
akan belajar mengenai pola sakitnya ketika kambuh (biasanya terjadi ketika stres).
Makan bisa meredakan sakit untuk sementara tetapi bisa juga malah menimbulkan
sakit. Ulkus lambung terkadang membuat jaringan bengkak (edema) yang
menjalar ke usus halus, yang bisa mencegah makanan melewati lambung. Blokade
ini bisa menyebabkan kembung, mual, atau muntah setelah makan. (Keshav,
2004).

2.5. Penatalaksanaan Ulkus Peptikum


Beberapa faktor mempengaruhi penyembuhan ulkus dan kemungkinan
untuk kambuh. Faktor yang reversibel harus diidentifikasi seperti infeksi
Helicobacterpylori, penggunaan NSAID dan merokok. Waktu penyembuhan
ulkus tergantung pada ukuran ulkus. Ulkus lambung yang besar dan kecil bisa
sembuh dalam waktu yang relatif sama jika terapinya efektif. Ulkus yang besar
memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh (Soll, 2009). Secara garis besar
pengelolaan penderita dengan ulkus peptikum adalah sebagai berikut:

2.5.1. Non – farmakologi


1. Istirahat
Secara umum pasien ulkus dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurangberhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepatdengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam
istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik.
Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung
danpenyakit ulkus (Tarigan, 2009).
2. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu
tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien
ulkus dan dispepsia non ulkus, walaupun belum dapat dibuktikan
keterkaitannya. Alkohol belum terbukti mempunyai efek yang merugikan.
Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh
ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam
dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan ulkus dan sebaiknya
diminum jangan pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2009).
3. Tidak merokok
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus peptikum kronik, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodenum,
menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus
sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus (Tarigan, 2009).

2.5.2. Farmakologi
1. Antagonis Reseptor H2

Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara


berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada
sel parietal lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan
dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan
reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan
dihasilkan. Efek samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala,
kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi (Berardy and Lynda,
2005).Contoh obat seperti Simetidin, Ranitidine, Famotidin, Nizatidin
(Lacy et al, 2008). Kemampuan antagonis reseptor H2 menurunkan asam
lambung disamping dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam
pengobatan penyakit. Hasil dari beberapa uji klinik menunjukkan obat-
obat ini dapat menjaga gejala dengan efektif selama episode akut dan
mempercepat penyembuhan ulkus duodenal (Ghosh dan Kinnear, 2003).
2. PPI (Proton Pump Inhibitor)

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang


akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli serta parietal ke dalam lumen lambung.
Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin darah dan
dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia
belum terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang
(Tarigan, 2009). Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan
dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat,
tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liverdan penyakit ginjal. Dosis
Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr,
Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacyet al, 2008).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi
asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase
mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat
suspensi asamnya (Parischa danHoogerwefh, 2008). Efek samping obat
golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan
ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan PPI (Lacyet al, 2008).
3. Sulkralfat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
proteinmukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi danulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni
stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal
(Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Dosis sulkralfat 1gram 4x sehari atau
2gram 2x sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah konstipasi,
mual dan mulut kering (Berardi dan Lynda, 2005).
4. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein
pada dasar ulkus dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam.
Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman sehingga
timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2009).
5. Analog Prostaglandin : Misoprostol
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah sekresi
mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.
Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya ulkus peptikum pada
pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200mg atau 2 x 400 mg pagi
dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan
kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal
hamil (Tarigan, 2006). Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis
(kondisi penyakit bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit
radang usus, sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini.
Misoprostol dikontraindikasikan selama kehamilan, karena dapat
menyebabkan aborsi akibat terjadinya peningkatan kontraktilitas uterus.
Sekarang ini misoprostol telah disetujui penggunaannya oleh United States
Food and DrugAdministration (FDA) untuk pencegahan luka mukosa
akibat NSAID (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
6. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan
obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara
lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare
sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya
saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan
konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan
sebelumtidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis,
barbiturat, salisilat, dankinidin (Tarigan, 2009).

2.5.3. Tindakan Operasi


Tujuan utama dari terapi pembedahan pada ulkus peptikum perforasi
adalah untuk menekan faktor agresif terutama sekresi asam lambung dan
pepsin terhadap patogenesis ulkus peptikum dan untuk mengeluarkan
tempat yang paling resisten di antrum dan mengoreksi statis di lambung
(Akil, 2006). Indikasi operasi ulkus peptikum:
1. Gagal pengobatan.
2. Adanya komplikasi perforasi, pendarahan dan stenosis pilori.
3. Ulkus peptikum dengan sangkaan keganasan (Tarigan, 2009).

Tindakan pembedahan ada dua macam yaitu reseksi bagian distal lambung
atau gastrektomi sebagian (partial gastrectomy) dan Vagotomi yang
bermanfaat untuk mengurangi sekresi asam lambung terutama pada ulkus
duodenum (Akil, 2006).

2.6. Pemeriksaan Penunjang Pada Ulkus Peptikum


Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis, hasil
pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk pemeriksaan
histopatologi, tes CLO (Campylobacter Like Organism), dan biakan kuman
Helicobacter pylori. Secara klinis pasien mengeluh nyeri ulu hati kadang-kadang
menjalar ke pinggang disertai mualdan muntah (Tarigan, 2009).
2.6.1. Endoskopi
Endoskopi merupakan referensi standar untuk diagnosis dari ulkus
peptikum. Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi
fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk dan lokasinya dan dapat memberikan
suatu dasar/ basis referensi untuk penilaian penyembuhan ulkus
(Mc.Guigan, 2001). Salah satu kekurangan utamanya adalah biaya yang
tinggi di beberapa negara seperti Amerika Serikat. Keputusan untuk
melakukan endoskopi pada pasien yang diduga menderita ulkus peptikum
didasarkan pada beberapa faktor. Pasien dengan komplikasi ulkus
peptikum seperti pendarahan memerlukan evaluasi endoskopi untuk
mendapatkan diagnosis yang akurat agar pengobatannya berhasil.

2.6.2. Radiografi
Pemeriksaan radiografi pada saluran gastrointestinal bagian atas juga bisa
menunjukkan ulkus peptikum. Salah satu kekurangannya adalah paparan
radiasi. Keuntungan endoskopi bisa melakukan biopsi mukosa untuk
mendiagnosis Helicobacterpylori, sedangkan radiografi terbatas dalam
praktik dunia kedokteran modern (Vakil, 2010). Diagnosis ulkus peptikum
biasanya dipastikan dengan pemeriksaan barium radiogram. Bila radiografi
barium tidak berhasil membuktikan adanya ulkus dalam lambung atau
duodenum tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk
melakukan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan kadar serum gastrin
dapat dilakukan jika diduga ada karsinoma lambung atau sindrom
Zolliger-Ellison (Wilson dan Lindseth,2005).

2.7. Faktor Risiko Klinis Yang Dianggap Berperan Terhadap Terjadinya


Ulkus Peptikum
2.7.1. Faktor demografi umur dan jenis kelamin
Umur merupakan prognostik faktor sesudah pembedahan pada peptic ulcer
perforasi karena diikuti oleh penyakit penyerta seperti COPD, kelainan jantung
maupun sepsis. Pada pasien yang usia lanjut yang diikuti penyakit penyerta
memberikan hasil yang lebih buruk karena beberapa penyebab dan tingginya
angka kematian. Nilai rata umur pasien yang meninggal sesudah pembedahan
lebih signifikan pada pasien yang lebih tua dari pada pasien muda (65.02 ± 10.54)
(p < 0.05) (Bas et al, 2008). Lebih dari setengah kasus adalah perempuan dan
biasanya mengenai usia lanjut yang mempunyai lebih banyak risiko komorbiditas
daripada laki-laki (Saverio et al, 2014).

2.7.2. Lokasi ulkus


Penelitian Tas et al, 2015 menyebutkan bahwa besarnya ukuran ulkus > dari 1 cm
sebagai faktor resiko dari mortalitas pada ulkus peptikum perforasi.

2.7.3. Merokok
Bukti yang cukup kuat menunjukkan bahwa mengkonsumsi rokok merupakan
faktor yang cukup besar yang berhubungan dengan kejadian, lama kejadian,
rekurensi dan komplikasi dari ulkus peptikum yang disebabkan oleh
Helicobacterpylori. Suatu penelitian epidemiologi menunjukkan merokok
meningkatkan risiko baik ulkus duodenal maupun ulkus lambung dan risikonya
tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Merokok memperlambat
penyembuhan ulkus, menyebabkan rekurensi, dan meningkatkan risiko
komplikasi. Berhenti merokok sangat penting untuk mencegah rekurensi dari
ulkus duodenal (Tas et al, 2015).
2.7.4. Konsumsi alkohol
Konsentrasi tinggi dari alkohol menyebabkan kerusakan pembatas mukosa
lambung terhadap ion hidrogen dan berhubungan dengan lesi mukosa lambung
akut yang disebabkan pendarahan mukosa. Alkohol sendiri menstimulasi sekresi
asam, dan komposisi dari minuman beralkohol selain dari alkohol juga
menstimulasi sekresi asam (Luo et al, 2002).

2.7.5. Riwayat penyakit rheumatoid arthritis


Bas et al, 2008 menyebutkan bahwa riwayat penyakit Rheumatoid Arthritis
berhubungan dengan konsumsi obat obat NSAID yang secara signifikan menjadi
faktor risiko terjadinya ulkus peptikum.

2.7.6. Faktor psikologis


Faktor psikologis walaupun belum diketahui dengan pasti mekanismenya, juga
dapat meningkatkan risiko ulkus peptikum. Stres psikologi dapat menyebabkan
perilaku menyimpang seperti meningkatkan konsumsi rokok, konsumsi alkohol,
penggunaan obat -obatan dan kurang tidur yang bisa menyebabkan pertahanan
mukosa rusak sehingga bisa mengarah pada ulkus. Perilaku menyimpang tadi juga
bisa menyebabkan sekresi asam berlebihan, aliran darah berkurang, motilitas
lambung meningkat, motilitas usus menurun sehingga menyebabkan jumlah asam
yang memasuki usus meningkat. Kekebalan tubuh juga dapat menurun sehingga
mudah terinfeksi Helicobacter pylori yang dapat menyebabkan ulkus (Soll, 2009).

2.7.7. Konsumsi NSAID


Pengguna NSAID jangka panjang memiliki 2% sampai 4% risiko berkembangnya
ulcer simtomatik, pendarahan GI atau bahkan perforasi (Berardy dan Lynda,
2005). Luo et al, 2002 menyebutkan dalam penelitiannya bahwa usia tua,
merokok dan penggunaan nonspesifik cyclo-oxygenase inhibitors merupakan
faktor risiko dari ulkus peptikum pada penyakit autoimmune dengan penggunaan
kortikosteroid.
2.7.8. Jumlah leukosit
Leukosit adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah putih ini
berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai
bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna, memiliki inti,
dapat bergerak secara amoeboid, dan dapat menembus dinding kapiler/diapedesis.
Dalam keadaan normalnya terkandung 4x109 hingga 11x109 sel darah putih di
dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat sekitar 7000-25000 sel per tetes.
Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat 6000 sampai 10000(rata-rata 8000)
sel darah putih (Marisa et al, 2012).
Leukosit atau sel-sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak dalam
system pertahanan tubuh (mobile), memiliki fungsi untuk menahan invasi
pathogen (mikroorganisme penyebab penyakit) misalnya bakteri atau virus
melalui proses fagositosis, mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker
yang masuk kedalam tubuh, berfungsi sebagai pembersih yang membersihkan
sampah tubuh dengan memfagosit debris dari sel-sel yang mati atau cedera,
penting dalam penyembuhan luka dan pembersihan jaringan (Guyton dan Hall,
2007).
Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per millimeter kubik atau
mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari system pertahanan
tubuh terhadap benda asing, mikroorganisme sehingga hitung leukosit merupakan
indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi. Hitung
leukosit juga dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-
lain. Pada pemeriksaan laboratorium, hitung jumlah leukosit dapat normal pada
apendisitis yang baru terjadi (<24 jam). Hitung jumlah leukosit akan meningkat
hingga 11.000-16.000/mm3 jika sakit berlangsung antara 24 jam pertama hingga
48 jam. Peningkatan yang signifikan dari hitung jumlah leukosit (>20.000/mm3)
biasanya didapatkan pada penyakit saluran cerna dengan perforasi (Bas et al,
2008).

Anda mungkin juga menyukai