Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ETIKA PROFESI HUKUM: JAKSA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ethics of Law Profession

Dosen Pengampu
Dr. Indah Sri Utari, S.H., M.Hum.

Oleh
Muhamad Adji Rahardian Utama (8111418079)
Muhammad Reza Maulana (8111418117)
Hartini Atikasari (8111418150)
Prasasti Dyah Nugraheni (8111418229)
Setyarini Nur Octaviana (8111418374)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga makalah yang berjudul “Etika Profesi Hukum Jaksa”
dapat tersusun dengan baik.
Untuk menyelesaikan makalah adalah suatu hal yang mustahil apabila tidak
mendapatkan bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
selaku Peneliti mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Dr. Indah Sri Utari, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing mata kuliah
Ethics of Law Profession;
2. Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang; dan
3. Semua pihak yang telah membantu selama proses penulisan makalah ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan, serta belum
dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran,
dan usulan dari para pembaca demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Semarang, 16 April 2021


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah etika oleh Aristoteles (384-322 SM) digunakan untuk menunjukkan
filsafat moral.1 Adapun secara etimologis, yang dimaksud dengan etika yakni
ajaran mengenai baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan,
kewajiban, dan lain sebagainya. Dengan demikian, etika secara esensi dapat
disamakan artinya dengan moral, yang berarti akhlak atau kesusilaan, sehingga
berkaitan dengan masalah nilai. Singkatnya, etika merupakan gagasan yang
termasuk dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika berkaitan dengan baik-buruk
perbuatan manusia.2 Sebagai tambahan, etika dapat pula didefinisikan sebagai
bidang ilmu yang bersifat normatif, karena ia berperan menemukan apa yang
harus atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu.3
Profesi terdiri dari suatu kelompok terbatas, yakni orang-orang yang
memiliki keahlian khusus, yang mana melalui ilmu dan/atau keahlian tersebut,
mereka dapat berfungsi di masyarakat dengan lebih baik dibandingkan masyarakat
lainnya. Dalam pengertian lainnya, profesi ialah sebutan atau jabatan dimana
orang yang menyandangnya memiliki pengetahuan khusus yang diperoleh melalui
training atau pengalaman lain, bahkan melalui keduanya, sehingga penyandang
profesi dapat membimbing, memberikan saran atau nasehat, sekaligus melakukan
pelayanan terhadap orang lain dalam bidang yang ia jajaki.4
Etika profesi diterapkan pada kelompok-kelompok fungsional tertentu yang
merupakan pernyataan usaha untuk menegaskan situasinya, sehingga peran atau
fungsi kelompok-kelompok tersebut menjadi jelas.5 Lebih lanjut, adanya etika
profesi melahirkan sebuah gagasan kode etik, yakni prinsip-prinsip moral yang

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4.


1

Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
2

h.27.
3
Veithzal Rifa’i, et. al., Islamic Business and Economic Ethics, (Jakarta: Bumi Aksara,
2012), h. 2-3.
4
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 32-33.
5
Abintoro Prakoso, Etika Profesi Hukum, (Surabaya: LaksBang Yustisia, 2015), h. 12-13.
melekat pada suatu profesi dan disusun secara sistematis.6 Kode etik profesi
bertujuan untuk mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggota mengenai
bagaimana seharusnya berbuat, sekaligus guna menjamin mutu moral profesi
tersebut.7
Pada profesi jaksa, istilah yang digunakan adalah kode perilaku jaksa.
Terbaru, ketentuan mengenai kode perilaku jaksa diatur dalam Peraturan Jaksa
Nomor: PER-014/A/JA/11/2012. Adapun pengertian mengenai kode perilaku
jaksa disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3), sebagai berikut:
“Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik jaksa,
sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas
profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan
hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.”8

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, Peneliti berkeinginan
untuk melakukan wawancara terhadap Bapak Arief Riyadi, S.H., selaku Jaksa di
Kejaksaan Negeri Purworejo, yang dilaksanakan pada Selasa, 4 Mei 2021 melalui
zoom meeting pada pukul 14.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB.

6
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, (Bandung: Refika Aditama: Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, 2009), h. 15.
7
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h.
78.
8
Peraturan Jaksa Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
BAB II
HASIL WAWANCARA

Dalam sesi wawancara virtual tersebut, mulanya Bapak Arief Riyadi, S.H.,
selaku Narasumber menjelaskan bahwa beliau merupakan Jaksa di Kejaksaan
Negeri Purworejo, yang mana saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Bidang
Pembinaan, serta sedang menempuh pendidikan S2-Ilmu Hukum di Universitas
Negeri Semarang (UNNES).
Berikutnya, beliau menjelaskan mengenai pentingnya etika profesi hukum
pada jaksa, yang mana kemudian disebut sebagai kode perilaku jaksa. Hal ini
dikarenakan sesuai dengan aturan khusus yang berlaku, yakni Peraturan Jaksa
Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Ini menjadi penting
karena sifatnya adalah sebagai pedoman bagi jaksa supaya dalam menjalankan
profesinya memiliki sikap manusiawi atau dengan kata lain tidak hanya
menjalankan hukum sebagai suatu aturan formal saja, tetapi turut
mengaplikasikan nilai-nilai kebenaran dalam hukum. Sikap lainnya yang
diperlukan lahir dalam diri seorang jaksa, sehingga perlu diatur dalam suatu
regulasi, antara lain: sikap adil, sikap patut, dan sikap jujur. Beliau menyebutkan,
profesi penegak hukum cukup berat, mengingat masyarakat seringkali berasumsi
jika ketidakadilan yang ada di negara menjadi pertanggungjawaban profesi-
profesi penegak hukum. Di sisi lain, rentan pula terhadap praktik kesewenang-
wenangan yang berhubungan dengan penanganan suatu kasus. Dengan demikian,
adanya aturan tersebut seyogyanya mampu untuk menjadikan seorang jaksa
memiliki sikap dan integritas yang sesuai dengan etika profesi yang disandang
oleh mereka.
Bapak Arief Riyadi, S.H., turut menjelaskan mengenai prinsip Tri Atmaka,
yang lekat pula kaitannya dengan kode perilaku jaksa. Prinsip tersebut merupakan
ciri yang dimiliki oleh jaksa dan terdiri dari ketunggalan profesi, kemandirian, dan
mumpuni. Pertama, prinsip ketunggalan profesi berarti bahwa profesi jaksa dalam
menjalankan tugasnya ada kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kedua, prinsip kemandirian merupakan prinsip yang menerangkan bahwa dalam
menjalankan tugasnya selaku penuntut umum, jaksa adalah satu-satunya instansi
yang berwenang untuk melakukan penuntutan, sehingga tidak ada badan lain yang
dapat memengaruhi jaksa di bidang penuntutan ini. Ketiga, prinsip mumpuni yang
mana korps kejaksaan dianggap mumpuni dalam menjalankan tugasnya, sehingga
profesi ini harus banyak berinisiatif dalam menjalankan tugasnya disamping
selalu bekerja sama dengan penegak hukum lainnya, seperti hakim, polisi,
maupun advokat.
Beliau menyebutkan pula bahwa selain prinsip Tri Atmaka, dikenal pula
doktrin Tri Krama Adhyaksa. Pelaksanaan doktrin tersebut secara langsung
diawasi oleh Pimpinan Kejaksaan Negeri. Selain monitoring, Pimpinan Kejaksaan
Negeri juga melakukan evaluasi secara berkala. Laporan mengenai monitoring
dan evaluasi akan dilanjutkan ke Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung. Hal ini
dilakukan untuk menjaga sikap profesionalitas jaksa.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, jaksa diharuskan untuk senantiasa
bertindak sesuai dengan kode perilaku jaksa, meski pada prakteknya seringkali
ditemui oknum-oknum yang berusaha untuk memengaruhi sikap dan tindakan
jaksa ketika menjalankan tugas mereka. Sehubungan dengan itu, penting untuk
diketahui jika pembagian penugasan yang diberikan kepada jaksa ditentukan oleh
Pimpinan Jaksa berdasarkan sistem komando. Pelaporan ke Kepala Seksi Pidana
Umum dilakukan sejak awal penugasan sampai diperoleh hasil persidangan.
Berikutnya, Kepala Seksi Pidana Umum akan menyerahkan laporan ke Kepala
Kejaksaan Negeri. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi dan tugas para jaksa,
turut diawasi secara sinergis oleh struktur-struktur yang ada, sehingga kode
perilaku jaksa tetap dapat terlaksana dengan baik.
Lebih lanjut, Bapak Arief Riyadi, S.H., menyebutkan jika aturan Kode
Perilaku Jaksa dalam Peraturan Jaksa Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang
Kode Perilaku Jaksa memiliki 6 (enam) bab dan 31 (tiga puluh satu) pasal,
meliputi ketentuan umum, perilaku jaksa, tindakan administratif, tata cara
pemeriksaan dan penjatuhan tindakan administratif, ketentuan lain-lain, dan
ketentuan penutup. Peraturan mengenai perilaku jaksa ini memuat tentang
kewajiban-kewajiban jaksa, peraturan tentang integritas, kemandirian,
ketidakberpihakan, dan perlindungan. Kewajiban jaksa sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 3 hingga 6, yang terbagi menjadi 4 (empat), antara lain: 1) kewajiban
kepada negara; 2) kewajiban kepada institusi; 3) kewajiban kepada profesi jaksa;
dan 4) kewajiban kepada masyarakat. Adapun peraturan mengenai integritas
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 berisi mengenai larangan-larangan jaksa dalam
menjalankan profesinya, sedangkan peraturan terkait kemandirian dimuat dalam
Pasal 8, sehingga jaksa dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya
secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan
lainnya, serta tidak pula terpengaruh kepentingan individu maupun kelompok dan
tekanan publik maupun media. Dalam hal ini, jaksa dapat menolak perintah
atasannya apabila perintah tersebut melanggar norma hukum dan berkaitan
dengan penolakannya, jaksa tersebut memperoleh perlindungan hukum. Selain itu,
disebutkan pula mengenai prinsip ketidakberpihakan jaksa dalam menjalankan
tugasnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 9, sehingga jaksa dilarang
melakukan tindakan diskriminasi, merangkap jabatan menjadi pengusaha,
pengurus atau karyawan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun badan usaha swasta, pengurus atau
anggota suatu partai politik, advokat, serta dilarang memberikan dukungan
terhadap hal-hal politik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 huruf c. Lebih
lanjut, demi menjamin kelancaran menjalankan tugas dan fungsi profesinya, jaksa
juga memperoleh perlindungan dari tindakan sewenang-wenang sebagaimana
Pasal 10, serta memiliki hak-hak sebagaimana termuat dalam Pasal 11.
Kemudian, mengenai pelanggaran dan sanksi, Bapak Arief Riyadi, S.H.,
mengaku jika di Kejaksaan Tinggi Semarang, pernah terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh seorang jaksa, yang mana jaksa tersebut adalah rekan 1 (satu)
angkatan dari Bapak Arief Riyadi, S.H. Sanksi yang ia terima yakni berupa
penurunan jabatan. Menurut pendapat beliau, sanksi penurunan jabatan
menunjukkan jika pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk pelanggaran
yang cukup berat. Oleh Bapak Arief Riyadi, S.H., disebutkan jika meski sanksi
tersebut tergolong ke dalam sanksi atas pelanggaran berat, tetapi hal itu masih
cukup beruntung, karena jaksa yang bersangkutan tidak dicopot jabatannya
dan/atau diberhentikan status jabatannya sebagai pegawai kejaksaan. Lain halnya
jika pelanggaran yang dilakukan merupakan pelanggaran ringan atau sedang.
Dalam hal ini, pada kasus pelanggaran ringan, umumnya jaksa yang bersangkutan
akan memperoleh teguran, baik teguran lisan maupun teguran tertulis, sedangkan
pada kasus pelanggaran sedang, maka jaksa yang bersangkutan biasanya akan
dimutasi ke wilayah kerja lain dan/atau memperoleh penundaan kenaikan pangkat.
Artinya, struktur internal kejaksaan memberikan aturan yang cukup ketat dalam
mengimplementasikan amanat yang diatur dalam Peraturan Jaksa Nomor: PER-
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Mengenai kehidupan sehari-hari, Bapak Arief Riyadi, S.H., menjelaskan
jika jaksa tidak diperbolehkan untuk hidup bermewah-mewahan dan dilarang
untuk pamer, terlebih di media sosial. Larangan tersebut berdasarkan Surat
Nomor: B-720/D/DS/06/2020 tertanggal 19 Juni 2020, perihal penerapan pola
hidup sederhana dan etika menggunakan media sosial. Beliau turut mencontohkan
bahwa selama menjadi jaksa justru Pimpinan Kejaksaan Negeri tempat beliau
bekerja seringkali mengajak beliau dan rekan-rekan makan siang di warung kaki
lima. Lebih lanjut, Bapak Arief Riyadi, S.H., menjelaskan bahwa pada dasarnya,
profesi jaksa merupakan profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas
memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Kesederhanaan yang dijalankan
diharapkan mampu menjadi citra yang berkembang di masyarakat, sehingga
mengikis asumsi masyarakat mengenai profesi jaksa, sekaligus untuk menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap profesi tersebut. Beliau menjelaskan pula
bahwa tidak ada aturan khusus yang mengikat bagi seorang jaksa di luar lembaga
kejaksaan. Aturan-aturan khusus tersebut hanya mengikat bagi seorang jaksa di
lembaga kejaksaan saja. Meski begitu, ketika sedang tidak menjalankan profesi
jaksa, integritas jaksa tetap harus ditegakkan dan dijaga sebagaimana mestinya
sesuai dengan kaidah yang ada, sedangkan dari segi kehidupan sehari-hari, jaksa
tidak lebih hanya seorang masyarakat biasa, sehingga tidak ada aturan khusus
yang mengatur, termasuk pula dari segi penampilan dan gaya hidup, seperti
makan di warung kaki lima, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Bapak Arief
Riyadi, S.H., menjelaskan jika beliau pernah bertemu dengan mantan terdakwa
beliau. Mantan terdakwa tersebut kemudian bingung karena melihat beliau
berpenampilan dan berperilaku yang sangat berbeda ketika sedang menjalankan
profesi jaksa. Artinya, hal tersebut menjadi suatu kewajaran, karena beliau hanya
seorang masyarakat biasa di luar profesinya sebagai jaksa. Kemudian, untuk
menghindari penyalahgunaan kewenangan, ada perlunya jaksa membatasi
pergaulan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, seperti penyidik,
dan lain sebagainya. Pergaulan yang dilakukan antara profesi jaksa dan profesi
penegak hukum lainnya seyogyanya hanya didasarkan pada kepentingan
pergaulan semata, tanpa melibatkan unsur profesi supaya terhindar dari pengaruh-
pengaruh yang tidak baik. Adapun dalam memelihara hubungan fungsional,
batasan hubungan tersebut menjadi suatu kewajiban, karena jika terjadi suatu
kedekatan tertentu, maka imbasnya profesionalitas jaksa akan dipertanyakan oleh
Pimpinan Kejaksaan. Jika hal demikian terjadi, maka tidak menutup kemungkinan
bagi jaksa untuk mendapatkan sanksi atas perilakunya. Lebih lanjut, hubungan
antara jaksa dengan profesi penegak hukum lainnya, utamanya profesi polisi,
seyogyanya bersifat terbatas pada pelaksanaan tugas-tugas, seperti dalam proses
penyidikan, pemberkasan, penyerahan barang bukti, dan sebagainya. Di sisi lain,
di luar kepentingan pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan kepada seorang
jaksa, maka perlu dihindari untuk menjaga marwah seorang jaksa.
Sebagai tambahan, Bapak Arief Riyadi, S.H., jaksa memiliki tanggung
jawab moral yang cukup berpengaruh di masyarakat, karena criminal justice
system yang pada pokoknya mempunyai tujuan untuk mencapai kepastian hukum,
keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Adapun secara harfiah, kejaksaan
merupakan criminal justice system, sehingga penyelesaian persoalan yang ada di
masyarakat ialah menggunakan sistem tersebut, baik dari tahap penyidikan, tahap
penuntutan, umum, tahap pengadilan, sampai tahap pelaksanaan putusan di
lembaga pemasyarakatan. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi jaksa dalam
menjalankan profesinya, tetapi jika jaksa mampu menerapkan kode perilaku jaksa
dalam mengemban tugas dan amanat yang diberikan terhadapnya, tentu cita-cita
tersebut dapat terlaksana.
BAB III
PENUTUP

3. 1 SIMPULAN
Menurut keterangan dalam wawancara virtual dengan narasumber Bapak
Arief Riyadi, S.H., selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Purworejo yang saat ini
menjabat sebagai Kepala Bidang Pembina an menjelaskan bahwa Kode Perilaku
Jaksa digunakan sebagai pedoman bagi seorang jaksa untuk menjalankan
profesinya sesuai dengan aturan formal dan nilai-nilai kebenaran hukum yang ada.
Selain itu, dijelaskan juga mengenai prinsip Tri Atmaka yang berkaitan dengan
ciri ketunggalan profesi, kemandirian, dan mumpuniyang dimiliki oleh seorang
jaksa dan doktrin Tri Krama Adhyaksa yang pelaksanaannya diawasi secara
langsung oleh Pimpinan Kejaksaan Negeri. Kemudian, dijelaskan juga mengenai
Peraturan Jaksa Nomor : PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa
yang mempunyai 6 bab dan 31 pasal yang terdiri dari ketentuan umum, perilaku
jaksa, tindakan administratif, tata cara pemeriksaan dan penjatuhan tindakan
administratif, ketentuan lain-lain, dan ketentuan penutup.Selanjutnya, jaksajuga
tidak diperbolehkan untuk hidup bermewah-mewahan dan dilarang untuk pamer
sesuai dengan Surat Nomor : B-720/D/DS/06/2020 tertanggal 19 Juni 2020 yang
mengatur tentang penerapan pola hidup sederhana dan etika menggunakan media
sosial bagi seorang jaksa. Di sisi lain, dijelaskan juga mengenai tanggung jawab
moral yang dimiliki oleh jaksa untuk mencapai kepastian hukum, keadilan hukum,
dan kemanfaatan hukum yang sangat berkaitan dengan criminal justice system.

3. 2 SARAN
Jaksa diharapkan dapat menaati dan melaksanakan Kode Perilaku Jaksa
yang ada agar proses penegakkan hukum dalam rangka untuk mencapai kepastian
hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum yang berkaitan dengan criminal
justice system bagi masyarakat secara luas dapat tercapai secara adil dan tepat.
LAMPIRAN WAWANCARA VIRTUAL
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Herimanto dan Winarno. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi
Aksara.
Muhammad, Abdul Kadir. 2006. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Prakoso, Abintoro. 2015. Etika Profesi Hukum. Surabaya: LaksBang Yustisia.
Rifa’I Veithzal. 2012. Islamic Business and Economic Ethics. Jakarta: Bumi
Aksara.
Shidarta. 2009. Moralitas Profesi Hukum. Bandung: Refika Aditama: Suatu
Kerangka Berpikir
Sumaryono, E. 1995. Etika Profesi Hukum.Yogyakarta: Kanisius.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Peraturan Jaksa Nomor: PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku
Jaksa. Pasal 1 ayat (3).

Anda mungkin juga menyukai