Anda di halaman 1dari 5

BISNIS INTERNASIONAL

STUDI KASUS PROCTER & GAMBLE IN JAPAN

Disusun Oleh :
Safira Syahdani G.F. 1806144203
Keshia Angely D 1806226020
Natasha Radinka P. T. 1806226752
Ezra Daviano 1806226424
Putri Allya S 1806226506

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INDONESIA
2020
Statement of Authorship

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tugas terlampir adalah murni
hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan
dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan menggunakannya.
Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Mata ajaran : Bisnis Internasional
Judul tugas : Makalah Bisnis Internasional Studi Kasus Procter & Gamble in Japan
Tanggal : 8 Desember 2020
Dosen : Dr. Ir. Rosiwarna Anwar M.A.
Nissa Ghulma Ratnasari S.E., M.Si.

(Natasha Radinka P. T.) (Keshia Angely D) (Safira Syahdani)

(Ezra Daviano) (Putri Allya)


1. How would you characterize P&G’s product development and marketing strategy
toward Japan in the 1970s and 1980s? What were the advantages of this strategy?
What were the drawbacks?

Kondisi P&G saat tahun 1970-1980an, mereka mulai ekspansi ke pasar Jepang,
tetapi saat kondisi tersebut P&G menerapkan strategi standarisasi yang dimana
menyamaratakan semua produk antara di Amerika Serikat dan di Jepang, hal ini juga
disebut dengan ‘​United States-centric’. Strategi ini dipilih karena biaya yang dikeluarkan
lebih murah dan tidak memerlukan biaya untuk Research and Development. Namun
dalam kasus ini, dimana P&G memperluas pasarnya ke Jepang, mengalami kegagalan
dalam persaingan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan preferensi lokal dengan produk
pusat. Strategi ini juga memudahkan P&G karena tidak harus membuat produksi di
negara tujuan, karena pada saat itu, produk sama dengan yang ada di Amerika Serikat.

Dengan strategi tersebut, terbukti produk yang dijual P&G seperti popok maupun
deterjen yang dijual di Jepang kalah saing dengan produk lokal. Seperti yang sudah
disebutkan, hal ini dikarenakan perbedaan selera konsumen di Jepang, seperti orang
Jepang tidak menyukai popok yang tebal ala selera konsumen Amerika, serta klaim
deterjen yang berfungsi di berbagai suhu tidak relevan bagi mereka. Hal ini menunjukkan
bahwa strategi standarisasi produk dan ​marketing ​secara global bisa berujung pada
kegagalan dan kalah saing jika perusahaan tidak mengadaptasi perbedaan kebutuhan,
selera, dan preferensi target pasar di negara tujuan.

2. How would you characterize the strategy since the early 1990s? What are the
advantages of this strategy? What are the potential drawbacks?

Procter & Gamble mengubah strateginya pada tahun 1990-an, menutup beberapa
lokasi asing dan beralih ke pendekatan yang lebih regional ke pasar global. Baru-baru ini,
anization perusahaan 2005 ", pendekatan unit bisnis di mana unit yang berbeda
sepenuhnya diimplementasikan bertanggung jawab untuk menghasilkan keuntungan
untuk grup produk. Banyak orang mungkin akan menyarankan agar Procter & Gamble
mengambil pendekatan reaktif terhadap strateginya di awal 1990-an, tetapi lebih proaktif
pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Reorganisasi awal perusahaan adalah reaksi
terhadap pasar yang berubah dan laba yang lambat, namun, ketika menjadi jelas bahwa
upaya reorganisasi tidak benar-benar memperbaiki masalah yang ada, perusahaan
memulai strategi baru. Kali ini, daripada sekadar mencoba menyesuaikan strategi yang
ada seperti yang dilakukan perusahaan pada tahun 1993, Procter & Gamble membongkar
sepenuhnya struktur yang telah ada selama seperempat abad dan direorganisasi sebagai
perusahaan yang siap beroperasi pasar global.

3. Which strategy has been more successful? Why?

Jika kita melihat strategi internasional, strategi ini tidak memiliki tekanan yang
tinggi dalam beradaptasi dengan respon lokal. Pasar internasional awalnya akan
menerima strategi ini sebagai sesuatu yang baru, sehingga P&G dapat meningkatkan
penjualannya dengan banyak. Namun, penjualan semakin lama akan menurun karena
gagal nya P&G melakukan adaptasi dengan berbagai budaya dari belahan dunia. Maka
dari itu, strategi transnasional adalah suatu strategi yang terbaik dalam kasus ini. Strategi
ini dapat memaksa perusahaan untuk mengembangkan berbagai inovasi untuk produknya,
desain, sampai dengan cara pemasaran yang harus dilakukan. Mereka mengembangkan
beberapa formula yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan serta dapat menarik
retailer. P&G juga meningkatkan performa nya dalam hal komunikasi, sehingga dapat
membuat mereka unggul dalam value. Hal ini dilakukan supaya P&G dapat berhasil
untuk beradaptasi dengan permintaan pelanggan dari luar negara. Terbukti, bahwa
strategi ini dapat membuat mereka meraih pangsa pasar yang luas dan tepat sasaran, salah
satu contohnya dengan peningkatan penjualan P&G untuk produk Joy sebesar 20%.

4. What changes do you think P&G has had to make in its organization and company
culture to implement this strategic shift?
Perubahan dalam organisasi yang ada adalah strategi perusahaan berubah menjadi
transnasional, dari yang tadinya nasional. Karena ini, diperlukan adanya penyinkronan
dan penyesuaian yang baik di vertical differentiation, horizontal differentiation, maupun
integration mechanism. Perusahaan harus dapat menyesuaikan budaya kerja dengan
karakter masyarakat Jepang seperti: orientasi jangka panjang, senioritas, kesetiaan, dan
sebagainya yang mungkin berbeda dengan budaya di US.
5. What does P&G’s experience teach us about the argument that consumer tastes and
preferences across nations are converging and global markets are becoming more
homogenous?

Berdasarkan dari paparan kasus P&G tersebut menggambarkan hal yang


berlainan, dimana masih terdapat perbedaan selera dan preferensi konsumen di berbagai
wilayah yang berbeda. Misalnya, produk popok yang telah dikembangkan sebelumnya di
US, namun tidak cocok dengan selera konsumen di Jepang karena dianggap terlalu tebal,
produk lainnya, seperti Cheer dan Joy juga mengalami hal serupa. Hal ini menyadarkan
P&G bahwa menggunakan cara US centered way dalam melakukan bisnis merupakan hal
yang gagal. Kasus ini mendorong P&G untuk lebih responsif terhadap perbedaan lokal
dalam selera dan preferensi konsumen dan lebih bersedia untuk mengakui bahwa produk
baru yang bagus dapat dikembangkan di luar AS. Pengalaman ini juga mengajarkan
kepada kita berargumen bahwa selera dan preferensi konsumen bertemu dengan
norma-norma global, tetapi juga diperlukan beberapa penyesuaian lokal terhadap
karakteristik produk. Produk yang dibuat oleh perusahaan juga harus memperhatikan
kebutuhan dan kebiasaan masyarakat setempat agar dapat memenuhi tuntutan masyarakat
setempat untuk mencapai kesuksesan bersama.

Anda mungkin juga menyukai