Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN

ARSITEKTUR CANDI

Disusun Oleh

Nama : Julinto G. Soares

NIM : 2006090032

Mata Kuliah : Sejarah Dan Perkembangan Arsitektur

Dosen Pengampuh : Thomas K. Dima,ST.MT

Universitas Nusa Cendana

Fakultas Sains Dan Teknik

Jurusan Arsitektur

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat

dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan laporan tentang "Arsitektur Candi" ini dengan baik. Saya

menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan , baik dari segi isi ,

penulisan maupun kata-kata yang digunakan . Oleh karena itu , segala kritik dan saran yang

bersifat membangun guna perbaikan laporan ini selanjutnya, akan saya terima dengan senang hati .

Semoga informasi yang ada dalam laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

sekalian .

Kupang, Maret 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………...............................I

KATA PENGANTAR……………………………..........................………...……….....II

DAFTAR ISI…………………………………………..............................
………………….III

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................2

C. Tujuan...................................................................................................................2

D. Manfaat.................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Jenis Jenis Candi................................................................................................3

B. Fungsi Candi.....................................................................................4

C. Contoh Dan Penjelasan Tentang Tiga Contoh Candi...................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................21

B. Saran.............................................................................................................. ….21

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….......................….....22
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat
ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan
sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak
hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala
non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian
(petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung
Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa
pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan
lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan
keterampilan para pembuatnya.

Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detail, kaya akan
hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang
maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan
dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.

Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan DewiDurga
sebagai dewi kematian. Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan
untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja
Anusapati.

Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan bahasa
asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di
Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujang di Kedah). Sama halnya
dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari sudut
pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-
Buddha di seluruh dunia.
B. Maksud Dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari laporan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui jenis jenis candi
2. Mengetahui fungsi candi
3. Mengetahui beberapa contoh candi dan penjelasannya

C. Rumusan Masalah

1. Apa saja jenis-jenis candi?


2. Apa saja fungsi candi?
3. sebut dan jelaskan beberapa contoh candi!

D. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan laporan ilmiah ini disusun dengan urutan sebagai
berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan
masalah, serta sistematika penulisan untuk menjelaskan pokok-pokok
pembahasan.

BAB II PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas mengenai jenis jenis candi, fungsi candi dan
penjelasan mengenai beberapa contoh candi.

BAB III PENUTUP


Bab ini mengemukakan kesimpulan dan saran dari bab pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis Jenis Candi

1. Jenis berdasarkan agama

Candi Jawi yang bersifat paduan Siwa-Buddha tempat pedharmaan raja Kertanegara.

Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha,
paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan
bangunan keagamaan.

a. Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi
Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi
Cangkuang.
b. Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan biksu sanggha, contoh
candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, c. candi
Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.

d. Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi Jawi.

e. Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu
Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.

2. Jenis berdasarkan hierarki dan ukuran

Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hierarki, dari candi terpenting
yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau
peruntukannya, candi terbagi menjadi:

a. Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-
upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas.
Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.

b. Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau desa
tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak
berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung Agung,
Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.

c. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan
memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi
Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana
Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi
Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
B. Fungsi Candi

Candi Jalatunda yang berfungsi sebagai petirtaan.

•Candi dapat berfungsi sebagai:

a. Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau
bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang
menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi Kalasan dibangun untuk
memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.

b. Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau sarana ziarah
agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan relikui buddhis seperti abu
jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau biksu
Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai
sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus
c. Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun untukmemuliakan
arwah raja atau tokoh penting yang telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan
juga karena arwah raja yang telah meninggal sering kali dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya,
contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu
menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa
Harihara.

d. Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng
Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng
timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan
sekaligus situs permukiman.

e. Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi, candi seperti ini
memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama, contoh: candi Sari dan Plaosan

d. Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks Ratu Boko,
Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.

e. Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian,
contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus

Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang,
dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan merupakan candi, sering kali secara keliru disebut pula
sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, ataupun paseban atau
pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.
C. Contoh Candi Dan Penjelasannya

1. Candi Borobudur

Borobudur (bahasa Jawa: ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit. Candhi Barabudhur) adalah sebuah


candiBuddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang
lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah
barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana
sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau
kuil Buddha terbesar di dunia[1][2], sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia[3].

Borobudur (ꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ)

Barabudhur

Arca Buddha dan stupa Borobudur Lokasi di Pulau Jawa


Informasi umum

•Gaya arsitektur : stupa dan candi

•Kota : Kecamatan Borobudur, sekitar 3 km dari Kota Mungkid (ibukota Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah)

•Negara : Indonesia

•Koordinat : 7°36′29″S 110°12′14″E / 7.608°S 110.204°E

•Awal konstruksi : sekitar 770 Masehi Selesai sekitar 825 Masehi

•Klien : Sailendra

Detail teknis

•Sistem struktur : piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci

•Ukuran : luas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk chattra)

Desain dan konstruksi

•Arsitek : Gunadharma

•Tahun pengukuhan : 1991 (sesi ke-15)

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran
melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha[4].
Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia[3]. Stupa utama terbesar
teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa
berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna
dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan
Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam
nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk
melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi
Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan
Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian
lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh
kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[6] Dunia mulai menyadari
keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami
serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran terbesar
digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO,
kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[3]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang
datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci
Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak
dikunjungi wisatawan.[7][8][9]

•Nama Borobudur

Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan
secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-
Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal
mula nama Borobudur tidak jelas,[10] meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia
tidak diketahui.[10] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir
Thomas Stamford Raffles.[11] Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi
tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[10] Satu-satunya naskah
Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[12]

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa
Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi
memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa
istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka
bermakna, "Boro purba".[10] Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari
istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini
kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-
lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata
borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur.
Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon
berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta
yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam
bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah
tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat
bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan,
Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama
Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat
diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan
memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai
penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.[14] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula
yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari
wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta
yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
[15]

•Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan
perlambang

Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit
pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-Sumbing di sebelah barat laut
dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat Bukit Tidar, lebih dekat di
sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua
sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal
sebagai Dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai
'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]

•Sejarah Pembangunan

Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada
masa jayanya

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa
kegunaannya.[21] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara
yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti
kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.[21] Kurun
waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa
Tengah,[22] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan
menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja
Samaratungga pada tahun 825. Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama
Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa
mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[23] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi
Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan
Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari Borobudur.[25] Candi Buddha
Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran
Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima
tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris
Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.[26]
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk
memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun
778 Masehi.[26] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama
tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama
Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[27]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra
yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya
memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[28] Ketidakjelasan juga timbul
mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang
pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
wangsa Syailendra,[28] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam
pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[29]
Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan
tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa
raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang.[butuh
rujukan] Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:

Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850
M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas.
Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan
ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya
dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah.Sebagai bukti ada tata susun yang
dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.

Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang
diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.

Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk
besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris
melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena
alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus
menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar
ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa
inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar
bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk
membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang
dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk.Untuk menopang agar dinding candi
tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah
penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh
keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar,
perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.

2. Candi Prambanan

Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang (bahasa Jawa: ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦥꦿꦩ꧀ꦧꦤꦤ꧀, translit. Candhi
Prambanan) adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi.
Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta,
Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha
nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan
memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter
yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.

Candi Prambanan Lokasi Candi Prambanan di perbatasan Sleman, DI Yogyakarta &


Klaten, Jawa Tengah

Kompleks candi ini terletak di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta dan
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah[1] kurang lebih 17 kilometer timur laut
Yogyakarta, 50 kilometer barat daya Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di
perbatasan antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.[2] Letaknya sangat unik,
Candi Prambanan terletak di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu
masuk kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.

Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus
salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai
dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian
mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai
salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan
dari seluruh dunia.[4]

Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan,
dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada masa kerajaan Medang
Mataram.

•Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri , diduga merupakan perubahan
nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna "Brahman Agung"
yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang kerap
disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat lain menganggap Para Brahman
mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain
mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang
bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas
menata dan menjalankan keselarasan jagat.

Nama lain dari Prambanan dapat berarti 5 (lima) gunung yang dalam bahasa Khmer/Kamboja 5 (lima)
adalah Pram dan banam adalah gunung (ប្រាំភ្នំ). Hal ini menggambarkan 5 puncak gunung dari Himalaya
di India. Mengingat pada saat yang sama dalam kronik Khmer bahwa Bangsa Jawa pernah menjajah
Khmer selama 200 tahun dan Jayawarman ke 2 yang pernah di Jawa merupakan pahlawan yang
membebaskan Khmer dari dominasi Jawa.

Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sanskerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau
Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti
dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan
Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang
paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.

•Sejarah Pembangunan
Candi Prambanan di antara kabut pagi.

Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan sebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan
lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya
keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing;
yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan
dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga
kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana.
Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha
Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.

Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara
berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Sri Maharaja Dyah Balitung
Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk
memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha
(Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti:
'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[6] Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi
Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan
aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke
selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran
sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi
sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan
sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di
luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih
luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).

Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa
sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta dia.
[7]

Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya,
seperti raja Sri Maharaja Dyah Daksa dan Sri Maharaja Dyah Tulodong, dan diperluas dengan
membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi
Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara
penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta
brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari
kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau
keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.

3.Candi Penataran

Candi Penataran atau nama aslinya adalah Candi Palah adalah sebuah gugusan candi bersifat keagamaan
Hindu Siwaitis yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi
termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara
Blitar, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi
diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200Masehi
dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit
sekitar tahun 1415.
Kompleks Candi Penataran: Candi Candra Sengkala, dengan Candi Naga dan Candi Utama di
belakangnya.

Lokasi Candi Penataran di Kabupaten Blitar

Dalam kitab Desawarnana atau Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365, Candi ini disebut
sebagai bangunan suci "Palah" yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk dalam perjalanan kerajaan
bertamasya keliling Jawa Timur.[1]

Candi Penataran telah diusulkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 19 Oktober 1995.[2]

•Kompleks candi
Arca dwarapāla penjaga pintu gerbang.

Kompleks candi ini adalah gugusan beberapa bangunan yang membujur dalam poros barat laut-
tenggara. Di belakang candi utama di sisi timur terdapat sungai yang berhulu di gunung Kelud. Kompleks
candi ini disusun dalam pola linear, beberapa candi perwara dan balai pendopo terletak di depan candi
utama. Tata letak ini berbeda dengan candi pada langgam Jawa Tengah, misalnya Candi Sewu, yang
disusun dalam pola mandala konsentrik dengan candi utama terletak di tengah halaman candi dikelilingi
barisan candi perwara. Pola susunan linear dengan pola agak tidak beraturan pada Candi Penataran ini
merupakan ciri khas langgam Jawa Timur yang berkembang pada zaman Kediri hingga Majapahit, lalu
dilanjutkan pada pola tata letak Pura Bali.

Kompleks bangunan Candi Penataran menempati areal tanah seluas 12.946 meter persegi berjajar
membujur dari barat laut ke timur dan tenggara. Seluruh halaman komplek percandian, kecuali yang
bagian tenggara, dibagi menjadi tiga bagian, yang dipisahkan oleh dua dinding. Susunan dari komplek
Candi Penataran yang sangat unik dan tidak tersusun simetris. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan
candi tidak dalam satu periode.

Halaman depan

Masuk ke dalam halaman depan, pintu gerbang terletak di sisi barat laut kompleks candi, diapit oleh dua
arca Dwarapala, penjaga pintu degan angka tahun 1242 Saka atau 1320 Masehi terpahat pada arca.
Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Reco Pentung. Berdasarkan pahatan angka tahun yang ada
pada kedua lapik arca tersebut, bangunan Candi Palah baru diresmikan menjadi Candi Negara pada
masa pemerintahannya Jayanegara dari Majapahit. Sebelah timur kedua arca tersebut terdapat sisa-sisa
pintu gerbang yang terbuat dari batu bata merah.

Bale Agung

Melalui bekas pintu gerbang, pengunjung memasuki bagian terdepan dari Candi Penataran, Bale Agung.
Lokasi bangunan tersebut terletak di bagian barat laut halaman depan, posisinya sedikit menjorok ke
depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, didingnya masih polos dan memiliki empat buah tangga,
dua buah terletak di sisi tenggara, sehingga bangunan ini terkesan menghadap tenggara. Sedangkan dua
buah yang lain terletak di sisi timur laut dan barat daya terkesan sebagai tangga ke pintu samping. Pada
diding utara dan selatan terdapat dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur menjadi tiga
bagian.

Sekeliling tubuh bangunan Bale Agung dililit oleh ukiran ular naga. Kepala ular naga tersembul di bagian
kanan dan kiri bangunan. Masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala.
Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Di atas ada
pelataran yang di masing-masing sudutnya ada umpak-umpak batu yang diperkirakan sebagai penumpu
tiang-tiang kayu yang digunakan untuk atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J. Krom
seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda. Dipastikan
bale atau pendopo ini pernah dinaungi struktur tiang dan atap dari bahan organik kayu dan mungkin
beratap ijuk atau sirap yang kini telah lapuk dan musnah.

Pendopo Teras

Lokasi bangunan terletak di sebelah tenggara bangunan Bale Agung. Pendopo Teras seluruhnya terdiri
dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 29,05 meter x 9,22 meter x 1,5 meter.
Diperkirakan Pendopo Teras digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesaji dalam upacara
keagamaan atau tempat peristirahatan raja dan bangsawan lainnya. Pada sisi barat terdapat dua buah
tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada
masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil
bersayap dengan lutut kaki ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi
tangga bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang indah. Bangunan Pendopo Teras
berangka tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi. Letak pahatan tahun ini agak sulit mencarinya karena
berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding
sisi timur. Seperti pada Bale Agung, Pendopo Teras juga dililit teras ular yang ekornya saling berbelitan,
kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas,
memakai kalung dan berjambul. Pada dinding Pendopo Teras terdapat relief-relief yang menceritakan
berbagai kisah yang belum semua terinterpretasi dengan pasti, di antaranya adalah cerita Bubhuksah
dan Gagang Aking (dalam cerita rakyat juga dikenal sebagai kisah Bela-belu dan Dami Aking), Sang
Satyawan, dan Sri Tanjung.

Halaman tengah

Memasuki halaman kedua dari Candi Penataran, terdapat dua buah arca Dwarapala dalam ukuran yang
lebih kecil dibanding Dwarapala pintu masuk candi. Seperti pada arca Dwarapala di pintu masuk,
Dwarapala ini pun pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319
Masehi, setahun lebih tua dibanding Dwarapala di pintu masuk, juga berasal dari zaman Raja
Jayanegara. Halaman tengah atau halaman kedua ini terbagi menjadi dua bagian oleh tembok bata yang
membujur arah percandian di tengah halaman. Tembok tersebut sekarang hanya tinggal pondasinya
saja yang masih terlihat. Pada bagian timur laut ada enam buah sisa bangunan dari batu maupun dari
bata. Tiga buah tinggal sisanya berupa fondasi dari bata, dua buah berupa batur dan sebuah lagi berupa
candi tanpa penutup di atasnya. Batur pertama terbuat dari batu bercampur bata dengan ukuran lebih
besar dibanding batur satunya yang khusus terbuat dari batu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan
tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.

2. Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi
Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin
bukan bangunan keagamaan.

3. Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hierarki, dari candi
terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau
peruntukannya, candi terbagi menjadi: Candi Kerajaan, . Candi Wanua, Candi Pribadi.
4. Candi dapat berfungsi sebagai: Candi Pemujaan, Candi Stupa, Candi Pedharmaan, Candi Pertapaan,
Candi Wihara, Candi Gerbang, dan Candi Petirtaan.

5. Borobudur (bahasa Jawa: ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit. Candhi Barabudhur) adalah sebuah


candiBuddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.

6. Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang (bahasa Jawa: ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦥꦿꦩ꧀ꦧꦤꦤ꧀, translit. Candhi
Prambanan) adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi.

7. Candi Penataran atau nama aslinya adalah Candi Palah adalah sebuah gugusan candi bersifat
keagamaan Hindu Siwaitis yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa
Timur

B. Saran

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan , baik dari segi isi ,
penulisan maupun kata-kata yang digunakan . Oleh karena itu , segala kritik dan saran yang
bersifat membangun guna perbaikan laporan ini selanjutnya, akan saya terima dengan senang hati .

DAFTAR PUSTAKA

https://googleweblight.com/sp?u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Candi&grqid=gbw8gMXu&hl=id-ID

https://googleweblight.com/sp?hl=id-ID&u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Borobudur

https://googleweblight.com/sp?hl=id-ID&u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prambanan

https://googleweblight.com/sp?hl=id-ID&u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Candi_Penataran

Anda mungkin juga menyukai