Anda di halaman 1dari 14

Laporan Sejarah dan Perkembangan Arsitektur I

“Arsitektur Candi”

OLEH

Nama : Lea Julita Yuneldi Kiuk


NIM : 2006090010
Mata Kuliah: Sejarah dan Perkembangan Arsiktektur I
Kelas :A

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
Kata Pengantar
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas kasih karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Meskipun terdapat beberapa kesulitan dalam proses penulisan, namun berkat penyertaan-
Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
Dalam penulisannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karenanya, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
berkontribusi dalam membantu penyusunan laporan ini, baik secara materi maupun pikiran.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan tangan terbuka menerim
amasukkan, saran, dan usul demi penyempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Kupang, Maret 2021

Lea Julita Yuneldi Kiuk

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................................... i


Daftar Isi ........................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Jenis-jenis candi ..................................................................................................................... 2
B. Fungsi Candi.......................................................................................................................... 2
C. Contoh-contoh candi dan penjelasannya ................................................................................. 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan
keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-
Buddha.Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan
Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut
tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha
Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya,
juga disebut dengan istilah candi.
Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya,
yaitu Gunung Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran
dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi
dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari
unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah,
detail, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan
teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi
bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan jenis-jenis candi!
2. Jelaskan fungsi candi!
3. Sebutkan contoh min. 3 buah candi dan penjelasannya!

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis-jenis candi.
2. Untuk mengetahui fungsi candi.
3. Untuk mengetahui contoh-contoh candi dan penjelasannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis candi
a. Jenis candi berdasarkan agama
1. Candi Hindu
Candi Hindu adalah candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau
Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi
Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
2. Candi Budha
Candi Budha adalah candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan
biksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari,
candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi
Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
3. Candi Siwa-Buddha
Candi Siwa-Buddha adalah candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha,
contoh: candi Jawi.

4. Candi non-religius

Candi non-religius adalah candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-
nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi
Wringin Lawang.

b. Jenis berdasarkan hirarki dan ukuran


1. Candi Kerajaan
Candi kerajaan yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat
digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya
dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan,
Candi Sewu, dan Candi Panataran.
2. Candi Wanua atau Watak
Candi wanua atau watak yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah
atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan
tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit,
Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi
Pringapus.
3. Candi Pribadi
Candi Pribadi adalah candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh,
dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan
Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja
Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam
Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi
Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).

B. Fungsi Candi

2
1. Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi,
atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari,
dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi
Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk
memuja Manjusri.
2. Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau
sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan
relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang
dipercaya milik Buddha Gautama, atau biksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan
penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual,
contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus.
3. Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun
untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang telah meninggal. Candi ini kadang
berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena arwah raja yang telah meninggal sering
kali dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat
Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda.
Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
4. Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi
di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta
Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai
pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
5. Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi,
candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama, contoh: candi Sari dan
Plaosan.
6. Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di
kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
7. Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya
sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus.

C. Contoh-contoh candi dan penjelasannya

1. Candi Borobudur

Borobudur sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa


Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar
tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah

3
candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar
di dunia.
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal
yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa
besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang
Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga
barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan
tahapan pembangunan Borobudur:
1) Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan
kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit
diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya
terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu
sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah.Sebagai
bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup
struktur asli piramida berundak.
2) Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3) Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang
lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu
stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar,
dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan
tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong
bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga
tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga
Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar
stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar
yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk.Untuk
menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan
yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat
pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4) Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar
langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran
ujung kaki.

Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan
lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim
ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki
Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 meter (404 ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras
teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan

4
petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. Kaki asli ini tertutup
oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi
sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk
mencegah kelongsoran monumen. Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini
disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab
India mengenai arsitektur dan tata kota. Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan
dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan
alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat
penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu,
diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak
memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-
balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan
lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci
dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah
dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran
dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala
raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di
atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya
serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan
seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan
sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara
umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong
inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke
arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,
daripada kuil atau candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk
memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan
pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah
ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini
memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan
struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit
yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan dongeng dan
legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait
dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh
orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang
berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi
dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia
antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu
jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu
saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini
tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9
yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan
dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur. Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan
Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan
makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di
candi Angkor Wat di Kamboja.

5
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.
Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 meter (13 ft). Tubuh candi
terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama
mundur 7 meter (23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 meter
(6,6 ft), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras
melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara
konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai
ketinggian 35 meter (115 ft) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra
(payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 meter (138 ft) . Tangga terletak pada
bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak
monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang
pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara
yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu
candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah
relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang
menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

2. Candi Prambanan

Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar
di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan
untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wisnu
sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti
Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang
bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini
bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi
ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa
kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan
sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh
dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung
Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini
terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa
Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan
dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat
dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih
mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih
fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan
secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Sri
Maharaja Dyah Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun
856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli

6
bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang
berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa'
atau 'Alam Siwa'). Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi
Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk
memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai
Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan.
Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur,
dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan
konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang
memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar
kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan
yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi
pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam
candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta dia.
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang
Mataram berikutnya, seperti raja Sri Maharaja Dyah Daksa dan Sri Maharaja Dyah
Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar
candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi
agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada
masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan
murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari
kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat
kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat
Prambanan di Dataran Kewu.
Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang
berdasarkan kitab Wastu Sastra/Kitab Silpastra. Denah candi megikuti pola mandala,
sementara bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu.
Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu
mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh bagian
kompleks candi mengikuti model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu, yakni
terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang
kurang suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu
ini memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama.
Baik lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona;
1) Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana;
manusia, hewan, juga makhluk halus Hantu dan iblis. Di ranah ini manusia masih
terikat dengn hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan
kaki candi melambangkan ranah bhurloka.
2) Bwahloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi,
pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran.
Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bwahloka.
3) Swahloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci
tempat para dewa Hapsara Hapsari Bidadari bersemayam, juga disebut swargaloka.
Halaman dalam dan atap candi melambangkan ranah swahloka. Atap candi-candi di
kompleks Prambanan dihiasi dengan kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta:
permata), bentuk ratna Prambanan merupakan modifikasi bentuk wajra yang
melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna adalah

7
sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka
candi.

Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa
terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75
meter dan peti batu pripih ini ditemukan di atas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang
belulang hewan korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran
emas dengan aksara bertuliskan Baruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam
peti batu ini terdapat lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping uang
kuno, beberapa butir permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang kerang,
dan 12 lembaran emas (5 di antaranya berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma,
altar, dan telur).

3. Candi Sewu

Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8
Masehi yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan.
Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur
di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan.
Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan
"Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda
Loro Jonggrang. Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener,
Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha
yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah
”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara
Vajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan
Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa
dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada
akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja
yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai
Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari
dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama
sebelumnya. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi
Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat
Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena
keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha
Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting pada masa lalu. Candi ini

8
terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan Gunung Merapi di
utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala
yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa
kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan
kehidupan urban masyarakat Jawa Kuno.
Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa
Tengah bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama
menderita kerusakan paling parah. Pecahan batu candi berserakan di atas tanah, retakan
dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan,
kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh
candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian
setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan tidak boleh
dimasuki demi alasan keamanan.
Kini setelah dipugar, perancah candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat
memasuki ruangan dalam candi utama.
Kompleks Candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di kawasan sekitar
Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan dan 165 meter timur-
barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat penjuru mata angin, tetapi
mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu utama terletak di sisi timur. Tiap pintu
masuk dikawal oleh sepasang arca Dwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi
sekitar 2,3 meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan
di Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun membentuk
mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana.
Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan poros tengah, utara-selatan dan
timur-barat, pada jarak 200 meter satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi
Perwara (pengawal) kecil terdapat 8 Candi Penjuru, candi-candi ini ukurannya kedua
terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata angin terdapat masing-
masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan, tetapi kini hanya candi penjuru
kembar timur dan satu candi penjuru utara yang masih utuh. Berdasarkan penelitian
fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu candi penjuru di utara dan satu candi penjuru
di selatan yang sempat dibangun, keduanya menghadap timur. Itu berarti mungkin
memang candi penjuru utara sisi timur dan penjuru selatan sisi timur memang tidak
pernah (tidak sempat) dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.
Candi perwara (pengawal) yang berukuran lebih kecil aslinya terdiri atas 240 buah
dengan desain yang hampir serupa dan tersusun atas empat barisan yang konsentris.
Dilihat dari bagian paling dalam (tengah), baris pertama terdiri atas 28 candi, dan baris
kedua terdiri atas 44 candi yang tersusun dengan interval jarak tertentu. Dua barisan
paling luar, baris ketiga terdiri dari 80 candi, sedangkan baris keempat yang terluar terdiri
atas 88 candi-candi kecil yang disusun berdekatan.
Dari keempat baris candi perwara ini terdapat dua jenis rancangan candi perwara;
baris keempat (terluar) memiliki rancang bentuk yang serupa dengan baris pertama
(terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang pintunya, sedangkan baris kedua dan
ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih tinggi dengan gawang pintu yang berbeda.
Banyak patung dan ornamen yang telah hilang dan susunannya telah berubah. Candi-
candi perwara ini diisi arca-arca Dhyani Buddha. Ditemukan empat jenis Dhyani Buddha
di kompleks Candi Sewu. Arca-arca buddha yang dulu mengisi candi-candi ini mungkin
serupa dengan arca buddha di Borobudur.

9
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi utama yang paling besar tetapi
beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di balik barisan ke-4 candi kecil terdapat
pelataran beralas batu dan di tengahnya berdiri candi utama.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
• Berdasarkan agama, jenis candi dibagi atas 4, yaitu Candi Hindu, Candi Buddha, Candi Sawi-
Buddha, dan Candi non-religius.
• Berdasarkan hierarki dan ukuran, jenis candi dibagi atas 3, yaitu Candi Kerajaan, Candi
Wanua atau Watak, dan Candi Pribadi.
• Candi dapat berfungsi sebagai candi pemujaan, stupa, pedharmaan, pertapaan, wihara,
gerbang, petirtaan.
• Beberapa contoh candi di Indonesia antara lain Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan
Candi Sewu.

11

Anda mungkin juga menyukai