Anda di halaman 1dari 26

STUDI KASUS PELANGGARAN HAM TERKAIT

TRAGEDI G30S/PKI

TIM PENYUSUN :
Yayanasri (2008551051)
Ni Putu Amefi Redisti (2008551067)
Ni Made Laksmi Dewi Paramitha (2008551069)
Pande Nyoman Dimas Pratistha (2008551073)
Gede Narendra Pramana Putra M (2008551074)
Putu Ayu Sri Devi (2008551075)
Luh Putu Citramas Pradnya Rahmasari (2008551076)
Ni Kadek Dina Juniantari (2008551087)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas Rahmat dan Karunia Tuhan Yang Maha
Esa, karena tanpa Rahmat dan KaruniaNya, kami tidak akan dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan rampung tepat pada waktu yang ditentukan.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. I Made Satriya
Wibawa,M.Si sekalu dosen pengampu mata kuliah kewarganegaraan yang
membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman kelompok kami yang selalu setia membantu
dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah
ini kami menjelaskan tentang HAM dan G30S/PKI.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum
kami ketahui. Sebagai manusia biasa, kami terbuka dari saran dan kritikan teman-
teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna di masa
mendatang.
Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada
ketidaksesuaian kalimat dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada
kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

Denpasar, 16 Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Judul................................................................................................................. i
Kata Pengantar ............................................................................................... ii
Daftar Isi ........................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 3
BAB II Landasan Teori
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ....................................................... 4
2.2 Ketentuan Hukum tentang HAM ................................................................. 4
2.3 Pengertian Pelanggaran HAM ................................................................................5
2.4 Pengertian G30S/PKI .............................................................................................5
2.5 Pelanggaran HAM dalam Kasus G30S/PKI ............................................................5
2.6 Tindakan yang Dapat Dilakukan Terhadap Pelanggaran
HAM pada Kasus G30S/PKI ..................................................................................6
BAB III Metode Penulisan
3.1 Pengumpulan Data dan Informasi ...........................................................................7
3.2 Pengolahan Data dan Informasi ..............................................................................7
3.3 Analisis dan Sintesis ..............................................................................................7
BAB IV Pembahasan
4.1 Pelanggaran HAM dalam Kasus G30S/PKI ............................................................8
4.2 Penegakan Hukum Pasca Adanya Isu Pelanggaran HAM
dalam Kasus G30S/PKI ......................................................................................... 10
4.3 Penyelesaian Penegakan HAM Pasca Tragedi G30S/PKI ...................................... 16
4.4 Keefektifan Penyelesaian yang Diberikan Pemerintah dalam Pelanggaran
HAM pada Kasus G30S/PKI ................................................................................ 18
BAB V Kesimpulan
5.1 Simpulan.............................................................................................................. 22
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara teoritis HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat
kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah atau Tuhan yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi. Hakekat HAM sendiri adalah merupakan upaya
menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu pula upaya
menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan
tanggung jawab bersama antara invididu,Pemerintah (aparatur pemerintah baik
sipil maupun militer),dan negara.HAM diperoleh dari penciptanya yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, merupakan hak yang tidak dapat diabaikan sebagai manusia.HAM
ada dan melekat pada setiap manusia, oleh karena itu bersifat universal, artinya
berlaku dimana saja dan untuk siapa saja serta tidak dapat diambil oleh siapapun.
Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat
kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau
berhubungan dengan sesama manusia,selain ada HAM, ada juga kewajiban yang
harus dilaksanakan demi terlaksananya atau tegaknya HAM. Dalam menggunakan
HAM, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati dan menghargai hak asasi
yang dimiliki oleh orang lain, Kesadaran terhadap HAM, harga diri, harkat dan
martabat kemanusiaannya yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia.Dalam hukum dasar negara
Indonesia yaitu dalam UUD RI 1945 (sebelum diamandemen), istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) tidak terdapat baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun
Penjelasannya, tetapi tercantum Hak Warga Negara dan Hak Penduduk yang
dikaitkan dengan kewajibannya, antara lain tercantum dalam pasal 27,28,29,30,dan
31(Triwahyuningsih.2018). Meskipun demikian, bukan berarti HAM kurang
mendapat perhatian, karena susunan peraturan UUD 1945 tersebut adalah inti-inti
dasar kenegaraan. Dari pasal-pasal tersebut terdapat 5 (lima) pokok mengenai
HAM yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD RI 1945, yaitu: 1. Kesamaan
kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal

1
27 ayat 1). 2. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
(pasal 27 ayat 2). 3. Hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lesan dan tulisan sebagaimana yang ditetapkan dengan UU (pasal
28). 4. Hak kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk dijamin negara
(pasal 28 ayat 1). 5. Hak atas pengajaran (pasal 31 ayat 1).
UUD 1945 (sesudah diamandemen), HAM tercantum di dalam pasal 28 a
sampai pasal 28j. HAM adalah sebagai hak-hak dasar atau pokok yang melekat
pada manusia yang tanpa hak-hak dasar tersebut menusia tidak dapat hidup sebagai
manusia(Triwahyuningsih.2018). Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-
undang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Pengadilan HAM, hingga kini
berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu masih saja tak
terungkap dan bahkan tak ada kejelasan terkait dengan penyelesaiannya. Sekalipun
Orde Baru telah tumbang, tak satupun rezim pengganti (successor regimes)
yang mempunyai kemauan politik memanfaatkan momen peralihan (trans- itional
period) guna memberi keadilan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia.
Salah satu persoalan masa lalu yang masih tak juga terselesaikan hingga kini adalah
berbagai tragedi kemanusiaan dalam skala besar yang menimpa massa dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun mereka yang dikaitkan dengan
PKI dan atau komunisme menyusul terbunuhnya beberapa perwira militer dan
seorang ajudan pada 1 Oktober 1965. Berlainan dengan peristiwa 1 Oktober yang
terus diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, berbagai tragedi itu hingga kini
terkesan dibiarkan tetap menjadi misteri dan dijauhkan dari ingatan dan
pengetahuan publik. Membicarakan peristiwa 1965, orang akan lebih berpikir akan
terbunuhnya para jenderal, daripada hilangnya ribuan bahkan jutaan manusia tanpa
peradilan. Kendati telah lama berlalu, hilangnya nyawa begitu banyak warga yang
terbunuh serta ratusan ribu lainnya yang menjadi korban pengasingan dan
pembuangan hingga kerja paksa di berbagai penjara dan kamp penahanan sungguh
bukan persoalan sederhana yang boleh dilupakan dan terhapus begitu saja. Mereka
yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan berbagai tragedi
itu.Demi tegaknya keadilan dan untuk mencegah terjadinya impunitas dan
terulangnya kembali berbagai peristiwa serupa, berbagai pelanggaran HAM itu
tetap harus diungkapkan dan diselesaikan (Wardaya.2010).

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut.
1. apakah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus G30S/PKI
2. apakah dalam kasus G30S/PKI sudah dilakukan penegakan hukum pasca
adanya isu pelanggaran ham dalam kasus tersebut?
3. dalam penyelesaian penegakan ham pasca tragedi G30S/PKI, apakah
penyelesaian yang diberikan sudah tepat?
4. bagaimana efektivitas penyelesaian yang diberikan pemerintah dalam
pelanggaran ham G30S/PKI

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kejadian pelanggaran HAM dalam kasus G30S/PKI.
2. Untuk mengetahui kasus G30S/PKI sudah dilakukan penegakan hukum
pasca adanya isu pelanggaran ham dalam kasus tersebut.
3. Untuk mengetaui penyelesaian dan penegakan ham yang tepat pasca
tragedy G30S/PKI.
4. Untuk mengetahui efektivitas penyelesaian yang diberikan pemerintah
dalam pelanggaran ham G30S/PKI.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)


Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia mulai dari awal proses
penciptaannya. Sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, hak asasi manusia melekat
pada umat manusia. Hak asasi manusia adalah milik manusia dan tidak ada hubungannya
dengan perbedaan suku, suku, agama atau gender, karena itu semua bersifat mendasar
(asasi). Hak asasi harus dipertahankan dengan tidak merugikan hak orang lain serta tidak
menimbulkan gangguan.

Hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok yang melekat pada diri manusia karena
manusia adalah anugerah yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya hak setiap
orang tidak dapat dijalankan dengan bebas, karena manusia adalah makhluk sosial yang
selalu bergaul dan berinteraksi dengan sesama, oleh karena itu setiap orang harus
menghormati hak orang lain. Hak asasi manusia mencakup dua hak yang paling dasar, yaitu
hak atas persamaan dan hak atas kebebasan. Tanpa kedua hak ini, akan sulit untuk
menegakkan hak asasi manusia lainnya.

2.2 Ketentuan Hukum tentang HAM


Sesuai dengan UUD 1945, negara dalam melaksanakan tindakan-tindakannya harus
dilandasi oleh peraturan hukum sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kecerdasan seluruh warganya. Sifat
dari negara hukum dapat terlihat jika alat-alat perlengkapan negara bertindak sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Negara hukum mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Pengakuan dan perlindungan HAM,


2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak,
3. Didasarkan pada rule of law.
Dengan demikian, dalam negara hukum harus ada jaminan dan perlindungan HAM
yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum dan bukan berdasarkan kemauan pribadi
atau kelompok. Di dalam Undang- Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999
ditegaskan dalam Pasal 4 sebagai berikut:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan

4
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

2.3 Pengertian Pelanggaran HAM


Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi,
membatasi dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang ini dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berjalannya sebuah negara tentu hukum negara tersebut juga mengalami perbaikan
atau perubahan, yang sekarang telah menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang pengadilan HAM yang berbunyi Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini,
dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
berlaku. Mastricht Guidelines 3 telah menjadi dasar utama bagi identifikasi pelanggaran
HAM.

2.4 Pengertian G30S/PKI


Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah gerakan yang terjadi selewat malam, yakni
30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober). Peristiwa ini terjadi pada 30
September hingga 1 Oktober 1965 di Jakarta dan Yogyakarta ketika enam perwira tinggi
dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta. Gerakan 30 September atau dikenal sebagai G30S/PKI
merupakan salah satu pemberontakan yang ada di Indonesia, yang berkaitan erat dengan
pelanggaran HAM. Hal tersebut dikarenakan Peristiwa G30S/PKI menewaskan 7 perwira
pada tahun tersebut.

2.5 Pelanggaran HAM dalam Kasus G30S/PKI


Peristiwa G30S/PKI tidak hany pembunuhan 7 perwira bangsa Indonesia, tetapi
adapun pemusnahan, perbudakan, kejahatan yang melanggar HAM. Menurut Tempo.Co
(23 Juli 2012) tercatat ada sembilan pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa
G30S/PKI. Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan
kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan,

5
pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara
paksa. Sesuai dengan Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan hak asasi manusia berat.

Peristiwa G30S/PKI merupakan peristiwa yang terjadi pada Wilayah Maumere, LP


Pekambingan (Denpasar), Wilayah Sumatera Selatan, Kamp Moncongloe (Sulawesi
Selatan), Pulau Baru (Maluku), dan Medan (Sumatera Utara). Pasalnya,
kejahatan/pelanggaran HAM tersebut terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia dalam
kurun waktu yang bersamaan. Jenis kejahatan yang terjadi pun serupa. Misalnya ada 15
orang dieksekusi di Maumere, dalam waktu hampir bersamaan ada kejadian serupa di
Sulawesi Selatan, Maluku, Medan, dan Denpasar.

2.6 Tindakan yang Dapat Dilakukan Terhadap Pelanggaran HAM pada Kasus
G30S/PKI
Tindakan terbaik dalam penegakan HAM, khususnya dalam pelanggaran HAM kasus
G30S/PKI adalah dengan mencegah timbulnya semua faktor penyebab dari pelanggaran
HAM. Apabila faktor penyebabnya tidak muncul, maka pelanggaran HAM pun dapat
diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Menurut penulis, dalam menyikapi pelanggaran
HAM yang terjadi pada peristiwa G30S/PKI, masyarakat saat ini dapat memberlakukan
beberapa tindakan yang dirasa dapat meminimalisir pelanggaran HAM. Tindakan tersebut
dapat berupa pendekatan edukasi untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik
mengenai hak asasi manusia, kewajiban hak asasi manusia dan tanggung jawab manusia
sebagai warga negara. Pendekatan ini sebagai wujud preventif daripada upaya memajukan
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Secara tidak langsung pendekatan edukasi
tersebut menyebarluaskan prinsip-prinsip yang terdapat dalam HAM kepada masyarakat.
Selanjutnya, peningkatan kulitas pelayana public untuk masyarakat dan menegakkan
hukum dan demokrasi juga dapat dilakukan guna menyikapi adanya pelanggaran HAM.
Dengan demikian, menerapkan tindakan-tindakan diatas dapat meminimalisir terjadinya
pelanggaran HAM.

6
BAB III
METODE PENULISAN

3.1. Pengumpulan Data dan Informasi


Data dan informasi yang mendukung penulisan dikumpulkan dengan
melakukan penelusuran pustaka, pencarian sumber-sumber yang relevan, dan
pencarian data melalui internet. Data dan informasi yang digunakan yaitu data dari
buku, jurnal, dan beberapa pustaka yang relevan. Adapun teknik pengumpulan data
yang dilakukan yaitu:
1. Sebelum analisis data dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan studi pustaka
yang menjadi bahan pertimbangan dan tambahan wawasan untuk penulis
mengenai lingkup kegiatan dan konsep-konsep yang tercakup dalam penulisan.
2. Untuk melakukan pembahasan analisis dan sintesis data-data yang diperoleh,
diperlukan data referensi sebagai acuan, yang mana data tersebut dapat
dikembangkan untuk mencari kesatuan materi sehingga diperoleh suatu
kesimpulan.

3.2. Pengolahan Data dan Informasi


Seluruh data dan informasi yang diperoleh pada tahap pengumpulan data
kemudian diolah dengan menggunakan suatu metode analisis deskriptif
berdasarkan data sekunder.

3.3. Analisis dan Sintesis


Aspek-aspek yang akan dianalisis yaitu tentang pelanggaran Hak Asasi
Manusia terkait dengan tragedi G30S-PKI. Sintesis yang dijelaskan yaitu bentuk
pelanggaran dan tindakan atas pelanggaran dalam topik yang dianalisis.

7
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pelanggaran HAM dalam Kasus G30S/PKI


Peristiwa G30S/PKI yang biasa disebut dengan Gerakan 30 September
adalah salah satu peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi pada malam hari
tepatnya pada tanggal 30 September tahun 1965. Saat itu partai komunis sedang
dalam posisi yang sangat kuat karena mendapat bantuan dari Ir. H Soekarno.
Karena bantuan presiden lah usaha yang dilakukan masyarakat untuk menjatuhkan
partai komunis gagal.
Dalam pembantaian oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), 7 perwira
dijemput secara paksa dan disiksa hingga tewas. Hal itu merupakan pelanggaran
HAM, yaitu hak untuk hidup. Selain itu, kasus pembunuhan massal 1965-1966
yang menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa merupakan pelanggaran HAM yang
berat. Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang,
penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara
paksa.
4.1.1 Pelanggaran-Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966
Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, sebagai berikut:
a. pembunuhan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
b. pemusnahan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf b Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
c. perbudakan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Pasal 7 huruf b jo
Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM);

8
e. perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara
sewenangwenang (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf e Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
f. penyiksaan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf f Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM);
g. perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara (Pasal 7
huruf b jo Pasal 9 huruf g Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM);
h. penganiayaan (persekusi) (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf h Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
i. Penghilangan orang secara paksa (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf i Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang
dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa.
Karena perbuatan tersebut juga dilakukan secara meluas dan sistematis, maka
bentuk-bentuk perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan.
4.1.2 Rincian Pelanggaran-Pelanggaran HAM
a. Pembunuhan
Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan sebagai akibat dari
tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara yang terjadi diberbagai tempat
seperti di INREHAB: Pulau Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau
Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga, Moncong Loe, Ameroro,
Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo,
Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut- Manado; Tempat-1 tempat Tahanan : Salemba,
Pabrik Padi di Lamongan, Gedung milik Yayasan Thionghoa di Jl. Liloyor –
Manado, Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar,
Tempat yang diduga adanya penyiksaan: Markas Kalong (Jl. Gunung Sahari), Gang
Buntu (Kebayoran), Gedung Jl. Latuharhari, Ruma China di Jl Melati – Denpasar,
Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung Jl. Nusakambangan – Malang;
RTM : TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan,

9
b. Pemusnahan
Penduduk sipil yang menjadi korban pemusnahan sebagai akibat dari
tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara dengan sebarannya antara lain;
Sragen 300 orang, Sikka – Maumere 1000 orang, LP Kali Sosok – Surabaya 600
orang
c. Perbudakan
Penduduk sipil yang menjadi korban perbudakan sebagai akibat dari
tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebagai berikut : Pulau
Buru kurang lebih 11.500 orang (terdiri dari 18 unit dan tambahan 3 unit RST
masing-masing diisi oleh 500 tahanan), dan di Moncong Loe, Makassar.
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
Penduduk sipil yang menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara
tercatat sebanyak kurang lebih 41.000 orang.
e. Perampasan Kemerdekaan atau Perampasan Kebebasan Fisik Lain Secara
Sewenang-wenang.
Penduduk sipil yang menjadi korban perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang sebagai akibat operasi yang
dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 41.000 orang.
f. Penyiksaan
Penduduk sipil yang menjadi korban penyiksaan sebagai akibat operasi
yang dilakukan oleh aparat negara tercatat diberbagai seperti di INREHAB : Pulau
Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-
Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon,
Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut-Manado; Tempat-
tempat Tahanan : Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung milik Yayasan
Thionghoa di Jl. Liloyor – Manado, Penjara Wirogunan – Yogyakarta, Penjara
Solo, Kediri, Denpasar, Tempat yang diduga adanya penyiksaan: Markas Kalong
(Jl. Gunung Sahari), Gang Buntu (Kebayoran), Gedung Jl. Latuharhari, Rumah
China di Jl Melati – Denpasar, Sekolah Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung
Jl. Nusakambangan – Malang; RTM : TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi
Kemulyaan,

10
g. Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Penduduk sipil yang menjadi korban perkosaan atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara sebagai akibat dari tindakan operasi yang
dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 35 orang
h. Penganiayaan (Persekusi)
Penduduk sipil yang menjadi korban penganiayaan (persekusi) sebagai
akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara dibeberapa tempat yaitu;
INREHAB : Pulau Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau,
Tanjung Kasu, Nanga-Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor
Walikota Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya,
Ranomut- Manado; Tempat-tempat Tahanan : Salemba, Pabrik Padi di Lamongan,
Gedung milik Yayasan Thionghoa di Jl. Liloyor – Manado, Penjara Wirogunan –
Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar, Tempat yang diduga adanya
penyiksaan: Markas Kalong (Jl. Gunung Sahari), Gang Buntu (Kebayoran),
Gedung Jl. Latuharhari, Rumah China di Jl Melati – Denpasar, Sekolah Jalan
Sawahan – Malang, Sekolah Machung Jl. Nusakambangan – Malang; RTM : TPU
Gandhi, Guntur, Budi Utomo, dan Budi Kemulyaan.
i. Penghilangan orang secara paksa
Penduduk sipil yang menjadi korban penghilangan orang secara paksa
sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang
lebih 32.774 orang. Para korban maupun keluarga korban mengalami penderitaan
mental (psikologis) secara turun temurun, berupa adanya tindakan diskriminasi di
bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Karena itulah para korban maupun keluarga korban peristiwa 1965-1966 telah
melakukan berbagai cara untuk memperjuangkan hak asasinya untuk mendapatkan
keadilan.
4.2 Penegakan Hukum Pasca Adanya Isu Pelanggaran HAM dalam Kasus
G30S/PKI
Adapun tokoh-tokoh PKI yang disidangkan melalui Mahmillub yang merupakan
tindaklanjut Keputusan Presiden RI No.370 tahun 1965 bahwa Mahmillub ditunjuk
untuk mengadili tokoh-tokoh Gerakan 30 Septemberi PKI, serta tokoh-tokoh yang
disidangkan memalui Mahmil/Ti, adalah sebagai berikut :

11
1. Nyono bin Sastroredjo alias Rukma alias Sugiono (anggota Politbiro CC PKI)
diadili oleh Mahmillub Jakarta, dan dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal
22 Februari 1966. Ia melakukan tiga kejahatan sekaligus, yaitu : pertama, telah
memimpin dan mengatur pemberontakan dengan angkat senjata melawan
pemerintah yang telah ada di Indonesia, kedua, sebagai peserta permufakatan
jahat, dalam bulan September 1965 bertempat di Ibukota RI sebagai pengatur
telah melakukan makar dengan maksud untuk menggulingkan Pemerintah yang
syah, ketiga, Njono dan kawan – kawannya separtai /PKI antara lain D.N. Aidit,
M.H. Lukman, Njoto, Anwar Sanusi, Peris Pardede, telah melakukan komplotan
permufakatan untuk melakukan makar, yang berniat untuk menggulingkan
pemerintah RI yang syah.[14]
2. Mantan Letkol Untung bin Syamsuri (mantan Komandan Batalyon Kawal
Kehormatan Resimen Cakrabirawa, Komandan Gerakan 30 September PKI),
diadili oleh Mahmillub di Jakarta, dengan dijatuhi vonis hukuman mati pada
tanggal 7 Maret 1966.
3. Subandrio (mantan Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri) diadili oleh
Mahmillub Jakarta, dengan dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal 24
Oktober 1966.
4. Mantan Lettu Inf. Ngadino Hadisuwignyo diadili oleh Mahmillub Jakarta, pada
tanggal 27 September 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
5. Mantan Mayor (U) Suyono alias Yoyo diadili oleh Mahmillub Jakarta, pada
tanggal 20 Mei 1966 dijatuhi vonis hukuman mati.
6. Mantan Brigjen TNI M.S. Supardjo diadili oleh Mahmillub Jakarta, pada tanggal
13 Maret 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
7. Mantan Kolonel (U) Sudiono diadili oleh Mahmillub Jakarta, pada tanggal 20
September 1972 dijatuhi vonis hukuman mati.
8. Yusuf Muda Dalam (mantan Menteri Bank Central RI) diadili oleh Mahmillub
Jakarta, pada tanggal 9 September 1966 dijatuhi vonis hukuman mati.
9. Mantan Laksamana Oemar Dhani (mantan Menteri Pangau) diadili oleh
Mahmillub Jakarta, pada tanggal 23 Desember 1966 dijatuhi vonis hukuman
mati.

12
10. Sudisman alias Suharno Tedy alias Tarno alias Toha (anggota CC PKI) diadili
oleh Mahmillub di Jakarta, pada tanggal 27 Juli 1966 dijatuhi vonis hukuman
mati.
11. Supono Marsudidjojo (pimpinan Biro Chusus CC PKI) diadili oleh Mahmillub
Jakarta, pada tanggal 11 Maret 1972 dijatuhi vonis hukuman mati.
12. Muljono bin Ngali alias Walujo (anggota Pimpinan Biro Chusus CC PKI ilegal)
diadili oleh Mahmillub di Semarang, pada tanggal 9 Oktober 1968 dijatuhi vonis
hukuman mati.
13. Syam Kamaruzaman (Kepala Biro Chusus CC PKI) diadili oleh Mahmillub di
Bandung, pada tanggal 9 Maret 1968 dijatuhi vonis hukuman mati.
14. Mantan Kapten Inf. R. Soembodo diadili oleh Mahmillub Surabaya, pada
tanggal 18 Februari 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
15. Amar Hanafiah (Sekretaris I CDB PKI Banjarmasin) diadili oleh Mahmillub
Banjarmasin” pada tanggal 14 Agustus 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
16. Tamuri Hidayat (mantan Peltu Pensiunan) diadili oleh Mahmillub Denpasar,
pada tanggal 30 September 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
17. Mohammad Nazir alias Amir diadili oleh Mahmillub Medan, pada tanggal 2
September 1966 dijatuhi vonis hukuman mati. Utomo Ramelan (mantan
Walikota KDH Tk.II Kodya Surakarta) oleh Mahmillub Yogyakarta, pada
tanggal 22 Juni 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
18. Mantan Mayor Djohan Rivai (mantan Bupati Pas aman) diadili oleh Mahmillub
Padang, pada tanggal 4 Agustus 1967 dijatuhi vonis hukuman mati.
19. Suwardiningsih bt. Sudirgo alias Asiah alias Mariam alias Bude (eks dosen
Akademi Ilmu Sosial Ali Achram Jakarta) diadili Mahmillub Palembang, pada
tanggal 9 Juni 1967 dijatuhi vonis hukuman seumur hidup.
20. Mantan Kolonel Didi Djoekardi (mantan Walikota Bandung) diadili oleh
Mahmilti II/Bar Bandung, pada tanggal 30 April 1977 dijatuhi vonis hukuman
19 tahun penjara.
21. Mantan Lettu Masiman oleh Mahmil Yogyakarta, pada tanggal 9 November
1968 dijatuhi vonis hukuman 20 tahun penjara.
22. Mantan Kapten Suwito bin Ronowasito oleh Mahmil Jateng pada tanggal 6
April 1971 dijatuhi vonis hukuman 15 yahun penjara.

13
23.Mantan Sertu Udara Abdul Munir Kadir oleh Mahmil Solo, pada tanggal 6 April
1974 dijatuhi hukuman penjara 17 tahun.
24.Mantan Mayor Trisnadi oleh Mahmilti II/TT Pekalongan, pada tanggal 24
Januari 1973 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup.
25.Mantan Kapten Winata oleh Mahmil Jawa Timur, pada tanggal 16 Januari 1972
dijatuhi vonis hukuman seumur hidup.
26. Mantan Serma Suhadi oleh Mahmil Ambon, pada tanggal 27 Juli 1976 dijatuhi
vonis hukuman 14 tahun penjara.
27. Markus Girot alias Martimo alias Wowor (anggota Dewan Nasional SOBSI)
oleh Mahmil Ujung pandang, pada tanggal 16 November 1968 dijatuhi vonis
hukuman mati.

Tahanan/tawanan PKI yang disidangkan melalui Pengadilan Negeri (subversif)


adalah sebagai berikut :
1. Sukatno (anggota CC PKI) diadili di Pengadilan NegeriJakarta, tanggal 11 Maret
1971 dijatuhi vonis hukuman mati.
Tjugito alias Badrun (anggota CC PKI) diadili Pengadilan Negeri Jakarta, tanggal
5 Agustus 1971, dijatuhi vonis penjara seumur hidup.
2. Rewang (anggota CC PKI) diadili di Pengadilan Negeri Jakarta, tanggal 31
Desember 1971 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup.
3. Mohammad Munir (anggota Polit Biro CC PKI dan Kepala Dep. Perjuta CDB
Kompro Blitar Selatan) diadili oleh Pengadilan N egeri Jakarta, tanggal 15 Maret
1971 dijatuhi vonis hukuman mati.
4. Suwandi alias Djoyo (Sekretaris CDB PKI Jawa Timur dan anggota Perjuta CDB
PKI Gaya Baru Blitar Selatan) diadili di Pengadilan Negeri Malang, tanggal 11
Juni 1973 dijatuhi vonis hukuman mati.
5. Roestomo (anggota Biro Chusus PKI Jawa Timur) diadili Pengadilan Negeri
Malang, tanggal 10 Januari 1975 dijatuhi vonis hukuman mati.
6. Gatat Saetardja (Ketua CDB Jawa Timur) diadili Pengadilan Negeri Malang,
tanggal 2 Januari 1976 dijatuhi vanis hukuman mati.
7. Djaka Untung (Ketua CDB/PKI Gaya Baru Blitar Selatan) diadili di Pengadilan
Negeri Malang, tanggal 2 Januari 1976 dijatuhi vanis hukuman mati.

14
8. Abdulgani Muhamad (Pimpinan Biro Chusus PKI aceh) diadili oleh Pengadilan
Negeri Banda Aceh, pada tanggal 7 Oktaber 1974 dijatuhi vanis hukuman
penjara seumur hidup.
9. Manganar Silaban (mantan Ketua DPRGR Tk. II Kabupaten Dairi, Sekretaris
PKI Kabupaten Dairi) diadili aleh Pengadilan Negeri Sidikalang (Sumatra
Utara), tanggal 6 Desember 1973 dijatuhi vanis hukuman penjara seumur hidup.
10. Mus Darsimin (Penghubung I PKI Tebing Tinggi) diadili aleh Pengadilan
Negeri Sumatra Utara, tanggal 23 Desember 1972 dijatuhi vanis hukuman mati.
11. Aminah Marianah (Sekretaris CBS PKI Pantai Cermin, Ketua Gerwani Kec.
Pantai Cermin) diadili aleh Pengadilan Negeri Tebing Tinggi, tanggal 9 Februari
1974 dijatuhi vanis hukuman penjara seumur hidup.
12. Bujung Ketek Gelar Sutan (Wakil PKI Katabaru) diadili aleh Pengadilan Negeri
Payakumbuh, tanggal 23 Maret 1970 dijatuhi vanis hukuman penjara seumur
hidup.
13. Harmen Suhardja (mantan Kapten-Purn) diadili aleh Pengadilan Negeri
Pakanbaru, dijatuhi vanis hukuman penjara seumur hidup.
14. Machamad Amin Zein (mantan Wakil Sekretaris I CDB PKI Riau) diadili aleh
Pengadilan Negeri Pakanbaru, dijatuhi vanis hukuman penjara seumur hidup.
15. Achmad Imron bin Ki agus Husin (Sekretaris I CDB PKI Sumatra Selatan)
diadili Pengadilan Negeri Palembang, tanggal 22 Agustus 1967 dijatuhi vanis
hukuman penjara seumur hidup.
16. Ruslan Widjajasastra (anggota CC PKI Wakil Ketua DPP/ PKI Ketua Politbiro
CC PKI Blitar Selatan), diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta, tanggal 15 Juli
1974 dijatuhi vonis hukuman mati.
17. Lie Tun Tjong alias Haryana (Ketua Biro Chusus Jawa Barat) diadili oleh
Pengadilan Negeri Bandung, tanggal 12 Mei 1976 dijatuhi vonis hukuman
penjara seumur hidup.
18. Susilo bin Sumarto Sastro Sendjojo (mantan dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta diadili oleh Pengadilan Negeri
Yogyakarta, tanggal 25 Maret 1971 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur
hidup.

15
19. Argo Ismoyo (mantan Walikota Magelang) diadili oleh Pengadilan Negeri
Magelang, tanggal 28 Desember 1977 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur
hidup.
20. Soenari alias Sarpo (Sekretaris Kompro PKI Semeru Selatan, Sekretaris BTI
Jawa Timur) diadili Pengadilan Negeri Lumajang-Jawa Timur, tanggal 1 April
1976 dijatuhi vonis hukuman mati.
21. Soekarman alias Bedjo alias Sidik alias Sarkam (anggota Dewan Harian CDB
PKI Jawa Timur – Sekretaris Kompro KKA) diadili oleh Pengadilan Negeri
Surabaya, tanggal 31 Mei 1976 dijatuhi vonis hukuman mati.
22. Ishak Muklar (Ketua SOBSI Daerah Kalimantan Timur/ Dewan Harian CDB
PKI Kalimantan Timur) diadili Pengadilan Negeri Balikpapan, tanggal 11
November 1966 dijatuhi vonis hukuman mati.
23. Suwiyo (Pimpinan SOBSI Kalimantan Selatan/Pengurus CDB PKI) diadili
Pengadilan Negeri Banjarmasin, tanggal 9 September 1970 dijatuhi vonis
hukuman penjara seumur hidup.
24. Saadi Abdullah bin Ali (CDB PKI Kalimantan Barat) diadili oleh Pengadilan
Negeri Pontianak, tanggal 18 September 1967 dijatuhi vonis hukuman penjara
seumur hidup.
25. Lasido (anggota PKI, kepala kampung Baru Tanyu), diadili Pengadilan Negeri
Ujung Pandang, tahun 1966 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup.
26. Umar Lestahulu (Sekretaris I CDB-PKI Maluku), diadili oleh Pengadilan
Negeri Ambon, tanggal 15 April 1975 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur
hidup.
27. Pujo Prasetyo (Biro Chusus PKI Bali) diadili oleh Pengadilan Negeri Denpasar,
tanggal 9 April 1979 dijatuhi vonis hukuman penjara seumur hidup.

4.3 Penyelesaian Penegakan HAM Pasca Tragedi G30S/PKI


30 September 50 tahun yang lalu adalah awal dari rangkaian kejadian kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sekelompok orang dari
kalangan sipil dan militer Indonesia melakukan aksi penculikan dan pembunuhan
terhadap 6 petinggi militer dan seorang perwira menengah di Jakarta yang
kemudian disebut dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Panglima
Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian

16
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Soekarno,
menyebut dalang G30S dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Beberapa hari setelah peristiwa itu, terjadi aksi penculikan, penahanan dan
pembunuhan terhadap lebih dari ratusan ribu orang yang dianggap sebagai
pengurus, anggota dan simpatisan dari PKI atau organisasi di bawahnya.
Pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto saat itu bahkan menyediakan penjara
khusus buat orang-orang yang ditangkap, dengan menempatkan mereka di Pulau
Buru Ambon Maluku.
Penyelesaian dari pasca tragedy ini belum ditangani dengan tepat. Dari
sumber dan orang yang masih hidup
Orang yang dibunuh Lebih dari 500 orang. Saya punya saksi hidup sampai
sekarang. Saya klarifikasi kembali, sebetulnya berapa yang lewat kali itu..wah tak
terhitung. Permintaan saya yang nomor 1 adalah Pemerintah minta maaf (kepada
keluarga korban). Terus pelurusan sejarah, fitnah-fitnah itu harus dibongkar
semua., kata dari korban
Pemerintah tengah mempertimbangkan rencana untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu dalam hal ini kasus 1965,
melalui upaya rekonsiliasi. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, proses
penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 tidak dilakukan melalui proses
pengadilan namun dengan cara rekonsiliasi dengan keluarga korban. Bapak
Presiden sudah menyampaikan, ada wacana dan tawaran dan gagasan atau harapan
bisa kita selesaikan dengan pendekatan non yudisial. Yaitu dengan rekonsiliasi.
Perkara ini sudah begitu lama. 50 tahun yang lalu. Tentunya ada berbagai kesulitan
dan kendala. Nyari bukti, saksi mungkin juga tersangkanya. Kalaupun ada. Nah,
itulah makanya tentunya kita bisa menempuh penyelesaian dengan cara
rekonsiliasi. UU 26 tahun 2002 memberikan peluang untuk menyelesaikan perkara
HAM berat dengan cara rekonsialisasi
Kepala Bidang Advokasi Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Muhamad
Daud Berueh berharap rekonsiliasi yang ditawarkan Pemerintah kepada keluarga
korban 1965 bersifat menyeluruh dan berkeadilan. Pertama mengungkap fakta.
Sejauh mana fakta dan keterlibatan aktor-aktor dalam peristiwa 1965. Jadi harus
diungkap secara tuntas. Saksi dan data-data yang obyektif. Yang kedua,

17
merekomendasikan pemulihan terhadap korban. Ini ada prinsip-prinsip hak korban
yang harus dipenuhi oleh Pemerintah. Lalu yang ketiga, adalah proses perbaikan di
masa depan. Jadi harus ada rekomendasi yang menyeluruh siapa-siapa aktor-aktor
yang terlibat ini harus di reformasi. Misalnya militer atau aktor-aktor keamanan
yang lain.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan hasil
penyelidikan dan investigasinya yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung pada
2012 menyebutkan, ada bukti telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang
merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan itu di antaranya adalah pembunuhan, pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa, atau pelanggaran kebebasan fisik berupa,
penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari
349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara
langsung peristiwa itu. Jumlah korban saat itu diperkirakan antara 500.000 hingga
tiga juta jiwa. Peristiwa 1965-1966 atau dikenal dengan Tragedi 65, merupakan
salah satu masalah HAM yang belum terselesaikan di Indonesia. Sama seperti
pelanggaran HAM dalam perang Vietnam, atau nasib warga Rohingya di Myanmar.

4.4 Keefektifan Penyelesaian yang Diberikan Pemerintah dalam Pelanggaran


HAM pada Kasus G30S/PKI
Di awal era reformasi, upaya untuk menguak kebenaran dan keadilan terkait
pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu sebenarnya mulai mendapat titik cerah.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000
menegaskan pentingnya dibentuk sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi guna
tercapainya persatuan nasional. Sebelumnya, Pasal 104 ayat (1) UU 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia mengamanatkan dibentuknya sebuah Pengadilan HAM
yang kemudian segera ditindaklanjuti dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan
HAM. Pasal 47 UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa terhadap pelanggaran
hak asasi manusia berat masa lalu terbuka penyelesaian dengan suatu Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Diperkenalkannya pendekatan non-legal ke
dalam UU Pengadilan HAM adalah harapan yang cerah bagi para korban
pelanggaran HAM masa lalu khususnya korban Tragedi 1965 untuk mendapatkan

18
keadilan. Namun demikian, harapan para korban akhirnya harus dikubur karena tak
lama setelah diundangkan UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006.26 MK berpendapat bahwa isi UU ini
justru mencederai penegakan hak asasi manusia karena pemberian kompensasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU ini digantungkan pada pemberian maaf
korban. Namun demikian, MK juga menyatakan ke-seluruhan muatan UU KKR
tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat karena pembatalan Pasal 27 akan
berimplikasi pada seluruh isi UU, sehingga UU KKR tidak akan bisa dilaksanakan.
Setidaknya ada dua hal terkait pelanggaran HAM 1965 yang mendesak
untuk segera mendapatkan perhatian dan keseriusan dari negara. Pertama, adalah
pengakuan negara akan terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM dalam
berbagai ragam format. Negara harus mengakui telah terjadi berbagai perampasan
hak asasi manusia berupa penyiksaan (torture), perampasan nyawa sewenang-
wenang yang disebut extrajudicial kill-ings terhadap ribuan hingga jutaan warga
negara, penahanan sewenang-wenang yang disebut extrajudicial detention terhadap
mereka yang diduga massa dan simpatisan PKI dan juga penghilangan status
kewarganegaraan yang dialami oleh ribuan warga negara. Pengakuan telah
terjadinya pelanggaran HAM ini penting karena pengakuan adalah titik awal
dimungkinkannya penyelesaian berbagai kasus tersebut. Pengakuan ini menjadi
penting pula karena akan mendatangkan kepastian adanya pihak yang bertanggung
jawab atas semua penderitaan yang dialami korban. Justru karena sekian lama kasus
ini dibiarkan tanpa ada pengakuan resmi dari negara, hingga kini ribuan orang
masih menanggung derita dan bahkan stigma negatif. Justru karena tidak ada yang
mengaku bersalah, maka korban selamanya akan menemui kesukaran untuk
memaafkan.
Negara harus memulihkan hak-hak mereka yang dilanggar, serta
memberikan kompensasi atas terlanggarnya hak asasi warga negara. Pemulihan ini
penting guna membersihkan dan melenyapkan beban sosial yang dipikul bahkan
oleh berbagai generasi yang tak bersangkut paut dan mengalami alienasi sosial.
Pemulihan ini adalah suatu konsekuensi logis, suatu tanggung jawab negara di
bawah hukum internasional atas pelanggaran hak asasi manusia yang pernah

19
dilakukannya. Dengan pemulihan (reparasi), semua stigma akan dihilangkan dan
para korban akan kembali mendapatkan hak-haknya.
Manakala penyelesaian dengan jalur hukum tidak memungkinkan
tercapainya keadilan dan justru menjanjikan masalah yang lebih besar,
penyelesaian dengan melalui jalur extra-judicial akan lebih mengena dan
memungkinkan penyelesaian yang melegakan. Penyelesaian di luar jalur hukum ini
adalah dengan suatu pernyataan pemerintah yang menyatakan telah terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 1965 yang menyangkut ribuan bahkan
jutaan manusia. Negara harus mengakui secara terbuka telah terjadi pelanggaran
hak asasi secara sistematik berupa penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan
terhadap orang-orang warga negara yang dianggap sebagai massa komunis.
Permohonan maaf kepada korban terkait kasus Tragedi 1965 disadari
bukannya lepas dari keberatan dan protes anggota masyarakat dan elite politik.
Skeptisisme yang kemungkinan besar akan muncul adalah adanya kekhawatiran
bahwa permohonan maaf dari negara terhadap korban Tragedi 1965 akan
menimbulkan gejolak dan memunculkan gerakan komunisme dan bangkitnya
Partai Komunis Indonesia. Akan dikhawatirkan bahwa munculnya kembali PKI dan
paham komunisme akan memecah belah dan membawa Indonesia kembali kepada
konflik horizontal. Namun demikian, kekhawatiran ini sesungguhnya tak beralasan
mengingat Partai Komunis Indonesia tetap dilarang untuk berdiri di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ideologi komunisme yang dianut oleh Partai
Komunis Indonesia, tak sesuai dengan Pancasila dan oleh karenanya pelarangan
Partai Komunis Indonesia adalah hal yang final.
Negara harus membedakan antara memohon maaf atas pelanggaran hak
asasi manusia yang wajib dilakukannya dengan menghidupkan paham komunisme
dan atau menghidupkan PKI. Memohon maaf dan mengakui kesalahan masa lalu
atas pelanggaran HAM bukanlah identik dengan menghidupkan seusuatu paham
yang dianut oleh warga negara yang dirampas haknya. Negara berkewajiban
menurut hukum internasional dan konstitusi untuk memohon maaf dan
memulihkan hak-hak warganya yang telah menjadi korban tindakan negara. Lebih
lanjut, permohonan maaf ini menjadi tonggak penting tercapainya rekonsiliasi
antara pelaku dan korban serta perwujudan tanggung jawab negara. Justru di sini

20
peran negara dan unsur-unsur masyarakat sipil terutama dari kalangan korban dan
masyarakat yang terlibat amat diperlukan guna menyosialisasikan hal ini agar tidak
disalahartikan oleh masyarakat dan kemudian menjadi konsumsi politik pihak-
pihak yang ingin memancing di air keruh dan atau yang tak beritikad baik mencapai
perdamaian. Terkait dengan korban dan pelaku yang melibatkan unsur negara dan
sesama masyarakat sipil, maka baik korban dan pelaku harus dilibatkan dalam
upaya penyelesaian ini. Baik korban maupun pelaku harus berdialog dalam upaya
rekonsiliasi dan perdamaian. Negara bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dapat bahu membahu dengan unsur masyarakat mengupayakan suatu
forum silaturahmi yang bertujuan untuk perdamaian. Pengakuan dan testimoni para
korban dan pelaku dapat dilakukan baik di level nasional maupun daerah.
Pendekatan model seperti ini memang tidak menjanjikan penghukuman dalam
kacamata legal seperti prisonisasi, namun lebih berpijak pada konteks real politics
yang ada dengan tujuan memulihkan dan memberikan kelegaan pada korban
sekaligus mengubur luka lama yang pernah ada.

21
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Simpulan
Secara teoritis HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi. HAM diperoleh dari penciptanya yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, merupakan hak yang tidak dapat diabaikan sebagai manusia. HAM
ada dan melekat pada setiap manusia, oleh karena itu bersifat universal, artinya
berlaku dimana saja dan untuk siapa saja serta tidak dapat diambil oleh siapapun.
Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat
kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau
berhubungan dengan sesama manusia,selain ada HAM, ada juga kewajiban yang
harus dilaksanakan demi terlaksananya atau tegaknya HAM. Dalam menggunakan
HAM, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati dan menghargai hak asasi
yang dimiliki oleh orang lain, Kesadaran terhadap HAM, harga diri, harkat dan
martabat kemanusiaannya yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Peristiwa G30S/PKI yang
biasa disebut dengan Gerakan 30 September adalah salah satu peristiwa
pemberontakan komunis yang terjadi pada malam hari tepatnya pada tanggal 30
September tahun 1965. Dalam peristiwa G30S/PKI terdapat pelanggaran dalam
beberapa hal, Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang
secara paksa. dalam penyelesaian penegakan ham pasca tragedi G30S/PKI, tokoh-
tokoh yang terlibat langsung dalam gerakan G30S/PKI tersebut diadili dan disidang
lalu di jatuhi hukuman mati, divonis hukuman seumur hidup, divonis masuk penjara
dengan rentang waktu sesuai keputusan. Adapun 4 upaya rekonsiliasi dan
perdamaian. Negara bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dapat
saling bahu membahu dengan unsur masyarakat yang bertujuan mengupayakan
suatu forum silaturahmi yang bertujuan untuk perdamaian.

22
DAFTAR PUSTAKA

Andylala Waluyo. 2015. Upaya Rekonsiliasi dalam Penyelesaian Tragedi 1965.


https://www.voaindonesia.com/a/upaya-rekonsiliasi-dalam-penyelesaian-
tragedi-65-/2985673.html pada 12 Desember 2020 pukul 19.30 WITA
Ars. 2013. Tindakan Hukum Terhadap Tahanan G30S/PKI. Diakses https://g30s-
pki.com/687-2/ pada 12 desember 2020 pukul 13.00 WITA
Wardaya, Manunggal Kusuma.2010. Keadilan Bagi Yang Berbeda Paham :
Rekonsiliasi dan Keadilan Bagi Korban Tragedi 1965. Jurnal Mimbar Hukum.
22(1):108-111.
Harkrisnowo, Harkristuti. n.d. “Pengantar Hak Asasi Manusia Dan Humaniter.” 1–
65.
Komnas HAM. 2012. “Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan
Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966.”
Komnas HAM. 2012. “Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan
Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966.”
Kholis, Nur.2012. Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan
Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966. pada 12 Desember
Triwahyuningsih,Susani.2018.Perlindungan Dan Penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM) Di Indonesia.Jurnal Hukum.Vol.2 No.2,hal 113-121.
Wardaya,Manunggal Kusuma.2010.Keadilan Bagi Yang Berbeda Paham:
Rekonsiliasi Dan Keadilan Bagi Korban Tragedi 1965.Jurnal Hukum.Vol 22 No
1.Hal 1-200.

23

Anda mungkin juga menyukai