Anda di halaman 1dari 19

MIKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM

IDENTIFIKASI DERMATOFITOSIS

Disusun oleh :

Azka Gyana Putri (411117117)

Fatimah Aulia Nurrohman (411117118)

Guntur Muhammad Maulana (411117119)

Lilis Siti Solihat (411117120)

Nurul Fadilah (411117122)

PROGRAM STUDI ANALIS KESEHATAN (D-3)

STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung

keratin atau stratum korneum seperti lapisan epidermis di kulit, rambut

dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatofita

meliputi Microsporum, Epidermophyton, dan Trichophyton. Jamur lainnya

dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian

dalam. Timbulnya infeksi dermatofita pada kulit manusia didukung oleh

kelembaban, kehangatan, komposisi sebum dan keringat, usia muda, dan

kontak dengan jamur dalam jangka waktu yang lama. Jamur yang

berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau

menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).

Data WHO menyebutkan bahwa 20% populasi dunia mengalami

infeksi ini dengan tipe terbanyak adalah tinea korporis diikuti dengan tinea

kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Penyakit infeksi jamur di kulit

mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena negara kita

beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Manifestasi klinis bervariasi

dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan

diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penatalaksanaannya.

Predisposisi infeksi dermatofita dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan

faktor pejamu. Lingkungan yang lembab dan kotor, tingkat kebersihan

dan sanitasi yang tidak memadai merupakan faktor lingkungan yang

mempermudah infeksi dermatofitosis.


Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena

menyerang masyarakat luas. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial

terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Dermatofitosis

ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan

golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana

golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Selain sifat

keratolitik masih banyak sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya

sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk

pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.

Onikomikosis merupakan infeksi kuku yang disebabkan oleh

jamur. Khusus untuk infeksi kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita

dikenal dengan istilah tinea unguium. Dibandingkan dengan semua

penyakit kulit insidennya sekitar 0,5%, angka ini terbilang rendah

sehingga mengesankan onikomikosis merupakan penyakit yang under-

reported. Perubahan kuku pada onikomikosis dapat terjadi dalam bentuk

yang bervariasi seperti destruksi pada lempeng kuku, onikolisis,

hiperkeratosis subungual, penebalan dan perubahan warna pada

lempeng kuku. Temuan klinis onikomikosis biasanya tidak spesifik dan

banyak kelainan kuku yang memperlihatkan gambaran distrofik yang

sama seperti trauma pada kuku, psoriasis dan bahkan beberapa kanker

kulit. Berdasarkan uraian diatas kelompok kami akan melakukan

praktikum tentang dermatofitosis dengan sampel pasien yang dicurigai

mengalami onikomikosis.
1.2 Perumusan masalah

Apa pengertian dermatofitosis?

Apa klasifikasi dermatofitosis?

Apa klasifikasi onikomikosis?

Bagaimana cara penularan dermatofitosis?

1.3 Tujuan praktikum

Untuk mengetahui pengertian dermatofitosis.

Untuk mengetahui klasifikasi dermatofitosis,

Untuk mengetahui klasifikasi onikomikosis.

Untuk mengetahui cara penularan dermatofitosis.

Untuk mengidentifikasi jamur yang tumbuh pada sampel yang dicurigai

mengalami onikomikosis.

1.4 Manfaat praktikum

Mahasiswa mampu melakukan identifikasi jamur pada sampel yang

dicurigai mengalami oniomikosis, serta dapat menambah wawasan dan

pengetahuan tentang dermatofitosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh

dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan

menggunakannya sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan

berkeratin, seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku

(Verma, 2008).

Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit

superfisial. Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap

keratin dan menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan

mereka mampu berkolonisasi pada jaringan keratin (Koksal, 2009).

Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,

Microsporum, dan Epidermophyton yang dikelompokkan dalam kelas

Deuteromycetes (Erviyanti, 2002). Dari ketiga genus tersebut telah

ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies

Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton (Wollf, 2005). Dari 41 spesies

yang telah dikenal, 17 spesies diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5

spesies Microsporum menginfeksi kulit dan rambut, 11 spesies

Trichophyton menginfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies

Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku

(Budimulya, 2007).

Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi

berbeda beda pada tiap negara (Abbas, 2012). Penelitian World Health 9
Organization (WHO) terhadap insiden dari infeksi dermatofit menyatakan

20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi

tinea korporis merupakan tipe yang paling dominan dan diikuti dengan

tinea kruris, pedis, dan onychomycosis (Lakshmipathy, 2013).

2.2 Klasifikasi dermatofitosis

Dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang

dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu :

a) Tinea Kapitis: dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala

b) Tinea Barbe: dermatofitosis pada dagu dan jenggot

c) Tinea Kruris: dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,

bokong, dan kadang - kadang sampai perut bagian bawah

d) Tinea Pedis et Manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan

e) Tinea Unguium : dermatofitosis pada jari tangan dan kaki

f) Tinea Korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk

bentuk 5 diatas (Djuanda, 2010).

Dermatofita adalah jamur yang paling sering menyebabkan

onikomikosis di negara-negara barat beriklim. Dermatofita terbagi dalam

3 genus, yaitu Microsporon, Epidermophyton dan Trichophyton.

Trichophyton rubrum menyebabkan sekitar 70% kasus dan Trichophyton

mentagrophytes 20% dari semua kasus. Dermatofita lain yang mungkin

terlibat adalah Trichophyton interdigitale, Epidermophyton floccosum,

Trichophyton violaceum, Microsporum gypseum, Trichophyton tonsurans,

Trichophyton soudanense (dianggap oleh sebagian orang Afrika varian T.

rubrum daripada spesies penuh) dan Trichophyton verrucosum.


Microsporum merupakan kelompok dermatofita yang bersifat

keratofilik, hidup pada tubuh manusia (antropofilik) atau pada hewan

(zoofilik). Koloni Microsporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool

atau powder. Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25°C

mungkin melambat atau sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi

1 - 9 cm setelah 7 hari pengeraman. Warna dari koloni bervariasi

tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol halus yang

masih putih atau menguning sampai cinamon.

Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton

floccosum dan Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal

sebagai non-patogenik, sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang

menyebabkan infeksi pada manusia. E. floccosum adalah satu penyebab

tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat. Menginfeksi kulit (tinea

corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan kuku (onychomycosis). Infeksi

terbatas kepada lapisan korneum kulit luar.koloni E. floccosum tumbuh

cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu 25 ° C pada

agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklatan.

Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah,

binatang atau manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas

anthropophilic, zoophilic, dan geophilic. Trichophyton concentricum

adalah endemic pulau Pacifik, Bagian tenggara Asia, dan Amerika Pusat.

Trichophyton adalah satu penyebab infeksi pada rambut, kulit, dan kuku

pada manusia.

Sementara itu, Candida dan jamur non-dermatofita lebih sering

terlibat di daerah tropis dan subtropis dengan iklim panas dan lembab.
Onikomikosis nondermatofita disebabkan oleh jamur (Fusarium spesies,

Scopulariopsis brevicaulis, Aspergillus spesies) menjadi lebih umum di

seluruh dunia, jumlahnya hingga 15% dari kasus di beberapa negara.

Onikomikosis adalah setiap infeksi kuku yang disebabkan oleh

jamur dermatofita, nondermatofita, atau ragi (yeast). Patogenesis

onikomikosis diawali dengan masuknya fungi lewat permukaan lempeng

kuku, celah lipat kuku lateral, dan proksimal serta hiponikium. Setelah

terjadi perlekatan awal, selanjutnya jamur mengalami pertumbuhan,

germinisasi, dan penetrasi pada jaringan kuku. Penetrasi fungi pada

lempeng kuku mulai dari ventral sampai bantalan kuku (nail bed). Seluruh

lapisan kuku terpenetrasi oleh fungi, lebih banyak pada rongga

interselular. Kondisi ini secara bertahap akan menyebabkan kuku menjadi

rusak (Nelson, 2003).

2.3 Klasifikasi onikomikosis

Manifestasi klinis onikomikosis dipengaruhi oleh pola invasi jamur

terhadap kuku, dan dikenal menjadi 5 klasifikasi onikomikosis sebagai

berikut: (Bramono, 2013)

1. Onikomikosis Subungual Distal dan Lateral (OSDL), merupakan

tipe yang paling banyak ditemukan pada onikomikosis subungual

distal dan lateral jamur melakukan invasi melalui hiponikium di

bagian distal atau lipat kuku lateral lalu menuju ke lempeng kuku

yang menyebar ke bagian proksimal. Secara klinis, kuku 4 tampak

kusam dan perubahan warna (diskromasi) menjadi putih

kekuningan, coklat hingga hitam di bagian distal maupun lateral,

onikolisis dan hiperkeratosis subungual. OSDL juga sering disertai


dengan dermatofitoma yaitu penebalan kuku bentuk longitudinal

atau oval berwarna kekuningan atau putih yang berisi jamur.

2. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP), infeksi jamur dimulai

dari lipatan kuku proksimal melalui kutikula yang meluas ke distal,

tampak area berwarna putih di bawah lipatan kuku proksimal,

onikolisis, hiperkeratosis, dan bercak atau garis transversal.

3. Onikomikosis Superfisial (OS), varian klinis ini jarang ditemukan

dan sering terdapat pada pasien imunokompromais. OS terjadi

apabila jamur menginvasi langsung lapisan superfisial lempeng

kuku, ditandai dengan bercak atau garis transversal berwarna

putih keruh berbatas tegas dan dapat berkonfluens.

4. Onikomikosis Endoniks (OE), pada onikomikosis endoniks, jamur

menginfeksi lapisan superfisial lempeng kuku dan berpenetrasi

hingga lapisan dalam. Secara klinis, kuku tampak berwarna putih

seperti susu dan adanya pelepasan kuku secara lamelar.

5. Onikomikosis Total Distrofik (OTD), terbagi menjadi dua varian,

antara lain onikomikosis total distrofik primer yang ditemukan

pada kandidiasis mukokutan kronik atau imunokompromais dan

onikomikosis total distrofik sekunder merupakan kondisi lanjut dari

keempat bentuk onikomikosis sebelumnya. Pada OTD, kuku

tampak penebalan difus, warna kuning kecoklatan, disertai

pembengkakan falangs distal.

2.4 Cara penularan

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:


1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik

secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam

renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa

reaksi keradangan (silent “carrier”).

2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui

kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang

yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan

pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman

hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi,

kuda dan mencit.

3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis

menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.6 Untuk

dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi

pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus

mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu,

serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu

bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan

suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak

dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang (Cholis, 2004).

Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:

perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta

pembentukan respon pejamu. respons imun pejamu terdiri dari dua

mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat dan

imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu

dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung


mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian

kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat

meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik

(Verma, 2008).

Anamnesis dan gambaran klinis saja pada umumnya sulit untuk

memastikan diagnosis, maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk

menegakkan diagnosis dan mengetahui penyebab onikomikosis.

Pemeriksaan penunjang tersebut yaitu pemeriksaan mikroskopik

langsung dan pemeriksaan dengan biakan atau kultur untuk identifikasi

jamur penyebab, pemeriksaan dengan dermoskopi dan histopatologi

(Bramono, 2013).
BAB III

ALAT DAN BAHAN

3.1 Tabel alat yang digunakan pada praktikum

No Nama alat Spesifikasi

1. Gunting kuku -

2. Cawan petri Ø 15 cm

3. Objek glass 25,4 x 76,2 mm

4. Cover glass -

.5. Ose tusuk Kawat NiCr

6. Mikroskop Fase kontras

3.2 Tabel bahan yang digunakan pada praktikum

No Nama bahan Spesifikasi

1. Media SDA PA (Pro Analisa)

2. Alkohol 70%

3. Sampel dermatofitosis Kuku

4. LPCB (Lactopenol Conten Blue) PA (Pro Analisa)


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil praktikum

Gambar Keterangan

Sampel berupa kuku yang dicurigai

mengalami onikomikosis. Diambil

potongan kuku dan ditanamkan di

media SDA.

Penanaman pada media SDA yaitu

diperoleh pertumbuhan jamur dengan

hasil,

Diameter : 3,5 x 4,5 cm

Warna koloni atas : putih

Warna koloni bawah : orange

Permukaan koloni : cotton

(koloni atas)
(koloni bawah)

Hasil pemeriksaan mikroskopik

menggunakan pewarnaan LPCB

diperoleh jenis jamur Rhizopus sp.

Bentuk spora : sporangiospora

Hifa : tidak bersepta

4.2 Pembahasan

Onikomikosis merupakan infeksi jamur pada kuku yang disebabkan

oleh jamur dermatofita (tinea unguium), kapang nondermatofita, dan ragi.

Penyakit ini dapat terjadi pada matriks, nail bed, atau nail plate.

Onikomikosis dapat mengakibatkan rasa nyeri, tidak nyaman, dan

terutama tampilan kurang baik. Kejadian ini meningkat


seiring bertambahnya usia, dikaitkan dengan penurunan sirkulasi perifer,

diabetes, trauma berulang pada kuku, pajanan lebih lama terhadap jamur,

imunitas yang menurun, serta menurunnya kemampuan merawat kuku.

Jamur yang dapat menyebabkan dermatofitosis diantaranya

Microsporum, Epidermophyton, dan Trichophyton. Menurut Harahap

(2000) ada tiga genus spesifik yang menginfeksi kulit dan jaringan

berkeratin antara lain

1. Trichophyton, menginfeksi kulit, rambut dan kuku.

2. Microsporum, menginfeksi rambut dan kulit.

3. Epidermophyton, menginfeksi kuku dan kulit.

Pada praktikum kali ini yaitu identifikasi dermatofitosis. Kelompok

kami menggunakan sampel berupa kuku yang dicurigai mengalami

onikomikosis. Ciri - ciri dari kuku tersebut warnanya kusam,agak

kehitaman, mudah rapuh, serta bentuknya berbeda dengan kuku normal.

Potongan kuku diambil dan ditanamkan di media SDA selama ±4 hari.

Hasil pengamatan koloni di media SDA diperoleh koloni berwarna

putih dan permukaannya seperti kapas dengan diameter 3,5 x 4,5 cm.

Kemudian diamati secara mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan

LPCB. Hasilnya diperoleh jenis jamur Rhizopus sp. dengan bentuk spora

sporangiospora dan hifa tidak bersepta. Rhizopus sp. merupakan genus

jamur benang yang termasuk filum Zygomycota ordo Mucorales.

Rhizopus sp. mempunyai ciri khas yaitu memiliki hifa yang membentuk

rhizoid untuk menempel ke substrat. Ciri lainnya adalah memiliki hifa

coenositik, sehingga tidak bersepta atau bersekat. Miselium dari

Rhizopus sp. yang juga disebut stolon menyebar diatas substratnya


karena aktivitas dari hifa vegetatif. Rhizopus sp. bereproduksi secara

aseksual dengan memproduksi banyak sporangiofor yang bertangkai.

Sporangiofor ini tumbuh kearah atas dan mengandung ratusan spora.

Sporagiofor ini biasanya dipisahkan dari hifa lainnya oleh sebuah dinding

seperti septa. Salah satu contohnya spesiesnya adalah Rhizopus

stonolifer yang biasanya tumbuh pada roti basi. (Postlethwait dan

Hopson, 2006).

Dari hasil pengamatan pada koloni serta pengamatan secara

mikroskopis diperoleh jamur non dermatofitosis hal ini dapat terjadi

kemungkinan karena media pertumbuhan yang digunakan sudah

terkontaminasi jamur lain, dan jamur kontaminan tersebut

pertumbuhannya lebih cepat. Sehingga jamur yang tumbuh hanya jamur

non dermatofitosis.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum identifikasi dermatofitosis dengan sampel

kuku diperoleh jamur non dermatofitosis. Jamur yang tumbuh merupakan

jamur golongan Rhizopus sp. yang kemungkinan merupakan kontaminan.

5.2 Saran

 Bagi masyarakat

Dengan melihat banyaknya kalangan masyarakat yang sering

terkena penyakit dermatofitosis yaitu masyarakat yang pekerjaannya

berkontak langsung dengan lingkungan luar dan matahari (panas).

Saran dari kami senantiasa menjaga kebersihan untuk menghindari

resiko terkena jamur. Pada masyarakat yang sudah terkena

dermatofitosis segeralah melakukan pengobatan untuk menghindari

penularan pada orang lain.

 Bagi praktikan

Dapat melakukan identifikasi dengan tepat, serta menambah

populasi penelitian agar subjek yang diteliti lebih bervariasi


DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas KA, Mohammed AZ, Mahmoud SI. 2012. Superficial Fungal

infections. Mustansiriya Medical Journal. 11:75-7

2. Bramono K. Onikomikosis. Dalam: Bramono K, Suyoso S, Indriatni W,

Ramali LM, WIdaty S, Ervianti E, editor. Dermatomikosis Superfisialis

Pedoman untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI;2013.p.86-99.

3. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI; 2007. h. 89–105. 9.

4. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Budimulya U,

Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor.

Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2004. h. 7–18.

5. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan

Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan

Kelamin FK UI.

6. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. Etiologi dan Patogenesis

Dermatomikosis Superfisialis. Simposium Penatalaksanaan

Dermatomikosis Superfisialis Masa Kini; 11 Mei 2002; Surabaya,

Indonesia.

7. https://www.academia.edu/36425404/Makalah_PENYAKIT_DERMATOFI

TOSIS

8. Koksal F, Er E, Samasti M. 2009. Causative Agents of Superficial

Mycoses in Istanbul. Turkey: Mycopathologia. 168(3):117-23.


9. Lakshmipathy TD, Kannabiran K. 2013. Review on dermatomycosis:

pathogenesis and treatment. Natural Science. Tersedia pada:

http://www.scirp.org/journal/NS/.

10. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infection:

dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. Dalam: Freedberg

IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.

Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York:

McGraw-Hill, 2003: 1989-2005.

11. Postlethwait dan Hopson. 2006. Modern Biology. Holt, Rinehart and

Winston. Texas.

12. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,

Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,

Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1807–21.

13. Wollf K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis

of Clinical Dermatology. 5 th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.

Anda mungkin juga menyukai