Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komposit polimer konduktif telah digunakan dalam berbagai aplikasi
teknologi, seperti: sensor (Kaur, 2015), touch screen (Lim dkk, 2017), dan smart
window (Andrei dkk, 1994). Komposit polimer konduktif dibuat dengan cara
mencampurkan polimer dengan nanopartikel konduktif yang umumnya digunakan
sebagai filler, seperti: AgNW (silver nanowire) (Mao dkk, 2016), CNTs (carbon
nanotubes) (Mittal dkk, 2015, Ma dkk, 2010), dan graphene (Hu dkk, 2014).
Penggabungan nanopartikel ke dalam polimer bertujuan untuk memperbaiki
berbagai sifat fungsional seperti: sifat mekanik (Jan dkk, 2016), sifat konduktif
(Yao dkk, 2014, Brennan dkk, 2017), optik (Li dkk, 2010), dan magnetik (Li dkk,
2010).
Penelitian ini mencoba membuat komposit polimer konduktif
menggunakan graphene sebagai filler dan gliserol sebagai plasticizer. Graphene
dipilih sebagai filler karena keunggulan sifat yang dimilikinya sehingga dapat
menghasilkan polimer dengan sifat transparan, konduktif, fleksibel dan
biodegradable.
Graphene adalah monolayer dua dimensi dari atom sp2-karbon. Graphene
merupakan material yang ideal untuk menghasilkan komposit polimer konduktif
karena konduktivitas listriknya yang tinggi (106 s/cm), rasio diameter dan sifat
mekanik yang baik (Zhoou dkk, 2013). Graphene dinilai sangat layak
menggantikan ITO (indium tin oxide), yang mendominasi komponen penyusun
perangkat elektronik seperti LCD (liquid crystal display), (LED) light emitting
diode, teknologi layar sentuh, dan solar cell. ITO memiliki banyak kelemahan
yang dinilai tidak relevan digunakan sebagai komponen perangkat elektronik. ITO
adalah keramik yang memiliki sifat rapuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan
pada perangakt elektronik. Inovasi memperbaiki sifat transparent conductive
muncul dengan mengganti ITO dengan graphene yang memiliki sifat elektrik dan
mekanis yang baik.
1.2 Rumusan Masalah
Sifat kelistrikan dan mekanis adalah faktor penting dalam keberhasilan
pembuatan polimer konduktif untuk diaplikasikan lebih jauh pada pabrikasi
perangkat elekronik. Penelitian dalam peengembangkan polimer konduktif pernah
dilakukan, namun masih membutuhkan inovasi agar dihasilkan polimer konduktif
yang ideal untuk digunakan lebih lanjut pada perangakat elektronik.
Penelitian menggunakan graphene untuk meningkatkan sifat mekanis
telah dilakukan oleh Wang dkk (2011). Wang dkk (2011) melakukan sintesis film
konduktif berbasis PVA (polyvinyl alcohol) dan graphene dengan penambahan
graphene oxide. Komposit yang disintesis menunjukkan perbaikan yang
signifikan dalam stabilitas termal dan sifat mekanik pada penambahan graphene.
Penambahan graphene menghasilkan peningkatan kekuatan tarik 212% dan
pemanjangan saat putus 34% dibandingkan dengan PVA murni. Film konduktif
terbaik diperoleh dengan penambahan graphene 0,5 %wt dengan tensile strength
yang diperoleh sebesar 14,55 ± 0,2 MPa. Penambahan graphene juga memberikan
perubahan terhadap permukaan film dari hidrofilik menjadi hidrofobik sehingga
meningkatkan ketahanan air PVA. Berdasarkan hasil yang diperoleh, graphene
sangat efektif sebagai filler, dan dapat digunakan untuk nanokomposit praktis.
Osamah dkk (2017) melakukan sistesis film konduktif menggunakan
campuran pati, PVA, dan graphene. Konduktivitas listrik maksimal yang
diperoleh sangat rendah, yaitu sebesar 7 x 10-4 s/m. Rendahnya konduktivitas
listrik disebabkan permukaan film yang tidak halus. Film yang disintesis dari pati
menyebabkan terbentuknya aglomerasi yang menghambat arus untuk mengalir
pada film. Berdasarkan sifat konduktif film konduktif berbasis PVA dengan
penambahan graphene, modifikasi PVA adalah upaya yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki sifat konduktif. Pasalnya, graphene memiliki konduktivitas listrik
yang sangat tinggi. Konduktivitas listrik yang sangat berbeda jauh dari
konduktivitas listrik filler menandakan bahwa graphene tidak bekerja dengan baik
pada PVA murni sehingga membutuhkan perubahan atau modifikasi.
Beberapa penelitian mengkaji tentang sifat termal dan mekanis PVA
sebagai pada pembuatan film. PVA memiliki persentase elongasi yang rendah,
suhu dekomposisi yang buruk, dan suhu transisi kaca yang tinggi. Kekurangan
tersebut mempengaruhi pemanfaatan PVA secara luas, termasuk pada film. Jia
dkk (2014) mengamati sifat mekanis PVA dengan menambahkan gliserol. Sifat
mekanis PVA yang telah dimodifikasi dengan gliserol tampak lebih baik daripada
PVA murni. Perpanjangan saat putus PVA dan PVA/Gliserol masing-masing
sebesar 210,58% dan 360,20%. Kekuatan tarik PVA dan PVA/Gliserol masing-
masing 32,26 MPa dan 17,12 MPa. Penambahan gliserol mengurangi intensitas
ikatan hidrogen pada molekul PVA. Pengurangan ikatan hidrogen tersebut
disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen antara gliserol dan PVA. Pengurangan
intensitas ikatan hidrogen dalam PVA menunjukkan bahwa gliserol memberikan
efek plasticizing untuk PVA sehingga meningkatkan sifat mekanis pada film.
Mohsin dkk (2011) mengatakan bahwa PVA dengan penambahan gliserol
memiliki karakteristik pembentukan film yang sangat baik. Semua campuran
polivinil alkohol dengan berbagai persentase berat gliserol, memiliki karakteristik
pembentukan film yang sangat baik. Film campuran yang dihasilkan homogen
dan transparan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa gliserol membentuk interaksi
yang menguntungkan dengan PVA melalui interaksi ikatan hidrogen
antarmolekul. Peningkatan persentase gliserol menurunkan suhu lelehan PVA
dengan perluasan puncak endotermik, yang mengindikasikan bahwa asosiasi
teratur molekul PVA menurun. Gliserol berfungsi sebagai plasticizers dalam
campuran, yang mengurangi interaksi antara makromolekul sehingga
mengakibatkan penurunan kekerasan dan juga modulus elastis. Film yang
dihasilkan homogen dan transparan. Sifat elongasi film semakin baik seiring
penambahan gliserol pada PVA.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya baik
pada topik pembuatan film berbasis PVA dengan penambahan graphene maupun
topik yang mengkaji modifikasi PVA dengan gliserol memberikan gagasan
penting pada penelitian ini. Penelitian ini memfokuskan sintesis film konduktif
berbasis PVA dengan penambahan gliserol. Penambahan gliserol diperkirakan
akan memperbaiki sifat mekanis pada film sehingga akan mempengaruhi sifat
polimer konduktif film.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu :
1. Menentukan sifat mekanis komposit polimer konduktif berbasis PVA
dengan variasi penambahan graphene dan gliserol.
2. Menentukan sifat konduktif dan transparansi (figure of merit) dari
komposit polimer konduktif berbasis PVA dengan variasi
penambahan graphene dan gliserol.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini yaitu :
1. Memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan graphene dan
gliserol terhadap sifat mekanis dan sifat konduktif polimer konduktif
berbasis PVA.
2. Memberikan informasi mengenai komposisi terbaik antara
penambahan graphene gliserol terhadap sifat mekanis dan sifat
konduktif polimer konduktif berbasis PVA.

1.5 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboraturium Material dan Korosi Fakultas
Teknik Universitas Riau selama 3 bulan.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan usulan penelitian ini mencakup tiga bab yang berisikan
pendahuluan, tinjauan pustaka dan metodologi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian latar belakang masalah yang mendasari dilakukannya
penelitian ini, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, serta waktu dan tempat pelaksanaan penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka mengenai komposit polimer konduktif,
polyvinylalcohol (PVA), gliserol, graphene, preparasi komposit polimer
konduktif, serta uji mekanis dan konduktif komposit polimer konduktif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini berisi uraian tentang uraian langkah-langkah penelitian yang
dilakukan meliputi bahan, alat yang digunakan, variabel tetap, variabel
berubah dan analisa-analisa yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polimer Nanokomposit


Polimer adalah molekul raksasa yang terbentuk dari gabungan molekul
sederhana, yang dinamakan monomer. Polimer telah menghasilkan inspirasi pada
berbagai aplikasi karena pengolahan yang mudah dan sifat mekanik yang baik.
Perkembangan bidang nanoteknologi telah mempengaruhi perkembangan polimer
dengan melakukan penelitian tentang polimer nanokomposit. Nanokomposit
merupakan struktur padat dengan dimensi berskala nanometer yang tersusun
secara berulang. Material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua atau lebih
molekul dalam beberapa bentuk kombinasi dengan minimal satu molekul
berukuran nano. Penggabungan nanopartikel ke dalam polimer bertujuan untuk
memperbaiki berbagai sifat fungsional (seperti sifat mekanik, termal, optik,
magnetik, dan listrik). Efektifitas pemanfaatan nanopartikel pada polimer sangat
dipengaruhi oleh pendistribusian nanopartikel pada matriks. Selain itu,
pemahaman tentang metode sintesis, morfologi, dan sifat fungsional
nanokomposit akan membantu dalam mengoptimalkan sifat nanokomposit (Mago
dkk, 2011).

2.2 Preparasi Polimer Nanokomposit


2.2.1 Metode Tradisional
Dalam dua dekade terakhir, banyak metode preparasi polimer nanokomposit
yang dikembangkan. Adapun metode tersebut yaitu: solution mixing (Geng dkk,
2002), melt mixing (Kalaitzidou, 2007), polimerisasi in-situ (Xu dkk, 2010, M dan
Winey, 2006) dan metode lainnya (M dan Winey, 2006). Metode tradisional akan
dijelaskan secara detail sebagai berikut:

(1). Pencampuran Larutan (Solution Mixing)


Solution mixing adalah metode yang mudah dan efektif untuk fabrikasi
polimer nanokomposit (Bhattacharya dkk, 2016). Proses solution mixing
digambarkan dalam tiga step yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pertama,
nanofillers dan polimer didispersikan dalam larutan secara terpisah. Kemudian,
nanofillers dan larutan polimer dicampurkan, baik menggunakan proses sonikasi
ataupun pengadukan mekanis. Terakhir, campuran diuapkan untuk
menghilangkan pelarut sehingga diperoleh polimer nanokomposit (Bhattacharya
dkk, 2016).

Gambar 2.1 Solution Mixing

(2). Pencamuran Leburan (Melting-mixing)


Proses melting mixing adalah cara alternatif untuk mengatasi masalah
pencampuran larutan (Gacitua dkk, 2005). Nanofillers secara mekanis dicampur
menggunakan mixer ke dalam matriks termoplastik pada suhu di atas titik leleh,
seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2. Metode melting mixing masih terdapat
beberapa kekurangan, seperti interaksi antar muka yang lemah antara nanofiller
dan matriks termoplastik, kecenderungan agregasi karena energi permukaan yang
tinggi, dan viskositas matriks termoplastik yang tinggi, yang bertentangan dengan
dispersi halus nanofillers.
Gambar 2.2 Melt Mixing
(3). Polimerisasi in-situ
Polimerisasi in-situ dikembangkan untuk memperolah dispersi nanofillers
yang baik dalam matriks polimer. Nanofillers menyebar ke dalam monomer atau
pra-polimer, kemudian polimerisasi berlangsung dengan menyesuaikan suhu
(Mittal dkk, 2015), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Selain dispersi
seragam nanofillers dalam matriks polimer, polimerisasi in-situ juga memberi
kesempatan untuk merancang interaksi antar muka yang berbeda antara
nanofillers dan matriks polimer dan menghindari degradasi matriks polimer
(Bhattacharya dkk, 2016).

Gambar 2.3 In-situ Polymerization

2.2.2 Metode Bioinspired


Beberapa metode bioinspired yang digunakan dalam pembuatan polimer
nanokomposit yaitu: layer-by-layer (Richardson dkk, 2015), evaporation (Wang
dkk, 2013), filtration (Wang dkk, 2012), freeze casting (Munch dkk, 2008),
hydrogel casting (Li dkk, 2014) dan electrophoretic deposition (Long dkk, 2007) .
Metode ini dapat mewujudkan dispersi homogen dan interaksi antar muka pada
polimer nanokomposit (Wan dkk, 2016). Skema metode bioinspired dapat dilihat
pada Gambar 2.4. Metode bioinspired akan dijelaskan secara detail sebagai
berikut:

Gambar 2.4 Metode Bioinspired

(1). Layer-by-layer
Metode LBL (layer-by-layer) pertama kali dilakukan oleh Decher dkk
(1991) untuk membuat film multilayer yang menambahkan polielektrolit dengan
muatan berlawanan pada antarmuka padat-cair berdasarkan mekanisme attraction
electrostatic (Decher dkk, 1991, Macchetta dkk, 2009). LBL sangat baik
digunakan dalam pabrikasi film tipis, yang membentuk sifat optik, elektrik dan
kimia yang unik. Proses teknologi layer-by-layer digambarkan pada Gambar
2.4A. Substrat diolah terlebih dahulu, kemudian film dimasukkan kedalam larutan
agar diserap oleh substrat.

(2). Evaporation
Dibandingkan dengan teknik LBL, proses evaporation telah dikembangkan
untuk mempersiapkan polimer nanokomposit di laboratorium. Dalam proses
evaporation, nanosheet dalam larutan cenderung diatur dalam struktur energi
yang rendah dengan pelepasan pelarut, sehingga membentuk struktur teratur
berlapis. Metode evaporation dapat dilihat pada Gambar 2.4B.
(3). Filtration
Serupa dengan metode evaporation, filtration adalah metode lain yang
sederhana dan efektif dalam pembuatan polimer nanokomposit (Wan dkk, 2016).
Metode filtration dapat dilihat pada Gambar 2.4C. Pada proses pembuatan
komposit polimer, metode fitration menggunakan alat vakum, nanosheet dalam
suspensi bisa diendapkan pada permukaan saringan dan disusun agar membentuk
struktur berlapis yang teratur dengan aliran pelarut.

(4). Freeze casting


Dalam air laut,terdapat garam, organisme biologis, dan lain-lain, namun es
bisa membentuk matriks kristal meskipun air mengandung kotoran dan
kotorannya bisa dikeluarkan ke celah es (Macchetta dkk, 2009). Terinspirasi oleh
fenomena ini, teknik freeze casting mulai dikembangkan. Metode freeze casting
dapat dilihat pada Gambar 2.4D. Pada mekanisme freeze casting, es yang tumbuh
membentuk mikrostruktur lamellar selama pembekuan dan perancah keramik
yang seragam dan berlapis, dibentuk oleh partikel keramik yang berkonsentrasi di
celah es (Devile, 2006). Freeze casting merupakan metode pencetakan yang
digunakan untuk mentransmisikan struktur yang kompleks. Sejak dikembangkan
pada tahun 2006, freeze casting telah digunakan untuk pembuatan bahan keramik
berpori (Devile, 2006). Freeze casting adalah metode yang ramah lingkungan dan
murah dikembangkan dalam pabriasi polimer nanokomposit (Cheng dkk, 2017).
Pendekatan lapisan es yang dimodifikasi ini menunjukkan beberapa keuntungan,
seperti fraksi anorganik tinggi, mineralisasi ambien, dan perakitan bahan labil
panas.

(5). Hydrogel Casting


Hydrogen casting merupakan metode yang cepat, efektif dan ekonomis
untuk mempersiapkan polimer nanokomposit (Bai dkk, 2011), terutama untuk
polimer nanokomposit berbasis GO (Xiong dkk, 2015). GO berbasis hidrogel
menunjukkan konsentrasi gelasi kritis rendah dan reversibilitas yang sangat baik
pada rangsangan kimia (Bai dkk, 2011). Hydrogel casting adalah pendekatan yang
sederhana dan layak untuk pembuatan polimer nanokomposit melalui interaksi
antar muka yang berbeda (Li dkk, 2014, Bai dkk, 2011). Metode hydrogel casting
dapat dilihat pada Gambar 2.4E.

(6). Electrophoretic Deposition


Electrophoretic deposition telah menarik banyak perhatian karena waktu
proses cepat, biaya yang rendah dan kemampuan pengendaliannya. Sebagai
metode umum, electrophoretic deposition telah banyak digunakan dalam proses
keramik dan koloid. Pada saat ini, metode electrophoretic deposition dinilai tepat
untuk membuat polimer nanokomposit tipis dengan struktur laminasi yang baik
(Wan dkk, 2016). Metode electrophoretic deposition dapat dilihat pada Gambar
2.4F. Sebagai contoh, proses electrophoretic deposition melibatkan dua langkah,
yaitu: partikel bermuatan dipindahkan ke elektroda yang diberi muatan dari
medan listrik, kemudian terbentuk lapisan tipis pada permukaan elektroda. Lin
dkk (2009) melaporkan bahwa metode electrophoretic deposition sangat baik
untuk pembuatan polimer nanokomposit dengan permukaan yang besar dan
struktur berlapis.

2.3 Coating Transparan Konduktif


TCO (Transparent Conductive Oxide) pertama kali diteliti oleh Badeker
(1907). Awalnya, TCO adalah film tipis CdO yang dibuat dengan cara
mengoksidasi secara termal film sputtered dari logam cadmium. Pada saati ini,
CdO tidak banyak digunakan karena permasalahan toksisitas yang berbahaya
terhadap lingkungan. Pengembangan berikutnya terjadi pada tahun 1937, Bauer
melaporkan metode pengendapan dalam pembuatan TO (tin oxide).
Pengembangan transparent conductive lebih lanjut dilakukan oleh Rupprecht
(1954) yang menghasilkan konduktivitas sekitar 10 S.cm-1. Sejak tahun 1957, film
TCO telah mengalami perkembangan secara signifikan, yang dapat dilihat dalam
aplikasinya, mulai dari jam tangan digital hingga layar komputer atau jenis layar
lainnya.
Pada saat ini, transparent conductive telah mengalami banyak
perkembangan, terutama inovasi pemanfaatan material sebagai filler untuk
menghasilkan transparent conductive, seperti silver nanowire (Chen dkk, 2017),
graphene (Imae dkk, 2017), dan carbon nanotubes (Zhang dkk, 2017).
Perkembangan tidak hanya dilakukan pada material yang digunakan untuk
penyusun transparent conductive, tetapi juga pada sifat transparent conductive
agar ramah terhadap lingkungan. Transparent conductive kini disintesis dari
matriks yang bersifat biodegradable seperti polyvinylalcohol (Singh dkk, 2017,
Kim dkk, 2015, Poliani dkk, 2012)

2.4 Komponen Transparan Konduktif


2.4.1 PVA (Polyvinyl Alcohol)
PVA adalah polimer sintetis yang larut dalam air. Kelarutan PVA dalam air
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti; tingkat hidrolisis, berat molekul dan
distribusi berat molekul, distribusi ukuran partikel, dan kristalinitas. PVA sangat
tepat digunakan dalam pembuatan campuran biodegradable. Beberapa penelitian
mengkaji tentang sifat optik dan listrik dari polimer untuk diaplikasikan perangkat
optik dan elektronik (Uma dkk, 2002).
PVA secara luas digunakan sebagai pengental, bahan pengatur tekstil,
pelapis kertas dan pelepas liner. Kelistrikan PVA telah dipelajari untuk
memahami sifat muatan transpor, dan sifat soptik juga telah dipelajari untuk
mencapai sifat refleksi, antirefleksi, interferensi dan polarisasi yang lebih baik.
PVA adalah salah satu bahan polimer yang memiliki kekuatan dielektrik sangat
tinggi, kapasitas penyimpanan muatan yang baik, dan digunakan sebagai dopan
untuk sifat listrik dan optik (Hirankumara dkk, 2005). Konduktivitas listrik
campuran PVA dengan asam anorganik dan air telah dilaporkan yang meningkat
dengan adanya air (Vargas dkk, 2000).
Fungsi penambahan PVA adalah untuk meningkatkan kekuatan,
fleksibilitas, dan ketahanan foam berbasis pati pada material sebelum proses
pembakaran. Selain itu, PVA juga berfungsi sebagai pengemulsi dalam
pembuatan mikrosfer. Gugus hidroksil dari PVA yang bersifat polar akan
berikatan dengan molekul air, sedangkan rantai vinilnya akan berikatan dengan
molekul diklorometana sehingga emulsi menjadi lebih stabil (Shogren dkk, 1998),
Deville dkk, 2006).

2.4.2 Gliserol
Gliserol adalah cairan tidak berwarna dan tidak larut dalam air. Gliserol
banyak dimanfaatkan dalam banyak aplikasi industri, seperti foam, sabun dan
sebagai obat batuk dan sirup dalam aplikasi medis. Gliserol juga banyak
digunakan sebagai plasticizer. Plasticizer adalah senyawa dengan berat molekul
rendah, yang bila dicampur dengan polimer akan meningkatkan mobilitas
makromolekul polimer sehingga jaringan polimer menjadi kurang padat karena
penurunan kekuatan antarmolekul dan terjadi peningkatan fleksibilitas.
Jia dkk (2014) melaporkan gliserol memberikan efek plasticizing tinggi
pada PVA. Gliserol bisa berinteraksi dengan molekul PVA dan mengganti ikatan
hidrogen dalam molekul PVA. Kristalisasi PVA terganggu dan intensitas ikatan
hidrogen di PVA berkurang. Gliserol dapat memperbaiki kompatibilitas PVA, dan
film PVA plasticized tampak lebih kontinu daripada film PVA murni. Stabilitas
termal dan suhu transisi gelas menurun dengan penambahan gliserol. Sifat
mekanik PVA meningkat secara signifikan dan film PVA plasticized tampak lebih
keras daripada film PVA murni setelah menambahkan gliserol. Hal ini juga dapat
diharapkan bahwa gliserol dapat memainkan peran penting dalam polimer seperti
selulosa yang mengandung banyak gugus hidroksil.

2.3.3 Graphene
Graphene adalah alotrop karbon dua dimensi dengan struktur heksagonal,
tiap satu atom membentuk verteks dengan hibridisasi sp 2. Struktur graphene dapat
dilihat pada Gambar 2.6. Panjang ikatan C-C adalah sekitar 0,142 nm. Terdapat
tiga ikatan σ dalam setiap kisi yang berfungsi sebagai penghubung yang kuat
membentuk struktur heksagonal stabil. Graphene dapat dianggap sebagai struktur
unit grafit, CNT (carbon nanotubes), dan fullerene, serta molekul aromatik
dengan ukuran tak terbatas, seperti hidrokarbon aromatik polisiklik yang sangat
planar (Zhen dan Zhu, 2018). Graphene memiliki konduktivitas listrik yang baik,
stabilitas kimia, dan transmisi cahaya yang sangat baik. Transmisi graphene tetap
merata di seluruh spektrum. Graphene lebih potensial dibandingkan dengan bahan
elektroda transparan tradisional, seperti ITO (indium tin oxide). Oleh karena itu,
graphene menjadi kandidat yang sangat baik untuk bahan elektroda transparan di
masa depan (Sun dkk, 2018).

Gambar 2.5 Graphene (Meyer dkk, 2007)

Gambar 2.6 Struktur Heksagonal Graphene (Zhen dan Zhu, 2018)

Pada penelitian ini dilakukan penambahan graphene pada polimer


konduktif. Penambahan ini adalah strategi untuk membentuk polimer agar
memiliki sifat konduktif. Graphene memiliki konduktivitas listrik intrinsik
superior yaitu 106 Ω-1cm-1 sehingga memiliki kemampuan yang sangat baik
sebagai penghantar arus listrik pada perangkat elektronik (Li et al., 2003).

2.5. Uji Morfologi


2.5.1 SEM
SEM adalah teknik pilihan untuk analisis permukaan spesimen (Stokes,
2008; Reimer, 1998; Egerton, 2011; Goldstein dkk, 2007; Kuo, 2014; Pawley dan
Schatten, 2014). SEM adalah suatu instrumen yang berdasarkan pada analisis
mikroskop electron, detector akan menangkap cahaya electron yang dipantulkan
oleh sampel untuk membentuk foto atau gambar dari permukaan sampel. Electron
gun merupakan sumber penghasil electron, adanya tegangan yang tinggi dan
filament menghasilkan electron beam. Secara kualitatif, SEM dapat menganalisa
morfologi sampel, tekstur, cacat dan detail permukaan.

2.5.2 X-RD
Difraksi sinar-x merupakan metode analisa yang memanfaatkan interaksi
antara sinar-x dengan atom yang tersusun dalam sebuah sistem kristal. Untuk
dapat memahami prinsip dari difraksi sinar-x dalam analisa kualitatif maupun
kuantitatif, terlebih dahulu diuraikan penjelasan mengenai sistem kristal. Analisa
XRD merupakan contoh analisa yang digunakan untuk mengidentifikasi
keberadaan suatu senyawa dengan mengamati pola pembiasan cahaya sebagai
akibat dari berkas cahaya yang dibiaskan oleh material yang memiliki susunan
atom pada kisi kristalnya.

2.6. Uji Mekanis


Uji karakterisasi sifat mekanik komposit poliemr konduktif meliputi tensile
strength, modulus young, dan elongation at break.

2.6.1. Tensile Strength


Kekuatan Tarik adalah kemampuan bahan untuk menerima beban tanpa
terjadi kerusakan rusak. Kekuatan Tarik suatu bahan ditetapkan dengan membagi
gaya maksimum dengan luas penampang mula-mula sebelum terdeformasi

2.6.2. Modulus Young


Modulus young adalah ukuran suatu bahan yang diartikan ketahanan
material tersebut terhadap deformasi elastik. Makin besar modulusnya maka
semakin kecil regangan elastik yang dihasilkan akibat pemberian tegangan.

2.6.3. Elongation at Break


Elongation at Break merupakan pertambahan panjang dari spesimen uji oleh
karena beban penarikan sampai sesaat sebelum spesimen uji tersebut mengalami
perpatahan.
2.7. Uji Konduktivitas
Uji konduktivitas komposit polimer konduktif menggunakan alat
multimeter. Hasil pengujian akan memberikan hasil konduktivitas dari komposit
polimer konduktif. Semakin tinggi konduktivitas listrik komposit polimer
konduktif maka semakin baik pula kemampuan dalam menghantarkan listrik.

2.8. Uji Transparansi


Pengujian transparansi menggunakan alat Spektrofotometri UV/Vis.
Spektrofotometri UV/Vis adalah alat yang terdiri dari dua komponen yaitu
spektrofotometer berfungsi menghasilkan spektra dengan panjang gelombang
tetrtentu, dan fotometer yang berfungsi mengukur intensitas cahaya yang
ditransmisi, direfleksi, dan ditransmisi. Spektrofotometer UV/Vis adalah alat
instrumen analisis yang bekerja berdasarkan prinsip kolorimetri yaitu metode
yang menyatakan bahwa tua-mudanya warna yang timbul pada larutan contoh
tergantung pada kepekatan konsentrasi suatu unsur. Metode analisis ini didasarkan
pada pengukuran energi cahaya tampak (visibel) atau cahaya ultraviolet (UV) oleh
suatu senyawa sebagai fungsi dari panjang gelombang.

2.9. Uji Kualitatif FTIR


Karakteriasasi gugus fungsi dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi kimia
dan tipe ikatan yang terkandung dalam senyawa kimia. Alat yang digunakan
adalah Spektroskopi FTIR atau Fourier Transform Infrared. Hampir semua
senyawa, termasuk senyawa organik menyerap daerah inframerah. Serapan tiap
tipe ikatan ((N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C=C, C-C, C=N, dan sebagainya)
hanya dapat diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi
inframerah (Kristianingrum, 2004). Gugus fungsi komponen penyusun bioplastik
ini dibandingkan dengan gugus fungsi pada graphene oxide sehingga dapat
diperkirakan jenis interaksi yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai