Anda di halaman 1dari 50

BAB I.

Pendahuluan

Flavonoid adalah golongan fenol alam yang tersebar luas dalam

tumbuhan. Menurut perkiraan , kira-kira 2% dari seluruh karbon yang

difotosintesis oleh tumbuhan atau sekitar 1.000.000.000 ton per tahun diubah

menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya. Diduga flavonoid

sudah ada di alam ini telah cukup lama, yang terdapat pada ganggang hijau lebih

1 milyar tahun silam. Tidak ada senyawa yang begitu menyolok seperti flavonoid

yang memberi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di

alam, misalnya flavin memberi warna kuning atau jingga, antosianin warna

merah, ungu atau biru dan secara biologis dia memainkan peranan penting

dalam proses penyerbukan pada tanaman oleh serangga. Pada mulanya para

ahli tertarik pada antosian, yang merupakan pigmen tumbuhan flavonoid.

Kemudian diketahui pula bahwa dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan biji-

bijian mengandung berbagai jenis senyawa flavonoid. Disamping sebagai

pigmen tumbuhan, flavonoid diketahui pula berperan dalam pertumbuhan,

pertahanan diri dari serangan hama dan penyakit, tabir surya, dan sinyal kimia

untuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Bagi manusia golongan senyawa

ini memberi manfaat yang cukup banyak seperti, antioksidan, antiinflamasi,

immunostimulan, antikanker, antivirus dan antimikroba.. Tanin yang termasuk

golongan senyawa ini telah lama digunakan sebagai penyamak kulit dan

pewarna kain. Berbagai komoditi penting seperti teh, coklat dan anggur, mutunya

sangat ditentukan oleh warna maupun rasa yang berasal dari flavonoid yang

terdapat didalamnya.
Istilah flavonid yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal

dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar

jumlahnya dan juga lazim ditemukan .

Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pastilah

ditemukan pada setiaap telaah ekstrak tumbuhan. Oleh karena itu, para ilmuwan

perlu kiranya untuk mengetahui cara mengenal, mengisolasi, dan

mengidentifikasi bahan alam tersebut dalam berbagai bentuk.

I.1 Kerangka dasar

Flavonoid merupakan senyawa dengan kerangka dasar mempunyai 15

atom C, dua cincin benzen yang terikat pada suatu rantai propana sehingga

susunannya adalah C6 – C3 – C6. Susunan ini akan menghasilkan tiga jenis

struktur, yaitu : 1,3 – diaril propane atau flavonoid, 1,2 – diaril propane atau

isoflavonoid dan 1,1 – diaril propane atau neoflavonoid

C3
C3
C2
C1
C2
C3 C1
C2
C1

FLAVONOID ISOFLAVONOID NEOFLAVONOID


Contoh :

1. Flavonoid

OH

HO O O
O OH O

OCH3
O
O OH O

FLAVON KUERSETIN KRANJIN

2. Isoflavonoid

HO O

O
OH
HO OCH3

FEREIRIN
O O
O
H3CO O

O
O
OCH3
CH2
OH O OCH3
O

PTEROKARPIN ROTENON

3. Neoflavonoid

H3CO O O O O
O
OH

HO H3CO O O

DALBERGIN BRAZILIN KALOFILOID


Kedua cincin aromatik (benzen) yang dihubungkan oleh satuan tiga

karbon dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Untuk memudahkan

maka cincin pertama benzen diberi indeks A, cincin benzen kedua indeks B dan

cincin yang dapat terbentuk cincin C

3' 3
2' 2 OH
4'
8 1 3' 4
9 B 2' 1 B
O 2 5' HO OH 5
7 1'
A 6' 4' 6
C A
3
6 5'
10 4
5 O 6' O

Senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis, bergantung dari tingkat

oksidasi dari rantai propane dari sitem 1,3 diaril propane. Dalam hal ini flavan

mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap

sebagai senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon.

FLAVAN

I.2 Asal usul Biogenetik

Spekulasi awal mengenai biosintesis flavonoid dijelaskan oleh Robinson

(1936) mengatakan bahwa kerangka C 6 – C3 – C6. dari flavonoid berkaitan

dengan kerangka C6 – C3 dari fenilpropana yang mempunyai gugus fungsi

oksigen pada para, para dan meta atau dua meta dan satu para pada cincin

aromatik. Akan tetapi, senyawa-senyawa fenilpropana, seperti asam amino fenil-


alanin dan tirosin, bukannya dianggap sebagai senyawa yang menurunkan

flavonoid melainkan hanya sebagai senyawa yang bertalian belaka.

Pola biosintesis flavonoid pertama kali diusulkan oleh Birch, yang

menjelaskan bahwa tahap pertama biosintesis flavonoid suatu unit C 6 – C3

berkombinasi dengan 3 unit C 2 menghasilkan unit C6 – C3 – (C2+C2+C2).

Berdasarkan atas usul tersebut maka biosintesis dari flavonoid melalui 2 jalur

bisosintesis yaitu poliketida (asam asetat atau mevalonat) dalam membentuk

cincin A berkondensasi 3 molekul unit asetat, sedang cincin B dan tiga atom

karbon dari rantai propana berasal dari jalur fenilpropana (shikimat).

Selanjutnya, sebagai akibat dari berbagai perubahan yang disebabkan

oleh enzim, ketiga atom karbon dari rantai propana dapat menghasilkan berbagai

gugus fungsi, seperti ikatan rangkap, gugus hidroksil, gugus karbonil dan

sebagainya.

Pokok-pokok biosintesis flavonoid

HO O
HO OH

O
OH O
OH

FLAVANON KHALKON

Pembentukan flavonoid dimulai dengan memperpanjang unit

fenilpropanoid (C6 – C3) yang berasal dari turunan sinamat seperti asam p-

kumarat, kadang-kadang asam kafeat, asam ferulat atau asam sinapat.

Percobaan menunjukkan bahwa khalkon dan isomer flavanon yang sebanding


juga berperan sebagai senyawa antara dalam biosintesis berbagai jenis

flavanoid lainnya

OH OH OH
H
HO O HO OH HO O
[O] O

OH O OH O OH O

Flavanon Khalkon

OH OH
Ha
HO O a HO O
b +OH-

+ H OH
OH O OH O
[O]
+ a Flavanonol
-H b H
-H+
OH OH OH

HO O HO O HO O

OH OH OH
OH O OH O OH O

Flavon Auron Flavonol

H
HO O HO O
O

H
OH O OH O
OH
Isoflavon

Katekin

Antosianidin

Hubungan Biogenetik Berbagai jenis Flavonoid (Grisebach)


Biosintesis Antosianidin dan Katekin (Haslam)

I.3 Fungsi flavonoid pada tumbuhan

1. Fungsi penyerbukan. Flavonoid termasuk pigmen yang penting pada

tumbuhan. Warna jingga, merah, biru dan ungu pada bunga dan buah pada

umumnya disebabkan oleh flavonoid. Warna pada bunga adalah salah satu

faktor yang menarik lebah, kupu-kupu, burung dan hewan lainnya untuk

melakukan penyerbukan. Burung akan lebih menyukai warna merah, sedang

lebah lebih menyukai warna biru dan juga dapat melihat di daerah ultraviolet.

2. Fungsi pengatur tumbuh. Flavonoid secara tidak langsung berperan

sebagai zat pengatur tumbuh melalui sistem IAA (Indole Acetic Acid) – IAA

Oxidase. Secara in vitro, senyawa flavonoid kuersetin dapat menghambat enzim

IAA – Oxidae, yang berarti kuersetin secara tidak langsung dapat meningkatkan

pertumbuhan.

Senyawa flavonoid dapat pula berfungsi sebagai ”feeding deterrent”

maupun ”feeding stimulant”. Kandungan tanin yang tinggi pada buah muda

merupakan ”feeding deterrent” yang menyebabkan kera maupun manusia tidak

bernafsu untuk memakan buah sebelum masak. Sedang senyawa morin dan

isokuersetrin yang terdapat dalam daun murbei (Morus alba L), merupakan

”feeding stimulant” bagi ulat sutera (Bombyx mori).


3. Zat alelopati. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, tumbuhan

menggunakan sinyal berupa senyawa kimia.Pada tahun 1986, secara hampir

bersamaan, para ahli dari berbagai laboratorium di dunia melaporkan bahwa

simbiosis antara tumbuhan polong-polongan dengan bakteri marga Rhizobium

dipicu oleh sinyal kimia berupa senyawa flavonoid yang dikeluarkan oleh akar

tumbuhan. Sejak tahun 1982, ahli ekologi sudah mengetahui tumbuhan “Spotted

knapweeds” (Centaurea maculosa Lam.) mengeluarkan senyawa alelopati yang

dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain di sekitarnya, baru tahun 2001

diketahui bahwa senyawa tersebut adalah (-) – katekin, suatu senyawa flavonoid

golongan flavan yang sekarang diteliti untuk dikembangkan menjadi herbisida

alam.

4. Tabir surya. Rusaknya ozon di lapisan stratosfir, terutama di daerah

dekat Kutub Selatan, menyebabkan tumbuhan mengalami cekaman sinar

ultraviolet B (UVB). Penelitian pada sejenis semanggi di Selandia Baru

memperlihatkan bahwa tumbuhan tersebut mempunyai toleransi yang tinggi

terhadap sinar UVB, adaptasi ini disebabkan dengan peningkatan kadar

flavonoid dari tumbuhan.


BAB II. Ekstraksi dan Isolasi

II.1 Ekstraksi

Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia

senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Harus

diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa dengan oksigen banyak yang akan

terurai karena mengandung banyak oksigen yang tidak tersulih atau suatu gula.

Senyawa flavonoid merupakan senyawa polar, kepolaran ini akan

berbeda-beda terhadap berbagai pelarut sehingga harus diperhatikan dengan

menggunakan pelarut yang sesuai kepolaran flavonoid yang akan diekstraksi.

Umumnya flavonoid larut dalam pelarut-pelarut polar seperti etanol, metanol,

butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetilformamida, air dan lain-lain. Dalam

bentuk glikosida karena adanya gula yang terikat pada flavonoid menyebabkan

mudah larut dalam air, dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air

merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosidanya. Sebaliknya, aglikon yang

kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang

termodifikasi, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan

kloroform.
Bahan segar merupakan bahan awal yang ideal untuk menganalisis

flavonoid, walaupun bahan yang kering dan tersimpan lama mungkin masih

tetap memberikan hasil yang baik. Bila menggunakan bahan tumbuhan segar,

setelah cuplikan dipilih untuk dianalisis maka sisanya dianjurkan agar segara

secepatnya dikeringkan untuk mencegah kerja dari enzim.

Setelah menimbang sebagian bahan tumbuhan yang telah digiling,

ekstraksi paling baik dilakukan dalam dua tahap; pertama dengan pelarut

metanol-air (9 : 1) dan kedua dengan metanol-air (1 : 1). Ekstrak kemudian

dicampur dan diuapkan hingga volumenya menjadi sepertiga volume awal, atau

hampir semua metanol menguap. Ekstrak yang diperoleh dapat dibabaskan dari

senyawa yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil

dengan ekstraksi (dalam corong pisah) menggunakan pelarut heksan atau

kloroform. Ekstraksi harus dilakukan beberapa kali dan lapisan air mengandung

sebagian besar flavonoid, selanjutnya dikeringkan pada tekanan rendah

(rotapavor).

Pemilihan pelarut tidak hanya tergantung pada kandungan zat aktif yang

diselidiki, tetapi tergantung juga pada bagian mana substansi tersebut berada.

Bila flavonoid terdapat dalam vakuola sel, umumnya bersifat hidrofilik, maka

penyarian dilakukan dengan menggunakan air ataupun pelarut-pelarut alkoholik.

Jika flavonoidnya terdapat dalam kloroplas maka diperlukan pelarut-pelarut

nonpolar sebelum menyarian alkoholik.

Ekstraksi flavonoid seperti yang dijelaskan di atas tidak cocok untuk

antosianin atau flavonoid yang kepolarannya rendah. Untuk antosian, daun segar
atau bunga jangan dikeringkan tetapi segera digerus dengan NeOH yang

mengandung 1% HCl pekat. Ekstraksi segera terjadi yang ditandai dengan

adanya perubahan warna larutan, kromatografi atau analisis spektroskopi

ekstrak dapat segera dilakukan untu mencegah hidrolsisi glikosida. Untuk

simplisia yang mengandung flavonoid dengan kepolaran yang lebih rendah lagi

dapat langsung diisolasi dengan merendam heksana atau eter selama beberapa

menit, perlu diingat bahwa ekstrak yang diperoleh juga mengandung lemak dan

lilin.

II.2 Isolasi

Metode terbaik untuk mengisolasi atau memisahkan campuran flavonoid

antara lain dengan kromatografi kertas (KKt) dan kromatografi lapis tipis (KLT).

Jika menggunakan metode KKt, kertas yang disarankan adalah kertas Whatman

3MM (46 x 57 cm) atau yang setara. Kertas dibuat seperti gambar di bawah.

Ekstrak ditotolkan kira-kira 8 cm dari tepi lipatan pertama dan 3 cm dari lipatan

kedua dengan garis tengah 3 cm yang berpusat pada satu titik. Pengeringan

bercak dibantu dengan pengering rambut. Ekstrak yang ditotolkan dapat

digunakan secara umum yaitu dari sejumlah ekstrak yang diperoleh dari 50 –

100 mg bahan tumbuhan kering. Elusi pertama dapat digunakan pengembang

beralkohol, misalnya BAA (n-Butanol, Asam asetat, Air = BAW) 4:1:5 atau TBA

(t-BuOH:HOAc:H2O) 3:1:1. Kertas diangkat dan dikeringkan di lemari asam,

bagian kromatogram yang dilipat (a) digunting. Selanjutnya eluen kedua

menggunakan pengembang, biasanya berupa larutan dalam air seperti asam


asetat 15%. Untuk antosianin disarankan pengembang setara , biasanya BAA

atau Bu/HCl dan kedua HCl 1%.

Flavonoid tidak nampak pada kertas kromatogram, kecuali antosian (bercak

jingga sampai lembayung yang menjadi biru dengan uap ammonia), khalkon,

auron dan 6-hidroksi flavanol kuning). Karena alasan tersebut, untuk mendeteksi

bercak, kromatogram diperiksa dengan sinar UV (366 nm dan 254 nm) dan

dapat diperjelas dengan uap ammonia.


8 cm

3 cm
arah aliran
pengembang
pertama

arah aliran pengembang


pertama

(a) (b)

biarkan 5 cm

(c) (d)

Untuk isolasi flavonoid skala besar dapat dilakukan dengan kromatografi

kolom. Pada dasarnya, cara ini meliputi penempatan campuran flavonoid

(berupa larutan) di atas kolom yang berisi serbuk penjerap (seperti selulosa,
silika, atau poliamida), dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen

memakai pelarut yang sesuai. Kolom hanya berupa tabung kaca yang dilengkapi

dengan keran pada salah satu ujungnya dengan ukuran garis tengah berbanding

panjang kolom 1:10 atau 1:30.

Mengemas kolom dilakukan dengan hati-hati agar dihasilkan kolom yang

homogen. Jika kolom tidak memiliki kaca masir, maka dapat diganakan kaca wol

atau kapas, sumbat ini direndam dengan pengelusi yang tingginya kira-kira 10

cm. Kemasan kolom dibuat bubur dengan pelarut yang sama, lalu dituang

dengan hati-hati ke dalam kolom tanpa terputus-putus agar tidak terbentuk

lapisan. Kemasan dibiarkan turun dan kelebihan pelarut dibiarkan turun. Jika

fase diam poliamida yang digunakan maka dianjurkan untuk mengembangkan

dulu satu jam.

Selanjutnya larutan cuplikan ditempat di atas kemasan sedemikian rupa

sehingga berupa satu pita, usahakan menggunakan pelarut sesedikit mungkin

untuk memperoleh hasil yang baik. Biarkan larutan cuplikan meresap ke dalam

kemasan dengan membuka sedikit keran dan setelah cuplikan terbuka, keran

ditutup dan ditambahkan perlahan-lahan cairan pengelusi dan dibiarkan kembali

meresap ke dalam kemasan.

Memilih kemasan kolom dapat disesuaikan dengan flavonoid yang akan

diisolasi sebagai berikut ;

1. Selulosa. Ideal untuk pemisahan antara glikosida atau glikosida

dengan aglikon dan aglikon yang kurang polar, selulosa mikrokristal (Merck,

Macherey & Nagel dan Whatman CF-11


2. Silika. Baik untuk aglikon yang kurang polar, misalnya isoflavon,

flavanon, metil flavon dan falavonol. Sebaiknya dicuci lebih dahulu dengan asam

klorida pekat untuk menghilangkan sesepora besi yang dapat membuat flavonoid

terikat kuat pada kemasan. Kiselgel 60, 70 – 230 mesh (merck).

Radas kromatografi kolom

3. Poliamida. Cocok untuk memisahkan flavonoid dan glikosida. Harus

dicuci terlebih dahulu dengan matanol dan air untuk menghilangkan poliamida
yang larut (dapat mengotori). Polyclar AT General Aniline and Film Corporation),

Polyponco 66D Polymer Corporation) dan Polyamida (Woelm).

4. Gel sephadex (deret G). Digunakan untuk memisahkan campuran,

terutama berdasarkan atas ukuran molekul (mengunakan pelarut air), molekul

besar akan terelusi lebih dahulu. Sangat berguna untuk memisahkan

poliglikosida yang berbeda bobot molekulnya. Bila pengelusinya adalah pelarut

organik, gel sephadex deret G berprilaku seperti selulosa, tetapi kapasitasnya

lebih besar. Gel harus dikembang terlebih dahulu selama 12 jam dengan eluen.

Jenis niaga G-10 (untuk bobot molekul 0 – 700) dan G-25 (untuk bobot molekul

100 – 1500)

5. Gel sephadex (LH-20). Dirancang untuk menggunakan pelarut organik,

dan dapat digunakan dua cara. Bahan ini menghasilkan eluen tanpa sisa, sangat

cocok untuk pemurnian akhir aglikon flavonoid dan glikosida yang telah diisolasi

dari kertas, selulosa, silika, atau poliamida. Umumnya pelarut yang cocok adalah

MeOH, walaupun pada awalnya diperluka air untuk melarutkan flavonoid, disini

gel perlu juga dicuci dengan MeOH.

II.3 Karakterisasi dan Identifikasi

Secara umum golongan senyawa biasanya dapat ditentukan dengan uji

warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf dan ciri spectrum ultraviolet.

Jika tidak tercampur dengan pigmen lain, flavonoid dapat dideteksi

dengan uap ammonia dan akan memberikan warna spesifik untuk masin-masing

golongan. Falavon dan flavonol akan memberikan warna kuning sampai kuning

kemerahan. Antosianin berwarna merah biru sedang flavononol menimbulkan


warna orange atau coklat. Warna merah dan lembayung yang terjadi mendadak

dalam suasana asam disebabkan adanya khalkon atau auron.

Flavonoid menjadi kuning terang atau jingga dalam larutan basa dan

dapat dideteksi jika bagian tumbuhan tanwarna diuapi amonia.Timbulnya warna

ini karena adanya pembentukan garam dan terbentuknya struktur kuinoid pada

cincin B seperti berikut :

OH O- O

O O O
OH-

O O O-

Pembentukan struktur kuinoid dari flavonoid dengan basa

Adanya gugus fenol pada flavonoid memberikan reaksi positif dengan

pereaksi untuk fenol, misalnya dengan besi (III) klorida dan pereaksi asam sulfat

akan memberi warna spesifik. Karena reaksi tidak spesifik, maka tidak dapat

digunakan membedakan masing-masing golongan dan harus diikuti oleh uji

warna lainnya.

Flavonoid yang memliki gugus hidroksil berkedudukan orto akan

memberikan warna kuning intensif jika bereaksi dengan asam borat dan larutan

natrium asetat, seperti rekasi berikut.

HO
OH
OH O B

OH O

HO O HO O
NaOAc, H3BO3

OH-
O O
Kompleks flavonoid dengan asam borat dan natrium asetat

Selain pada kedudukan orto, gugus hidroksi dengan kedudukan lain

diduga juga dapat membentuk ikatan dengan campuran asam sitrat dan asam

borat, pada pemanasan dan dikenal dengan pereaksi sitroborat, Sampai saat ini

mekanisme reaksi yang terjadi antara flavonoid dengan pereaksi sitroborat

belum dapat diketahui secara pasti. Warna fluoresensi yang terbentuk adalah

fluoresensi kuning,kuning kehijauan dengan sinar UV 366 nm.

Pereaksi aluminium klorida dapat membentuk kompleks dengan flavonoid

menimbulkan warna kuning. Kompleks dari flavonoiv dengan gugus hidroksil

berkedudukan orto tidak stabil dengan asam dan akan terurai kembali. Akan

tetapi flavonoid dengan gugus hidroksil yang berkedudukan dekat gugus karbonil

akan stabil dengan penambahan asam.

Cl
OH O Al

OH O

HO O HO O
AlCl3

HCl
O O

Cl
O Al
OH O OH
OH
OH
HO O
HO O
HO O
AlCl3 HCl
O O
Al O O
OH O Cl Cl Al
Cl Cl
Pembentukan kompleks antara flavonoid dengan aluminium klorida lewat

dua macam gugus yang berbeda yaitu gugus hidroksil yang berkedudukan orto

dan gugus hidroksil yang berkedudukan dekat dengan gugus karbonil, dapat

digunakan sebagai dasar penetapan adanya gugus hidroksil pada kedudukan

tertentu dalam molekul flavonoid.

Lazimnya identifikasi flavonoid diawali dengan reaksi warna

menggunakan pereaksi-pereaksi, seperti natrium hidroksida, asam sulfat, besi

(III) klorida, logam magnesium dan asam klorida. Kelarutan dari flavonoid

menjadi dasar dalam ekstraksi dan pemisahan secara kromatografi, sifat-sifatnya

dengan pereaksi-pereaksi tertentu menjadi dasar analisis spektrofotometri UV-

tampak.

Reaksi Warna flavonoid

Golongan Warna
Flavonoid
Larutan natrium Asam sulfat Magnesium/ Natrium
Hidroksida pekat asam klorida amalgam asam
Khalkon Jingga sampai Jingga sampai Tak berwarna Kuning pucat
merah merah

Dihidrokhalkon Tak berwarna Tak berwarna / Tak berwarna Tak berwarna


kuning

Auron Merah/violet Merah/violet Tak berwarna Kuning pucat

Flavanon Kuning / jingga, Jingga Merah / violet Merah


dipanas merah atau biru

Flavon Kuning Kuning / jingga Kuning / merah Merah


berpendar

Flavanol Kuning / jingga Kuning / jingga Merah / violet Kuning / merah


berpendar

Flavanonol Kuning berubah Kuning / merah Merah / violet Kuning /coklat


coklat

Leukoantosianin Kuning Merah / violet Violet Violet

Antosianin / Biru / violet Kuning / jingga Merah lalu Kuning / jingga


Antosianidin memucat

Isoflavon Kuning Kuning Kuning Merah muda /


violet

Isoflavanon Kuning Kuning Tak berwarna Merah

II.4 Hidrolisis

Senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi, seperti

bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit, kayu dan akar. Akan tetapi, senyawa

flavanoid tertentu biasanya terkonsentrasi pada suatu jaringan tertentu, misalnya

antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah dan daun.

Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, oleh

karena itu ada baiknya diketahui bahwa secara umum, suatu glikosida adalah

kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui

ikatan glikosida. Ikatan glikosida pada prinsipnya terbentuk apabila gugus

hidoksil dari alkohol beradisi ke gugus karbonil dari gula, sama seperti adisi

alkohol ke aldehida yang dikatalis oleh adanya asam menghasilkan asetal.


R
R R
OR' R'-OH OR'
+C + H O R' C C + H2O
H H+ H
R OH OR'
Aldehida Alkohol Hemiasetal Asetal

CH2OH CH2OH CH2OH


OH O OH O OR'
O R'OH
OH C
OH OH
H H+
OH OH OH
OH OH OH

Glukosa Glukosa Glukosida


(rantai terbuka) (siklik hemiasetal)

Pada hidrolisis, glikosida terurai kembali atas komponen-komponennya

menghasilkan gula dan alkohol yang sebanding, alkohol yang dihasilkan disebut

aglikon. Biasanya, sisa gula dari glikosida flavonoid alam adalah glukosa,

rhamnosa, galaktosa dan gentiobiosa, sehingga glikosida tersebut masing-

masing disebut glukosida, rhamnosida, galaktosida dan gentiobiosida.

Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di atau tri-glikosida, dimana

satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula.

Poliglikosida larut dalam air dan hanya sedikit larut dalam pelarut-pelarut organik

seperti eter, benzen, kloroform dan aseton.

Untuk membedakan aglikon dan gula yang terikat sebagai glikosida, perlu

dilakukan hidrolisis dapat dengan asam, enzim atau basa.

1. Hidrolisis dengan asam. Biasanya digunakan dengan asam klorida,

gugus gula yang terikat pada aglikon biasanya berupa ikatan O-glikosida atau

C-glikosida. Ikatan C-glikosida, sangat tahan terhadap pengaruh asam, sehingga

dapat dibedakan antara C-glikosida dengan O-glikosida dengan melihat waktu

atau lama hidrolsisinya.


Selain kecepatan hidrolisis dengan asam dari glikosida, juga dipengaruhi

oleh posisi ikatan gula pada inti flavonoid. Gula yang berikatan pada posisi 3 dari

flavonoid akan lebih mudah dihidrolisis dibanding pada posisi 7, sedang paling

mudah dihidrolisis adalah pada posisi 5. Flavonol 3-rhamnosifuranosida kurang

stabil sehingga hidrolsis lebih cepat dibanding flavonol 3-rhamnopiranosida yang

relatif lebih stabil.

Cara baku menghidrolisis O-glikosida: Larutan glikosida flavonoid (1mg)

dihidrolisis dengan 5 ml HCl 2N : MeOH (1:1) dalam labu alas bulat 25 ml,

kemudian drefluks selama 60 menit. Uapkan dengan rotavapour, sisanya

kemudian dilarutkan dengan MeOH : H 2O (1:1) sesedikit mungkin. Selanjutnya

dikromatografi kertas atau KLT-selulosa, 15% asam asetat, hasil :

- jika telah terjadi hidrolsisi, R f akan menjadi lebih kecil, flavonoid tersebut

adalah suatu O-glikosida, kemungkinan kecil juga sebagai bisulfat atau

C-glikosida yang ter-O-glikosida.

- Jika tidak terjadi hidrolisis, glikosida tersebut kemungkinan adalah C-

glikosida atau suatu glukoronida

- Jika terjadi hidrolisis sebagian, glikosida tersebut mungkin glukuronida

2. Hidrolsis dengan enzim. Hidrolisis dengan enzim, berguna untuk

menentukan sifat ikatan antara gula dan flavonoid (yaitu α atau β). cara ini

hanya memutuskan monosakarida khas dari flavonoid O-glikosida. Selanjutnya

dianalisis dengan KLT, atau KGC untuk mengetahui hasil hidrolosis,

- β-glukosidase (emulsin), menghidrolsisi β-D-gluksodia dan xilosida,

tetapi tidak menghidrolsisi antosianidin glikosida.


- β-galaktosidase, menghidrolsisi β-D-galaktosida

- β-glikuronidase, menghidrolsisi β-D-glukuronidase

- Pektinase, menghidrolsis α-D-poligalakturonida dan α-L-rhamnosida

- Antosianase, menghidrolsisi sebagian besar antosianidin glikosida

- Rhamnodiastase, memutuskan sebagian besar oligosakarida secara

utuh dari glikisda, terdapat dalam Rhamnus frangula

- Takadiastase, menghidrolsisi naringenin 7-O-neohesperidosida.

3. Hidrolsis dengan basa. Jarang digunakan untuk menghidrolisis

gliksodia flavonoid, tetapi digunakan untuk memutuskan gula secara selektif dari

gugus hidroksil pada posisi 7 atau 4’ serta 3-hidroksil. Keselektifan ini kebalikan

dari hidrolisis dengan asam. Hidrolsis dengan basa akan melepaskan disakarida

dari 7 – hidroksil asal ikatan antara glukosida bukan (1----2). Rutinosida akan

terhidrolisis, tetapi 7-O-apiol (1----2) gluksida dan 7-O-neohesperidosida tidak

terhidrolsis. Dijaga agar tidak ada kontak dengan udara, sebab banyak flavonoid

akan terurai dalam suasana basa jika terdapat oksigen. Kebanyakan 7 – dan 4’ –

O – gliksida dapat dipecah dalam waktu 30 enit, beberapa glikosida lain

memerlukan waktu dua jam. Pemutusan gula yang terikat pada posisi 4’ secara

selektif tanpa mengganggu gula yang terikat pada posisi 7.

Cara: Larutan glikosida (10 – 30 mg) dalam 10 ml KOH 0,5% direfluks di

atas tangas air selama 30 menit dalam lingkungan N 2. Netralkan dengan HCl 2N

dan selanjutnya dikromatografi kertas dengan eluen HOAc 15% untuk

mengisolasi flavonoidnya.
BAB III. Spektroskopi Ultraviolet Flavonoid

III.1 Spektroskopi Ultraviolet flavonoid. Flavonoid mempunyai sistem aromatik

terkonyugasi, oleh karena itu mempunyai pita serapan di daerah ultraviolet dan

ultraviolet nampak (UV-UV Vis). Spektra dari flavon dan flavonol memperlihatkan

dua puncak utama pada daerah 240 – 400 nm. Dua puncak utama ini biasanya

memperlihatkan pita I (300 – 380 nm) dan pita II (240 – 280 nm). Pita I
menunjukkan absorbsi yang sesuai untuk cincin B sinamoil, sedang pita II

berhubungan absobsi cincin benzoil.

B
O

BENZOIL O SINAMOIL

Kerangka senyawa flavonoid dengan cincin benzoil dan sinamoil

Isoflavon, falavanon dan dihidroflavonol memberikan spektra ultraviolet

yang mirip satu sama lain, oleh karena masing-masing senyawa ini tidak

mempunyai sistem konyugasi sinamoil dengan cincin B. Larutan isoflavon dalam

metanol memberikan spektra ultraviolet dengan puncak II pada daerah 250 nm –

270 nm dan puncak I pada daerah 300 nm – 330 nm. Sedang flavanon dan

dihidroflavanon keduanya memberikan puncak II pada daerah 270 nm – 290 nm

dan puncak I pada daerah 320 nm – 330 nm.

Peran gugus hidroksil pada cincin A pada flavon dan flavonol

menghasilkan menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita II dan

sedikit pada pita I. Metilasi dan glikosilasi juga berefek pada absorpsi pada

flavon dan flavonol. Jika gugus 3, 5, dan 4’ – OH pada flavon dan flavonol

termetilasi dan terglikosilasi terjadi pergeseran hipsokromik terutama pita I.

Pergeseran yang terjadi terbesar 12 – 17 nm, bisa mencapai 22 – 25 nm pada

flavon yang tidak mempunyai gugus 5 – OH.

Pita II merupakan serapan dari cincin A bagian benzoil, dan pita I

merupakan serapan dari cincin B bagian sinamoil. Intesitas dari masing-masing


serapan tergantung pada panjangnya sistem konyugasi serta adanya subtitusi

terutama pada kedudukan atom C 3 dan C5. Sebagai contoh senyawa flavon

yang mempunyai sistem sinamoil mengandung sistem konyugasi lebih panjang

daripada sistem benzoil, intensitas puncak I lebih kecil dari intensitas puncak II.

Flavon, flavonol yang tersubtitusi oksigen hanya pada cincin A, dalam metanol

cenderung memberikan spektra yang nyata pada pita II dan lemah pada pita I,

tetapi jika cincin B yang tersubtitusi oksigen, pita I akan kelihatan lebih nyata.

Penambahan pereaksi geser atau pereaksi diagnostik, adanya

hidroksilasi, glikolasi, metilasi dan asetilasi dapat mengubah karakter resapan

dari senyawa flavonoid. Dengan melihat perubahan-perubahan ini maka dapat

digunakan untuk memperkirakan struktur flavonoid.

1. Efek hidroksilasi. Penambahan gugus hidroksil pada cincin A pada

flavon atau flavonol menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita

resapan I atau pita resapan II pada spektra flavonoid. Apabila gugus hidroksil

tidak ada pada flavon atau flavonol, panjang gelombang maksimal muncul pada

panjang gelombang yang lebih pendek dibanding jika ada gugus 5 – OH ,

sedang subtitusi gugus hidroksil pada posisi 3, 5 dan 4 mempunyai sedikit efek

atau tidak sama sekali pada spektra UV. Pita absorpsi I isoflavon mempunyai

intensitas yang lemah, sedangkan pita II intensitas kuat. Pita absirbsi II dari

isoflavon biasanya antara 245 – 270 nm dan relatif tidak mempunyai efek pada

cincin B dengan adanya hidroksilasi.

2. Efek natrium metoksida. Natrium metoksida merupakan basa kuat

yang dapat mengiionisasi semua gugus dalam flavonoid. Degradasi atau


pengurangan kekuatan spektra setelah waktu tertentu merupakan petunjuk yang

baik akan adanya gugus yang peka terhadap basa. Spektra isoflavon yang

mempunyai gugus hidroksi pada cincin A akan memperlihatkan pergeseran

batokromik baik pada pita I maupun pita II. Puncak pada spektra UV senyawa 3’

– 4’ dihidroksi isoflavon akan mengalami penurunan intensitas beberapa menit

setelah penambahan natrium metoksida. Adanya perbedaan kecepatan

dekomposisi 4’ monohidroksi isoflavon dapat digunakan untuk menentukan

bahwa dekomposisi yang berjalan cepat menunjukkan adanya 3’ – 4’ dihidroksi

isoflavon. Penambahan natrium metoksida pada flavon dan flavonol dalam

metanol umumnya menghasilkan pergeseran batokromik untuk semua pita

serapan. Walaupnun demikian pergeseran batokromik yang besar pada serapa

pita I sekitar 40 – 65 nm tanpa penurunan intensitas, menunjukkan adanya

gugus 4’ – OH bebas. Dan flavonol yang tidak mempunyai gugus 4’ – OH bebas

juga memberikan pergeseran pada pita serapan I, dengan penurunan intensitas.

Dalam hal ini pergeseran batokromik disebabkan adanya gugus 3 – OH bebas.

Jika suatu flavonol mempunyai 3 dan 4’ – OH bebas, maka spektra dengan

natrium metoksida akan mengalami dekomposisi. Pengganti natrium metoksida

yang baik ialah laruan NaOH 2M dalam air.

3. Efek natrium asetat. Natrium asetat merupakan basa lemah dan

hanya akan mengionisasi gugus yang sifat keasamannya tinggi, khususnya

untuk mendeteksi adanya gugus 7 – OH bebas. Natrium asetat hanya dapat

mengionisasi isoflavon khusus pada gugus 7 – OH. Gugus 3’ atau 4’ – OH pada

flavonol. Oleh sebab itu interpretasi terhadap pergeseran spektra isoflavon untuk
penambahan natrium asetat menjadi sederhana. Adanya 7 – OH isoflavon

menyebabkan pergeseran batokromik 6 – 20 nm pada pita II setelah

penambahan natrium asetat. Adanya natrium asetat dan asam borat akan

membentuk kompleks dengan gugus orto hidroksil paa cincin B menunjukkan

pergeseran batokromik pada pita serapan I sebesar 12 – 30 nm. Gugus orto

hidroksil pada cincin A juga dapat dideteksi dengan efek natrium asetat dan

asam borat. Adanya pergesaran batokromik sebesar 5 – 10 nm pada pita II

menunjukkan adanya gugus orto hidroksi pada posisi C 6 dan C7 atau C7 dan C8.

4. Efek aluminium klorida. Pereaksi ini dapat membentuk kompleks

tahan asam antara gugus hidroksi dan keton yang bertetangga dan membentuk

kompleks tidak tahan asam dengan gugus orto – hidroksi, perekasi ini dapat

digunakan untuk mendetekasi kedua gugus tersebut. Adanya gugus 3’, 4’ –

dihidroksil pada isoflavon atau flavanon dan dihidroflavonol tidak dapat dideteksi

dengan AlCl3 karena cincin B mempunyai sedikit atau tidak ada konyugasi

dengan kromofor utama. Jika isoflavon, flavanon (dan mungkin dihidroflavonol)

mengandung gugus-gugus orto – hidroksil pada posisi 6, 7 atau 7, 8 maka

spektra AlCl3 menunjuikkan pergeseran batokromik (biasanya pada pita I

maupun pita II) dengan membandingkan terhadap spektra AlCl 3 / HCl. Pita

serapa II spektra UV dari semua 5 – OH isoflavon dapat dideteksi dengan

penambahan AlCl3 atau HCl, kecuali 2 – karboksil 5, 7 – dihidroksil isoflavon.

Adanya gugus tersebut ditandai dengan pergeseran batokromik pada pita II 10 –

14 nm (relatif terhadap spektra metanol). Spektra isoflavon yang tidak

mempunyai gugus 5 – OH bebas tidak berefek setelah penamabahan AlCl 3 /


HCl. Pada flavon dan flavonol, adanya gugus orto – hidroksil pada cincin B dapat

diketahui jika penambahan asam terhadap spektra AlCl 3 menghasilkan

pergeseran hipsokromik sebesar 30 – 40 nm pada pita I (atau pita Ia jika terdiri

dari dua puncak). Dengan adanya pergeseran batokromik pada pita Ia (dalam

AlCl3 / HCl) dibandingkan dengan pita I (dalam metanol) sebesar 35 – 55 nm,

menunjukkan adanya 5 – OH flavon atau flavonol 3 – OH tersubtitusi.


Pereaksi Geser NaOMe

Pereaksi Geser NaOAc Pereaksi Geser AlCl 3 / HCl

HO O

7 – HIDROKSIFLAVON
Data kromatografi
UV------------ Fluoresensi kuning pucat
UV/NH3------ Fluoresensi kuning terang
Rf 0,89 (TBA), 0,29 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 252,268,307
NaOMe ------------ 266,307,359
AlCl3 ---------------- 249,307
AlCl3 / HCl -------- 251,307,358
NaOAc ------------- 275,359
NaOAc / H3BO4 -- 255 sh,270 sh,309

OH
OH

HO O

3’, 4’ - DIHIDROKSIFLAVON
Data kromatografi
UV------------ Fluoresensi biru terang
UV/NH3------ Fluoresensi kuning-hijau
Rf 0,77 (TBA), 0,18 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 242,308sh,340
NaOMe ------------ 249sh,278sh,302,404
AlCl3 ---------------- 248sh,273sh,304,378,468sh
AlCl3 / HCl -------- 242,312sh,342
NaOAc ------------- 305,348,400
NaOAc / H3BO4 – 306,365

HO O

OH O

KRISIN
Data kromatografi
UV------------ Ungu gelap
UV/NH3------ Ungu gelap
Rf 0,90 (TBA), 0,16 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 247sh,268,313
NaOMe ------------ 288,263sh,277,361
AlCl3 ---------------- 252,279,330,380
AlCl3 / HCl -------- 251,280,326,381
NaOAc ------------- 275,359
NaOAc / H3BO4 – 269,315
rhamnoglusil O O

OH O

3’,4’,7-TRIHIDROKSIFLAVON
7-0-RHAMNOGLUKOSIDAKRISIN
Data kromatografi
UV------------ Fluoresensi biru terang
UV/NH3------ Fluoresensi kuning-hijau
Rf 0,26 (TBA), 0,38 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 247sh,255sh,305,341
NaOMe ------------ 293, 405
AlCl3 ---------------- 244sh,258sh,306,380
AlCl3 / HCl -------- 247sh,257sh,306,341
NaOAc ------------- 275sh,299,350,401
NaOAc / H3BO4 – 257sh,365
HO O

HO
OH O

BAIKALEIN
Data kromatografi
UV------------ Ungu gelap
UV/NH3------ Ungu gelap
Rf 0,78 (TBA), 0,19 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 247sh,274,323
NaOMe ------------ 257,366,410sh(dec)
AlCl3 ---------------- 247,272,284sh,375
AlCl3 / HCl -------- 255sh,282,292sh,346
NaOAc ------------- 257,360,405sh(dec)
NaOAc / H3BO4 – 262sh,277,333
OH
OH

HO O

HO
OH O

LUTEOLIN
Data kromatografi
UV------------ Ungu gelap
UV/NH3------ Kuning
Rf 0,77 (TBA), 0,08 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 242sh,253,267,291sh,349
NaOMe ------------ 266sh,329sh,401
AlCl3 ---------------- 274,300sh,328,426
AlCl3 / HCl -------- 266sh,275,294,sh,355,385
NaOAc ------------- 269,326sh,384
NaOAc / H3BO4 – 259,301sh,370,430sh
OCH3
OH

HO O

HO
OH O

KRISOERIOL
Data kromatografi
UV------------ Ungu gelap
UV/NH3------ Kuning-HIJAU
Rf 0,80 (TBA), 0,05 (HOAc)
Data spectra UV (λmaks nm)
MeOH -------------- 241,249SH,269,347
NaOMe ------------ 254,275SH,329SH,405
AlCl3 ---------------- 262,274,296,366sh,390
AlCl3 / HCl -------- 259,276,294,353,386
NaOAc ------------- 271,321,396
NaOAc / H3BO4 – 268,349
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan NaOMe

(Karkham, 1988)

Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon Kekuatan menurun terus (artinya 3,4’-OH,O –diOH pada cincin A;
Flavonol penguraian) pada cincin B 3-OH yang
berdampingan
Mantap + 45 sampai 65 nm 4’-OH
Kekuatan menurun
Mantap + 45 sampai 65 nm 3–OH. Tak ada 4’–OH bebas
Kekuatan menurun
Pita baru (bandingkan dengan MeOH), 7–OH
320 – 325 nm
Isoflavon Tak ada pergeseran Tak ada OH pada cincin A
Flavanon Kekuatan menurun dengan O–diOH pada cincin A
Dihidroflavonol berjalannya waktu (penurunan lambat: O –diOH
pada cincin B isoflavon)
Bergeser dari k.280 nm ke Falvanon dan dihidroflavonol
k.325 nm, kekuatan naik dengan 5, 7–OH
tetapi ke 330-340 nm 7–OH, tanpa 5-OH bebas
Khakon +80 sampai 95 nm 4’–OH (auron)
Auron (kekuatan naik)
+ 60 sampai 70 nm 6–OH tanpa oksigenasi pada 4’
(kekuatan naik) (auron)
Pergeseran lebih kecil 6–OH dengan oksigenasi pada 4’
(auron)
+ 60 sampai 100 nm 4 – OH (khalkon)
(kekuatan naik)
(tanpa kenaikan kekuatan) 2–OH atau 4’–OH dan tapa
4–OH
+ 40 sampai 50 nm 4’–OH (2’–OH atau 4–OR juga
ada)
Antosianidin Semuanya terurai kecuali 3- Nihil
Antosianin deoksiantosianidin

Penafsiran spektrum UV dengan penambahan NaOAc

(Karkham, 1988)

Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon + 5 sampai 20 nm (berku- 7-OH
Flavonol rang bila ada oksigenasi
Isoflavonol pada 6 atau 8)
Kekuatan berkurang dengan bertambahnya Gugus yang peka terhadap basa,
waktu mis. 6,7 atau 7,8 atau 3,4’-diOH
Mantap + 45 sampai 65 nm 3–OH. Tak ada 4’–OH bebas
Kekuatan menurun
Pita baru (bandingkan dengan MeOH), 7–OH
320 – 325 nm
Flavanon +35 nm 7-OH (dengan 5-OH)
Dihidroflavonol +60nm 7-OH (dengan tanpa 5-OH)
Kekuatan berkurang dengan bertanbahnya Gugus yang peka terhadap basa,
waktu mis.67 atau 7,8-diOH
Khakon Pergeseran batokromik atau bahu pada 4’ dan / atau 4-OH (khalkon)
Auron panjang gelombang yang lebih panjang 4’ dan / atau 6-OH (auron)

Penafsiran spektrum UV dengan NaOAc / H3 BO3 (Karkham, 1988)

Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak Petunjuk penafsiran


Pita I Pita II
Flavon +12 21mpai 36 nm O-diOH pada cincin B
Flavonol (nisbi terhadap spektrum MeOH)
Auron Pergeseran lebih kecil
Khalkon O-diOH pada cincin A (6,7 atau
7,8)
Isoflavon +10 sampai 15 nm (nisbi O-diOH pada cincin A (6,7 atau
Flavanon terhadap spektrum MeOH) 7,8)
Dihidroflavonol

Penafsiran spektrum UV dengan penambahan AlCl3 dan AlCl3 /HCl


(Markham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak Petunjuk penafsiran
Pita I Pita II
Flavon dan +35 sampai 55 nm 5-OH
Flavonol +17 sampai 20 nm 5-OH denganm gugus oksigenasi
(AlCl3 / HCl) pada 6
Tak berubah Mungkin 5-OH dengan gugus
prenil pada 6
+50 sampai 60 nm Mungkin 3-OH (dengan atau
(AlCl3)
tanpa 5-OH)
Pergeseran AlCl3 / HCl O-diOH pada cincin B
Tambah 30 sampai 40 nm
Pergeseran AlCl3 / HCl O-diOH pada cincin A (tambahan
Tambah 20 sampai 25 nm Pada pergeseran O-diOH pada
cincin B)
Isoflavon, +10 sampai 14 nm 5-OH (isoflavon)
Flavanon, dan
Dihidroflavonol + 20 sampai 26 nm 5-OH (flavon, dihidroflavonol
(AlCl3 / HCl)
(AlCl3) Pergeseran AlCl3 / HCl, O-diOH pada cincin A (6,7 dan
tambah 11 sampai 30 nm 7,8)
Pergeseran AlCl3 / HCl, Dihidroflavonol tanpa 5-OH
tambah 30 sampai 38 nm (tambahan pada sembarang
(peka terhadap NaOAc) pergeseran O-diOH)
Auron +48 sampai 64 nm 2’-OH (khalkon)
Khalkon + 40 nm 2’-OH (khalkon) dengan
(AlCl3 / HCl) oksigenasi pada 3’
(AlCl3) +60 sampai 70 nm 4-OH (auron)
Pergeseran AlCl3 / HCl O-diOH pada cincin B
Tambah 40 sampai 70 nm
Penambahan lebih kecil Mungkin O-diOH pada cincin A
Antosianidin +25 sampai 35 nm O-diOH
Antosianin (pada pH 2-4)
Pergeseran lebih besar Banyak O-diOH atau O-diOH (3-
(AlCl3)
deoksi antosianidin)
III.2 Penetapan kadar flavonoid

Prinsip kerja: Flavonoid ditetapkan kadarnya sebagai aglikon dengan

terlebih dahulu dilakukan hidrolsisi dan selanjutnya dilakukan pengukuran

spektrometri dengan pereaksi geser AlCl 3 dengan penambahan

heksametilentetramina pada panjang gelombang maksimum.

Cara kerja : Sejumlah ekstrak yang setara dengan 200 mg simplisia

dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Tambahkan 1.0 ml larutan 0,5% b/v

heksametilentetramina, 20.0 ml aseton dan 2.0 ml larutan 25% HCl dalam air.

Refluks selama 30 menit. Campuran hasil hidrolisis disaring menggunakan

kapas ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambah 20 ml aseton, didihkan sebentar,

lakukan dua kali dan filtrat dikumpulkan, cukupkan volumenya hingga 100.0 ml,

kocok hingga rata. 20 ml filtrat dimasukkan dalam corong pisah dan ditambahkan

20 H2O, selanjutnya diekstraksi aglikon pertama dengan 15 ml etil asetat.

Kemudian dua kali dengan 10 ml etil asetat, lapisan etil asetat dikumpulkan ke

dalam labu tentukur 50.0 ml, cukupkan volume hingga 50.0 ml. Lakukan

pengukukuran spektrometri.

Spektrometri : Sebanyak 10 ml larutan fraksi etil asetat ke dalam labu

tentukur 25.0 ml, tambah 1 ml larutan 2 g AlCl3 dalam 100 ml larutan asam

asetat glasial 5% dalam metanol. Tambahkan secukupnya larutan asam asetat

glasial 5% v/v dalam metanol hingga 25.0 ml. Hasil reaksi siap diukur pada

panjang gelombang maksimum. Perhitungan kadar menggunakan bahan standar


glikosida flavonoid (hipetoksida, rutin, hesperidin), gunakan kurva baku dan nilai

kadar dihitung sebagai bahan standar tersebut.

SKEMA PENETAPAN KADAR FLAVONOID TOTAL

Setara dengan 200 mg


Sampel ekstrak simplisia

+ 1.0 ml lar 0,5% b/v heksametilentetramin


+ 20.0 ml aseton
+ 2.0 ml lar HCl 25%
- Refluks selama 30’
- Saring menggunakan kapas

Ampas Labu ukur 100 ml Ad kan dengan

+ 20 ml aseton
- Didihkan sebentar
- Perlakuan 2x

Ampas Filtrat

20 ml
- Masuk ke dalam corong pisah
+ 20 ml H2O kocok dengan
- 15 ml etil asetat
- 2 x 10 ml etil asetat

Lapisan air Filtrat campur Dalam labu ukur 50 ml


Adkan dengan etil asetat

50 ml larutan etil
asetat

- Pipet 10 ml, masuk dalam labu ukur 25 ml


- + 1 ml AlCl3 2% dalam asam asetat galsial 5% v/v
- ad volume dengan asam asetat glacial 5% v/v dalam
metanol
- Diamkan 30’
- Ukur panjang gelombang maksimum
- Buat kurva baku untuk memperoleh persamaan
garis linier dan bandingkan dengan sampel

Y = b + aX
Contoh :

1. Pembuatan larutan baku

Rutin ditimbang secara saksama sebanyak 0,0113 g, dimasukkan ke

dalam labutentukur 10 ml dan diencerkan dengan etanol 96% hingga tanda

digunakan sebagai larutan stok. Selanjutnya dibuat berbagai konsentrasi dengan

0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial masing-masing;

a. 2 ml larutan stok rutin (0,113% b/v) diencerkan dalam labutentukur 10

ml dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda

(0,0226%)

b. 1 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml

dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00452%)

c. 3 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml

dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00678%)

d. 2 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml

dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00904%)

e. 3 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml

dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,01356%)

Ukur absorban spektrokooi UV.

2. Penetapan kadar flavonoid total

Sebanyak 50 mg ekstrak daun paliasa, dimasukkan ke dalam labu alas

bukat. Tambahkan heksamin 126,5 mg, 20 ml aseton dan 2.0 ml HCl,


kemudian direfluks selama 30 menit, dinginkan. Selanjutnya disaring

dengan kapas ke dalam labutentukur 100 ml, ampas dicuci dua kali,

setiap kali dengan 20 ml aseton dan didihkan sebentar. Filtratnya

dimasukkan ke dalam labutentukur yang berisi filtrat pertama, cukupkan

volumenya dengan aseton. Pipet 20 ml larutan dan masukka ke dalam

corong pisah dan ditambah dengan 20 ml air serta 15 ml etilasetat,

dikocok beberapa saat. Lapisan etil asetat (lapisan atas) ditampung ke

dalam labutentukur 50 ml, lapisan bawah dikocok kembali sebanyak dua

kali masing-masing dengan 10 ml etil asetat. Lapisan etil asetat

dipisahkan dimasukkan ke dalam labutentukur yang telash berisi lapisan

utama, cukupkan volumenya hingga tanda dengan etil asetat. Pipet

dengan pipet volume sebanya 4 ml, masukkan dalam labutentukur 5 ml,

tambahkan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda, ukur

absorban.

Perhitungan

Persamaan garis regresi linier dari kurva baku

Y = 227,54 X + 0,0976

Y – 0,0976
X=
227,54

Jika absorban 0,330 nm, maka kadar flavonoid :

0,330 – 0,0976
X= = 0,001021359 %
227,54

Kadar flavonoid total dalam 4 ml = 5 / 4 x 0,001021359 %


= 0,001276699 %

= 0,01276699 mg/ml

Berat flavonoid total dalam 50 ml larutan etil asetat :

= 50 ml x 0,01276699 mg/ml

= 0,6383495 mg ~ 20 ml filtrat aseton

Berat flavonoid total dari ekstrak yang dihidrolisis

= 100 / 20 x 0,6383495 mg

= 3,1917474 mg

Jadi kadar flavonoid dalam ekstrak daun paliasa :

= 3,1917474 mg / 101 mg x 100 %

= 3,16 %
Spektrogram UV rutin dalam metanol
Spektrogram UV rutin + pereaksi
Aluminium klorida dalam metanol
Spektrogram UV rutin + pereaksi aluminium klorida,
Asam klorida dalam metanol
Kurva baku rutin dan absorbansi ekstrak daun paliasa
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1986, Merck Index, Eighth Edition, Merck & CO,Inc,Rahway,


M.J.,U.S.A

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1986, Sediaan Galenik.


Departemen Kesehatan R.I. Jakarta

Direktorat Pengawasan Obat Tradisonal, 2000. Parameter Standar Umum


Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan, Departemen Kesehatan RI., Cetakan Pertama, Jakarta

Gandjar,I.G., 1991, Kimia Analisis Instrumental , Fakultas Farmasi, Universitas


Gadjah Mada, Yogyakarta, 18 – 19

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penentuan Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Terbitan Kedua. Penerbit ITB, Bandung, 4-15, 47-89, 69-100

Harborne, J.B., Mabry, T.J., 1975, The Flavonoids, Chapman and Hall, London.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I – IV. Terjemahan oleh


Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yayasan Sarana Warna
Jaya, Jakarta.

Ikan, R,. 1976. Natural Products. A Laboratory Guide. Second Printing.


Academic Press, Jerusalem.

Mabry, T.J., et.al., 1970, The Systematic Identification of Flavonoid, Springer


Verlag, New York-Heidelberg Berlin, 3 -35, 165 – 171

Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh


Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1 – 65

Pramono, S., 1989, Pemisahan Flavonoid, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas


Gadjah Mada, Yogyakarta, 1 – 19

Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, diterjemahkan oleh


Sarjono Kisman dab Slamet Ibrahim, Cetakan II, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 345 – 347
Samuelsson, G. 1999. Drug of Natural Origin. A Textbook of Pharmacognosy,
4th resived edition. Sweden, 46-47

Sastrohamidjojo, H., 1991, Spektroskopi, Edisi kedua, Penerbit Liberty,


Yogyakarta, 1 – 11, 13 – 25

Untoro, P., 1990, Pemeriksaan Kandungan Flavonoid Eriobotrya japonic,


Disertasi, ITB, Bandung, 15

World Heath Organization, 1998, Quality Control Methods for Medicinal Plant
Materials, Geneva

Anda mungkin juga menyukai