Anda di halaman 1dari 33

CASE BASED DISCUSSION

BELL’S PALSY

Oleh :

Akhmad Sandy Sauqy

015.06.0001

Pembimbing :
dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF SARAF RUMAH SAKIT UMUM BANGLI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan kasus ini dengan judul “BELL’S PALSY”. Dimana dalam
penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian SMF Bagian Penyakit Saraf RSU Bangli.
Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang
menjadi tutor atau fasilitator yang membimbing saya selama melaksanakan tugas
ini, dan juga semua pihak yang telah membantu sehingga saya dapat
menyelesaikannya laporan ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini saya menyadari bahwa masih banyak
kekurangannya sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun
dalam menyempurnakan laporan kasus.

Bangli, 5 Mei 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis.........................................................2
2.2 Definisi Bell’s Palsy......................................................................................4
2.3 Etiologi..........................................................................................................4
2.4 Patofisiologi...................................................................................................4
2.5 Gejala Klinis..................................................................................................8
2.6 Anamnesis.....................................................................................................9
2.7 Pemeriksaan Fisik........................................................................................10
2.8 Kriteria Diagnosis........................................................................................11
2.9 Diagnosis Banding.......................................................................................13
2.10 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................13
2.11 Penatalaksanaan.........................................................................................14
2.12 Edukasi......................................................................................................14
2.13 Prognosis...................................................................................................15
2.14 Kewenangan Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan.........................15
BAB III LAPORAN KASUS..........................................................................16
3.1 Indentitas Pasien..........................................................................................16
3.2 Anamnesis...................................................................................................16
3.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................17
3.4 Resume........................................................................................................26
3.5 Diagnosis.....................................................................................................26
3.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang..................................................................26
3.7 Diagnosis Kerja...........................................................................................26
3.8 Penatalaksanaan...........................................................................................26
3.9 Prognosis.....................................................................................................27

iii
BAB IV PENUTUP..........................................................................................28
4.1 Kesimpulan..................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang
pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua
kelumpuhan nevus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut
Bell’s palsy. Juga dikatakan Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan
fasialis tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer
yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.1,2
Bell’s palsy merupakan kasus terbanyak dari kelumpuhan akut perifer
wajah unilateral di dunia. Insidensinya adalah sebesar 20-30 kasus dari
100.000 orang. Bell’s palsy menempati porsi sebesar 60-70% dari seluruh
kasus kelumpuhan perifer wajah unilateral.3 Data yang dikumpulkan dari 4
buah Rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati.4
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan setiap saat tidak
didapatkan perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin. Meskipun
begitu pada beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin, baik
kendaraan dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau bergadang sebelum
menderita BP.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis


Nervus fasialis bersifat smatomotorik, viseromotorik, dan
somatosensorik. Serat-serat Upper Motor Neuron (UMN) dari N. fasialis (N.
VII) berasal dari korteks serebri hingga nucleus N. fasialis. Daerah motorik
pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis, serta-serat ini berjalan
kebawah melalui genu dari kapsula interna (sebagai trakturs pontes) ke basis
pedunkuli dan berakhir pada N. VII kontra lateral. Komponen dari N. VII
yang meninervasi bagian atas wajah berasal dari korteks kedua sisi, sedangkan
bagian bawah wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah
motoric kedua, terletak di lobus temporalis.6,7
Serat-serat Lower Motor Neuron (LMN) berasal dari nucleus N. VII
kebawah. Serabut N. fasialis meninggalkan batang otak bersama N. Oktavus
dan N. Intermedius masuk ke dalam os. petrosum melalui meatus akustikus
internus, sampai di kavum timpani bergabung dengan ganglion genikulatum
sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian dari lidah. Dari ganglion ini N. VII
bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum yang
menghantarkan impuls skretomotorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar
lakrimalis. N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideus
memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.
frontalis sampai M. platysma. 6,7

2
Serabut-serabut yang berkaitan dengan penutupan mata dan gerakan-gerakan
volunteer wajah berasal dari 1/3 bawah girus presentralis

Gambar 2.1 Anatomi nervus fasialis

Gambar 2.2 Perjalanan cabang-cabang nervus fasialis

3
2.2 Definisi Bell’s Palsy
Bell’s Palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab
tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian
akut, unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual
mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.8,9
Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk
polineuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi
iskemik. Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV
type I dan reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis.8,9
Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus
paralisis fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia. Bells’ palsy lebih
sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan wanita hamil. 8,9

2.3 Etiologi
Secara umum etiologi Bell’s Palsy adalah idiopatik. Karena proses
yang dikenal awam sebagai “masuk angina” atau dalam Bahasa inggris “cold”,
N. fasialis bisa sembab sehingga ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lowor motor neuron (LMN).
Kelumpuhan tersebut dinamakan Bell’s Palsy : 10
Walaupun etiologinya tidak diketahui ada 4 teori yang diajukan
sebagai penyebab Bell’s palsy, yaitu :
a. Teori Iskemik Vaskuler
Teori ini sangat popular dan banyak yang menerimanya sebagai
penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori ini terjadi regulasi sirkulasi
darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII
sehingga terjadi iskemik, kemundian diikuti oleh dilatasi kapiler dan
permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi.
Cairan transudate yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe
sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan
akan lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga
terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan/ circulus vitiosus.

4
Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami
nekrosis dan kontinutas yang terputus. 11
b. Teori Infeksi Virus
Menurut teori ini Bell’s Palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti
secara tidak langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum
Bell’s Palsy. Juga dikatakan dalam perjalanan klinis BP seangat
menyerupai “viral neurophaty” pada saraf perifer lainnya. 10,11
Walaupun etiologi dari Bell’s Palsy tidak diketahui, penyakit ini
dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion
genikulatum. Mungkin bahwa beberapa kasus Bell’s palsy disebabkan
oleh infeksi herpes simpleks yang laten. Teori virus ini didukung oleh
Adour dkk. Dikatakan bahwa Bell’s palsy dapat terjadi karenan proses
reaktivasi dari virus herpes (khusunya simpleks tipe 1). Sesudah suatu
infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe 1 dalam jangka waktu yang
cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi ini dapat
terjadi jika daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis / neuropati
dengan proses keradangan / edema. Menurut Adour, lokasi nyeri dapat
disepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa
lokasi primer dari edema N. VII pada Bell’s Palsy adalah disekitar
foramen stilomastoideus. Walaupun penyebab virus dicurigai sebagai
etiologi Bell’s Palsy adalah negative, berarti tidak dapat mendukung teori
infeksi virus. 10,11

c. Teori Herediter
Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita Bell’s Palsy yang
kausanya herediter yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis
falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga
menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. 10,11
d. Teori Imunologi
Dikatakan vahwa BP terjadi akubat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy diberikan pengobatan

5
kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di
dalam kanalis fasialis Falopii dan juga sebagai imunosupresor. 10,11

2.4 Patofisiologi
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinis Bell’s
Palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N. VII. Pulec
memandang BP sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai
suatu “entrapment syndrome”12
Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis
Bell’s Palsy, oleh George A Gates, membagai pathogenesis Bell’s Palsy
menjadi 3 tipe yaitu :
a. Tipe I
Pada tipe I mengalami paresis ringan dan sebagian mengalami
kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami
penyembuhan yang baik. Blok konduksi saraf yang reversible
(neuropraksis) adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena
edema disekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh
darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan. 12
Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh
radang virus yang menyebabkan kebocoran cairan masuk kedalam
jaringan sekiratnya. Bila cairan ini terkumpul didalam endoneurium maka
konduksi saraf menjadi melambat. 12

6
Gambar 2.3 Konduksi normal suatu saraf (a), konduksi abnormal (b, c)
karena edema endoneurium. Lompatan salutatory listrik dihambat oleh
cairan.
b. Tipe II
Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa
lain, yang mungkin akibat dari degenerasi saraf, sinkenesis ini terjadi
karena impuls dari satu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan
dan berakibat kontraksi otot-otot lain juga. George A Gates menjelaskan
akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi “salutatory movement”
kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga
terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat
bersamaan. 13,14
c. Tipe III
Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenarasi Wallerian
yang terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirintin dari nervus
fasialis. Ini terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zoster
dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah

7
terganggu. Selanjutnya dapat menyebar korda timpani saraf, saraf akustik
dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson, kemudian
terjadi paralisi dan degenerasi. 12,13
Menurut Adour dkk. yang terkenal dengan konsep teori virusnya
menerangkan virus akan memperngaruhi saraf pada sel schwan
menyebabkan peradangan, dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan
protein dari sel saraf, melalui membrane, merusak reaksi autoimun untul
sel membrane saraf. 12,13,14

2.5 Gejala Klinis


Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan atau
kelumpuhan pada separuh wajahnya pada sisi yang sakit. Keluhan berupa
sudut mulut yang jatuh/tidak dapat terangkat, ketika makan/minum keluar dari
sisi mulut, pengecapan terganggu, kebas pada separuh wajahnya, nyeri pada
telinga, sensitif/peka terhadap suara yang normal tidak menyakitkan
(hiperakusis), rasa berdenging pada telinga (tinitus), produksi air mata
berkurang sehingga mata menjadi kering. Tanda yang dapat ditemukan,
mencerminkan kelumpuhan otot fasialis, seperti tidak mampu mengerutkan
dahi, kelopak mata tidak dapat menutup dengan rapat, fenomena Bell yaitu
ketika pasien berusaha memejamkan kelopak matanya bola mata berputar ke
atas, sulkus nasolabialis yang mendatar, sudut mulut yang tidak dapat
terangkat/jatuh dan pengecapan 2 / 3 lidah depan menurun (hipogeusia).8,9
Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut
muncul. Terdapat lima letak lesi yang dapat memberikan petunjuk munculnya
gejala dan tanda Bell’s palsy yaitu bila lesi setinggi meatus akustikus internus
menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan
pendengaran berupa tuli dan gangguan keseimbangan. Pada lesi yang terletak
setinggi ganglion genikulatum akan terjadi kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral serta gangguan pengecapan, lakrimasi dan salivasi. Sementara itu
lesi setinggi nervus stapedius menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta hiperakusis. Selanjutnya
pada lesi setinggi kanalis fasialis (diatas persimpangan dengan korda timpani
tetapi dibawah ganglion genikulatum) akan terjadi kelemahan seluruh otot

8
wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi. Yang terakhir, lesi yang
terletak setinggi foramen stylomastoid akan menyebabkan kelemahan seluruh
otot wajah ipsilateral. 8,9

Gambar 2.4 Lokasi lesi nervus fasialis

2.6 Anamnesis
Gejala awal:
 Kelumpuhan muskulus fasialis
 Tidak mampu menutup mata
 Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
 Perubahan pengecapan (57%)
 Hiperakusis (30%)
 Kesemutan pada dagu dan mulut

9
 Epiphora
 Nyeri ocular
 Penglihatan kabur
Onset Onset Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai
puncaknya kurang dari 48 jam. Kebanyakan pasien mencatat paresis
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut
harus dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.
 Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan
kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra
nuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami
kelumpuhan. Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi
bilateral pada level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan 117
lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan. 8,9
 Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi
pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.
 Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
 Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang lumpuh.
Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral
harus dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra
lateral atau diplopia berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral
supranuklear, stroke atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai. 8,9
Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi
kontralateral, atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis
fasial harus sangat dipertimbangkan. Progresifitas paresis masih
mungkin,namun biasanya tidak memburuk pada hari ke 7 sampai 10.
Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai diagnosis yang berbeda. 8,9
Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai
Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.
Manifestasi Okular Komplikasi okular awal:
 Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)

10
 Corneal exposure
 Retraksi kelopak mata atas
 Penurunan sekresi air mata
 Hilangnya lipatan nasolabial
 Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)
Manifestasi okular lanjut
 Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
 Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
 Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).
 Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena
penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.
 Nyeri auricular posterior
 Hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat kelumpuhan
sekunder otot stapedius.
 Gangguan pengecapan Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa
pengecapan. Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena
sisi lidah yang lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal
pengecapan mengindikasikan penyembuhan komplit.

2.8 Kriteria Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum
dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy
adalah diagnosis eksklusi. 8,9
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan
penyebab lain dari paralisis fasialis:
a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan
penyakit cerebellopontin angle.
Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan
motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello
Pontine Angle). 8,9

11
Klasifikasi Sistem grading ini dikembangkan oleh House and
Brackmann dengan skala I sampai VI.
a. Grade I adalah fungsi fasial normal.
b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut :
1) Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
2) Sinkinesis ringan dapat terjadi.
3) Simetris normal saat istirahat.
4) Gerakan dahi sedikit sampai baik.
5) Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
6) Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
1) Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
2) Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan
3) Simetris normal saat istirahat.
4) Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
5) Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
6) Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai
berikut:
1) Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
2) Simetris normal saat istirahat.
3) Tidak terdapat gerakan dahi.
4) Mata tidak menutup sempurna.
5) Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1) Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
2) Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
3) Tidak terdapat gerakan pada dahi.
4) Mata menutup tidak sempurna.
5) Gerakan mulut hanya sedikit.
f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
1) Asimetris luas.
2) Tidak ada gerakan.

12
2.9 Diagnosis Banding
a. Acoustic neuroma dan lesi cerebellopontine angle.
b. Otitis media akut atau kronik.
c. Amiloidosis.
d. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis.
e. Sindroma autoimun.
f. Botulismus.
g. Karsinomatosis.
h. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli.
i. Cholesteatoma telinga tengah.
j. Malformasi congenital.
k. Schwannoma N. Fasialis.
l. Infeksi ganglion genikulatum

2.10 Pemeriksaan Penunjang


a. Darah rutin, ureum, kreatinin, Gula darah
b. ENMG
c. MRI kepala + Kontras (jika curiga lesi sentral) 8,9

13
2.11 Penatalaksanaan
Algoritma tatalaksana Bell’s Palsy

Bagan 2.1 Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy


Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf
fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan
untuk pasien dalam 1-4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan: 8,9
a. Pengobatan inisial
 Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN,
2011).
 Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
 Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6
hari, diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.

14
 Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800
mg oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air
mata pada siang hari) dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur : dapat mempercepat perbaikan dan
menurunkan sequele.

2.12 Edukasi
a. Penjelasan mengenai penyakit agar pasien tidak cemas
b. Penjelasan mengenai bagaimana melakukan latihan otot wajah
c. Penjelasan mengenai bagaimana melindungi mata

2.13 Prognosis
a. Ad vitam : bonam
b. Ad Sanationam : bonam
c. Ad Fungsionam : bonam

2.14 Kewenangan berdasarkan tingkat pelayanan kesehatan


a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
 Diagnosis dan tatalaksana komrehensif
 Rujuk sesuai algoritma
b. PPK 2 (RS tipe B dan C) :
 Pemeriksaan penunjang : ENMG
 Tatalaksana medis komprehensif
 Tatalaksana rehabilitasi
c. PPK 3 (RS tipe A) :
 Pemeriksaan penunjang seperti PPK 2, ditambah MRI Kepala
 Tatalaksana medis komprehensif
 Tatalaksana Rehabilitasi
 Tindakan operasi (jika diperlukan)

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


 Nama : IWP
 Umur : 46 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Status perkawinan : Menikah
 Pekerjaan : Swasta
 Agama : Hindu
 Suku Bangsa : Bali, Indonesia
 Alamat : Bangli
 No. RM : 2657.75
 Tanggal Pemeriksaan : 4 Mei 2021

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama : Wajah mencong
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Bangli
dengan kondisi sadar dengan keluhan wajah mencong. Keluhan dirasakan
pada wajah bagian kiri sudah sejak 11 hari yang lalu. Keluhan dirasakan
hanya sebelah wajah dari dahi, lipatan pipi, kelopak mata sulit menutup,
dan bibir kiri nampak lebih rendah saat pasien bercermin, keluhan terjadi
secara mendadak dan menetap sepanjang hari. Pasien mengaku keluhan
yang ia rasakan saat ini muncul secara tiba-tiba saat pasien baru bangun
tidur. Pasien mengatakan tidak ada aktifitas yang memperberat maupun
memperingan keluhan dari pasien. Pasien menyangkal adanya keluhan lain
seperti demam, nyeri, lemah separuh badan, penurunan kesadaran,
gangguan perasa pada lidah, gangguan pendengaran, mual dan muntah,
serta kelainan buang air besar dan buang air kecil.

16
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat keluhan serupa ; disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat stroke : disangkal
 Sakit kepala sebelumnya : disangkal
 Riwayat penyakit lain : Susp. HNP
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat keluhan serupa ; disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat stroke : disangkal
e. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan
Pasien adalah seorang pekerja swasta, aktifitas fisik sedang, tidak
merokok, tidak minum kopi, dan tidak mengkonsumsi alcohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis cooperative
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : Teraba kuat, frekuensi 60 kali/menit, regular.
Nafas : Thorako-abdominal, frekuensi 17 kali/menit.
Suhu : 36,8 oC
Keadaan gizi : baik
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 62 kg

b. Status Generalis:
Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

17
Kulit dan kuku : tidak ada kelainan
Kelenjer Getah Bening :
- Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB.
- Aksila : tidak ditemukan pembesaran KGB.
- Inguinal : tidak ditemukan pembesaran KGB.
Kepala : tidak ditemukan kelainan.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ditemukan kelainan.
Telinga : tidak ditemukan kelainan.
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru
Inspeksi : simetris, kiri = kanan saat statis dan dinamis.
Palpasi : fremitus normal, kiri = kanan.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea mid clavicula
sinistra RIC VI.
Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : irama teratur, HR: 61kali/menit, regular, bising tidak
ada.
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada.
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani.
Auskultasi : bising usus (+) normal.
c. Status Neurologis
Kesadaran : GCS 15 (E4 V5 M6).
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : Negatif
Tanda Kernig : Negatif
Tanda Brudzinski I : Negatif

18
Tanda Brudzinski II : Negatif

b. Nervus Kranialis
1. Nervus I (Olfaktorius) : Cavum nasi (D) Cavum nasi (S)
Subjektif : Tidak ada Keluhan Tidak ada Keluhan
Objektif (+) : Normal Normal

2. Nervus II (Optikus) : O.D. O.S.


Visus : 6/6 6/6
Lapang pandang : Normal Normal
Tes warna : Normal Normal
Fundus : Normal Normal
Skotoma : Normal Normal

3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)


O.D O.S
Celah kelopak mata : Normal Normal
Kedudukan bola mata : Simetris Simetris
Gerakan bola mata : Normal Normal
Nistagmus : Tidak ada Tidak ada
Ptosis : Tidak ada Tidak ada
Pupil : Isokor, bulat, Isokor, bulat,
3mm/3mm. 3mm/3mm.
Refleksi cahaya langsung : + +
Refleks cahaya tidak langsung : + +
Refleks konsensuil : + +
Refleks konvergensi : + +

4. Nervus V (Trigeminus) :
Kanan Kiri
Sensorik :
N-V1 (ophtalmicus) : Normal Normal
N-V2 (maksilaris) : Normal Normal

19
N-V3 (mandibularis): Normal Normal
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang
raba)
Motorik : Pasien dapat membuka mulut (-) menggerakan
rahang (-) menggigit (-) mengunyah (-)
O.D O.S
Refleks kornea : + +
Refleks maseter : -
Trismus : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada Tidak ada

5. Nervus VII (Fasialis) : Kanan Kiri


Otot-otot wajah dalam istirahat : Simetris Asimetris
Lipatan dahi : Normal Menghilang
Celah kelopak mata ; Normal Lagoftalmus
Sulkus nasolabialis : Normal Mendatar
Sudut bibit : Normal Menurun
Mengerutkan dahi : Simetris Asimetris
Menutup mata : - -
Meringis : Tertarik kearah kanan
Bersiul : Lemah pada bagian kiri
Gerakan involunter (Tic) : Tidak Ada Tidak Ada
Indera Pengecap Kanan Kiri
Asam : + +
Asin : + +
Pahit : + +
Manis : + +

Hiperakusis : Tidak ada Tidak ada


Lakrimasi : Tidak ada Tidak ada
Chovstex sign : - -
Refleks Glabela : - -

6. Nervus VIII (Vestibulokoklearis) :

20
Mendengar suara bisik : (+) jarak 5 m
Uji garpu tala Kanan Kiri
Rinne : Positif Positif
Schwabach : Normal Normal
Weber : Tidak ada Laterisasi
Bing : Normal
Tinitus : Tidak ada Tidak ada
Vertigo : Tidak ada

7. Nervus IX, X (Glosofaringeus, Vagus) :


Langit-langit lunak : (Normal)
Disfoni : Ada
Menelan : normal
Reflex muntah :+
Posisi uvula : Normal, deviasi (-)
Posisi arkus faring : Simetris

8. Nervus XI (Aksesorius) : Kanan Kiri


Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : Normal Normal
Kekuatan M. Trapezius : Normal Normal

9. N XII (Hipoglosus) :
Ujung Lidah Saat Istirahat Kanan Kiri
Ujung Lidah : Simetris Simetris
Tremor lidah : Tidak ada Tidak ada
Atrofi lidah : Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi : Tidak ada Tidak ada
Ujung Lidah Saat Dijulurkan Kanan Kiri
Ujung Lidah : Simetris Simetris
Tremor lidah : Tidak ada Tidak ada
Atrofi lidah : Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi : Tidak ada Tidak ada
Disartria : Tidak ada

21
c. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Atas

Kanan Kiri
Anggota gerak atas Simetris Simetris
Tenaga:
 M. Deltoid (Abduksi) 5 5
 M. bisep (Fleksi) 5 5
 M. Trisep (Ekstensi) 5 5
 Fleksi pergelangan tangan 5 5
 Ekstensi pergelangan
5 5
tangan
 Abduksi jari-jari tangan 5 5
 Adduksi jari jari tangan 5 5
Tonus Normal Normal
Trofik Normal Normal
Refleks fisiologis :
 Bisep ++ ++
 Trisep ++ ++
 Radius ++ ++
 Ulna ++ ++
Reflex patologis :
 Hoffman-Tromner - -
 Menggenggam - -
Sensibilitas :
 Perasa raba Normal Normal
 Perasa nyeri Normal Normal
 Perasa suhu Normal Normal
 Perasa proprioseptif Normal Normal
 Perasa vibrasi Normal Normal
 Stereognosis Normal Normal
 Grafestesia Normal Normal
 Topognosis Normal Normal
 Paresthesia Normal Normal
Koordinasi :
 Uji telunjuk-hidung Normal
 Uji hidung-telunjuk-
Normal
hidung
 Uji diadokhokinesis Normal
 Uji tepuk lutut Normal
 Dismetri Normal

22
 Stewart-Holmes Normal
Vegetative :
 Vasomotorik Normal Normal
 Sudomotorik Normal Normal
 Pilo-arektor Normal Normal
Gerakan involunter :
 Tremor Tidak ada Tidak ada
 Khorea Tidak ada Tidak ada
 Ballismus Tidak ada Tidak ada
 Mioklonus Tidak ada Tidak ada

d. Pemeriksaan Badan
Keadaan tulang punggung : Normal
Keadaan otot-otot : Normal
Refleks : Kanan Kiri
Abdominal atas : + +
Abdominal bawah : + +
Kremaster : + +
Anus : Normal
Sensibilitas : Kanan Kiri
Perasa raba : Normal Normal
Perasa nyeri : Normal Normal
Perasa suhu : Normal Normal

Koordinasi :
Asinergia serebelar : Normal
Vegetatif :
Kandung kencing : Normal
Rectum : Normal
Genitalia : Normal
Gerakan involunter : Normal

e. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Bawah

Kanan Kiri
Anggota gerak bawah Simetris Simetris
Tenaga :

23
 Gerakan fleksi sendi panggul 5 5
 Gerakan ekstensi sendi panggul 5 5
 Gerakan fleksi sendi lutut 5 5
 Gerakan ekstensi sendi lutut 5 5
 Gerakan dorsofleksi sendi kaki 5 5
 Gerakan plantarfleksi sendi kaki 5 5
Tonus Normal Normal
Trofik Normal Normal
Reflex fisiologis :
 KPR ++ ++
 APR ++ ++
 Plantar ++ ++
Reflex patologis :
 Babinski - -
 Oppenheim - -
 Chaddock - -
 Gordon - -
 Scaeffer - -
 Mendelbecterew - -
 Rossolimo - -
 Klonus : - -
- Paha - -
- Kaki - -
Sensibilitas :
 Perasa raba Normal Normal
 Perasa nyeri Normal Normal
 Perasa suhu Normal Normal
 Perasa proprioseptif Normal Normal
 Perasa vibrasi Normal Normal
 Stereognosis Normal Normal
 Grafestesia Normal Normal
 Topognosis Normal Normal
 Paresthesia Normal Normal
Koordinasi :
 Uji tumit-lutut Normal
 Jalan menurut garis Normal
 Romberg Normal
 Tanden gait Normal
Langkah/gaya jalan Normal
Vegetatif :
 Vasomotorik Normal Normal
 Sudomotorik Normal Normal
 Pilo-arektor Normal Normal
Gerakan involunter :
 Tremor Tidak ada Tidak ada
 Khorea Tidak ada Tidak ada

24
 Ballismus Tidak ada Tidak ada
 Mioklonus Tidak ada Tidak ada
 Atetosis Tidak ada Tidak ada
 Distonia Tidak ada Tidak ada
 Spasmus Tidak ada Tidak ada
Laseque Tidak ada Tidak ada

3.4 Resume
Pasien laki-laki usia 46 tahun dengan keluhan wajah kiri mencong.
sejak 11 hari yang lalu. Keluhan mencong pada dahi, lipatan pipi, kelopak
mata sulit menutup, dan bibir kiri nampak lebih rendah, keluhan terjadi secara
mendadak dan menetap sepanjang hari serta keluhan awalnya muncul secara
tiba-tiba. Pasien menyangkal adanya riwayat keluhan lain. Pada pemeriksaan
didapatkan status present tidak ada kelainan, status general dalam batas
normal, status neurologis didapatkan GCS E4V5M6, tidak ada kaku kuduk,
dan paresis nervus fasialis perifer sinistra.

3.5 Diagnosis
Diagnosis klinis :
 GCS E4M6V5
 Meningeal Sign (-)
 Paresis nervus VII perifer sinistra
Diagnosis topis : Lesi Setinggi Foramen Stylomastoideus
Diagnosis banding
 Bell’s Palsy
 Sindrom Ramsay Hunt
 Trauma Kapitis

3.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang :


a. Darah Lengkap, ENMG

3.7 Diagnosis Kerja


Bell’s Palsy Sinistra Grade II

25
3.8 Penatalaksanaan :
a. Farmakologi
 Mecobalamin 2 x 500 mg
 Asam folat 1 x 1
 Sohobion 1 x 1
 Artificial tears 6 x 1 (OD)

b. Non-Farmakologi
 Istirahat pada fase akut
 Hindari faktor risiko
 Fisioterapi

3.9 Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad sanationam : bonam
 Quo ad functionam : bonam

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bell’s Palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab
tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy merupakan kejadian
akut, unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual
mengalami perbaikan pada 80-90% kasus. Penyebab utama dari Bell’s palsy
adalah idiopatik. Gejala klinis yang dapat ditemukan pada Bell’s palsy
bergantung dari lokasi lesi pada susunan saraf. Dapat berupa Kelumpuhan
muskulus fasialis tidak mampu menutup mata, nyeri tajam pada telinga dan
mastoid, perubahan pengecapan, hiperakusis, kesemutan pada dagu dan mulut,
epiphora, nyeri ocular penglihatan kabur. Bell’s palsy pada umumnya dapat
ditegakan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan ENMG
dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis
bell’s palsy. Penatalaksanaan bell’s palsy terbagi menjadi farmakologi yaitu
pemberian kortikosteroid dan nonfarmakologi yaitu fisioterapi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil Y, A Basjiruddin, 2003, Paralisis Bell. Kapita selekta neurologi;


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. p 297-300
2. Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in
Fundamentals of Neurologic Disease , Demos Medical Publishing New
York; 63-64.
3. Murthy, JMK., Saxena, AB. (2011), Bell's Palsy: Treatment Guidelines.
Annals of Ind. Acad. of Neurology,Vol.14(1), pp.70-72.
4. Sabirin, J. (1990). Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak.
Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: 171-
81.
5. Suprayanti Y, 2008, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Bell’s Palsy Sinistra
di Rsud Dr. Moewardi Surakarta, Jurnal Ilmu Kesehatan Universitas
Muhamadiyah Surakart
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Cetakan keenam Jakarta:
PT Dian Rakyat, 1994:162
7. De Jong RN, The neurologic examination. Incorporating the fundamentals
of neuroanatomy and neurophysiology. 4th ed. Philadelphia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014
tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer
9. Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia, 2015

28
10. Brackman DE. Incidence, etiology, and result of medical treatment. In:
Graham MD eds. The Otolarungologic clinics of North America. Vol. 7
Philadephia: W.B Saunders Co, 1974:357-68
11. Capildeo R. Aetiology of Bell’s palsy. In: Rose FC, eds. Clinical
neuroimunology. Oxford: Blackwell Scientific Publ, 1970: 185-200
12. Hutapea A M. Rehabilitasi Bell’s Palsy. Maj Kedok Indon 1992; 42: 43-47
13. Gates G A, Mikiten T M, idiophatic facial paralysis (Bell’s Palsy) In :
Graham MD, House W F, eds Disorder of the facial nerve, New York:
Raveb Press, 1982: 279-84
14. Adour KK. Medical management of idiophatic (Bell’s palsy). Otolaryngol
Clnics of N Am 1991; 24 : 663-72

29

Anda mungkin juga menyukai