Anda di halaman 1dari 8

1. A.

Secara teoritis, keadilan antar generasi dapat melahirkan berbagai kewajiban (planetary
obligations) dari setiap generasi untuk menjamin perlindungan terhadap opsi
(conservation of options), perlindungan terhadap kualitas lingkungan (conservation of
quality), dan perlindungan terhadap akses generasi sekarang dan generasi yang akan
datang terhadap sumber daya lingkungan (conservation of access). Secara ekonomi,
keadilan antar generasi harus mempengaruhi valuasi ekonomi dan CBA terhadap
manfaat perlindungan lingkungan. Dalam hal ini, penggunaan instrumen diskon di
dalam penafsiran ekonomi perlu dimodifikasi menjadi diskon yang rendah, sehingga
lebih sejalan keadilan antar generasi. Secara khusus, tulisan ini memperlihatkan
perlunya penghapusan diskon manfaat perlindungan lingkungan yang didasarkan
karena alasan pure time preference. Secara hukum, putusan Mahkamah Agung Filipina
dalam kasus Minors Oposa v. Factoran telah mampu secara brillian mengaitkan antara
keadilan antar generasi dengan hak gugat.
Dalam pandangan Weiss, konsep keadilan antara generasi telah melahirkan kewajiban
lingkungan terhadap Bumi (planetary obligations) berupa tiga jenis perlindungan, yaitu:
perlindungan atas opsi (conservation of options), perlindungan atas kualitas
(conservation of quality), dan perlindungan atas akses (conservation of access) (Weiss,
1996). Ketiga aspek perlindungan ini bertujuan agar setiap generasi memiliki tingkat
pemanfaatan yang setidaknya sama dengan tingkat pemanfaatan dari generasi
sebelumnya, sambil mendorong terjadinya perbaikan keadaan bagi tiap generasi.
Ketiganya berfungsi pula untuk menetapkan batasan bagi tiap negara ketika
mengeksploitasi sumber daya miliknya. Lebih penting lagi, ketiga aspek perlindungan
ini memiliki peran untuk mengubah asumsi pembangunan, dari asumsi yang
mendorong terjadinya konsumsi dan eksploitasi selama belum ada alasan untuk
menghentikannya, menjadi asumsi yang menginginkan adanya pemanfaatan sumber
daya alam secara berkelanjutan dan perlindungan lingkungan selama belum ada alasan
kuat untuk tidak melakukan pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan tersebut
(Sohn & Weiss, 1987).
Perlindungan atas opsi (conservation of options) diartikan sebagai perlindungan
terhadap keanekaragaman sumber daya yang tersedia. Menurut Weiss, perlindungan
opsi ini tidaklah berarti bahwa kondisi status quo harus dilindungi, karena perlindungan
seperti ini hanya akan melanggenggkan kondisi hidup dari mereka yang miskin.
Sebaliknya, Weiss berpendapat bahwa perlindungan opsi dapat berarti perbaikan
kehidupan, yang dicapai melalui pengembangan teknologi dan penciptaan berbagai
alternatif sumber daya alam, sambil melakukan upaya pemanfaatan secara lebih efisien
dan perlindungan terhadap sumber daya alam yang saat ini tersedia. Tujuannya adalah
tercapainya keseimbangan keanekaragaman sumber daya alam (Sohn & Weiss, 1987).
Dengan demikian, perlindungan opsi menginginkan agar keberagaman pilihan atas
sumber daya alam yang dimiliki oleh generasi yang akan datang, setidaknya, tidak
lebih buruk dari keberagaman pilihan yang dimiliki oleh generasi sekarang.
Sumber : Jurnal Membangun Lingkungan yang Berbasis Konsep Berkelanjutan Penulis
Dr. Maryanto, M. Si.
B. Prinsip keadilan antar generasi artinya bahwa setiap generasi umat manusia di dunia
memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk
akibat perbuatan generasi. sebelumnya. Pengertian tersebut artinya bahwa setiap
generasi mempunyai hak untuk hidup secara baik dan layak dalam situasi yang
kondusif tidak ada gangguan secara jasmani dan rohani. Setiap genarasi tidak boleh
dibebani oleh masalah yang dihasilkan oleh generasi sebelumnya. Seperti utang,
kemelaratan/ kemiskinan atau kekurangn oksigen karena pembabatan hutan hutan
secara besar-besaran dan sebagainya.
Keadilan antargenerasi dapat dengan jelas dipahami melalui rumusan pengertian
pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh World Commission on
Environmental and Development (WCED). Pengertian tersebut menekankan bahwa
pembangunan yang dilakukan tidak boleh mengkompromikan kemampuan generasi
berikutnya untuk memenuhi sendiri kebutuhan mereka. Keadilan antargenerasi juga
menekankan bahwa generasi sekarang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai trustees dan
beneficiaries. Sebagai trustees, generasi sekarang bertanggung jawab atas kesatuan
lingkungan hidup, sedangkan sebagai beneficiaries, generasi sekarang memiliki hak
untuk memanfaatkannya.
PP No. 46 Tahun 2016 dalam rumusan-rumusan pasalnya telah mengakomodir elemen
keadilan antargenerasi. Pasal 3 ayat (2) huruf a peraturan tersebut menyatakan bahwa
KRP yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup berupa
kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati adalah KRP yang
wajib memiliki KLHS. Pasal tersebut juga mewajibkan KRP yang berpotensi
menimbulkan dampak berupa penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam agar
memiliki KLHS. Kedua pertimbangan mengenai KRP yang wajib KLHS ini sejalan
dengan konsep keadilan antargenerasi yang dikemukakan oleh Edith Brown Weiss.
Menurut Weiss, konsep keadilan antargenerasi telah melahirkan kewajiban lingkungan
berupa tiga jenis perlindungan: perlindungan opsi, perlindungan kualitas, dan
perlindungan atas akses. Dalam kerangka ini, rumusan Pasal 3 ayat (2) huruf a
sebagaimana dikemukakan di atas mencerminkan ketiga jenis perlindungan tersebut.
Perlindungan opsi menginginkan agar generasi mendatang setidaknya memiliki pilihan-
pilihan yang sama dengan pilihan yang tersedia bagi generasi sekarang. Perlindungan
atas kualitas menginginkan agar kita meninggalkan kualitas alam dan lingkungan hidup
tidak lebih buruk dari kualitas yang kita terima dari generasi sebelumnya. Perlindungan
atas akses menginginkan agar generasi sekarang memikul kewajiban untuk menjamin
bahwa tindakannya tidak akan mengurangi akses generasi yang akan datang terhadap
sumber daya alam. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mewajibkan
pembuatan KLHS terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan,
kemerosotan, dan/atau keanekaragaman hayati dan yang berpotensi mengakibatkan
penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam telah mencerminkan perlindungan
dan keadilan bagi generasi mendatang.
Sumber : Hukum Lingkungan Dalam Negara Hukum Kesejahteraan Untuk
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Penulis Dr. Helmi, S.H., M.H.
2. A. Kearifan merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu
kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang
menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan pada Pasal 1 Ayat 30, “kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari.”
Secara tekstual dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menyatakan dengan tegas pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup melalui prinsip-prinsip kearifan lokal sebagai
konsekuensi dari pluralisme hukum di Indonesia. Tetapi secara kontekstual dalam
ketentuan yang mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan
hidup yang menjadi harapan dari undang-undang ini.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan
dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi
alam yang tinggi nilainya. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan
sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam
suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan
terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara.
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,
sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung,
dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik
berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Selain hal tersebut di atas, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip
kehatihatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan
terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus
dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. Prinsip-
prinsip kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai fungsionalisasi
dapat memperkaya prinsip pengelolaan lingkungan hidup nasional karena prinsip ini
bersumber dari cita hukum masyarakat menyebabkan adanya penaatan hukum secara
sukarela. Prinsipprinsip tersebut sudah menjadi bagian dari spirit hidup yang dianut
masyarakat adat sehingga akan memudahkan bagi penerapan dan terikatnya masyarakat
pada ketentuan hukum yang telah diatur oleh desa adat. Prinsip tersebut jika diadopsi
dalam proses pembentukan peraturan perundanganundangan akan memberikan
penguatan terhadap kearifan lokal.
Peran serta masyarakat dalam Pasal 70 UUPPLH meliputi:
a. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Peran masyarakat dapat berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat,
usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/ atau laporan.
c. Peran masyarakat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan
masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan
kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sumber : Skripsi Berjudul Kearifan Lokal Dan Upaya Pelestarian Lingkungan Alam
Penulis Nurul Astuti Dewi
B. Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan
masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini,
kearifan tersebut merupa-kan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan
alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat
istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun
secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan
lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu
daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu-daya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-
unsurnya adalah bu-daya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Contoh kearifan local adalah yang dilakukan di daerah saya yaitu kawasan kars gunung
sewu. Masyarakat di Kawasan Kars Gunung Kidul sebagian besar memiliki mata
penca-harian sebagai petani yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar cekungan-
cekungan kars (doline) sebagai lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat. Lahan
pertanian dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan teknologi-teknologi
konvensional yang telah mereka pelajari dari zaman nenek moyangnya secara turun-
temurun dan dikembangkan secara tradisional untuk mencapai hasil yang lebih baik
sesuai dengan perkembangan dan perubahan lahan. Kebutuhan akan air sebagai
penyubur lahan pertanian di kawasan ini menjadi permasalahan yang dialami oleh para
petani dalam mengelola lahannya, ketersediaan sumber-daya alam yang ada
memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat mengelola-nya secara manual,
kondisi ini mengakibatkan adanya usaha-usaha masyarakat dalam mengelola sumber
daya air yang ada di permukaan dan bawah permukaan secara tradisional dengan
memanfaatkan kearifan-kearifan lokal baik yang mengandung unsur mitos atau
kepercayaan dan kebudayaan-kebudayaan sebagai tatanan kehidu-pan masyarakat yang
berlaku di sekitar kawasan Gunung Kidul.
Manusia harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya sebagai tempat tinggal yang
telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada tanggung jawab yang besar untuk
menjaga dan mengelolanya, pengembangan teknologi seder-hana di dalam mengelola
sumberdayanya akan selalu dipertahankan untuk menjaga tradisi, memberi motivasi
dan menjaga kepercayaan masyarakat dalam mengelola wilayahnya sehingga peran
masyarakat sebagai kunci utama dalam menjaga keseimbangan sumberdaya alam yang
ada di sekitarnya. Kearifan lokal harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan
program-program pengembangan wilayah di kawasan kars untuk mendorong
masyarakat sebagai pelaku utama dalam usaha me-ngembangkan sumberdaya alamnya.
Di Gunung Kidul masyarakat sudah hidup selama bertahun-tahun dengan kondisi
wilayah yang kekeringan dan kekuranganair walaupun memiliki cadangan air bawah
permukaan yang sangat besar jumlahnya, faktor geologis pada wilayah ini sebagai
kawasan batugamping yang mengalami proses pelarutan, mengakibatkan pada bagian
permukaan kawasan ini merupakan daerah yang kering, masyarakat meman-faatkan
sumber-sumber air dari telaga-telaga kars dan gua-gua yang memiliki sumber-sumber
air. Kearifan lingkungan ma-syarakat Gunung Kidul dalam mengelola lingkungannya
dilakukan secara bergotong royong untuk menjaga sumber-sumber air yang ada dengan
melakukan perlindungan dan membuat aturan-aturan adat yang memberikan larangan-
larangan kepada masyarakat ayang memberikan penilaian negatif dari dampak yang
akan ditimbulkan bila tidak dilakukan, untuk dapat menjaga dan mengelola sumber-
sumber air yang ada. Kebudayaan lokal pada suatu daerah harus tetap dijaga
kelestariannya agar kondisi alamiah dari lingkungannya tetap terjaga, banyak program-
program pemerintah yang dilakukan di wilayah Gunung Kidul dalam usaha
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air bawah permukaan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Gunung Kidul, tapi pro-gram-program yang
telah dijalankan oleh pemerintah tidak menjadikan budaya lokal masyarakat sebagai
referensi dalam men-jalankan program pembangunan di wilayah ini, kawasan kars
memiliki karateristik yang berbeda dari kondisi wilayah lainnya, proses pelarutan yang
terjadi menga-kibatkan adanya perubahan karakteristik dari batugamping, banyak
pembangunan infrastruktur sistem perpipaan yang seharusnya dapat menyuplai
kebutuhan air untuk masyarakat menjadi tidak berfungsi pada waktu tertentu akibat
dari penyumbatan-penyumbatan aliran pipa yang di sebabkan oleh adanya proses
pelarutan, pada batuan yang di lewati sumber airnya. Banyak danau-danau kars yang
tidak dapat erfungsi lagi akibat adanya pembangunan waduk di sekitar danau dan
dilakukan pengerukan untuk memperdalam tampu-ngan air dengan asumsi akan dapat
me-nambah jumlah persediaan air, tapi justru hal ini harus di bayar mahal dengan
hilangnya atau tidak berfungsinya danau akibat dari hilangnya sumber air yang ada
masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-rekahan batuan hal ini disebabkan oleh
hilangnya lapisan lumpur (terarosa) yang berfungsi sebagai penahan air. Sehingga
banyak sistem perpipaan dan penampung air yang dibangun hanya menjadi sebuah mo-
numen yang tidak dapat berfungsi. Sejak zaman dahulu masyarakat di wilayah Gunung
Kidul telah hidup dalam kondisi ke-keringan, namun mereka punya cara tersendiri
untuk beradaptasi dengan alam di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hi-dupnya
untuk kebutuhan sehari-hari dan lahan pertanian, ini terus berlangsung hingga sampai
saat ini walaupun banyak orang yang sudah mulai meninggalkannya untuk mencari
penghidupan di tempat lain yang biasanya di kota-kota besar, tetapi masyarakat di
Kawasan Kars Gunung Kidul tetap melakukan kearifan lingkungan yang sudah menjadi
budaya lokal yang masih tetap dikembangkan oleh masyarakat setempat. Banyak
kearifan lingkungan di wilayah ini yang menjadi program bagi masyarakat untuk
mengelola lingkungan dan sumber-daya air serta untuk mengembangkan pariwisata di
kawasan kars baik wisata alam maupun wisata minat khusus gua.
Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya,
telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Hal
tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis hewan liar yang turun lereng
di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal. Secara etik, penggunaan indikator
alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya
memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat
meningkatnya tingkat aktivitas Gunung Merapi sehingga mereka pindah tempat.

Anda mungkin juga menyukai