Anda di halaman 1dari 3

PETANI PAHLAWAN TANPA TANDA JASA

-PROSPEK SWASEMBADA PANGAN DI INDONESIA-

Oleh : Dr. Loekman Soetrisno

1. Pendahuluan
Dalam memperingati hari pangan, melalui tulisan ini, saya ingin mengucapkan
rasa terimakasih saya kepada para petani Indonesia yang berkat pengorbanan dan
kerja keras mereka kita bangsa Indonesia telah mampu mencukupi kebutuhan pangan
kita. Bangsa Indonesia boleh dikatakan dalam bahasa Jawa tidak perlu “nempur” lagi
atau membeli beras dari lain negara seperti halnya pernah kita lakukan selama
puluhan tahun. Bagi orang Jawa salah satu puncak kebahagiaan duniawi adalah
apabila kita tidak perlu “nempur”, apabila kita tidak perlu beli beras karena hasil
sawah kita mampu mencukupi kebutuhan makanan keluarga kita. Namun disamping
rasa bangga saya sebagai anak bangsa Indonesia atas keberhasilan petani Indonesia
mencukupi pangan bangsa mereka, saya merasa prihatin bahwa justru keberhasilan
tersebut belum diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi para petani dan
rakyat pedesaan pada umumnya.
Harga gabah yang diterima para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh
pemerintah, masih terlalu rendah apabila dibandingkan dengan harga yang diterima
oleh produsen barang industri. Rendahnya harga produk pertanian, khususnya harga
gabah, menyebabkan kesejahteraan para petani dan keluarga mereka belum
meningkat. Kalau saya katakan belum meningkat hal ini tidak berarti bahwa petani
Indonesia miskin, peningkatan kehidupan para petani harus diakui ada. Namun
peningkatan itu relatif sangat kecil apabila dibandingkan dengan kesejahteraan dari
para produsen barang industri yang pada hakikatnya ikut menikmati hasil karya para
petani Indonesia. Perbedaan kesejahteraan antara petani dan para produsen barang-
barang petani itu demikian besarnya sehingga saya rasakan sebagai ketidakadilan.
Saya menginsafi sebagai ketidakadilan. Saya menginsafi perbedaan antara petani dan
produsen barang industri ada di mana-mana dan terus akan ada. Yang saya rasakan
tidak adil adalah apabila para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan sementara
produsen barang industri hidup serba mewah. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hal
di atas dapat terjadi?

1
2. Politik-Ekonomi Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Relatif Petani
Sudah terlalu sering orang mengkaitkan rendahnya kesejahteraan relatif petani
di Indonesia dengan sikap-mental para petani yang tradisional atau dengan sempitnya
lahan dan sebagainya. Ucapan-ucapan seperti itu telah tidak lagi mempunyai makna
apapun guna menjelaskan rendahnya kesejahteraan relatif para petani Indonesia,
karena apabila mereka bersikap mental tradisional pastilah semua petani Indonesia
sudah mati kelaparan. Para petani Indonesia berabad-abad lamanya telah mampu
mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka. Dan ini hanya dapat terjadi karena
petani Indonesia mampu menciptakan teknologi mereka sendiri dan mereka mau
bekerja keras. Saya melihat tidak ada petani Indonesia yang malas karena apabila
mereka malas pasti mereka telah mati menghadapi segala rintangan alam yang mereka
hadapi.
Rendahnya kesejahteraan relatif para petani Indonesia harus dijelaskan dengan
pendekatan lain yaitu pendekatan politik-ekonomi. Sektor pertanian khususnya
pertanian pangan di Indonesia adalah sektor enomoni. Di negara kita yang sangat
diatur oleh negara, negara mengatur sektor pertanian mulai dari pemilihan bibit (padi)
sampai menetapkan harga dasar gabah. Campur tangan pemerintah dalam sektor
pertanian ini pada hakikatnya merubah petani dari produsen menjadi pekerja dalam
proses produksi pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka tidak bebas
menentukan apa yang mereka ingin lakukan. Mereka tidak bebas memilih bibit padi
yang mereka ingin tanam ataupun menanam tanaman yang memiliki harga pasar yang
lebih tinggi dari harga padi. Seperti halnya seorang buruh, para petani padi, pada akhir
panen menerima “upah” berupa harga dasar gabah yang ditentukan oleh pemerintah
tanpa konsultasi dengan petani.
Yang menarik di sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi mereka
berdasarkan harga dasar yang ditentukan oleh pemerintah. Koperasi Unit Desa yang
ditugasi pemerintah membeli gabah itu karena tidak memiliki cukup modal. Petani
terpaksa mencari pembeli lain yang mau membeli padi dengan harga sesuai dengan
harga dasar. Setelah berkeliling mencari pembeli akhirnya terpaksa menjual kepada
para tengkulak dengan harga jauh di bawah harga petani “Nginteri Beras” tetapi
“petani yang diinteri”, petani kebingungan mencari pembeli yang mampu membeli
gabah mereka dengan harga dasar itu.

2
Faktor ekonomi yang menyebabkan kesejahteraan relatif petani Indonesia
masih rendah adalah terus berkurangnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah
terhadap harga Saprodi. Dari segi makro berkurangnya subsidi menguntungkan
perkembangan ekonomi nasional namun dari segi petani merugikan. Naiknya harga
dasar gabah tidak akan memperbaiki kehidupan petani karena kenaikan itu diikuti
keharusan petani membeli Saprodi dengan harga yang tinggi.
Pada kenyataan tugas petani menyediakan pangan bagi bangsa ini, namun
keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi, saya lihat sebagai sesuatu
ketidakadilan. Karena tindakan itu hanya menguntungkan pengusaha industri Saprodi
seperti pupuk.
Faktor politik yang menjadi penghambat perbaikan kesejahteraan relatif Petani
Indonesia adalah absennya organisasi petani mandiri dalam artian organisasi yang
benar-benar mau dan mampu memperjuangkan dan melindungi kepentingan para
petani. Kita memang memiliki HKTI, namun organisasi ini sangat sarat dengan
program pemerintah dan para pengurusnya banyak yang berasal dari aparat
pemerintah, sehingga HKTI tidak mampu berfungsi sebagai organisasi dari, untuk dan
oleh petani yang efektif. Petani dan rakyat desa umumnya membutuhkan teman
politik yang mau dan mampu memperjuangkan nasib mereka.
3. Prospek Swasembada Pangan
Prospek swasembada pangan di Indonesia dan di dunia ketiga akan suram
apabila Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Dunia Ketiga tidak mampu menjamin
kesejahteraan relatif yang lebih baik kepada petani melalui pembangunan pertanian.
Ini berarti harus ada tekad politik dari pemerintah untuk mendebirokratisasi proses
pembangunan pertanian dan memberikan proteksi ekonomi terhadap sektor pertanian.
Pemerintah harus pula mengembalikan hak politik petani untuk membentuk
organisasi petani yang mandiri.
15 Oktober 1990

Anda mungkin juga menyukai