1a113 Modul 1 Pemahaman Umum Studi Kelayakan
1a113 Modul 1 Pemahaman Umum Studi Kelayakan
1. KATA PENGANTAR
Ungkapan puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga kami selaku penyelenggara
Diklat Kelayakan Proyek Penyediaan Infrastruktur (KPPI) dapat menyelesaikan
modul ini dengan baik. Modul ini membahas tentang pemahaman umum studi
kelayakan proyek infrastuktur yang terdiri dari beberapa materi pokok yaitu,
pendahuluan, ruang lingkup studi kelayakan, pengenalan pola pembiayaan
infrastuktur dan regulasi pengayaan infrastuktur di Indonesia.
Kami menyadari bahwa modul ini masih ada kekurangan dan
kelemahannya, baik pada isi, bahasa, maupun penyajiannya. Kami sangat
mengharapkan adanya tanggapan berupa kritik dan saran guna penyempurnaan
modul ini. Semoga modul ini bermanfaat khususnya bagi peserta Diklat
Kelayakan Proyek Penyediaan Infrastruktur (KPPI)
2. DAFTAR ISI
3. DAFTAR TABEL
4. DAFTAR GAMBAR
5. BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dalam rangka alih pengetahuan terkait studi kelayakan untuk menyiapkan proyek
penyediaan infrastruktur, maka disusunlah Modul 1 – Pemahaman Umum Studi
Kelayakan Proyek Infrastruktur. Dimana modul ini merupakan pengantar untuk
mempelajari modul-modul yang lainnya dalam pelaksanaan Diklat Kelayakan
Proyek Penyediaaan Infrastuktur (KPPI).
2. DESKRIPSI SINGKAT
Mata Diklat ini memberikan penjelasan kepada Peserta mengenai definisi proyek,
definisi infrastruktur, tahap penyelenggaraan infrastruktur, kelayakan dari aspek
teknis, ekonomi, lingkungan dan sosial serta finansial serta skema pembiayaan
infrastruktrur yang ada di indonesia.
Untuk itu peserta dibekali pengetahuan mengenai definisi proyek dan
infrastruktur, tahapan penyelenggaraan infrastruktur ,posisi studi kelayakan,
variabel serta analisis untuk masing-masing aspek dalam studi kelayakan,
regulasi-regulasi terkait serta pengenalan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha
(KPBU) dan skema pembiayaan infrastukur di Indonesia.
3. TUJUAN PEMBELAJARAN
6. BAB II
RUANG LINGKUP STUDI KELAYAKAN
1. DEFINISI PROYEK
2. INFRASTRUKTUR
Definisi Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan
lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan
mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat
dapat berjalan dengan baik (Perpres 38/2015)
Berdasarkan Perpres 38/2015, infrastruktur dikelompokkan menjadi :
a. infrastruktur transportasi;
b. infrastruktur jalan;
c. infrastruktur sumber daya air dan irigasi;
d. infrastruktur air minum;
e. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat;
f. infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat;
g. infrastruktur sistem pengelolaan persampahan;
h. infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
i. infrastruktur ketenagalistrikan;
j. infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi terbarukan;
k. infrastruktur konservasi energi;
Dalam pelatihan ini terkait studi kelayakan termasuk dalam tahap perencanaan.
Studi kelayakan ini sangat penting untuk meyakinkan para pemegang
kepentingan untuk mengambil keputusan yang tepat .
Studi kelayakan proyek merupakan suatu studi untuk menilai proyek yang akan
dikerjakan di masa mendatang. Penilaian disini tidak lain adalah untuk
memberikan rekomendasi apakah sebaiknya proyek yang bersangkutan layak
dikerjakan atau sebaiknya ditunda dulu. Mengingat di masa mendatang penuh
dengan ketidakpastian, maka studi yang dilakukan tentunya akan melibatkan
berbagai aspek dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk
memutuskannya. Ini menunjukkan bahwa dalam melakukan studi kelayakan akan
melibatkan tim gabungan dari berbagai ahli sesuai dengan bidangnya masing-
masing seperti ekonom, hukum, psikolog, akuntan, perekayasa teknologi, dan
sebagainya.
Jika proyek yang dilakukan merupakan proyek investasi yang berorientasi laba,
maka studi kelayakan proyek adalah dalam rangka menilai layak tidaknya proyek
investasi yang dilakukan dapat memberikan keuntungan secara ekonomis. Tetapi
jika proyek tersebut merupakan proyek investasi yang tidak berorientasi laba
seperti proyek investasi untuk lembaga-lembaga sosial maka studi kelayakan
proyek yang dilakukan adalah untuk menilai layak atau tidaknya proyek tersebut
dikerjakan tanpa mempertimbangkan keuntungan secara ekonomis.
Untuk proyek yang nantinya akan dilakukan kerjasama pemerintah badan usaha
(KPBU), maka cakupan studi kelayakan masih harus ditambahkan :
- Analisis risiko
- Kajian struktur KPBU
- Dukungan Pemerintah
- Rencana Pelaksanaan
Untuk semua kajian tentu saja tetap harus berdasarkan regulasi yang sudah
diatur oleh pemerintah.
7. BAB III
RUANG LINGKUP STUDI KELAYAKAN
1. KELAYAKAN TEKNIS
3. Lokasi Proyek, terdiri dari : Uraian tentang lokasi proyek, Data geografi ,
hidrologi, kondisi
eksisting dan drainase,
Pertimbangan dalam pemilihan
lokasi proyek, Komponen pendukung yang
tersedia di sekitar lokasi proyek;
dan
Luas lahan yang diperlukan
serta status kepemilikan lahan
proyek
saat ini.
4. Desain Teknis Awal (Basic Enginer-
ing Design), terdiri dari : Layout Awal:
berisi uraian ten-
tang disain teknis atau layout dari proyek (yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari masing-masing sektor),
mencakup survei teknis untuk melihat kondisi lapangan, mempertimbangkan
opsi-opsi desain alternatif, termasuk keti- dakpastian dalam proyeksi per-
mintaan serta berbagai ketidakpastian lain yang terkait dengan keadaan di
sekitar lokasi proyek.
5. Teknologi, berisi uraian tentang teknologi yang dipilih, termasuk metode
konstruksi, logika penggunaannya serta analisis risiko terhadap hambatan
yang mungkin akan dihadapi. Prastudi Kelayakan juga harus memuat justi
kasi bahwa teknologi tersebut aman dan telah terbukti efisien.
Dari semua komponen yang telah diuraikan sebelumnya, secara teknis proyek
harus dapat menyajikan bukti yang wajar, yang menunjukkan bahwa proyek
secara teknis layak, karena :
1. Teknologi yang diusulkan untuk pembangunan sudah layak,
2. Teknologi sudah terbuktikan, sudah digunakan pada proyek- proyek lain yang
serupa,
3. Volume dan kualitas dari sumber-sumber sudah mencukupi untuk operasional
proyek,
4. Desain yang digunakan adalah opsi yang sudah optimal serta efektif dari segi
biaya,
5. Jadwal pelaksanaan proyek layak,
6. Lahan proyek yang diperlukan untuk pembangunan dan operasional proyek
dapat diperoleh.
2. KELAYAKAN EKONOMI
Untuk menentukan apakah proyek layak secara ekonomi atau tidak, maka
parameter penentu seperti yang telah dipelajari sebelumnya harus memenuhi
persyaratan layak secara ekonomi. Berikut adalah masing-masing
persyaratannya :
• NPV
NPV positif atau > 0, maka proyek layak untuk dilaksanakan
NPV = 0, maka proyek mendapatkan manfaat yang sebanding dengan cost,
tetapi tidak merugi. Proyek masih bisa dilaksanakan dengan beberapa
Dengan adanya kajian studi kelayakan secara lingkungan dan sosial, maka
pemerintah akan mengetahui apakah dampak dari proyek infrastruktur yang akan
dibangun sudah diminimalisasi mulai dari tahap pra konstruksi, konstruksi dan
pasca konstruksi.
4. KELAYAKAN FINANSIAL
Analisis finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan dalam hal pendanaan dan
aliran kas, sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya bisnis yang
dijalankan. Menurut Husnan Suswarsono (2000) analisis finansial merupakan
suatu analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk
menentukan apakah suatu bisnis akan menguntungkan selama umur bisnis.
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
21
PUSDIKLAT SUMBER DAYA AIR DAN KONTRUKSI
MODUL 1
PEMAHAMAN UMUM STUDI KELAYAKAN PROYEK INFRASTUKTUR
Kriteria penilaian untuk Net Present Value (NPV) adalah sebagai berikut :
• Jika NPV > 0, maka proyek layak secara finansial
• Jika NPV < 0, maka proyek tidak layak secara finansial.
• Jika NPV = 0, maka proyek tidak rugi dan tidak untung.
Sedangkan menurut Umar (2005) Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk
mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang
diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan
mengeluarkan investasi awal. Apabila IRR sama dengan tingkat discount maka
usaha tidak dapat mendapatkan untung atau rugi, tetapi jika IRR < tingkat
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
22
PUSDIKLAT SUMBER DAYA AIR DAN KONTRUKSI
MODUL 1
PEMAHAMAN UMUM STUDI KELAYAKAN PROYEK INFRASTUKTUR
discount rate maka usaha tersebut tidak layak diusahakan, sedangkan apabila
IRR > tingkat discount rate maka usaha tersebut layak untuk diusahakan.
1. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah suatu analisa untuk dapat melihat pengaruh-
pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger 1986).
Pada proyek konstruksi biasanya digunakan untuk melihat pengaruh perubahan
biaya, pemasukan dll terhadap parameter kelayakan finansial seperti NPV, IRR
dan PP.
Analisis sensitivitas dicari beberapa nilai pengganti pada komponen biaya
dan manfaat yang terjadi, yang masih memenuhi kriteria minimum kelayakan
investasi atau masih mendapatkan keuntungan normal. Keuntungan normal
terjadi apabila nilai NPV sama dengan nol (NPV=0). NPV sama dengan 0 akan
membuat IRR sama dengan tingkat suku bunga dan Net B/C sama dengan 1
(cateris paribus). Artinya, sampai tingkat berapa usaha yang akan dijalankan
mentoleransi peningkatan harga atau penurunan input dan penurunan harga atau
jumlah output (Gittinger,1986).
Parameter pengembalian dan biaya dalam analisis finansial diasumsikan
tetap setiap tahunnya (cateris paribus). Namun, dalam keadaan nyata
ketiga parameter dapat berubah-ubah sejalan dengan pertambahan waktu. Untuk
itu, analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk melihat sampai berapa persen
penuruan harga atau kenaikan biaya yang terjadi dapat mengakibatkan
perubahan dalam kriteria kelayakan investasi dari layak menjadi tidak layak.
Batas-batas maksimal perubahan parameter ini sangat mempengaruhi dalam hal
layak atau tidaknya suatu usaha untuk dijalankan. Semakin besar persentase
yang diperoleh misalnya persentase kenaikan harga pakan dan DOC maka
menunjukkan bahwa usaha tersebut tidak peka atau tidak sensitif terhadap
perubahan parameter yang terjadi.
8. BAB IV
PENGENALAN POLA PEMBIAYAAN INFRASTUKTUR
Build Operate Transfer (BOT), Build Lease Transfer (BLT), Build Own Operate
(BOO), Rehabilate Own Operate (ROO), Rehabilate Operate Transfer (ROT),
Develop Operate Transfer (DOT), dan Add Operate Transfer (AOT), bentuk lain
ada dalam ASB (2008) yaitu Build Own Operate Transfer(BOOT), Design Build
Finance Operate(DBFO) dan Design Built Operate Maintain(DBOM)
Di Indonesia pola yang sering digunakan adalah pola BOT, yaitu kerjasama
pemerintah dan badan usaha yang banyak digunakan di dunia termasuk di
negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Pada kerjasama BOT badan
usaha bertanggung jawab atas kegiatan pembangunan fasilitas termasuk
pembiayaannya, pengoperasian, dan pemeliharannya. Badan usaha
diperbolehkan memungut tarif kepada pengguna jasa dalam masa tertentu atau
sering disebut dengan masa konsesi. Pada akhir masa konsesi aset proyek
diserahkan ke pemerintah.
Beberapa ahli (Satyanaryama, Yescombe) menuliskan bahwa tujuan KPBU
adalah : meningkatkan efisiensi proyek infrastruktur melalui kerjasama jangka
panjang sector public dan swasta; memfasilitasi proyek yang akan dilaksanakan
tepat waktu dan sesuai anggaran; Dengan mentranfers tanggung jawab risiko
pada yang paling mampu.
Perbedaan utama antara KPBU dan metode pengadaan tradisional terletak pada
mekanisme pengembalian investasi bagi sektor swasta. Dengan KPBU,
pengembalian investasi sektor swasta terkait dengan layanan yang dihasilkan dan
kinerja aset selama masa kontrak (concession period). Penyedia jasa sektor
swasta bertanggung jawab tidak hanya untuk penyediaan aset/fasilitas, tetapi
untuk manajemen dan implementasi proyek secara keseluruhan, dan
pengoperasian untuk beberapa tahun setelahnya. Dalam hal ini waktu
pembayaran kepada sektor swasta untuk aktiva dan layanan yang diberikan
sangat berbeda. Meskipun tidak ada definisi yang berlaku luas mengenai
pengadaan tradisional, tapi bisa dikarakterisasi melalui hal-hal berikut (Davies
dan Eustice, 2005): (1) sektor publik mengadakan aset, bukan jasa yang
umumnya disediakan oleh sektor swasta; (2) aset ditentukan oleh input, dalam hal
ini sektor publik melakukan disain sebelum pengadaan (untuk pembangunan); (3)
sektor swasta hanya bertanggungjawab untuk memberikan aset, bukan untuk
kinerja jangka panjang di luar periode standar garansi; dan (4) manajemen proyek
pengadaan biasanya tetap oleh sektor publik.
m menggunakan hutang
cost
Gambar 2 Perbedaan antara pengadaan sektor pemerintah dan KPBU (Davies dan Eustice, 2005)
Untuk menentukan apakah proyek sebaiknya dilakukan melalui KPBU atau
konvensional, maka seharusnya dilakukan analisis value for money dalam
analisis public sector comparator (PSC). Value for money (VFM) adalah motivasi
paling utama yang menjadi dasar bagi sektor publik (Pemerintah) untuk
melibatkan sektor swasta dalam pembangunan dan/atau pengelolaan
infrastruktur. Dalam konteks ini VFM didefinisikan sebagai ‘the optimum
combination of whole life cost and quality (or fitness for purpose) to meet the
user’s requirement’ (OGC, 2002).
Sejumlah faktor yang menjadi pendorong (driver) VFM, diantaranya adalah
inovasi, alokasi dan transfer risiko, improvisasi pemanfaatan (utilisasi) aset,
integrasi dan sinergi kepemilikan dengan manajemen (aset infrastruktur), serta
manajemen proyek yang lebih baik. Adapun alokasi dan transfer risiko diyakini
merupakan salah satu yang paling penting (Grimsey dan Lewis, 2004) Setidaknya
diperlukan tiga hal untuk mencapai VFM, yaitu (Grimsey dan Lewis, 2004):
(i) Proyek harus diadakan dalam lingkungan yang kompetitif;
(ii) Teknik-teknik penilaian ekonomi dan apresiasi terhadap risiko harus
diterapkan dengan baik;
(iii) Perbandingan sektor publik dan model KPS harus dilakukan dengan fair,
realistis, dan komprehensif
Dari berbagai pendekatan yang tersedia untuk menilai VFM secara kuantitatif,
Public Sector Comparator (PSC) adalah alat penilaian yang disukai di banyak
negara karena tidak terlalu subyektif dan kompleks (dibanding analisis biaya
manfaat) dan dengan demikian lebih mudah untuk mengkompilasinya, sehingga
dapat menjadi alat bantu untuk membandingkan penawaran sektor swasta
(Grimsey dan Lewis, 2005). Sedangkan penawaran yang kompetitif pada
dasarnya dapat memastikan VFM, tapi tidak adanya PSC dapat membuat ragu
tentang apakah sektor publik memang dapat menghemat biaya dan mencapai
VFM.
Secara umum PSC menjelaskan biaya-biaya yang diperlukan sektor publik untuk
menyediakan output yang sama yang diminta dari sektor swasta melalui skema
KPS. Berdasarkan definisinya, PSC merupakan perkiraan biaya (hipotetis) yang
disesuaikan dengan risiko (risk adjusted) yang diperlukan oleh Pemerintah untuk
menyelenggarakan proyek KPS yang diusulkan (dengan output yang sama yang
diminta dari swasta) menggunakan skema pengadaan sektor publik yang paling
efisien (Li, Akintoye dkk, 2005)
Perbedaan penanggung jawab antara tanggung jawab pemerintah dan badan
usaha dalam penyelenggaraan infrastruktur.
Tabel 4Skema Pembiayaan KPBU
Kondisi Kelayakan Operasi dan
Konstruksi Bentuk Pendanaan
Proyek Pemeliharaan
Ekonomi (+) Pemerintah Badan Usaha Hybrid financing (
Finansial (-) APBN/APBD)
Ekonomi (+) Pemerintah & Badan Usaha KPBU dengan
Finansial (Marginal) Badan Usaha dukungan pemerintah
Jadi untuk kondisi yang layak ekonomi tetapi tidak layak finansial pemerintah
dapat melakukan pembiayaan melalui APBN/APBD atau penunjukan langsung
BUMN maupun melalui design build. Sedangkan untuk yang masih
memungkinkan dilakukan pemberian dukungan dapat menggunakan skema
Supported Built Operate Transfer. Dalam skema ini Selain itu dapat juga melalui
Layak Tidak
Ekonomi direkomendasikan
? dibangun
Layak
Finansial KPBU skema BOT
?
Bisa
VGF? KPBU skema SBOT
Bisa
KPBU skema
PBAS/AP
PBAS/AP
?
dari seluruh biaya konstruksi proyek kerja sama meliputi: biaya konstruksi,
peralatan, biaya pemasangan, biaya bunga atas pinjaman yang berlaku
selama masa konstruksi, dan biaya-biaya lain terkait konstruksi namun tidak
termasuk biaya terkait pengadaan lahan dan insentif perpajakan.VGF yang
diberikan tidak boleh mendominasi biaya konstruksi proyek kerja sama.
PermenKeu 223/PMK/011/2012 mengatur tentang kebijakan pemerintah dalam
mengatasi masalah pembiayaan pada ruas yang tidak layak finansial dalam
bentuk Valiability Gap Funding(VGF) diharapkan pemerintah bisa melakukan
percepatan pembangunan jalan tol demi peningkatan perekonomian di
Indonesia.VGF adalah salah satu bentuk dukungan pemerintah untuk mengatasi
pembangunan infrastruktur yang layak secara ekonomi tetapi tidak layak secara
finansial. VGF diadopsi dari India yang telah menerapkan untuk percepatan
pembangunan Infrastruktur khususnya jalan tol.
Kontribusi atas sebagian biaya konstruksi (Construction Cost Contribution) yaitu
dukungan kelayakan yang diberikan dalam bentuk tunai kepada proyek
kerjasama atas porsi tertentu dari biaya konstruksi seperti yang dilakukan di
Brazil, India, Meksiko dan Korea Selatan.
Construction Grant
Pemasukan
Grant
Biaya
Biaya Konstruksi Operasi&pemeliharaan
Untuk design and built/rancang bangun sebenarnya merupakan salah satu jenis
kontrak, yang menggabungkan proses perancangan dan pelaksanaan sehingga
diharapka dapat mempersingkat pembangan infrastruktur. Keuntungan kontrak
rancang bangun (design & build) dalam pekerjaan konstruksi meliputi :
• Komunikasi langsung antara pemilik dan kontraktor & penghematan yang
dihasilkan dalam waktu dan usaha dan potensi keuntungan yang lebih besar
(optimalisasi bagi kedua belah pihak).
• Potensial kurang untuk perselisihan dengan orang yang lebih sedikit terlibat.
• Lebih mudah untuk menempatkan tanggung jawab.
• Komunikasi jalur cepat dengan kontraktor dan penghematan waktu dan biaya
proyek dan potensi keuntungan/penghematan yang lebih besar.
• Biaya konstruksi yang lebih rendah dari hubungan yang lebih dekat antara
desainer dan kontraktor mengakibatkan desain ekonomi, dan karena itu
potensi keuntungan yang lebih besar.
• Potensi untuk desain inovatif yang mengarah ke keuntungan yang lebih
besar.
Sedangkan kekurangannya meliputi :
• Pemilik yang kurang memiliki kompetensi pada konstruksi dan biaya, mungkin
curiga dan ragu-ragu dan menghambat kemajuan proyek atau tidak mampu
memahami untuk keluhan dan sengketa.
• Keterbatasan kemampuan pemilik untuk langsung berkomunikasi dengan
kontraktor.
• Potensi konflik dengan adanya gabungan (perencana & pelaksana) yang
membatasi penyediaan jasa desain arsitektur, atau tidak mengakui atau tidak
mendukung kontrak rancang-bangun.
• Bagi perusahaan rancang-bangun baru mungkin tidak memiliki keterampilan
dan pengalaman yang diperlukan untuk berhadapan langsung dengan
pemilik.
• Pemilik mungkin harus melakukan pembayaran awal yang lebih signifikan
karena membutuhkan biaya awal dalam membuat proposal.
• Mengevaluasi proposal desain- dari penawar mungkin bermasalah. Pemilik
perlu menyewa konsultan untuk mengevaluasi proposal.
Perbedaan lain antara pembiayaan konvesional dan KPBU adalah dalam hal
dasar pengadaan. Untuk pembiayaan konvensional berdasarkan Perpres No 4
tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sedangkan untuk
KPBU berpedoman pada Perpres 38/2015 tentang Kerjasama Pemerintah Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
ditempatkan melalui pembelian obligasi yang diterbitkan oleh Bank BTN, KIK-
EBA yang diterbitkan PT. SMF atau deposito pada Bank BTN.
Dengan menempatkan dana-dana jangka panjang pada instrumen keuangan
yang diterbitkan oleh lembaga- lembaga yang mempunyai fokus dalam
pembiayaan perumahan maka mismatch pembiayaan perumahan diharapkan
dapat diatasi. Namun hal tersebut masih belum terwujud, diperlukan upaya-
upaya terobosan agar dana-dana tersebut dapat didayagunakan untuk
pembiayaan perumahan, antara lain melalui revisi peraturan perundang-
undangan yang mengatur penempatan dana-dana tersebut atau melalui
penerbitan instruksi presiden.
d. Bank BTN sebagai bank untuk pembiayaan perumahan
BTN pertama kali menyalurkan KPR bersubsidi pada tahun 1976, tepatnya
pada tanggal 10 Desember 1976.Pada waktu itu, Bank BTN menerbitkan
KPR untuk 17 unit rumah dengan total nilai kredit sebesar Rp. 37 juta. Bank
BTN ditunjuk sebagai Bank untuk membiayai pembangunan perumahan
berdasarkan SK Menkeu No. B.49/MK/1/1974.
Mengingat Bank BTN mempunyai pengalaman yang sangat panjang dalam
pembiayaan perumahan (KPR Program), maka untuk mendukung
pembiayaan perumahan bagi MBR Pemerintah dapat mendorong Bank BTN
menjadi bank yang fokus dalam pembiayaan perumahan. Sebagai bank fokus
dalam pembiayaan perumahan Bank BTN dapat memiliki portfolio
pembiayaan perumahan hingga 85%. Sementara bank umum terkendala
regulasi karena portofolio mereka maksimal hanya 20% di KPR. Dengan
langkah ini diharapkan pembiayaan bagi penyediaan rumah bagi MBR dapat
dipenuhi
Bank BTN sendiri sebenarnya sudah menyiapkan diri ke arah sana dengan
meluncurkan BTN Housing Finance Center (HFC). Melalui HFC, Bank BTN
berusaha menjadi integrator pemangku kepentingan perumahan. Dari sisi
demand misalnya, Bank BTN mempunyai berbagai produk KPR. Sedangkan
dari sisi supply, selain menyediakan Kredit Konstruksi juga menyediakan
fasilitas pinjaman seperti kredit lahan. Dengan HFC, Bank BTN akan
merambah riset dan advisory di bidang perumahan. BTN HFC dalam
9. BAB V
REGULASI PENYELENGGARAAN INFRASTUKTUR
DI INDONESIA
1. UMUM
3. BINA MARGA
4. CIPTA KARYA