Anda di halaman 1dari 41

NAMA : Muh. Fernaldy Angghada N.

Rachman
NIM : A31116521

Materi-Materi Selama LK 1 :
1. Epistemologi
2. Kapitalisme
3. Kuasa Media dan Globalisasi
4. Analisis Wacana Kritis
5. Filsafat Pendidikan
6. Akuntansi dan Kuasa
7. PTN-BH
8. Realita Pembangunan Kota
9. Filsafat Gerak
10. Kepemimpinan Manajemen Organisasi
11. Tujuan LEMA

Hubungan antara Kepercayaan Epistemologi dan Pendekatan Belajar

Kepercayaan,peristiwa, objek dan lingkungan dalam kehidupan seseorang dapat mempengaruhi


tingkah laku spesifik seseorang, tidak terkecuali dalam proses belajar. Kepercayaan, apalagi bila dikaitkan
kepercayaan pada epistemologi, menarik untuk dikaji karena merupakan dasar‐dasar pengetahuan
maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia dan menjadi bahan pijakan.  

Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, gabungan kata ”episteme” dan
”logos”. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos lazimnya menunjukkan teori atau pengetahuan
secara sistemik. Epistemologi adalah cabang ilmu yang menengarai masalah‐ masalah filosofis yang
mengitari teori ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti
asal‐usul,asumsi dasar, sifat‐sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan (Sudarsono, 1993).

Menurut Buehl (2003), William Pery adalah salah satu peneliti pertama yang meneliti
kepercayaan individu tentang epistemologi secara empiris. Sejak itulah muncul berbagai penelitian yang
mengkaji tentang kepercayaan pengetahuan. Belenky et al. (1986) mengusulkan model women’s ways of
knowing, bahwa wanita‐wanita mengadopsi hanya pada salah satu dari lima posisi ke arah pengetahuan
dan bagaimana mengetahui (diam tanpa objek, cara mengetahui yang diterima, subjek‐ tivitas
mengetahui, prosedur mengetahui, dan bagaimana membangun cara mengeta‐ hui). Bagaimanapun,
pertanyaan‐pertanya‐ an tersebut untuk menanggapi tidak diberinya tempat bagi wanita dalam kaitan
KEPERCAYAAN EPISTEMOLOGI DAN PENDEKATAN BELAJAR JURNAL PSIKOLOGI 131
dengan pelajaran dan pengetahuan akademis yang dalam kehidupan wanita banyak aspek berbeda.  

Magolda (2004) mengajukan model yang dinamai model refleksi epistemologis (Epistemological
Reflection Model). Ada empat tahapan dalam Model Refleksi Epis‐ temologis Magolda, yaitu: tahapan
menge‐ tahui absolut (absolute knowing), mengetahui transisional (transitional knowing), mengetahui
independen (independent knowing), dan mengetahui kontekstual (contextual knowing). Mengetahui
absolut (absolute knowing), merupakan tahapan perkembangan di mana pengetahuan dipandang sebagai
hal yang bersifat pasti. Para pengajar dipandang sebagai otoritas mutlak; belajar berarti menyebutkan
fakta‐ fakta. Tahapan kedua, mengetahui transisional (transitional knowing), memper‐ lihatkan bagaimana
pengetahuan dalam hal tertentu tidak pasti sifatnya. Otoritas yang berwenang bukan pihak yang serba
tahu, hanya saja mereka diharapkan bisa membe‐ rikan informasi lebih banyak mengenai bagaimana
caranya pengetahuan bisa diterapkan. Tahapan ketiga, tahapan mengetahui independen (independent
knowing), menyadari bahwa pengetahuan hampir sepenuhnya bersifat tidak pasti.  

Para pengajar diharapkan bisa menyediakan lingkungan belajar yang bisa menghasilkan
pemikiran dan logika tertentu yang bisa jadi berbeda dari teks atau para pengajar itu. Tahapan terakhir
adalah mengetahui kontekstual, di mana terdapat perpaduan atau kombinasi di antara pola‐ pola yang
terkait sebelumnya. Mengetahui kontekstual mencakup adanya keyakinan bahwa keabsahan klaim‐klaim
pengetahuan ditentukan oleh konteksnya. Schommer (1994; 2004) membuat sebuah model multidimensi
untuk menjelaskan elemen dasar sistem kepercayaan epistemologi. Konsep penelitian sebelumnya
menemukan bahwa kepercayaan epistemologi masih sangat kompleks dan unidimensi dan memfokuskan
pada keu‐ nikan aspek epistemologi individu. Sebagai alternatif, Schommer (1994; 2004) mengajukan
kepercayaan epistemologi yang merupakan konsep ulang banyak sistem atau kepercayaan independen.
Sistem keperca‐ yaan yang dimaksud adalah kepercayaan epistemologi yang multidimensi dan terdapat
lebih dari satu kepercayan yang dipertimbangkan.   Lima taksonomi kepercayaan yang diajukan
Schommer meliputi kepercayaan tentang:

1. Pengetahuan yang bersifat sederhana (simple knowledge) misalnya pengetahuan terorganisir


secara sederhana atau terpotong‐potong ataukah mempu‐ nyai keterkaitan berbagai konsep.
2. Pengetahuan bersifat pasti (certain knowledge), bersifat absolut, menetap atau berkembang,
3. Pengetahuan berasal dari orang yang lebih tahu (omniscient), dari pengalaman orang yang
mempunyai otoritas dalam menyampaikan pengeta‐ huan atau berasal dari pemikiran sendiri
diikuti dengan berbagai bukti.
4. Belajar dengan cepat (quick learning) seperti mahir dengan cepat atau bertahap melalui proses
dengan mudah atau perlu kerja keras
5. Kecakapan dalam memperoleh pengeta‐ huan (innate ability) yang bersifat bawaan sehingga
dapat berkembang setiap saat.  

Hipotesa asli dari kepercayaan yang diajukan Schommer (1994; 2004) meliputi kepercayaan
tentang:

a) struktur pengeta‐ huan (the structure of knowledge),


b) stabi‐ litas pengetahuan (stability of knowledge),
c) sumber pengetahuan (the sources of knowledge),
d) kecepatan belajar (the speed of learning) dan
e) kecakapan dalam memper‐ oleh pengetahuan (innate ability). Sesudah itu, Jehng, Johnson, &
Alexander (1993) menggunakan satu versi modifikasi pengu‐ kuran Schommer dari kepercayaan
GHUFRON 132 JURNAL PSIKOLOGI epistemologi (menggantikan struktur dari pengetahuan
dengan proses belajar), kemu‐ dian Schraw (2001) meningkatkan daftar pertanyaan Schommer
yang dinamainya Epistemic Belief Inventory (EBI) dengan tujuan untuk memaksimalkan dan
menang‐ kap semua dimensi pengukuran Schommer. Proses pembelajaran dan motivasi belajar
siswa selalu menjadi perhatian utama para peneliti pendidikan. Para peneliti mempunyai teori dan
model yang berbeda‐beda untuk memahami tentang proses pembelajaran dan motivasi belajar
siswa. Salah satu model yang sering digunakan dalam menelaah pembelajaran dan belajar adalah
teori model 3P yang diuraikan Dunkin dan Biddle pada tahun 1974 (Chan, 2003; Chan, 2007),
yang menghubungkan komponen‐komponen utama di dalam belajar dalam kelas men‐ jadi tiga
hal, yaitu:
1. P yang berarti presage adalah karakteristik‐karakteristik siswa dan konteks pengajaran,
2. P yang berarti proces adalah proses pengajaran dan
3. P yang berarti product atau hasil pengajaran.

Di antara karakteristik‐karakteristik siswa yang berhubungan dengan proses belajar


adalah pendekatan belajar siswa selain motivasi belajar yang merupakan unsur penting yang
selalu dipertimbangkan banyak peneliti.   Pendekatan belajar secara umum ada‐lah perilaku nyata
individu sebagai seorang pelajar dalam belajar yang menentukan tingkat hasil belajarnya. Para
peneliti ketika mengkaji pendekatan belajar biasanya perspektifnya juga cukup beragam misal‐
nya perspektif pengelolaan diri dalam belajar (self regulated learning) (Phan, 2008; Barnard,
2008), pendekatan konstrukti‐ visme (Tsai, 2000), pendekatan belajar berbasis teknologi seperti
internet (Tsai & Chuang, 2005; Bra˚ten & Strømsø, 2006b), pendekatan belajar mendalam (deep
approach) yang lebih menekankan pema‐ haman seseorang dan pendekatan belajar permukaan
(surface approach) yaitu kemam‐ puan seseorang dalam mereproduksi informasi di dalam
pemenuhan permintaan tugas (Cano, 2005; Chan, 2003; Chan, 2007; Phan, 2006; Harris, 2003)
dan achieving approach atau pendekatan dalam memper‐ tinggi ego meraih kesuksesan (Chan,
2003).

Kepercayaan siswa tentang kemampuan mereka dalam belajar merupakan komponen


penting yang berpengaruh pada aktivitas metakognisi (Schommer, 1994), elemen motivasi dan
prestasi (Neber & Schommer‐Aikins, 2002). Kepercayaan epistemologi juga merupakan faktor
pen‐ ting dan menentukan dalam mengungkap penggunaan pendekatan belajar siswa. Hofer
(2001) mengajukan tiga kata kunci untuk memperjelas keterkaitan epistemologi dengan belajar,
yaitu:

1. epistemologi adalah perkembangan, dimana perkembangan adalah tujuan pendidikan, dan


merupakan bagian untuk membantu perkembangan epistemologi,
2. epistemologi ada di dalam bentuk kepercayaan, dan belajar dipengaruhi kepercayaan
epistemologi yang dipegang individu, dan
3. epistemologi juga teori yang mana dalam proses belajar sebagaimana teori lainnya bisa
aktif dan dapat digunakan tergantung pada kesesuian atau kondisi tertentu.  

Dweck & Leggett (dalam Tasaki, 2001) berpendapat bahwa perilaku belajar individu
sangat dipengaruhi oleh kepercayaan‐ kepercayaan siswa sekitar sifat pengetahuan dan
kemampuan mereka. Paulsen dan Feldman (dalam Chan, 2003) berpendapat bahwa siswa yang
mempunyai kepercayaan rendah pada struktur pengetahuan seperti pengetahuan berstruktur
sederhana dan siswa yang mempunyai kepercayaan rendah pada stabilitas pengetahuan seperti
pengetahuan bersifat sementara dan kepercayaan siswa tentang KEPERCAYAAN
EPISTEMOLOGI DAN PENDEKATAN BELAJAR JURNAL PSIKOLOGI 133 sumber
pengetahuan bahwa pengetahuan hanya berasal dari orang yang lebih tahu (omniscient), dari
pengalaman orang yang mempunyai otoritas dalam menyampaikan pengetahuan dan tidak berasal
dari pemikiran sendiri diikuti dengan berbagai bukti, akan mempunyai sedikit orientasi tujuan
belajar yang intrinsik, dalam menghargai aktivitas belajar, dalam mengontrol belajar dan untuk
merasakan bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu dalam belajar.
Kepercayaan tentang bagaimana men‐ dapatkan pengetahuan akan berpengaruh pula terhadap
perilaku belajar siswa, seperti kepercayaan siswa mengenai waktu yang dibutuhkan untuk belajar
mata pelajaran tertentu, apakah pelajaran tersebut bisa dilakukan dengan cepat (quick learning)
atau merupakan proses berangsur‐angsur, bisa dengan mudah atau perlu kerja keras, dan juga
kepercayaan terhadap kemam‐ puan atau kecerdasan dalam memperoleh pengetahuan (innate
ability) yang bersifat bawaan yang menetap ataukah dapat berkembang setiap saat.   Atas dasar
penemuan dari studi‐studi empiris sebelumnya pada belajar dan kecerdasan Dwick & Leggett
(dalam Tasaki, 2001) berpendapat bahwa ada dua teori yang terkandung dari kecerdasan: (a) teori
kecerdasan incremental dan (b) teori kecerdasan kesatuan (entity). Mereka yang percaya teori
incremental cenderung memandang kecerdasan dapat diubah dan dapat diperbaiki. Mereka yang
memufakati teori kecerdasan kesatuan percaya bahwa kecerdasan tidak dapat berubah dan
menetap. Dua kepercayaan tentang kecer‐ dasan para siswa mengarahkan mereka untuk bereaksi
dengan cara yang berbeda‐ beda ketika menjalankan aktivitas belajar termasuk pendekatan
belajarnya. Para siswa yang memegang kepercayaan incre‐ mental cenderung melihat aktivitas
belajar sebagai suatu kesempatan untuk mening‐ katkan kecerdasan mereka. Pada sisi lain, para
siswa dengan kepercayaan kesatuan merasa aktivitas belajar tidak banyak berpengaruh terhadap
kemampuannya dan hanya sebagai suatu kesempatan untuk menguji kecerdasan mereka saja.   
Peterson (dalam Brownlee et al., 2008) menyatakan karena pendidikan berhu‐ bungan dengan
pengetahuan, maka sesungguhnya epistemologi dalam pendi‐ dikan sangat fundamental
posisinya. Selain itu, hubungan kepercayaan epistemologi terhadap pendekatan belajar seseorang
juga menjadi salah satu isu yang paling menon‐ jol dalam psikologi pendidikan (Bendixen &
Rule, 2004).

Globalisasi Media dan Transformasi Politik Internasional Puji Rianto1


Abstract

Dunia telah berubah dengan cepat. Kondisi ini telah menjadi keyakinan hampir semua pejabat
publik, akademisi, dan pegiat LSM. Salah satu faktor penyebabnya adalah globalisasi, yang telah menjadi
isu sentral dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial sekarang ini (Chesney, 1998). Globalisasi yang
mulai intens didiskusikan banyak pihak dianggap sebagai fenomena baru yang dicirikan oleh penyusutan
ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi
dan interdependensi ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam skala global (Steger, 2002: vii).
Dampak yang ditimbulkannya telah menyentuh ke dalam hampir semua kehidupan manusia,
termasuk hubungan antarnegara, bangsa dan politik internasional. Jika politik internasional dimaknai
sebagai “a struggle of power” sebagaimana dikemukakan Morgenthau (1993: 29), maka globalisasi telah
membuat sarana ataupun instrumen yang digunakan untuk meraihnya mengalami 1 Puji Rianto adalah
Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Yogyakarta. Jurnal
ILMU KOMUNIKASI 68 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 perubahan secara signifikan. Dalam
kaitan ini, globalisasi media telah mengubah karakteristik umum diplomasi dan komunikasi internasional.
Dov Shinar (2000:83) mengungkapkan bahwa komunikasi internasional pada era 1990-an
dikarakteristikkan oleh dua perkembangan pokok, yakni: pertama, bersamaan dengan tuntutan dan
gerakan separatisme, iklim pasca-Perang Dingin telah membuat lebih susah usaha-usaha para penjaga dan
pembuat perdamaian seperti yang terjadi dalam konflik di Timur Tengah dan Irlandia Utara. Kedua, peran
media dalam hubungan internasional telah berubah secara signifikan. Pekerjaan tradisional para jurnalis
yang meliputi usaha-usaha mengumpulkan dan menyeleksi fakta, mengkonstruksi, dalam meng-coding
dan merepresentasikan realitas telah mengalami perluasan.

Para jurnalis tidak hanya berharap menghadirkan fakta secara fair dan tanpa bias dalam bahasa
yang dirancang untuk unambiguous, undistorting, dan agreeable (Fowler, 1999; seperti dikutip Shinar,
2000:83). Namun, lebih dari itu, organisasi dan para profesional media berpartisipasi dalam hubungan
internasional, yang secara luas dan dalam peran sebagai katalis dan ‘broker diplomatik’. Dalam situasi ini,
posisi jurnalis sebagai pewarta dan pelaku dalam politik internasional sering kali menjadi kabur. Saat ini,
organisasi media dan para profesional telah turut berpartisipasi dalam hubungan-hubungan internasional,
dalam pengertian luas dan dalam perannya sebagai katalis dan “diplomatic broker” (Larson, 1986; Giboa,
1998 seperti dikutip Shinar, 2000). Sebagai broker diplomatik, media melaksanakan dan kadang
memprakarsai mediasi internasional dalam suatu cara yang sering kali pembedaannya menjadi kabur
antara dirinya sebagai reporter dengan sebagai seorang diplomat (Shinar, 2000:84). Dalam kaitan ini,
media global telah mentransformasi politik internasional secara mendasar melalui proses mediasi
(mediated international politics), yang membuat politik internasional lebih menekankan pada image
politics dibandingkan dengan power politics. Selanjutnya, oleh karena kemampuannya dalam
menyebarkan pesan-pesan diplomasi dan politik, media telah memberi kemampuan untuk menjadikannya
sebagai salah satu instrumen propaganda paling penting. Jika kontrol terhadap informasi berarti pula
kontrol terhadap kekuasaan, dan jika politik internasional dipahami sebagai perjuangan meraih kekuasaan
(struggle of power), maka tidak dapat dipungkiri bahwa media yang beroperasi lintas batas Puji Rianto,
Globalisasi Media dan ... , 67-84 69 negara bangsa sekarang ini mempunyai peran yang hampir tidak ada
bandingnya. Tulisan ini akan ditujukan untuk menganalisis secara kritis bagaimana globalisasi media
mengubah politik internasional dewasa ini. Pada bagian awal, akan dipaparkan globalisasi dan bagaimana
media berperan dalam proses tersebut. Selanjutnya, akan dipaparkan bagaimana globalisasi media telah
menggeser politik internasional dari power politics ke image politics. Bagian berikutnyan akan
dipaparkan bagaimana media mempunyai peran penting sebagai agen propaganda dalam politik
internasional. Kekuasaan melibatkan pengaruh-pengaruh dan kontrol tindakan dari warga negara dan
pemerintahan terhadap warga negara dan pemerintahan lain. Dalam kaitan ini, propaganda menjadi salah
satu instrumen pokok dalam proses tersebut. Bagian akhir tulisan akan ditutup dengan kesimpulan,
benang merah dari keseluruhan tulisan ini. GLOBALISASI DAN PERAN MEDIA Para ilmuwan politik
dan hubungan internasional telah begitu gigih melakukan analisis terhadap globalisasi dan implikasinya
bagi negara bangsa, sedangkan ilmuwan lainnya gigih memperdebatkan munculnya global culture,
lokalisme, masyarakat global, dan lain sebagainya.

Jika literatur-literatur tersebut dirunut, maka akan ditemukan betapa sulitnya menemukan kata
sepakat atas apa yang disebut globalisasi dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan manusia, baik di
bidang ekonomi, politik, sosial, dan juga budaya. Meskipun demikian, argumentasi yang menyatakan
bahwa globalisasi telah mempengaruhi hampir semua bidang kehidupan manusia tampaknya jauh lebih
bisa diterima meskipun harus diberi catatan bahwa pengaruhnya berada dalam derajat yang berbeda-beda.
Di antara diskusi tentang globalisasi tersebut, perkembangan media dan teknologi komunikasi menjadi
salah satu faktor penting meskipun pada awalnya tidak mendapatkan cukup perhatian (Rantanen,
1999).

Integrasi, interkoneksi, dan bahkan interdependensi (Keohane dan Nye, 1977) tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan media dan teknologi komunikasi yang beroperasi lintas batas negara
bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa tanpa adanya
teknologi komunikasi, maka tidak ada pasar-pasar global sebagaimana adanya sekarang. Tanpa
adanya Jurnal ILMU KOMUNIKASI 70 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 komunikasi
global maka tidak akan muncul pasar global (Tehranian, 1999: 4) Mengenai peran media dalam
proses globalisasi tersebut, Thompson (2000: 202) mengemukakan sebagaimana dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini. “The reordering of space and time brought about by the development
of the media is part of broader set of processes which have transformed (and are still
transforming) the modern world. These processes are commonly described today as
‘globalization’”

Pada bagian lain, Thompson (Rantanen, 2006:9) mengemukakan bahwa perkembangan


media baru dan komunikasi tidak hanya dalam jaringan-jaringan transmisi informasi di antara
individu yang masih mempunyai hubungan-hubungan sosial. Namun, perkembangan media dan
komunikasi menciptakan bentuk-bentuk tindakan dan interaksi dan hubungan-hubungan sosial
jenis baru-suatu bentuk hubungan yang berbeda jika dibandingkan dengan bentuk hubungan
face-to-face yang hadir dalam hampir keseluruhan sejarah manusia. Di sini, komunikasi
memberikan kontribusi bagi globalisasi dunia dalam tiga cara (Rantanen, 1999:4). Pertama,
komunikasi global menyediakan “infrastructures” bagi aliran data, berita, dan citra lintas batas
negara bangsa yang memungkinkan pan-kapitalisme berkembang. Kedua, komunikasi global
telah mendorong peningkatan permintaan melalui “channels of desire” periklanan global. Ketiga,
komunikasi global memberdayakan kelompok-kelompok marginal (the silent voices) di negara-
negara periferi akan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dan keadilan sosial yang
biasanya hadir dalam bentuk pemujaan mendalam atas identitas vis-a-vis komoditas di
negaranegara center. Jaringan televisi transnasional telah menantang hubungan-hubungan
tradisional antara televisi dengan negara bangsa melalui jangkauan siarannya yang bersifat
transnasional (Chalaby, 2003:460-462). Dalam kaitan ini, terdapat tiga tipe coverage, yakni
multiterritory, panregional dan global. Stasiun televisi yang mempunyai coverage multiterritory
biasanya muncul karena tidak mempunyai cukup sumber daya untuk mengembangkan siaran
panregional atau jika tidak demikian lebih karena Puji Rianto, Globalisasi Media dan alasan-
alasan ketakutan sebagai akibat ketiadaan brand dan bahan-bahan untuk menyelenggarakan
siaran pan-regional. Di sisi lain, siaran-siaran televisi pan-regional biasanya mampu menjangkau
keseluruhan kawasan regional. Saluran Pan-Eropa, misalnya, mampu menjangkau keseluruhan
wilayah Eropa, Euronews, dan Eurosport (yang saat ini berada di bawah kendali TF1, stasiun
siaran swasta Perancis), Mezzo, saluran musik klasik Lagardere, dan Fox Kids. Meskipun tidak
menjangkau keseluruhan Eropa, tetapi setidaknya menjangkau 30 hingga 55 kawasan dengan 15
bahasa. Kelompok terakhir adalah jaringan televisi yang mempunyai jangkauan global. Jaringan
televisi seperti MTV, CNN, dan Discovery telah menjangkau tidak hanya Eropa, tetapi juga lebih
dari 150 negara yang berada di kawasan seperti Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Pasifik,
Amerika dan kadang-kadang Afrika. Stasiun-stasiun ini mempunyai orientasi program global
yang disiarkan selama 24 jam non-stop. Orientasi siarannya yang 24 jam ini telah membuatnya
mempunyai kemampuan untuk meliput dunia secara real time. CNN World Report dan BBC
World, misalnya, dapat meliput dan menyiarkan krisis dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dunia sebagaimana terjadi. Sebagai contoh, dalam krisis Timur Tengah, CNN World Report
menyiarkan per jam kejadian. Globalisasi yang ditopang oleh perkembangan teknologi
komunikasi ini telah menciptakan apa yang sering disebut oleh ilmuwan Kanada, Marshal
McLuhan, sebagai “perkampungan global” (“global village”). Suatu dunia yang diibaratkan
sebagai perkampungan global di mana sekat-sekat antarwilayah tidak lagi berlaku, dan masing-
masing individu dapat berinteraksi satu dengan yang lain melalui teknologi komunikasi.
Berangkat dari gagasan McLuhan ini, Volkmer (2003) lantas memberikan argumentasi bahwa
kemampuan berita yang dipancarkan melalui satelit secara simultan oleh stasiun penyiaran ke
seluruh dunia dalam suatu waktu bersamaan telah menciptakan “global public sphere” dan
kosmopolitanisme sebagai dasar terbentuknya warga negara dunia (global citizenship) (dikutip
dari Rai dan Cottle, 2007:2). Teknologi komunikasi telah memungkinkan seseorang
berhubungan secara langsung dengan orang-orang di seluruh dunia, termasuk dengan otoritas
politik. Inilah yang mendorong munculnya kelompok-kelompok yang lebih bersifat
kosmopolitan. Greenpeace, kelompok pecinta lingkungan hidup yang beroperasi lintas batas
negara, menjadi salah satu contohnya. Persoalannya Jurnal ILMU KOMUNIKASI 72 VOLUME
5, NOMOR 1, JUNI 2008 sekarang bagaimana globalisasi media tersebut berpengaruh terhadap
politik internasional? POLITIK INTERNASIONAL: DARI POWER POLITICS KE IMAGE
POLITICS? Dalam buku yang menjadi salah satu rujukan penting studi politik internasional,
International Politics: A Framework for Analysis, Holsti (1983:193) mengemukakan bahwa
dengan perkembangan politik massameluasnya keterlibatan warga negara atau subjek dalam
hubunganhubungan politik-dan meluasnya lingkup hubungan-hubungan privat antarwarga
negara dalam hubungan internasional dan global, dimensidimensi kebijakan luar negeri akan
menjadi semakin penting. Sejauh sebagai rakyat, menurut Holsti, yang digabungkan ke dalam
berbagai kelas sosial, gerakan, dan kelompok-kelompok kepentingan (interest group), peranan
yang mereka mainkan akan semakin penting dalam menentukan tujuan-tujuan dan alat-alat
kebijakan yang digunakan untuk meraih atau mempertahankan tujuan-tujuan tersebut meski pada
waktu bersamaan mereka sendiri juga menjadi target persuasi. Di era sekarang, interaksi
sebagaimana dimaksud Holsti diperantarai oleh media dan teknologi komunikasi. Oleh
karenanya, di era globalisasi sekarang ini, peranan media menjadi semakin penting dalam
kehidupan politik internasional dan diplomasi. Kekuatan media sebagai agen diplomasi ini
muncul sebagai akibat luasnya cakupan dan kemampuannya dalam membangun citra dan opini
publik. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1987, dalam rangka meminimalkan bias berita Barat, CNN
World Report telah menyediakan laporan berita di seluruh dunia tanpa diedit dan disensor.
Menjelang tahun 1992, tidak kurang dari 10.000 item berita lokal disiarkan dalam World Report
yang berasal dari 185 organisasi berita dan mewakili 180 negara (Tehranian, 1999:46).
Mengomentari hal ini, Tehranian mengatakan, “CNN has thus become more than a news
medium; it is also serving as a channel for public diplomacy, often working faster than the
private channels of traditional diplomacy”. Peranan media yang sangat besar tersebut telah
melahirkan istilah “media diplomacy” (Hachten, 1993:59), yang dalam sejarahnya merujuk pada
kasus Walter Cronkite dari CBS dan Barbara Walters dari ABC yang Puji Rianto, Globalisasi
Media dan ... , 67-84 73 menjadi ‘saluran’ komunikasi antara Presiden Mesir, Anwar Sadat,
dengan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin. Menurut catatan Hachten, dampak paling
dramatis dicapai oleh stasiun CBS yang berhasil melakukan wawancara sambungan telepon
secara terpisah. Selanjutnya, penyiaran dua wawancara tersebut disunting dan disambungkan
bersama sehingga memberikan kesan sedang dilaksanakan wawancara langsung antara kedua
pemimpin dengan Cronkite sebagai pewawancaranya. Inilah dimensi baru peranan media dalam
politik internasional dewasa ini, yang dapat dikatakan sebagai ’mediator’. Pada tataran tertentu,
media menjembatani yang mungkin juga penuh distorsi negosiasi dan diplomasi politik antarpara
pejabat politik. Kemampuan media dalam membangun citra juga telah menggeser dimensi politik
internasional. Dalam kaitan ini, Tehranian (1999:137) mengemukakan bahwa setengah
kekuasaan politik terdiri dari pembuatan citra (image making). Format media naratif seperti
drama atau gambar bergerak dapat membentuk kesadaran politik melalui penggambaran
pengalaman-pengalaman hidup dan membentuk suasana pengalaman termediasi (Kluver,
2002:499). Di sini, politik citra tidak hanya beroperasi dalam demokrasi nasional ataupun lokal,
tetapi juga menjadi dimensi penting dalam politik internasional. Perkembangan ini juga
mendorong bagaimana pencapaian kekuasaan diraih dalam hubungan antarnegara. Sejalan
dengan pemikiran realis, kekuasaan dalam politik internasional seperti ‘life’s blood’ (Henderson,
1998:99). Di sini, kekuasaan didefinisikan sebagai kapasitas seorang aktor untuk membujuk atau
memaksa aktor lain guna mengijinkan kontrol atas aktor tersebut. Kekuasaan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yakni soft power dan hard power. Soft power merujuk pada kemampuan
seorang aktor dalam melakukan persuasi kepada aktor lain untuk melakukan suatu tindakan
berdasarkan pengaruh. Ideologi suatu negara, budaya, prestise dalam hubungan internasional,
atau keberhasilankeberhasilan negara tersebut mungkin akan membuat negara tersebut menjadi
pemimpin yang secara sukarela diikuti oleh yang lain (Henderson, 1998:100). Sementara itu,
hard power dimaknai sebagai kemampuan suatu negara untuk memaksakan kepentingan dan
kemauannya terhadap negara lain baik melalui kekuatan ekonomi maupun invasi militer.
Kemampuan suatu negara untuk mengkombinasikan kedua kekuasaan ini, hard power dan soft
power, membuatnya menjadi sangat berpengaruh dalam politik Jurnal ILMU KOMUNIKASI 74
VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 internasional sebagaimana ditampilkan Amerika Serikat
saat ini. Kekuasaan sebagai tujuan utama politik internasional mengandung enam dimensi utama,
(Henderson, 1998:100-102), yang mengetahuinya menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi
lebih dalam peranan media dalam mentransformasi hubungan-hubungan antarnegara dan politik
internasional. Dimensi kekuasaan yang dimaksud adalah: Pertama, kekuasaan bersifat situasional
sebagai akibat sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan kekuasaan tersebut berubah
setiap waktu atau berubah sebagai akibat perubahan konteks yang melingkupinya. Kedua,
kekuasaan atau power selalu berada dalam suatu state of change karena kemajuan-kemajuan
teknologi. Meluasnya teknologi komunikasi dan media jelas telah mengubah landscape
kekuasaan dalam masyarakat modern. Informasi adalah kekuasaan, dan siapa yang mengontrol
informasi berarti juga kontrol terhadap kekuasaan. Ketiga, kekuasaan menjadi penting hanya
karena hubungannya dengan aktor-aktor lain. Ini berarti bahwa perbincangan mengenai
kekuasaan hanya relevan jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan antaraktor dalam politik
internasional. Dalam masyarakat global, interaksi tidak lagi terbatas pada individu-individu
dalam lingkup teritorial negara bangsa, tetapi juga melintasi batas-batas geografis. Interaksi ini
menjadi mungkin karena perkembangan teknologi komunikasi dan media. Persoalannya adalah
bahwa pengusaaan atas teknologi dan media tidak berjalan seimbang, negara-negara maju
menguasai lebih banyak dibandingkan dengan negara Dunia Ketiga. Keempat, kekuasaan dapat
dibedakan antara kekuasaan aktual dan potensial (actual power and potencial power). Kekuatan
militer suatu negara bangsa menjadi contoh paling konkret kekuasaan aktual, sedangkan Gross
National Product (GNP) menjadi contoh potencial power. Kelima, berkenaan dengan pembedaan
actual and potencial power adalah apa yang disebut sebagai the fungibility power. Secara khusus,
kekuasaan fungible melibatkan kemampuan untuk melakukan konversi kekuasaan ekonomi
menjadi kemampuan militer dan selanjutnya menjadi kekuasaan politik. Jepang menjadi contoh
bagaimana kemampuan ekonomi dapat ditransformasi dengan cepat menjadi kekuasaan militer
atau politik. Meskipun saat ini Jepang tidak mempunyai cukup kekuatan militer, tetapi dengan
kemampuan ekonomi, teknologi dan dengan menghabiskan sekitar 6 hingga 8 persen GNP-nya,
Jepang dengan cepat dapat menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani. Terakhir, Puji
Rianto, Globalisasi Media dan ... , 67-84 75 kekuasaan dapat dibedakan menjadi tangible dan
intangible. Tangible power merupakan sumber-sumber kekuasaan yang dapat disentuh dan dapat
dihitung (countable), sedangkan intangible power sebaliknya, tidak dapat disentuh seperti
kekuatan moral, wisdom, dan lain sebagainya. Di era globalisasi sekarang ini, kekuasaan telah
banyak mengalami perubahan. Kekuasaan menjadi lebih bersifat persuasif dibandingkan dengan
coercive dan pada akhirnya akan menuju ke arah peningkatan kebutuhan dan keinginan dari
banyak aktor dibandingkan dengan hanya mendasarkan pada keamanan negara bangsa
(Henderson, 1998:121). Dalam situasi semacam ini, propaganda melalui media yang beroperasi
secara global mempunyai peran penting. Amerika menjadi contoh paling nyata bagi upaya-upaya
membangun propaganda untuk mendukung kebijakankebijakan luar negeri. Radio Voice of
America menjadi stasiun penyiaran yang dengan efektif telah digunakan oleh AS dalam
mendukung kebijakan luar negeri. Beroperasi sejak tahun 1943 dan berisi beragam acara mulai
dari berita dan hiburan dengan informasi tentang kehidupan di Amerika, VOA dapat
memberikan argumen-argumen yang mendukung bagi kebijakan luar negeri AS (Henderson,
1998:186). Stasiun-stasiun siaran swasta tampaknya juga tidak berbeda dalam keikutsertaannya
memperjuangkan kepentingan-kepentingan AS dalam politik internasional. MEDIA SEBAGAI
INSTRUMEN PROPAGANDA Herman (1998:200-201) mengemukakan bahwa perubahan
dramatik di bidang ekonomi, industri komunikasi, dan juga politik dalam satu dekade belakangan
adalah kecenderungan mulai diterapkannya model propaganda. Dua filter yang paling pokok
bagi berlangsungnya proses ini adalah pengaruh kepemilikan dan periklanan yang semakin
meningkat. Di era globalisasi sekarang ini, terdapat trend bahwa media dimiliki oleh segelintir
orang atau kelompok masyarakat. Akibatnya, liputan media menjadi cenderung menguntungkan
pemilik modal dan demi dukungan periklanan yang lebih besar. Filter ketiga dan keempat adalah
-sourcing and flak-yang telah pula memperkuat pengaruh elit dalam kehidupan politik.
Hiperkomersialisasi telah memunculkan gejala baru dalam bentuk pendangkalan laporan
jurnalisme sebagai akibat efisiensi. Laporan jurnalisme investigatif dikurangi, demikian juga
dengan biaya Jurnal ILMU KOMUNIKASI 76 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 untuk
pelatihan jurnalis. Media hanya mengandalkan liputan-liputan yang berorientasi ke atas dengan
mengandalkan sumber-sumber elit politik dan ekonomi. Filter kelima adalah ideologi
antikomunis. Hancurnya Uni Soviet telah membuat keyakinan terhadap “keajaiban pasar”
(miracle of the market) semakin kuat. Keyakinan ini berujung pada “pentasbihan” ideologi pasar
sebagai satu-satunya mekanisme yang diyakini paling efisien dalam mengelola sumber-sumber
ekonomi. Dalam kehidupan media, berkuasanya ideologi pasar ini telah menciptakan market-
driven journalism, telah mendorong media yang semata berorientasi pada kepentingan
pasar/profit dibandingkan dengan melayani warga negara dan sistem politik demokrasi. Dalam
politik internasional, propaganda telah memainkan peranan yang menentukan dalam upayanya
suatu negara untuk meraih tujuantujuan politik yang sudah ditetapkan (Holsti, 1983). Peranan
semacam ini akan semakin kuat dalam masyarakat demokratis. Edward L. Bernays
mengemukakan bahwa manipulasi kesadaran yang diorganisasikan dalam kebiasaan dan opini
massa merupakan ciri-ciri paling utama masyarakat demokrasi. Suatu esensi demokrasi yang
juga merupakan cara untuk memelihara struktur kekuasaan, struktur otoritas, kesejahteraan, dan
lain sebagainya (Dikutip dari Chomsky, 1998:181). Dalam kaitan ini, propaganda digunakan
untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri dan sikap-sikap masyarakat yang menjadi
target. Perkembangan teknologi komunikasi dan beroperasinya media-media lintas batas negara
bangsa yang telah menstransformasi politik internasional membuat aktoraktor propaganda tidak
lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga warga negara (lihat gambar 1), dan dalam konteks
tersebut media berperan dalam menyebarluaskan pesan-pesan propaganda melalui berita dan
pesanpesan lain ke target. Gambar 1: Model Propaganda dalam Politik Internasional Puji Rianto,
Globalisasi Media dan ... , 67-84 77 Diadaptasi dari KJ. Holsti. 1983. International Politics: A
Frame Work for Analysis. Fourth edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall., Inc.
Hal. 94 Realitas Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 menjadi contoh konkret bagaimana
media menjadi agen propaganda yang efektif dalam membangun dukungan domestik untuk
merencanakan perang besar. Bahkan, dalam konteks Perang Teluk, media terlibat dalam skandal
‘penipuan’ yang dilakukan oleh Pentagon melalui penyesatan informasi (Kellner, 1992). Kellner
(1992:6) mengemukakan “the tv networks, by contrast, tended merely to reproduce what they
were told or shown by US government and military”. Liputan media-media mainstream dan
terutama televisi telah memengaruhi cara pandang orang tentang perang. Dalam hal ini,
dukungan dan antipati sangat ditentukan oleh bagaimana media menyiarkan perang tersebut.
Kondisi ini berulang ketika AS melakukan invasi ke Iraq guna menjatuhkan Saddam Husein
pada 2003 lalu. Di sini, media berperan besar dalam memobilisasi dukungan terhadap Perang
Iraq dengan hanya menampilkan opini Gedung Putih (Chomsky, 2006). Media gagal
memberikan konteks, dan karenanya gagal pula dalam memberikan informasi kepada warga
negara AS secara lengkap. Seperti dikemukakan Dennet (2006: 80), dalam kasus Perang Iraq dan
Terorisme, salah satu kelemahan besar laporan media arus utama (di AS) adalah kegagalan
menempatkan konteks, dan ironisnya sekolah-sekolah dan universitas di Amerika juga mengidap
kekurangan ini. Konteks yang dimaksud Dennet adalah apa sebenarnya motif dan latar belakang
perang AS di Timur Tengah. Menurutnya, perang tersebut bukan karena motif perang melawan
terorisme, tetapi dalam kajian sejarah yang panjang perang tersebut sebenarnya berkenaan
dengan minyak. Media gagal menghadirkan informasi ini dan hanya mengandalkan apa yang
disampaikan para pejabat Gedung Putih. Akibatnya, masyarakatAS mendukung invasi
pemerintahan Bush secara keliru karena informasi yang disampaikan kepada mereka juga keliru.
Menurut Dennet (2006:80), hal ini menjelaskan mengapa orang Amerika tampak naif tidak
ketulungan, bahkan bodoh. Padahal, tidaklah demikian. Orang-orang Amerika, sebagaimana
dikemukakan Dennet, hanya memerlukan konteks, yang gagal dipenuhi oleh media mainstream.
Faktor penyebabnya, salah satunya, adalah komersialisasi produk media Jurnal ILMU
KOMUNIKASI 78 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 atau bahkan hiperkomersialisasi.
Merujuk pendapat para senior di CNN, Borjesson (2006:17) mengemukakan bahwa dalam kasus
Perang Iraq, audiens hanya memerlukan pemandu sorak dan bukannya liputan kritis. Oleh
karenanya, menyediakan peliputan yang sedikit atau tidak ada peminatnya buruk buat rating dan
buruk buat bisnis. Oleh karena itu, di saat-saat kritis semacam itu, CNN sebagai “Nama
Terpercaya untuk Berita” sengaja mengorbankan integritas jurnalistik demi memberikan
khalayak pemirsa apa yang mereka inginkan. Dimensi lain dari persoalan globalisasi media
adalah konsentrasi kepemilikan media-media tersebut di tangan segelintir orang, dan sebagian
besar beroperasi di negara maju. Dalam suatu struktur yang monopolistik dan oligopolistik,
orientasi media akan cenderung menguntungkan elit politik, yang akhirnya mengerucut ke dalam
elit-elit transnasional. Media global akan lebih menyerukan kepentingan negara-negara besar
dibandingkan dengan sebaliknya. Sayangnya, banyak penonton televisi yang tidak mengetahui
hal ini. Menurut Hacten (1993:57), beritaberita asing di televisi ditunjang oleh dua agen berita
televisi yang didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris. Kondisi semacam ini,
tentunya, tidak begitu mengherankan karena media-media AS dan Inggris memonopoli siaran-
siaran nasional dan dunia. Seperti dicatat Chalaby (2003:457), saluran-saluran televisi
transnasional telah mempunyai dampak-dampak yang berbeda pada pasar-pasar media dan juga
meningkatkan isu-isu penting globalisasi. Saluran-saluran televisi transnasional ini mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan saluransaluran nasional. Media bukanlah kekuatan netral dan
tidak akan pernah menjadi kekuatan netral. Meskipun para akademisi dan wartawan dengan
gigih menyerukan pentingnya jurnalisme yang mengabdi pada kebenaran, obyektivitas, dan
orientasi pada kepentingan warga negara (Kovach dan Rosenthiel, 2004), tetapi pada
kenyataannya jurnalisme dan media selalu berpihak pada kelompok elit. Edward S. Herman dan
Noam Chomsky (2002, xi) dengan tegas mengemukakan bahwa di luar fungsi-fungsi lainnya
media melayani dan mempropagandakan kepentingan-kepentingan kelompok sosial yang
mengontrol dan membiayainya. Puji Rianto, Globalisasi Media dan ... , 67-84 79 Dalam artikel
yang berjudul “Paternalisme Baru: Membentuk Opini Publik”, John Dewey (1918)
mengemukakan bahwa “demokrasi dikontrol melalui opini mereka (baca jurnalis), opini yang
dibentuk atas dasar materi yang mereka peroleh, dan bahwa propaganda disamarkan sebagai
distribusi berita melalui cara yang termurah dan terefektif untuk mengembangkan perasaan
publik yang paling diinginkan (dikutip dari Combs dan Nimmo, 1993:56). Selanjutnya, Dewey
mengkritik lebih jauh dengan mengatakan bahwa para penguasa selalu menggunakan pengaruh
terhadap opini, dan ketika penemuan media massa telah mulai menyebar dan menarik perhatian
membuat propaganda menjadi suatu pengaruh komunikasi lebih besar pada era modern. Di sini,
rasanya menjadi sangat tepat ketika Combs dan Nimmo (1993:53) mengemukakan bahwa oleh
karena peranan komunikasi dan media maka kontrol terhadap sumber komunikasi dan organisasi
media dapat meningkatkan kemungkinan mencapai saat-saat Machiavelli dalam penggunaan
kekuatan. Dalam kaitan ini, media massa menawarkan kesempatan bagi penyebarluasan pesan-
pesan kepada populasi luas, menjadikan kondisi yang penting serta alat propaganda baru. Lebih
lanjut, Combs dan Nimmo (1993:54) mengemukakan: Era modern telah membuka dan
meningkatkan pandangan para politisi terhadap media massa sebagai alat untuk meyakinkan
setiap target untuk patuh-individual, publik, kumpulan, atau kelompok masyarakat- melalui
“perbaikan struktur tingkah laku target melalui manipulasi simbolik. Kasus Perang Iraq dan
Terorisme, sekali lagi, menjadi contoh paling konkret bekerjanya sistem propaganda dalam
politik internasional AS. Para pejabat Gedung Putih dengan sangat lihai memanfaatkan media
sebagai alat propaganda mereka. Ini dapat dilihat dari peryataan-pernyataan Dick Cheney yang
dikutip media secara luas. Pada 7 Agustus 2002, di Fairmont Hotel, San Fransisco, California
Dick Cheney mengemukakan, “dalam kasus Saddam Husein, kita menghadapi seorang diktator
yang jelas-jelas memburu kapabilitas-kapabilitas ini (nuklir dan senjata radiologi serta senjata-
senjata biologi dan kimia) dan telah menggunakan keduanya dalam perang melawan Iran dan
rakyatnya sendiri” Pada tanggal 26 Agustus 2006, Cheney mempertegas apa yang ia sampaikan
dalam konvensi nasional ke Jurnal ILMU KOMUNIKASI 80 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI
2008 103 VFW, “tidak diraqukan lagi Saddam Hussein punya senjata pemusnah massal. Dengan
bantuan kita, Iraq yang terbebaskan dapat sekali lagi menjadi bangsa besar”. Pernyataan ini
sekali lagi kembali ditegaskan Cheney di depan Veteran Perang Korea di San Fransisko, Texas.
Ia mengatakan, “dapat dinyatakan dengan sederhana, tidak diraqukan lagi Saddam Hussein kini
punya senjata pemusnah massal. Dia mengumpulkannya untuk digunakan terhadap sahabat-
sahabat kita, terhadap sekutu kita, dan terhadap kita” (dikutip dari Borjesson, 2006:26). Liputan
tidak kritis oleh media AS ini, membuatnya menjadi alat propaganda yang efektif Gedung Putih
dalam usahanya mendapatkan dukungan Perang Iraq, yang diselewengkannya ke dalam perang
melawan terorisme. CATATAN PENUTUP Gagasan yang ditampilkan dalam artikel ini adalah
globalisasi media telah mentransformasi secara cukup mendasar politik internasional dewasa ini.
Transformasi tersebut terjadi dalam tiga dimensi, yakni pergeseran dari power politics ke image
politics, mediasi politik internasional yang semakin luas dan intens serta penggunaan media
sebagai instrumen propaganda yang semakin masif dalam politik internasional. Pergeseran dari
power politics ke image politics terjadi karena kemampuan media dalam membawa citra politik
ke dalam kontestasi hubungan dan politik internasional. Dalam kaitan ini, citra politik menjadi
modal penting. Sementara itu, mediasi politik internasional terjadi karena hubunganhubungan
antarnegara semakin dimediasi oleh media. Sekarang ini, menjadi sangat lazim di mana media
memerantarai diplomasi yang kadang kala lebih efektif dibandingkan dengan saluran-saluran
diplomasi tradisional. Selanjutnya, oleh karena kemampuannya dalam membawa citra politik,
membuat media menjadi agen propaganda yang paling penting dalam politik internasional. Elit-
elit politik negara bangsa berebut untuk menggunakan media dalam melakukan propaganda
terhadap warga negara dan pemerintahan lain. Tujuannya untuk menjatuhkan pihak lawan atau
mencari dukungan dari negara lain atas kebijakan dan politik luar negeri yang tengah mereka
jalankan. Berbagai persoalan politik internasional sekarang dengan tegas menunjukkan
kecenderungan semacam ini. Pada masa Perang Dunia Puji Rianto, Globalisasi Media dan ... ,
67-84 81 Kedua, aktor-aktor politik internasional menggunakan propaganda guna memenangkan
pertarungan dengan cara menyebar pamflet atau berita-berita bohong. Kehadiran media massa
dan teknologi komunikasi telah menggusur pamflet-pamflet tersebut dan menggantikannya
dengan propaganda media yang lebih intensif dan canggih. Persis seperti dikemukakan Combs
dan Nimmo, propaganda politik telah hadir sejak pemerintahan, dan hanya melalui kemajuan
modernitaslah propaganda benar-benar menjadi utama kekuatan, yang sama pentingnya dengan
yang dipraktikkan semua rezim dan penguasa militer tanpa memandang ideologi politik dan
kultural mereka. Problem yang kini tengah dihadapi, terutama oleh negara-negara Dunia Ketiga
adalah monopoli media oleh segelintir orang di negaranegara maju. Dalam struktur yang
monopolistik semacam ini, warga dunia dan terutama negara-negara Dunia Ketiga acapkali tidak
mendapatkan “tempat” yang cukup dalam ruang media global. Akibatnya, media global terjebak
atau menjebakkan diri ke dalam permainan propaganda yang disetting oleh negara maju sehingga
pemenang politik internasional akan senantiasa tetap dari waktu ke waktu, yakni negara maju
yang mampu mengontrol informasi. DAFTAR PUSTAKA Borjesson, Kristina (ed.). 2006.
Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers di Amerika. Bandung: Q-Press. Chalaby,
Jean K. 2003. “Television for a New Global Order: Transnational Networks and the Formation
Global System”. Gazette. Vol 65 (6): 457-472. Chesney, Robert W. 1998. “The Political
Economy of Global Communication”. Dalam Robert W. McChesney, Ellen Meiksins Wood,
John Bellamy Foster (eds.). 1998. Capitalism and the Information Age: The Political Economy
of he Global Communication Revolution. New York: Montly Review Press. Chomsky, Noam.
2006. Failed State: The Abuse of Power and the Assault on Democracy. Henry Holt and
Company, New York: Metropolitan Books. Jurnal ILMU KOMUNIKASI 82 VOLUME 5,
NOMOR 1, JUNI 2008 Combs, James E dan Dan Nimmo. 1993. Propaganda Baru: Kediktatoran
Perundingan dalam Politik Masa Kini. Bandung: Remaja Rosda Karya. Dennett, Charlotte. 2006.
“Perang Melawan Teror dan Permainan Besar Minyak: Bagaimana Media Kehilangan
Konnteks”. Dalam Kristina Borjesson (ed.) Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers
di Amerika, 71-106. Bandung: Q-Press. Hachten, William A.1993. “Sistem berita International“,
diedit oleh Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (eds.).

Gaya Hidup, Konsumerisme dan Modernitas


Gaya Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Oleh: Safuwan, M.Psi Abstrak Salah satu
fanomena sosial adalah berkembangnya gaya hidup dan pola konsumsi yang berbau barat. Hal
ini tak lepas menjadi bahan diskusi psikologi sosial terapan kontemporer. Ada dua analisis
penting yang perlu dicermati dalam perilaku gaya hidup dan pola konsumsi modern. Pertama,
ketika individu mengadopsi sistem baru didalam kehidupannya dan tidak menjadi kendala
psikologis baginya. Kedua, ketika sistem nilai, budaya atau konsep berperilaku baru bertabrakan
dengan keyakinan (agama) yang dianut individu. Hal inilah yang menjadi konfrontasi mental
secara menyeluruh. Kata kunci : perilaku, pola konsumsi, dan konfrontasi mental. Pengantar
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disadari atau tidak, telah mengubah gaya hidup
dan pola konsumsi masyarakat secara cepat dan instan. Realitas soaial menunjukkan bahwa
hampir disetiap pelosok wilayah perkotaan dan pedesaan, seperti juga di Aceh telah mengadopsi
gaya hidup dan pola konsumsi yang disuguhkan modernisasi, seperti model berbusana, pola
konsumsi makanan dan minuman, interaksi sosial, metode komunikasi interpersonal, dan
pemanfaatan tehnologi oleh masyarakat. Wabah modernisasi dan globalisasi ini sangat cepat
menyatu dalam kehidupan masyarakat berkembang dan transisi. Salah satu penyebabnya dipicu
oleh perkembangan teknologi media informatika, baik media elektronik maupun media cetak
(massa). Selain itu, kondisi psikologis individu masuk dalam kategori tidak berdaya (helpless)
dalam memfilter sejumlah produk baru dan perubahan kebudayaan. Pada akhirnya kepekaan
individu terhadap konsep baru menjadi kian tak kritis. Contoh, pemilihan fashion (busana) ala
Barat saat ini sangat disukai generasi muda masa kini. Bagi mereka yang penting adalah gaya
atau merk produk baru. Kondisi serupa, juga terjadi pada pola berinteraksi, berkomunikasi dan
bertransaksi sosial lainnya, yang semakin meninggalkan sistem anutan tradisional dan bergeser
pada konsep medernisasi. Ironisnya perilaku-perilaku seperti itu tidak hanya disukai oleh kaula
muda, tapi juga mewabah pada kalangan dewasa atau orang tua. Menyingkapi kondisi tersebut,
paling tidak ada dua gejala yang dapat dibaca secara psikologis, Pertama, jika individu tidak
mengikuti perkembangan zaman, maka pemahaman internal individu akan pola konsumsi itu
terkesan norak, ‘tidak gaul’, dan primitif. Kedua, jika mengadopsi suguhan modernisasi, mau tak
mau individu akan berhadapan dengan sistem nilai yang berlaku di kehidupan sosial. Jurnal
SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. V, No. 1, April 2007 38 Safuwan, M.Psi Gaya Hidup,
Konsumerisme dan Modernitas Analogi hal ini adalah apa yang terjadi saat ini terkait dengan
perilaku yang diperankan individu dan merupakan posisi tarik ulur, yang mau tidak mau harus
dilakoni dalam kehidupannya, meskipun berhadapan dengan tatanan nilai soaial yang dianut
masyarakatnya. Pernyataan sekarang, mampukah individu melakukan penyesuaian diri dengan
baik di lingkungan sosialnya seiring modernisasi? Apakah individu harus mengorbankan sistem
nilai yang dianutnya dengan mengadopsi konsep perilaku baru yang dibombardir kebudayaan
modern, Tulisan ini berusaha menganalisis dualisme peran yang dimainkan individu dalam
kehidupannya dari sudut tinjauan psikologis. Perilaku manusia Psikologi merupakan suatu ilmu
perilaku atau aktivitas individu. Perilaku manusia dalam arti luas dapat dipahami pada dua
analisis utama: perilaku yang tampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak tampak (innert
behavior). Demikian pula halnya dengan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan manusia, harus
ditalaah secara konfrehensif, baik dalam bentuk motorik, emosional, ataupun kognitif.
Karenanya yang dilakukan manusia dalam realitas sosial merupakan perwujudan dari perilaku
yang tampak dan tidak tampak dan digerakkan oleh sistem motorik, emosional, dan kognitifnya.
Di sisi lain, sistem operasional perilaku individu sangat berkaitan dengan konsep stimilus-
respons ( rangsangan-balas). Perilaku ini dapat saja tampil karena adanya interaksi stimulus
dengan individu. Kondisi ini oleh Bandura (Walgito, 2003) dirumuskan sebagai suatu keadaan
yang integrated antara bahavior–environment– person, sehingga menimbulkan stimilus-respons.
Konsep ini dapat dimaknai bahwa perilaku individu bisa memengaruhi individu itu sendiri,
disamping perilaku juga berpengaruhpada lingkungan, dan lingkungan memberi konstribusi bagi
individu untuk berperilaku atau sebaliknya. Sebagai contoh bila orang berbicara mengenai
pemimpin maka dalam pikirannya adalah tentang panutan. Karena itu menyangkut hubungan
antara perlaku dan lingkungannya maka sikap pemimpin akan menjadi model bagi yang
dipimpinnya. Jika pemimpin memiliki sikap sinis, egoistis, tidak adil, dan bermental preman,
maka kondisi lingkungan yang dipimpinnya juga mengadopsi perilaku tersebut. Skinner
(Walgito: 2005) menyimpulkan hasil studinya bahwa manusia itu berperilaku karena digerakkan
oleh situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Berdasarkan hal ini, maka perilaku manusia
dibedakan dalam dua jenis; (1) perilaku alami (innate bahavior), dan (2) perilaku operan (operant
behavior). Perilaku alami adalah perilaku yang dibawa seseorang sejak lahir, yakni berupa
refleks dan insting yang terjadi secara tiba-tiba atau spontan, sedangkan perilaku operan ialah
perilaku menuasia yang dibentuk melalui proses belajar yang dikendalikan oleh kesadaran (otak).
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. V, No. 1, April 2007 39 Safuwan, M.Psi Gaya
Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Berpijak pada pemikiran Skinner, maka dalam realitas
terlihat tampilan perilaku manusia lebih dominan kepada perilaku yang dipelajari, dibentuk, atau
diperoleh melalui proses belajar (operan). Apa yang dikatakan Skinner. Merujuk pada konsep
Islam mengenai keberadaan manusia dan perilakunya. Menurut Islam manusia itu dilahirkan
dalam keadaan suci dan putih bersih. Bagaikan kertas putih yang belum tertulisi. Namun
bagaimana corak pemikiran atau perilakunya –mau menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi setelah
remaja dan dewasa adalah sangat ditentukan oleh pembinaan atau pola asuh keluarganya dimasa
kecil. Dalam banyak literatur psikologi digambarkan perilaku manusia dapat dibentuk melaui
tiga cara, yaitu (1) kebiasaan (conditioning), (2) pengertian (insight), dan (3) model (modelling)
(Walgito, 2003). Pembiasaan atau kebiasaan merupakan suatu cara pembentukan perilaku
individu yang diharapkan. Metode ini didasarkan pada teori belajar yang dikemukakan oleh Ivan
Paplov ( tiori pengondisian klasik), Thorndike, dan Skinner (teori pengondisian operan). Cara
kedua pembentukan perilaku individu adalah dengan pengertian (insight), perilaku individu
dapat dibentuk melalui pengertian dari sejumlah ikon, lambang, tulisan, kata-kata, seruan dan
sebagainya yang pada gilirannya akan dipahami oleh individu sebagai suatu konsep dalam
berperilaku. Cara pembentukan perilaku ini berorientasi pada teori belajar kognitif yang
dikemukakan oleh Kohler, seorang tokoh psikologi Gestalt. Selanjutnya, perilaku manusia juga
dapat dibentuk melalui pemberian contoh (model) yang dilakonkan seseorang. Cara ini didasari
pada teori belajar sosial atau teori observasional dari Bandura. Menurut analisis kedua teori
tersebut, tampilan perilaku orang dewasa atau contoh yang diperankan orang dewasa, orang tua,
atau pemimpin dalam suatu lingkungan masing-masing akan memberi model (ikutan) bagi
pembentukan perilaku anak atau orang lain untuk mengikuti apa yang diamatinya. Karenanya,
bagaimana perilaku diperlihatkan orang tua di rumah akan ditiru oleh anak-anaknya. Demikian
pula halnya dengan perilaku pemimpin di lingkunagn kerjanya misalnya, ketika pemimpin
berbicara dengan gaya bicara yang masih sangat primitif, tidak beraturan, tidak ilmiah, atau
bergaya preman maka akan ditiru dan diikuti oleh bawahannya. Orang tua akan dijadikan idola
bagi anak-anaknya, sedangkan pemimpin akan menjadi anutan bagi orang yang dipimpinnya.
Kebutuhan Manusia Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan sejumlah
perubahan pada berbagai aspek kehidupan sosial. Kondisi ini tentu saja mendorong setiap
individu untuk merealisasikan sejumlah impian, keinginan, atau obsesi-obsesi yang dicita-
citakannya sesuai dengan tuntutan zaman. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan hidup individu dalam rangka mempertahankan hidupnya (survival)
Safuwan, M.Psi Gaya Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Jurnal SUWA Universitas
Malikussaleh, Vol. V, No. 1, April 2007 40 Berawal dari keadaan demikian maka setiap manusia
berusaha untuk mewujudkan apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Ada kebutuhan berarti ada
kekurangan, maka dengan dorongan-dorongan yang ada, manusia berusaha memenuhi
kekurangan kebutuhan tersebut. Kebutuhan manusia dapat diartikan sebagai suatu yang
diinginkan atau diperlukan dalam kehidupannya. Dalam wacana ilmiah kebutuhan manusia dapat
diklasifikasikan pada empat kelompok besar ; (1) kebutuhan biologis, (2) kebutuhan psikologis,
(3) kebutuhan sosiologis, dan (4) kebutuhan spiritual. Kebutuhan biologis menunjuk pada
kebutuhan alamiah terkait upaya pertumbuhan dan perkembangan fisiologis individu, seperti
pemenuhan akan makan, minum, menghirup oksigen, istirahat, tidur dan sebagainya. Kebutuhan
psikologis adalah kebutuhan untuk memenuhi sejumlah dorongan yang sesuai keinginan, selera
dan impian individu sehingga memuaskan kondisi psikis/mentalnya. Kebutuhan soaiologis
adalah kebutuhan individu sebagai makhluk sosial seperti keinginan berteman, bersahabat, saling
butuh membutuhkan, tolong-menolong, pengaruh mempengaruhi, saling berkomukasi dan
sebagainya. Adapun kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan beragama yang dimiliki oleh
setiap manusia. Pencapaian hasil dan tujuan yang diperoleh manusia akan segala pemenuhan dan
kebutuhan hidupnya dipahami dan disadari manusia bukan semata-mata oleh kerja keras siang
malam, akan tetapi rahmat dan kasih sayang dari Penciptanya. Bertitik tolak pemenuhan
kebutuhan ini, maka kondisi manusia akan selalu bermakna jika dapat dirasakannya dalam
kehidupannya. Di pihak lain, Maslow (Sundari, 2005), membagi kebutuhan hidup manusia
dalam dua bentuk utama, pertama kebutuhan yang timbul karena adanya kekurangan (deficiency
need) dan kedua kebutuhan untuk tumbuh (growth need). Kebutuhan karena kekurangan
merupakan pemenuhan kebutuhan yang terkait dengan interaksi manusia dengan lingkungan
sekitar atau orang lain, misalnya karena bantuan orang lain, kedekatan dengan pimpinan dan
sebagainya. Untuk mencapai kebutuhan ini orang selalu berusaha untuk melakukan interaksi
dengan lingkungan atau orang lain. Lebih jauh kebutuhan ini meliputi beberapa tingkatan
kebutuhan, yaitu (1) kebutuhan jasmani, seperti; makan, minum, tidur, seks dll, (2) kebutuhan
akan keamanan, terhindar dari bahaya, nyaman atau damai dll, (3) kebutuhan untuk memiliki,
cinta kasih, persahabatan, kelompok, keluarga, dll, (4) kebutuhan harga diri, ingin dihormati,
dipercaya, dihargai, dll. Adapun kebutuhan untuk tumbuh adalah pemenuhan kebutuhan yang
berhubungan dengan kondisi diri individu itu sendiri. Misalnya usaha atau ikhtiar, bekerja,
belajar dan sebagainya untuk mencapai sesuatu. Bila kebutuhan karena kekurangan telah
terpenuhi, maka selanjutnya akan meningkat pada kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. V, No. 1, April 2007 41 Safuwan, M.Psi Gaya
Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Hal ini dapat dipenuhi individu apabila ia berusaha
sekuat tenaga, tekun dan rajin. Kebutuhan ini meliputi (1) kebutuhan aktualisasi, seperti
mengembangkan potensi, minat atau bakat yang dimilikinya, dll, (2) kebutuhan untuk mengerti
atau tahu, menuntut ilmu ingin belajar sejumlah disiplin atau memahami berbagai kebutuhan, dll,
(3) kebutuhanterhadap estetika, memiliki nilai seni, keindahan, keteraturan, kelengkapan, dll.
Dengan demikian apa yang menjadi gambaran perilaku manusia atau masyarakat kita sekarang
dalam realitas tidak lebuh dari metode pemenuhan sejumlah kebutuhan hidup bagi dirinya.
Aspek kebutuhan mana yang lebih dipentingkan dalam kehidupannya sangat tergantung pada
individu anggota masyarakat masing-masing. Namun yang jelas pengadopsian perilaku gaya
hidup dan pola konsumsi ala kebaratbaratan telah menjadi tren baru seperti yang terlihat didalam
masyarakat di “ negeri Syari’at islam Aceh “ ini. Gaya Hidup dan Pola Konsumsi Pada tahun
1930-an, ekonom terbuka, Robert Malthus mengemukakan suatu teori mengenai pertambahan
penduduk akan menyebabkan masalah besar bagi umat manusia. Menurut Malthus, pertumbuhan
pangan yang dikonsumsi manusia tidak memiliki kecepatan yang sama dengan pertumbuhan
penduduk. Pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan
mengikuti deret hitung (Ancok, 1995). Dalam teorinya Malthus tidak melihat keberadaan daya
pikir manusia untuk memproduksi makanan. Ternyata teori Malthus tidak begitu tepat, karena
data saat ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pangan jauh lebuh cepat daripada pertambahan
penduduk. Gaya hidup merupakan suatu produk yang dihasilkan akibat kemajuan dalam berbagai
bidang melalui daya cipta, rasa dan karsa manusia.gaya hidup adalah tampilan perilaku individu
dalam kehidupannya, sedangkan pola konsumsi adalah kebiasaan perilaku individu dalam
mengonsumsi sejumlah kebutuhan hidupnya baik primer maupun sekunder. Dalam
operasionalnya, gaya hidup dan pola konsumsi manusia akan mengikuti kebudayaan, tuntutan
zaman, pengaruh lingkungan sekitar, efek media, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di
era modern, gaya hidup dan pola konsumsi telah menjadi suatu tren bagi setiap kelompok
manusia: remaja, dewasa dan orang tua. Kondisi ini berkembang sejalan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pergeseran peradaban dan perubahan sosial. Di kota-kota besar
seperti Jakarta. Dan Mesan. Setiap orang disibukkan oleh pekerjaan dan uang. Kondisi ini tidak
lagi membuat orang repot-repot dalam hal mengasuh dan menyekolahkan anak atau berbelanja
untuk kebutuhan dapur keluarga. Semuanya telah diambil alih oleh baby sitter dan pembantu.
Dari segi perilaku gaya berpakaian atau berbusana dapat dianalisis bahwa orang modern ketika
membeli pakaian, selain melihat merk juga menyikapi trend terkini. Safuwan, M.Psi Gaya
Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. V, No. 1,
April 2007 42 Akhirnya realitas sosial yang demam dengan gaya pakaian para model, artis atau
orang-orang yang sibuk didunia entertainment. Paduan jeans, oblong ketat, dan kerudung
merupakan gaya yang cukup digandrungi oleh setiap remaja putri, dewasa muda dan dewasa.
Bagi remaja putra dewasa, selain mengikuti tren juga menghiasai diri dengan tato, kalung dan
sejumlah aksesoris lainnya. Kondisi yang sama juga bisa dilihat dari gambaran perilaku
masyarakat kita dalam mengonsumsi makanan, minuman atau keperluan kebutuhan hidup sehari-
hari. Tersedianya berbagai merek produksi pangan dan minuman seperti biskuit, snack, coklat,
buah-buahan dan minuman yang bermerek yang dikemas secara apik di sejumlah mini market.
Pasar swalayan, atau pusat perbelanjaan menyedot masyarakat untuk mengonsumsinya sebagai
suatu kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh kita juga dapat menganalisis individu-individu saat ini,
dimana mereka lebih senang makan atau minum di luar rumah daripada di rumah akibat
tersedianya berbagai cafetaria, warung pojok, atau restoran cepat saji di pinggir jalan atau di mall
megah telah memengaruhi pola makan. Orang lebih senang mengajak keluarga, pacar, sahabat
atau teman untuk bertandang ke KFC, McDonald, A&W daripada makan dan minum bersama di
rumah. Apa yang dilakukan manusia adalah tidak terlepas dari kombinasi pelibatan sejumlah
dimensi psikologis, seperti kognisi (pikiran) dan afeksi (perasaan) sehingga memunculkan konasi
(perilaku) tertentu dalam kehidupannya. Sebelum individu bertindak, ia selalu menggunakan
pikirannya agar perbuatan yang dilakukan berhasil dengan baik. Penggunaan daya pikir ini
bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang dianggap baru dan berguna. Dengan penggunaan daya
pikir secara optimal, maka secara beruntun orang akan berkembang daya rasa dan karsa manusia.
Menggugat Gaya Hidup dan Pola Konsumsi Diakui atau tidak, kondisi modernisasi
mengakibatkan sejumlah perubahan sosial dan merongrong sistem nilai tradisional masyarakat.
Tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan modernisasi dan perubahan sosial yang
pada gilirannya menimbulkan ketegangan (stressing) pada diri individu. Banyak orang terpukau
dengan modernisasi, gaya hidup dan pola konsumsi. Mereka menyangka modernitas akan
membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Orang tidak menyadari bahwa dibalik modernisasi
yang serba gelap memukau itu ada gejala mental yang dinamakan dengan the agony of
modernization, yaitu azab- sengsara karena modernisasi (Hawari, 1997). Modernisasi dan
industrialisasi adalah suatu proses yang tidak dapat dielakkan, dimana teknologi dan
pengetahuan merupakan urat nadinya. Namun perlu diketahui bahwa modernisasi dan sejumlah
aksesorisnya seperti gaya hidup, pola konsumsi, cara bergaul dan sebagainya bukan tidak
berdampak bagi kehidupan manusia dibidang psikologi dan kesehatan mental. Safuwan, M.Psi
Gaya Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. V,
No. 1, April 2007 43 Apa yang ditawarkan dunia moderen adalah sesuatu yang riil dan tidak
seorangpun yang dapat menghambatnya, apalagi menghalanginya. Mau tidak mau, suka tidak
suka, senang tidak senang, orang yang hidup di alam moderen akan menghadapi dan mencicipi
segala suguhan modern. Masalah utama dalam suatu masyarakat modern adalah munculnya
gejala disentigrasi dari masyarakat tradisional karena unsur- unsurnya mengalami perubahan
dengan kecepatan yang berbeda. Banyak orang sibuk dengan pekerjaan dan mengejar popularitas
sehingga mengabaikan keluarga. Banyak orang terperangkap dalam perilaku korupsi, tidak adil
atau pilih kasih karena kemilau pekerjaannya. Banyak orang yang mengalami stress akibat tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Banyak orang terserang stroke dan
serangan jantung akibat perilaku keserakahannya dan sebagainya. Dalam masyarakat modern
rongrongan terhadap agama, moral, budi pekerti, warisan budaya lama dan tradisional telah
menimbulkan ketidak pastian dibidang hukum, norma dan etika kehidupan yang pada gilirannya
mengakibatkan Kehilangan citra diri dan identitas diri. Terkait dengan hal ini, maka gejala the
agoni of modernization dapat membentuk suatu akumulasi dalam diri individu dan berkembang
menjadi suatu ketegangan pikososial, yang pada akhirnya akan menampilkan wujud dalam
bentuk, seperti peningkatan aksi kriminalitas dan tindak kekerasan seperti perampokan, judi,
pengkonsumsian narkoba, prostitusi, diskriminasi, penggusuran dan sebagainya. Orientasi utama
timbulnya gejala ini disebabkan oleh semakin modernya suatu masyarakat, maka akan semakin
bertambah intensitas dan eksistensitas disorganisasi dan disintegrasi soaial pada realitas.
Karenanya apa yang terjadi pada realitas saat ini, dilakoni oleh individu atau kolektif masyarakat
berlandaskan pada konsep peradaban modern, boleh jadi secara psikologis akan menimbulkan
konfrontasi mental yang merupakan gugatan psikis individu dan masyarakat terhadap
modernisasi beserta aksesoris dikandungnya. Sedangkan kebenaran-kebenaran abadi
sebagaimana terkandung dalam ajaran agama, disisihkan atau dipinggirkan atau dianggap kuno
dan ketinggalan zaman, sehingga orang hanya berpegang pada pemenuhan kebutuhan materi dan
tujuan singkat berkala. Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. V, No. 1, April 2007 44
Safuwan, M.Psi Gaya Hidup, Konsumerisme dan Modernitas Penutup Secara umum perilaku
manusia dapat dianalisis lebih luas, baik yang tampak (overt behavior) maupun yang tidak
tampak (inert behavior). Dalam operasionalnya, kedua konsep ini selalu digerakkan oleh aspek
kognotof, afektif dan konatif pada diri manusia. Sehubungan dengan konteks ini, maka perilaku
manusia dapat dibentuk melalui tiga cara: pembinaan (conditioning), pengertian (insight) dan
pemberian contoh (modelling). Melalui ketiga cara inilah manusia akan selalu mengimpikan dan
mengingikan sejumlah pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan biologis, psikologis,
sosiologis dan spirituilnya. Bagi manusia, pencapaian tujuan kebutuhan hidup utama untuk
bahagia dan sejahtera adalah suatu harga mati. Akan tetapi dalam realitas, banyak manusia
merasakan tidak pernah dapat mencapai tujuan tersebut, dan sering meleset dari harapan. Hal ini
terjadi karena manusia tidak mampu melakukan penyasuaian diri yang baik dengan lingkungan
sekitar (modernisasi) dan segala aksesorisnya, seperti gaya hidup, pola konsumsi, sitem
pergaulan, interaksi dan komunikasi sosial. Akibatnya, apa yang dirasakan kebanyakan manusia
adalah konfrontasi mental yang tidak berujung dan pada gilirannya mengalami stress psikososial.

PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN MENURUT


RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR THE USE OF LAND FOR
SETTLEMENT AREA ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY

Fatmasari, Syamsul Bachri, Sri Susyanti Nur Program Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Fatmasari S.H., M.H. Fakultas Hukum Program
Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081 2426 19360 Email:
fatmamuin74@yahoo.co.id Abstrak Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong
terjadinya pergeseran fungsi kawasan atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi kawasan atau alih
fungsi lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung
telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut rencana tata ruang
wilayah Kota Makassar dan penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang
tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan
adalah sosio-yuridis, sampel dipilih secara purposive sampling. Data primer dan data sekunder,
dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan landasan teori dalam menjelaskan
fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu
menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat
kaitannya dengan penelitian.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah untuk
kawasan permukiman di Kota Makassar belum sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, hal
ini dikarenakan belum disahkannya Rencana Detail Tata Ruang yang akan mengatur secara rinci
atau detail 13 kawasan di Kota Makassar, sehingga Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam
memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tidak berdasarkan suatu pedoman yang
jelas atau rinci, faktor lain adalah lemahnya koordinasi kelembagaan antar aparat Pemerintah
Kota, lemahnya pengawasan dan kurangnya peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan tata
ruang Kota Makassar. Penerapan sanksi terhdap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak
sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar hanya sebatas pada sanksi administratif dan
belum pernah ditindak lanjuti dengan penerapan sanksi perdata dan sanksi pidana. Kata kunci :
Tata Ruang, Kawasan Permukiman Abstract Development of setlement area have pushed the
happening friction of area function or displace farm function. Friction of area function or
displace farm function green air-gap, conservation farm, energy kindness area or covert area
have changed over function become setlement area. The aim of the research is to explain the use
of land for settlement area, to find out how the layout arrangement of Makassar City, and to find
out and understand the application of sanction to the use of settlement area which is not in
accordance with the layout management of Makassar City. The research used socio-juridical
study. The sample were determined using purposive sampling method. The data consisted of
primary data by interviewing informants and secondary data which support the primary data
obtained from primary, secondary, and tertiary legal materials. They were analyzed
descriptivequalitatively. The results of the research indicate that the use of land for settlement
area in Makassar city is not in accordance with Site Layout Plan of Makassar City. This is
because RDTR which arranges in detail the 13 areas in Makassar City has not been legalized yet,
so DTRB which gives Building Construction Permit and principle permit is not based on a clear
and detailed manual. The other factors are the weak institutional coordination among city
government officials, the weak supervision causing the violation of the use of layout not
detected, and the lack understanding and role of community on the use of layout of Makassar
City. The application of sanction to the use of settlement area which is not in accordance with the
rules of layout of Makassar City is merely limited to administrative sanction and ithas not been
followed up bay the application of civil law and criminal law. Keywords: Layout,
SettlementArea PENDAHULUAN Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa mengandung arti bahwa
negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan(Harsono,2008). Untuk
lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang pemerintah menyusun Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, namun seiring dengan adanya perubahan
terhadap paradigma Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk
mengelola Daerahnya sendiri (Otonomi Daerah) melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami
perubahan yang ditandai dengan digantikannya ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya
disingkatUUPR(Ridwan,2008). Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang
mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, yang
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif (Bratakusumah,
2009). Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut
batasan administratif (Erwiningsih,2011). Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun
2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2006-2016 selanjutnya
disingkat RTRW Kota Makassar Pasal 9 mengatur bahwa pengembangan kawasan Terpadu Kota
Makassar. Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di atas pada dasarnya
merupakan sebuah alat pengendalian bagi Pemerintah Kota Makassar dalam mengatur tata ruang
Kota Makassar dengan sebaik-baiknya. Pengaturan zonasi tersebut pada pelaksanaannya
terkadang tidak sesuai dengan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan misalnya pada saat
ini pada setiap kawasan yang merupakan jalan protokol telah dipenuhi dengan pembangunan
Ruko (rumah toko). Oleh karena itu pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan
dalam RTRW Kota Makassar pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan sesuai dengan
yang diharapkan. Tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar. (Salle dkk ,2010), Tubuh bumi dan air serta ruang yang
dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya
diperbolehkan menggunakannya, itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat
(2) UUPA dengan kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu: UUPA) dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi(Nur,2008) Sudikno Mertokusumo dalam
(Santoso,2010) menggunakan istilah tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata guna dikaitkan
dengan objek Hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tata guna tanah/ land
use planning kurang tepat, (Hasni,2010) menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna
tanah merupakan bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA yang juga
dijiwai oleh undang-undang lain yang mengurus penggunaan tanah. Pasal 33 UUPR
menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang
berkaitan dengan penataan tanah secara maksimal, oleh karena tata guna tanah selain mengatur
mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap
persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab
pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya(Supriadi,2010). Seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan perumahan
dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas-
fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan
(Adisasmita,2010). Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong terjadinya pergeseran
fungsi atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi atau alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau,
lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan
permukiman. Berdasarkan data yang ada pada saat ini Koran FAJAR,Jumat tanggal 4 Januari
2013, telah terjadi banjir pada beberapa kelurahan di Kota Makassar yang merupakan kawasan
permukiman. Banjir yang terparah adalah di Kelurahan Batua yang menyebabkan para warga
terpaksa mengungsi oleh karena ketinggian air mencapai 1,5 meter. Salah satu penyebabnya oleh
karena banyaknya drainase yang tertutup oleh bangunan permukiman baru serta terjadinya alih
fungsi dari ruang terbuka hijau yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih fungsi
menjadi kawasan perumahan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menjelaskan
pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar dan
penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan
pengaturan tata ruang Kota Makassar. METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan
Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan
bahwa di Kota Makassar sebagai barometer kegiatan pembangunan di Sulawesi Selatan dan
sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian dikawasan Indonesia Timur. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritis atau normatif,
juga akan mengkaji hukum dalam pelaksanaannya. Kesesuaian antara hukum dalam perspektif
normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan sebuah tuntutan realitas untuk
mengefektifkan hukum dalam kehidupan. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini
adalah keseluruhan aparat Pemerintah Kota Makassar Bagian Hukum, aparat Dinas Tata Ruang
Kota Makassar (DTRB), aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA),
Pengembang (Developer) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Walhi, dan masyarakat
Kota Makassar. Sampel sebanyak 48 orang terdiri dari 30 orang responden yaitu masyarakat dan
12 orang narasumber yang terdiri dari aparat pemerintah, LSM/WALHI, dan developer. Metode
penetapan sampel adalah secara Purposive Sampling yaitu sampel yang secara sengaja dipilih
dengan menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Wawancara dengan mendatangi nara sumber
dan responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan terstruktur.
b. Dokumentasi dengan menggumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis
Data Data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan landasan
teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan
secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian. HASIL Berdasarkan hasil wawancara
dengan pihak BAPPEDA Kota Makassar menyatakan bahwa pada saat ini pemanfaatan tanah
untuk kawasan permukiman terjadi deviasi atau simpangan di atas 40 % dari kondisi Das Sein
dan Das Sollen hal ini disebabkan oleh karena meskipun pemanfaatan kawasan permukiman
tetap mengacu dan merujuk pada RTRW Kota Makassar akan tetapi dalam pelaksanaan
pengaturan kawasan atau zonasi masih memerlukan RDTR atau Rencana Rinci Tata Ruang yang
mengatur secara detail atau terperinci setiap zona atau kawasan. RTRW Kota Makassar adalah
merupakan master plan atau rencana induk yang pada dasarnya hanya mengatur secara makro
atau secara umum tentang pembagian 13 kawasan atau zonasi. Akan tetapi belum ada penentuan
secara spesifik atau detail dalam suatu wilayah Kecamatan yang merupakan kawasan
permukiman dan wilayah mana yang termasuk fungsi penunjang mengingat suatu Kecamatan
sangat luas wilayahnya. Tidak detailnya RTRW ini menyebabkan pihak DTRB yang menjadikan
RTRW Kota Makassar dalam hal ini pembagian 13 kawasan sebagai pedoman dalam
memberikan rekomendasi IMB dan Izin Prinsip terkesan hanya memperkirakan atau meraba dan
tidak berdasarkan suatu pedoman yang pasti dan terinci. Dengan demikian sangat penting untuk
segera membuat Rencana Detail Tata Ruang Kota Makassar dan Rencana Tata Ruang Kawasan
(RTRK) atau yang biasa disebut Zoning Regulation yang merinci dan mengatur secara jelas dan
tegas tentang pembagian fungsi-fungsi dalam kawasan baik sebagai fungsi utama maupun fungsi
penunjang. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya deviasi atau simpangan adalah munculnya
fenomena lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada fungsi utama
di setiap kawasan. Lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada
fungsi utama di setiap kawasan menurut pendapat penulis oleh karena aparat Pemerintah Kota
Makassar tidak mengkaji secara teknis dan sosial tingkat kebutuhan masyarakat terhadap sarana
perdagangan di setiap kawasan. Kajian teknis dan sosial pada tiap kawasan ini penting oleh
karena di dalamnya terdapat analisis-analisis tentang tingkat kepadatan penduduk di suatu
wilayah yang dikaitkan dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap fungsi-fungsi
perdagangan sehingga dengan adanya kajian teknis dan sosial ini menjadi pedoman bagi pihak
DTRB dalam memberikan rekomendasi penerbitan IMB. Bahwa pada suatu ruas jalan tidak
boleh lagi ada pembangunan ruko ataupun rukan oleh karena telah melebihi dari kapasitas yang
ada di setiap ruas jalan, sebagai contoh dapat dilihat pada sebuah perumahan dimana seorang
developer membangun rumah sebanyak 45 unit, kemudian membangun ruko sebanyak 20 unit di
depannya, hal inilah yang memerlukan kajian teknis dan sosial oleh karena dirasakan tidak
seimbang antara tingkat kebutuhan masyarakat yang akan menghuni 45 unit rumah dalam sebuah
perumahan dengan ruko yang berjumlah 20 unit. Oleh karena itu dibutuhkan analisis terhadap
fungsi perdagangan dan jasa agar seimbang dengan kebutuhan masyarakat, dan agar Dinas Tata
Ruang dan Bangunan tidak memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tanpa
memperhitungkan kajian-kajian teknis dan sosial tersebut. PEMBAHASAN Penelitian ini
menunjukkan bahwa ada berapa faktor yang menyebabkan penataan ruang Kota Makassar tidak
berjalan sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Makassar yang telah ditetapkan yaitu:. Perizinan yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan
ruang adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Sjachran Basah
dalam (HR,2010) menyatakan bahwa Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi
satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Asep Warlan Yusuf
menyatakan izin adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang
digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat
(Ridwan dkk,2008). Bagir Manan mengemukakan bahwa izin dalam arti luas adalah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang (HR,2010).Ateng
syafrudin (Ridwan dkk,2008)menyatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan
halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai salah satu
unsur dari Pemerintah Kota yang diserahi tugas pokok untuk membantu Walikota Makassar
dalam merumuskan, membina dan mengendalikan kebijaksanaan di bidang perencanaan tata
ruang, pengendalian kawasan, penataan dan penertiban bangunan, seharusnya tidak dibebani
target untuk meralisasikan sumber Pendapatan Asli Daerah, oleh karena jika Dinas Tata Ruang
dan Bangunan dibebani target PAD maka tugas Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai
pelaksana, pengawas dan pengendali pemanfaatan tata ruang dalam melaksanakan tugasnya yaitu
memberikan rekomendasi terhadap permohonan IMB hanya untuk mengejar target PAD dan
tidak berdasarkan RTRW Kota Makassar yang telah ditetapkan atau dengan kata lain DTRB
akan mempergunakan IMB sebagai alat untuk mencapai target. Dengan demikian tugas DTRB
tidak akan terlaksana dengan baik oleh karena dengan adanya target yang dibebankan kepada
DTRB ini, maka semua permohonan IMB yang masuk akan diberikan rekomendasi, atau dengan
kata lain DTRB semata-mata hanya mengejar target PAD yang pada gilirannya akan
mengakibatkan kesemrawutan terhadap penataan ruang kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Makassar yang telah disusun sehingga pencapaian RTRW Kota Makassar tidak akan
optimal Koordinasi antar lembaga dalam rangka penataan ruang di Kota Makassar menurut
pendapat penulis masih kurang, Berdasarkan teori koordinasi yang dikemukakan oleh George R.
Terry menyatakan bahwa pada dasarnya koordinasi dalam rangka pelaksanaan suatu rencana,
pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi
disini adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan yang menghubungkan dan bertujuan untuk
menyelaraskan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai gerak yang tepat dalam
mencapai sasaran dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Bratakusumah,2009). Khususnya
antara DTRB dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada sistem
pemberian izin yang tidak berkesesuaian antara IMB yang direkomendasikan oleh DTRB untuk
mendirikan rukan atau rumah kantor sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
memberikan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) untuk
perdagangan atau izin rumah bernyanyi oleh karena SIUP dan SITU adalah juga merupakan
sumber PAD, sehingga pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga dibebani target untuk
merealisasikan target PAD yang berakibat bahwa semua permohonan SIUP dan SITU juga
diberikan izin. Sehingga rukan yang dibangun berubah fungsi dan tidak sesuai dengan
peruntukannya. Pengawasan merupakan salah satu faktor oleh karena pengawasan yang
dilaksanakan oleh DTRB pada saat ini masih lemah hal ini disebabkan kurangnya jumlah aparat
DTRB yang melaksanakan pengawasan di setiap Kecamatan yang hanya berjumlah 2 (dua)
orang untuk mengawasi 1 (satu) Kecamatan yang cukup luas. Sehingga berdasarkan data
sekunder dan pengamatan penulis masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh
masyarakat khususnya pelanggaran mengenai ketiadaan IMB terhadap renovasi yang dilakukan
oleh warga masyarakat dalam suatu permukiman. Demikian pula pelanggaran terhadap Garis
Sempadan Bangunan berdasarkan penelitian yang penulis laksanakan maka di setiap kawasan
permukiman terjadi pelanggaran GSB yang dilakukan, dimana renovasi rumah dilaksanakan oleh
masyarakat dengan tidak mengindahkan GSB. Dengan demikian kurangnya aparat DTRB yang
melaksanakan pengawasan mengakibatkan tidak terjaringnya setiap pelanggaran terhadap
pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan adanya
wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat DTRB dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pengawas tata ruang di Kota Makassar. Kurangnya peran serta masyarakat untuk turut aktif
berpartisipasi dalam melaksanakan pemanfaatan tata ruang Kota Makassar menjadi andil
terjadinya deviasi dalam pembangunan Kota Makassar. Peran serta Masyarakat dapat
dilaksanakan dengan mengadakan pengawasan dan melaporkan kepada aparat Pemerintah Kota
Makassar dalam hal ini kepada BAPPEDA atau Dinas Tata Ruang dan Bangunan atau ke
BKPRD dalam hal terjadi pelanggaran terhadap RTRW Kota Makassar. Peran serta masyarakat
untuk turut mengawasi pelaksanaan pembangunan proyek-proyek baik proyek pemerintah
maupun proyek swasta pada saat ini sangat penting oleh karena berdasarkan pengamatan penulis
bahwa pelaksanaan pembangunan proyek khususnya proyek swasta cenderung tidak
mempertimbangkan kelestarian alam, contohnya adalah reklamasi pantai besar-besaran yang
diadakan oleh pihak swasta pada saat ini sudah sangat mengkhawatirkan banyak pihak
khususnya di kawasan pelabuhan terpadu yang berakibat pada pendangkalan laut sehingga dapat
menyebabkan kesulitan kapal-kapal penumpang yang merapat ke pelabuhan yang pada akhirnya
dapat berakibat pada keselamatan penumpang kapal. Demikian pula terhadap kelestarian alam
Kota Makassar. Disinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan demikian pula peran
LSM/WALHI dalam mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota dalam pengaturan tata ruang Kota
Makassar. Pelanggaran terhadap pemanfaatan kawasan permukiman dapat dijatuhi sanksi
administratif yang secara langsung diberikan kepada pelanggar tanpa melalui proses peradilan.
Menurut pendapat penulis bahwa sanksi administratif yang diberikan kepada masyarakat yang
melakukan pelanggaran telah sesuai dengan tata cara dan prosedur pengenaan sanksi berdasarkan
Pasal 63 UUPR. Dimana DTRB dalam menjatuhkan sanksi melalui beberapa tahap dan bersifat
pembinaan serta berdasarkan prosedur yang ditetapkan dengan terlebih dahulu mengirimkan
surat teguran pertama, surat teguran kedua dan surat teguran ketiga. Apabila pihak pelanggar
tidak memperhatikan surat teguran tersebut maka pihak DTRB akan turun melakukan
pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar. Menurut pendapat penulis UUPR
memberikan pula perlindungan terhadap korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari
adanya pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dilakukan oleh orang perorang, badan
hukum maupun kepada pejabat yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang. Akan tetapi penuntutan terhadap kerugian materil yang disebabkan oleh
terjadinya pelanggaran terhadap rencana tata ruang tersebut harus terlebih dahulu diawali dengan
penuntutan pidana. Sehingga apabila terbukti kesalahan pelanggar dalam hal ini telah ada
putusan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan. Maka hal tersebut merupakan dasar bagi
korban untuk mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti kerugian secara materil.
Sanksi pidana dapat pula dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah (Pasal 73 UUPR) yang
berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pejabat Pemerintahan
yang berwenang memberikan izin pemanfaatan ruang adalah Walikota Makassar yang bertanda
tangan pada Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Dengan demikiaan
Walikota Makassar yang dimaksud dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006 sebagai
pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang. Apabila izin yang diterbitkan oleh
pejabat pemerintah di atas tidak sesuai dengan rencana tata ruang maka dapat dijatuhkan sanksi
pidana terhadapnya setelah terlebih dahulu diadakan penuntutan pidana terhadap pejabat
tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan Kawasan Permukiman Terpadu di Kota
Makassar belum sejalan dengan RTRW Kota Makassar, hal ini disebabkan oleh karena pihak
Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi IMB tidak mendasarkan
rekomendasinya pada suatu pedoman yang lebih detail atau rinci, lemahnya koordinasi
kelembagaan, lemahnya pengawasan demikian pula halnya dengan kurangnya peran serta
masyarakat. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai
dengan RTRW Kota Makassar ada tiga yaitu Sanksi Administratif, Sanksi Perdata dan Sanksi
Pidana. Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang perorang ataupun yang
dilakukan oleh badan hukum atau korporasi maka sanksi yang diberikan hanyalah sanksi
administratif yang dijatuhkan oleh pihak DTRB dan tidak membawa pelanggaran tersebut ke
Pengadilan Negeri untuk diadakan penuntutan secara Pidana maupun Perdata. Adapun sanksi
pidana dapat dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah dalam hal Pejabat Pemerintah tersebut
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar akan tetapi kendala yang
dihadapi adalah ketiadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang menilai suatu izin yang
diterbitkan oleh Pejabat Pemerintah telah sesuai atau tidak dengan RTRW Kota Makassar. Revisi
RTRW Kota Makassar yang baru perlu segera disahkan oleh DPRD Kota Makassar untuk dapat
dibuat RDTR dan RTRK (Zoning Regulation) sebagai dasar hukum pengaturan tata ruang Kota
Makassar yang lebih detail atau terinci. Untuk menjamin efektifitas suatu aturan perlu
diefektifkan sanksi pidana dengan demikian keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sangat
diperlukan sebagai sebuah lembaga yang menilai suatu izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan
oleh pejabat pemerintahan.
KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DAN PERUBAHAN ORGANISASI

Peran utama kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Pengembangan organisasi merupakan suatu kegiatan mengadakan
perubahan secara berencana yang mencakup suatu diagnosa secara sistematis terhadap
organisasi. Seorang pemim pin harus ikut aktif dalam mengatur pelaksanaan kegiatan usaha
pengembangan organisasi. Keberhasilan kegiatan usaha pengembangan organisasi sebagian
besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinannya atau pengelola dan komitmen pimpinan pucuk
organisasi. Kepemimpinan merupakan suatu hal yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin
organisasi. Efektivitas seorang pemimpin ditentukan oleh kepiawaiannya mempengaruhi dan
mengarahkan para anggotanya. Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan mengenai krisis
kepemimpinan. Hal ini terjadi tidak hanya di lingkup organisasi, bahkan juga pemimpin suatu
wilayah bahkan negara. Setiap ada pemilihan kepala daerah memang banyak calon yang
mengajukan diri, namun masyarakat tidak tahu dan bahkan tidak peduli siapa yang akan
dipilihnya. Hal ini terlihat dengan banyaknya orang yang golput dalam pilkada. Hal yang
mengejutkan seperti yang terjadi baru-baru ini di Amerika Serikat, telah terjadi perubahan dalam
suksesi kepemimpinan dengan terpilihnya Obama sebagai Presiden. Obama adalah orang kulit
hitam pertama yang bisa menjadi Presiden AS. Kalau dikaitkan dengan lingkungan yang ada,
maka dalam kepemimpinan saat ini sangat diperlukan kemampuan pemimpin untuk
menyesuaikan dengan perubahan. Kepemimpi nan dan penyesuaian terhadap perubahan yang
ada merupakan tantangan terbesar masa kini bagi seorang pemimpin. Peranan seorang pemimpin
dalam hubungan antar manusia sangat terkait dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan
nya.Seorang pemimpin diharapkan dapat menampilkan gaya kepemimpinan segala situasi
tergantung kondisi dan situasi serta kepada bawahan yang mana. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dari orang-orang yang dipimpinnya. Penelitian lain kepemimpinan
efektif adalah dikaitkan dengan kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba
mengkaji mengenai kepemimpinan 84 Euis Soliha dan Hersugondo Fokus Ekonomi yang efektif
dan perubahan organisasi. Kepemimpinan ini memegang peranan penting dalam suatu
organisasi. Pada kondisi saat ini, seorang pemimpin harus bisa menyesuaikan dengan perubahan
yang ada. Kepemimpinan Menurut Edwin A. Locke (1991) terdapat empat kunci untuk
memimpin dengan sukses yang ditunjukkan dalam model kepemimpinan. Empat kunci ini
adalah: 1. Alasan dan sifat-sifat pemimpin/Motives dan traits. 2. Pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan /Knowledge, Skills, and Ability/KSAs 3. Visi 4. Implementasi dari visi
Kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan orang lain melakukan
tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Terdapat perbedaan kontras antara kepemimpinan dan
diktator. Diktator mengejar pihak lain untuk bertindak dengan kekerasan fisik ataupun ancaman
di bawah kekuatan fisik. Beberapa diktator yakin menggunakan aktivitas karakteristik
kepemimpinan seperti menawarkan visi. Beberapa orang berpendapat bahwa seorang pemimpin
yang efektif dapat menyebabkan pengikutnya secara tidak sadar dengan kemampuan dirinya
berkorban demi organisasi (Bass, 1985 dalam Locke, et al, 1991). Definisi yang lebih baik dari
pemimpin efektif mengerjakan dengan menghargai bawahannya dengan kemampuan diri mereka
dalam mencapai visi yang telah diformulasikan dan bekerja untuk mewujudkannya. Terdapat
beberapa hal bagaimana pemimpin memotivasi bawahan yaitu: 1. Meyakinkan bawahan bahwa
visi organisasi (dan peran bawahan dalam hal ini) penting dan dapat dicapai. 2. Menantang
bawahan dengan tujuan, proyek, tugas, dan tanggung jawab dengan memperhitungkan perasaan
diri bawahan akan sukses, prestasi, dan kecakapan. 3. Memberikan penghargaan kepada
bawahan yang berkinerja baik dengan penghargaan, uang, dan promosi. Kepemimpinan berbeda
dengan manajemen. Kunci dari kepemimpinan adalah membangun visi dasar (tujuan, misi,
agenda) suatu organisasi. Sedangkan kunci manager adalah mengimplementasikan visi. Manager
dan bawahan bertindak dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir. Gambar 1 Model
Kepemimpinan Sumber: Locke, et al, 1991 Motives and Traits KSAs Vol. 7, No. 2, 2008 Fokus
Ekonomi 85 Alasan/motives adalah keinginan yang menyebabkan orang untuk bertindak. Inti
motives kepemimpinan adalah: 1. Dorongan/drive. Merupakan variasi yang berhubungan
walaupun tidak sama dengan motives. Sebagai contoh : restasi achie ement. Seorang psikologis
Bernard Bass, 1990 dalam Locke, et al, 1991 memberikan tinjauan dari 28 studi dan adanya
penemuan kejadian bahwa keinginan untuk berprestasi adalah faktor penting untuk memotivasi
diantara pemimpin yang efektif. Mc Clelland, 1965 dalam Locke, et al, 1991 juga melakukan
riset kebutuhan untuk berprestasi dan menemukan bahwa hal ini merupakan penyebab penting
diantara kesuksesan entrepreneurs. Ambisi berhubungan dengan motif kepemimpinan yang
meliputi dorongan. Energi diperlukan pemimpin untuk mempertahankan dorongan mencapai
prestasi yang tinggi dan mencapai keberhasilan dalam organisasi. Ketahanan/Tenacity adalah
motif yang melibatkan energi untuk mempertahankan tujuan serta mengarahkan ketika
berhadapan dengan rintangan-rintangan. Inisiatif adalah motif yang mendorong pemimpin efektif
untuk mengambil jalan yang proaktif daripada reaktif dalam pekerjaan (Bass, 1990; Boy, 1982;
Kouzes and Posner, 1987 dalam Locke, et al, 1991). 2. Motivasi Kepemimpinan. Pemimpin yang
efektif seharusnya ingin memimpin. Motivasi kepemimpinan meliputi keinginan untuk
mempengaruhi pihak lain. Terdapat 2 macam motivasi kepemimpinan yaitu: personalized power
motive, adalah pemimpin yang mencari kekuasaan sebagai tujuan akhir dan sosialized power
motive, adalah pemimpin yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai tujuan atau
visi yang diinginkan. Inti dari sifat-sifat/ traits pemimpin adalah: 1. Kejujuran / Integritas atau
Honesty / Integrity. 2. Kepercayaan diri/Self-Confidence 3. Originality/Creativity 4.
Flexibility/Adaptability 5. Charisma Keahlian teknologi sering memfasilitasi kemampuan untuk
memimpin organisasi. Pengetahuan pada organisasi dan industri merupakan faktor yang lebih
penting daripada pendidikan formal (Gabarro, 1987; Kotter, 1988 dalam Locke, et al, 1991).
Keahlian/Skills pemimpin terdiri dari: 1. People skills/interpersonal skill terdiri dari: listening,
oral communication, networkbuilding, conflict management, and assessing self dan lainnya
(Bray, Campbell, and Grant, 1974; Dunnette, 1971; Kotter, 1982; Yukl, 1989 dalam Locke, et al,
1991) 2. Management Skills. Keahlian administratif adalah penting dalam fungsi managemen
tradisional yang memfasilitasi aktivitas sehari-hari pada organisasi. Keahlian managemen yang
efektif dikembangkan oleh Boyatzis, 1982 dalam Locke, et al, 1991 merupakan keahlian dalam
penyelesaian masalah, termasuk logika berpikir dan konseptualisasi. 3. Kemampuan/Ability
pemimpin. Kemampuan kognitif (kecerdasan) adalah asset pemimpin karena pemimpin harus
mencari, mengintegrasi, dan menginterpretasikan sejumlah besar informasi. Fungsi kunci
seorang pemimpin adalah membangun visi organisasi dan mengkomunikasikan kepada bawahan.
Terdapat beberapa karakteristik dari pernyataan visi yaitu: ringkas, jelas, abstrak, menantang,
orientasi ke depan, stabilitas, dan disenangi. Kebijakan dan prosedur yang spesifik diperlukan
untuk mengimplementasikan visi ini terdiri dari enam kategori yaitu: 1. Menstrukturisasi 2.
Menyeleksi, melatih, dan menyesuaikan diri bawahan 3. Memotivasi bawahan 86 Euis Soliha
dan Hersugondo Fokus Ekonomi 4. Mengelola informasi 5. Membangun tim 6. Perubahan
kemajuan Masalah kepemimpinan selalu memberi kan kesan menarik dari waktu ke waktu.
Kepemimpinan ini memainkan peran penting dalam berbagai aktivitas organisasi. Dalam
kepemimpinan ini, seorang pemimpin harus memberikan pengarahan-pengarahan terhadap
usaha-usaha semua bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Higgs (2003) mengungkapkan
bahwa terdapat empat hal yang sering menjadi bahasan dalam berbagai literatur terkait dengan
peran pemimpin yaitu: 1. Perubahan dalam nilai-nilai sosial 2. Perubahan fokus investor 3.
Tantangan dalam melaksanakan perubahan organisasi 4. Kesadaran terhadap dampak stress bagi
karyawan. Terdapat banyak teori maupun pendekatan dalam kepemimpinan. Beberapa ahli
membedakan kepemimpinan menjadi dua yaitu: kepemimpinan transformational dan
transaksional. Pada dasarnya kepemimpinan transaksional dan transformasional merupakan dasar
dari sebuah gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan tersebut pada beberapa dekade terakhir
muncul sebagai fenomena dan dirasakan memiliki dampak positif terhadap beberapa aspek yang
dapat meningkatkan efektivitas organisasi. 1. Kepemimpinan Transaksional. Kepemimpinan
transaksional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan yang berlandaskan pada adanya
pertukaran atau adanya tawar menawar antara pemimpin dan bawahannya. Menurut Burns
(1978) dalam Muchji dan Priyono (2004), kepemimpinan transaksional adalah motivasi pengikut
terutama melalui dasar pertukaran reward. Reward tersebut dapat berupa bonus atau peningkatan
gaji atau penghargaan lainnya. Pada dasarnya kepemimpinan transaksional lebih mengacu pada
dua faktor utama yang menjadi ciri kepemimpinan transaksional, yaitu: - Contingent Reward,
yaitu pemberian imbalan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan bawahan. Hal ini merupakan
bentuk pertukaran yang aktif antara pimpinan dan bawahan, artinya bawahan akan mendapatkan
imbalan atau tujuan yang dapat dicapainya dan tujuan tersebut telah disepakati bersama antara
pimpinan dan bawahan. - Management by exception, adalah merupakan transaksi yang aktif dan
pasif. Aktif adalah pemimpin secara terus menerus melakukan pengawasan terhadap
bawahannya. Pengawasan tersebut dilakukan agar bawahannya memiliki kinerja yang baik dan
untuk mengantisipasi adanya kesalahan. Sedangkan pasif berarti intervensi dan kritik serta
koreksi akan dilakukan oleh pemimpin setelah kesalahan terjadi, pemimpin akan menunggu
semua proses dalam tugas selesai baru kemudian menentukan ada atau tidaknya permasalahan
Dengan kepemimpinan transaksional maka pemimpin mendorong bawahannya mencapai tingkat
kinerja yang disepakati bersama dan keduanya bersama-sama menepati kesepakatan tersebut. 2.
Kepemimpinan Transformasional. Dalam kepemimpinan transformasional pertukaran yang
terjadi antara bawahan dan pimpinan tidak sekedar pertukaran seperti yang terjadi pada
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional juga melibatkan pengembangan
hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dengan pengikut. Dengan kepemimpinan
transformasional, pemimpin membantu pengikut untuk melihat kepentingan yang lebih penting
daripada kepentingan mereka sendiri demi misi dan visi organisasi atau kelompok. Dengan
mengembangkan kepercayaan diri, keefektifan diri, dan harga diri pengikut, diharapkan
pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat pada tingkat identifikasi, motivasi, dan pencapaian
tujuan Vol. 7, No. 2, 2008 Fokus Ekonomi 87 pengikut. Menurut Bass dan Avolio (1990) dalam
Muchji dan Priyono (2004), ada 4 unsur yang mendasari kepemimpinan transformasional yaitu: -
Charisma: kharismatik pada pemimpin transformasional didapatkan dari pandangan pengikut,
sehingga seorang pemimpin yang berkharisma akan mempunyai banyak pengaruh dan dapat
menggerakkan serta dapat mengilhami bawahannya dengan suatu visi yang dapat diselesaikan
melalui usaha keras. - Inspiration: pemimpin yang inspirasional dapat mengartikulasikan tujuan
bersama serta dapat menentukan suatu pengertian mengenai apa yang dirasa penting serta apa
yang dirasakan benar, sehingga pemimpin dapat mempertinggi arti serta meningkatkan harapan
yang positif mengenai apa yang perlu dilakukan. - Intellectual stimulation: para pemimpin
membantu bawahannya untuk dapat memikirkan mengenai masalah-masalah lama dengan cara
baru. - Individualized consideration: seorang pemimpin harus mampu untuk memperlakukan
bawahannya secara berbeda-beda namun adil, yaitu mampu memperhatikan satu persatu
bawahannya dan tidak hanya mengenali kebutuhannya serta meningkatkan perspektif bawahan,
namun juga memberikan prasarana dalam rangka pencapaian tujuan secara efektif serta memberi
pekerjaan yang memberikan tantangan yang lebih. Pada kepemimpinan transformasional,
bawahan akan melakukan pekerjaan yang melebihi apa yang telah ditetapkan, hal ini
dikarenakan adanya pengaruh dari pimpinannya. Kepemimpinan yang Efektif Menurut Locke, et
al, 1991 kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan orang lain
melakukan tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan definisi ini terdapat tiga
elemen dalam kepemimpinan yaitu: 1. Kepemimpinan adalah konsep hubungan. Keberadaan
kepemimpinan hanya dalam hubungan dengan pihak lain yang disebut pengikut. 2.
Kepemimpinan adalah sebuah proses. Dalam memimpin, pemimpin harus mengerjakan sesuatu.
3. Kepemimpinan membutuhkan penyebab untuk bertindak. Pemimpin menyebabkan
pengikutnya untuk bertindak dengan berbagai cara seperti menggunakan otoritas kekuasaannya,
restrukturisasi organisasi, dan lain-lain. Dalam model kepemimpinan Locke, et al, 1991, terlihat
bahwa faktor yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah alasan dan sifatsifat/motives dan traits
serta knowledge, skills, dan ability/KSAs yang diperlukan untuk membangun visi dan
mengimplementasi visi. Disini pendekatan yang digunakan Locke adalah pendekatan sifat. Yukl
(1989) menyatakan bahwa dalam kepemimpinan juga terdapat pendekatan kekuasaan, perilaku,
dan situasional selain pendekatan sifat. Sedangkan menurut Yukl (1989) kepemimpinan
didefinisikan dalam terminologi sifat-sifat/traits individual, perilaku pemimpin, pola interaksi,
peran hubungan, persepsi bawahan, pengaruh lebih pada bawahan, pengaruh pada tujuan tugas,
pengaruh pada budaya organisasi. Yukl (1989) mengungkapkan mengenai studi kepemimpinan
dengan berbagai macam pendekatan: 1. Pendekatan pengaruh kekuasaan. Mintzberg, 1983 dalam
Yukl, 1989 memparalelkan analisis level mikro kekuasaan individual dengan analisis level
makro kekuasaan pada sub unit dan koalisi organisasi. Pada level ini, 88 Euis Soliha dan
Hersugondo Fokus Ekonomi kepemimpinan efektif sering dievaluasi dalam adaptasi organisasi
dengan perubahan lingkungan. Sejumlah posisi kekuasaan untuk kepemimpinan yang efektif
bergantung pada sifat alami organisasi, tugas, dan bawahan. French dan Raven dalam Yukl
(1989) mengajukan lima basis kekuasaan yaitu: - Kekuasaan Legitimasi: kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi orang lain karena posisinya. - Kekuasaan Imbalan: kekuasaan yang
didasarkan atas kemampuan seseorang untuk memberi imbalan kepada orang lain (pengikutnya)
karena kepatuhan mereka. - Kekuasaan Paksaan: kekuasaan hukuman. Hukuman adalah segala
konsekuensi tindakan yang dirasakan tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya.
Pemberian hukuman kepada seseorang dimaksudkan juga untuk memodifikasi perilaku,
menghukum perilaku yang tidak baik/merugikan organisasi dengan maksud agar berubah
menjadi perilaku yang bermanfaat. - Kekuasaan Ahli. Seseorang mempunyai kekuasaan ahli jika
ia memiliki keahlian khusus yang dinilai tinggi. - Kekuasaan Panutan. Banyak individu yang
menyatukan diri atau dipengaruhi oleh seseorang karena gaya kepribadian atau perilaku orang
yang bersangkutan. Karisma orang yang bersangkutan adalah basis kekuasaan panutan. 2.
Pendekatan Perilaku. Pendekatan ini menekankan bahwa pemimpin dan manager secara nyata
bekerja untuk pekerjaan dan hubungan keefektifan managerial. Studi Hundreds menguji korelasi
pemimpin initiating structure dan consideration dengan kepuasan dan kinerja bawahan. Sejumlah
studi menemukan hubungan antara perencanaan dan keefektifan managerial, walaupun
perencanaan yang efektif biasanya tidak formal dan fleksibel daripada formal dan kaku (Carroll
&Gillen, 1987; Kanter, 1983; Kotter, 1982; Yukl, Wall, & Lepsinger, 1988 dalam Yukl, 1989).
Beberapa tipe perilaku managerial ditemukan berhubungan dengan keefektifan managerial. 3.
Pendekatan Sifat. Pendekatan ini menekankan pada atribut personal seorang pemimpin.
Penelitian sekarang mencoba untuk menghubungkan siat dengan syarat-syarat peran yang
spesifik pada perbedaan tipe posisi managerial. Penelitian McClelland dan yang lainnya
menemukan kejadian bahwa pemimpin yang efektif secara luas, hirarki organisasi cenderung
mempunyai kebutuhan kekuasaan yang kuat, kebutuhan untuk berprestasi yang kuat, dan relatif
kebutuhan afiliasi lebih lemah. Manager yang efektif mempunyai orientasi kekuasaan
bersosialisasi dengan kematangan emosi yang tinggi. 4. Pendekatan Situasional. Pendekatan ini
menekankan pentingnya faktor kontekstual seperti otoritas, kebijaksanaan pemimpin, sifat alami
pekerjaan yang dilakukan oleh unit pemimpin, atribut bawahan, dan sifat alami lingkungan
eksternal.

Anda mungkin juga menyukai