Nama: Muh. Fernaldy Angghada N. Rachman NIM: A31116521
Nama: Muh. Fernaldy Angghada N. Rachman NIM: A31116521
Rachman
NIM : A31116521
Materi-Materi Selama LK 1 :
1. Epistemologi
2. Kapitalisme
3. Kuasa Media dan Globalisasi
4. Analisis Wacana Kritis
5. Filsafat Pendidikan
6. Akuntansi dan Kuasa
7. PTN-BH
8. Realita Pembangunan Kota
9. Filsafat Gerak
10. Kepemimpinan Manajemen Organisasi
11. Tujuan LEMA
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, gabungan kata ”episteme” dan
”logos”. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos lazimnya menunjukkan teori atau pengetahuan
secara sistemik. Epistemologi adalah cabang ilmu yang menengarai masalah‐ masalah filosofis yang
mengitari teori ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti
asal‐usul,asumsi dasar, sifat‐sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan (Sudarsono, 1993).
Menurut Buehl (2003), William Pery adalah salah satu peneliti pertama yang meneliti
kepercayaan individu tentang epistemologi secara empiris. Sejak itulah muncul berbagai penelitian yang
mengkaji tentang kepercayaan pengetahuan. Belenky et al. (1986) mengusulkan model women’s ways of
knowing, bahwa wanita‐wanita mengadopsi hanya pada salah satu dari lima posisi ke arah pengetahuan
dan bagaimana mengetahui (diam tanpa objek, cara mengetahui yang diterima, subjek‐ tivitas
mengetahui, prosedur mengetahui, dan bagaimana membangun cara mengeta‐ hui). Bagaimanapun,
pertanyaan‐pertanya‐ an tersebut untuk menanggapi tidak diberinya tempat bagi wanita dalam kaitan
KEPERCAYAAN EPISTEMOLOGI DAN PENDEKATAN BELAJAR JURNAL PSIKOLOGI 131
dengan pelajaran dan pengetahuan akademis yang dalam kehidupan wanita banyak aspek berbeda.
Magolda (2004) mengajukan model yang dinamai model refleksi epistemologis (Epistemological
Reflection Model). Ada empat tahapan dalam Model Refleksi Epis‐ temologis Magolda, yaitu: tahapan
menge‐ tahui absolut (absolute knowing), mengetahui transisional (transitional knowing), mengetahui
independen (independent knowing), dan mengetahui kontekstual (contextual knowing). Mengetahui
absolut (absolute knowing), merupakan tahapan perkembangan di mana pengetahuan dipandang sebagai
hal yang bersifat pasti. Para pengajar dipandang sebagai otoritas mutlak; belajar berarti menyebutkan
fakta‐ fakta. Tahapan kedua, mengetahui transisional (transitional knowing), memper‐ lihatkan bagaimana
pengetahuan dalam hal tertentu tidak pasti sifatnya. Otoritas yang berwenang bukan pihak yang serba
tahu, hanya saja mereka diharapkan bisa membe‐ rikan informasi lebih banyak mengenai bagaimana
caranya pengetahuan bisa diterapkan. Tahapan ketiga, tahapan mengetahui independen (independent
knowing), menyadari bahwa pengetahuan hampir sepenuhnya bersifat tidak pasti.
Para pengajar diharapkan bisa menyediakan lingkungan belajar yang bisa menghasilkan
pemikiran dan logika tertentu yang bisa jadi berbeda dari teks atau para pengajar itu. Tahapan terakhir
adalah mengetahui kontekstual, di mana terdapat perpaduan atau kombinasi di antara pola‐ pola yang
terkait sebelumnya. Mengetahui kontekstual mencakup adanya keyakinan bahwa keabsahan klaim‐klaim
pengetahuan ditentukan oleh konteksnya. Schommer (1994; 2004) membuat sebuah model multidimensi
untuk menjelaskan elemen dasar sistem kepercayaan epistemologi. Konsep penelitian sebelumnya
menemukan bahwa kepercayaan epistemologi masih sangat kompleks dan unidimensi dan memfokuskan
pada keu‐ nikan aspek epistemologi individu. Sebagai alternatif, Schommer (1994; 2004) mengajukan
kepercayaan epistemologi yang merupakan konsep ulang banyak sistem atau kepercayaan independen.
Sistem keperca‐ yaan yang dimaksud adalah kepercayaan epistemologi yang multidimensi dan terdapat
lebih dari satu kepercayan yang dipertimbangkan. Lima taksonomi kepercayaan yang diajukan
Schommer meliputi kepercayaan tentang:
Hipotesa asli dari kepercayaan yang diajukan Schommer (1994; 2004) meliputi kepercayaan
tentang:
Dweck & Leggett (dalam Tasaki, 2001) berpendapat bahwa perilaku belajar individu
sangat dipengaruhi oleh kepercayaan‐ kepercayaan siswa sekitar sifat pengetahuan dan
kemampuan mereka. Paulsen dan Feldman (dalam Chan, 2003) berpendapat bahwa siswa yang
mempunyai kepercayaan rendah pada struktur pengetahuan seperti pengetahuan berstruktur
sederhana dan siswa yang mempunyai kepercayaan rendah pada stabilitas pengetahuan seperti
pengetahuan bersifat sementara dan kepercayaan siswa tentang KEPERCAYAAN
EPISTEMOLOGI DAN PENDEKATAN BELAJAR JURNAL PSIKOLOGI 133 sumber
pengetahuan bahwa pengetahuan hanya berasal dari orang yang lebih tahu (omniscient), dari
pengalaman orang yang mempunyai otoritas dalam menyampaikan pengetahuan dan tidak berasal
dari pemikiran sendiri diikuti dengan berbagai bukti, akan mempunyai sedikit orientasi tujuan
belajar yang intrinsik, dalam menghargai aktivitas belajar, dalam mengontrol belajar dan untuk
merasakan bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu dalam belajar.
Kepercayaan tentang bagaimana men‐ dapatkan pengetahuan akan berpengaruh pula terhadap
perilaku belajar siswa, seperti kepercayaan siswa mengenai waktu yang dibutuhkan untuk belajar
mata pelajaran tertentu, apakah pelajaran tersebut bisa dilakukan dengan cepat (quick learning)
atau merupakan proses berangsur‐angsur, bisa dengan mudah atau perlu kerja keras, dan juga
kepercayaan terhadap kemam‐ puan atau kecerdasan dalam memperoleh pengetahuan (innate
ability) yang bersifat bawaan yang menetap ataukah dapat berkembang setiap saat. Atas dasar
penemuan dari studi‐studi empiris sebelumnya pada belajar dan kecerdasan Dwick & Leggett
(dalam Tasaki, 2001) berpendapat bahwa ada dua teori yang terkandung dari kecerdasan: (a) teori
kecerdasan incremental dan (b) teori kecerdasan kesatuan (entity). Mereka yang percaya teori
incremental cenderung memandang kecerdasan dapat diubah dan dapat diperbaiki. Mereka yang
memufakati teori kecerdasan kesatuan percaya bahwa kecerdasan tidak dapat berubah dan
menetap. Dua kepercayaan tentang kecer‐ dasan para siswa mengarahkan mereka untuk bereaksi
dengan cara yang berbeda‐ beda ketika menjalankan aktivitas belajar termasuk pendekatan
belajarnya. Para siswa yang memegang kepercayaan incre‐ mental cenderung melihat aktivitas
belajar sebagai suatu kesempatan untuk mening‐ katkan kecerdasan mereka. Pada sisi lain, para
siswa dengan kepercayaan kesatuan merasa aktivitas belajar tidak banyak berpengaruh terhadap
kemampuannya dan hanya sebagai suatu kesempatan untuk menguji kecerdasan mereka saja.
Peterson (dalam Brownlee et al., 2008) menyatakan karena pendidikan berhu‐ bungan dengan
pengetahuan, maka sesungguhnya epistemologi dalam pendi‐ dikan sangat fundamental
posisinya. Selain itu, hubungan kepercayaan epistemologi terhadap pendekatan belajar seseorang
juga menjadi salah satu isu yang paling menon‐ jol dalam psikologi pendidikan (Bendixen &
Rule, 2004).
Dunia telah berubah dengan cepat. Kondisi ini telah menjadi keyakinan hampir semua pejabat
publik, akademisi, dan pegiat LSM. Salah satu faktor penyebabnya adalah globalisasi, yang telah menjadi
isu sentral dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial sekarang ini (Chesney, 1998). Globalisasi yang
mulai intens didiskusikan banyak pihak dianggap sebagai fenomena baru yang dicirikan oleh penyusutan
ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi
dan interdependensi ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam skala global (Steger, 2002: vii).
Dampak yang ditimbulkannya telah menyentuh ke dalam hampir semua kehidupan manusia,
termasuk hubungan antarnegara, bangsa dan politik internasional. Jika politik internasional dimaknai
sebagai “a struggle of power” sebagaimana dikemukakan Morgenthau (1993: 29), maka globalisasi telah
membuat sarana ataupun instrumen yang digunakan untuk meraihnya mengalami 1 Puji Rianto adalah
Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Yogyakarta. Jurnal
ILMU KOMUNIKASI 68 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 perubahan secara signifikan. Dalam
kaitan ini, globalisasi media telah mengubah karakteristik umum diplomasi dan komunikasi internasional.
Dov Shinar (2000:83) mengungkapkan bahwa komunikasi internasional pada era 1990-an
dikarakteristikkan oleh dua perkembangan pokok, yakni: pertama, bersamaan dengan tuntutan dan
gerakan separatisme, iklim pasca-Perang Dingin telah membuat lebih susah usaha-usaha para penjaga dan
pembuat perdamaian seperti yang terjadi dalam konflik di Timur Tengah dan Irlandia Utara. Kedua, peran
media dalam hubungan internasional telah berubah secara signifikan. Pekerjaan tradisional para jurnalis
yang meliputi usaha-usaha mengumpulkan dan menyeleksi fakta, mengkonstruksi, dalam meng-coding
dan merepresentasikan realitas telah mengalami perluasan.
Para jurnalis tidak hanya berharap menghadirkan fakta secara fair dan tanpa bias dalam bahasa
yang dirancang untuk unambiguous, undistorting, dan agreeable (Fowler, 1999; seperti dikutip Shinar,
2000:83). Namun, lebih dari itu, organisasi dan para profesional media berpartisipasi dalam hubungan
internasional, yang secara luas dan dalam peran sebagai katalis dan ‘broker diplomatik’. Dalam situasi ini,
posisi jurnalis sebagai pewarta dan pelaku dalam politik internasional sering kali menjadi kabur. Saat ini,
organisasi media dan para profesional telah turut berpartisipasi dalam hubungan-hubungan internasional,
dalam pengertian luas dan dalam perannya sebagai katalis dan “diplomatic broker” (Larson, 1986; Giboa,
1998 seperti dikutip Shinar, 2000). Sebagai broker diplomatik, media melaksanakan dan kadang
memprakarsai mediasi internasional dalam suatu cara yang sering kali pembedaannya menjadi kabur
antara dirinya sebagai reporter dengan sebagai seorang diplomat (Shinar, 2000:84). Dalam kaitan ini,
media global telah mentransformasi politik internasional secara mendasar melalui proses mediasi
(mediated international politics), yang membuat politik internasional lebih menekankan pada image
politics dibandingkan dengan power politics. Selanjutnya, oleh karena kemampuannya dalam
menyebarkan pesan-pesan diplomasi dan politik, media telah memberi kemampuan untuk menjadikannya
sebagai salah satu instrumen propaganda paling penting. Jika kontrol terhadap informasi berarti pula
kontrol terhadap kekuasaan, dan jika politik internasional dipahami sebagai perjuangan meraih kekuasaan
(struggle of power), maka tidak dapat dipungkiri bahwa media yang beroperasi lintas batas Puji Rianto,
Globalisasi Media dan ... , 67-84 69 negara bangsa sekarang ini mempunyai peran yang hampir tidak ada
bandingnya. Tulisan ini akan ditujukan untuk menganalisis secara kritis bagaimana globalisasi media
mengubah politik internasional dewasa ini. Pada bagian awal, akan dipaparkan globalisasi dan bagaimana
media berperan dalam proses tersebut. Selanjutnya, akan dipaparkan bagaimana globalisasi media telah
menggeser politik internasional dari power politics ke image politics. Bagian berikutnyan akan
dipaparkan bagaimana media mempunyai peran penting sebagai agen propaganda dalam politik
internasional. Kekuasaan melibatkan pengaruh-pengaruh dan kontrol tindakan dari warga negara dan
pemerintahan terhadap warga negara dan pemerintahan lain. Dalam kaitan ini, propaganda menjadi salah
satu instrumen pokok dalam proses tersebut. Bagian akhir tulisan akan ditutup dengan kesimpulan,
benang merah dari keseluruhan tulisan ini. GLOBALISASI DAN PERAN MEDIA Para ilmuwan politik
dan hubungan internasional telah begitu gigih melakukan analisis terhadap globalisasi dan implikasinya
bagi negara bangsa, sedangkan ilmuwan lainnya gigih memperdebatkan munculnya global culture,
lokalisme, masyarakat global, dan lain sebagainya.
Jika literatur-literatur tersebut dirunut, maka akan ditemukan betapa sulitnya menemukan kata
sepakat atas apa yang disebut globalisasi dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan manusia, baik di
bidang ekonomi, politik, sosial, dan juga budaya. Meskipun demikian, argumentasi yang menyatakan
bahwa globalisasi telah mempengaruhi hampir semua bidang kehidupan manusia tampaknya jauh lebih
bisa diterima meskipun harus diberi catatan bahwa pengaruhnya berada dalam derajat yang berbeda-beda.
Di antara diskusi tentang globalisasi tersebut, perkembangan media dan teknologi komunikasi menjadi
salah satu faktor penting meskipun pada awalnya tidak mendapatkan cukup perhatian (Rantanen,
1999).
Integrasi, interkoneksi, dan bahkan interdependensi (Keohane dan Nye, 1977) tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan media dan teknologi komunikasi yang beroperasi lintas batas negara
bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa tanpa adanya
teknologi komunikasi, maka tidak ada pasar-pasar global sebagaimana adanya sekarang. Tanpa
adanya Jurnal ILMU KOMUNIKASI 70 VOLUME 5, NOMOR 1, JUNI 2008 komunikasi
global maka tidak akan muncul pasar global (Tehranian, 1999: 4) Mengenai peran media dalam
proses globalisasi tersebut, Thompson (2000: 202) mengemukakan sebagaimana dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini. “The reordering of space and time brought about by the development
of the media is part of broader set of processes which have transformed (and are still
transforming) the modern world. These processes are commonly described today as
‘globalization’”
Fatmasari, Syamsul Bachri, Sri Susyanti Nur Program Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Fatmasari S.H., M.H. Fakultas Hukum Program
Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081 2426 19360 Email:
fatmamuin74@yahoo.co.id Abstrak Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong
terjadinya pergeseran fungsi kawasan atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi kawasan atau alih
fungsi lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung
telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut rencana tata ruang
wilayah Kota Makassar dan penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang
tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan
adalah sosio-yuridis, sampel dipilih secara purposive sampling. Data primer dan data sekunder,
dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan landasan teori dalam menjelaskan
fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu
menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat
kaitannya dengan penelitian.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah untuk
kawasan permukiman di Kota Makassar belum sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, hal
ini dikarenakan belum disahkannya Rencana Detail Tata Ruang yang akan mengatur secara rinci
atau detail 13 kawasan di Kota Makassar, sehingga Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam
memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tidak berdasarkan suatu pedoman yang
jelas atau rinci, faktor lain adalah lemahnya koordinasi kelembagaan antar aparat Pemerintah
Kota, lemahnya pengawasan dan kurangnya peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan tata
ruang Kota Makassar. Penerapan sanksi terhdap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak
sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar hanya sebatas pada sanksi administratif dan
belum pernah ditindak lanjuti dengan penerapan sanksi perdata dan sanksi pidana. Kata kunci :
Tata Ruang, Kawasan Permukiman Abstract Development of setlement area have pushed the
happening friction of area function or displace farm function. Friction of area function or
displace farm function green air-gap, conservation farm, energy kindness area or covert area
have changed over function become setlement area. The aim of the research is to explain the use
of land for settlement area, to find out how the layout arrangement of Makassar City, and to find
out and understand the application of sanction to the use of settlement area which is not in
accordance with the layout management of Makassar City. The research used socio-juridical
study. The sample were determined using purposive sampling method. The data consisted of
primary data by interviewing informants and secondary data which support the primary data
obtained from primary, secondary, and tertiary legal materials. They were analyzed
descriptivequalitatively. The results of the research indicate that the use of land for settlement
area in Makassar city is not in accordance with Site Layout Plan of Makassar City. This is
because RDTR which arranges in detail the 13 areas in Makassar City has not been legalized yet,
so DTRB which gives Building Construction Permit and principle permit is not based on a clear
and detailed manual. The other factors are the weak institutional coordination among city
government officials, the weak supervision causing the violation of the use of layout not
detected, and the lack understanding and role of community on the use of layout of Makassar
City. The application of sanction to the use of settlement area which is not in accordance with the
rules of layout of Makassar City is merely limited to administrative sanction and ithas not been
followed up bay the application of civil law and criminal law. Keywords: Layout,
SettlementArea PENDAHULUAN Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa mengandung arti bahwa
negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan(Harsono,2008). Untuk
lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang pemerintah menyusun Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, namun seiring dengan adanya perubahan
terhadap paradigma Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk
mengelola Daerahnya sendiri (Otonomi Daerah) melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami
perubahan yang ditandai dengan digantikannya ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya
disingkatUUPR(Ridwan,2008). Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang
mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, yang
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif (Bratakusumah,
2009). Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut
batasan administratif (Erwiningsih,2011). Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun
2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2006-2016 selanjutnya
disingkat RTRW Kota Makassar Pasal 9 mengatur bahwa pengembangan kawasan Terpadu Kota
Makassar. Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di atas pada dasarnya
merupakan sebuah alat pengendalian bagi Pemerintah Kota Makassar dalam mengatur tata ruang
Kota Makassar dengan sebaik-baiknya. Pengaturan zonasi tersebut pada pelaksanaannya
terkadang tidak sesuai dengan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan misalnya pada saat
ini pada setiap kawasan yang merupakan jalan protokol telah dipenuhi dengan pembangunan
Ruko (rumah toko). Oleh karena itu pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan
dalam RTRW Kota Makassar pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan sesuai dengan
yang diharapkan. Tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar. (Salle dkk ,2010), Tubuh bumi dan air serta ruang yang
dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya
diperbolehkan menggunakannya, itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat
(2) UUPA dengan kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu: UUPA) dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi(Nur,2008) Sudikno Mertokusumo dalam
(Santoso,2010) menggunakan istilah tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata guna dikaitkan
dengan objek Hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tata guna tanah/ land
use planning kurang tepat, (Hasni,2010) menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna
tanah merupakan bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA yang juga
dijiwai oleh undang-undang lain yang mengurus penggunaan tanah. Pasal 33 UUPR
menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang
berkaitan dengan penataan tanah secara maksimal, oleh karena tata guna tanah selain mengatur
mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap
persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab
pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya(Supriadi,2010). Seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan perumahan
dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas-
fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan
(Adisasmita,2010). Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong terjadinya pergeseran
fungsi atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi atau alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau,
lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan
permukiman. Berdasarkan data yang ada pada saat ini Koran FAJAR,Jumat tanggal 4 Januari
2013, telah terjadi banjir pada beberapa kelurahan di Kota Makassar yang merupakan kawasan
permukiman. Banjir yang terparah adalah di Kelurahan Batua yang menyebabkan para warga
terpaksa mengungsi oleh karena ketinggian air mencapai 1,5 meter. Salah satu penyebabnya oleh
karena banyaknya drainase yang tertutup oleh bangunan permukiman baru serta terjadinya alih
fungsi dari ruang terbuka hijau yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih fungsi
menjadi kawasan perumahan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menjelaskan
pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar dan
penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan
pengaturan tata ruang Kota Makassar. METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan
Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan
bahwa di Kota Makassar sebagai barometer kegiatan pembangunan di Sulawesi Selatan dan
sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian dikawasan Indonesia Timur. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritis atau normatif,
juga akan mengkaji hukum dalam pelaksanaannya. Kesesuaian antara hukum dalam perspektif
normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan sebuah tuntutan realitas untuk
mengefektifkan hukum dalam kehidupan. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini
adalah keseluruhan aparat Pemerintah Kota Makassar Bagian Hukum, aparat Dinas Tata Ruang
Kota Makassar (DTRB), aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA),
Pengembang (Developer) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Walhi, dan masyarakat
Kota Makassar. Sampel sebanyak 48 orang terdiri dari 30 orang responden yaitu masyarakat dan
12 orang narasumber yang terdiri dari aparat pemerintah, LSM/WALHI, dan developer. Metode
penetapan sampel adalah secara Purposive Sampling yaitu sampel yang secara sengaja dipilih
dengan menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Wawancara dengan mendatangi nara sumber
dan responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan terstruktur.
b. Dokumentasi dengan menggumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis
Data Data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan landasan
teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan
secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian. HASIL Berdasarkan hasil wawancara
dengan pihak BAPPEDA Kota Makassar menyatakan bahwa pada saat ini pemanfaatan tanah
untuk kawasan permukiman terjadi deviasi atau simpangan di atas 40 % dari kondisi Das Sein
dan Das Sollen hal ini disebabkan oleh karena meskipun pemanfaatan kawasan permukiman
tetap mengacu dan merujuk pada RTRW Kota Makassar akan tetapi dalam pelaksanaan
pengaturan kawasan atau zonasi masih memerlukan RDTR atau Rencana Rinci Tata Ruang yang
mengatur secara detail atau terperinci setiap zona atau kawasan. RTRW Kota Makassar adalah
merupakan master plan atau rencana induk yang pada dasarnya hanya mengatur secara makro
atau secara umum tentang pembagian 13 kawasan atau zonasi. Akan tetapi belum ada penentuan
secara spesifik atau detail dalam suatu wilayah Kecamatan yang merupakan kawasan
permukiman dan wilayah mana yang termasuk fungsi penunjang mengingat suatu Kecamatan
sangat luas wilayahnya. Tidak detailnya RTRW ini menyebabkan pihak DTRB yang menjadikan
RTRW Kota Makassar dalam hal ini pembagian 13 kawasan sebagai pedoman dalam
memberikan rekomendasi IMB dan Izin Prinsip terkesan hanya memperkirakan atau meraba dan
tidak berdasarkan suatu pedoman yang pasti dan terinci. Dengan demikian sangat penting untuk
segera membuat Rencana Detail Tata Ruang Kota Makassar dan Rencana Tata Ruang Kawasan
(RTRK) atau yang biasa disebut Zoning Regulation yang merinci dan mengatur secara jelas dan
tegas tentang pembagian fungsi-fungsi dalam kawasan baik sebagai fungsi utama maupun fungsi
penunjang. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya deviasi atau simpangan adalah munculnya
fenomena lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada fungsi utama
di setiap kawasan. Lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada
fungsi utama di setiap kawasan menurut pendapat penulis oleh karena aparat Pemerintah Kota
Makassar tidak mengkaji secara teknis dan sosial tingkat kebutuhan masyarakat terhadap sarana
perdagangan di setiap kawasan. Kajian teknis dan sosial pada tiap kawasan ini penting oleh
karena di dalamnya terdapat analisis-analisis tentang tingkat kepadatan penduduk di suatu
wilayah yang dikaitkan dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap fungsi-fungsi
perdagangan sehingga dengan adanya kajian teknis dan sosial ini menjadi pedoman bagi pihak
DTRB dalam memberikan rekomendasi penerbitan IMB. Bahwa pada suatu ruas jalan tidak
boleh lagi ada pembangunan ruko ataupun rukan oleh karena telah melebihi dari kapasitas yang
ada di setiap ruas jalan, sebagai contoh dapat dilihat pada sebuah perumahan dimana seorang
developer membangun rumah sebanyak 45 unit, kemudian membangun ruko sebanyak 20 unit di
depannya, hal inilah yang memerlukan kajian teknis dan sosial oleh karena dirasakan tidak
seimbang antara tingkat kebutuhan masyarakat yang akan menghuni 45 unit rumah dalam sebuah
perumahan dengan ruko yang berjumlah 20 unit. Oleh karena itu dibutuhkan analisis terhadap
fungsi perdagangan dan jasa agar seimbang dengan kebutuhan masyarakat, dan agar Dinas Tata
Ruang dan Bangunan tidak memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tanpa
memperhitungkan kajian-kajian teknis dan sosial tersebut. PEMBAHASAN Penelitian ini
menunjukkan bahwa ada berapa faktor yang menyebabkan penataan ruang Kota Makassar tidak
berjalan sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Makassar yang telah ditetapkan yaitu:. Perizinan yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan
ruang adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Sjachran Basah
dalam (HR,2010) menyatakan bahwa Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi
satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Asep Warlan Yusuf
menyatakan izin adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang
digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat
(Ridwan dkk,2008). Bagir Manan mengemukakan bahwa izin dalam arti luas adalah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang (HR,2010).Ateng
syafrudin (Ridwan dkk,2008)menyatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan
halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai salah satu
unsur dari Pemerintah Kota yang diserahi tugas pokok untuk membantu Walikota Makassar
dalam merumuskan, membina dan mengendalikan kebijaksanaan di bidang perencanaan tata
ruang, pengendalian kawasan, penataan dan penertiban bangunan, seharusnya tidak dibebani
target untuk meralisasikan sumber Pendapatan Asli Daerah, oleh karena jika Dinas Tata Ruang
dan Bangunan dibebani target PAD maka tugas Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai
pelaksana, pengawas dan pengendali pemanfaatan tata ruang dalam melaksanakan tugasnya yaitu
memberikan rekomendasi terhadap permohonan IMB hanya untuk mengejar target PAD dan
tidak berdasarkan RTRW Kota Makassar yang telah ditetapkan atau dengan kata lain DTRB
akan mempergunakan IMB sebagai alat untuk mencapai target. Dengan demikian tugas DTRB
tidak akan terlaksana dengan baik oleh karena dengan adanya target yang dibebankan kepada
DTRB ini, maka semua permohonan IMB yang masuk akan diberikan rekomendasi, atau dengan
kata lain DTRB semata-mata hanya mengejar target PAD yang pada gilirannya akan
mengakibatkan kesemrawutan terhadap penataan ruang kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Makassar yang telah disusun sehingga pencapaian RTRW Kota Makassar tidak akan
optimal Koordinasi antar lembaga dalam rangka penataan ruang di Kota Makassar menurut
pendapat penulis masih kurang, Berdasarkan teori koordinasi yang dikemukakan oleh George R.
Terry menyatakan bahwa pada dasarnya koordinasi dalam rangka pelaksanaan suatu rencana,
pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi
disini adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan yang menghubungkan dan bertujuan untuk
menyelaraskan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai gerak yang tepat dalam
mencapai sasaran dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Bratakusumah,2009). Khususnya
antara DTRB dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada sistem
pemberian izin yang tidak berkesesuaian antara IMB yang direkomendasikan oleh DTRB untuk
mendirikan rukan atau rumah kantor sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
memberikan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) untuk
perdagangan atau izin rumah bernyanyi oleh karena SIUP dan SITU adalah juga merupakan
sumber PAD, sehingga pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga dibebani target untuk
merealisasikan target PAD yang berakibat bahwa semua permohonan SIUP dan SITU juga
diberikan izin. Sehingga rukan yang dibangun berubah fungsi dan tidak sesuai dengan
peruntukannya. Pengawasan merupakan salah satu faktor oleh karena pengawasan yang
dilaksanakan oleh DTRB pada saat ini masih lemah hal ini disebabkan kurangnya jumlah aparat
DTRB yang melaksanakan pengawasan di setiap Kecamatan yang hanya berjumlah 2 (dua)
orang untuk mengawasi 1 (satu) Kecamatan yang cukup luas. Sehingga berdasarkan data
sekunder dan pengamatan penulis masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh
masyarakat khususnya pelanggaran mengenai ketiadaan IMB terhadap renovasi yang dilakukan
oleh warga masyarakat dalam suatu permukiman. Demikian pula pelanggaran terhadap Garis
Sempadan Bangunan berdasarkan penelitian yang penulis laksanakan maka di setiap kawasan
permukiman terjadi pelanggaran GSB yang dilakukan, dimana renovasi rumah dilaksanakan oleh
masyarakat dengan tidak mengindahkan GSB. Dengan demikian kurangnya aparat DTRB yang
melaksanakan pengawasan mengakibatkan tidak terjaringnya setiap pelanggaran terhadap
pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan adanya
wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat DTRB dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pengawas tata ruang di Kota Makassar. Kurangnya peran serta masyarakat untuk turut aktif
berpartisipasi dalam melaksanakan pemanfaatan tata ruang Kota Makassar menjadi andil
terjadinya deviasi dalam pembangunan Kota Makassar. Peran serta Masyarakat dapat
dilaksanakan dengan mengadakan pengawasan dan melaporkan kepada aparat Pemerintah Kota
Makassar dalam hal ini kepada BAPPEDA atau Dinas Tata Ruang dan Bangunan atau ke
BKPRD dalam hal terjadi pelanggaran terhadap RTRW Kota Makassar. Peran serta masyarakat
untuk turut mengawasi pelaksanaan pembangunan proyek-proyek baik proyek pemerintah
maupun proyek swasta pada saat ini sangat penting oleh karena berdasarkan pengamatan penulis
bahwa pelaksanaan pembangunan proyek khususnya proyek swasta cenderung tidak
mempertimbangkan kelestarian alam, contohnya adalah reklamasi pantai besar-besaran yang
diadakan oleh pihak swasta pada saat ini sudah sangat mengkhawatirkan banyak pihak
khususnya di kawasan pelabuhan terpadu yang berakibat pada pendangkalan laut sehingga dapat
menyebabkan kesulitan kapal-kapal penumpang yang merapat ke pelabuhan yang pada akhirnya
dapat berakibat pada keselamatan penumpang kapal. Demikian pula terhadap kelestarian alam
Kota Makassar. Disinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan demikian pula peran
LSM/WALHI dalam mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota dalam pengaturan tata ruang Kota
Makassar. Pelanggaran terhadap pemanfaatan kawasan permukiman dapat dijatuhi sanksi
administratif yang secara langsung diberikan kepada pelanggar tanpa melalui proses peradilan.
Menurut pendapat penulis bahwa sanksi administratif yang diberikan kepada masyarakat yang
melakukan pelanggaran telah sesuai dengan tata cara dan prosedur pengenaan sanksi berdasarkan
Pasal 63 UUPR. Dimana DTRB dalam menjatuhkan sanksi melalui beberapa tahap dan bersifat
pembinaan serta berdasarkan prosedur yang ditetapkan dengan terlebih dahulu mengirimkan
surat teguran pertama, surat teguran kedua dan surat teguran ketiga. Apabila pihak pelanggar
tidak memperhatikan surat teguran tersebut maka pihak DTRB akan turun melakukan
pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar. Menurut pendapat penulis UUPR
memberikan pula perlindungan terhadap korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari
adanya pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dilakukan oleh orang perorang, badan
hukum maupun kepada pejabat yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang. Akan tetapi penuntutan terhadap kerugian materil yang disebabkan oleh
terjadinya pelanggaran terhadap rencana tata ruang tersebut harus terlebih dahulu diawali dengan
penuntutan pidana. Sehingga apabila terbukti kesalahan pelanggar dalam hal ini telah ada
putusan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan. Maka hal tersebut merupakan dasar bagi
korban untuk mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti kerugian secara materil.
Sanksi pidana dapat pula dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah (Pasal 73 UUPR) yang
berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pejabat Pemerintahan
yang berwenang memberikan izin pemanfaatan ruang adalah Walikota Makassar yang bertanda
tangan pada Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Dengan demikiaan
Walikota Makassar yang dimaksud dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006 sebagai
pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang. Apabila izin yang diterbitkan oleh
pejabat pemerintah di atas tidak sesuai dengan rencana tata ruang maka dapat dijatuhkan sanksi
pidana terhadapnya setelah terlebih dahulu diadakan penuntutan pidana terhadap pejabat
tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan Kawasan Permukiman Terpadu di Kota
Makassar belum sejalan dengan RTRW Kota Makassar, hal ini disebabkan oleh karena pihak
Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi IMB tidak mendasarkan
rekomendasinya pada suatu pedoman yang lebih detail atau rinci, lemahnya koordinasi
kelembagaan, lemahnya pengawasan demikian pula halnya dengan kurangnya peran serta
masyarakat. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai
dengan RTRW Kota Makassar ada tiga yaitu Sanksi Administratif, Sanksi Perdata dan Sanksi
Pidana. Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang perorang ataupun yang
dilakukan oleh badan hukum atau korporasi maka sanksi yang diberikan hanyalah sanksi
administratif yang dijatuhkan oleh pihak DTRB dan tidak membawa pelanggaran tersebut ke
Pengadilan Negeri untuk diadakan penuntutan secara Pidana maupun Perdata. Adapun sanksi
pidana dapat dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah dalam hal Pejabat Pemerintah tersebut
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar akan tetapi kendala yang
dihadapi adalah ketiadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang menilai suatu izin yang
diterbitkan oleh Pejabat Pemerintah telah sesuai atau tidak dengan RTRW Kota Makassar. Revisi
RTRW Kota Makassar yang baru perlu segera disahkan oleh DPRD Kota Makassar untuk dapat
dibuat RDTR dan RTRK (Zoning Regulation) sebagai dasar hukum pengaturan tata ruang Kota
Makassar yang lebih detail atau terinci. Untuk menjamin efektifitas suatu aturan perlu
diefektifkan sanksi pidana dengan demikian keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sangat
diperlukan sebagai sebuah lembaga yang menilai suatu izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan
oleh pejabat pemerintahan.
KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DAN PERUBAHAN ORGANISASI
Peran utama kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Pengembangan organisasi merupakan suatu kegiatan mengadakan
perubahan secara berencana yang mencakup suatu diagnosa secara sistematis terhadap
organisasi. Seorang pemim pin harus ikut aktif dalam mengatur pelaksanaan kegiatan usaha
pengembangan organisasi. Keberhasilan kegiatan usaha pengembangan organisasi sebagian
besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinannya atau pengelola dan komitmen pimpinan pucuk
organisasi. Kepemimpinan merupakan suatu hal yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin
organisasi. Efektivitas seorang pemimpin ditentukan oleh kepiawaiannya mempengaruhi dan
mengarahkan para anggotanya. Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan mengenai krisis
kepemimpinan. Hal ini terjadi tidak hanya di lingkup organisasi, bahkan juga pemimpin suatu
wilayah bahkan negara. Setiap ada pemilihan kepala daerah memang banyak calon yang
mengajukan diri, namun masyarakat tidak tahu dan bahkan tidak peduli siapa yang akan
dipilihnya. Hal ini terlihat dengan banyaknya orang yang golput dalam pilkada. Hal yang
mengejutkan seperti yang terjadi baru-baru ini di Amerika Serikat, telah terjadi perubahan dalam
suksesi kepemimpinan dengan terpilihnya Obama sebagai Presiden. Obama adalah orang kulit
hitam pertama yang bisa menjadi Presiden AS. Kalau dikaitkan dengan lingkungan yang ada,
maka dalam kepemimpinan saat ini sangat diperlukan kemampuan pemimpin untuk
menyesuaikan dengan perubahan. Kepemimpi nan dan penyesuaian terhadap perubahan yang
ada merupakan tantangan terbesar masa kini bagi seorang pemimpin. Peranan seorang pemimpin
dalam hubungan antar manusia sangat terkait dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan
nya.Seorang pemimpin diharapkan dapat menampilkan gaya kepemimpinan segala situasi
tergantung kondisi dan situasi serta kepada bawahan yang mana. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dari orang-orang yang dipimpinnya. Penelitian lain kepemimpinan
efektif adalah dikaitkan dengan kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba
mengkaji mengenai kepemimpinan 84 Euis Soliha dan Hersugondo Fokus Ekonomi yang efektif
dan perubahan organisasi. Kepemimpinan ini memegang peranan penting dalam suatu
organisasi. Pada kondisi saat ini, seorang pemimpin harus bisa menyesuaikan dengan perubahan
yang ada. Kepemimpinan Menurut Edwin A. Locke (1991) terdapat empat kunci untuk
memimpin dengan sukses yang ditunjukkan dalam model kepemimpinan. Empat kunci ini
adalah: 1. Alasan dan sifat-sifat pemimpin/Motives dan traits. 2. Pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan /Knowledge, Skills, and Ability/KSAs 3. Visi 4. Implementasi dari visi
Kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan orang lain melakukan
tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Terdapat perbedaan kontras antara kepemimpinan dan
diktator. Diktator mengejar pihak lain untuk bertindak dengan kekerasan fisik ataupun ancaman
di bawah kekuatan fisik. Beberapa diktator yakin menggunakan aktivitas karakteristik
kepemimpinan seperti menawarkan visi. Beberapa orang berpendapat bahwa seorang pemimpin
yang efektif dapat menyebabkan pengikutnya secara tidak sadar dengan kemampuan dirinya
berkorban demi organisasi (Bass, 1985 dalam Locke, et al, 1991). Definisi yang lebih baik dari
pemimpin efektif mengerjakan dengan menghargai bawahannya dengan kemampuan diri mereka
dalam mencapai visi yang telah diformulasikan dan bekerja untuk mewujudkannya. Terdapat
beberapa hal bagaimana pemimpin memotivasi bawahan yaitu: 1. Meyakinkan bawahan bahwa
visi organisasi (dan peran bawahan dalam hal ini) penting dan dapat dicapai. 2. Menantang
bawahan dengan tujuan, proyek, tugas, dan tanggung jawab dengan memperhitungkan perasaan
diri bawahan akan sukses, prestasi, dan kecakapan. 3. Memberikan penghargaan kepada
bawahan yang berkinerja baik dengan penghargaan, uang, dan promosi. Kepemimpinan berbeda
dengan manajemen. Kunci dari kepemimpinan adalah membangun visi dasar (tujuan, misi,
agenda) suatu organisasi. Sedangkan kunci manager adalah mengimplementasikan visi. Manager
dan bawahan bertindak dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir. Gambar 1 Model
Kepemimpinan Sumber: Locke, et al, 1991 Motives and Traits KSAs Vol. 7, No. 2, 2008 Fokus
Ekonomi 85 Alasan/motives adalah keinginan yang menyebabkan orang untuk bertindak. Inti
motives kepemimpinan adalah: 1. Dorongan/drive. Merupakan variasi yang berhubungan
walaupun tidak sama dengan motives. Sebagai contoh : restasi achie ement. Seorang psikologis
Bernard Bass, 1990 dalam Locke, et al, 1991 memberikan tinjauan dari 28 studi dan adanya
penemuan kejadian bahwa keinginan untuk berprestasi adalah faktor penting untuk memotivasi
diantara pemimpin yang efektif. Mc Clelland, 1965 dalam Locke, et al, 1991 juga melakukan
riset kebutuhan untuk berprestasi dan menemukan bahwa hal ini merupakan penyebab penting
diantara kesuksesan entrepreneurs. Ambisi berhubungan dengan motif kepemimpinan yang
meliputi dorongan. Energi diperlukan pemimpin untuk mempertahankan dorongan mencapai
prestasi yang tinggi dan mencapai keberhasilan dalam organisasi. Ketahanan/Tenacity adalah
motif yang melibatkan energi untuk mempertahankan tujuan serta mengarahkan ketika
berhadapan dengan rintangan-rintangan. Inisiatif adalah motif yang mendorong pemimpin efektif
untuk mengambil jalan yang proaktif daripada reaktif dalam pekerjaan (Bass, 1990; Boy, 1982;
Kouzes and Posner, 1987 dalam Locke, et al, 1991). 2. Motivasi Kepemimpinan. Pemimpin yang
efektif seharusnya ingin memimpin. Motivasi kepemimpinan meliputi keinginan untuk
mempengaruhi pihak lain. Terdapat 2 macam motivasi kepemimpinan yaitu: personalized power
motive, adalah pemimpin yang mencari kekuasaan sebagai tujuan akhir dan sosialized power
motive, adalah pemimpin yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai tujuan atau
visi yang diinginkan. Inti dari sifat-sifat/ traits pemimpin adalah: 1. Kejujuran / Integritas atau
Honesty / Integrity. 2. Kepercayaan diri/Self-Confidence 3. Originality/Creativity 4.
Flexibility/Adaptability 5. Charisma Keahlian teknologi sering memfasilitasi kemampuan untuk
memimpin organisasi. Pengetahuan pada organisasi dan industri merupakan faktor yang lebih
penting daripada pendidikan formal (Gabarro, 1987; Kotter, 1988 dalam Locke, et al, 1991).
Keahlian/Skills pemimpin terdiri dari: 1. People skills/interpersonal skill terdiri dari: listening,
oral communication, networkbuilding, conflict management, and assessing self dan lainnya
(Bray, Campbell, and Grant, 1974; Dunnette, 1971; Kotter, 1982; Yukl, 1989 dalam Locke, et al,
1991) 2. Management Skills. Keahlian administratif adalah penting dalam fungsi managemen
tradisional yang memfasilitasi aktivitas sehari-hari pada organisasi. Keahlian managemen yang
efektif dikembangkan oleh Boyatzis, 1982 dalam Locke, et al, 1991 merupakan keahlian dalam
penyelesaian masalah, termasuk logika berpikir dan konseptualisasi. 3. Kemampuan/Ability
pemimpin. Kemampuan kognitif (kecerdasan) adalah asset pemimpin karena pemimpin harus
mencari, mengintegrasi, dan menginterpretasikan sejumlah besar informasi. Fungsi kunci
seorang pemimpin adalah membangun visi organisasi dan mengkomunikasikan kepada bawahan.
Terdapat beberapa karakteristik dari pernyataan visi yaitu: ringkas, jelas, abstrak, menantang,
orientasi ke depan, stabilitas, dan disenangi. Kebijakan dan prosedur yang spesifik diperlukan
untuk mengimplementasikan visi ini terdiri dari enam kategori yaitu: 1. Menstrukturisasi 2.
Menyeleksi, melatih, dan menyesuaikan diri bawahan 3. Memotivasi bawahan 86 Euis Soliha
dan Hersugondo Fokus Ekonomi 4. Mengelola informasi 5. Membangun tim 6. Perubahan
kemajuan Masalah kepemimpinan selalu memberi kan kesan menarik dari waktu ke waktu.
Kepemimpinan ini memainkan peran penting dalam berbagai aktivitas organisasi. Dalam
kepemimpinan ini, seorang pemimpin harus memberikan pengarahan-pengarahan terhadap
usaha-usaha semua bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Higgs (2003) mengungkapkan
bahwa terdapat empat hal yang sering menjadi bahasan dalam berbagai literatur terkait dengan
peran pemimpin yaitu: 1. Perubahan dalam nilai-nilai sosial 2. Perubahan fokus investor 3.
Tantangan dalam melaksanakan perubahan organisasi 4. Kesadaran terhadap dampak stress bagi
karyawan. Terdapat banyak teori maupun pendekatan dalam kepemimpinan. Beberapa ahli
membedakan kepemimpinan menjadi dua yaitu: kepemimpinan transformational dan
transaksional. Pada dasarnya kepemimpinan transaksional dan transformasional merupakan dasar
dari sebuah gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan tersebut pada beberapa dekade terakhir
muncul sebagai fenomena dan dirasakan memiliki dampak positif terhadap beberapa aspek yang
dapat meningkatkan efektivitas organisasi. 1. Kepemimpinan Transaksional. Kepemimpinan
transaksional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan yang berlandaskan pada adanya
pertukaran atau adanya tawar menawar antara pemimpin dan bawahannya. Menurut Burns
(1978) dalam Muchji dan Priyono (2004), kepemimpinan transaksional adalah motivasi pengikut
terutama melalui dasar pertukaran reward. Reward tersebut dapat berupa bonus atau peningkatan
gaji atau penghargaan lainnya. Pada dasarnya kepemimpinan transaksional lebih mengacu pada
dua faktor utama yang menjadi ciri kepemimpinan transaksional, yaitu: - Contingent Reward,
yaitu pemberian imbalan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan bawahan. Hal ini merupakan
bentuk pertukaran yang aktif antara pimpinan dan bawahan, artinya bawahan akan mendapatkan
imbalan atau tujuan yang dapat dicapainya dan tujuan tersebut telah disepakati bersama antara
pimpinan dan bawahan. - Management by exception, adalah merupakan transaksi yang aktif dan
pasif. Aktif adalah pemimpin secara terus menerus melakukan pengawasan terhadap
bawahannya. Pengawasan tersebut dilakukan agar bawahannya memiliki kinerja yang baik dan
untuk mengantisipasi adanya kesalahan. Sedangkan pasif berarti intervensi dan kritik serta
koreksi akan dilakukan oleh pemimpin setelah kesalahan terjadi, pemimpin akan menunggu
semua proses dalam tugas selesai baru kemudian menentukan ada atau tidaknya permasalahan
Dengan kepemimpinan transaksional maka pemimpin mendorong bawahannya mencapai tingkat
kinerja yang disepakati bersama dan keduanya bersama-sama menepati kesepakatan tersebut. 2.
Kepemimpinan Transformasional. Dalam kepemimpinan transformasional pertukaran yang
terjadi antara bawahan dan pimpinan tidak sekedar pertukaran seperti yang terjadi pada
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional juga melibatkan pengembangan
hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dengan pengikut. Dengan kepemimpinan
transformasional, pemimpin membantu pengikut untuk melihat kepentingan yang lebih penting
daripada kepentingan mereka sendiri demi misi dan visi organisasi atau kelompok. Dengan
mengembangkan kepercayaan diri, keefektifan diri, dan harga diri pengikut, diharapkan
pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat pada tingkat identifikasi, motivasi, dan pencapaian
tujuan Vol. 7, No. 2, 2008 Fokus Ekonomi 87 pengikut. Menurut Bass dan Avolio (1990) dalam
Muchji dan Priyono (2004), ada 4 unsur yang mendasari kepemimpinan transformasional yaitu: -
Charisma: kharismatik pada pemimpin transformasional didapatkan dari pandangan pengikut,
sehingga seorang pemimpin yang berkharisma akan mempunyai banyak pengaruh dan dapat
menggerakkan serta dapat mengilhami bawahannya dengan suatu visi yang dapat diselesaikan
melalui usaha keras. - Inspiration: pemimpin yang inspirasional dapat mengartikulasikan tujuan
bersama serta dapat menentukan suatu pengertian mengenai apa yang dirasa penting serta apa
yang dirasakan benar, sehingga pemimpin dapat mempertinggi arti serta meningkatkan harapan
yang positif mengenai apa yang perlu dilakukan. - Intellectual stimulation: para pemimpin
membantu bawahannya untuk dapat memikirkan mengenai masalah-masalah lama dengan cara
baru. - Individualized consideration: seorang pemimpin harus mampu untuk memperlakukan
bawahannya secara berbeda-beda namun adil, yaitu mampu memperhatikan satu persatu
bawahannya dan tidak hanya mengenali kebutuhannya serta meningkatkan perspektif bawahan,
namun juga memberikan prasarana dalam rangka pencapaian tujuan secara efektif serta memberi
pekerjaan yang memberikan tantangan yang lebih. Pada kepemimpinan transformasional,
bawahan akan melakukan pekerjaan yang melebihi apa yang telah ditetapkan, hal ini
dikarenakan adanya pengaruh dari pimpinannya. Kepemimpinan yang Efektif Menurut Locke, et
al, 1991 kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan orang lain
melakukan tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan definisi ini terdapat tiga
elemen dalam kepemimpinan yaitu: 1. Kepemimpinan adalah konsep hubungan. Keberadaan
kepemimpinan hanya dalam hubungan dengan pihak lain yang disebut pengikut. 2.
Kepemimpinan adalah sebuah proses. Dalam memimpin, pemimpin harus mengerjakan sesuatu.
3. Kepemimpinan membutuhkan penyebab untuk bertindak. Pemimpin menyebabkan
pengikutnya untuk bertindak dengan berbagai cara seperti menggunakan otoritas kekuasaannya,
restrukturisasi organisasi, dan lain-lain. Dalam model kepemimpinan Locke, et al, 1991, terlihat
bahwa faktor yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah alasan dan sifatsifat/motives dan traits
serta knowledge, skills, dan ability/KSAs yang diperlukan untuk membangun visi dan
mengimplementasi visi. Disini pendekatan yang digunakan Locke adalah pendekatan sifat. Yukl
(1989) menyatakan bahwa dalam kepemimpinan juga terdapat pendekatan kekuasaan, perilaku,
dan situasional selain pendekatan sifat. Sedangkan menurut Yukl (1989) kepemimpinan
didefinisikan dalam terminologi sifat-sifat/traits individual, perilaku pemimpin, pola interaksi,
peran hubungan, persepsi bawahan, pengaruh lebih pada bawahan, pengaruh pada tujuan tugas,
pengaruh pada budaya organisasi. Yukl (1989) mengungkapkan mengenai studi kepemimpinan
dengan berbagai macam pendekatan: 1. Pendekatan pengaruh kekuasaan. Mintzberg, 1983 dalam
Yukl, 1989 memparalelkan analisis level mikro kekuasaan individual dengan analisis level
makro kekuasaan pada sub unit dan koalisi organisasi. Pada level ini, 88 Euis Soliha dan
Hersugondo Fokus Ekonomi kepemimpinan efektif sering dievaluasi dalam adaptasi organisasi
dengan perubahan lingkungan. Sejumlah posisi kekuasaan untuk kepemimpinan yang efektif
bergantung pada sifat alami organisasi, tugas, dan bawahan. French dan Raven dalam Yukl
(1989) mengajukan lima basis kekuasaan yaitu: - Kekuasaan Legitimasi: kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi orang lain karena posisinya. - Kekuasaan Imbalan: kekuasaan yang
didasarkan atas kemampuan seseorang untuk memberi imbalan kepada orang lain (pengikutnya)
karena kepatuhan mereka. - Kekuasaan Paksaan: kekuasaan hukuman. Hukuman adalah segala
konsekuensi tindakan yang dirasakan tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya.
Pemberian hukuman kepada seseorang dimaksudkan juga untuk memodifikasi perilaku,
menghukum perilaku yang tidak baik/merugikan organisasi dengan maksud agar berubah
menjadi perilaku yang bermanfaat. - Kekuasaan Ahli. Seseorang mempunyai kekuasaan ahli jika
ia memiliki keahlian khusus yang dinilai tinggi. - Kekuasaan Panutan. Banyak individu yang
menyatukan diri atau dipengaruhi oleh seseorang karena gaya kepribadian atau perilaku orang
yang bersangkutan. Karisma orang yang bersangkutan adalah basis kekuasaan panutan. 2.
Pendekatan Perilaku. Pendekatan ini menekankan bahwa pemimpin dan manager secara nyata
bekerja untuk pekerjaan dan hubungan keefektifan managerial. Studi Hundreds menguji korelasi
pemimpin initiating structure dan consideration dengan kepuasan dan kinerja bawahan. Sejumlah
studi menemukan hubungan antara perencanaan dan keefektifan managerial, walaupun
perencanaan yang efektif biasanya tidak formal dan fleksibel daripada formal dan kaku (Carroll
&Gillen, 1987; Kanter, 1983; Kotter, 1982; Yukl, Wall, & Lepsinger, 1988 dalam Yukl, 1989).
Beberapa tipe perilaku managerial ditemukan berhubungan dengan keefektifan managerial. 3.
Pendekatan Sifat. Pendekatan ini menekankan pada atribut personal seorang pemimpin.
Penelitian sekarang mencoba untuk menghubungkan siat dengan syarat-syarat peran yang
spesifik pada perbedaan tipe posisi managerial. Penelitian McClelland dan yang lainnya
menemukan kejadian bahwa pemimpin yang efektif secara luas, hirarki organisasi cenderung
mempunyai kebutuhan kekuasaan yang kuat, kebutuhan untuk berprestasi yang kuat, dan relatif
kebutuhan afiliasi lebih lemah. Manager yang efektif mempunyai orientasi kekuasaan
bersosialisasi dengan kematangan emosi yang tinggi. 4. Pendekatan Situasional. Pendekatan ini
menekankan pentingnya faktor kontekstual seperti otoritas, kebijaksanaan pemimpin, sifat alami
pekerjaan yang dilakukan oleh unit pemimpin, atribut bawahan, dan sifat alami lingkungan
eksternal.