Anda di halaman 1dari 53

1.

Filosofi dan Ideologi Pendidikan


Tiga Pendekatan ke Filosofi Pendidikan
Para pengembang ilmu dan pembelajar menyetujui bahwa rumusan John
Dewey tentang sebuah filosofi dalam kejadian yang belakangan mengandung
banyak kebenaran yakni serangkaian pandangan menyeluruh dalam garis besar
sesuatu yang umum berada di puncak ketidak jelasan yang bermakna, jenis
penyederhanaan yang memungkinkan seseorang mengatur perilakunya secara
meyeluruh secara sistematis serta ketidakmantapan dan pertentangan diri yang
sekecil-kecilnya, jika kemampuan untuk merumuskan itu merupakan
perkembangan tertinggi dan paling sistematis dalam penalaran manusia, maka
filosofi pendidikan sangat penting dan vital. Sesuatu yang sulit dalam membuat
filosofi yakni dengan cara lama telah didekati dalam dua cara mendasar yaitu:

1. Filosofi pendidikan menjadi sebuah proses aktif yang selalu dilakukan


dan di ambil melalui analisis problema atau pendekatan analitis yaitu
tidak adanya upaya untuk merumuskan filosofi pendidikan tertentu dan
ditekankan pada berfilosofi dengan problema-problema pendidikan
tertentu sesuai situasi teoritis yang berhubungan dengan tujuan atau
sasaran pendidikan, sifat kurikulum, atau metoda-metoda pengajaran
dan kegiatan belajar yang memasuki analisis intelektual yaitu ranah
kognitif.
2. Pendekatan problema intinya bersifat netral setidaknya lebih obyektif
ketimbang pendekatan-pendekatan yang lebih sistematis terhadap
filosofi pendidikan, karena analisis problema hanya menggunakan
criteria dalam (internal), misalnya kemantapan atau konsistensi logis
dan kejernihan bahasa (linguistic).Ada dua hal yang menunjukkan
bahwa analisis filosofis lebih sekedar dari berfilosofi tentang
problema. Pertama, ia menganalisis pernyataan atau gagasan tertentu
yang telah di pilih, yang sudah lebih dulu dikenalinya sebagai
pernyataan atau gagasan yang relevan dan problematik. Langkah ini
sudah melibatkan prakiraan-prakiraan filosofis. Kedua, jika ia
melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menjernihkan makna
kebahasaan serta logika, ia akan terlibat dalam menentukan nilai
(mengevaluasi) kebenaran sebuah pernyataan atau gagasan. Di sini
sang analisis problema akan melakukannya berdasarkan prakiraan-
prakiraannya sendiri tentang bukti-bukti apa yang perlu ada untuk
menunjukkan bahwa pernyataan atau gagasan tadi benar, atau salah.
a. Jenis analisis filosofis semacam ini melibatkan diri dengan satu atau lebih
pendekatan ini yaitu:
1. Analisis semantik, di mana upaya dilakukan pertama-tama untuk
menjernihkan makna istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan tertentu
yang dipakai dalam wacana pendidikan.
2. Analisis rasional, di mana yang dilakukan pertama-tama menentukan
apakah sebentuk penalaran tertentu yang bersifat logis atau masuk akal
dan tersusun dengan tepat (koheren) ataukah tidak.
3. Analisis empirik, di mana intisari upayanya diarahkan ke penentuan
apakah pernyatan tertentu biasa terbukti nyata (factual) berdasarkan
tatacara pembuktian (verifikasi) eksperimental yang sudah diterima
dengan metode ilmiah.
4. Sebagai sebuah pendekatan system formal di mana system-sistem
mendasar dalam filosofi misalnya realism dan idealism di terapkan ke
dalam pendidikan.Pendekatan ini paling umum digunakan untuk
mendekati filosofi pendidikan adalah melalui pendekatan system-
sistem formal atau system-sistem filosofis sebagaimana diterapkan
dalam pendidikan ini dipakai oleh J. Donald Butler dalam bukunya
Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion
(Empat Filosofi serta Praktiknya dalam Pendekatan dan Agama).
Metode ini seara tradisional menerina system-sistem filosofi(seperti
ideaisme, realism, eksistensialisme, dan pragmatism) yang dikenali dan
dirumuskan, sementara implikasi-implikasinya terhadap
pengorganisasian dan pelaksanaan pendidikan dikembangkan secara
sistematis.
b. Pendekatan ini biasanya diterapkan dalam tiga langkah:
1. Pengidentifikasian (pengenalan) siste-sistem filosofis mendasar
(seperti realism atau idealism).
2. Pemberian contoh system-sistem filosofis tadi, biasanya dengan
cara menyajikan filosofi seorang atau lebih jurubicara tertentu bagi
tiap system (misalnya filosofi Aristoteles sebagai sebuah contoh
realism klasik.
3. Penyajian filosofi pendidikan yang diimplikasikan atau dicakupdi
dalam berbagai system filosofi itu (umpamanya, diskusi tentang
perenialisme pendidikan biasanya dikaitkan dengan Aristoteles,
sang realis klasik tadi).
Dalam buku J. Donald Butler, ia merangkum posisi seorang idealis dalam
kaitannya dengan filosofi pendidikan seperti tertuang di bawah ini:
1. Guru adalah pencipta lingkungan pendidikan siswa dan merupakan
sumber ilham baginya.
2. Sebuah cara yang penting dan berharga di mana tanggapan siswa
dilahirkan adalah melalui kegiatan yang bersifat meniru (imitatif),
khususnya jika diarahkan oleh para panutan dalam hal karya kreatif
serta kepribadian guru yang budiman.
3. Batu pijakan lain kea rah tanggapan siswa adalah ketertarikan. Lebih
baik jika ketertarikan menjadi dasar sebagian besar kegiatan siswa.
Terkadang, tentu saja, ia harus disertai dengan usaha keras siswa itu
sendiri untuk menerapkannya. Dan sesekali usaha tadi mungkin perlu
diperkuat dengan penekanan disiplin dari luar diri siswa.
4. Di segenap tindakan guru, hasil yang musti dicapainya adalah
tanggapan aktif dari mereka yang belajar (siswa). Hanya jika diri siswa
menjadi terikat pada kegiatan-kegiatan dengan inisiatifnya sendiri,
maka pertumbuhan dan pembanguan diri dapat dimulai.
5. Sedangkan mengenai kurikulum, jika ingin mencapai kemantapan
dalam pendidikan serta dalam diri para siswa, harus ada banyak isi
kurikulum yang obyektif serta banyak buku ajar. Namun jika
pendidikan tidak dikehendaki untuk sekedar menjadi pembagian
pengetahuan, maka kurikulum haruslah lebih dari buku-buku ajar dan
mata pelajaran pun harus mencakup kaitan pengalaman langsung
dengan aktualitas.
6. Metoda-metoda pengajaran musti digunakan sedemikian rupa sehingga
menciptakan sekilas perasaan tegang (suspense) dalam diri siswa,
ketegangan yang hanya bisa terpecahkan melalui keputusan atau usaha
aktifnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan dan diskusi-diskusi akan
sangat berguna bagi tujuan ini, tetapi juga besar manfaatnya bila di
berikan petunjuk-petnjuk yang mantap, misalnya lewat ceramah, juga
pengarahan kegiatan siswa, seperti dalam berbagai proyek yang
melibatkan karya konstruktif dan kreatif).
Orang-orang yang memilih untuk menggunakan pendekatan system-
sistem formal cenderung lebih menyukai hubungan-hubungan yang tidak terlalu
langsung antara berbagai system filosofis dengan teori pendidikan. Metode ini,
berupaya untuk menemukan kesesuaian antara berbagai system filosofis di satu
sisi, di sisi lain ia berusaha menemukan teori-teori yang disebut filosofi-filosofi
pendidikan yang jauh lebih tak terbatas teori-teori yang dipandang memiliki
implikasi-implikasi yang lebih khusus bagi praktik pendidikan yang berada di
tingkat sangat kurang abstrak.
Di balik kedok filosofi-filosofi pendidikan yang kurang lebih
mengandung warna pendirian (keyakinan-keyakinan, prakiraan-prakiraan pribadi)
orang yang berfilosofi itu. Istilah metafisika kerapkali digunakan dalam dua arti
mendasar dalam filosofi. Pertama, ia merujuk kepada satu dari persoalan-
persoalan atau topic-topik yang dikaji dalam filosofi sistematis, yang rumusan
tradisionalnya adalah pertanyaan-pertanyaan tentang apakah kenyataan tertinggi
itu, dan apakah kebenaran puncak itu. Di sisi lain, istilah metafisika juga kadang
dipakai untuk menggambarkan sebuah posisi metafilosofis yang mencakup
sejumlah system filosofi formal yang berbeda-beda. Sebuah system filosofi
metafisis umumnya dipandang sebagai system yang berlandaskan pada prakiraan
utama bahwa intisari segala sesuatu mendahului dan menentukan keberadaannya
(esensi mendahului dan menentukan eksistensi). Yakni bahwa ada beberapa
makna mutlak (entah itu adikodratiah/transenden ataukah kodratiah/imanen) telah
ada sebelum, dan melahirkan, seluruh pengalaman personal (karenanya juga
seluruh pengetahuan personal). Dalam berbagai kalangan filosof, istilah
metafisika menjadi agak kontroversial karena berbagai alasan. Alasan-alasan
utamanya barangkali adalah :
a. Banyak filosof kontemporer menolak anggapan bahwa kebenaran
tertinggi (yang mutlak, yang final) itu ada.
b. Karenanya kebanyakan filosof tadi juga menolak filosofi-filosofi
metafisis (dalam arti yang tadi sudah disebutkan), serta
menganggapnya sebagai pendekatan yang tidak sahih terhadap
makna.

Ada dua filosof yang berselisih pendapat bahwa perspektif para filosof
relatifistis menyatakan bahwa keberadaan mendahului dan menentukan intisari
(eksistensi mendahului dan menentukan esensi). Yakni bahwa pengalaman
personal ada sebelum dan melahirkan, seluruh pengetahuan ini merupakan sikap
yang berlawanan secara logis dengan sikap metafisis. Mereka tidak terlalu senang
bahwa penolakan mutlak mereka atas metafisisme (malah) dianggap sebagai
sebuah prinsip metafisis. Mereka mengikuti corak-corak aliran Betrand Russel
mereka mempertahankan pandangan bahwa sebuah komitmen mutlak (seutuhnya)
terhadap aliran relativisme bukanlah sebentuk kemutlakan (tiada terbatas) kecuali
dalam tingkat semantik atau arti kata saja, karena mereka membuat batas-batas
wacana yang benar pandangan istilah relatifistis yang ketat dan karenanya
membentuk sebuah batas tanpa tanda yang lebih jauh merintangi atau bersifat
paradoksal atau bertentangan). Relatifistis merupakan cabang dari aliran
absolutism yaitu sama menekankan suatu (kemutlakan) atau tiada terbatas.
Relatifistis menganggap absolutisme sebagai kategori yang lebih besar dan lebih
mencakup.
Perselisihannya adalah pertama, beberapa filosof menganggap mereka
meninggalkan berbicara tentang system-sistem formal filosofi, dan lebih
memusatkan perhatian mereka pada pendekatan analisis problema. Kedua
sebagian filosof lainnya mulai menggunakan sebuah istilah yang lebih
tergeneralisasikan atau penyamarataan lagi yaitu Ontologi. Ontologi
menggambarkan setiap penyelidikan terhadap hakikat (tindakan) ‘mengetahui’
dan hakikat yang diketahui (pengetahuan itu sendiri). Termasuk tindakan menilai.
Ontologi menempati ruang-ruang konvensional atau yang lazim ditempati oleh
metafisika (Apakah yang tertinggi atau asal yang bisa diketahui?), epistemology
lebih membahas cara (bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu?) dan aksiologi
(apa hakikat tertinggi dari nilai sesuatu?).Ini memiliki keuntungan, yakni
menyediakan sebuah label khusus bagi jenis spekulasi atau pemikiran tentang
hakikat tertinggi dari kenyataan yakni:

1. Tidak mengisyaratkan tindakan mengetahui (knowing), pengetahuan


itu sendiri (knowledge), dan tindakan menilai (valuing), dapat didekati
sebagai persoalan-persoalan yang terpisah dan/atau bias dipisah-pisa
2. Menilik makna meta dalam istilah metafisika: melampaui, lebih dari
dalam istilah Ontologi dalam hal ini tidak menyiratkan konotasi atau
arti tambahan bahwa adalah mungkin mencapai kesimpulan yang
berada di luar, melampaui, atau melebihi pengamatan personal atau
setidaknya, melampaui pengalaman personal yang, sebagaimana
pandangan ilmu pengetahuan modern secara konvensional yang
biasa/lazim, di pandang sebagai sebuah fenomena yang intisarinya
psikobiologis (bersifat kejiwaan sekaligus ragawi).

Metafisika bersifat kontroversial, namun di dalam cakupan ontology akan


di pakai istilah-istilah metafisika, epistemology dan aksiologi sebagai istilah-
istilah yang berguna untuk membeda-bedakan cabang kajian di dalam khazanah
ontologism, tanpa menganggap ketiganya saling terpisah.

Filosofi-Filosofi yang Berkembang dan yang Tidak Berkembang.


Makin dikembangkan, makin terumuskan dengan pasti (definitif), dan
makin memiliki ruang lingkup luas dan lengkap (komprehensif), sebuah filosofi
akan semakin mungkin mengisyaratkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang
jelas, jernih, langsung.
Di sisi lain, hampir mustahil memaparkan, menjelaskan ataupun
meramalkan praktik-praktik pendidikan secara khusus berdasarkan system filosofi
umum seperti realisme atau eksistensialisme. Ini terjadi karena posisi-posisi tadi
dinamai sistem-sistem umum pertama-tama justru karena kenyataan bahwa
mereka gagal menelurkan pernyataan-pernyataan yang pasti (definitive) mengenai
problema-problema khusus. Mereka tidak merumuskan kebijakan-kebijakan moral
tertentu. Lantaran itulah mereka gagal mengembangkan diri di wilayah-wilayah
teori perantara (intermediate theory) seperti misalnya filosofi moral, filosofi
politik, yang berperan sentral bagi pengembangan filosofi pendidikan yang
efektif.
Lantaran alasan ini, maka simpulan-simpulan pendidikan dalam system-
sistem filosofi umum barangkali ditunjukkan secara lebih baik lewat gagasan-
gagasan para filosof yang mewaklinya; seperti Aristoteles di wilayah realisme
tradisional, atau John dewey diwilayah eksperimentalisme. Itu lebih baik daripada
membuat ramalan berdasarkan kesepakatan fundamental atau pokok antara
individu yang saling berbagi orientasi-orientasi filosofis yang sama di tingkat
abstraksi intisari yang sangat tinggi.

Filosofi-Filosofi Pendidikan
Pendekatan ketiga dilandasi keyakinan bahwa adalah mungkin untuk
mengenali dan merumuskan filosofi-filosofi pendidikan adanya terpisah dari
corak-corak filosof lain (yang bukan filosofi pendidikan), bahwa filosofi-filosofi
pendidikan itu setidak-tidaknya dapat dipandang sebagai filosofi-filosofi yang,
secara konseptual, dapat dipisahkan dari system-sistem formal pemikiran filosofis
tradisional.
Dengan kata lain, jika pendekatan system-sistem formal (yang masih
sangat penting perannya dalam filosofi pendidikan) cenderung untuk mengawali
kajiannya dengan kesamaan-kesamaan filosofis tertinggi yang umum, atau dengan
generalisasi atau penyamarataan, baru kemudian baru bergerak ke arah
kekhususan filosofi di bidang pendidikan dengan dasar rujukan rasional; maka
pendekatan filosofi-filosofi pendidikan cenderung untuk meniadakan tatacara
tadi.Ia berawal dari rancangan-rancangan yang lebih khusus, biasanya di wilayah
kajian etika social, yang terkait secara lebih langsung dengan problema-problema
mendasar persekolahan. Kemudian ia menata dan mengorganisir prinsip-prinsip
dan kebijakan-kebijakan itu menjadi system logis gagasan tentang hakikat dan
tujuan pendidikan.
Pendekatan fiosofi-filosofi pendidikan berbeda dalam dua hal mendasar
jika dibandingkan dengan pendekatan yang berpusat pada simpulan-simpulan
pendidikan dalam system-sistem filosofis yang mapan. Pertama, filosofi-filosofi
pendidikan bukan benar-benar merupakan filosofi dalam arti yang umum
dipahami. Mereka tidak dimulai dari sebuah keyakinan-kiyakinan umum yang
tertera (koheren), yang diarahkan kepada pertanyaan tetang filosofis dasar tentang
mengetahui dan pengetahuan. Melainkan para filosof pendidikan menggunakan
teori-teori perantara dari wilayah kajian etika social dan berbagai pertimbangan-
pertimbangan teori ya tidak terlalu abstrak atau rumit sebagai sebuah landasan
penetapan pendekatan menyeluruh terhadap berbagai problema sekolahan. Kedua,
pendekatan filosofi-filosofi pendidikan cenderung cenderung untuk beroperasi di
tingkat yang kurang di agungkan dalam berbagai filosofi utama kontemporer atau
sejaman. Setelah itu kalau diadakan prioritas pilihan baru mereka para pengajar
terlibat prinsip-prinsip filosofis pertama yang betul-betul mendasar yang kerap
kali menggaris bawahi sudut pandang mereka. Pilihan pendekatan filosofi-filosofi
pendidikan cenderung untuk memusatkan perhatian pada dua pertanyaan
mendasar dalam pendidikan yaitu :

a. Hubungan mendasar apakah yang ada antara sekolah dengan masyarakat?


(Bagaimana semestinya sasaran-sasaran pendidikan mengait ke tujuan-
tujuan social menyeluruh?)
b. Apakah implikasi hubungan itu dalam kaitannya dengan sifat dan susunan
(hakikat dan organisasi) pengajaran? (Apa sajakah tujuan-tujuan
pendidikan, dan bagaimana mustinya tujuan-tujuan itu ditanamkan lewat
kurikulum dan petunjuk pengajaran?)

Ideologi dan Pendidikan


Seluruh pendekatan terhadap filosofi pendidikan memiliki keuntungan-
keuntungan masing-masing. Dan jelas bahwa sebagian di antaranya bekerja lebih
baik ketimbang yang lain demi tujuan-tujuan tertentu dan dalam kondisi-kondisi
tertentu. Pendekatan filosofi-filosofi pendidikan menurut skema penggolongan
Brameld seperti aliran perenialisme, esensialisme, progresifisme dan
rekonstruksionisme mungkin merupakan yang paling produktif saat diterapkan
para pendidik profesional. Ada beberapa alasan pembenar penilaian ini. Misalnya,
pendekatan filosofi-filosofi pendidikan tidak menuntut kecanggihan filosofis yang
tinggi ataupun keakraban yang besar dengan gagasan-gagasan filosofis tradisional
dalam diri pengkaji. Yang difokuskan adalah problema-problema teoritis yang ada
di dalam dan di sekitar pendidikan formal, dan ia tidak menyibukkan diri dengan
penentuan implikasi-implikasi praktis dari sengketa filosofis yang lebih besar
dipuncak pencapaian wacana intelektual. Setidaknya sebagai pembanding
pendekatan berfilosofi pendidikan, bentuk filosofi pendidikan memiliki
keuntungan, yakni bias menyajikan model pendekatan-pendekatan pendidikan
mendasar yang tertata dan terorganisir. Kebanyakan orang menggunakan filosofi
pendidikan karena ia menyediakan alat yang mudah diakses dan siap pakai untuk
menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan hakikat dan tujuan
pendidikan. Tetapi bahaya kesalahpahaman terhadap perbedaan-perbedaan
pendidikan jika memakai skema-skema penggolongan yang tajam memang besar
namun ada bahaya lain yang barangkali lebih besar lagi, membuang perbedaan-
perbedaan tadi ke wilayah keterlantaran intelektual, dengan cara menolak
mengembangkan kategori umum apapun juga yang memungkinkan untuk meneliti
perbedaan-perbedaan tadi secara jernih.
Filosofi

1. Metafisika (Teori tentang Kenyataan)


2. Estetika (Teori tentang Keindahan)
3. Epistemologi (Teori tentang Pengetahuan)
4. Aksiologi (Teori tentang Nilai)
5. Logika Formal (Teori tentang Struktur dan Hubungan antara Dalil-dalil
dengan Kebenaran)
6. Logika Empiris (Teori tentang Sumber dan Hakikat Dalil-dalil dengan
Kebenaran)
7. Nilai Personal (Nilai Kejiwaan/Psikologis)
8. Nilai Sosial (Etika)
Ideologi Ideologi Pendidikan
Dalam arti yang sangat praktis, penggunaan istilah ideology bisa berguna
untuk memisah misahkan berbagai konsep yang dirumuskan di sini dari sekian
banyak konsep yang terkait : misalnya essensialisme, perenialisme, dan
progresifisme yang secara konvensional dihubungkan dengan istilah filosofi
pedidikan. Betapapun juga dalam makna yang lebih mendasar, istilah filosofi
pendidikan juga menangkap perbedaan dalam pendekatan-pendekatan mendasar
secara lebih tajam. Istilah ideology entah bagaimana terasa tidak terlalu akademis
serta kurang abstrak dibanding dengan filosofi. Yang disiratkan bukanlah sebuah
tata pengetahuan mendalam, melainkan suatu pola gagasan-gagasan yang lebih
khusus dan dinamis, yang berfungsi sebagai pengarah tindakan soial.

Mengaitkan Filosofi dengan Pendidikan


Sebuah kesulitan untuk merumuskan sebuah generalisasi filosofis
mengenai pendidikan. Secara umum, kesulitan-kesulitan itu dapat dirangkum
sedikitnya ada delapan :

1. Ketidakpastian filosofis dalam sebagian filosof yang dialami memiikiki 2


tau lebih panutan panutan filosofi pendidikan yang berbeda-beda.
Kebanyakan filosof tidak mengubah sudut pandang filosofis mendasar
mereka secara mencolok atau berbelok tajam selama hidup mereka, namun
beberapa diantara mereka telah mengubah filosofi politik mereka.
Perubahan dan variasi filosofi politik kerapkali membawa penyesuaian
yang cukup besar dalam filosofi-filosofi pendidikan pula.
2. Berbagai sudut pandang preskriptif dan deskriptif yang bersifat memberi
petunjuk dan yang sekedar bersifat menggambarkan. Dalam kaitan dengan
ketidaktepatan inkonsistensi yang barangkali kadang terjadi antara
berbagai gagasan seorang pemikir yang diungkapkannya diwaktu-waktu
yang berbeda-beda sepanjang hidupnya, adalah penting untuk
membedakan antara rancangan sang filosof tentang pendidikan di bawah
kondisi-kondisi ideal dengan rancangannya di bawah kondisi-kondisi yang
ada. Para pendidik yang gagal mengembangkan teori pendidikan apapun,
berlainan dari itu beberapa filosof malah mengajukan dua rancangan
sehubungan dengan pendidikan, yaitu sebuah pola ideal. Tapi hal tersebut
merupakan penyesuaian yang harus dilakukan mengingat strategi untuk
menjadikan pendidikan seefektif mungkin dibawah kondisi-kondisi yang
ada yang tidak pasti sempurna.
3. Konteks keadaan dari filosofi merupakan cara penerapan filosofi apapun
dalam persekolahan pasti tergantung kepada berbagai kondisi yang cukup
terpisah dari teori filosofis itu. Hakikat atau sifat situasi yang dihadapinya,
sifat fisik dan kejiwaan dari individu yang menanggapinya (ketajaman
inderawinya, tingkat inteletualitasnya, temperamennya, kemampuannya
untuk menyerap pengetahuan, dan sebagainya), tanggapan kejiwaan
individu terhadap situasi itu, dan seterusnya. Filosofi sebagai filosofi
adalah sebuah sistem terpadu dari gagasan-gagasan umum untuk
memungkinkan seseorang mengorganisir pengalamannya sendiri secara
intelek. Perilaku praktis memungkinkan suatu kompromi atau penyesuaian
yang dipengaruhi sejumlah variable yang cukup terpisah dari pandangan
filosofi berbeda secara personal tersebut. Filosofi mungkin mempengaruhi
cara seseorang menafsirkan atau menguraikan keadaan-keadaan
pendidikan, atau suatu prioritas-prioritas yang dikaitkan pada pola-pola
tindakan di dalam keadaan-keaadaan pendidikan, namun filosofi tidak
musti memainkan peran dalam menciptakan keadaan-keadaan dimana
orang itu bisa menafsirkan dan menilai suatu pendidikan. Dengan kata
lain, ideology-ideologi pendidikan adalah penting dalam penentuan apa
yang akan dilakukan oleh individu dalam hal-hal yang bersangkutan
dengan pendidikan, tetapi idologi-ideologi itu tidaklah memuat semua
petunjuk. Yang mempengaruhi tanggapan individu. Sebagian merupakan
pertimbangan teoritis misalnya pengetahuan si individu mengenai sesuatu
yang akan di ajar, pertimbangan praktis misalnya kelaparan, pendapatan
perkapita yang kurang mencukupi tingkat kebutuhan, mobilitas sosial,
ketidakseimbangan rasial juga berperan sentral dalam menentukan
bagaimana pendidikan diorganisir atau bagaimana ia akan ditata serta
ditangani di suatu saat tertentu. Semua hal di atas pada pokoknya
merupakan pertimbangan-pertimbangan keadaan yang mempengaruhi
bagaimana dan sejauh mana sebuah filosofi tertentu akan
diungkapkan.Atau sebuah filosofi bisa jadi berasal dari kebudayaan dan
menjadi sebuah fenomena budaya, namun ia juga menimbulkan dampak
yang begitu besar sehingga sebenarnya filosofi itu memaparkan pilihan-
pilihan lain yang berbeda dari pembudayaan (alkuturasi).
4. Etnosentrisme dan ideologi merupakan sebagian ideology pendidikan
lebih bersifat bebas secara budaya (dalam arti kurang terikat dengan
keadaan-keadaan budaya tertentu di suatu saat tertentu. Intinya bahwa
sudut pandang intelektualis, sekali ia ditetapkan lantas menjadi penentu
(determinan) yang akan kurang kaku dalam hubungannya dengan
pengalaman budaya berikutnya, jika dibandingkan dengan ideology-
ideologi lain, ini disebabkan oleh dasarnya yang berada pada prakiraan-
prakiraan yang luas, yang umum dalam budaya Barat, lebih dari
landasannya pada keyakinan-keyakinan tertentu dari masyarakat-
masyarakat tertentu di dalam budaya Barat sebagaimana adanya (atau
bagaimana pernah ada) di titik kesejahteraan kapan pun.
5. Filosofi-filosofi pendidikan yang langsung dan yang tidak langsung itu
adalah karena tidak semua filosofi secara terbuka memuat kajian tentang
pendidikan, karena itu banyak filosofi pendidikan yang merupakan
penarikan (inferensi) dan peramalan (ekstrapolasi) berdasarkan filosofi
yang relative murni yang hanya menyebut sekilas persoalan belajar
mengajar. Yang memungkinkan penarikan praktik-praktik pendidikan dari
berbagai prakiraan filosofis mendasar yang berlaku dan yang sesuai.
Dalam beberapa kasus, adalah kenyataan bahwa filosofi pendidikan
terserat (secara implicit) di dalam sistem-sistem filosofi yang paling
berkembang. Meski yang sebaliknya tidaklah musti benar bahwa mungkin
saja untuk merasionalisasikan (menalar) alasan-alasan filosofis demi
mengabsahkan atau membenarkan praktik-praktik pendidikan yang lahir
terutama dari kebijaksanaan. Hubungan semacam itu dapat di paparkan
sebagai berikut :
a. Apa yang paling baik adalah yang paling benar (dalam arti bahwa ia
berfungsi sebagai kriteria untuk menilai perilaku selanjutnya) dank
arena itu harus dilakukan.
b. Bahwa apa yang oleh masyarakat diyakini sebagai benar (atau yang
secara moral lebih disukai), ketika dipandang dalam kaitan dengan
kondisi-kondisi yang ada, menyediakan landasan bagi kebijakan-
kebijakan moral khusus.
c. Kebijakan-kebijakan moral khusus, yang ditafsirkan dalam kondisi-
kondisi yang ada, melahirkan rekomendasi-rekomendasi bagi praktik-
praktik moral tertentu, sama halnya dengan merekomendasikan sejenis
kondisi-kondisi tertentu (termasuk lembaga-lembaga sosial seperti
misalnya sekolah-sekolah yang dirancang untuk melestarikan dan
mempromosikan praktik-praktik moral semacam itu.
6. Filosofi-Filosofi yang Terlalu Umum atau Terlalu Khusus yaitu filosofi-
filosofi atau sistem-sistem filosofi tertentu bisa jadi terlalu umum atau
terlalu khusus untuk menjadi landasan yang memuaskan bagi filosofi
pendidikan benar-benar efektif. Ada dua kesulitan utama yaitu muncul
pada saat orang melacak implikasi-implikasi pendidikan yang dihubngkan
dengan berbagai sudut pandang filosofis yang mendasar. Yang pertama,
suatu kasus di mana ada sebuah filosofi politik ini tidak terkait secara
koheren dengan rangkaian antara filosofis yang melandasinya. Sementara
filosofi politik itu sendiri adalah sebuah landasan yang perlu ada untuk
teori pendidikan, ia tidak menyediakan pondasi yang cukup (memadai)
bagi penyusunan serangkaian prinsip pendidikan yang sunggguh-sungguh
tepat. Kesulitan yang kedua adalah di mana ada sebuah landasan filosofis
yang meyakinkan namun cara pandang dunia yang amat abstrak ini tidak
cukup jelasmencakup pertimbangan-pertimbangan menyeluruh tentang
berbagai pernyataan filosofis politis. Kesulitan muncul dalam
eksistensialisme yang timbul terutama dari kenyataan bahwa filosofi tadi
terlau abstrack, lantaran juga terlalu kabur, untuk bisa diterapkan secara
langsung pada berbagai persoalan tentang pendidikan. Adalah penting
untuk membuat hakikat filosofi politik yang diisyaratkan dalam
keseluruhan pandangan-pandangan dunia filosofi umum tersebut, baru
kemudian menggunakan rujukan-rujukan politis tadi sebagai landasan bagi
spekulasi yang lebih luas lagi, yakni tentang pendidikan.
7. Problema hubungan antaa teori dan praktik.melainkan tidak ada hubungan
satu lawan satu lawan satu antara filosofi umum, misalnya realism
eksperimentalisme) dengan praktik-praktik pendidikan. Sistem-sistem
sosial dan etis yang sama atau hampir sama kadang-kadang muncul dan
prinsip-prinsip filosofis pertama yang jauh berbeda. Penerjemahan filosofi
sosial ke filosofi pendidikan, terbatas hampir sepenuhnya pada tataran
kebijakan-kebijakan pendidikan, dan biasanya tidak meluas ke praktik-
praktik pendidikan, dan biasanya tidak meluas ke praktik-praktik
pendidikan. Prinsip-prinsip filosofis (meski dalam tingkat abstraksi
menengah, seperti dalam etika sosial ) mengarah kea rah kebijakan-
kebijakan pendidikan lebih khusus dan berorientasi pada persoalan namun
ada perbedaan besar antara kebijakan-kebijakan pendidikan, yang
berfungsi sebagai penyalur kategori-kategori perilaku yang luas melintasi
sebuah wilayah situasi-situasi yang sama atau serupa, dengan praktik-
praktik pendidikan, yang menggambarkan apa yang benar-benar dilakukan
dalam menanggapi problema-problema tertentu.
8. Kebenaran dari nilai : praktik dari praktik. Ungkapan intelektual
tradisional bahwa semua praktik merupakan praktik dari teori tertentu,
kebanyakan praktik sama sekali tidak didasarkan pada teori apapun juga.
Justru kebanyakan praktik entah itu pendidikan ataupun lainnya semata-
mata merupakan perluasan dari praktik utama. Tak peduli apakah hasilnya
lebih baik ataukah lebih buruk, kebanyakan orang mempraktikkan praktik
dan bukan mempraktikkan teori. Seluruh praktik merupakan praktik dapat
ditafsirkan berdasarkan teori tertentu, atau seluruh perilaku dapat
diteorikan atau difilosofikan adalah benar.

Hubungan antara Etika Sosial dengan Filosofi Pendidikan

1. Prinsip-prinsip Nilai : Apa yang ideal? (apakah yang memiliki kebaikan


tertinggi?) sebagai landasan bagi, pendidik dan murid.
2. Prinsip-prinsip Moral : Apa pengaruh yang ideal tadi terhadap perilaku
manusia dalam masyarakat? (perilaku apakah yang paling bermoral?
Sebagai dasar pembentukan, karakter dan akhlaq.
3. Kebijakan-kebijakan Moral: Tindakan macam apakah yang diisyaratkan
oleh sistem prinsip-prinsip moral ini bila dilihat dalam kondisi yang ada
sekarang? (Tindakan apa yang praktis? Sebagai dasar bagi, institusi dan
pihak terkait pendidikan.
4. Kebijakan-kebijakan politik : Kondisi-kondisi sosial seperti apa, lembaga-
lembaga apa, dan hubungan antar lembaga yang seperti apakah yang perlu
ada bagi penanaman dan pelestarian kebijakan-kebijakan moral semacam
itu? (Bagaimana moralitas bisa dilembagakan sebagai aspek kelanjutan
masyarakat secara meluas?) sebagai landasan lagi, bagi masyarakat, pihak
berwenang, lembaga swadaya masyarakat, para tokoh dan publik figure
serta dewan pers.
5. Kebijakan-kebijakan pendidikan : Pengetahuan macam apakah yang
diperlukan, dan bagaimana ia dibagikan pada orang lain? Pengetahuan
yang bersifat membangun perkembangan peserta didik dari segi kognitif,
afektif dan psikomotorik harus seimbang.

Hubungan antara Filosofi dengan Filosofi Pendidikan


a. Ontologi (Apa yang tertinggi yang bisa diketahui, dan bagaimana kita bisa
mengetahuinya?) meliputi
b. Aksiologi (Apakah kebaikan tertinggi itu?) mencakup
c. Teori Moral (Apakah perilaku antarmanusia yang baik itu?) tertanam
dalam
d. Filosofi Politik (Apakah Organisasi Sosial yang baik itu?) sebagian
terungkap dalam
e. Filosofi Pendidikan (Pengetahuan macam apa yang diperlukan dan
bagaimana semestinya ia ditanamkan?)
Istilah ontology dipakai untuk mencakup setiap spekulatif yang jelas dan
sistematis mengenai prinsip-prinsip pertama yang berhubungan dengan tindakan
mengetahui (epistemology), apa yang diketahui (metafisika), serta hakikat nilai
(aksiologi). Aksiologi terutama digunakan untuk melambangkan pertimbangan-
pertimbangan nilai personal atau kejiwaan (psikologis) : yakni “ Apa hakikat nilai
personal dan bagaimana mencapainya? “Beberapa teoretisi akan menganggap
bahwa nilai psikologis dan nilai sosial (atau moralitas antarmanusia/interpersonal)
adalah dua hal yang tak terceraikan, bahkan pun di dalam arti perkembangan, dan
akan memasukkan keduanya di bawah rubric umum aksiologi. Tetapi perbedaan
bukan menjadi hal pokok yang penting dalam suatu penalaran tersebut, karena
bagi semua tujuan praktis , istilah- istilah yang dgunakan itu tampaknya kurang
mencukupi. Dalam arti yang sama, filosofi hukum mungkin menjadi perantara
teori moral dengan filosofi politik, tetapi keterkaitan intinya tetap tak berubah.
2. Ideologi-ideologi Pendidikan Sebuah ikhtisar
A. Berbagai Konsep tentang Diri
Pertanyaan mendasar yang ke dua, di mana para filosof moral yang
membela konsep perujudan diri cenderung untuk terbelah pandangannya, adalah
dalam hal batas-batas ontologism diri. Di sini cenderung ada empat sudut pandang
meskipun seperti biasanya dalam hal-hal semacam ini, perbedaan- perbedaannya
terutama bersifat teoritis, dan tidak jarang teoritisi memiliki konsep-konsep
cangkokan (silang) tentang apa yang menyusun diri. Cangkokan silangnya antara
lain:
1. Pendekatan individualistik.
2. Pendekatan yang lebih sosiologis.
3. Pandangan kooperatif.
4. Konsep Teistik.
B. Perujudan dari dan Filosofi Moral.
Secara umum ada enam sudut pandang fundamental tentang bagaimana
caranya hidup secara baik. Ke-enamnya mendominasi kebudayaan barat
kontemporer. Antara lain:
1. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
ketaatan terhadap berbagai tolak ukur (setandar) intuitif
dan/atau.yang terungkap pada keyakinan kepercayaan dari
perilaku.
2. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
pencerahan filosofis dan atau keagamaan yang didasarkan pada
penalararan spekulatif serta kebijaksanaan metafisis.
3. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
ketaatan terhadap berbagai tolok ukur yang mapan
(konvensional) tentang keyakinan dan perilaku.
4. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
kecerdasan praktis ( yakni pemecahan masalah secara efektif).
5. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
pengembangan lembaga-lembaga sosial yang baru dan lebih
manusiawi (Humanistik).
6. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
penghapusan pembatasan-pembatasan kelembagaan, sebagai
sebuah cara untuk memajukan perujudan kebebasan personal
yang sepenuh-penuhnya.
3. Ideologi-Ideologi Pendidikan
Melalui filosofi-filosofi politik mereka yang sejalan, muncullah enam
ideology pendidikan dasar ideology konservatif (fundamentalisme pendidikan,
intelektualisme pendidikan, konservatisme pendidikan), dan tiga ideology Liberal
(Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan, dan anarkisme pendidikan).
Keterkaitan antara berbagai filosofi moral dan politik dengan ideology-ideologi
pendidikan. Antara lain :
A. Beberapa Batasan Sistem Penggolongan. Yaitu Sebagaimana telah
disebutkan, istilah-istilah Liberalisme dan Konservatisme cenderung
untuk mempunyai arti double lantaran keduanya merujuk pada
keseluruhan orientasi filosofi dan politis (Seperti dalam bahasa
percakapan sehari-hari). Kedua istilah tadi juga merujuk pada
orientasi-orientasi pendidikan tertentu dan ideology-ideologi
pendidikan tertentu di dalam, orientasi-orientasi yang lebih
menyeluruh yaitu filosofis dan politis.
B. Kasus yang ke-dua menyangkut istilah fundamentalisme pendidikan.
Ia tidak memuaskan namun istilah-istilah lain yaitu Restorasionisme,
Revivalisme, Popilisme bahkan makin kurang tepat lagi disbanding
Fundamentalisme.

Ada perbedaan-perbedaan yang cukup berarti antara ungkapan-ungkapan


religious dengan ungkapan-ungkapan secular dalam posisi-posisi etika sosial
dasar yang ditampilkan di dalam model ideologi-ideologi pendidikan. Di sisi lain
seperti yang akan di bahas lebih mendalam yakni dalam pendekatan-pendekatan
religious dan secular di dalam satu tradisi-tradisi ideologis yang sama cenderung
melaras dalam rekomendasi mereka bagi tindakan sosial. Dan dalam kebanyakan
kasus, adalah mungkin kita mengesampingkan prinsip-prinsip abstrak yang
panjang lebar yang berkenaan dengan hal-hal yang lebih bersifat metafisis, etika,
filosofi politik, dan teori pendidikan. Dalam kasus ideology-ideologi pendidikan,
dalam tiap posisi dasar liberalism, dan anarkisme ada tradisi secular dan ada
tradisi religious. Namun perbedaan antara secular religious ini cenderung untuk
berada hanya pada tingkat penjelasan filosofis yang melatarbelakangi posisi-posisi
itu. Dalam tiap ideology liberal, ungkapan religious maupun secular cenderung
untuk pada intinya, menyetujui prinsip-prinsip dan praktek-praktek pendidikan
yang sama, meskipun dengan dilatari alasan-alasan yang mungkin berbeda. Ada
perbedaan yang sangat antartradisi religious dengan tradisi secular di dalam
seluruh ideology pendidikan, perbedaan-perbedaan itu umunnya lebih
mempengaruhi retorika ideology ketimbang bobot intisari rekomendasi-
rekomendasi actual di tingkat praktis. Hampir dalam setiap kesempatan, tentang
tanggapan ideology terhadap berbagai tema pendidikan yang didiskusikan
mewakili keberlanjutan (kontinuitas) dan bukan dikotomi. Dengan kata lain,
diluar segelintir perkecualian, ideology-ideologi pendidikan yang di bahas di sini
berbeda terutama dalam derajat, taraf, tingkat, bukan dalam hal jenis. Dalam
kebanyakan kasus, dengan kemungkinan mengecualikan anarkisme pendidikan,
ideology-ideologi tersebut mewakili persepsi-persepsi yang berbeda tentang
problema-problema yang mirip atau sama; misalnya sasaran sekolah atau sifat-
sifat hakiki kurikulum pendidikan. Atau mereka mengajukan prioritas-prioritas
yang berbeda-beda atau tingkat-tingkat penekanan yang berlainan dalam
pendekatan-pendekatan atau gagasan-gagasan pikiran yang serupa.

A. Ideologi-ideologi Pendidikan Konservatif.

Terdiri dari tiga tradisi pokok. Fundamentalisme pendidikan,


Intelektualisme pendidikan, dan konservatisme pendidikan. Semuanya
merentang dari ungkapan religious dari fundamentalisme pendidikan, ke
sudut terjauh yang paling kurang Konservatif.

1. Fundamentalisme Pendidikan.
Fundalisme meliputi semua corak konservatisme politik yang pada
dasarnya anti intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan
pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk
mendasarkan diri merepa pada penerimaan yang relative tanpa kritik
terhadap kebenaran yang diwahyukan atau consensus sosial yang sudah
mapan (yang biasanya di absahkan sebagai akal sehat). Ada dua variasi
dari sudut pandang semacam itu jika ditetapkan dalam pendidikan. Variasi
pertama, Fundamen tertentu yang lebih bersifat fundamentalis, yang
memiliki komitmen sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang
cukup kaku serta harfiah, sebagaimana yang di ungkap dari otoritas
Alkitab. Variasi kedua, Fundamentalisme pendidikan secular, berciri
mengembangkan komitmen yang sama tidak luwesnya dibanding yang
religious terhadap cara pandang dunia melalui akal sehat yang disepakati
yang umumnya menjadi pandangan dunia orang biasa.
2. Intelektualisme Pendidikan.
Intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme
polotik yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau
religious yang pada dasarnya otoritarian. Secara umum, Konservatisme
filosofis ingin merubah praktik-praktik politik yang ada (termasuk praktik-
praktik pendidikan, demi menyesuaikannya secara lebih sempurna dengan
cita-cita tujuan intelektual atau rohaniah yang sudah mapan tidak
bervariasi. Misalnya Konservatisme intelektual yang terpantul dalam
tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles dan yang sentral perannya dalam
posisi Thomas Aquinas (yang, pada gilirannya, kemudian menyediakan
dasar filosofis bagi sudut pandang katolok Rhoma yang dominan). Dalam
pendidikan kontemporer, Konservatisme filosofis mengungkapkan diri
terutama sebagai Intelektualisme pendidikan, yang pada intinya bersifat
secular dan dapat diamati dalam beberapa pemikiran beberapa orang
teoritisi pendidikan kontemporer seperti Robert Maynard Hutchins dan
Mortimer Adler serta Intelektualisme teologis yang memiliki orientasi
sebagaiman terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan
Katholik Roma kontemporer seperti William McGucken dan John
Donahue.
3. Konservatisme Pendidikan.
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung
ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah
teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan, didampingi dengan
rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan
perubahan sosial yang konstruktif. Dalam dunia pendidikan, seorang
konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian
dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada
dua ungkapan dasar konservatif dalam pendidikan. Yang pertama adalah
konservatisme pendidikan religious, yang menekankan peran sentral
pelatihan rohaniah sebagai landasan pembanguanan karakter moral yang
tepat. Yang kedua adalah konservatisme pendidikan secular, yang
memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan
keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada, sebagai cara
untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektivitas secara
kuat yang secara teologis jelas-jelas kurang liberal jika dibandingkan
dengan berbagai aliran utama (Kristen Protestan). Sedangkan
konservatisme secular cenderung terwakili oleh para kritisi yang tajam dari
kalangan pendukung progresifisme dan permisifisme pendidikan, seperti
missalnya James Koerner dan Hyman Rickover.

B. Ideologi-Ideologi Pendidikan Liberal.

Ideologi-ideologi pendidikan Liberal, seperti yang Konservatif,


terdiri dari tiga tradisi liberalism pendidikan, liberasionisme pendidikan,
anarkisme pendidikan ideology-ideologi tersebut terentang dari ungkapan yang
paling kurang liberal, yakni liberalism pendidikan (liberalism metodis) hingga ke
posisi yang paling radikal anarkisme utopis. Keseluruhan posisi dalam ideology-
ideologi pendidikan liberal. Macam-macamnya antara lain :

1. Liberalisme Pendidikan.
Bagi seorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah
untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara
mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan
dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Liberalisme pendidikan ini berbeda-
beda dalam hal intensitasnya, dari yang relative lunak, yakni liberalism metodis
yang diajukan tokoh oleh teoretisi seperti Maria Montessori, ke liberalism direktif
(Liberalisme yang bersifat mengarahkan) yang barangkali paling sarat dengan
muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalism non direktif, atau liberalism
laissez faire’ (liberalism tanpa pengarahan) yang merupakan sudut pandang A. S.
Neill atau Carl Rogers.
2. Liberasionisme Pendidikan.

Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa


kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan
politik yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan
individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal
mungkin. Liberasionisme pendidikan mencakup sebuah spectrum pandangan yang
luas, yang merentang dan liberasionisme pembaharuan yang relative bersifat
konservatif, yang diajukan dipertengahan 1960-an dalam berbagai protes
menuntut hak-hak warganegara, ke komitmen yang kuat yang mendesak terhadap
liberasionisme revolusioner. Bagi pendidik liberasionis, sekolah haruslah bersifat
obyektif rasional ilmiah, namun tidak sentral. Sekolah memiliki fungsi ideologis,
ia ada bukan hanya untuk mengajarkan pada siswa bagaimanakah cara erpikir
yang efektif secara rasional dan ilmiah melainkan juga untuk membantu siswa
mengenai kebijaksanaan tertinggi yang ada didalam pemecahan-pemecahan
masalah secara intelek yang paling meyakinkan, tersedia sehubungan dengan
berbagai problema manusia yang terpenting, dengan kata lain liberasionisme
pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka, namun ia
mencakup komitmen tertentu terhadap rangkaian tindakan apapun yang didukung
oleh kesepakatan yang sangat pengetahuan dan bersifat obyektif dalam komunitas
intelektual di suatu saat tertentu. Pada puncaknya, liberasionisme pendidikan
adalah sebuah orientasi berpusat pada problema atau tatacara. Namun ia juga
meliputi komitmen kedua yang kuat terhadap jawaban-jawaban terbaik yang
dibuat oleh kecerdasan yang terlatih. Ia memandang bahwa sekolah secara moral
berkewajiban untuk mengenali dan mempromosikan program-program sosial
konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan
pola tindakan yang paling meyakinkan yang di dukung oleh sebuah analisis
obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada.

3. Anarkisme Pendidikan.
Seorang pendidik anarkis seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada
umumnya menerima sistem penyelidikann eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah), atau menerima prakiraan-
prakiraan yang dianggap selaras dengan sistem penddikan semacam itu. Namun
berbeda dengan kedua posisi liberasionisme di atas seorang pendidik anarkis
beranggapan bahwa kita harus menekankan perlunya meminimalkan dan atau
menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal
bahwa kita musti sejauh mungkin yang bisa kita lakukan mendeinstitusionalkan
masyarakat yaitu membuat masyarakat bebas lembaga. Sejalan dengan itu, di
katakana bahwa pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah (pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak dalam masyaraka, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian. Sudut pandang anarkisme pendidikan meliputi beberapa posisi yang
menentang dari anarkisme taktis, yang ingin melempar sekolah-sekolah sebagai
cara untuk membebaskan kekayaan dan sumberdaya (yang terpakai dimana) untuk
keperluan-keperluan sosial yang mendesak hingga ke anarkisme utopis, yang
memimpikan terciptanya masyarakat yang secara permanen terbebaskan dari
segala pembatasan kelembagaan.

4. Ideologis Batasan Penggolongan Ideologis.


Beberapa individu sudah dikutip sebagai para wakil lebih dari satu tradisi
dalam orientasi pendidikan tertentu. Misalnya ivan illich, yang barang kali adalah
pemikiran yang paling berhasil menyusun rumusan tentang semua ungkapan
anarkisme pendidikan yang berbeda-beda itu, tetapi kecuali dalam kasus John
Dewey yang demi tujuan-tujuan praktis di pandang disini sebagai penemu
pendidikan Progressive kontemporer (dalam arti liberalisme terstruktur) sekaligus
rekontsruksionisme pendidikan ( dalam arti liberasionisme pendidikan radikal);
tidak ada tokoh lain lagi yang di kutip sebagai orang yang pemikirannya
membentuk atau melandasi dua ideology pendidikan yang berlainan sekaligus.
Intelektualisme sebagaimana dirumuskan di sini merujuk bukan saja
kepada sebuah keyakinan akan nalar sebagai cara terbaik bagi perilaku yang
efektif (yang dengan beberapa batasan, barangkali paling mendekati rumusan
liberalisme, dengan akarnya pada pragmatisme/eksperimentalisme).
Intelektualisme juga mencakup gagasan-gagasan bahwa ada sejenis kebenaran
mutlak yang telah dapat ditangkap hakikatnya dan telah pernah dirumuskan di
masa silam, yang bisa disalurkan melaui penalaran yang disembunyikan agar bisa
menjadi pencerahan filosofis dan/atau religious dimasa kini. Dengan kata lain
intelektualisme sebagaimana maknanya disini, merujuk pada sudut pandang di
mana diyakini bahwa penalaran yakni pemikiran yang lurus, logis mengandung
subyek dan predikat) dapat menghasilkan kebijaksanaan (dalam arti sebentuk
Kebenaran mutlak atau absolute yang dapat diketahui dan sudah diketahui oleh
mereka yang mencapai pencerahan intelektuali). Ini adalah pendekatan yang
bersifat aktif dan kognitif, namun ia juga merupakan sebuah sistem ideologis
tertutup yang memfungsikan sebuah cara mutlak atau proses (penalaran) untuk
menghasilkan sebuah tujuan mutlak (kebenaran hakiki).
Para pendidik konservatif barangkali kerap cenderung mengarah ke
intelektualisme namun tetapi secara keseluruhan cara yang dipakainya (yang jauh
kurang konitif secara eksklusif ) maupun tujuan yang akan di raihnya ( yang
berdiri lebih luas ketimbang pencerahan filosofis-filosofis atau religious
kebanyakan lebih memilih double aliran dan pada dasarnya rentan terhadap
rumusan budaya yang sedang berkembang, bukan berarti bahwa bak sebuah
budaya yang kaku dan otoriter tak mungkin mempengaruhi konservatisme
pendidikan menjadi lebih pasti dan tegas dalam tuntutan-tuntutannya akan
penyesuaikan jika dibandingkan dengan kebanyakan untuk intelektualisme,
namun pada umumnya demikianlah agaknya yang terjadi konservatisme kurang
baku dan otoriter dibanding dengan intelektualisme.
Intelektualisme dalam optimismenya yang paling besar meyakini bahwa
seorang anak secara alamiah condong kearah kebijaksanaan dan kebaikan. Karena
optimis ini, intelektualisme cenderung membebankan tuntunan-tuntunan
intelektual yang berat dan besar ke pundak anak-anak jika dibandingkan dengan
konservatisme intelektualisme menekankan apa yang abstrak, dan menuntut
sebuah disiplin intelektual tingkat tinggi. Ia cenderung untuk bersifat lebih tegas
dan lebih mendesakkan keharusan-keharusan dalam rancangan pendidikannya
ketimbang konservatisme.
Konservatisme lebih memperhatikan tuntutan-tuntutan yang tidak begitu
berat dalam hal penyesuaian moral serta akademis yang relative sederhana.
Seorang konservatis, baginya kebenaran adalah baik karena kebenaran itu adalah
kebenaran yakni sebuah kebutuhan intrinsic (atau bisa dikatakan estetis) bagi
keberadaan seorang manusia sebagai seorang manusia. Karena kurang terkait
dengan masa silam yang jauh (atau klasik) jika dibandingkan dengan masa lalu
yang dekat dan jauh dengan masa kini, maka seorang konservatif memiliki ciri
kecenderungan untuk menjadi kurang elitis ketimbang seorang intelektualis.
Baginya, kebenaran bukanlah masalah pencerahan personal begitu saja, melainkan
sebentuk pencapaian kolektif masyarakat tertentu dalam waktu tertentu, sebentuk
prestasi bersama dalam budaya tertentu yang telah menghadapi serangkaian
problema nyata dan telah berhasil mengatasinya dan memapankan diri sebagai
sebuah karya cipta sejarah yang hidup terus.
A. Dari Filosofi ke Ideologi

Rasionalisme jika dipandang secara umum, sebagai seluruh orientasi


filosofis yang menganggap bahwa kecerdasan yang terlatih adalah penyedia cara
terbaik untuk hidup cenderung ke arah pemerintahan yang terbuka dan liberal,
serta kearah corak yang serupa dengan (dan mendukung) sistem-sistem
pemerintahan tadi. Orientasi-orientasi filosofis yang pada intinya non rasional
menganggap bahwa kebanyakan kebenaran yang punya arti penting hanya bisa
diakses memalui cara-cara non rasional; misalnya lewat wahyu, iman, atau intuisi
mistis, atau menganggap bahwa penalaran aktif jauh kurang bisa dipercaya
ketimbang pola-pola keyakinan dan perilaku sosial yang konvensional. Orientasi-
orientasi semacam itu hampir pasti memilih pula pendidikan yang keras.
Konservatisme pendidikan menganggap bahwa nalar adalah baik, namun
nalar musti tetap menjadi subordinat atau bawahan dari pola-pola keyakinan dan
perilaku sosial lebih dulu di nalar (atau yang punya potensi kenalaran), yang
muncul dari penyesuaian-penyesuaian budaya terhadap keaadaan-keadaan yang
muncul sepanjang sejarah sebuah masyarakat yang sebelumnya yang tidak di
nalar namun yang diprakirakan berkualitas nalar. Ketika ideology Liberal yakni
liberalism, anarkisme semuanya menganggap bahwa kebaikan tertinggi adalah
untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan pengungkapan sepenuh-
penuhnya dari kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis yang di pandang sebagai
penetapan praktis dan proses-proses penyelesaian masalah personal maupun sosial
secara ilmiah. Ketiganya berbeda dalam hal bagaimana mereka memandang
kondisi-kondisi yang diperlukan bagi terjadinya pemikiran kritis semacam itu.
Kalau liberal menekankan pemikiran kritis individu sebagai asal usul dan
landasan bagi semula perubahan sosial yang tercerahkan. Seorang liberal
meragukan ideology-ideologi sosial yang tidak lahir dari temuan penyelidikan
yang berdasarkan obyektivitas ilmiah. Dalam hal ini, ia memprioritaskan yang
personal (individu) di atas yang sosial (termasuk yang politis). Seorang
liberasionisme merasa bahwa pemikiran kritis individual adalah mustahil
berlangsung dalam ketiadaan sebuah sistem politis yang mendorong dan
memelihara kondisi-kondisi sosial yang merupakan prasyarat bagi kecerdasan
umum yang sepenuhnya berkembang.
Seorang anarkis merasa bahwa, bisa dikatakan, semua sistem politik dan
pedidikan pasti merupakan kekuatan yang mengasingkan dan menindas, dan
berada di antara kecenderungan alamiah individu kearah perujudan diri dengan
kecenderungan yang juga sama alamiahnya untuk menjadi terlibat secara budaya
(namun tidak secara sosial ) dalam semua corak pemikiran kritis yang diperlukan
untuk memenuhi tuntutan kehidupan sosial yang dihidupkan oleh kecerdasan dan
kerjasama.

B. Filosofi dan Kebudayaan

Sebuah filosofi tak pelak lagi akan berinteraksi dengan (dalam bentuk
pengaruh mempengaruhi) seluruh unsur lain dalam sebuah kebudayaan, politik,
ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Karena itu, filosofi selalu bersifat
ideologis, dalam arti konvensional dari istilah tadi, dan ia berfungsi (setidaknya
sebagian) sebagai sebuah rasionalisasi potensial bagi perubahan prakiraan
tersebut. Ringkasnya, filosofi hanyalah satu dari sekian aspek yang saling
tergantung secara timbal balik dan saling mempengaruhi, yang membentuk
keseluruhan budaya tertentu di suatu saat tertentu dalam sejarah. Filosofi tidak
bisa di pandang, di dalam dari arena dirinya sendiri, sebagai faktor penentu
perubahan sosial dalam cara apapun yang harfiah linear, atau bersifat sederhana.
Seluruh persoalan proses-proses sirkular (Sinergisme adalah proses-proses dengan
mana jenis-jenis perilaku tertentu memunculkan jenis-jenis kondisi yang pada
gilirannya, melahirkan jenis-jenis perilaku berikutnya dan menghasilkan kondisi-
kondisi selanjutnya pada puncaknya menuntut ke arah pengulangan keseluruhan
proses (dalam sebuah lingkaran sebab akibat yang pada intinya bersifat
melestarikan diri) sirkular atau membentuk lingkarn yang tak henti, lingkaran-
lingkaran sinergisme sosiologi pengetahuan, dan sebagainya, sangatlah
controversial dalam filosofi dan adalah penting untuk kita ingat bahwa perdekatan
proses sirkular hanyalah satu cara di antara sekian cara lain untuk menjelaskan
keterkaitan antara teori dengan praktek, antara pemikiran dan perilaku.
Dalam kebanyakan kasus meskipun ini pun pada puncaknya merupakan
generalisasi filosofi yang masih memerlukan batas-batasan ada sirkularitas yang
tak terelakkan dalam keterkaitan antara keyakinan-keyakinan filosofis-filosofis
sebuah masyarakat dengan prakiraan-prakiraan budayanya. Masyarakat tertentu
cenderung untuk melahirkan sudut pandang filosofis tertentu pula, yang, pada
gilirannya, cenderung untuk memperkuat atau melestarikan keyakinan-keyakinan
dominan yang melandasi lembaga-lembaga sosial, dan begitu seterusnya sering
dikatakan bahwa seluruh filosofi pada dasarnya adalah rasionalisasi sesudah (a
posteriori) munculnya sistem-sistem keyakinan yang di kondisikan secara sosial,
yang umumnya lahir dari pengalaman hidup yang intinya pra rasional atau non
rasional dalam masyarakat tertentu di saat tertentu.
Dengan kata lain, dari sudut pandang ini, petunjuk-petunjuk yang ada
dalam filosofi tradisional secara typical hanyalah sedikit lebih dari paparan yang
di idealisasikan tentang nilai-nilai inheren dalam kebudayaannya.
Sinergisme positif terjadi pada proses ini (yang di pandang sebagai proses
yang secara tersirat ataupun langsung berorientasi pada tujuan) berlangsung
sedemikian rupa sehingga menciptakan kondisi-kondisi berkelanjutan yang
condong kearah tahap-tahap berikutnya dalam proses tersebut. Umumnya, satu
lingkaran sinergisme cenderung untuk mengait dengan lingkaran-lingkaran
sinergisme lainnya, biasanya di berbagai tingkat abstraksi yang berbeda,
membawa kita pada sebentuk meta-sistem yang sangat kompleks yang memuat
berbagai lingkaran sinergisme yang jalin menjalin, tiap lingkaran berurusan
dengan aspek-aspek tertentu dari keseluruhan kenyataan. Pada gilirannya,
keberhasilan tadi menciptakan kondisi-kondisi yang perlu bagi perilaku yang
berhasil (dalam arti sasaran atau tujuan keseluruhan pola tindakan) dalam tahap
selanjutnya dalam prose itu dan begitu seterusnya.
Sedangkan Sinergisme negative, yang merupakan lawan dari sinergisme
positif, dicontohkan oleh kritik Marxis atau Neo Marxis terhadap masyarakat
Amerika yang bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Herbert Marcuse. Menurut
Marcuse kebudayaan Amerika kontemporer dapat di anggap pada intinya
berbentuk lingkaran sinergisme negative. Bagi Marx, kemajuan yang
sesungguhnya dipandang sebagai sesuatu yang tak pelak lagi terkait dengan
sebuah proses sirkular dan bersifat meneguhkan diri dalam sinergisme positif,
yang merupakan sebuah aspek dalam keseluruhan filosofisnya yakni materialism
dialektis. Jadi, dari sudut pandang Marxisme, nilai personal (kebahagiaan yang
diwujudkan dengan cara perujudan diri) pada puncaknya memerlukan adanya
masyarakat humanistis (perujudan diri secara sosial, keterkaitan sinergistik antara
seluruh kekuatan dalam sebuah sistem yang konstruktif dan progresif). Pada
gilirannya, masyarakat humanistic itu menyumbangkan diri pada penyatuan sosial
yang puncak (‘akhir sejarah’ Marxis di mana seluruh kekuatan alamiah sinergistik
menyatu dalam satu proses sosial yang positif dan bekerkelanjutan yang mampu
beroperasi secara otomatis serta tanpa campur tangan pembatasan-pembatasan
politis tradisional).
CONCLUSION
MACAM-MACAM IDEOLAGI PENDIDIKAN
A. Ideologi Pendidikan Konservatif
Ideologi-ideologi semua terdiri dari tiga pokok semua merentang
dari ungkapan religious dari fundamentalisme pendidikan, Pendapat
William F. O'neil tentang pendidikan, bahwa pendidikan yang meminimkan
kebebasan itu disebut sebagai pendidikan yang konservatif, dan itupun
terbagi menjadi 3 Yaitu :

1. Fundamentalis Pendidikan

Fundamentalisme meliputi semua corak konservatif politik yang


pada dasarnya anti intelektual dalam arti bahwa mereka ingin
meminimalkan pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta
cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif
tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau consensus sosial
yang sudah mapan yang biasanya diabsahkan sebagai akal sehat.
Dalam ungkapan politisnya, konservatisme reaksioner gagasan
untuk kembali pada kebijaksanaan atau kebijakan masa silam, baik yang
benar benar ada atau yang di khayalkan. Ada dua variasi dari sudut
pandang politisnya yang itu diterapkan dalam dunia pendidikan.
Variasi fundamentalisme pendidikan religius yaitu tampak dalam
gereja-gereja Kristen tertentu yang lebih bersifat fundamentalis, yang
memiliki komitmen sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang
cukup kaku serta harfiah
Variasi fundamentalis pendidikan sekuler, yaitu berciri
mengembangkan komitmen yang sama tidak luwesnya dibanding yang
religius, terhadap cara pendang dunia melalui akal sehat yang disepakati,
yang umumnya menjadi pandangan orang dewasa.
Dalam pendidikan dewasa ini, fundamentalis religious barangkali
paling terlihat gagasan-gagasan pendidikan tertentu dalam kelompok-
kelompok Kristen yang berpusat pada alkitab, misalnya kelompok amish,
yang menampilkan kepatuhan yang ketat kepada “sabda Allah” sebagai
mana ditulis dalam alkitab.

2. Intelektualisme Pendidikan

Intelektualisme dari ungkapan-ungkapan konservatisme politik


yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang
pada dasarnya otoriterian. Secara umum, konservatisme filosofis ingin
mengubah praktek-praktek politik yang ada (termasuk praktek-praktek
pendidikan) demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi.
Misalnya, konservatifme intelektual yang terpantul dalam tulisan-
tulisan plato dan aristoteles yang sentral perannya Di dalam dunia
pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan diri
terutama sebagai intelektualisme pendidikan, dimana dua variasi mendasar
intelektualisme pendidikan yang pada intinya bersifat skuler dan dapat
diamati dalam pemikiran beberapa orang teoritis pendidikan
kontemporer.variasi mendasar intelektualisme pendidikan yang pada
intinya bersifat skuler dan dapat diamati dalam pemikiran beberapa orang
teoritis pendidikan kontemporer1.

3. Konservatisme Pendidikan

Pada dasarnya konservatisme adalah posisi yang mendukung


ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah
teruji oleh waktu (sudah cukup tua dan mapan) didampingi dengan rasa
hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan
perubahan sosial yang konstruktif. Sejalan dengan itu, ditingkat politisi
orang-orang konservatif cukup mewakili dalam tulisan-tulisan para tokoh
seperti Edmund Burke.
Dalam dunia pendidikan, seorang konservatif beranggapan bahwa
sasaran utama sekolah dalai pelestarian dan penerusan pola-pola sosial
serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Adapun dua ungkapan dasar konservatif dalam pendidikan yaitu :
1. Konservatisme Pendidikan Religius, yaitu menekankan
peran sentral pelatihan rohaniah sebagai landasan pembangunan karakter
moral yang tepat.
2. Konservatisme Pendidikan Sekuler yang memusatkan
perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan keyakinan-
keyakinan dan praktek-praktek yang sudah ada, sebagai cara untuk
menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektifitas secara kuat oleh
orientasi pendidikan yang bersifat lebih al-kitabiyah dan evangelis
(mendakwah agama) yang secara teologis jelas-jelas kurang liberal jika
dibanding dengan berbagai aliran utama. Sedangkan konservatisme sekuler
cenderung terwakili oleh para kritisi yang tajam dari kalangan pendukung
progresifme dan perminisifisme pendidikan.
1. Ruang Lingkup Fundamentalis dalam Pendidikan
Bagi seorang pendidik fundamentalis, masyarakat kontemporer di
hadapkan pada keruntuhan moral dalam waktu dekat, dan keharusan tertinggi
yang musti dilakukan adalah merombak tolok ukur-tolok ukur keyakinan dan
perilaku konvensional dengan cara kembali ke ciri-ciri kebaikan yang lebih tinggi
di masa silam. Sejalan dengan itu, sasaran pendidikan adalah untuk memulihkan
cara-cara yang lebih tua umurnya dan yang lebih baik, demi membangun kembali
tatanan sosial yang. Seperti juga dalam sebuah ideology pendidikan, ada dua
corak dasar fundamentalis pendidikan: fundamentalis pendidikan secular dan
fundamentalis pendidikan religious. Yang secular tidak memiliki kepastian-
kepastian religious, dan meski kadang ia memakai peristilahan religious atau semu
religious, namun ia cenderung untuk mendasarkan posisinya pada prakiraan-
prakiraan yang kurang lebih bersifat intuitif atau akal sehat, ketimbang
mendasarkannya pada wahyu ataupun iman. Yang Fundamentalis meyakini bahwa
tujuan puncak pendidikan yakni, untuk membangkitkan kembali dan meneguhkan
kembali cara-cara lama yang lebih baik, untuk memapankan kembali tolok ukur-
tolok ukur tradisional dalam perilaku dan keyakinan selalu menjadi nomor dua di
bawah sasaran universal dalam karya penyelamatan jiwa yang abadi, dan
penyelamatan semacam itu terutama adalah persoalan mengenali dan mematuhi
kehendak Tuhan sebagaimana telah diwahyukan melalui kitab-kitab menurut
agama Kristen.
Tujuan Pendidikan Secara Menyeluruh
Tujuan utama pendidikan adalah untuk membangkitkan dan meneguhkan
kembali cara-cara lama yang lebih baik, untuk memapankan kembali tolok ukur
keyakinan dan perilaku tradisional.
Tujuan-tujuan Sekolah
Sekolah ada karena dua alasan mendasar : 1) Untuk membantu
membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong langkah kembali ke
tujuan-tujuan aslinya dan agar tetap konsisten dengan tujuan itu; 2) Untuk
menyalurkan informasi dan ketarampilan-keterampilan yang perlu agar berhasil
dalam tatana sosial yang ada sekarang.
Ciri-ciri umum Fundamentalisme Pendidikan.
Fundamentalisme pendidikan dapat dikarakterisasikan sebagai berikut :

1. Ia yakin bahwa pengetahuan terutama merupakan alat untuk membangun


kembali masyarakat dalam mengejar pola kesempurnaan moral yang
pernah ada di masa silam.
2. Ia menekankan bahwa manusia adalah agen moral, menekankan ketaatan
terhadap aturan moral yang jelas dan lengkap, dan menekankan nilai
patriotisme yang dirumuskan secara sempit.
3. Secara diam-diam ataupun terang-terangan anti-intelektual, menentang
pengujian kritis terhadap pola-pola keyakinan dan perilaku yang mereka
pilih.
4. Pendidikan pertama-tama dipandang sebagai proses regenerasi moral.
5. Memusatkan perhatian pada tujuan asli tradisi-tradisi serta lembaga-
lembaga sosial yang ada, menekankan kembali ke masa silam sebagai
sebuah orientasi ulang yang bersifat korektif terhadap pandangan modern
yang terlalu menekankan masa kini dan masa depan.
6. Menekankan pengenalan kembali cara-cara lama yang sudah teruji oleh
waktu, kebutuhan untuk kembali kepada kebaika-kebaikan nyata atau yang
dikhayalkan ada di era yang lalu.
7. Berdasarkan pada sistem sosial dan/ atau keagamaan yang tertutup, yang
menjadi cirri era sebelumnya, membela gerakan kembali kepada kondisi-
kondisi yang lebih baik yang pernah berlangsung.
8. Berlandaskan prakiraan-prakiraan yang tersirat dan/ atau yang tidak
pernah diuji kebenarannya tentang hakikat kenyataan, yang umumnya
didasarkan pada akal sehat atau kepastian intuitif atau iman keagamaan.
9. Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi berada di tangan
komunitas orang-orang yang memiliki iman sejati, bahwa kebenaran
ditentukan melalui sebuah kesepakatan di antara orang-orang yang telah
mencapai pencerahan moral.

Anak-anak Sebagai Pelajar


Anak-anak condong kea rah kekeliruan dan kejahatan jika tidak ada
bimbingan yang kuat dan pengajaran yang baik. Kesamaan-kesamaan individual
lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di antara mereka, dan kesamaan-
kesamaan ini secara tepat bersifat menentukan dalam memapankan program-
program pendidikan yang baik. Anak-anak secara moral setara di sebuah jagat
ketidaksetaraan kesempatan obyektif. Mereka musti memiliki kesempatan-
kesempatan setara supaya bisa berjuang untuk mendapatkan ganjaran yang
terbatas yang tersedia, namun keberhasilan musti dikondisikan pada prestasi
personal dalan dunia yang bercirikan persaingan keras bagi keberhasilan moral
dan material. Seorang anak pada intinya mampu menentukan nasibnya sendiri; ia
memiliki kehendak bebas yang personal, dalam arti tradisional dari istilah itu.
Administrasi dan Kontrol Menurut Fundamentalisme Pendidikan
Wewenang di bidang pendidikan harus diletakkan di tangan para manajer
akademik terlatih, yang tidak musti merupakan kaum intelek ataupun pendidik
professional. Wewenang guru harus didasarkan pada profil moral yang lebih
tinggi dalam diri guru tersebut.
Hakikat Kurikulum Menurut Fundamentalisme Pendidikan
1. Sekolah harus menekankan karakter moral yang layak, melatih siswa
untuk menjadi pribadi yang baik diukur dengan tolok ukur-tolok ukur
perilaku moral tradisional.
2. Sekolah musti memusatkan perhatian pada pembaharuan pola-pola budaya
lama; ia harus membantu siswa untuk menemukan kembali nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi-tradisi budaya mendasar.
3. Penekanan harus diberikan pada regenerasi moral, dalam hal membangun
kembali masyarakat menurut jalur-jalur pendekatan tradisional terhadap
dan perilaku.
4. Lapangan studi harus dipilih untuk mengarahkan siswa.
5. Tekanan musti diletakkan di penyesuaian moral (indoktrinasi moral)
melebihi pengetahuan akademik (yakni belajar tentang bagaimana caranya
belajar, serta menguasai jenis pengetahuan dan keterampilan teknis yang
hanya secara tidak langsung terkait dengan persoalan-persoalan manusia
yang utama). Indoktrinasi moral juga harus lebih dipentingkan ketimbang
penyesuaian praktis, yakni belajar tentang hal-hal yang segera berguna.
Sekaligus meminimalkan penyesuaian intelektual (yakni yang ideasional,
berurusan dengan teori yang luas).
6. Sekolah musti menekankan latihan moral dan jenis keterampilan-
keterampilan akademik serta praktis yang diperlukan untuk membantu
siswa untuk menjadi anggota yang aktif dalam tatanan sosial yang
diregenerasikan secara tepat : Keterampilan-keterampilan belajar yang
mendasar, pelatihan, pembentukan karakter, pendidikan fisik (termasuk
pembelajaran kesehatan), sejarah nasional, kesusastraan nasional,pelajaran
agama, da seterusnya.

Metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar Fundamentalis


Pendidikan
1. Penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara pengajaran di dalam
kelas yang tradisional, seperti ceramah, hapalan, belajar dengan diawasi
dan dituntun, serta diskusi kelompok yang terstruktur secara ketat.
2. Ulangan atau tes sesudah pelajaran diberikan, adalah cara terbaik untuk
memapankan kebiasaan yang tepat dikelas-kelas yang rendah, namun ia
harus dikembangkan supaya siswa lebih punya inisiatif sendiri dengan
pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat mengarahkan diri sendiri,
tingkatan-tingkatan pendidikan yang lebih tinggi; adalah perlu untuk
melaksanakan ulangan serta hapalan yang banyak.
3. Yang terbaik adalah pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh
guru. Sebab, siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses
perkembangan intelektualnya sendiri
4. Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal kesempurnaan
moral dan akademik.
5. Tes-tes untuk mengukur keterampilan dan informasi yang dimiliki siswa
lebih baik daripada tes-tes yang menekankan kemampuan analitis
spekulasi abstrak siswa.
6. Persaingan antar personal untuk mendapatkan nilai terbaik (dalam ujian,
tes, kelakuan, dan sebagainya) dan peringkat nilai tertinggi di kelas antara
siswa adalah hal yang di kehendaki dan perlu diadakan demi memupuk
kesempurnaan.
7. Penekanan harus diberikan pada yang kognitif (khususnya yang
informasional) dengan tekanan kedua pada yang afektif dan interpersonal)
penekanan yang harus diletakkan pada pemulihan kembali prinsip-prinsip
dan praktek-praktik pendidikan (nasional atau etnis). Bimbingan dan
penyuluhan pribadi serta terapi kejiwaan adalah fungsi-fungsi keluarga
atau gereja, bukan sekolah.

Pengendalian Ruang Kelas


Para siswa musti menjadi warganegara yang baik dalam penyesuaian diri
dengan cita-cita masyarakat yang melakukan regenerasi moral. Para guru secara
umum harus bersikap ketat, nonpermisif, dalam tatacara-tatacara pengendalian
situasi di ruang kelas, sedangkan para siswa diharapkan menyesuaikan diri dengan
wewenang yang telah ditetapkan. Pendidikan moral (latihan pembentukan watak)
adalah dasar dan tujuan persekolahan.
Prinsip-prinsip Dasar Fundalisme Pendidikan
Di kaitkan dengan istilah-istilah intuisi, pewahyuan, akal sehat, dan iman
yang di ungkapkan oleh para fundamentalis bahwa secara umum disebut
pengetahuan intuitif adalah apa yang diketahui secara langsung dan spontan, tanpa
meminta bukti-bukti atau pembenaran yang mendukung pengetahuan tadi.
Pengetahuan akal sehat adalah apa yang diketahui secara prakognitif, oleh orang
kebanyakan, sebagai hasil dari pengalan hidup (sebagai lawan dari teori). Tidak
semua pengetahuan intuitif perlu ditampilkan dalam akal sehat, dan akal sehat itu
sendiri, meski pada umumnya bersifat intuitif, biasanya dianggap memiliki
potensi pembuktian dan potensi untuk dialami secara personal. Wahyu adalah
pengetahuan yang tak bisa disangkal atau dipertanyakan, yang dikomunikasikan
secara langsung oleh Tuhan. Iman, dalam arti religiousnya, berintikan keyakinan
akan adanya otoritatif dari wahyu yang diterima oleh seseorang yang lain (juga
penerimaan atas konsekuensi-konsekuensi dari kepercayaan semacam itu).
Spekulasi filosofis (dan sebagian besar dari intelektualisme humanistic
dengan apa spekulasi filosofis biasa dihubungkan). Pendirian karakteristik
intelektual, bahwa kebenaran bersifat broblematik, merupakan sikap meragukan
(skeptisisme) yang menghasilkan tersebarluasnya kebingungan, kekacauan, dan
kemerosotan moral. Para intelektual dianggap cenderung untuk menyalahtafsirkan
kesederhanaan kehidupan , menumbangkan kebenaran yang tak perlu dibuktikan
lagi (sudah tebukti dalam kebenaran itu sendiri), dengan cara penalaran yang tak
beralasan, yang semata-mata hanya mengacaukan kepastian-kepastian intuitif.
Seorang konservatif reaksioner barangkali paling sering merupakan sejenis
pendakwah (evangelis) politis yang yakin benar bahwa sejumlah kecil orang-
orang yang benar-benar beriman dapat memimpikan kita kembali ke dasar-dasar
yang murni ke suatu kebenaran. Dengan begitu fundamentalisme mempercayai
sistem keyakinan yang bersifat mutlak (absolutis) dan tertutup. Bagi para
fundamentalis, kebenaran dapat diketahui secara langsung dengan landasan non
rasional (atau bahkan kadangkala anti rasional) dan kebenaran semacam itu tidak
mensyaratkan apa yang biasa disebut pengalaman personal. Lantaran
fundamentalisme dilandasi oleh pengenalan akan adanya kebenaran otoritatif
yaitu kebenaran yang pertama-tama tidak bergantung kepada penalaran maupun
pembuktian bahwa ia pada umumnya membela pendekatan-pendekatan otoritarian
terhadap pendidikan, otoritarianisme pendidikan seperti itu cenderung untuk
menyertai dan mendukung kecenderungan-kecenderungan otoriter yang lebih
mendasar, yang mencirikan pendirian moral serta politik fundamentalistis.
"Pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin
meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta
cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa
kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah
mapan." Kebenaran yang diajarkan di dalam pendidikan adalah kebenaran yang
condong dikatakan mutlak benar, bersifat wahyu, relatif tanpa kritik. Pendidikan
yang seperti ini banyak di pakai di abad pertengahan oleh pihak agamawan,
maupun sampai sekarang juga dipakai oleh pihak agamawan, tanpa memberi
kesempatan kadang untuk siswa berpikir yang berbeda, atau meminimkan
perkembangan intelektual dari siswanya. Perbedaan bukan dianggap sebagai hal
yang biasa, melainkan sudah dianggap sebagai perselisihan yang kadang dianggap
sebagai sebuah perlawanan atau pemberontakan. Bisa kita pahami, mengapa
ketika Galileo berbeda dari pihak gereja tentang pusat tatasurya, maka yang ada
adalah anggapan pemberontakan yang berakhir di ujung kematiannya."pada
dasarnya otoritarian demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi."
Di dalam konsep intelektualisme pendidikan ini, tetap saja sifat murid
sebagai obyek itu yang dipakai sebagai landasan, sistem dan guru tetap bersifat
otoriter, intelektual dipakai dengan tidak bertentangan kepada nilai-nilai
kebenaran yang sudah ada, yang sudah mapan.
Intelektualisme.
"Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan
terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh
waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat
mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang
konstruktif". Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama
sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang
sudah mapan.William F. O'Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang
oleh O'Neil dibagi menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan,
Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan.O'Neil menjelaskan
Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
"..tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki
tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara
menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif."
"Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita
musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik
(dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-
kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri
semaksimal mungkin"
2. Ruang Lingkup Intelektualisme dalam Pendidikan
Sejenak mengabaikan perbedaan-perbedaan antara sudut pandang secular
dan religious di dalam tradisi intelektualisme, ideology dasar intelektualisme
pendidikan dapat di rangkum seperti di bawah ini:
Tujuan Pendidikan Secara Menyeluruh Menurut Intelektualisme
Pendidikan.
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenali, merumuskan,
melestarikan dan menyalurkan kebenaran (yakin pengetahuan tentang makna
dan nilai penting kehidupan secara mendasar).
Sasaran-Sasaran Sekolah Menurut Intelektualisme Pendidikan.
Sekolah diadakan karena dua alasan mendasar : 1) Untuk mengajar siswa
tentang bagaimana cara menalar (bagaimana cara berpikir secara jernih dan
tertata), 2) Untuk menyalurkan kebijaksanaan yang di tahan lama dari masa silam.

Ciri-Ciri Umum Intelektualisme Pendidikan.


a. Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan dalam dirinya
sendiri, bahwa
‘ tahu’ bukanlah sekedar cara meningkatkan keefektifan perilaku
praktis semata.
b. Menekankan manusia sebagai manusia, yakni bahwa manusia
memiliki hakikat universal yang melampaui keadaan-keadaan tertentu
disuatu saat atau tempat.
c. Menekankan nilai-nilai intelektualisme tradisional, yakni pemupukan
nalar serta penerusan kebijsksanaan spekulatif (filosofis).
d. Memandang pendidikan sebagai sebuah orientasi ke arah kehidupan
secara umum, bukan sebagai hal penyesuaian situasional.
e. Berpusat pada sejarah intelektual manusia sebagaimana dirumuskan
dengan tradisi intelektual Barat yang dominan (klasikisme).
f. Menekankan stabilitas filosofis sebagai prioritas yang lebih tinggi
ketimbang kebutuhan akan perubahan, menekankan stabilitas
intelektual dan keberlanjutan (kontinuitas), apa yang biasa disebut
kebenaran-kebenaran kekal (perennial) yang melampaui ruang dan
waktu.
g. Berdasarkan pada sistem ideologis tertutup yang berisi kemutlakan-
kemutlakan filosofis.
h. Berdiri di atas landasan kebenaran-kebenaran yang terbukti dengan
sendirinya, yang inheren di dalam nalar dan/ atau kenyataan itu sendiri.
i. Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada
kecerdasan (intelek) itu sendiri, bahwa kebenaran dapat dipahami
lewat cara penalaran murni.

Anak-anak Sebagai Pelajar


Seorang anak condong kea rah kebijaksanaan dan kebaikan, karena secara
hakiki ia adalah makhluk yang rasional dan sosial. Kesamaan-kesamaan
individual lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan individual, dan
kesamaan-kesamaan itu secara tetap bersifat menentukan (determinative) dalam
memapankan program-program pendidikan yang layak. Anak-anak secara moral
setara di dalam sebuah dunia ketidaksetaraan kesempatan-kesempatan objektif;
mereka harus memperoleh kesempatan yang setara untuk mencapai keunggulan
intelektual, meskipun kemampuan untuk mencapai keunggulan intelektual
tersebut tidaklah tersebar secara merata ke seluruh populasi. Seorang anak pada
dasarnya bersifat menentukan nasib sendiri; ia memiliki kehendak bebas yang
personal dalam arti tradisional.
Administrasi dan Kontrol Intelektualisme Pendidikan.
Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan elit intelektual yang
berpendidikan tinggi. Wewenang guru harus di dasarkan kepada kebijakan sang
guru yang lebih tinggi dibanding para siswa.
Sifat-sifat Hakiki Kurikulum Intelektualisme Pendidikan.
Sekolah musti menekankan disiplin intelektual, melatih siswa supaya
mampu menalar secara jelas dan tertata. Sekolah harus memusatkan diri pada
penalaran serta kebijakan spekulatif. Penekanan harus memusatkan pada
kebebasan serta teri-teori abstrak. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus
menjadi hampir sepenuhnya diarahkan atau mengikuti garis-garis yang telah
ditetapkan. Garis yang telah ditetapkan adalah yang intelektual, (yakni yang
bersifat ideasional, berkaitan dengan teori penafsiran yang luas). Ketimbang yang
praktis, (yang segera berguna bagi siswa), ataupun yang akademis, (belajar
tentang bagaimana cara belajar, dan menguasai jenis pengetahuab teknis secara
tidak langsung dengan persoalan-persoalan manusia yang nyata. Sekolah hatrus
menekankan filosofi atau teologi, kesusastraan (khususnya sastra dan intelektual
klasik yang sudah mapan di dunia Barat), Serta tafsir sejarah yang luas
cakupannya, dalam tradisi Edward Gibbon, Oswald Spengler, dan Arnold
Toynbee.
Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar
Intelektualisme Pendidikan.
Tekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara ruang kelas tradisional,
seperti misalnya ceramah, hapalan, tes-tes Sokratik (diarahkan oleh guru), dan
diskusi kelompok yang sangat terstruktur. Ulangan/latihan berdasarkan hapalan
adalah cara terbaik untuk membiasakan kebiasaan yang tepat di tingkat
pendidikan yang lebih rendah, namun mesti dikembangkan ke arah pendekatan-
pendekatan yang lebih terbuka dan bersifat intelektual, menampilkan penalaran
formal (deduktif/dari yang umum menuju yang khusus), selama tahap-tahap
pendidikan lanjutan. Pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru
adalah yang terbaik, namun sang guru musti selalu berusaha untuk bekerjasama
dengan sifat-sifat yang hakiki siswa yang secara alamiah rasional, daripada
menuntun kepatuhan membuta melalui tatacara-tatacara indoktrinasi. Guru harus
dipandang sebagai sosok panutan keunggulan intelektual serta seorang wasit, atau
juru penengah kebrnaran. Tes-tes yang ditujukan untuk mengukur ketajaman
intelektual (seperti dalam ujian-ujian yang bercorak pilihan objektif). Lantaran
kemampuan intelektual tersebar secara tidak merata, dan keunggulan intelektual
adalah sesuatu yang sulit dicapai, maka persaingan antarpribadi hingga taraf
tertentu bisa dikatakan tersirat dalam situasi akademis manapun yang baik, dan
persaingan dalam mengejar keunggulan intelektual dapat dimanfaatkan untuk
memajukan sasaran-sasaran intelektual yang abash. Penekanan harus diletakkan
pada yang kognitif, melebihi yang afektif dan yang bersifat antarpribadi.
Penekanan harus pula diletakkan pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip dan
praktik-praktik pendidikan yang dikenali dan dirumuskan oleh para pemikir besr
dari tradisi intelektua Barat. Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi
kejiwaan bukanlah hal-hal yang diperhatikan oleh sekolah, dan seharusnya
ditangani oleh agen-agen sosial lain yang lebih cocok untuk menyediakan
tuntunan serta terapi semacam itu.
Kendali Ruang Kelas Cara Intelektualisme Pendidikan.
Siswa-siswi harus menjadi warganegara yang baik dalam ranah berbagi
tolak ukr moral tertentu yang bersifat mutlak, dan mereka musti dianggap mampu
secara moraluntuk bertanggung jawab atas perilaku merek sendiri. Para guru harus
secara umum tidak bersikap serba membolehkan, (permisif), dalam tatacara-
tatacara memegang kendali ruang kelas, namun wewenang harus selalu
diabsahkan dan/ atau bisa dibenarkan oleh nalar. Pendidikan moral (pelatihan
watak) adlah aspek yang penting dan terelakkan dari persekolahan, namun sekolah
musti memusatkan perhatiannya pada penjelasan dan pembuktian landasan
intelektual dari prinsip-prinsip moral yang pokok.

3. Ruang Lingkup Konservatisme dalam Pendidikan.


Bagi kaum konservatif, tujuan atau sasaran pendidikan adalah sebagai
pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi-tradisi. Berciri
orientasi ke masa kini, para pendidik konservatif sangat menghormati masa silam,
namun ia terutama memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan penerapan pola
belajar-mengajar di dalam konteks sosial yang ada sekarang. Dalam arti serupa,
selagi kaum konservatif secular sangat memperhatikan pelatihan watak serta
disiplin intelektual sekaligus, kaum konservatif secular itu terutama membaktikan
diri pada sejenis persekolahan yang di rancang untuk menjamin adanya rasa
hormat serta penghargaan (apresiasi) terhadap lembaga-lembaga dan praktik
sosial yang ada. Kaum konservatif cenderung memusat perhatian kepada disiplin
ilmu yang lebih praktis dan lebih baru. Sama halnya dengan dua ideologis
konservatif lainnya, ada dua tradisi mendasar dalam konservatisme pendidikan
yang berkaitan dengan sikap-sikap yang menyangkut agama.
a. Konservatisme Pendidikan Sekuler
Kaum konservatif secular barangkali paling terwakili oleh para teoritis
pendidikan kontemporer serta para kritisi pendidikan masa kini. Mereka tidak
musti menolak aspek-aspek rohaniah dalam pendidikan, namun mereka cenderung
untuk lebih memakai pendekatan utilitarian (asas manfaat) dan pendekatan praktis
dalam soal persekolahan, jika dibanding dengan mereka yang lebih condong kea
rah agama. Kepedulian utama kaum konservatif secular adalah terhadap peran
sekolah dalam melestarikan dan menyalurkan lembaga-lembaga serta proses-
proses sosial yang mapan, dan mereka ingin menumbuhkembangkan jenis
informasi serta keterampilan yang diperlukan agar menjamin keberhasilan
individu dalam hidupnya di masyarakat secular ada sekarang.
b. Konservatisme Pendidikan Religius
Kaum konservatif religious kurang kaku dan kurang moralitas, mereka
juga kurang begitu peduli pada pengabsahan/pembenaran dan pemahaman dasar-
dasar intelektual dari agama, jika dibandingkan dengan kaum intelektualis yang
condong ke sifat teologis. Yang diperhatikannya terutama penyaluran keyakinan-
keyakinan dan praktik-praktik yang sudah mapan yakni ortodoksi moral dan
gereja keagamaan yang sudah teruji oleh waktu yang dimiliki para tokoh agama
evengelis. Pelajaran keagamaan bagi kaum konservatif merupakan aspek yang
layak dan penting dalam pendidikan dasar seorang anak.
Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan.
Tujuan utama pendidikan adalah untuk melestarikan dan menyalurkan
pola-pola perilaku sosial konvensional.
Sasaran-sasaran Sekolah.
Sekolah diadakan karena dua alasan :

1. Untuk mendorong tentang pemahaman dan penghargaan terhadap


lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, proses-proses budaya yang telah teruji
oleh waktu, termasuk rasa hormat yang mendalam terhadap hukum dan
tatanan.
2. Untuk menyalur dan menanamkan informasi serta keperluan informasi
yang diperlukan supaya berhasil di dalam tatanan sosial yang ada.

Ciri-ciri Umum Konservatisme Pendidikan.


1. Menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan
sosialnya, bahwa pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan
nilai-nilai sosial yang mapan.
2. Menekankan peran manusia sebagai warganegara; manusia dalam
perannya sebagai anggota sebuah Negara yang mapan.
3. Menekankan penyesuaian diri yang bernalar; menyandarkan diri pada
jawaban-jawaban terbaik dari masa silam sebagai tuntunan yang paling
bisa dipercaya untuk memandu tindakan di masa kini.
4. Memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi)
nilai-nilai sistem yang mapan.
5. Memusatkan perhatian kepada tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga
sosial yang ada, menekankan situasi sekarang (yang dipandang melalui
sudut pandang kesejarahan yang relative dangkal dan berpusat pada
etnisnya sendiri (etnosentris).
6. Menekankan stabilitas budaya melebihi kebutuhan akan
pembaharuan/perombakan budaya, hanya menerima perubahan-
perubahan yang pada dasarnya cocok dengan tatanan sosial yang sudah
mapan.
7. Berdasarkan sebuah sistem budaya tertutup (etnosentrisme),
menekankan tradisi-tradisi sosial yang dominan, dan menekankan
perubahan secara bertahap di dalam situasi sosial yang secara umum
stabil.
8. Mengakar pada kepastian-kepastian yang sudah teruji oleh waktu, dan
meyakini bahwa gagasan-gagasan serta praktik-praktik kemapanan
lebih sahih dan handal ketimbang gagasan-gagasan serta praktik-
praktik yang lahir dari spekulasi yang relative tak terkendalikan.
9. Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi adalah budaya
dominan dengan segenap sistem keyakinan dan perilakunya yang
mapan

Anak Sebagai Pelajar.


Siswa memerlukan bimbingan yang ketat serta pengarahan yang jelas
sebelum ia menjadi terbelajarkan (terisolasikan) secara efektif sebagai seorang
warga Negara yang bertanggung jawab. Kesamaan-kesamaan individual lebih
penting ketimbang perbedaan-perbedaannya. Dan kesamaan-kesamaan itu
menentukan dalam menetapkan program-program pendidikan yang tepat. Anak-
anak secara moral setara di dalam sebuah dunia kesempatan-kesempatan di dalam
dunia objektif yang tak setara; mereka harus memiliki kesempatan setara untuk
mengejar sejumlah ganjaran terbatas yang tersedia. Namun keberhasilan musti
dikondisikan berdasarkan prestasi kebaikan personal. Seorang anak pada intinya
menentukan nasibnya sendiri; ia memiliki kehendak bebas personal dalam arti
yang tradisional.
Administrasi dan Pengendalian.
Wewenang pendidikan musti ditanamkan dalam diri para pendidik
professional yang matang serta bertanggung jawab yang memiliki rasa hormat
yang mendalam terhadap proses yang telah ditetapkan dan yang cukup bijaksana
untuk menghindari perubahan-perubahan yang berlebih-lebihan dalam
menanggapi tuntutan masyarakat luas. Wewenang guru musti didasarkan pada
peran dan status sosial yang dimilikinya.
Hakikat Kurikulum Bagi Konservatisme Pendidikan.
Sekolah musti menekankan pembelajaran politis, melatih sisswa untuk
menjadi warga Negara yang baik. Sekolah harus memperhatikan pada
pengkondisian sosial membantu siswa untuk mencapai pemenuhan nilai-nilai
budaya konvensional. Penekanan harus diletakkan pada keterampilan-
keterampilan dasar, pengetahuan praktis dan pelatihan watak. Mata pelajaran apa
saja yang akan diajarkan harus dirahkan sepenuhnya. Penekanan musti diletakkan
pada yang akademik melebihi yang praktis dan yang intelektual. Sekolah harus
menekankan pelatihan yang dasar dalam hal keterampilan-keterampilan belajar
fundamental sebuah tinjauan sepintas mengenai ilmu-ilmu yang mendasar,
pendidikan fisik (termasuk pelajaran tentang kesehatan), serta pendekatan yang
relative bersifat akademis kepada ilmu-ilmu pengetahuan sosial yang lebih
konvensional (sejarah bangsa/Negara, lembaga politik Negara, sejarah dunia, dan
sebagainya.
Metode-metode Pengajaran dan Penilaian hasil belajar.
1. Harus ada penyesuaian praktis antara tatacara-tatacara di ruang kelas yang
tradisional dengan yang progresif; Sang guru musti menggunakan metode
apa pun yang paling efektif dalam meningkatkan kegiatan belajar, namun
ia harus lebih cenderung ke arah menyesuaikan tatacara-tatacara
tradisional dengan cara-cara baru seperti misalnya peragaan, studi
lapangan, penelitian di laboratorium, dan sejenisnya. Ketimbang condong
ke arah yang menjauhi praktik-praktik pengajaran yang mapan
(umpamanya sistem sekolah bebas, pengajaran tanpa diarahkan ataupun
pengajaran individual).
2. Pendisiplinan jasmani dan mental (lewat baris-berbaris, berhitung di luar
kepala, menghapal, dan sebagainya) adalah cara terbaik untuk
memapankan kebiasaan yang tepat di tingkat-tingkat pendidikan yang
lebih rendah; namun harus dikembangkan kea rah pendekatan-pendekatan
yang lebih terbuka dan lebih intelektual (misalnya ceramah dan diskusi
terarah) di tahap-tahap pendidikan lanjutan; hapalan dan belajar secara
otomatis adalah perlu.
3. Yang terbaik adalah belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru.
Namun para siswa musti diijinkan berperan serta dalam aspek-aspek yang
kurang penting dalam perencanaan pendidikan.
4. Sang guru harus dipandang sebagai seorang pakar penyuntik pengetahuan
serta keterampilan-keterampilan khusus.
5. Tes-tes untuk mengukur keterampilan serta informasi yang dikuasai siswa
lebih baik ketimbang tes-tes yang diberikan untuk menguji kemampuan
analitis atau spekulasi abstrak.
6. Persaingan antarpersonal untuk mengejar peringkat antara siswa-siswi
adalah perlu sekaligus dikehendaki demi memupuk keunggulan.
7. Penekanan diletakkan kepada yang kognitif dengan penekanan kedua pada
yang efektif serta yang bersifat antarpribadi.
8. Penekanan musti diletakkan pada pelestarian prinsip-prinsip dan praktik-
praktik pendidikan yang konvensional.
9. Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan harus dibatasi
hanya untuk siswa-siswi yang mengalami problema emosional yang berat,
yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar dalam situasi
persekolahan yang normal.

Kendali di Rung Kelas.


Siswa-siswi harus menjadi warga Negara yang baik dalam ranah
pandangan budaya dominan mengenai kewarganegaraan yang baik dan perilaku
yang baik. Para guru secara umum harus bersifat non permisif, tidak
membolehkan segala hal dalam tatacara-tatacara memegang kendali di ruang
kelas. Namun wewenang guru musti disisipi dengan penalaran,. Pendidikan moral
(pelatihan watak) adalah satu dari aspek-aspek penting persekolahan.
B. Ideologi-Ideologi Pendidikan Liberal
Seperti yang mungkin telah diduga sebelumnya, prinsip-prinsip
pendidikan tertentu cenderung untuk mengalir secara logis keluar dari kedudukan-
kedudukan filosofis mendasar ini. Berikut ini paparan tentang landasan
pendidikan (prinsip-prinsip dasar) liberal.

1. Seluruh kegiatan belajar bersifat relative terhadap sifat-sifat dan isi


pengalaman personal. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan
personal, dan seluruh pengetahuan personal dengan demikian
merupakan keluaran dari pengalaman atau perilaku personal
sehubungan dengan sejumlah kondisi objek tertentu. (Inilah prinsip
dasar relatifisme psikologis).
2. Begitu subjektivitas (yakni sebuah rasa kesadaran personal yang
diniatkan, yang semakin berkembang ke arah sebuah sistem diri yang
mekar secara penuh, atau disebut juga kepribadian) muncul dari
proses-proses perkembangan personal, seluruh tindakan belajar yang
punya arti penting cenderung untuk bersifat subjektif, dalam arti
bahwa ia sebagian besar diatur oleh yang volisional, dan karenanya
merupakan perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif.
3. Seluruh kegiatan belajar pada puncaknya mengakar pada keterlibatan
dalam pengertian inderawi yang aktif. Ini adalah landasan berbagai
prinsip filosofis yang berkait dengan empirisme, behaviorisme,
materialisme, dan empirisme biologis).
4. Seluruh kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses pengajuan
gagasan-gagasan, dan situasi-situasi pemecahan masalah secara
praktis. (Prinsip dasar pragmatism, instrumentalisme).
5. Secara terbaik untuk mempelajari sesuatu dan, sebagai implikasinya
juga cara terbaik untuk hidup, karena belajar secara efektif adalah
kunci kehidupan yang efektif adalah dengan cara melakukan
penyelidikan kritis yang diatur oleh pengertian-pengertian
eksperimental, yang mencirikan cara berpikir ilmiah. (landasan
eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme ilmiah.
6. Pengalaman kejiwaan yang paling dini pengalaman yang dialami oleh
orang yang belajar pada waktu ia masih kanak-kanak, termasuk lading
latihan emosional dan kognitif yang pertam diterimanya sangatlah
penting karena pengalaman itu berlangsung lebih dulu ketimbang
pengalaman-pengalaman logis dan psikologis lanjutannya. Pengalaman
paling dini tadi menjadi landasan pembentukan kemampuan sistem diri
yang kemudian ada (dan pada gilirannya melahirkan subjektivitas),
seperti juga menjadi dasar bagi proses-proses kepribadian yang lebih
jauh lagi, yang muncul diusia lebih tua. (dasar sudut pandang
psikologis developmentalitis).
7. Tindakan belajar dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi
emosional dari perilaku personal yakni prinsip penguatan
reinforcement) jika hal-hal lain setara, individu hanya mempelajari
tindakan-tindakan yang menghasilkan konsekuensi-konsekuensi
hedonis kenikmatan atau ketidaknikmatan entah itu yang bersifat
psikis atau psikologis). Tindakan-tindakan netral yang sifatnya efektif
(hedonis) tidaklah dipelajari ( demi segala tujuan praktis), sedangkan
perilaku yang dikuatkan secara negative (artinya, ditolak) biasanya
ditinggalkan demi perilaku bercorak lain yang memunculkan (atau
menjanjikan munculnya) corak-corak penguatan yang lebih positif
prinsip kesenangan atau kenikmatan mengatur seluruh pengalaman
manusia. Dalam kegiatan belajar, jika hal-hal lain serta, pengalaman
kenikmatan menentukan apa yang harus dipelajari selanjutnya, dan
penyelidikan eksperimental menjadi cara belajar yang efektif, dank
arena itu berguna untuk memaksimalkan pengalaman
kenikmatan/kesenangan selama mungkin. (Landasan hedonism
psikologis.
8. Karena manusia adalah makhluk sosial yang bersandar pada orang-
orang lain untuk bertahan hidup selama masa bayi dan kanak-kanak,
bergantung pada kondisi-kondisi budaya yang menjamin perilaku yang
berhasil baik dalam persaingan antar spesies, maupun dalam pesaingan
antar masyarakat dalam sepses (manusia) itu sendiri, ataupun
persaingan antar individu dalam subuah masyarakat, maka kegiatan
belajar secara personal selalu berlangsung dalam konteks pengalaman
sosial dan hakikat serta isi pengalaman sosial itu, secara logis maupun
psikologis, mendahului pengalaman yang murni bersifat personal.
9. Penyelidikan eksperimental, seperti juga jenis persekolahan yang
tersimpul didalam orientasi nilai semacam itu, hanya bisa ada
dipenyelidikan eksperimental sejati, khususnya penerapan metode-
metode penelitian ilmiah kepeda berbagai personal-personal dan sosial
bukan hanya sekedar diterapkan diwilayah ilmu-ilmu pengetahuan
fisik.
10. Berdasarkan kondisi-kondisi yang dipaparka diatas, seorang anak
dengan potensi rata-rata dapat menjadi efektif secara personal
sekaligus bertanggung jawa secara sosial. Kecerdasan praktis terlatih
yang dipandang sebagai tujuan sosial, dapat menjadi dasar bagi
lingkaran sinergisme positif sebagaimana telah dipaparka sebelumnya,
dank arena itu keerdasan praktis yang terlatih mengabsahkan sikap
optimis sehubungan dengan kemampuan manusia untuk mengatur
dirinya sendiri secara cerdas.

Dalil-dalil Pokok Liberalisme Pendidikan.


1. Seluruh hasil kegiatan belajar adalah pengetahuan personal melaui
pengalaman personal.
2. Seluruh hasil kegiatan belajar (setelah era paling dini dalam perkembangan
kejiwaan semasa bayi) bersifat subjektif dan selektif.
3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian
inderawi.
4. Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah secara
aktif dalam pola coba dan salah (trial and error).
5. Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh
pemerintah-pemerintah eksperimental yang mencirikan metode ilmiah, dan
pengetahuan terbaik adalah yang paling selaras dengan (atau yang paling
mungkin berdasarkan) pembuktian ilmiah yang sudah dianggap sohih
sebelunya.
6. Pengalaman paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya dank arena itu juga paling penting artinya.
7. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi emosional
dari perilaku.
8. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman sosial mengarahkan dan
mengendalika sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman personal, dan dengan
begitu juga mengarahkan dan mengendalikan pengetahuan personal.
9. Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting hanya bisa
berlangsung dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis yang
memiliki komitmen terhadap ungkapan umum pemikiran dan perasaan
individual.
10. Jika dalam kondisi-kondisi yang optimal, anak yang berpotensi rata-rata
menjadi efektif secara personal dan bertanggung jawab secara sosial.

1. Liberalisme Pendidikan
Bagi kaum pendidik liberal tujuan jangka panjang pendidikan adalah
untuk melestarikan dan meningkatkam mutu tatanan sosial yang ada sekarang
dengan cara mengajar setiap anak sebagaimana cara mengatasi masalah-masalah
kehidupannya sendiri secara efektif. Ketika persoalan sampai ke hubungan antar
sekolah dengan masyarakat, kaum liberial mengambil pendekatan yang pada
intinya merupakan pendekan psikologis atau pendekatan personalities, di mana
individu didahulukan ketimbang tuntutan-tuntutan masyarakat. Pertama sebagai
kaum liberial sepakat bahwa bersifat psikologis pada puncaknya dikondisikan
oleh yang sosial, ia yakin bahwa yang psikologis itu tetap menjadi landasan
puncak bagi pembuktian kebenaran atau kekliruan/kesalahan klaim manapun
terhadap pengetahuan. Kegiatan belajar mungkin saja terjadi di dalam kerangka
acuan sosial, namun belajar itu sendiri itu selalu bersifat personal dan psikologis.
Dengan begitu, maka yang sosial mempengaruhi psikologis (atau sifatnya
subjektif) tetap fundamental adanya, karena ia merupakan landasan tertinggi bagi
seluruh pengalaman. Belajar adalah sesuatu yang bersifat personal dalam arti yang
lebih mendasar lagi jika dibandingkan dengan belajar sebagai kegiatan yang
berpusat pada kelompok. Kedua sang liberalis cenderung untuk memandang
sekolah-sekolah sebagai lembaga yang lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih
bertanggung jawab ketimbang sistem-sistem politik dimana mereka berada.
Persekolahan mustinya diatur oleh keperluan-keperluan kecerdasan eksperimental
(ilmiah) sebagaimana diterapkan pada pemecahan problema personal, ketimbang
dilibatkan dalam upaya untuk memajukan dogma-dogma tertentu yang berkaitan
dengan hakikat dan pengorganisasian masyarakat yang baik. Dalam kebudayaan
kita di masa kini, liberalism pendidikan pada intinya merupakan sebuah cabang
pertumbuhan dari sudut pandang empiris dan lebih khusus lagi, berkembang dari
sikap filosofis yang disebut eksperimentalisme yang menaati gagasan bahwa nilai
tertinggi kebahagiaan, perwujudan diri atau apapun juga secara fundamental
merupakan keluaran sampingan dari kecerdasan praktis, yakni kemampuan untuk
memecahkan problema-problema personal secara efektif dengan menjadi seilmiah
mungkin dalam hal bagaimana orang berpikir dan apa yang diyakininya.

2. Eksistensialisme dan Liberalisme Pendidikan


Filosofi eksistensialisme kerapkali dipandang sebagai penuntun ke arah
sebuah corak liberalisme pendidikan. Ini tidak menguntungkan, karena
berlawanan dengan pendapat orang pada umumnya pendidikan manapun. Seluruh
eksistensialisme pada prinsipnya adalah empiris radikal, yang mengikuti gagasan
bahwa keberadaan (eksistensi; pengalaman personal) mendahului dan menentukan
intisari (esensi; kebenaran; pengetahuan; makna). Pribadi individual-lah yang
membawa makna ke dunia melalui proses piihan kognitif yang terus menerus
(atau proses seleksi daya tangkap) yang berlangsung dalam rangkaian perilaku
normal yang diniatkan berorientasi pada hasil. Sesungguhnya tiap manusia tidak
bebas untuk (menjadi) tidak bebas. Manusia tidak bebas untuk memilih sifat-sifat
hakiki kehendaknya sendiri, atau orientasi nilai mendasar yang menimbulkan
sasaran-sasaran kehendak tertentu yang memunculkan dirinya di suatu saat
tertentu. Dengan kata lain, manusia adalah bebas, namun bayi dan kanak-kanak
belumlah manusia. Eksistensialisme tidak menyangkal bahwa seorang anak adalah
bebas hanya di dalam konteks penentuan oleh/determinisme sosial psikologis.
Para eksistensialis hanya mengesampingkan atau tidak memperhitungkan
determinisme yang kuat ini dengan menekankan kenyataan bahwa individu sekali
ia mencapai tahap tertentu dari kematangan kognitif dan dengan demikian telah
menjadi seorang manusia memiliki kebebasan psikologis yang sepenuhnya untuk
mrngaitkan diri kepada (dan dengan begitu juga untuk menafsirkan atau
menguraikan) keadaan-keadaan di luar dirinya (kondisi-kondisi eksternal) dengan
apa pun yang dikehendakinya.
Eksistensialisme dan Pendidikan
Semua itu tidaklah berarti bahwa eksistensialisme filosofis tidak bisa,
sebagaimana umumnya dianggap orang, mengemuka dalam sejenis liberalism
pendidikan. Tetapi, dalam hal ini, ada tiga batasan yang harus dibuat.

1. Eksistensialisme adalah istilah yang sangat kabur, dan kerapkali mencakup


banyak sekali sudut pandang yang sedikit sekali kesamaanya satu sama
lain, kecuali dalam kenyataan bahwa istilah eksistensialisme itu digunakan
untuk memaparkan beragam sudut pandang itu. Eksistensialisme sering
dipakai secara berbeda dalam psikologi (khususnya dalam
psikoterapi/terapi kejiwaan) dari penggunaannya dalam filosofi.
2. Sebagai sebuah filosofi, eksistensialisme tidak meresepkan kebebasan
sebagai obat bagi penyakit-penyakit sosial maupun personal. Jadi para
eksistensialis, manusia memiliki kebebasan psikologis radikal (yakni
pilihan daya tangkap bebas) dengan sendirinya, dan tidak ada cara di mana
manusia dapat menghindari penggunaan kebebasan psikologisnya itu.
Nilai tertinggi bagi kaum eksistensiali dengan demikian bukanlah
kebebasan, melainkan kesejatian/otentitas uang adalah jenis gaya hidup
tertentu yang mengikuti sejenis persiapan pendidikan yang sangat
terkendali dan terumuskan secara rinci.
3. Kaum eksistensialis tidak menentang pemecahan masalah secara
eksperimentalis sebagai pendekatan mendasar terhadap pendidikan.
Kebingungan dan kekaburan yang ada terutama muncul dari kenyataan
bahwa kaum eksistensialis menekankan persepsi (tentang) masalah (yang
merupakan bagian yang mendahului pemecahan masalah) melebihi
pemecahan masalah itu sendiri. Namun kaum eksistensialis lebih condong
untuk melihat problema-problema sebagai kesempatan-kesempatan untuk
menjadi sepenuhnya hidup (yakni untuk menjadi sadar secara aktif), dan
bukan (sebagaimana sebagian eksperimentalis
agaknyanmengisyaratkannya sebagai kesulitan-kesulitan sementara yang
harus ditaklukkan.

Dasar-dasar Filosofis Liberalisme Pendidikan.


Pada dasarnya ada tiga pengamatan secara umum yang bisa dilakukan
terhadap landasan filosofis dalam liberalism pendidikan.

1. Liberalisme pendidikan dalam budaya kita saat ini terutama adalah sebuah
ungkapan dari tradisi dominan dalam eksperimentalisme, yang
dihubungkan dengan John Dewey. Ia menganggap bahwa cara terbaik
untuk berpikir adalah untuk menyempurnakan proses ilmiah (instrumental)
pemecahan masalah, dengan cara menerapka pengendalian-pengendalian
tertentu dalam penyelidikan, yang akan melahirkan pengetahuan yang
lebih objektif.
2. Tidak semua eksperimentalis merupakan kaum liberalis pendidikan.
Sebagian (seperti misalnya kaum rekonstruksionis sosial di era 1930-an)
melampaui liberalism, membela liberasionisme sebagai satu-satunya cara
efektif untuk melembagakan kondisi-kondisi sosial yang diperlukan bagi
demokrasi sosial yang tahan lama.
3. Bertentangan dengan pendapat orang pada umumnya, kaum eksistensialis
jarang yang menjadi liberali pendidikan. Penekanan mereka pada
intelektualisme (baik dalam mitra informasional maupun mitra penalaran).
Ini membuat mereka jelas-jelas bersimpati kepada banyak hal yang
diajukan oleh kaum intelektualis. Penekanan kaum eksistensialis pada
komitmen khususnya komitmen sosial dalam mengejar jenis dunia yang
mengajukan kesejatian/otentisitas sebagai tujuan bagi semua orang
membuat mereka bersimpati dengan sudut pandang kaum liberasionis
pendidikan.

Corak-corak Liberalisme Pendidikan.


Dalam intisarinya, agaknya ada tiga corak utama liberalisme pendidikan:

1. Liberalisme metodis (yang sangat bersifat non-ideologis, karena ia


memusatkan diri pada cara-cara baru dan yang telah diperbaiki untuk
melancarkan pencapaian sasaran-sasaran pendidikan yang ada sekarang).
2. Liberalisme direktif (liberalism terstruktur), yang barangkali paling
terwakili oleh John Dewey beserta para pengikutnya, dan yang biasanya
dihubungkan dengan tradisi utama pragmatism/ eksperimentalisme
Amerika.
3. Liberalisme non-direktif (atau liberalism pasar bebas), yang kini mungkin
terwakili oleh kaum liberalism psikologis yang agak kabur, seperti A.S.
Neill dan Carl Rogers.
Liberalisme dalam Pendidikan.
Sebagaimana telah disebutkan dimuka, adalah sulit menngeneralisasikan
liberalism pendidikan sebagai sebuah sikap total dan mencakup, sebab tiga variasi
utama liberalism pendidikan kerapkali menampilkan sudut pandang yang secara
mendasar cukup jauh berbeda, serta karena ada perselisihan yang abash tentang
sifat-sifat hakiki liberal dalam sebagian ungkapan yang lebih penting lagi dalam
liberalism metodis dalam pertimbangan-pertimbangan tersebut, meski seperti
biasa juga mengesampingkan sejenak perbedaan-perbedaan antara sudut pandang
secular dan religious, dalam hal ini rangkuman tersebut juga terutama merujuk
atau dialamatkan kepada tradisi kepada tradisi eksperimentalis aliran utama, yang
di hubungkan
dengan John Dewey beserta para pengikutnya.
Tujuan Pendidikan Liberalisme Secara Keseluruhan.
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku personal
yang efektif.
Sasaran-sasaran Sekolah.
Sekolah ada lantaran dua alasan mendasar :

1. Untuk menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang


diperlukan oleh siswa untuk belajar secara efektif bagi dirinya sendiri.
2. Untuk mengajar para siswa bagaimana cara memecahkkan masalah
praktis lewat penerapan tatacara,penyelesaian masalah scara individual
maupun kelompok yang didasarkan pada metode-metode ilmiah
rasional.

Ciri-ciri umum Liberalisme Pendidikan.


1. Menganggap bahwa pengetahuan terutama berfungsi sebagai sebuah alat
untuk digunakan dalam pemecahan masalah secara praktis, bahwa
pengetahuan adalah sebuah jalan kea rah tujuan berupa perilaku efektif
adalam menangani situasi-situasi sehari-hari.
2. Menekankan kepribadian unika dalam diri setiap individu, ketunggalan
(singularitas) setiap peribadi sebagai sebuah peribadi.
3. Menekankan pemikiran efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan
perhatian utamanya kepada kemampuan setiap individu untuk
menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri secara efektif.
4. Memandang pendidikan sebagai perkembangan dari keefektifan personal.
5. Memusatkan perhatian kepada tatacara pemecahan masalah secara
individual maupun berkelompok, menekankan situasi sekarang dan masa
depan yang dekat sebagaimana dipahami berdasarkan kebutuhan-
kebutuhan serta problema-problema individual yang ada.
6. Menekankan perubahan sosial secara tak langsung, melaui perkembangan
kemampuan tiap orang berperilaku praktis dan efektif, dalam mengejar
sasaran-sasaran personalnya sendiri, menekankan perubahan-perubahan
berskala kecil yang terus menerus atau berkelanjuta, didalam sebuah
situasi yang ada umumnya stabil.
7. Berdasarkan kepada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang
terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah rasional) dan atau
prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan itu.
8. Didirikan di atas tatacra-tatacara pembuktian secara ilmiah rasional.
9. Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi terletak pada
pengetahuan yang diperoleh dari pembuktian eksperimental dan atau
tatacara pengambilan keputusan secara demokratis.

Anaka Sebagai Pelajar Menurut Liberalisme Pendidikan.


Seorang ank pada umumnya cenderung untuk menjadi baik (yakni, untuk
menginginkan atau melakukan tindakan yang efektif dan tercerahkan) berdasarkan
konsekuensi alamiah dari perilakunya sendiri yang terus berkelanjutan.
Perbedaan-perbedaan Individual lebih penting ketimbang persamaan-
persamaannya, dan perbedaan-perbedaan itu bersifat menentukan (determinative)
dalam penetapan program-program pendidikan. Anak-anak secara moral setara,
dan mereka musti memiliki kesetaraan kesempatan untuk berjuang demi ganjaran-
ganjaran sosial yang pada dasarnya disertakan (dibagikan merat). Kedirian
(kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial itu
menjadi besar bagi seluryh penentuan diri selanjutnya : si anak adalah bebas
hanya dalam konteks determinisme sosial dan psikologis.
Administrasi dan Pengendalian Pendidikan Liberalisme Pendidikan.
Wewenang pendidikan terus ditanamkan ditangan para pendidik yang
telah memperoleh latihan tingkat tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses
penyelidikan kritis dan yang mampu membuat perubahan-perubahan yang
diperlukan sehubungan dengan informasi yang relevan. Wewenang-wewenang
guru harus didasarkan terutama pada keterampilan-keterampilan yang dimilikinya
dalam keterampilan pendidikan.

Sifat-sifat Hakiki Kurikulum dalam Liberalisme Pendidikan.


1. Sekolah harus menekankan keefektifan personal, melatih anak untuk
menyesuaikan diri secara efektif dengan tuntutan-tuntutan situasinya
sendiri sebagaimana ia memahami situasi tersebut.
2. Sekolah musti menekankan pemecahan masalah secara praktis.
3. Penekanan harus diletakkan pada tatacara penyelesaian masalah secara
praktis.
4. Pelajaran harus bersifat ditentukan lebih dulu atau wajib sekaligus
pilihan, dengan penekanan yang kira-kira seimbang atau sama besar.
5. Penekanan harus diletakkan pada yang bersifat intelektual dan praktis
melebihi yang akademik.
6. Sekolah harus menekankan penjelajahan yang terbuka dan kritis ke
dalam masalah-masalah dan isu-isu kontemporer, sebagaimana itu
semua di pahami sebagai hal-hal penting oleh para siswa sendiri.
Penekanan utama musti diarahkan ke pendekatan-pendekatan
pemecahan masalah yang didasarkan kegiatan kelompok serta bersifat
antar disiplin (keilmuan), melibatkan pelatihan antar area-area tertentu
seperti misalnya praktis, meode ilmiah, ilmu-ilmu pengetahuan sosial
dan behavioral, sejarah, dan sebagian besar dari ilmu-ilmu alam serta
humanistic.

Metode-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar.


Guru harus menyadarkan diri terutama pada tatacra-tatacara pemecahan
masalah secara individual maupun kelompok yang diterapkan pada persoalan-
persoalan yang dikenali berdasarkan minat-minat personal para siswa sendiri,
penekanan harus diletakkan pada tatacara-tatacara diruang kelas yang lebuh
terbuka dan bersifat eksperimental. Disiplin dan hapalan bisa bernilai jika ia
diperlukan demi menguasai suatu keterampilan yang pada puncaknya akan
diperlukan untuk menangani problema personal yang penting secara efektif.
Namun kegiatan belajar cenderung untuk menjadi sebuah dampak samping dari
sebuah kegiatan yang bermakna, dan disiplin serta hapalan harus ditekankan
sehingga menjadi seminimal mungkin. Kegiatan belajar yang diarahkan oleh
siswa, seiring dengan perencanaan pendidikan yang bersifat persekutuan
(kolaboratif) antara guru dengan para siswa, adalah kegiatan belajar yang lebih
baik ketimbang yang ditentukan yang diarahkan oleh guru. Sang guru musti
dipandang sebagai pengorganisir dan penuntutan kegitan-kegiatan dan
pengalaman-pengalaman belajar. Ujian yang didasarkan pada peragaan aktif
(simulasi) yang bersifat praktis dikelas dalam situasi-situasi yang mirip dengan
kehidupan cenderung lebih baik ketimbang ujian biasa lewat kertas dan pensil.
Persaingan antar pribadi serta penjenjangan atau penyusunan peringkat nilai siswa
harus diminimalisir atau dilenyapkan sama sekali karena yang seperti itu
menyuburkan sikap-sikap buruk dan melemahkan diri motivasi diri siswa.
PenekNn musti iletakkan yang bersifat afektif (motivasi) yang membentuk dasar
yang kognitif. Landasan-landasan inderawi daya tangkap dan motorik emosional
juga penting artinya bagi kegiatan belajar. Penekanan musti diletakkan pada
penyesuaian prinsip-prinsip praktik yang ada sekarang dengan yang lebh baik.
Bimbingan dan penyuluhan personal serta terapi kejiwaan adalah aspek pusat
persekolahan yang normal, sebab keduanya menjamin kondisi-kondisi atau syarat-
syarat emosional yang diperlukan bagi berlangsungnya kegiatan belajar yang
efektif.
Kendali di Ruang Kelas.
Para siswa harus dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan
mereka sendiri dalam arti seketika, namun haruslah diakui bahwa pertanggung
jawaban siswa pada puncaknya tidak dapat dituntut dalam ranah konsep
tradisional ataupun tentang kehendak bebas. Para guru secara umum harus bersifat
demokratis dan obyektif dalam menentukan tolok ukur tingkah laku, ia harus
meminta nasehat atau usulan dan persetujuan siswa dalam memapankan aturan-
aturan tentang perilaku di dalam kelas.
Lantaran tindakan bermoral pada puncaknya adalah tindakan paling cerdas
dibanding yang bersedia dalam situasi khusus yang manapun juga, maka
pendidikan moral (pelatihan watak) pastilah merupakan keluaran sampingan dari
tindakan guru membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya sendiri
untuk memecahkan masalah serta secara efektif.
Liberasionisme Pendidikan.
Dalam pandangan kaum liberasionis, secara puncak pendidikn musti
berupa penanaman kembali pembangunan masyarakat mengikuti alur yang benar-
benar berkemanusiaan (Humanistik) yang menekankan perkembangan sepenuh-
penuhnya dari potensi-potensi khas dari setiap orang sebagai makhluk manusia.
Dan sekolah harus membantu para siswa untuk mengenali dan menanggapi
kebutuhan bagi pembaharuan/perombakan apapun yang tampaknya merupakan
tuntutan zaman.
Tiga corak Liberasionisme Pendidikan.
Ada tiga corak dasar Liberasionisme pendidikan, yakni:

1. Liberasionis reformis
2. Liberasionis radikal
3. Liberasionis evolusioner

Liberasionisme dalam Pendidikan


Jika perbedaan pusat pandang religious dan sekuler di dalam tradisi
liberasionisme pensisikan, maka ideology dasarnya adalah sebagai berikut:
Tujuan Pndidikan Secara Menyeluruh Liberasionisme Pendidikan.
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mendorong pembaharuan-
pembaharuan sosial yang perlu, dengan cara memaksimalkan kemerdekaan
personal di dalam sekolah, serta dengan cara membela kondisi-kondisi yang lebih
manusiawi dan memanusiakan manusia di dalam masyarakat secara umum.
Sasaran-sasaran Sekolah.
Sekolah ada tiga lantaran alasan utama :

1. Untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi kebutuhan akan


pembaharuan atau pemberontakan sosial.
2. Untuk menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang
diperlukan siswa supaya bisa belejar secara efektif bagi dirinya sendiri.
3. Untuk mengajar para siswa tentang bagaimana caranya memecahkan
masalah praktis melalui teknik-teknik penyelesaiann masalah secara
individual maupun kelompok yang didasari oleh metode-metode ilmiah
rasional.

Ciri-ciri Liberasionisme Pendidikan.


1. Menganggap bahwa pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk
melakukan pembaharuan/pemberontakan sosial.
2. Menekankan manusia sebagai sebentuk keluaran budaya, budaya
merupakan penentu sosial kedirian.
3. Menekankan analisis obyektif (ilmiah rasional) serta evaluasi atau
penilaian terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-paraktik sosial yang
ada.
4. Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang paling utuh dari potensi-
potensi khas setiap orang sebagai makhluk manusia.
5. Memusatkan perhatian kepada kondisi-kondisi sosial Yng mengahalangi
perujudan yang penuh dari potensi-potensi individu, menekankan masa
depan (yakni perubahan-perubaha dalam sistem yang ada sekarang yang
perlu untuk mendirikan masyarakat yang lebih manusiawi dan
memanusiakan).
6. Menekankan perubahan ruang lingkup besar yang segera harus dilakukan
di dalam masyarakat yang ada sekarang, menekankan perubahan-
perubahan penting yang akan mempengaruhi sifat-sifat hakiki. Perbahan
penting dalam pelaksanaan siste sosial yang mapan.
7. Didasarkan pada sistem penyelidikan eksperimental yang tercipta
(pembuktian pengetahuan secara ilmiah rasional) dan atau prakiraan-
prakiraan yang sesuai dengan sistem pendidikan semacam itu.
8. Didirikan di atas landasan prakiran-prakiraan Marxis atau Marxis baru
tentang seluruh kesadaran personal yang ditentukan oleh faktor sosio
ekonomis .
9. Mengangaap bahwa wewenang intelektual tertinggi ada ditangan mereka
yang memahami konsekuensi-konsekuensi patologis (merusak atau
penyakit) dari kapitalisme kontemporer dan segenap sikap sosial yang
dihubungkan dengannya.
Anak-anak Sebagai Pelajar.
Anak-anak condong untuk menjadi baik (yakni, kea rah tindakan yang
efektif dan tercerahkan) jika diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni
bersifat rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan-perbedaan individual lebih
penting ketimbang kesamaan-kesamaan individual dan perbedaan-perbedaan itu
besifat menentukan dalam penetapan program-program pendidikan. Anak-anak
secara moral setara dan mereka musti mendapatkan kesempatan yang setara untuk
berjuang demi ganjaran-ganjaran sosial dan intelektual yang lebih luas, lebih
mudah diakses, dan dibagikan secara lebih adil/merata. Kedirian (kepribadian)
tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial ini menjadi
landasan bagi penentuan diri lanjutan; anak hanya bebas di dalam konteks
determinisme sosial dan psikologis.
Administrasi dan Pengendalian Menurut Liberasionisme Pendidikan.
Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan minoritas yang
tercerahkan, yang terdiri atas para intelektual yang bertanggung jawa, yang
sepenuhnya sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan-perubahan sosial yang
konstruktif, dan yang mampu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu
melalui sekolah-sekolah. Wewenang guru musti terutama didasari ketajaman
intelektualnya serta kesadaran sosialnya yang tercerahkan.
Sifat-sifat Hakiki Kurikulum Liberasionisme Pendidikan.
1. Sekolah harus menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis.
2. Sekolah musti memusatkan perhatian pada pemahaman diri serta tindakan
sosial sekaligus.
3. Penekanan musti diletakkan pada tindakan yang cerdas dalam mengejar
keadilan sosial.
4. Mata pelajaran harus bersifat pilihan dalam batas-batas penentuan yang
umum.
5. Penekanan harus diletakkan pada penerapan praktis dari yang sifatnya
intelektual (praktis) melebihi apa yang secara sempit bersifat praktis
ataupun akademis.
6. Sekolah musti menekankan problema-problema sosial yang controversial,
menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-
prakiraan dasar yang menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan
kepeduliah khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di dalam ruang
kelas kepada kegiatan-kegiatan yang punya arti penting secara sosial di
luar sekolah; sekolah musti secara tipikal menampilkan pendekatan-
pendekatan antar disiplin keilmuan yang berpusat pada problema,
kesusastraan kontemporer, sejarah, dan ilmu-ilmu behavioral dan sosial.

Metoda-metode Pengajaran serta Penilaian hasil Belajar.


Harus ada penekanan yang kurang lebih seimbang atau setara pada
pemahaman problema (pengenalan dan analisis terhadap problema-problema
secara tepat) serta pemecahan masalah. Disiplin dan hapalan mungkin kadang-
kadang perlu supaya bisa mengusai sebuah keterampilan yang akan diperlukan
demi menangani problema-problema personal atau sosial yang penting secara
efektif, namun kegiatan belajar pada dasarnya adalaha keluaran sampingan dari
kegiatan yang bermakna, dan hapalan harus diminimalisir dan.atau dihapus sama
sekali jika mungkin. Kegiatan belajar mengajar yang diarahkan oleh siswa dalam
kerangka kerja kurikulum yang ditentukan berdasarkan relevansi sosialnya adalah
lebih tinggi/lebih baik daripada belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh
guru. Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual
serta keterlibatan sosialnya. Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa
tanpa dilatih/dipersiapkan lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan-persoalan
sosial yang penting adalah lebih disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan
tes-tes biasa di ruang kelas. Persaingan antarpribadi dan penyusunan peringkat
nilai siswa secara tradisional harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali
jika mungkin, sebab hal-hal semacam itu menuntun siswa pada sikap-sikap buruk
(termasuk lembaga pendidikan). Bimbingan dan penyuluhan personal, serta terapi
kejiwaan, sebagaimana ada di luar sekolah di saat ini, umumnya berfungsi sebagai
bentuk tersembunyi dan control sosial dan pelatihan penyesuaian diri anak, yang
menghalangi kesadaran anak akan kondisi-kondisi sosial yang
melatarbelakanginya, yang melahirkan problema-problema kejiwaan individual.
Kendali di Ruang Kelas Liberasionisme Pendidikan.
Para siswa musti dianggap bertanggungjawab atas tindakan-tindakan
mereka sendiri dalam arti seketika, namun musti diakui bahwa
pertanggungjawaban siswa pada puncaknya tidak bisa dituntut dalam arti menurut
konsep kehendak bebas tradisional. Para guru harus bersifat demokratis dan
objektif dalam menentukan tolok ukur perilaku, dan tolok ukur semacamitu harus
ditentukan secara bersama-sama dengan para siswa, sebagai cara mengembangkan
rasa tanggung-jawab moral mereka. Lantaran tindakan yang paling cerdas, dalam
situasi apapun, maka peningkatan kecerdasan praktis adalah corak pendidikan
moral yang paling efektif. Di sisi lain tindakan yang cerdas, sebagai sebuah cita-
cita atau corak ideal, secara sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya
masyarakat yang cerdas (yang objektif) di mana setiap orang diberi kesempatan
yang setara untuk membuat pilihan-pilihan tercerahkan berdasarkan kesempatan-
kesempatan pendidikan yang setara.
1. Anarkisme Pendidikan
Anarkisme adalah sudut pandang yang membela pemusnahan sluruh
kekangan kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk
mengujudkan sepenuh-penuhnya potensi-potensi manusia yang telah dibebaskan.
Seorang filosof anarkis akan menyetujui, pada prinsipnya, individualism
psikologis yang diajukan oleh kaum liberal. Tetapi ia akan lebih condong lagi ke
arah determinasi sosial kaum liberasionis, jika persoalannya menyangkut tindakan
praktis yang mendesak.
Pendidikan versus Persekolahan
Bagi kaum anarkis, pendidikan yang dipandang sebagai sebuah proses
yang harus ada untuk belajar melalui pengalaman sosial alamiah manusia sendiri
jangan sampai dikacaukan dengan persekolahan, yang hanyalah sebuah corak
pendidikan, dan yang hanya merupakan kaki tangan Negara otoriter. Dengan
memerosotkan tanggung jawab personal, Negara dan persekolahan membuat
anak-anak jadi tak bisa dididik dalam arti pendidikan yang sejati. Kita
memerlukan sebuah perobohan lembaga-lembaga deinstitusionalisasi yang
radikal, termasuk perobohan lembaga persekolahan (deschooling). Dalam sebuah
masyarakat yang terdesentralisasikan, terdeinstitusionalisasikan, rakyat akan
dikembalikan kepada diri mereka sendiri,
Anarkisme dalam Pendidikan.
Perbedaan antara jalur secular dengan religious dalam anarkisme
pendidikan, antara lain:
Tujuan Pendidikan secara Keseluruhan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk membawa pembaharuan/perombakan
berskala besar dan segera, di dalam masyarakat, dengan cara menghilangkan
persekolahan wajib.

Tujuan-tujuan Sekolah.
Sistem persekolahan formal yang ada sekarang harus dihapuskan
sepenuhnya dan digantikan dengan sebuah pola belajar sukarela serta
mengarahkan diri sendiri; akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan
pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar musti disediakan, namun tanpa
sistem pengajaran wajib.
Ciri-ciri umum Anarkisme Pendidikan.
1. Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah keluaran sampingan (by
product) alamiah dari kehidupan sehari-hari.
2. Menganggap kepribadian individual sebagai sebuah nilai yang melampaui
tuntutan-tuntutan masyarakat manapun.
3. Menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri dalam sebuah latar
belakang sosial yang waras dan humanistic (berorientasi pada pribadi).
4. Menganggap pendidikan sebagai sebuah fungsi alamiah dari kehidupan
sehari-hari di dalam lingkungan sosial yang rasional dan produktif.
5. Memusatkan perhatian kepada perkembangan sebuah masyarakat
pendidikan yang melenyapkan atau secara radikal meminimalisir
keperluan akan adanya sekolah-sekolah formal, juga seluruh kekangan
terlembaga lainnya atas perilaku personal. Menekankan masa depan paska
kesejarahan (posthistorical) di mana orang akan mampu berfungsi sebagai
makhluk-makhluk bermoral yang mengatur diri sendiri.
6. Menekankan perubahan berkelanjutan serta pembaharuan diri di dalam
sebuah masyarakat yang secara tetap lahir kembali, menekankan
kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau mengenyahkan kekangan-
kekangan terlembaga atas perilaku personal (deinstitusionalisasi).
7. Didasarkan pada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan secara ilmiah rasional) dan/atau berlandaskan
prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu.
8. Berdiri di atas prakiraan-prakiraan anarkistis atau semu-anarkistis
mengenai bisa disempurnakannya moral manusia di bawah kondisi-
kondisi sosial yang paling puncak.
9. Menganggap bahwa wewenang intelektual secara tepat ada di tangan
mereka yang secara tepat telah mendiagnosis konflik dasar yang ada antara
keperluan-keperluan individual dengan tuntutan-tuntutan Negara.

Anak sebagai Pelajar.


Anak-anak cenderung menjadi baik (yakni, menginginkan tindakan yang
efektif dan tercerahkan) ketika anak-anak itu diasuh dalam sebuah masyarakat
yang baik (yakni yang rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan-perbedaan antar-
individu bergerak menentang kebijaksanaan meresepkan pengalaman-pengalaman
pendidikan yang sama atau serupa bagi setiap orang. Anak-anak secara moral
setara, dan mereka musti mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk belajar
apapun yang mereka pilih sendiri, demi memperoleh tujuan apapun yang mereka
anggap layak di kejar. Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial,
dan diri yang bersifat sosial ini menjadi landasan bagi seluruh penentuan diri
selanjutnya. Anak bebas hanya dalam konteks determinisme sosial dan psikologis.
Masyarakat dan Negara tidaklah sama artinya (tidak sinonim). Masyarakat adalah
perlu bagi pemenuhan diri. Tetapi Negara menghalangi perujudan sepenuhnya
masyarakat tersebut.
Administrasi dan Pengendalian Menurut Anarkisme Pendidikan.
Wewenang pendidikan musti dikembalikan kepada rakyat dengan
mengizinkan setiap orang untuk mengendalikan hakikat dan pelaksanaan
perkembangan dirinya sendiri. Tidak perlu ada wewenang khusus yang diberikan
pada guru sebagai guru.
Sifat-sifat Hakiki Kurikulum Menurut Anarkisme Pendidikan.
1. Sekolah harus dihapuskan demi memperbesar pilihan personal yang bebas.
2. Pendidikan tidak sama dengan persekolahan;satu-satunya kegiatan belajar
yang sebenarnya hanyalah belajar yang ditentukan sendiri; dan ini hanya
bisa berlangsung secara efektif di dalam sebuah masyarakat yang tanpa
sekolah.
3. Penekanan harus diletakkan pada pemungkinan tiap individu untuk
mementukan tujuan-tujuan belajarnya sendiri.
4. Di dalam tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh sistem keberadaan sosial
manapun (yang mengisyaratkan perlunya pengalaman-pengalaman sosial
tertentu dan dengan demikian juga kegiatan-kegiatan belajar
bersama/umum), seluruh kegiatan belajar harus ditentukan sendiri oleh
yang belajar.
5. Penekanan harus diletakkan pada apa yang relevan secara personal dengan
mengorbankan pembedaan tradisional antara apa yang akademis, yang
intelektual, dan yang praktis.
6. Setiap orang harus bebas menentukan hakikat dari sejauh mana ia akan
belajar.

Metoda-metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar.


1. Siswa secara individual musti menjadi penentu metoda-metoda pengajaran
mana yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan dan rancangan-rancangan
pendidikannya sendiri.
2. Nilai disiplin dan hapalan serta lain-lainnya yang berkaitan dengan itu
harus dibiarkan menjadi rahasia orang yang belajar itu sendiri; mereka
yang menghendaki pendekatan-pendekatan direktif atau otoritarian
terhadap kegiatan belajar musti bebas untuk memilih pendekatan seperti
itu dengan dasar individual.
3. Peran-peran tradisional guru dan siswa yang diterapkan oleh lembaga
harus dihapuskan.
4. Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau, paling banter,
menjadi sebuah pilihan saja) dari proses pendidikan.
5. Penilaian/evaluasi yang terbaik adalah penilaian diri sendiri, yang harus
difungsikan hampir secara eksklusif untuk tujuan persaingan diri.
6. Secara alamiah manusia bersifat sosial dan mau bekerjasama. Dan sejalan
dengan itu, kegiatan belajar harus menekankan kerjasama serta
meminimalkan persaingan antarpribadi demiganjaran-ganjaran. Lantaran
indiviu secara alamiah bersifat mengujudkan diri, maka ia secara instrinsik
memiliki persaingan diri (bersaing dengan dirinya sendiri), serta tidak
memerlukan dorongan dari luar untuk belajar.
7. Pembedaan tradisional antara kognitif, afektif, dan interpersonal adalah
pembedaan palsu/artificial dan tidak produktif dalam memandang proses
belajar yang sebenarnya bersifat total serta organis.
8. Bisa dikatakan bahwa seluruh lembaga sosial yang berkelanjutan dan
melestarikan diri sendiri (seperti sekolah-sekolah)harus dimusnahkan
seluruhnya.
9. Bimbingan dan penyuluhan individual, serta terapi kejiwaan, sebagaimana
dilaksanakan melalui sekolah-sekolah, hanyalah satu bagian dari sistem
pembatasan sosial yang dalam kenyataan menyebabkan timbulnya
berbagai problema kejiwaan yang mereka pura-pura sembuhkan.

Kendali di Ruang Kelas


Anak-anak haruslah secara fundamental menentukan diri sendiri, dan
gagasan bahwa anak-anak sama dengan/sinonim dengan murid-murid adalah
pelanggaran tersirat atas anggapan ini. Hakikat serta isi pengalaman-pengalaman
sekolah (jika ada) harus ditentukan oleh individu-individu yang terlibat, dan tidak
didiktekan oleh agen-agen dari luar. Hanya peran-peran tingkah laku yang
terkandung situasi (situasional) yang diperoleh melaului kerja sama antara seluruh
peserta dalam kondisi-kondisi yang ada, yang bisa diterima. Aturan-aturan umum
yang diterapkan atas situasi-situasi tertentu tidaklah terkait secara secara organisir
dengan tuntutan-tuntutan situasi-situasi itu, dengan demikian salah dalam
menampilkan jenis kendali yang dalam kenyataan mungkin diperlukan.
Tindakan moral tak pelak lagi merupakan keluaran samping dari
kehidupan moral dalam sebuah masyarakat moral. Sekolah-sekolah hanya
memainkan satu pranranan insidental dalam menentukan tingkah laku bermoral.

Daftar Pustaka: Oneil. F. William. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2008.

Anda mungkin juga menyukai