Ada dua filosof yang berselisih pendapat bahwa perspektif para filosof
relatifistis menyatakan bahwa keberadaan mendahului dan menentukan intisari
(eksistensi mendahului dan menentukan esensi). Yakni bahwa pengalaman
personal ada sebelum dan melahirkan, seluruh pengetahuan ini merupakan sikap
yang berlawanan secara logis dengan sikap metafisis. Mereka tidak terlalu senang
bahwa penolakan mutlak mereka atas metafisisme (malah) dianggap sebagai
sebuah prinsip metafisis. Mereka mengikuti corak-corak aliran Betrand Russel
mereka mempertahankan pandangan bahwa sebuah komitmen mutlak (seutuhnya)
terhadap aliran relativisme bukanlah sebentuk kemutlakan (tiada terbatas) kecuali
dalam tingkat semantik atau arti kata saja, karena mereka membuat batas-batas
wacana yang benar pandangan istilah relatifistis yang ketat dan karenanya
membentuk sebuah batas tanpa tanda yang lebih jauh merintangi atau bersifat
paradoksal atau bertentangan). Relatifistis merupakan cabang dari aliran
absolutism yaitu sama menekankan suatu (kemutlakan) atau tiada terbatas.
Relatifistis menganggap absolutisme sebagai kategori yang lebih besar dan lebih
mencakup.
Perselisihannya adalah pertama, beberapa filosof menganggap mereka
meninggalkan berbicara tentang system-sistem formal filosofi, dan lebih
memusatkan perhatian mereka pada pendekatan analisis problema. Kedua
sebagian filosof lainnya mulai menggunakan sebuah istilah yang lebih
tergeneralisasikan atau penyamarataan lagi yaitu Ontologi. Ontologi
menggambarkan setiap penyelidikan terhadap hakikat (tindakan) ‘mengetahui’
dan hakikat yang diketahui (pengetahuan itu sendiri). Termasuk tindakan menilai.
Ontologi menempati ruang-ruang konvensional atau yang lazim ditempati oleh
metafisika (Apakah yang tertinggi atau asal yang bisa diketahui?), epistemology
lebih membahas cara (bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu?) dan aksiologi
(apa hakikat tertinggi dari nilai sesuatu?).Ini memiliki keuntungan, yakni
menyediakan sebuah label khusus bagi jenis spekulasi atau pemikiran tentang
hakikat tertinggi dari kenyataan yakni:
Filosofi-Filosofi Pendidikan
Pendekatan ketiga dilandasi keyakinan bahwa adalah mungkin untuk
mengenali dan merumuskan filosofi-filosofi pendidikan adanya terpisah dari
corak-corak filosof lain (yang bukan filosofi pendidikan), bahwa filosofi-filosofi
pendidikan itu setidak-tidaknya dapat dipandang sebagai filosofi-filosofi yang,
secara konseptual, dapat dipisahkan dari system-sistem formal pemikiran filosofis
tradisional.
Dengan kata lain, jika pendekatan system-sistem formal (yang masih
sangat penting perannya dalam filosofi pendidikan) cenderung untuk mengawali
kajiannya dengan kesamaan-kesamaan filosofis tertinggi yang umum, atau dengan
generalisasi atau penyamarataan, baru kemudian baru bergerak ke arah
kekhususan filosofi di bidang pendidikan dengan dasar rujukan rasional; maka
pendekatan filosofi-filosofi pendidikan cenderung untuk meniadakan tatacara
tadi.Ia berawal dari rancangan-rancangan yang lebih khusus, biasanya di wilayah
kajian etika social, yang terkait secara lebih langsung dengan problema-problema
mendasar persekolahan. Kemudian ia menata dan mengorganisir prinsip-prinsip
dan kebijakan-kebijakan itu menjadi system logis gagasan tentang hakikat dan
tujuan pendidikan.
Pendekatan fiosofi-filosofi pendidikan berbeda dalam dua hal mendasar
jika dibandingkan dengan pendekatan yang berpusat pada simpulan-simpulan
pendidikan dalam system-sistem filosofis yang mapan. Pertama, filosofi-filosofi
pendidikan bukan benar-benar merupakan filosofi dalam arti yang umum
dipahami. Mereka tidak dimulai dari sebuah keyakinan-kiyakinan umum yang
tertera (koheren), yang diarahkan kepada pertanyaan tetang filosofis dasar tentang
mengetahui dan pengetahuan. Melainkan para filosof pendidikan menggunakan
teori-teori perantara dari wilayah kajian etika social dan berbagai pertimbangan-
pertimbangan teori ya tidak terlalu abstrak atau rumit sebagai sebuah landasan
penetapan pendekatan menyeluruh terhadap berbagai problema sekolahan. Kedua,
pendekatan filosofi-filosofi pendidikan cenderung cenderung untuk beroperasi di
tingkat yang kurang di agungkan dalam berbagai filosofi utama kontemporer atau
sejaman. Setelah itu kalau diadakan prioritas pilihan baru mereka para pengajar
terlibat prinsip-prinsip filosofis pertama yang betul-betul mendasar yang kerap
kali menggaris bawahi sudut pandang mereka. Pilihan pendekatan filosofi-filosofi
pendidikan cenderung untuk memusatkan perhatian pada dua pertanyaan
mendasar dalam pendidikan yaitu :
1. Fundamentalisme Pendidikan.
Fundalisme meliputi semua corak konservatisme politik yang pada
dasarnya anti intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan
pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk
mendasarkan diri merepa pada penerimaan yang relative tanpa kritik
terhadap kebenaran yang diwahyukan atau consensus sosial yang sudah
mapan (yang biasanya di absahkan sebagai akal sehat). Ada dua variasi
dari sudut pandang semacam itu jika ditetapkan dalam pendidikan. Variasi
pertama, Fundamen tertentu yang lebih bersifat fundamentalis, yang
memiliki komitmen sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang
cukup kaku serta harfiah, sebagaimana yang di ungkap dari otoritas
Alkitab. Variasi kedua, Fundamentalisme pendidikan secular, berciri
mengembangkan komitmen yang sama tidak luwesnya dibanding yang
religious terhadap cara pandang dunia melalui akal sehat yang disepakati
yang umumnya menjadi pandangan dunia orang biasa.
2. Intelektualisme Pendidikan.
Intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme
polotik yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau
religious yang pada dasarnya otoritarian. Secara umum, Konservatisme
filosofis ingin merubah praktik-praktik politik yang ada (termasuk praktik-
praktik pendidikan, demi menyesuaikannya secara lebih sempurna dengan
cita-cita tujuan intelektual atau rohaniah yang sudah mapan tidak
bervariasi. Misalnya Konservatisme intelektual yang terpantul dalam
tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles dan yang sentral perannya dalam
posisi Thomas Aquinas (yang, pada gilirannya, kemudian menyediakan
dasar filosofis bagi sudut pandang katolok Rhoma yang dominan). Dalam
pendidikan kontemporer, Konservatisme filosofis mengungkapkan diri
terutama sebagai Intelektualisme pendidikan, yang pada intinya bersifat
secular dan dapat diamati dalam beberapa pemikiran beberapa orang
teoritisi pendidikan kontemporer seperti Robert Maynard Hutchins dan
Mortimer Adler serta Intelektualisme teologis yang memiliki orientasi
sebagaiman terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan
Katholik Roma kontemporer seperti William McGucken dan John
Donahue.
3. Konservatisme Pendidikan.
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung
ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah
teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan, didampingi dengan
rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan
perubahan sosial yang konstruktif. Dalam dunia pendidikan, seorang
konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian
dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada
dua ungkapan dasar konservatif dalam pendidikan. Yang pertama adalah
konservatisme pendidikan religious, yang menekankan peran sentral
pelatihan rohaniah sebagai landasan pembanguanan karakter moral yang
tepat. Yang kedua adalah konservatisme pendidikan secular, yang
memusatkan perhatiannya pada perlunya melestarikan dan meneruskan
keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada, sebagai cara
untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektivitas secara
kuat yang secara teologis jelas-jelas kurang liberal jika dibandingkan
dengan berbagai aliran utama (Kristen Protestan). Sedangkan
konservatisme secular cenderung terwakili oleh para kritisi yang tajam dari
kalangan pendukung progresifisme dan permisifisme pendidikan, seperti
missalnya James Koerner dan Hyman Rickover.
1. Liberalisme Pendidikan.
Bagi seorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah
untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara
mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan
dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Liberalisme pendidikan ini berbeda-
beda dalam hal intensitasnya, dari yang relative lunak, yakni liberalism metodis
yang diajukan tokoh oleh teoretisi seperti Maria Montessori, ke liberalism direktif
(Liberalisme yang bersifat mengarahkan) yang barangkali paling sarat dengan
muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalism non direktif, atau liberalism
laissez faire’ (liberalism tanpa pengarahan) yang merupakan sudut pandang A. S.
Neill atau Carl Rogers.
2. Liberasionisme Pendidikan.
3. Anarkisme Pendidikan.
Seorang pendidik anarkis seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada
umumnya menerima sistem penyelidikann eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah), atau menerima prakiraan-
prakiraan yang dianggap selaras dengan sistem penddikan semacam itu. Namun
berbeda dengan kedua posisi liberasionisme di atas seorang pendidik anarkis
beranggapan bahwa kita harus menekankan perlunya meminimalkan dan atau
menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal
bahwa kita musti sejauh mungkin yang bisa kita lakukan mendeinstitusionalkan
masyarakat yaitu membuat masyarakat bebas lembaga. Sejalan dengan itu, di
katakana bahwa pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah (pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak dalam masyaraka, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian. Sudut pandang anarkisme pendidikan meliputi beberapa posisi yang
menentang dari anarkisme taktis, yang ingin melempar sekolah-sekolah sebagai
cara untuk membebaskan kekayaan dan sumberdaya (yang terpakai dimana) untuk
keperluan-keperluan sosial yang mendesak hingga ke anarkisme utopis, yang
memimpikan terciptanya masyarakat yang secara permanen terbebaskan dari
segala pembatasan kelembagaan.
Sebuah filosofi tak pelak lagi akan berinteraksi dengan (dalam bentuk
pengaruh mempengaruhi) seluruh unsur lain dalam sebuah kebudayaan, politik,
ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Karena itu, filosofi selalu bersifat
ideologis, dalam arti konvensional dari istilah tadi, dan ia berfungsi (setidaknya
sebagian) sebagai sebuah rasionalisasi potensial bagi perubahan prakiraan
tersebut. Ringkasnya, filosofi hanyalah satu dari sekian aspek yang saling
tergantung secara timbal balik dan saling mempengaruhi, yang membentuk
keseluruhan budaya tertentu di suatu saat tertentu dalam sejarah. Filosofi tidak
bisa di pandang, di dalam dari arena dirinya sendiri, sebagai faktor penentu
perubahan sosial dalam cara apapun yang harfiah linear, atau bersifat sederhana.
Seluruh persoalan proses-proses sirkular (Sinergisme adalah proses-proses dengan
mana jenis-jenis perilaku tertentu memunculkan jenis-jenis kondisi yang pada
gilirannya, melahirkan jenis-jenis perilaku berikutnya dan menghasilkan kondisi-
kondisi selanjutnya pada puncaknya menuntut ke arah pengulangan keseluruhan
proses (dalam sebuah lingkaran sebab akibat yang pada intinya bersifat
melestarikan diri) sirkular atau membentuk lingkarn yang tak henti, lingkaran-
lingkaran sinergisme sosiologi pengetahuan, dan sebagainya, sangatlah
controversial dalam filosofi dan adalah penting untuk kita ingat bahwa perdekatan
proses sirkular hanyalah satu cara di antara sekian cara lain untuk menjelaskan
keterkaitan antara teori dengan praktek, antara pemikiran dan perilaku.
Dalam kebanyakan kasus meskipun ini pun pada puncaknya merupakan
generalisasi filosofi yang masih memerlukan batas-batasan ada sirkularitas yang
tak terelakkan dalam keterkaitan antara keyakinan-keyakinan filosofis-filosofis
sebuah masyarakat dengan prakiraan-prakiraan budayanya. Masyarakat tertentu
cenderung untuk melahirkan sudut pandang filosofis tertentu pula, yang, pada
gilirannya, cenderung untuk memperkuat atau melestarikan keyakinan-keyakinan
dominan yang melandasi lembaga-lembaga sosial, dan begitu seterusnya sering
dikatakan bahwa seluruh filosofi pada dasarnya adalah rasionalisasi sesudah (a
posteriori) munculnya sistem-sistem keyakinan yang di kondisikan secara sosial,
yang umumnya lahir dari pengalaman hidup yang intinya pra rasional atau non
rasional dalam masyarakat tertentu di saat tertentu.
Dengan kata lain, dari sudut pandang ini, petunjuk-petunjuk yang ada
dalam filosofi tradisional secara typical hanyalah sedikit lebih dari paparan yang
di idealisasikan tentang nilai-nilai inheren dalam kebudayaannya.
Sinergisme positif terjadi pada proses ini (yang di pandang sebagai proses
yang secara tersirat ataupun langsung berorientasi pada tujuan) berlangsung
sedemikian rupa sehingga menciptakan kondisi-kondisi berkelanjutan yang
condong kearah tahap-tahap berikutnya dalam proses tersebut. Umumnya, satu
lingkaran sinergisme cenderung untuk mengait dengan lingkaran-lingkaran
sinergisme lainnya, biasanya di berbagai tingkat abstraksi yang berbeda,
membawa kita pada sebentuk meta-sistem yang sangat kompleks yang memuat
berbagai lingkaran sinergisme yang jalin menjalin, tiap lingkaran berurusan
dengan aspek-aspek tertentu dari keseluruhan kenyataan. Pada gilirannya,
keberhasilan tadi menciptakan kondisi-kondisi yang perlu bagi perilaku yang
berhasil (dalam arti sasaran atau tujuan keseluruhan pola tindakan) dalam tahap
selanjutnya dalam prose itu dan begitu seterusnya.
Sedangkan Sinergisme negative, yang merupakan lawan dari sinergisme
positif, dicontohkan oleh kritik Marxis atau Neo Marxis terhadap masyarakat
Amerika yang bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Herbert Marcuse. Menurut
Marcuse kebudayaan Amerika kontemporer dapat di anggap pada intinya
berbentuk lingkaran sinergisme negative. Bagi Marx, kemajuan yang
sesungguhnya dipandang sebagai sesuatu yang tak pelak lagi terkait dengan
sebuah proses sirkular dan bersifat meneguhkan diri dalam sinergisme positif,
yang merupakan sebuah aspek dalam keseluruhan filosofisnya yakni materialism
dialektis. Jadi, dari sudut pandang Marxisme, nilai personal (kebahagiaan yang
diwujudkan dengan cara perujudan diri) pada puncaknya memerlukan adanya
masyarakat humanistis (perujudan diri secara sosial, keterkaitan sinergistik antara
seluruh kekuatan dalam sebuah sistem yang konstruktif dan progresif). Pada
gilirannya, masyarakat humanistic itu menyumbangkan diri pada penyatuan sosial
yang puncak (‘akhir sejarah’ Marxis di mana seluruh kekuatan alamiah sinergistik
menyatu dalam satu proses sosial yang positif dan bekerkelanjutan yang mampu
beroperasi secara otomatis serta tanpa campur tangan pembatasan-pembatasan
politis tradisional).
CONCLUSION
MACAM-MACAM IDEOLAGI PENDIDIKAN
A. Ideologi Pendidikan Konservatif
Ideologi-ideologi semua terdiri dari tiga pokok semua merentang
dari ungkapan religious dari fundamentalisme pendidikan, Pendapat
William F. O'neil tentang pendidikan, bahwa pendidikan yang meminimkan
kebebasan itu disebut sebagai pendidikan yang konservatif, dan itupun
terbagi menjadi 3 Yaitu :
1. Fundamentalis Pendidikan
2. Intelektualisme Pendidikan
3. Konservatisme Pendidikan
1. Liberalisme Pendidikan
Bagi kaum pendidik liberal tujuan jangka panjang pendidikan adalah
untuk melestarikan dan meningkatkam mutu tatanan sosial yang ada sekarang
dengan cara mengajar setiap anak sebagaimana cara mengatasi masalah-masalah
kehidupannya sendiri secara efektif. Ketika persoalan sampai ke hubungan antar
sekolah dengan masyarakat, kaum liberial mengambil pendekatan yang pada
intinya merupakan pendekan psikologis atau pendekatan personalities, di mana
individu didahulukan ketimbang tuntutan-tuntutan masyarakat. Pertama sebagai
kaum liberial sepakat bahwa bersifat psikologis pada puncaknya dikondisikan
oleh yang sosial, ia yakin bahwa yang psikologis itu tetap menjadi landasan
puncak bagi pembuktian kebenaran atau kekliruan/kesalahan klaim manapun
terhadap pengetahuan. Kegiatan belajar mungkin saja terjadi di dalam kerangka
acuan sosial, namun belajar itu sendiri itu selalu bersifat personal dan psikologis.
Dengan begitu, maka yang sosial mempengaruhi psikologis (atau sifatnya
subjektif) tetap fundamental adanya, karena ia merupakan landasan tertinggi bagi
seluruh pengalaman. Belajar adalah sesuatu yang bersifat personal dalam arti yang
lebih mendasar lagi jika dibandingkan dengan belajar sebagai kegiatan yang
berpusat pada kelompok. Kedua sang liberalis cenderung untuk memandang
sekolah-sekolah sebagai lembaga yang lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih
bertanggung jawab ketimbang sistem-sistem politik dimana mereka berada.
Persekolahan mustinya diatur oleh keperluan-keperluan kecerdasan eksperimental
(ilmiah) sebagaimana diterapkan pada pemecahan problema personal, ketimbang
dilibatkan dalam upaya untuk memajukan dogma-dogma tertentu yang berkaitan
dengan hakikat dan pengorganisasian masyarakat yang baik. Dalam kebudayaan
kita di masa kini, liberalism pendidikan pada intinya merupakan sebuah cabang
pertumbuhan dari sudut pandang empiris dan lebih khusus lagi, berkembang dari
sikap filosofis yang disebut eksperimentalisme yang menaati gagasan bahwa nilai
tertinggi kebahagiaan, perwujudan diri atau apapun juga secara fundamental
merupakan keluaran sampingan dari kecerdasan praktis, yakni kemampuan untuk
memecahkan problema-problema personal secara efektif dengan menjadi seilmiah
mungkin dalam hal bagaimana orang berpikir dan apa yang diyakininya.
1. Liberalisme pendidikan dalam budaya kita saat ini terutama adalah sebuah
ungkapan dari tradisi dominan dalam eksperimentalisme, yang
dihubungkan dengan John Dewey. Ia menganggap bahwa cara terbaik
untuk berpikir adalah untuk menyempurnakan proses ilmiah (instrumental)
pemecahan masalah, dengan cara menerapka pengendalian-pengendalian
tertentu dalam penyelidikan, yang akan melahirkan pengetahuan yang
lebih objektif.
2. Tidak semua eksperimentalis merupakan kaum liberalis pendidikan.
Sebagian (seperti misalnya kaum rekonstruksionis sosial di era 1930-an)
melampaui liberalism, membela liberasionisme sebagai satu-satunya cara
efektif untuk melembagakan kondisi-kondisi sosial yang diperlukan bagi
demokrasi sosial yang tahan lama.
3. Bertentangan dengan pendapat orang pada umumnya, kaum eksistensialis
jarang yang menjadi liberali pendidikan. Penekanan mereka pada
intelektualisme (baik dalam mitra informasional maupun mitra penalaran).
Ini membuat mereka jelas-jelas bersimpati kepada banyak hal yang
diajukan oleh kaum intelektualis. Penekanan kaum eksistensialis pada
komitmen khususnya komitmen sosial dalam mengejar jenis dunia yang
mengajukan kesejatian/otentisitas sebagai tujuan bagi semua orang
membuat mereka bersimpati dengan sudut pandang kaum liberasionis
pendidikan.
1. Liberasionis reformis
2. Liberasionis radikal
3. Liberasionis evolusioner
Tujuan-tujuan Sekolah.
Sistem persekolahan formal yang ada sekarang harus dihapuskan
sepenuhnya dan digantikan dengan sebuah pola belajar sukarela serta
mengarahkan diri sendiri; akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan
pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar musti disediakan, namun tanpa
sistem pengajaran wajib.
Ciri-ciri umum Anarkisme Pendidikan.
1. Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah keluaran sampingan (by
product) alamiah dari kehidupan sehari-hari.
2. Menganggap kepribadian individual sebagai sebuah nilai yang melampaui
tuntutan-tuntutan masyarakat manapun.
3. Menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri dalam sebuah latar
belakang sosial yang waras dan humanistic (berorientasi pada pribadi).
4. Menganggap pendidikan sebagai sebuah fungsi alamiah dari kehidupan
sehari-hari di dalam lingkungan sosial yang rasional dan produktif.
5. Memusatkan perhatian kepada perkembangan sebuah masyarakat
pendidikan yang melenyapkan atau secara radikal meminimalisir
keperluan akan adanya sekolah-sekolah formal, juga seluruh kekangan
terlembaga lainnya atas perilaku personal. Menekankan masa depan paska
kesejarahan (posthistorical) di mana orang akan mampu berfungsi sebagai
makhluk-makhluk bermoral yang mengatur diri sendiri.
6. Menekankan perubahan berkelanjutan serta pembaharuan diri di dalam
sebuah masyarakat yang secara tetap lahir kembali, menekankan
kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau mengenyahkan kekangan-
kekangan terlembaga atas perilaku personal (deinstitusionalisasi).
7. Didasarkan pada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan secara ilmiah rasional) dan/atau berlandaskan
prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu.
8. Berdiri di atas prakiraan-prakiraan anarkistis atau semu-anarkistis
mengenai bisa disempurnakannya moral manusia di bawah kondisi-
kondisi sosial yang paling puncak.
9. Menganggap bahwa wewenang intelektual secara tepat ada di tangan
mereka yang secara tepat telah mendiagnosis konflik dasar yang ada antara
keperluan-keperluan individual dengan tuntutan-tuntutan Negara.