Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. INTROSPEKSI PENERAPAN ELECTRONIC GOVERNMENT


Pada 2002, Pacific Council Internationa l Policy (PCIP) m enerbitkan
“Roadmap for E-Government in the Developing World” (PCIP, 2002)
untuk m embantu negara-nega ra dalam menyusun strategi penerapan dan
pengembangan e-gove rnmen t. Berdasarkan kajian dari sejumlah negara
yang dipandang berhasil menerapkan beragam inisiatif ap likasi e-
government tingka t pemerintahan setingkat negara, provinsi, kabupa ten,
dan kota, PCIP mene mukan 10 (sepuluh) faktor utama penentu
keberhasilan penerapan e-governm ent. Kesepuluh faktor ini pada saa t
yang bersamaan dapat dijad ikan ba han introspeksi bagi para stakeholder
dalam menilai perkembangan dan pertum buhan e-governme nt disebua h
negara.

1. MENGAPA KAMI MENGGUNAKAN E-GOVERNMENT ?


Banyak penerapan e- gove rnmen t yang berakhir dengan
kegaga lan karena kepu tusa n melaksanaka n proye k tersebut
didasarkan latar be lakang (ikut-ikutan dengan trend di masyaraka t).
Bahka n banyak yang bersepaka t untuk mene rapka n konse p e-
gove rnmen t tanp a m engetahui ala san yang jelas mengapa hal tersebut
harus dilakukan.
E-government bukanlah sebuah inisiatif yang mudah dan murah.
Sebelum memutuska n untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya
yang besar, harus dimengerti latar belakang yang menyebab kan
inisiatif e- government perlu (atau tidak). E-gove rnmen t bukan jalan
pintas menu ju perbaikan pertumbuhan ekonomi seca ra cepa t, atau
pencapa ian efisiensi kinerja dalam waktu singkat, pembentuka n
mekan isme pemerintaha n yan g bersih dan transpa ran. E-gove rnmen t
adalah saran a atau alat untuk menuju kepad a obyek tif- obyek tif
tersebut. E-government tidak dapat dibangun dan diterapka n hanya
dengan menyusun peraturan atau keb ijaka n pemerintah atau pimpinan
negara, namun memerluka n proses kerja keras yang diawali perubahan
paradigma.
Menggunaka n komputer atau teknologi informasi di dalam
proses pemerintaha n belum berarti bahwa konse p e-government telah
diterapkan , karen a belum ten tu kehad iran bend a tersebut dapat
merubah kinerja pemerintah . Memfokuska n pada teknologi dalam
pengembangan e-government ada lah sebuah langka h yan g keliru.
Teknologi hanya lah instrumen untuk transformasi peranan pemerintah,
dari yang bersifat birokrasi, men jadi ”lembaga ” yang berorientasi
proses untuk melayan i ”pelanggannya ”. Sebuah Negara memutuskan
untuk mengimplementasikan e-government karena perca ya bahwa
melibatkan teknologi informasi di dalam kerangka mana jemen
pemerintahan , akan memberikan sejumlah man faa t se perti:
 Meningka tkan pelayana n kepada m asya rakat da n komunitas
negara lainnya;
 Memperbaiki prose s transparansi dan akun tabilit as di
pem erintahan;
 Mereduksi biay a transaksi, komunikasi, dan interaksi;
 Menciptaka n masyaraka t berbasis komunitas informasi ya ng
berkualitas

2. APAKAH KITA MEMILIKI VISI DAN PRIORITAS YANG JELAS


UNTUK E-GOVERNMENT?
E-government diartikan secara beraga m karena pada dasa rnya e-
gove rnmen t dapa t mena mpakkan dirinya dalam berbaga i ben tuk dan
ruang lingkup. Karena itu merupaka n keharusa n untuk
m endefinisikan secara jelas visi dari pengembanga n e-government
tersebut. E-government ada lah usah a penciptaan suasana
penye lenggaraan pemerintaha n yan g sesua i dengan obyektif
bersam a (shared goals) dari sejumlah komunitas yan g
berkepen tingan . Karena itu, visi yang dicanang kan harus
mence rminkan visi bersama dari para stakeholder yang ada.
Karen a visi tersebut berasal “dari, oleh , dan untuk” masyaraka t,
mak a sangat bergan tung pad a situasi dan kondisi masyaraka t
setem pat. Misalnya di suatu pemerintaha n daerah yang sedang
m engkampanyeka n proses pemerintaha n yang bebas KKN (Korupsi,
Kolusi, dan N epotism e), mak a visi e-gove rnmen t yan g dicanang kan
aka n terkait dengan usah a pemben tukan mekanisme penyelengga raa n
pemerintah yan g bersih (goo d gove rnance). Menurut hasil kajian, visi
yan g baik di dalam e-government memiliki sejumlah karak teristik
sebaga i berikut:
 Disusun secara kolek tif oleh para stakeholder e-gove rnmen t
karena konse p ini ditujuka n untuk kepen tinga n
bersama(shared vision) ..
 Secara esensial, e-government memili ki tujuan akhir untuk
memenuh i beraga m kebu tuhan dari masyarakat dalam rangka
meningka tkan kualitas keh idupan manusia. Walaupu n dalam
beberapa kasus e-governm ent bertujuan untuk memperbaiki
kinerja internal pemerintah , namun pad a akh irnya bermuara
pada pemberian pelayana n kepada masyarakat yan g leb ih baik,
lebih murah, atau lebih c epat.
 Visi harus mudah dikomunikasikan dan disosialisasikan.

3. E-GOVERNMENT JENIS APA YANG KAMI SIAPKAN?


Setiap masyaraka t pa sti memiliki kondisi dan kebutuha n yan g
unik. Siap tidakny a merek a untuk m ulai mene rapka n konse p e-
government sangat bergan tung pada dua hal utam a,yang seca ra
langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada jen is atau
model e –government yang aka n diterapkan,yaitu:
 Kebutuhan seperti apa yan g saat ini men jadi prioritas utama
dari masyaraka t di Negara atau dae rah terkait; dan
 Ketersediaan sumber day a yan g terdapat pada domain m a syarakat
dan pemerintah tersebu t.
 Dengan kata lain, problem kesiapan untuk mene rapka n prinsip -
prins ip e- government bukan lah merupakan masalah pemerintah
saja, tetap i masalah bersama seluruh komunitas didalam domain
pemerintaha n ,yaitu masyaraka t, para pelak u bisnis, komunitas
organ isasi. Tanda -tanda adanya kesiapan biasanya berasal dari
terdapatnya pemimpin atau leade r dari pemerintaha n yan g
memperlihatkan politi ca l will untuk mempromosikan
pengimplementasian e-government. Pemimpin harus menjadi
motivator didalam fase implemen tasi (action) .Hal kedu a
menunjukka n kesiapa n pene rapa n e-gove rnmen t adan ya
”kebijakan” atau nuan sa keinginan dan kesepaka tan dari kalangan
pemerintah dan stakeholder –nya untuk saling membag i dan
tukar-menuka r informasi dalam penyelengga raa n ak tivitas
kegiatan. Pada tingkatan operasional tidak semuda h ya ng diduga
karena masalah ”m enyim pan informasi untuk diri sendiri dan
tidak ingin membag inya denga n pihak lain” telah membuday adi
dalam diri birokrat.
Dengan adany a pemimpin dan keb ijaka n di atas, mak a dua
prasyarat awal yang dipenuhi oleh komunitas yan g siap untuk
meng implemen tasikan konse p e-government. Ada sejumlah fak tor
penen tu yan g patut menjad i bahan pe rtimbangan dalam menentuka n
tingkat kesiapan sebuah dae rah untuk menerapkan e-government,
yaitu:
 Infrastruktur Telekomunikasi
 Tingka t Konektivitas dan Penggunaan TI oleh Pemerintah
 Kesiapa n Sumber Daya Manusia di Pemerintah
 Ketersediaan Dana dan Anggaran
 Perangka t Hukum
 Perubaha n Parad igma

4. APAKAH ADA KEMAMPUAN POLITIK YANG CUKUP UNTUK


MEMIMPIN UPAYA E-GOVERNMENT?
Telah dikataka n sebelumnya bahwa politi ca l will merupaka n hal
yang harus ad a di dalam perencanaa n dan pengem bangan e-
governem nt. Tanp a adanya politi ca l will, mustahil sebua h inisiatif e-
gove rnmen t dapa t dilaksanakan . Yang dimaksud dengan politi cal will
disini adalah adanya:
 Dukunga n kepemimpinan politi k memiliki komitmen
berkelanjutan;
 Ketersediaan alokasi dan a yan g telah diangga rkan dan siap
untuk dicairkan;
 Kesepaka tan untuk melakuka n koordinasi lintas sek toral;
 Niat untuk mulai menyusun undan g-undang atau peraturan guna
mendukung inisiatif yang ad a;
 Kesiapa n seluruh SDM pemerintah untuk belajar dan merubah cara
kerjanya sesua i transformasi yan g diinginkan ; dan
 Usaha untuk mensistemkan atau meng insitusiona lisasikan
konsep e – government aga r inisiatif ini dapa t berlangsung terus-
menerus (memiliki sustainabilit y yan g tingg i).

Melihat struktur kekuasaan dan manajemen di pe merintahan,


maka jelas terlihat bahwa adanya pimpinan atau leader yang m ampu
menjad i inisiator utama didalam mensosialisasikan dan m emacu
terim plementasik annya konsep e-government ada lah merupakan
salah satu kunc i kebe rhasilan. Hasil riset memperlihatkan bahwa di
balik kesuksesa n beragam proyek e -gove rmnet, terdapa t seoran g
leader dibelakangn ya. Seorang leader tidak harus seoran g visioner
dengan karisma dan otoritas yang cukup , tapi yang bersangkutan
haruslah sosok yan g rela berkorban, berani menga mbil resiko,
sanggup menca ri sumber dana, pandai melakuka n lobby , bersedia
meluang kan waktu dan tenagan ya, sanggup bekerja ekstra keras, dan
diterimakehadirannya atau keberadaanny a oleh masya rakat.
Tidak ada proyek e-government yang berjalan mulus. Pada
tahap awal saja, biasanya akan ditemukan tantanga n dari berbaga i
pihak. Sementara pada taha p konstruksinya dan implemen tasinya,
akan ditemui berbagai kendala seperti perubahan tekno logi,
kurangn ya dana, dan lain sebaga inya. Seorang leade r harus konsisten
menghadap i permasalahan dan berusah a m enc ari po tensi solusinya.
Daya taha n atau enduranc e seorang pemimpin akan diuji. Bahka n
seringka li permasalaha n e-governm ent berbau politi s dibandingka n
dengan isu teknis atau yan g bersifat content .
Seoran g pemimpin harus memiliki kemampuan untuk
”m enjual” atau mengka mpanyeka n ide e-gove rnmen t keberbaga i
pihak se cara terus-menerus. Ca rany a harus disesua ikan dengan
audience. Untuk dapat melakukannya denga n bena r, efektif, dan
menarik, seorang pemim pin harus memiliki sejumlah soft skill yan g
baik dan sedikit hardskill yang mendukun g.
Sifat leade rship haruslah bena r-bena r dijiwai oleh pelakunya,
bukan sekeda r perilak u yan g oportunis dalam arti hanya dilakuka n
karena sedang memperoleh tuga s terkait de ngan e-gove rnmen t atau
teknologi informasi di pemerintahan . Seoran g e-government
champion harus mempromosikan dan mendukun g pengem bangan e-
government terlepas dari yan g dituga skan . Konsep sustainable
leadership ini secara tidak langsung aka n menc iptakan atau
melah irkan leader-leader baru dim asa mendatang.

5. APAKAH KITA MEMILIH PROYEK E-GOVERNMENT DENGAN CARA


TERBAIK ?
Sebuah lembaga atau daerah atau komunitas yang belum
mene rapka n inisiatif e-gove rnmen t, pemilihan proyek pertama
m erupakan hal yang krusial. Karen a jika gagal, akan sulit untuk
mene lurkan sejumlah inisiatif lainnya dikemudian hari. Untuk itu,
perlu dilakukan beberapa langkah krusial terkait pemilihan proye k e-
gove rnmen t yan g te pat dan sesuai .
Lang kah pertama dilakuka n adalah melakuka n sem acam diagnose
atau terhadap status peman faa tan teknologi inform asi dikalangan
pemerintahan setempat. Banyak pertanyaan -pertanyaa n ya ng perlu
dicari jawabannya sepe rti:
 Seberapa besar pemerintah mem anfaat kan teknologi informasi
untuk membantu aktivitas sehari-hari ? Dalam hal atau bidang apa
saja peman faatan tekno logi informasi terse bu t dilakukan?
 Proyek e-government apa saja yan g telah dikerjaka n dan man a
saja yang sukses tahap pengim plem entasiannya ? Faktor apa
yang m enyebabka n kebe rhasilan tersebut?
 Seberapa besar pemerintah mengangga rkan sumber daya
finansialnya untuk belan ja teknologi informasi? Dari sumber
mana saja pembiayaa n tersebut diperoleh?
 Hal-hal ap a yan g menghambat proses / implemen tasi teknologi
informasi di lingkunga n pemerintahan? Baga imana usaha- usah a
selama ini dilakukan untuk m engatasi permasalaha n terse bu t?

Tu juan diagnosini untuk menge tahui potret da ri penggunaa n


teknologi informasi dikalanga n pemerintah guna mendapa tkan
gambaran sehubungan dengan tingka t kematangan atau maturity leve l
dari penge mbangan e- government. Status ini sangat perlu untuk
diketahui agar dapat dipilih jen is dan strateg i yang cocok dengan
tingkat kematanga n pemerintah setempat. Jika e- literacy rata-rata
pegawai pemerintaha n suda h cukup tinggi, m aka aka n dipilih
penerapan ap likasi e-government yang bersifat lintas sektoral yan g
cukup luas dan kompleks, namun jika dipemerintah terkait
penggunaa n komputer masih sangat terbatas, maka akan dipilih leb ih
dahulu jenis ap likasi penerapan e-government yan g tepat guna atau
”m urah meriah ”. Biasanya merek a yan g menerapkan e-government
dari dua sisi penyeba b yang berbeda:
 Pemerintah menghadap i permasalahan dimana aplikasi e -
governm ent dipandang dapat menyelesaikan masa lah tersebut;
atau
 Pemerintah berniat untuk memperbaiki kinerja dari serangkaian
proses yang selama ini sudah terjadi.

Dari salah satu penyeba b inilah kemudian lah ir yan g


dinamakan sebagai kebutuha n atau requirements dari pemerintah
untuk m elibatkan teknologi informasi dalam kegiatann sehari-hari.
Lang kah kedua adalah melakuka n shoparound atau melihat-
lihat bagaiman a pemerintah di berbaga i tempat atau Negara yang
berbed a menghadap i permasalaha n atau kebutuha n yang sama, da n
baga imana mereka mencob a memenuhi needs tersebut melalui
im plementasi e-government. Be lajar dari pemerintah lain yan g
sukses m enerapkan aplikasi e-government merupakan obyek tif
yan g ingin dicapa i dalam menjalani langka h ini. Biaya belajar
denga n cara demikian jauh leb ih murah. Selain berbincang - bincan g
atau berdiskusi dengan merek a yan g telah berhasil mene rapka n e-
gove rnmen t, melakuka n studi pustak a melalui sejumlah literatur
juga berman faat bagi mereka yan g terlibat dalam proyek
perencanaa n dan pe ngembangan e-government. Salah satu
metodologi yan g dilakuka n adalah mencoba menca ri the best
practice atau peke rjaa n unggulan (terbaik) ya ng pernah dilakuka n
oleh sejumlah komunitas pemerintahan dalam usahan ya untuk
m engaplikasikan modul e-governm ent terte ntu.
Setelah langkah diagnose dan shoparound dilakukan , langkah
ketiga ada lah meyakinka n para stakeholders bahwa hendak
dikerjaka n atau diaplikasikan benar-benar sesua i dan sejalan dengan
visi e- gove rnmen t yan g telah dicanangkan . Pemerintah dalam hal ini
harus peka terhadap kebu tuhan masyarakat atau mereka yang
berkepen tingan dengan kebe rhasilan proyek e-gove rnmen t.
Biasany a pemerintah yan g baik aka n m emili h jenis proyek yang
dilakukan berdasarkan asas priorit as dan manfaat.
Langkah kee mpat adalah mencoba melihat bagaiman a
pelaksanaan e-gove rnmen t dari kaca mata pengguna atau
masyarakat.
Langkah kelima adalah menca ri atau menentuka n pihak-pihak
yang akan dilibatkan pengemba ngan e-governm ent. Hal ini
disebabka n untuk memperbesar probabilit as keberhasilan proyek
tersebut leb ih jau h lag i. Mereka yang terlibat berpotensi menjadi
marketer yang baik bagi pengembanga n e- government lebih lan jut
dimasa menda tang. Biasanya para praktisi lebih se na ng memulai
pembangunan aplikasi e-government melalui pilot project yaitu
meng implemen tasikan modul ap likasi pad a ruan g lingkup terbatas
dahu lu agar leb ih manageable disamping untuk meneka n resiko
kegaga lan sekec il mungkin dan penga lokasian sumber day a
seoptimal mungkin. Didalam pene rapa n e-gove rnmen t sering
diperguna kan strategi ”think big, start small, scale fast” yan g
kurang lebih memiliki arti yan g sama.
Langkah keena m adalah mencoba mensosialisasikan
keberadaan ap likasi e- government dengan ca ra memberitahukan
prosedu r ba ru kepad a masyaraka t. Misalnya m elalui penyuluhan ,
televisi, radio, sekolah, koran . Jika pemerintah gaga l
mempromosikan ”produk baru” ini dan melakukan persuasi kepada
masyarakatnya, mak a terjadi peno lakan untuk mengguna kan system
yan g baru.
Langkah terakh ir yaitu yang perlu dilakukan ada lah
m engeva luasi pelaksanaa n sebuah proye k e-government. Cara
eva luasi yang efektif ada lah menanyaka n langsun g pendapa t
customers dari ap likasi e-gove rnmen t yang ada. Masukan dari
merek a harus benar-bena r diperhatikan dan dijadikan bahan
pertimbangan untuk melakuka n perbaikan -perbaikan di sana sini
untuk m enyempurnakan system yang ada.

6. BAGAIMANA KITA HARUS MERENCANAKAN DAN MENGELOLA


PROYEK E-GOVERNMENT?
Merencakan , mengeksekus i, dan menge lola proyek e-gove rnmen t
bukanlah peke rjaan yan g mudah . Banya k proye k e-gove rnmen t ya ng
berakh ir dengan kegaga lan karen a penge lolanya tidak mengindahka n
bak u standa r penge lolaan proyek. Inti dari manajemen proyek
sebena rnya cuku p sederhana , yaitu dapat menyelesaikan sebua h
proyek dengan ruan g lingkup dan kua litas yang diinginka n (efektif)
sesua i dengan tenggat waktu dan anggaran biay a yang telah
ditentukan(tersedia).
Proyek adalah sebuah pekerjaan yan g memiliki jangk a waktu,
dalam artikata ada titi k mulai dan titi k selesai. Sebua h tim yang
diketuai oleh project manager harus diben tuk dan bertanggung jawab
terhadap perencanaa n dan ekseskus i proyek terkait. Dalam
m engim plementasikan e-gove rnmen t, biasanya birokrat denga n
posisi yang tinggi ditunjuk sebaga i seorang projec t manage r dan
bertugas mengelola proyek. Yang bersangkutan diban tu
pelaksanaanny a oleh tim terdiri dari berbaga i individu yan g dipilih
seca ra khusus sesua i ruang lingkup aplikasi e-government yang ingin
dikerjakan . Kemudian dialokasikan sejumlah sumber daya yang
dibutuhka n seperti uang, peralatan,informasi,dan lain-lain aga r
merek adapa t menjalankan tugasnya denga n baik. Pemben tukan tim
ini haruslah dilakukan secara terinstitusionalisasi (formal) aga r
merek a dapa t melakuka n pekerjaan seca ra efektif dan efisien.
Perlu diperhatikan bahwa tim tersebut perlu diberikan otoritas
yang cuku p aga r projec t manage r dan anggotany a dapat melaksanaka n
semua strategi dan scenario yan g dimiliki.Terlebih-lebih karena
melihat bahwa kebanyaka n proye k e-government bersifat lintas
sektora atau antar departemen , sementara dipemerintaha n sistem
organisasi yang diterapka n adalah birokrasi dengan struktur co mmand
and con trol yang jelas. Jika project manage r dan tim nya tidak
diberikan wewenan g yan g cukup, mak a akan sem akin memperkecil
tingka t kesuksesan proyek tersebut. Paling tidak dikeluarkan Surat
Keputusa n resmi yan g meng ikat secara hukum terhada p
penunjukkan project manager dan pembentuka n tim terkait, dan
disosialisasikan se cara lintas lembaga agar tidak terjadi peno lakan-
penolaka n di sana sini.
Setelah tim terben tuk dan project manage r terpilih, langka h
selanjutnya ada lah menyusun struktur rencan a kerja proyek (work
break down structure) . Terdapat 6 (enam) komponen pen ting harus
diperha tikan penge lolaannya, masing-masing adalah:
1. Content Developmen t
2. Competenc y Bu ilding
3. Connectivity
4. Cyber Laws
5. Citizen
6. Capital

Hal terakh ir yang diperhatikan adalah membangu n mekan isme


efek tif agar komunikasi antara tim dengan para stakeho lder dari
proyek e-gove rnmen t terjalin dengan baik. Keterlibatan sejumlah
stakeholder dengan porsi yang tepa t akan sangat berguna terutama
dalam usah a untuk melakuka n evaluasi demi penyempurnaan sistem .

7. BAGAIMANA KITA MENGATASI KETAHANAN DARI PEMERINTAH?


Sulit di temui pelaksanaan proye k e-government yan g beba s dari
tantangan terutama di Nega ra berkemban g dimana tingkat
penge mbangan sumber daya m anusianya (human development
index ) masih relative renda h dan terbatasnya ketersediaa n sejumlah
sum be r day a penunjang lainnya. Ada bebe rap a yan g patut dipelajari,
dipaham i, dan dilaksanakan sehubungan dengan terjad inya resistansi
dan baga imana mengata sinya.
Pertama adalah mencob a memaha mi mengaparesistensi tersebut
m uncul. Analisa ini sangat pen ting untuk menca ri penyeba b dan akar
permasalahann ya. Ada bebe rap a permasalaha n klasik yang kerap
m uncul dalam setiap inisiatif implementasi e-gove rnment,misalnya :
1. Ketakutan bahwa merek a akan kehilangan pekerjaan karena
tergantikan oleh teknologi;
2. Kekhawatiran bahwa otoritas atau kekuas aan (authority power)
yang mereka miliki akan menjad i berkurang;
3. Ketidak mampuan mereka dalam menggunaka n teknologi;
4. Kesada ran bahwa adanya teknologi, m ereka akan keh ilanga n
“pendapa tan” tidak resmi yan g kerap diperoleh sehari-hari
sebagai balas jasa dari orang-oran g yan g dilayani; dan lain
sebaga inya.
Kedua ada lah menga jak para stakeho lder proye k e-government.
Hal ini baik untuk dilakukan m engingat bahwa merekalah yang
kelak aka n merasaka n manfaat dari pene rapa n e-gove rnmen t
tersebut. Adalah baik mencoba be rdiskusi dengan merek a mengena i
cara-cara mensosialisasikan proye k tersebut agar mendapa tkan
dukunga n dari beraga m khalaya k yan g berkepen tingan . Agar efek tif,
biasanya dipilih tokoh-tokoh yang berpengaruh di kom unitasny a
masing-masing. Akan lebih baik jika dapa t ditemukan sejumlah tokoh
yan g memiliki penga laman sukses menerapkan e-gove rnmen t di
komunitasny a sehingg a dapat m enjadi panutan bagi yang lain.
Ketiga adalah dengan seca ra konsisten, kontinyu, dan intens
m elakukan pen jelasan kepada masyaraka t mengena i “binatan g apa”
sebena rnya e- gove rnmen t, karen a kenyataa n bahw a konsep ini sangat
asing dikalangan awam yang notabene merupaka n m ayoritas dari
stakeholder proyek e- gove rnmen t. Hal yan g perlu diperhatikan ada lah
diperlukan kiat-kiat khusus agar pen jelasan yan g dilakukan berhasil,
buka n malah membingungka n masyarakat. Memaha mi psikologi
m assa merupaka n kunci sukses dalam memberikan pe njelasa n yan g
efektif .
Keempat ada lah dengan menyelengga raka n pelatihan-pelatihan
bag i m ereka yang ingin tah u lebih jau h mengena i konsep m aupun
ap likasi e-government. Tu juannya guna memberikan kompetensi dan
keah lian baru. Pengalaman memperlihatkan bahwa aga r pelatihan
atau training ini berlangsung dengan baik, kerjasama denga n pihak-
pihak sepe rti perguruan tinggi, lembaga riset, atau training provider
sangat dibutuhka n.
Kelima adalah melibatkan pihak luar seperti konsultan ahli atau
para pakar di bidang e-government yan g telah memiliki pengalaman
dan jam terbang tinggi di bidan g perencanaa n dan pengembanga n e-
gove rnmen t untuk menjad i nara sumber dalam usahanya
mengeva luasi dan memperbaiki kinerja proyek yang berlangsung.
Para tenag a ah li ini dapat diambil dari kalangan pemerintaha n itu
sendiri, swasta atau industri,maupun dari perguruan tinggi.
Keenam ada lah dengan membua t sua tu suasana atau lingkunga n
seh ingga yan g bersangkutan ”terpaksa” untuk mengguna kan e-
gove rnmen t walaupun mereka sebenarnya memiliki resistansi
terhada p hal tersebut. Misalnya ada lah denga n cara dikeluarkanny a
kepu tusa n bahwa system yan g lama tidak boleh dilakuka n lag i. Satu-
satunya cara untuk bekerja mulai saat tertentu ada lah dengan cara
menggunaka n system baru.
Ketujuh ada lah dengan melakuka n kampanye seca ra terus
mene rus, ba ik dengan ca ra trad isiona l seperti membag ikan atau
memasang brosur m aupun banne r, sampai denga n cara-cara mode ren
seperti menggunaka n med ia massa maupu n internet.
Kedelapan ada lah melalui cara pemberian pengha rgaa n terhadap
m ereka yang dipandang berhasil menerapkan e-gove rnmen t.

8. BAGAIMANA KITA AKAN MENGUKUR DAN MENGKOMUNIKASI


KEMAJUAN? BAGAIMANA KITA TAHU JIKA KITA GAGAL?
Prak tisi mana jemen yang bijak m engatakan dem ikian:
 “Somethingthat cannotbe measured,canno tbe con trolled ”dan
 “Somethingthat cannotbe controlled,canno tbe managed”

Yang mengandung arti bahwa kegiatan yan g mem iliki unsur-


unsur manajemen (penge lolaan sumber daya ) seperti proyek e-
government harus memiliki ukuran kinerja yan g jelas agar diketahui
status sukses/berhasil atau gaga lnya ak tivitas tersebu t. Ada dua
jenis ukuran yang dapa t dipergunaka n dalam proyek e -gove rnm ent.
Yang pertama adalah berkaitan dengan manajemen proyek itu
send iri. Sesua i dengan definisinya diman a proyek merupaka n sua tu
rangkaian aktivitas yang memiliki titi k mulai dan titi k selesai untuk
menghasilkan output tertentu dalam durasi waktu dan batasan
anggaran yan g terse dia. Dengan menggunakan standar mana jemen
proyek umum seperti misalnya PMBOK (Project M anage ment Bod y
Of Knowledge ) pada sua tu titi k tertentu dapat dilihat kinerja dari
sebuah proyek e- gove rnmen t, seperti :
 Apaka h aktivitas yan g dilakuka n sesua i tengga t waktu atau
tidak;
 Apaka h ak tivitas terkait telah mengkonsumsi anggaran yang
lebih besar dari seharusnya atau tidak;
 Apaka h individu yang diserahka n untuk melakuka n aktivitas
tertentu telah menge rjaka n pekerjaan sesuai target atau tidak;
 Apaka h pemaka ian sumber day a penun jang (seperti: baha n baku,
alat - alat administrasi, perangkat keras,dan lain-lain) dila kukan
secara optimal atau tidak;dan lain sebagainya.

Yang kedu a ada lah melakuka n pengukuran terhadap sukses


tidaknya proyek e - gove rnmen t tersebut dengan cara menurunkan
sejumlah indikator dari obyek tif yang ingin dicapa i. Ada dua jen is
indicator yan g dapat dipergunakan ,yaitu:
1. Sta n d a r Uku r a n K i n e r j a P e m e r i n t a h
a. Volume transaksi dilakuka n secara elektronik atau digital;
b. Response Time diperlukan untuk menye lesaikan suatu
rangkaian proses pelayanan kepada pela ngga n;
c. Jumlah keluhan dari masyarakat atas kualit as pelayana n
pem erintah;
d. Tambaha n fasilit as pelayana n dari pemerintah terutama ya ng
dila kukan secara elektronik;
e. Leba r jangkaua n pelayan an pemerintah kepad a
masya rakatnya ya ng tersebar di berbagai area geografis;
2. Standar U kuran Dampak Aplikasi e-Government
 Pe rsentasi jumlah pelanggan yan g m enggunaka n e-
governm ent diba ndingkan dengan aktivitas m anual
terdahulu;
 Jumlah “kunjungan ” terhadap aplikasi e-gove rnment
melalui interne t sehari-harinya;
 Besarnya pengurangan biay a di kalangan i nstitusi
pemerintaha n maupu n yang harus ditanggung oleh
masyaraka t atau penikmat/ pengguna / pem akai
pelayana n yang diberikan pemerintah;
 Peningkatan ragam produk atau jasa baru dari pemerintah
yang disediaka n bagi komunitas masya ra katnya ;
 Kemudaha n dalam “mengkonsumsi” pelayana n
pemerintahan se suai dengan kebutuhan m asyarakatnya;
dan lain sebaga inya.

Sebelum proyek dilaksanakan, pimpinan proye k harus


bersepaka t menen tukan indicator kinerja kuantitatif ma upun
kualitatif yan g hendak dipergunakan sebagai acua n(bench mark) .
Cara menentukan bak u ukuran benchmark dapat berdasarkan pada
hal-hal sem acam :
 Melihat baga imana pemerintah daerah atau negara lain
mem ilih dan menen tukan sua tu ukuran untuk jen is proyek
sejenis;
 Melakuka n polling atau jajak pendapa t dimasyarakat dan
menyimpulkan hasilnya;
 Melalui survey yan g dilakuka n oleh para peneliti atau lem baga
independe n lainnya ; dan lain sebaga inya .

9. SEHARUSNYA APA HUBUNGAN KITA DENGAN SEKTOR SWASTA?


Dalam melaksanaka n proye k e-government, pemerintah tidak
dapa t bekerja sendiri merek a harus didukung denga n partisipasi
swas ta yang notabene di bidang teknologi inform a si yang di
pergunaka n dalam e-gove rnmen t dan akses lebih baik ke se ktor
keuanga n dan pembiayaan . Pemerintah dalam kaitan ini harus
mengangga p dan mem perlakukan perusahaa n- perusahaa n pad a sektor
swasta sebagai mitra kerja (partner) khususnya dalam membangu n
konsep e-government. Keberadaa n sektor sw asta tidak lagi sekeda r
sumber diman a pemerintah m emperoleh pemasukan pajak yang
merek a baya r, tetapi menjad i tem pat dimana dapat ditemukan para
paka r, tenag a ah li, profesiona l, dan sum ber day a pen ting lainnya.
Penga laman mereka dalam menc iptakan produk dan memberikan
pelayana n terbaik bagi pelanggannya merupaka n harta yang sangat
berharga bagi pemerintah. Dengan kata lain, jangan memandang sektor
swasta hanya sebaga i tempat pengalihdayaa n semata (outsourcing) ,
tap i jadikan lah m ereka mitra kerja sehari-hari.
Meman g disada ri bahwa untuk dapat men jalin kemitraan yang
efektif antara pemerintah dan sektor swasta dica ri format berdasarkan
shared value yang coco k . Apapu n bentuk kerangk a kerjasam a yang
dilakukan , semua pasti berangkat dari anggapa n atau pemahaman
bahwa baik pemerintah maupu n sektor swasta membutuhkan “return
on investment” -nya masing-masing dalam penge rtian yan g luas (atau
kerap diistilahkan sebagai win-win solution ). Jika visi dan misi dari
pemerintah terkait langsung denga n usa ha untuk men ingkatkan peran
pelayanann ya kepada masyarakat (public services) , sementara sektor
swasta adalah untuk m enca ri keuntunga n komersial, maka kerangka
kemitraan yan g perlu dibangun harus dapa t memenuh i kedua obyek tif
tersebut. Misalnya adalah denga n ca ra penge rjaa n proyek e-
government dipercayaka n kepada sebua h perusahaa n terten tu diman a
yang bersangkutan selama proye k berlangsung harus melakukan
transfer of knowledg e kepad a pihak pemerintaha n yang kelak aka n
menjalankan aplikasi e-government yan g dibangun , seh ingga
pemerintah dapat meningka tkan kua litas pelayananny a kepad a
masya rakat.
Dalam setiap kesempatan , hampir pasti skenario berikut aka n
terjadi. Perusahaa n berusah a men jual produk dan jasa komersialnya
kepada pem erintah terkait denga n pengembanga n teknologi informasi
untuk keperluan e-gove rnmen t. Sementara dilain pihak pemerintah
perlu menca ri cara untuk dapat “men jual” pelayana n melalui e-
government tersebut ke m asyarakat agar merek a senang
menggunakannya . Jika ma sing-m asing pihak yan g memahami masing-
masing posisi tersebut, maka untuk menca ri kerjasama yang tepa t akan
menjad i leb ih mudah. Sektor swasta harus memberikan “jaminan” atau
“kiat-kiat” atau “strateg i” atau “metodologi” aga r produk dan jasanya
nanti aka n denga n muda h berhasil diperguna kan oleh masyaraka t,
sementara pemerintah harus memberikan pula jaminan bahwa
kewajiban komersial yan g harus men jadi hak sektor swasta (seperti
kejelasan sumber dana, ketepa tan termin pembayaran, dan lain-lain)
sesua i dengan kontrak yan g ada dapa t dilaksanakan denga n baik.
Cara lain yang dapat dipergunaka n ada lah dengan memaha mi
kekua tan yang dimili ki oleh masing- masing pihak. Hal ini perlu untuk
dilakukan karen a dalam berbagai konteks atau inisiatif, kekuatan yang
dimiliki oleh masing-masing pihak dapat berbeda -beda . Dengan
menge tahui kekuatan (dan tentu saja kelemahan) dari setiap pihak
mak a dapa t ditemukan kerangka kerja sama yang tepa t karen a
biasanya kekuatan yang dimiliki satu pihak akan menu tupi kelemaha n
di pihak lain. Pemerintah pun harus bersifat profesiona l karen a pada
kenya taannya banyak sekali pihak swasta yan g berkepen tinga n
sem entara di an tara mereka sendiri saling berkompetisi untuk
menawa rkan produk, jasa, dan bentuk kerjasamanya masing-masing.
Dalam kondisi seperti ini, jelas asas keb ijaksanaan , kearifan , dan
kead ilan aka n sangat berpengaruh. Dari sisi pemerintah cukup mudah,
dalam arti kata yang bersangkutan perlu mengada kan beauty con test
terhada p masing-masing calon m itranya sebelum yan g bersangkutan
melakukan pemilihan. Proses tende r atau bidding yang transparan
merupaka n salah satu cara yan g kerap dipergunaka n terkait dengan
kondisi ini. Prinsipnya , siapa yang dapa t memberikan sesuatu yang
terbaiklah yan g berpotensi men jadi mitr a strategis pem erintah.

10. CARA E-GOVERNMENT BERPARTISIPASI MENINGKATKAN


WARGA DALAM BIDANG MASYARAKAT?
Target terakh ir atau ultimate goal dari sebuah evolusi e-
governm ent adalah perbaikan dan peningka tan terhada p partisipasi
publik dalam proses pemerintahan . Publik – yang merupaka n
kumpulan dari individu, komunitas, dan sektor swasta di dalam sua tu
negara – dapa t berpartisipasi di dalam e-government dalam bentuk hal-
hal semacam:
 Memberi pen ilaian terhada p pemerintah yang akan diberlakuka n
atau yang telah diinstitusiona lis secara bebas dan aktif melalui
fasilit as email atau mailing list ;
 Menca ri data atau informasi yan g dibutuhka n untuk penunjan g
aktivitas sehari-hari dari sejumlah website yan g dimiliki oleh
pem erintah;
 Mengikuti beraga m dialog atau public hearing yang dilakuka n
seca ra online melalui internet; dan lain se ba gainya.

Partisipasi publik merupaka n hal yang pen ting karen a tugas utama
pemerintah untuk melayani publik. Jenis dan ragam pelayanan beserta
kinerjany a akan efektif apab ila publik sebagai pelanggannya seca ra
ak tif dilibatkan dalam prose s pengambilan kepu tusan . Lihatlah
baga imana sering terjad i adany a demonstrasi melawan kepu tusa n
pemerintah karena ap a yang dilakuka n tidak sesuai dengan harapa n
dan suara hati rakyat atau masyaraka tnya. Melalui implem entasi e-
gove rnmen t, kolabo rasi an tara pemerintah denga n publiknya dapat
dilakukan dengan mudah , murah , dan cepat.
Ada pendapa t yan g mengataka n bahwa citizens are the e-
gove rnment experts yang ber arti kurang leb ih bahwa masyarakatlah
yan g paling tahu betul kebu tuhan merek a sehari-hari dan dalam
kerangk a bagaim ana pemerintah harus memban tu mereka dalam hal
memberikan sejumlah produk dan pelayana n. Tanpa berkonsultasi
denga n mereka , sering kali aspe k demand dari publik tidak sesuai
denga n aspek supply atau bahkan bertentangan dari yang diberika n
pemerintah.
Sebuah proses evo lusi dan penge mbangan e-governm ent dapa t
dikatakan berhasil apabila partisipasi publik dalam me nggunaka n
tekno logi ini semakin bertambah dari hari ke harinya . Spektrum
bentuk partisipasi dalam e- government sangat leba r variasinya, mulai
dari berperan sebagai use r ak tif dari aplikasi yan g ada, sampai denga n
turut meranca ng dan m engevaluasi proyek e- governm ent yang
dikembangkan.
B. PENERAPAN KONSEP BUSINESS PROCESS REENGINEERING PADA
PEMERINTAHAN
Ketika untuk pertama kalinya konse p Business Process Reeng ineering
(BPR) diperkena lkan oleh Michae l Hammer dan James Champy pad a awal
tahun 1990-an , beribu-ribu perusahaa n berlomba-lomba untuk
menerapkan para digma baru dalam memandan g bisnis tersebut.Hasilnya
cukup menge jutkan, dalam arti kata cuku p banyak perusahaa n yang pad a
akhirnya berhasil me ningkatkan kinerjany a seca ra signifikan dan
mentransformasikan dirinya menjad i sebua h korporasi kelas dunia.Dari
hasil yang didapatkan terlihat bahwa paradigma yang diperguna kan di
dalam BPR merupakan sebuah batu loncatan efektif dalam membantu
pem erintah meng implemen tasikan konsep “electronic government” (e-
Gove rnmen t), yan g merupakan perwujudan dari model pemerintahan di
masa menda tang. Artikel ini m emperlihatkan bagaim ana pene rapa n pola
pola pikir dalam teori BPR m emba ntu pemerintah dalam memahami dan
menjawab berbaga i tuntutan perubahan jam an dewasa ini, terutama
bagaiman a pene rapa n teknologi informasi dapa t membantu pemerintah
Indone sia dalam usahan ya untuk mered ifinisikan kembali dirinya dan
mencoba untuk menjad i salah satu agen perubaha n dalam menu ju sebuah
negara moderen .

1. TANTANGAN PEMERINTAH DI MA SA DEPAN


Globalisasi merupakan sebuah fenomen a dimana nega ra-nega ra
di dunia seca ra langsung maupun tidak langsung mengha rapka n
terjad inya sebua h interaksi an tar masyarakat yang jau h lebih efek tif
dan efisien dibandingkan dengan saat -saat sebelumnya (Douglas,
2001). Proses interaksi dan komunikasi antar negara-negara di dunia
aka n jau h leb ih intens diband ingkan dengan apa yang selama ini
pernah terjadi. Kenyataa n bahwa globalisasi telah membuka isolasi
batasa n an tar negara yang selama ini berlak u - terutama untuk hal-hal
yan g berhubungan denga n politi k, ekono mi, sosial, budaya, dan
hukum .
Seperti layaknya dua sisi pad a mata uang , fenomen a globalisasi
men janjikan sebuah lingkungan dan suasan a kehidupa n
bermasyarakat yang jau h lebih baik; semen tara di sisi lain, terdapat
pula potensi terjad inya chaos jika perubahan ini tidak dikelola dan
dijalan i secara baik. Karen a di sebuah nega ra dapa t melakuka n ap a
saj a yang dikehenda kinya (misalnya berdagang , bermitra,
berkolabo rasi, berbuat kejahatan , berkolusi, dan lain-lain) denga n
individu yan g berada di nega ra lain, maka jelas bahwa kehidupan
masyarakat harus t terleb ih dahu lu ditata dengan baik di dalam sebua h
sistem yan g menjamin bahwa nega ra yang bersangkutan akan
m emperoleh man faat yan g besar di dalam lingkunga n global, buka n
sebaliknya (Indrajit, 2001).
Visi pemerintah sebuah nega ra selain memiliki dimensi internal
(cita -cita bangsa yang bersangkutan) tidak dapa t pula dilepaska n dari
sejumlah aspe k eksternal, terutama yang berkaitan dengan tuntutan
pemenuhan berbagai aspek relasi antar nega ra dan an tar anggo ta
masyarakatnya. Adalah merupakan suatu fak ta bahwa terdapat
desaka n dari nega ra-negara besar yan g mengharuska n setiap negara di
dunia untuk menjamin terselengga rany a berbagai isu penting
semaca m demokratisasi, hak asasi manusia, kepastian hukum,
pencegaha n korupsi, transparansi bisnis, dan lain sebaga inya agar
negara yang bersangkutan tidak ingin dikucilkan dari pergaulan
dunia (Leer, 1999).
Dalam format ini pemerintah di sebuah negara diminta untuk
lebih responsif terhadap berbagai permintaa n masyarakatnya ,
terutama mereka yang memiliki ketergan tungan yang tinggi dengan
birokrasi pemerintahan. Jika pemerintah terkenal denga n
birokrasinya yan g sangat lambat, boros, dan sangat fungsiona l, maka
masyarakat membutuhka n sebuah kinerja pemerintah ya ng cepa t,
murah, dan berorientasi pada proses agar dapa t memberikan dukungan
yan g signifikan dan kompetiti f bagi merek a yang dilayan inya
(individu, komunitas bisnis, masyarakat, dan stakeho lder yan g lain).
Ten tu saja m erubah parad igma tersebut bukanlah hal yan g mudah .
Namun di sisi lain perubahan merupakan sua tu keha rusan, bukan
pilihan (ICGFM, 20010). Dan yan g dapat melakuka n perubahan seca ra
cepa t, akan semakin diuntungkan karena dapa t beradaptasi denga n
lingkungan baru, yan g bersangkutan dapa t men jadi pemain kunci
dalam mekanisme globa l tersebu t.

2. MEMAHAMI KONSEP BPR


Ada dua hal utama yan g kerap mengawa li berbaga i usaha
perubahan. Pertama berkaitan dengan derajat perubahan ya ng
diinginkan, semen tara kedua berkisar pada dari sisi man a inisiatif
perubahan harus dimulai (Cha mpy, 1995). Ada baiknya dilihat
sejumlah teori perubahan pada organisasi yang telah dikena l luas.
Secara teo ri, spek trum perubahan dapa t diklasifikasikan menjad i tiga
kelom pok besar, yan g diklasifikasikan berdasarkan parameter, yaitu
frekuensi ap likasi perubahan dan dampak yang diharapkan dari
inisiatif pe rubahan (Tenne r, 1996) :

Sumber: Arthur Tenne r et. al., 1997

• Continuous Improvement – perubahan seca ra perlahan - lahan dan


kontinyu, hasilnya berupa perbaikan kinerja seca ra inkreme ntal;
• Leap frogging – perubaha n seca ra bertahap de nga n mengikuti
periode terten tu, menghasilkan perbaikan kinerja yan g signifikan
pada sektor tertentu; dan
• Reenginee ring – perubahan yan g dilakuka n seseka li namun sanggup
menghasilkan sebuah perbaikan kinerja yan g sanga t signifikan.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yan g secara relatif
sem akin terpuruk posisinya karena krisis yan g berkepan jangan ,
pendekatan perubahan yang pertama dan kedua tentu tidak memberikan
penga ruh yan g berarti. Jika pemerintah dan m asya rakat secara serius
ingin men ingkatkan keunggulan kompetiti f Indonesia, maka ada
baiknya metode ”Reeng ineering” dipelajari dan dicoba dicari jalan
penerapannya.
BPR merupaka n salah satu metodologi yan g di dalam klasifikasi
terkait. Secara definisi, BPR memiliki empat bua h karak teristik utama,
yaitu (Hamm er, 1993 ):
 Hasil perubahan yan g diharapkan bersifat dramatis (sangat
signifi kan);
 Parad igma perubaha n dihasilkan dari pemikiran yang be rsifat
funda mental (sangat m endasar);
 Peranc angan lingkungan yang baru dihasilkan m elalui ide -ide
radikal; dan
 Fokus perubaha n yang diarahka n pada perbaikan prose s.

3. TEKNIK MEMULAI PERUBAHAN


Menurut metodologi, langkah pertama dan utama yang harus
dilakuka n adalah menen tukan siapa saja sebenarnya ”customer” dari
pemerintah (Dorine, 1994). Hal ini perlu diperhatikan seca ra sungguh-
sungguh karena pada dasarnya keberadaan organisasi pemerintahan
adalah menjalankan serangkaian proses untuk melayan i berbaga i
kustomer yang berbeda -beda . Secara um um, sebuah organisasi
pemerintaha n dapa t dikelom pokkan men jadi bebe rap a katego ri sebaga i
berikut:
 Masyaraka t –kumpulan individu, kelom pok, atau komunitas yang
sehari-harinya m embutuhkan sejumlah pelayana n tertentu dari
pemerintahny a untuk kebutuhan aktivitas sehari- hari;
 Pelaku Bisnis (Industri) – seke lom po k perusahaa n dan/atau
organ isasi komersial yan g sehari-harinya melakuka n kegiatan
pertukaran baran g dan jasa untuk m enggerakkan roda
perekonomian nasional;
 Organisasi – kumpulan orang-oran g yang memiliki misi tertentu
dalam sebuah kerangk a bernegara, seperti misalnya: LSM, partai
politi k, yayasan , perhimpunan, perguruan tinggi, dan lain
sebagainya; dan
 Institusi Pemerintah Lain – yang merupaka n mitra kerja sebuah
organ isasi pemerintaha n karena adanya unsur keterkaitan dalam
proses.

Pada dasarnya kustomer ini memiliki obyek tif yan g berbeda


dalam hubungan berinteraksi denga n pemerintahan . Masyaraka t
membutuhkan berbagai pelayana n pemerintah yang berkaitan dengan
kebe radaanny a sebagai seoran g penduduk atau warganega ra, seperti
misalnya menyangkut proses-proses berhubunga n dengan : pembua tan
KTP, perpan jangan STNK, kepe milikan harta benda, permasaha lan
hukum, dan lain sebagainya . Kelompok pelak u bisnis membutuhka n
keterlibatan pemerintah sehubungan denga n proses-prose s sepe rti:
transaksi jual beli, pembayaran pajak, ad ministrasi ekspor- impor,
pengu rusan imigrasi, dan lain sebagainya . Kelompok organ isasi di lain
pihak membutuhkan keterlibatan pemerintah dalam sejumlah proses
berkaitan dengan: pendirian organ isasi, eksekus i kegiatan komunitas,
pen jaminan pencapa ian misi, penggunaa n sumber daya, dan lain
sebaga inya. Sementara institusi pemerintahan lain perlu melakukan
sejumlah koordinasi dan komunikasi untuk men jalanka n berbaga i
prose s yan g bersifat lintas sek toral.

4. PEMETAA N DAN PENGKAJIAN PROSES


Tujuan dilakukannya pemetaan ini ada lah sebagai berikut (Hunt,
1996):

 Mendapa tkan gambaran keseluruhan bagaiman a proses di dalam


pemerintaha n saling terkait dan berjalan selama ini;
 Memudahka n penemuan dan pengka jian terhadap sejum lah sub-
proses yang kinerjany a rendah untuk kemudian dicari akar
penyebabn ya; dan
 Memban tu menca ri jalan keluar dalam proses perubaha n desa in
agar m enghasilkan suatu kinerja perubahan yang signifi kan.
Aga r prose s pemetaan dan pengka jian dapa t dilakuka n seca ra
mudah dan cepa t, banya k sekali perangka t luna k (software) yan g dapat
dipergunakan, seperti misalnya : Exten d (Imag ine That Inc.),
WITN ESS Simulation (AT&T ), SIMPROCESS (CACI Products Coy),
ITHINK (Pe rformance System s Inc.), dan lain-lain (Im agineTha t,
1995).

5. PERANCANGA N PROSES BARU


Di mata kustomer, kinerja pemerintah dalam melayani publik
dianggap membaik jika prose s pelayanan terlihat semak in bertambah
baik, bertambah murah, dan bertambah ce pat. Untuk menghasilkan
proses yan g diinginkan tersebut, ad a 4 (empat) ha l yang harus
dilakuka n oleh pemerintah sehubungan dengan proses yang terjadi di
sejumlah organisasinya, masing-masing ada lah (Hammer, 1996:

Sumber: Exten d Software Inc., 1998

 Eliminasi - pengh ilanga n atau pemangkasa n proses;


 Simplifi kasi – penyede rhanaa n rangka ian proses;
 Integ rasi – penggabunga n bebe rap a prose s ya ng dapat
dilakuka n sekaligus secara bersamaa n (sim ultan); dan
 Otomatisasi – pengalihan proses dari yan g biasa
dikerjakan manusia menjad i keg iatan yang dijalanka n
oleh teknologi.

Be rdasarkan pengalaman dari negara-nega ra maju, dan juga


sejum lah nega ra tetangga Indonesia teknologi informasi (perpaduan
an tara teknologi komputer dan telekomunikasi) ternya ta mampu
melakukan keempat strate gi peningka tan kinerja proses tersebut
(Ho, 2000).
Ada dua jenis pendeka tan perancanga n proses baru yang dapat
dilakukan. Pendeka tan pertama ada lah mengkaji proses yang
dikerjaka n pada saat ini, kemudian dilihat kemungkinanny a untuk
dilakukan eliminasi, sim plifi kasi, integrasi, dan otomatisasi melalui
pemanfaatan teknologi informasi yan g ada.
Semen tara pendeka tan kedua dengan m elakuka n
perbandingan (benchmarking) terhada p apa yang dilakukan
pemerintah neg ara lain sehubungan denga n proses serupa , dan
m encoba untuk menerapkannya di Indonesia (biasanya aka n dipili h
prose s yang terbaik dari hasil perband ingan, atau yang kerap dikenal
denga n istilah ”best practices” ).
Jika kedu a pendeka tan ini dilakuka n maka aka n dijamin
terjad inya sebuah perbaikan signifikan . Bahka n seca ra prinsip,
perancanga n prose s baru ini merupakan sebuah cikal bakal atau
embrio dari lahirnya sebuah konsep ”Elec tronic Governm ent” (e-
Government) di Indonesia, yang oleh Bank Dunia didefinisikan
sebaga i (Belt, 2001):
“E-Gove rnment refers to the use by gove rnment agencies of
information techno logies that hav e the abilit y to transform relations
with citizens, businesses , and other arms of government. ”
Pemaha man yang utuh dan lengka p mengena i konsep e -Governm ent
dan pene rapa n strateg i perampingan prose s melalui metodologi BPR
seca ra tidak langsung aka n membawa pemerintah kepada tantangan
perubahan parad igma seca ra mendasar dan rad ikal yang perlu untuk
dipertim bangkan .

6. PERUBAHAN PARADIGM A
Dalam kerangk a perubahan, paradigma yan g selama ini efektif
dipergunakan harus mulai digantikan denga n paradigma e-
Government. Setidak - tidakny a ad a 8 (delapan ) aspek yang
membedaka n antara kedua buah paradigma tersebut, yaitu (Haedler
2001 dan Pellici 2001):
1. Orientation;
2. Process Organiz ation;
3. Manage ment Principle;
4. Lea dership Style;
5. Internal C ommunication;
6. External C ommunication;
7. Mode of Service Delivery; dan
8. Principles of Service Delivery.

7. ORIENTATION
Orientasi dari parad igma birokrat ada lah menghasilkan produk
atau pelayana n yan g hemat biay a (cost-efficien t) kepad a masyaraka t
dan merek a yan g berkepentingan (stakeho lders). Orientasinya pada
efisiensi karena bukan merupaka n rahasia umum bahwa biaya
pem erintahan diam bil langsung dari angga ran belanja nega ra/daerah
yang terkadan g sanga t kecil dibandingka n dengan volume dan
frekuensi produk/pelayana n yan g harus diberikan kepad a masyarakat.
Karen a selalu menggunaka n ukuran biaya sebaga i fokus, mak a
dimaklumi jika banyak produk atau pelayana n yan g diberikan kalangan
birokrat memiliki kualitas yan g renda h dan cende rung terkesa n asal-
asa lan.
Di dalam e-Government, pemberian produk dan pelayana n harus
berorientasi pad a kepuasa n kustomer (customer satisfac tion oriented ).
Ukuran kebe rhasilan pemberian produk dan pelayana n dari pihak
pemerintah kepada masyaraka t adalah jumlah keluhan pelangga n
terha dap kualit as produk dan pelayanan yang diberikan.
Hal yang lain yang harus diperhatikan, produk maupun pelayana n
yang diberikan pun harus dapa t fleksibel (di sisi ekstrim, setiap produk
atau pelayanan harus dapa t disesuaikan /tailor-mad e denga n kebutuha n
unik masing-m a sing individu). Di da lam pendekatan konvensional
masyaraka t harus datan g ke birokrat, di dalam e-Government
pemerintah harus dapat m enjawab kebu tuhan masyaraka t 24 jam sehari
dan 7 hari seminggu, dari man a saja dan kapan saja.

8. PRO CESS ORGA NIZATIO N


Pemerintah membagi dirinya m enjadi depa rtemen-depa rtemen
atau divisi-divisi berdasarkan spesialisasinya masing-masing
(fungsional) diman a setiap depa rtemen akan diberlakukan struktur
organ isasi yan g disusun denga n paradigm a yang sama. Tujuan
dibangunnya mesin birokrasi semaca m ini agar kontrol internal seca ra
dapat berjalan dengan baik. Dampak dari pendekatan organisasi adalah
pembentukan teritori pad a masing-masing bagian sehingga terkadan g
membuat penyelesa ian serangka ian peke rjaa n menjad i lambat dan
mahal. Ba gaimana masyarakat kerap di-“ping-pong” dari satu bag ian
ke bag ian yan g lain jika yang bersangkutan ingin mendapa tkan
pelayana n terten tu. Di dalam e-Government, feno mena semaca m itu
tidak boleh terjad i karena akan sangat merugikan masyarakat dan
mereka yang berkepen tinga n dengan pemerintah . Masyaraka t
menuntut agar berbaga i prose s pelayana n ya ng diberikan dari hari harus
semakin baik, cepa t, dan murah. Untuk keperluan tersebut, pemerintah
merombak ulang struktur organisasi rigid-nya agar dari yan g bersifat
fungsional dapa t mendukung aktivitas yang berbasis proses. Jelas
terlihat bahwa kerja sama antara departemen (lintas sektoral) harus
terjadi. Di dalam e-Government, tuntutan ini dapat men jadi kenya taan
bila pemerintah mengimplementasikan sistem jaringan antar
departemenny a yang berfungsi saling tukar-menuka r inform asi melalui
sistem informasi (ap likasi) yan g terintegrasi.
9. MANAGEMENT PRINCIPLE
“Manage ment by Mandate an d Rule”, artinya seseo ran g akan
bergerak jika m enda patka n mandat dari atasannya yang biasanya
secara sah dinyatakan dalam surat keputusan. Buruknya gaya
manajemen ini adalah tidak beraninya atau tidak maunya seseo ran g
karyawan untuk bekerja atau menga mbil inisiatif jika belum diberikan
perintah atau manda t dari atasannya . Hal ini m enyebabka n lambatnya
kerja dari manajemen di segala lini yan g bermuara pad a buruknya
pelayana n yan g diberikan pada pelangga n internal maupun eksternal.
Di dalam paradigma e-Gove rnmen t, gay a manajemen pemerintaha n
harus lebih fleksibel dalam arti kata harus dapat selalu beradap tasi
denga n berbagai perubahan kebutuhan para pelanggan, baik dari
kalanga n birokrat sendiri (internal) maupu n dari luar lembag a
pemerintaha n (eksternal). Kunci sukses m anajem en denga n gay a
fleksibel ini terletak pada kemampuan birokrat beke rja secara tim
(teamwork). Tim yang terdiri dari berbagai sumber daya manusia dari
beragam struktur organisasi ini bekerja sama untuk mengha silkan
sebuah rangka ian produk atau pelayanan yan g baik dan berkualitas.

10. LEADERSHIP TYPE


Gaya kepemimpinan terbukti efek tif di dalam me ngelola struktur
organ isasi birokratis ada lah “co mman d and con trol” seperti yang biasa
diterapka n pada organ isasi milit er. Agar m e sin birok rasi dipastikan
berjalan efektif sesua i denga n pagu yang disusun bersama. Namun
kelemahannya ada lah berkurangn ya potensi kreativitas pada masing-
masing sumber daya manusia karena yan g be rsangku tan hanya beke rja
berdasarkan perintah dari atasan semata. Karena struktur organ isasi
merupakan satu-satunya alat mana jemen yang dipergunakan untuk
berkomunikasi, maka secara tidak langsung gay a kepe mimpinan yang
ada akan menular sampai ke unit organ isasi terkec il yan g ad a pa da
struktur. Dengan kata lain, karena semua memiliki gaya kepemim pinan
pasif, maka sebaga i organ isasi aka n sulit berkembang dan adaptif
terhadap perubahan lingkungan . Mene rapka n e-Gove rnmen t yang
efektif berarti memaksa para birokrat untuk mengubah gay a
kepemim pina nnya. Idealnya, mereka haruslah seseo ran g yang dapa t
menggabungkan antara gay a kepe mimpinan seorang profesiona l dan
seoran g wira swastawan (entrepreneurship). Karena seluruh
departemen telah dihubungkan m elalui infrastruktur teknologi
informasi (data, aplikasi, dan tekno logi), mak a fungsi pemerintah
menjad i berubah , dari seorang pemberi perintah dan pengontrol,
menjad i seoran g fasilit ator dan koordinator yang bekerja berdasarkan
kebutuhan atau tuntutan pelanggan . Jika dahulu prinsip kepemimpinan
dibangun berdasarkan “the boss idea ”, maka dengan gaya
kepemimpinan e-Gove rnmen t yan g harus diikuti ada lah “the best
idea”.

11. INTERNAL COMM UNICATION


Proses komunikasi yan g terjad i di dalam manajemen internal a dala h
dengan mempergunakan “top-down approach”. Walaupun terlihat
bahwa sekilas sistem tersebut bersifat netral, namun dalam
pelaksa naanny a menghasilkan efek psikologis yang membuat
organ isasi m enjadi kontrap roduktif. Karen a tidak adan ya suasana
dem okra si yan g cukup di dalam organisasi, sering kali kinerja institusi
terkait tergantung dari kompetensi manajemen punca k yang ada. Jika
manajemen punca k ditem pati oleh orang- orang yan g ahli di bidangn ya,
maka cende rung keputusannya akan berkualitas; namun jika
manajemen punca k ditem pati oleh mereka yang memiliki kompetensi
dan keah lian rendah , maka berbagai kepu tusa n yang diambil akan
cende rung berdampak buruk bagi kinerja institusi. Di dalam e-
Gove rnmen t, melalui fasilit as semaca m email dan chatting,
komunikasi dapat berlangsung secara bebas dan intensif antara masing-
masing individu maupun di dalam kelompok. De nga n diinstalasinya
jaringan komputer lokal yang terhubung ke internet, maka setiap
individu di dalam pemerintahan dapat berkomunikasi secara cepa t,
langsung, aman , dan murah ke berbagai pihak yan g berkepentingan
tanpa meng ikuti garis komando yan g ada pad a struktur organisa si.

12. EXTERNAL COM M UNICATION


External communication merupaka n ha l yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan di dalam mengelola pemerintahan.
Dalam sistem birokratis, hubungan antar depa rtemen dengan kalanga n
lain biasanya dilakukan secara formal, dengan mengikuti prosedur -
prosedur bak u baik korespondens i m aupun protokoler yang berlaku .
Karen a banyakny a aturan yang harus ditaa ti, m aka sangat terasa sekali
sulitnya men jalin kerja sama antara satu departem en dengan
departemen lainnya . Tentu saja format tersebut tidak bisa diterapkan
pada e-Gove rnmen t yang leb ih mengu tamaka n pad a bekerjanya sebuah
sistem lintas sektoral yang cepa t. Be raga m kana l akses pun dibutuhka n
untuk kepe rluan komunikasi aga r para pengam bil keputusan dapat
melakuka n hubungan denga n mitra kerjany a dari mana saja dan kapa n
saja. Komunikasi eksternal secara cepa t dibutuhkan agar produk dan
pelayana n pemerintah sifatnya lintas sektoral, disamping untuk
mempermulus jalanny a kerja sama dan menghinda ri adanya pertikaian
karena saling “memasuki teritori” pihak lain.

13. MODE OF SERVICE DELIVERY


Karen a banyak berhubungan dengan hal-hal berbau
administratif, m aka pelayana n yang diberikan oleh pemerintah
melibatka n sejumlah dokumen -dokumen penting (seperti formulir,
laporan, dan lain sebagainya ). Selain memaka n biaya yang banyak ,
proses yang melibatkan dokumen -dokumen berbasis kertas biasanya
memaka n waktu yang cuku p banyak, sehingga pelayana n yan g
diberikan cende rung lambat. Di dalam era e-Gove rnmen t, tujuan
akhirnya adalah terben tuk suasana kerja yang paperless/scriptless,
dimana sejau h mungkin penggunaa n kertas dikurangi. Sehingga semua
aspek pelayana n dan sumber daya dapat didigitalisasikan harus
dilakuka n migrasi dari sistem manua l ke otomatis. Konsep virtual
office (kantor maya) juga akan diterapka n di sini. Jika dahulu sebuah
transaksi dikataka n sah apabila terdapa t dua pihak yan g saling bertatap
muka dan bersepaka t, pada implemen tasi e-Gove rnmen t, kebutuha n
bertatap muka secara fisik tidak perlu dilakuka n karena dapat diwakili
dengan berba gai produk tekno logi informasi yang c anggih.

14. PRINCIPLES OF SERVICE DELIVERY


Aspek yan g terakh ir menyangku t prinsip yan g dipaka i dalam
mem berika n pelayana n berbasis informasi. Pada sistem birokrasi,
semua pelangga n diperlakuka n sama di mata pemerintah , sehingga
disusunlah berbagai aturan bak u yan g harus dipatuhi oleh semua
khalayak . Seringkali ditemui kasus-kasus terten tu yan g tidak dapat
dipeca hka n dengan standa risasi yang ada, namun masalah tersebut
tidak dapat segera ditemukan solusinya, karena pemerintah tidak mau
bekerja diluar mekan isme standa r yang telah disepaka ti. Seba liknya
pada e-Governm ent, pemerintah harus memperlakuka n masing-masing
pelanggann ya sebagai sebua h entit i yang unik, dalam arti masing-
masing memiliki kebutuhan yan g spesifik. Sehingga pelayana n yan g
diberikan harus dapat di-tailor-mad e sesua i kebutuha n unik masing-
masing pelanggan.

KESIMPULAN
Jika dipandan g seca ra sungguh-sungguh, penggabunga n teori BPR dan e-
Gove rnmen t memiliki kesamaan denga n tuntutan reformasi total yang
disua raka n masyarakat Indone sia. Keseluruhan inisiatif program
perubahan tidak a da artinya tanpa diawali perubahan paradigma atau ca ra
pandang akan peranan pemerintah di era reformasi, terutama terkait
dengan relasinya dengan para kustom er utam anya. Indonesia aka n dapat
terwujud jika pemerintah berani untuk melakukan rede finisi ulang
terhadap peranannya, dan mengambil langkah-langkah yan g cukup
funda mental dan rad ikal dalam memperbaiki kinerja aktivitas
organ isasinya seha ri-hari.
C. PENGAPLIKASIAN ALAT UKUR BALANCED-SCORECARD PADA
ELECTRONIC GOVERNMENT
Jika dalam manajemen perusahaa n dikenal balance d scoreca rd
sebagai alat pengukuran performa perusahaan , mak a dalam e-Gove rnmen t
disebut sebagai balance d e-Government sc orecard sebagai alat ukur
performa pemerintaha n yan g menerapkan e-Government. Terdapat lima
dimensi dalam balance d e-Gove rnmen t scoreca rd yang masing-masing
dijaba rkan dalam berbaga i kriteria secara lebih detil. Kelima dimensi itu
adalah : man faat, efisiensi, partisipasi, transparansi, dan manajemen
perubahan (Stift ung, 2001).
Dim e n s i p e r t a m a , man f a a t . Dimensi man faa t berhubunga n
dengan kualitas dan kuantitas layana n yang diberikan dan baga imana
masya rakat mendapa tkan manfaat dari layana n tersebut. Termasuk dalam
kriteria ini adalah:
• Cakupa n layanan yang sudah diimplem entasikan
• Baga imana layana n tersebut bisa diakses dalam “one stop shop” dari
satu portal menuju berbaga i layanan
• Kemudaha n penggunaa n dalam mendapa tkan layana n terse bu t

Dimensi kedua, Efisiensi . Efisiensi berhubungan dengan


bagaiman a teknologi bisa mempercepa t proses dan men ingkatkan kua litas
layanan . Kriteria dalam efisiensi, di antaranya:
• Ketersediaan arsitek tur proses, aplikasi dan database yan g bisa
berjalan baik ketika ditubuhkan
• Perencanaa n sumber day a dan keuanga n seca ra baik
• Peman faatan platform tekno logi informasi dan teknologi seca ra
m aksim al pa da kese luruhan aspe k
• Kualitas dan ruan g lingkup pelatihan bag i para staf dan pegawa i.

Dim e n s i k e t i g a , par t i s i pas i . Ini berhubunga n denga n


pertanyaa n apakah layana n yang diberikan memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memberikan partisipasi dalam penya mpaian
pendapa t dan proses pengambilan kepu tusan . Beberapa kriteria dalam hal
ini, di antaranya:
• Akses langsung masyarakat terhada p orang yang berkepentingan
melalui web
• Pe rtim bangan terhadap um pan balik dan keinginan m asya rakat
• Penga ruh dan keterlibatan masyaraka t dalam proses pengambilan
keputusan
• Kemungkinan untuk memperdeba tkan topik yan g m enyangku t
masyarakat umum (tersediany a fasilit as cha tting , forum, mili s).

Dim e n s i k e e m pat, tra n s p a r a n s i . Apaka h pemerintah dalam hal


ini mendorong keterbukaa n informasi menu ju prose s transparansi dalam
pemerintahan . Kriteria transparansi, di antaranya:
• Banyakny a informasi yang dikeluarkan pemerintah dalam proses
penga mbilan keputusan (misalnya konferensi pers, relea se hasil
rapat kabinet, dan lain-lain)
• Informasi status permohonan aplikasi yang diajuka n m asyarakat.
Apakah masyarakat misalnya bisa menanyaka n dan mengetahui
seca ra langsung apaka h permohona n aplikasinya disetujui atau
tidak.
• Top ic ality of information

Dim e n s i k e l i m a , man a j e men p e r u b a h a n . Ini terkait dengan


proses implementasi apaka h ada prose s rev iew yan g jelas dan dikelola
dengan baik. Kriteria dalam hal ini, di antaranya:
• Strateg i pengembangan , misalnya seberapa besa r im pleme ntasi
melibatkan perband ingan dan studi kasus dengan implemen tasi di
tempat lain.
• Kualitas kontrol dan review
• Keterlibatan dan motivasi dari pega wai
Sumber: Stiftung, 2001

1. HASIL TEMUAN BOOZ ALLEN DAN HAMILTO N


Hasil studi di bebe rap a nega ra, Booz Allen dan Ham ilton
mendapa tkan temuan mengena i performa dalam pelaksanaan e-
Government melalui balance d e-Governmen t scorecard . Studi ini
melibatkan 12 nega ra yang melaksanaka n e-Governm ent
Pertama, dimensi manfaat . Beberapa nega ra sudah
mene rapka n asa s kemudaha n pemaka ian bag i pengguna , dan juga
membagi pengguna sesuai dengan profil dan kebu tuhan m ereka.
Kedua, efisiensi . Efisiensi menyangku t bagaiman a teknologi
m engurangi proses kerja dari sisi waktu dan meningka tkan kualit as
serta produktifit as. Di beberapa negara, pembaya ran pajak secara
online berhasil men ingkatkan produktifit as karen a mengu rang i
berbagai proses administrasi yang diperlukan . Namun demikian ,
penggunaa n te knologi informasi di bebe rap a nega ra merupakan
sesuatu yang baru bagi para staf dan pegawa i. Karena itu, cuku p
banya k terdapat resistensi dari pegawa i karena kemampuan dan
penge tahuan yan g mereka miliki. Salah satu pemecahanny a adalah
mengadaka n pelatihan yang intensif kepada staf dan pegawa i
sehingga kemampuan yan g mem adai untuk bekerja dalam sistem yang
baru. Isu lain dalam pemanfaatan teknologi adalah sistem aplikasi yang
kadan g tidak bekerja jika berhubungan denga n aplikasi yan g lain.
Men jadi isu pen ting untuk menciptaka n standar aplikasi yang biSA
terhubung dan bisa berope rasi an tara satu denga n yan g lain karena
memang implemen tasi e-Government membutuhka n pertukaran
inform asi dari berbagai ap likasi.
Ketiga, partisipasi publik . Dalam hal partisipasi publik, seca ra
umum masih sulit mewujudka n e-democrac y di man a masyarakat
memberikan banyak pilihan dan proses penga mbilan kepu tusa n seca ra
online . Belum ada satupun yan g menga rah pad a petisi online mengena i
kepu tusa n yang dikeluarkan pemerintah. Ini disebabka n oleh dua hal:
pemerintah belum siap dan masyarakatpun belum terbiasa. Namun,
bebe rap a negara suda h menyediaka n lembar untuk usulan , kriti kan, dan
keluhan baik yang akan disampaikan kepad a pemerintah maupu n
lembaga legislatif. Masyarakat dengan demikian dimungkinka n untuk
berkomunikasi langsung dengan wakil-wakilnya di legislatif. Dan
bebe rap a Negara juga suda h menyediaka n fasilit as konsultasi denga n
kalangan legislatif seca ra online.
Kee mpat, transparansi . Dari sisi transparansi, kebutuha n
m asya rakat aka n informasi semakin terbuka menjad i semakin terasa.
Dalam banya k nega ra suda h meman faa tkan portal mereka untuk
m emberikan informasi seca ra umum yan g berhubungan denga n
masyarakat. Yang lebih maju adalah kasus di Seattle, USA, di mana
masyarakatnya melakuka n track ing seca ra online status permohona n
mereka . Online track ing ini men jadi layanan menarik karena
masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu banyak hany a untuk
menanyaka n apaka h permohona n mereka diterima atau tidak.
Kelima, m anajemen perubahan . Banyak kriteria dalam
perubaha n ini. Yang paling penting adalah perencanaan strategis dan
strategi pengembanga n ke depan . Setiap negara mempunyai
perencanaa n yang cukup bagus dalam hal ini. K arena e-Governm ent
dalam implementasinya selalu bergerak seca ra dinamis, diperlukan
adan ya monitoring dan kontrol yan g ketat. Selain itu, keterlibatan
pegawa i menjad i fak tor pen ting kesuksesa n pelaksanaanny a di
lapangan . Keterlibatan pegawai akan besar jika merek a m emiliki
kemampuan dan penge tahuan yang memada i serta rasa memiliki yang
kuat. Amerika dan Inggris menjad i con toh yang baik dalam kedu a hal
ini.

2. REKOKENDASI UNTUK PENERAPAN EGOVERNMENT


Memberikan kualitas layana n yan g leb ih baik, Booz Allen dan
Hamilton menyarankan 8 (delapan) strateg i pelaksanaa n e-
Governm ent:
1. Perencanaa n strateg is seca ra keseluruhan ;
2. Harus ad a struktur tanggun g jawab yang jelas untuk menjamin
pelaksanaa n dan implementasi sesua i rencana ;
3. Bangun rencan a aksi jangka panjang ;
4. Perband ingan pelaksanaan egove rnmen t seca ra internasional;
5. Standarisasi dalam berbaga i hal. Standarisasi ini m enyangku t
prosedur dan juga pembangunan sistem aplikasi;
6. Orientasi pada pengguna;
7. Integ rasi dan keterlibatan penu h dari staf dan seluruh pegawa i;
8. Kerjasama denga n berbaga i pihak baik pemerintah maupu n
swasta;

Sumber: Stift ung, 2001

Anda mungkin juga menyukai