1349 3839 1 PB
1349 3839 1 PB
Abstract
Wetboek van Strafrecht (WvS) of 1915 did not regulate undisclosed penitentier. This criminal
sanction is included in the Criminal Code (KUHP) through the establishment of Law Number 20 of
1946 on Undisclosed Penitentier. The legislators (the House of Representatives and the Government)
re-arranged this criminal sanction in the Criminal Code Bill (RUU KUHP) as one of the main
sanctions. This paper examines the policy of determining undisclosed penitentier from punishment
perspective, especially from the purpose of punishment. Based on the purpose of punishment that is
formulated in the Criminal Code Bill, the purpose of the punishment would not be achieved by using
undisclosed penitentier. undisclosed penitentier also has the potential to cause discrimination because
there is no standard for judges to impose these criminal sanctions. To provide legal certainty, the
legislators should clearly formulate the criteria for judges to impose undisclosed penitentier.
Key words: undisclosed penitentier; the purpose of punishment; the Criminal Code Bill
Abstrak
Wetboek van Strafrecht (WvS) tahun 1915 tidak mengatur sanksi pidana tutupan. Sanksi
pidana ini dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui
pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) kembali mengatur sanksi pidana ini
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) sebagai salah satu pidana pokok. Tulisan ini mengkaji kebijakan penentuan pidana
tutupan dari perspektif pemidanaan terutama dari tujuan pemidanaan. Berdasarkan pada
tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam RUU KUHP maka tujuan pemidanaan tidak
akan tercapai dengan menggunakan sarana pidana tutupan. Pidana tutupan juga berpotensi
menimbulkan diskriminasi karena tidak ada ukuran bagi hakim untuk menjatuhkan
sanksi pidana ini. Untuk memberikan kepastian hukum maka pembentuk undang-undang
seharusnya merumuskan dengan jelas kriteria bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi
pidana tutupan.
Kata kunci: pidana tutupan; tujuan pemidanaan; RUU KUHP
238 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
pidana tutupan yaitu putusan Mahkamah berdasarkan pengacuan tersebut maka tidak
Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 yang ada penyamarataan penjatuhan sanksi pidana
mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal terhadap satu pelaku dengan pelaku lainnya.
dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 atau Dalam hal ini, RUU KUHP tidak hanya
dikenal juga dengan sebutan “Tiga Juli Affaire” memokuskan hanya pada tindak pidana
dan sejak itu tidak pernah dijatuhkan lagi.8 melainkan juga pada aspek-aspek individual
Sejak penjatuhan pidana tersebut, pelaku tindak pidana.
selanjutnya para hakim di Indonesia tidak Terkait dengan tidak adanya
pernah sekalipun menjatuhkan pidana tutupan, penyamarataan karena adanya dasar
namun pidana ini tetap dipertahankan.9 pengacuan berdasarkan pada tingkat
Bahkan RUU KUHP10 mengatur kembali kejahatan, kondisi pelaku, dan keadaan-
pidana tutupan sebagai salah satu pidana keadaan lainnya maka kajian atas pidana
pokok setelah pidana penjara. Dengan tutupan berdasarkan perspektif pemidanaan
memerhatikan latar belakang tersebut, tulisan perlu dilakukan mengingat bahwa pidana
ini akan membahas permasalahan pokok tutupan merupakan cara pelaksanaan pidana
mengenai bagaimana kebijakan penentuan sebagai alternatif pidana penjara. Cara
pidana tutupan dalam RUU KUHP dikaji pelaksanaan tersebut sangat bergantung
dari perspektif pemidanaan terutama dari pada pertimbangan hakim dengan mengacu
tujuan pemidanaan. pada tingkat kejahatan, kondisi pelaku, dan
Sanksi pidana termasuk pula pidana keadaan-keadaan lainnya. Dengan kata lain
tutupan dalam RUU KUHP perlu dikaji bahwa aspek-aspek individual pelaku tindak
dari perspektif pemidanaan yaitu apakah pidana akan menjadi pertimbangan bagi
dengan pidana tersebut tujuan pemidanaan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
dalam RUU KUHP dapat tercapai. Secara penjara atau pidana tutupan. Pertimbangan
umum, dalam RUU KUHP sudah terdapat tersebut tentunya harus juga memperhatikan
pengaturan tentang pemidanaan. Dalam tujuan pemidanaan sebagaimana yang telah
RUU KUHP ini, tujuan pemidanaan dan dirumuskan dalam RUU KUHP, yaitu apakah
pedoman pemidanaan sudah dirumuskan dengan pidana tutupan tersebut maka tujuan
secara jelas dan rinci. Selanjutnya dalam RUU pemidanaan akan tercapai.
KUHP juga memuat pengaturan mengenai Terdapat beberapa hasil penelitian
jenis-jenis sanksi pidana sebagai alternatif ataupun kajian yang telah dilakukan oleh
bagi hakim untuk menentukan pidana peneliti ataupun penulis lainnya khususnya
yang tepat bagi pelaku dengan mengacu berkaitan dengan pidana tutupan dan
pada tingkat kejahatan, kondisi pelaku, dan pemidanaan, yaitu sebagai berikut.
keadaan-keadaan lainnya. Dengan demikian 1. Mukhlis R dalam tulisannya “Pemahaman
8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Masyarakat Riau Dan Landasan Filosofis
Indonesia, Bandung: Eresco, 1986, hal. 174.
9 A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, Jakarta: Sumber Pelaksanaan Pidana Tutupan”, mengkaji
Ilmu Jaya, 2002, hal. 345.
10 RUU KUHP disampaikan oleh Pemerintah ke mengenai bagaimana pemahaman
DPR pada tahun 2015. Sejak RUU KUHP tersebut masyarakat Riau (masyarakat Kota
disampaikan ke DPR pada tahun 2015 hingga proses
pembahasan dalam RUU KUHP per tanggal 18 Pekanbaru dan masyarakat Kabupaten
September 2019, pidana tutupan masih dicantumkan Siak) dan landasan filosofis peraturan
sebagai salah satu pidana pokok. Tulisan ini mengacu
pada RUU KUHP hasil pembahasan bersama antara
perundang-undangan tentang pelaksanaan
DPR dan Pemerintah, draf per tanggal 18 September pidana tutupan. Dalam kajian tersebut,
2019.
240 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
4. Edy Nugroho dalam tulisannya “Pidana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Oleh
Tutupan dalam Hukum Pidana Indonesia” pembentuk undang-undang, pidana tutupan
menyebutkan bahwa pidana tutupan adalah dimaksudkan untuk menggantikan pidana
salah satu pidana pokok dalam hukum penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan
pidana Indonesia yang mulai berlaku oleh hakim bagi pelaku kejahatan, atas dasar
berdasarkan UU tentang Hukuman bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya
Tutupan. Pidana ini merupakan alternatif dilakukan karena terdorong oleh maksud yang
pidana penjara dan jarang dijatuhkan. patut dihormati.16
Pidana ini pernah dijatuhkan bagi pelaku Pasal 2 ayat (1) UU tentang Hukuman
tindak pidana politik. Pada umumnya Tutupan menyatakan bahwa: Dalam mengadili
pelaku tindak pidana politik didorong oleh orang yang melakukan kejahatan yang diancam
adanya maksud yang patut dihormati.14 dengan pidana penjara karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati maka hakim
Beberapa tulisan tersebut, meskipun juga boleh menjatuhkan pidana tutupan. Namun
secara khusus mengkaji mengenai sanksi ayat (2) dari Pasal ini selanjutnya menentukan
pidana tutupan, namun tulisan-tulisan bahwa pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan
tersebut belum mengkajinya dari perspektif apabila hakim berpendapat perbuatan yang
pemidanaan. Sementara dalam tulisan ini merupakan kejahatan atau cara melakukan
selain mengkaji pidana tutupan sebagaimana perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi
diatur dalam RUU KUHP, juga mengkaji adalah sedemikian rupa, sehingga terhadap
kebijakan penentuan sanksi pidana tutupan perbuatan lebih tepat bila dijatuhi dengan
tersebut dari perspektif pemidanaan terutama pidana penjara. Pelaksanaan pidana tutupan
dari tujuan pemidanaan. Dengan mengacu mengenai tempat untuk menjalani pidana
pada tujuan pemidanaan maka secara akademis tutupan, cara melakukan pidana tutupan
tulisan ini diharapkan dapat memberikan dan segala sesuatunya yang perlu untuk
kegunaan berupa sumbangan pemikiran bagi menjalankan UU tentang Hukuman Tutupan
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang selanjutnya diatur dengan PP tentang Rumah
hukum pidana terutama terkait dengan Tutupan yang diundangkan pada tanggal 5
falsafah pemidanaan dalam pengaturan sanksi Mei 1948.
pidana tutupan. PP tentang Rumah Tutupan menyatakan
bahwa yang dimaksud rumah tutupan itu bukan
II. Pidana Tutupan dalam Hukum Pidana suatu rumah penjara biasa, dan suatu tempat
Indonesia yang lebih baik daripada penjara biasa sesuai
Pidana tutupan tidak dikenal dalam WvS dengan orang yang dijatuhi pidana tutupan
tahun 1915. Pidana tutupan merupakan suatu bukan terpidana biasa, karena perbuatan yang
pidana pokok yang baru yang telah dimasukkan dilakukan oleh terdakwa bukan kejahatan
ke dalam KUHP melalui pembentukan biasa.17 Andi Hamzah menyatakan bahwa
UU tentang Hukuman Tutupan.15 Badan pidana tutupan disediakan bagi para politisi
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah yang melakukan kejahatan yang disebabkan
memasukkan pidana tutupan tersebut pada oleh ideologi yang dianutnya.18 Oleh karena
urutan kelima dari jenis pidana sebagaimana 16 P.A.F., Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum
14 F.H Edy Nugroho, “Pidana Tutupan Dalam Hukum Penintesier di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
Pidana Indonesia”, Gloria Juris, Vol. 9, No. 01, Jan. hal. 131.
2009, hal. 47-57. 17 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah… hal. 320.
15 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah. Hukum Pidana II, 18 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka
Jakarta: Universitas Bandung, 1962, hal. 320. Cipta, 2010, hal. 191.
242 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
tahun, Mr. Ahmad Subarjo dijatuhi pidana dilakukan didasarkan atas motif yang keji. Hal
3 tahun, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dijatuhi yang sama terdapat dalam KUHP Norwegia
pidana 3 tahun, Mr. R. Sundoro Budhyarto Tahun 1902 yang mengatur, bahwa pidana
Martoatmojo dijatuhi pidana 3 tahun 6 bulan, perampasan kemerdekaan (tidak terbatas hanya
Mr. R. Buntaran Martoatmojo dijatuhi pidana pada tindak pidana politik) dapat digantikan
2 tahun, dan R. Muhammad Saleh dijatuhi dengan pidana custodia honesta, bilamana
pidana 2 tahun 6 bulan.23 keadaan-keadaan khusus yang berkaitan
Dalam perkembangannya, privileged dengan tindak pidana menunjukkan bahwa
treatment yang biasa disebut sebagai custodia tindak pidana tersebut tidak dilakukan atas
honesta (pidana tutupan) ini dikenal di dasar motif yang jahat (wicked motives). Setelah
dalam Sistem Hukum Kontinental Eropa perang Jerman, muncul gerakan-gerakan dan
dan di Inggris (english division system) dan pemikiran untuk memperluas pemikiran yang
asalnya adalah dari perlakuan khusus yang terdapat dalam KUHP Jerman 1871 di atas,
diberikan kepada terpidana politik. Posisi di luar ruang lingkup tindak pidana politik
istimewa dari terpidana politik dalam sejarah yakni dengan menegaskan, bahwa pidana
pemidanaan dianggap merupakan suatu yang seharusnya diterapkan hendaknya
keharusan. Di sisi lain seringkali sebaliknya custodia honesta dan bukan pidana kerja paksa
terdapat kecenderungan yang kuat untuk atau pidana penjara, apabila Pengadilan
memperlakukan mereka lebih keras daripada memandang pelaku tindak pidana telah
narapidana biasa. Penguasa tidak akan melakukan perbuatannya atas dasar keyakinan
mentolerir gangguan terhadap keamanannya, bahwa hal tersebut merupakan tugas moral,
sekalipun motif yang mendasari pelaku agama atau politik. Hal ini nampak pula
didasarkan atas idealisme yang terpuji.24 di dalam “Priciples regulating the execution of
Perkembangan terjadi setelah Revolusi penalties involving loss of liberty” tanggal 7 Juni
Perancis, yang mengubah pandangan terhadap 1923 yang menyatakan bahwa terpidana sejak
terpidana politik atas dasar asas-asas hukum permulaan menjalankan pidananya dapat
internasional, yang menyatakan, bahwa mengklaim untuk memperoleh perlakuan-
“political crime are on principle not regorded as perlakuan istimewa bilamana Pengadilan
dishonourble”. Usulan agar supaya asas ini yang telah memidananya secara eksplisit
mendasari perlakuan istimewa terhadap menyatakan bahwa perbuatannya dilakukan
terpidana politik, termasuk di dalamnya atas dasar motif-motif tersebut. Pemerintahan
pengaturan di negara-negara yang menjadi Nazi Jerman melalui Act of 26, 5, 1933 telah
korban tindak pidana politik tersebut (state membatasi berlakunya ketentuan di dalam
against) tidak direalisasikan sampai waktu KUHP Jerman tahun 1871, yakni dengan
yang lama. Namun akhirnya nampak, bahwa membatasi pada sejumlah kecil tindak pidana
hal tersebut memperoleh tanggapan, di mana politik dan menyatakan, bahwa pidana
KUHP Jerman Tahun 1871 mengatur bahwa costudia honesta dapat diterapkan hanya apabila
bilamana hakim harus memilih–di dalam perbuatan tersebut tidak ditujukan against the
kasus-kasus politik–antara pidana kerja paksa weal of the people.25
(penal servitude) dan custodia honesta (festungshaft)
maka yang pertama hanya diijinkan bilamana
dapat dibuktikan, bahwa tindak pidana yang
23 Ibid., hal. 240.
24 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik
RUU tentang KUHP draf tahun 2015, hal. 48. 25 Ibid., hal. 49.
246 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
Sejak penjatuhan pidana tutupan Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan UU tentang Hukuman Tutupan, mengacu pada tradisi hukum tertulis yang
tidak pernah ada lagi hakim yang menjatuhkan dikembangkan dalam tradisi civil law system
pidana tutupan. Apakah mungkin hal ini terjadi maka dalam penentuan pidana tutupan perlu
karena memang tidak ada tindak pidana selain dipertimbangkan mengenai sampai seberapa
tindak pidana terkait peristiwa 3 Juli 1946 yang jauh ukuran-ukuran “maksud yang patut
dapat dinilai hakim telah dilakukan dengan dihormati” yang akan dijadikan dasar untuk
maksud yang patut dihormati sekalipun tindak menjatuhkan pidana tutupan. Apakah terbatas
pidana pembunuhan yang dilakukan karena pada tindak pidana politik ataukah mencakup
pembelaan diri. Dengan demikian patut pula pula alasan-alasan lain misalnya alasan moral,
menjadi pertanyaan ketika pidana tutupan agama dan tindak-tindak pidana lain asal tidak
dalam RUU KUHP dikaitkan dengan tindak dilakukan atas dasar motif yang keji.
pidana politik, apa yang menjadi ukurannya Selain itu ringannya perbuatan, keadaan
dan apa kriteria yang dapat digunakan hakim pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu
untuk menjatuhkan pidana tutupan. dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi
Jika dalam penjelasan Pasal 74 kemudian sebagaimana dirumuskan dalam
menyebutkan bahwa tindak pidana yang Pasal 54 ayat (2) sebagai pedoman/dasar
dilakukan karena alasan patut dihormati pada pertimbangan untuk tidak menjatuhkan
dasarnya adalah tindak pidana politik. Namun pidana atau tidak mengenakan tindakan
dalam Naskah Akademik, masih membuka dengan mempertimbangkan segi keadilan dan
adanya alasan-alasan lainnya yaitu perlunya kemanusiaan. Selain pedoman tersebut perlu
dipertimbangkan di sini adalah sampai ditentukan pula pedoman pemidanaan yang
seberapa jauh ukuran-ukuran “maksud yang bersifat khusus. Pedoman pemidanaan yang
patut dihormati” yang akan dijadikan dasar bersifat khusus untuk memberi pengarahan
untuk menjatuhkan pidana tutupan. Apakah pada hakim dalam memilih atau menjatuhkan
terbatas pada tindak pidana politik ataukah jenis-jenis pidana tertentu.30
mencakup pula alasan-alasan lain misalnya Dalam Pasal 74 ayat (1) RUU KUHP
alasan moral, agama dan tindak- tindak pidana ditentukan bahwa orang yang melakukan
lain asal tidak dilakukan atas dasar motif yang tindak pidana yang diancam dengan pidana
keji. Dengan kata lain pidana tutupan dapat penjara, mengingat keadaan pribadi dan
dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
tindak pidana karena terdorong oleh maksud Selanjutnya juga ditentukan bahwa jika
yang patut dihormati, dan tidak berlaku, jika pidana pencabutan hak31 dijatuhkan maka
cara melakukan atau akibat dari perbuatan 30 Abdul Kholiq, Barda Nawawi Arie, Eko Soponyono,
tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa “Pidana Penjara Terbatas: Sebuah Gagasan Dan
Reorientasi Terhadap Kebijakan Formulasi Jenis
lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara. Sanksi Hukum Pidana di Indonesia,” Jurnal Law
Dalam UU tentang Hukuman Tutupan Reform, Program Studi Magister Ilmu Hukum Volume
11, Nomor 1, Tahun 2015, hal. 100-112.
pun tidak ada ketentuan yang menyebutkan 31 Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dalam
bahwa hukuman tutupan hanya diperuntukan menjatuhkan pidana tambahan adalah: hak memegang
jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
hak
bagi pelaku tindak pidana politik. Oleh karena menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan
itu dapat diasumsikan bahwa hukuman Kepolisian Negara Republik Indonesia; hak memilih
dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
tutupan berdasarkan UU tentang Hukuman peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Tutupan tidak hanya dapat diberlakukan bagi hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan;
hak menjadi wali, wali pengawas,
terpidana tindak politik. pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang
bukan anaknya sendiri; hak menjalankan kekuasaan
NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 2, November 2019 247
dalam hal dijatuhkan pidana tutupan untuk merupakan suatu pengenaan penderitaan
waktu tertentu, pencabutan hak paling singkat atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun menyenangkan yang diberikan dengan sengaja
lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan. oleh orang atau badan yang mempunyai
Selanjutnya dalam pelaksanaannya, ketentuan kekuasaan yang dikenakan kepada seseorang
Pasal 60 RUU KUHP menyebutkan atau badan hukum (korporasi) yang melakukan
bahwa pidana penjara dan pidana tutupan tindak pidana menurut undang-undang.33
bagi terdakwa yang sudah berada dalam Mengenai pengertian pidana itu terdapat
tahanan, mulai berlaku pada saat putusan beberapa ahli yang mengemukakan. Sudarto
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, mengemukakan mengenai pengertian pidana
sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di yaitu penderitaan yang dirasakan tidak enak oleh
dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada yang dikenainya.34 Roeslan Saleh menyatakan
saat putusan mulai dilaksanakan. bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan
Pada dasarnya pidana tutupan antara yang ini berwujud suatu nestapa yang dengan
diatur dalam UU tentang Hukuman Tutupan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
dengan RUU KUHP adalah sama. Hal sedikit delik itu. Ted Honderich berpendapat bahwa
yang membedakan antara keduanya terletak pidana adalah suatu pengenaan pidana berupa
pada penyebab dijatuhkannya hukuman. kerugian atau penderitaan yang dijatuhkan
Dalam UU tentang Hukuman Tutupan, oleh penguasa kepada pelaku tindak pidana.
sanksi pidana tutupan dijatuhkan terhadap Selanjutnya Rupert Cross berpendapat bahwa
kejahatan karena maksud yang patut dihormati pidana merupakan pengenaan penderitaan
sedangkan di dalam RUU KUHP dijatuhkan oleh negara kepada seseorang yang telah
terhadap tindak pidana karena terdorong oleh dipidana karena suatu kejahatan.35
maksud yang patut dihormati. Namun, kriteria Mengenai definisi pidana, Hart sebagaimana
tindak pidana karena terdorong maksud yang dikutip oleh Herbert L. Packer mengemukakan
patut dihormati tidak dijelaskan secara rinci. adanya lima karakteristik pidana yaitu:36
Selanjutnya dapat dibedakan bahwa maksud 1. it must involve pain or other consequences
dari “yang patut dihormati” menurut UU normally considered unpleasant (pidana
tentang Hukuman Tutupan dapat meliputi harus merupakan suatu penderitaan
hal politik, agama, dan kesusilaan sedangkan (nestapa) atau akibat-akibat lain yang tidak
menurut RUU KUHP hanya mencakup menyenangkan);
bidang politik saja. 2. it must be for an offense against legal rules
Terkait dengan pidana tutupan pada (pidana harus diberikan pada orang yang
khususnya dan sanksi pidana pada umumnya telah melakukan pelanggaran terhadap
maka yang kita pikirkan adalah ikhtiar peraturan);
pemerintah untuk menjatuhkan atau 3. it must be imposed on an actual or supposed
mengenakan derita terhadap seseorang yang offender for his offense (pidana itu dijatuhkan
dianggap bersalah melanggar aturan perilaku atas suatu perbuatan atau ditujukan kepada
yang terhadap pelanggarannya diancamkan pelaku pelanggaran atas perbuatannya);
sanksi pidana.32 Sanksi pidana pada dasarnya 33 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di
Indonesia, Bandung: PT Rafika Aditama, 2013, hal. 7.
memiliki ciri-ciri yang pada hakikatnya 34 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,
bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas 2007, hal. 23.
anaknya sendiri; dan/atau hak menjalankan profesi 35 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni,
tertentu. 2008, hal. 22.
32 J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidama Meterial 3. 36 George P. Fletcher., Basic Concepts Of Criminal Law, New
Hukum Penitensier, Yogyakarta: Maharsa, 2017, hal. 4. York Oxford: Oxford University Press, 1998. hal. 21.
248 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
4. it must be intentionally administered by human "punishment" dan "treatment", melainkan ada
beings other than the offender (pidana harus tidaknya unsur pencelaan.39
merupakan kesengajaan administrasi oleh Dari beberapa pengertian mengenai
masyarakat terhadap pelanggar); pidana tersebut, dapat disimpulkan bahwa
5. it must be imposed and administered by an pidana adalah pengenaan penderitaan atau
authority constituted by a legal system against nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
which the offense is committed (pidana harus menyenangkan yang disertai adanya unsur
dijatuhkan oleh lembaga atau instansi pencelaan dan diberikan dengan sengaja oleh
yang berwenang). orang atau lembaga yang berwenang kepada
seseorang yang telah melakukan perbuatan
Selanjutnya Packer menambahkan unsur pidana menurut undang-undang. Selanjutnya
atau karakteristik ke-enam dari pidana, yaitu: jika dikaitkan ciri-ciri sanksi pidana tersebut
bahwa pidana harus dikenakan untuk tujuan dengan pidana tutupan maka tentunya
utama mencegah terjadinya pelanggaran tidak memenuhi ciri-ciri dari sanksi pidana,
terhadap undang-undang atau untuk meskipun ketentuan Pasal 65 ayat (1) RUU
mengenakan pembalasan kepada pelanggar, KUHP menyebutkan bahwa sanksi pidana
atau untuk tujuan kedua-duanya. Sebagaimana tutupan sebagai salah satu pidana hilang
dikatakan Packer: “It must be imposed for the kemerdekaan lebih berat daripada pidana
dominant purpose of preventing offenses against denda.
legal rules or of exacting retribution from offenders, Dalam konteks yang lebih luas, sistem
or both”. Menurut Packer, definisi tersebut hukum pidana merupakan satu kesatuan
untuk mengecualikan dari compensation, sistem yang bertujuan (purposive system), dan
regulation, dan treatment yang bisa jadi masuk pidana hanya merupakan alat/sarana untuk
dalam kategori yang ditetapkan, dan untuk mencapai tujuan.40 Terkait dengan hal tersebut,
membuat perbedaan antara hukuman dan Packer berpendapat bahwa yang membedakan
sanksi lain yang digunakan dalam sistem "punishment" dan "treatment" bukanlah pada
hukum.37 tingkatan ketidak-enakan atau kekejamannya
Pendapat serupa dengan Hart melainkan pada tujuannya dan seberapa jauh
dikemukakan Alf Ross yang menyatakan peranan dari perbuatan pelaku terhadap adanya
bahwa pidana adalah reaksi sosial yang terjadi pidana atau tindakan. Menurut Packer, tujuan
karena adanya pelanggaran terhadap suatu utama dari "treatment" adalah untuk memberikan
aturan hukum yang dijatuhkan oleh orang- keuntungan atau untuk memperbaiki orang
orang yang berkuasa sehubungan dengan yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada
tertib hukum yang dilanggar dan mengandung apa yang telah dilakukannya di masa lalu atau
penderitaan atau paling tidak konsekuensi- masa yang akan datang, melainkan pada tujuan
konsekuensi lain yang tidak menyenangkan, untuk memberikan pertolongan kepadanya.
serta menyatakan pencelaan terhadap si Dasar pembenaran dari "treatment" adalah
pelanggar.38 Ross menambahkan secara tegas pandangan bahwa orang yang bersangkutan
dan eksplisit mengenai keharusan adanya akan atau mungkin menjadi lebih baik dan
pernyataan pencelaan terhadap diri si pelaku. tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
Menurut Ross, ada atau tidak adanya unsur kesejahteraannya. Sedangkan "punishment"
penderitaan tidak menjadi pembeda antara
39 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan
37 Ibid., hal. 31. Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 5.
38 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 40 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik
2008, hal. 22. RUU tentang KUHP, draf tahun 2015, hal. 18
250 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
harus memastikan dirinya bahwa tidak saja sinkronisasi kultural mengandung makna untuk
langkah pemidanaan mengendalikan balas selalu serempak dalam menghayati pandangan-
dendam sekaligus menghentikan pelembagaan pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang
ekses atau akibat buruk dari pembalas secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
dendam, tetapi juga bahwa pemidanaan itu peradilan pidana. Pemahaman atas tujuan
menegaskan (mengafirmasi), dan bukan justru pemidanaan melalui tiga pilar administrasi
mengingkari, status orang yang dipidana peradilan pidana tersebut di atas (sustansial,
sebagai manusia yang berpikir dan berperasaan. struktural, dan kultural) merupakan prasyarat
Dengan demikian, hal-hal tersebut akan bisa yang harus dipenuhi apabila tidak ingin terjadi
memastikan bahwa pengadilan dan hukuman bias antara tujuan pemidanaan dengan tujuan
untuk pelanggaran pidana menguatkan atau dari sistem peradilan pidana.48
menegaskan kewajiban dan tanggungjawab Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam
moral si pelaku, dan dalam prosesnya KUHP, dalam RUU KUHP telah dirumuskan
mengafirmasi kemanusiaan pelaku. Karena mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan.49
itu, Gardner menganggap afirmasi (penegasan) Dalam Naskah Akademik RUU KUHP50
ini sebagai sine qua non legitimasi hukum disebutkan bahwa perumusan tentang tujuan
pidana.47 dan pedoman pemidanaan, dilakukan dengan
Mengacu pada tujuan pemidanaan dasar pemikiran:
tersebut maka pidana tutupan sebagai salah 1. sistem hukum pidana merupakan satu
satu alat/sarana untuk mencapai tujuan oleh kesatuan sistem yang bertujuan (purposive
karena itu harus dapat dikaji apakah dengan system), dan pidana hanya merupakan
sanksi pidana tersebut dapat mencapai alat/sarana untuk mencapai tujuan;
tujuan pemidanaan. Dasar dirumuskannya 2. tujuan pidana merupakan bagian integral
tujuan pemidanaan tersebut bertolak dari (sub-sistem) dari keseluruhan sistem
pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya pemidanaan (sistem hukum pidana) di
hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-
pemidanaan. sistem tindak pidana, pertanggungjawaban
Menurut Muladi tujuan pemidanaan pidana (kesalahan), dan pidana;
dijadikan patokan dalam rangka menunjang 3. perumusan tujuan dan pedoman
bekerjanya sistem peradilan pidana pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi
dimaksudkan untuk menciptakan sinkronisasi pengendali/kontrol/pengarah sekaligus
yang bersifat fisik, meliputi sinkronisasi memberikan dasar/landasan filosofis,
struktural (structural synchronization), sinkronisasi rasionalitas, motivasi, dan justifikasi
substansial (substansial synchronization) dan pemidanaan;
dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural 4. dilihat secara fungsional/operasional,
synchronization). Dalam hal sinkronisasi kultural, sistem pemidanaan merupakan suatu
keserempakan dan keselarasan dituntut dalam rangkaian proses melalui tahap formulasi
mekanisme administrasi peradilan pidana (the 48 Marcus Priyo Gunarto, “Sikap Memidana yang Berorientasi
pada Tujuan Pemidanaan”, MIMBAR HUKUM, Volume
administration of justice) dalam rangka hubungan 21, Nomor 1, Februari 2009, hal. 93–108.
antar lembaga penegak hukum. Sedangkan 49 RUU KUHP hasil pembahasan DPR dan Pemerintah,
draf per tanggal 18 September 2019.
menyangkut sinkronisasi subtansial, maka 50 Sejak Naskah Akademik dan RUU KUHP disampaikan
keserempakan itu mengandung makna baik oleh Pemerintah ke DPR pada tahun 2015, tidak
pernah ada pembahasan terhadap Naskah Akademik
vertikal maupun horizontal dalam kaitannya RUU KUHP. Oleh karena itu, Naskah Akademik
dengan hukum positif yang berlaku. Sementara yang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah Naskah
47 Ibid., hal. 35. Akademik Draf tahun 2015.
252 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
Dalam mengidentifikasikan tujuan pidana ini dirumuskan dalam aturan umum
pemidanaan, RUU KUHP bertolak dari dalam RUU KUHP, yaitu:56
keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu 1. menegaskan bahwa tidak seorang pun
“pelindungan masyarakat” termasuk korban yang melakukan tindak pidana dipidana
kejahatan dan “pelindungan/pembinaan tanpa kesalahan.
individu pelaku tindak pidana”. Bertolak dari 2. dalam ketentuan alasan penghapus pidana,
keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka khususnya alasan
pemaaf, dimasukkan
syarat dan hakikat pemidanaan juga bertolak dari masalah “error” (kesalahan), daya paksa,
pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, pembelaan terpaksa yang melampaui
antara lain dalam bentuk: keseimbangan batas, tidak mampu bertanggung jawab
antara kepentingan umum/masyarakat dan dan masalah anak di bawah 12 tahun.
ke-pentingan individu; keseimbangan antara 3. dalam pedoman pemidanaan, hakim
perlindungan/ kepentingan pelaku (ide indi- diwajibkan mempertimbangkan beberapa
vidualisasi pidana) dan korban; keseimbangan faktor antara lain: motif, sikap batin dan
antara faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) kesalahan si pembuat, cara si pembuat
dan “subjektif” (orang/ batiniah/sikap batin)/ melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan
ide “daad-dader strafrecht”; keseimbangan antara keadaan sosial ekonominya serta bagaimana
kriteria “formal” dan “materiel”; keseimbangan pengaruh pidana terhadap masa depan
antara “kepastian hukum”, “kelenturan/ pembuat tindak pidana, pengaruh tindak
elastisitas/fleksibilitas”, dan “keadilan”; dan pidana terhadap korban maupun keluarga
keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan korban, pemaafan dari korban dan/atau
nilai-nilai global/ internasional/universal.54 keluarganya, dan/atau pandangan masyarakat
Terkait dengan keseimbangan terhadap tindak pidana yang dilakukan.
monodualistik maka oleh karena itu syarat 4. dalam pedoman pemberian maaf/
pemidanaan juga bertolak dari dua pilar pengampunan, hakim, mempertimbangkan
yang sangat fundamental di dalam hukum faktor keadaan pribadi si pembuat dan
pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan pertimbangan kemanusiaan.
asas kemasyarakatan) dan “asas kesalahan/ 5. dalam ketentuan mengenai peringanan
asas culpabilitas” (yang merupakan “asas dan pemberatan pidana, dipertimbangkan
kemanusiaan”). Dengan perkataan lain, pokok beberapa faktor, antara lain: apakah ada
pemikiran mengenai pemidanaan berhubungan kesukarelaan terdakwa menyerahkan
erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak diri kepada pihak yang berwajib setelah
pidana dan pertanggungjawaban pidana.55 melakukan tindak pidana; apakah ada
Dilihat dari pokok pemikiran yang kesukarelaan terdakwa memberi ganti rugi
menitikberatkan atau berorientasi pada atau memperbaiki kerusakan yang timbul;
faktor “orang” (pelaku tindak pidana), apakah ada kegoncangan jiwa yang sangat
maka ide individualisasi pidana ini juga hebat; apakah si pelaku adalah wanita
melatarbelakangi aturan umum pemidanaan. hamil; apakah ada kekurangmampuan
Ide atau pokok pemikiran individualisasi bertanggung jawab; apakah si pelaku
54 Barda Nawawi Arief, Ide Keseimbangan Dalam Konsep adalah pegawai negeri yang melanggar
KUHP, dalam Ira Alia Maerani, “Implementasi Ide
Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum Pidana kewajiban jabatannya/menyalahgunakan
Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal kekuasaannya; apakah ia menyalahgunakan
Pembaharuan Hukum, Volume II Nomor 2 Mei - Agustus
2015, hal. 329-338.
keahlian/profesinya; apakah merupakan
55 Badan Pembangunan Hukum Nasional, Naskah pengulangan tindak pidana.
Akademik RUU tentang KUHP draf tahun 2015, hal. 36. 56 Ibid., hal. 37.
254 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
komunitas melalui pembatasan ruang gerak tutupan dinilai memiliki fungsi pencegahan
orang-orang terhukum, rehabilitasi para umum bagi calon pelaku untuk tidak melakukan
terhukum, pencegahan para residivis dan perbuatan yang sama. Namun apabila mengacu
dimasukkan sebagai contoh bagi yang lainnya pada tujuan pemidanaan lainnya justru tidak
untuk tidak berbuat kejahatan. Sebagian sanksi konsisten antara tujuan yang hendak dicapai
pidana didisain untuk tujuan pemulihan. dengan sarana yang digunakan. Beberapa
Sebagai tambahan, sanksi dilaksanakan di tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan
tempat-tempat umum sering dimaksudkan tidak akan tercapai dengan menggunakan
sebagai fungsi simbolis yang penting melalui sarana pidana tutupan. Penerapan pidana
baik dramatisasi kejahatan dari perbuatan tutupan tidak akan dapat memasyarakatkan
tertentu atau sebagai gambaran keadilan dalam terpidana dengan mengadakan pembinaan
proses hukum. Sedangkan dari perspektif sehingga menjadi orang yang baik dan berguna
konflik hukum dan masyarakat, fungsi utama tidak akan mungkin tercapai. Pidana tutupan
sanksi hukum adalah untuk memelihara dan juga berpotensi menimbulkan diskriminasi
mencegah kepentingan-kepentingan penguasa. jika tidak ada ukuran bagi hakim untuk
Hal ini dilakukan melalui berbagai cara melalui menjatuhkannya sehingga tujuan lainnya yaitu
pengembangan dan penerapan hukum pidana menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
dan perdata. Sebagai contoh, sanksi pidana tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
dirancang untuk menghukum tindakan- mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
tindakan serakah dari yang tidak mempunyai juga dimungkinkan tidak akan tercapai.
kekuasaan dan mengesahkan kegiatan yang
sama oleh penguasa. Lebih umum lagi, kontrol B. Saran
sosial adalah tujuan utama dari hukum bagi Meskipun pidana tutupan pada dasarnya
penganut teori konflik, baik sebagai mekanisme bertolak dari ide individualisasi pidana
untuk mendapatkan kontrol atas barang-barang yang memberikan keleluasaan bagi hakim
dan jasa-jasa dan sebagai sarana dari pengawasan untuk memilih dan menentukan dengan
perbedaan pendapat.58 pertimbangan dan keyakinannya untuk
Terkait dengan apa yang dikemukakan menjatuhkan sanksi pidana tutupan, hal ini
Miethe dan Hong Lu tersebut maka dapat dapat menimbulkan kekhawatiran karena
dipertanyakan apakah peristiwa 3 Juli 1946 tidak ada kepastian hukum. Oleh karena itu,
yang melatarbelakangi diaturnya pidana mengenai tindak pidana yang terdorong oleh
tutupan juga dapat dimungkinkan terjadi maksud yang patut dihormati seharusnya oleh
kembali. Sedangkan RUU KUHP telah pembentuk undang-undang sudah dirumuskan
mengatur beberapa tindak pidana politik yang dengan jelas kriterianya sehingga hakim dapat
dikelompokan dalam tindak pidana keamanan menjatuhkan sanksi pidana tutupan. Dengan
negara beserta sanksi pidananya. kata lain hakim sudah memiliki acuan kriteria
untuk menjatuhkan sanksi pidana tutupan
IV. Penutup tersebut.
A. Simpulan
Dari perspektif pemidanaan terutama
mengacu pada tujuan pemidanaan yang
dirumuskan dalam RUU KUHP maka pidana
58 Terance D. Miethe & Hong Lu, Punishment–A
Comparative Historical Perspective, New York USA:
Cambridge University Press, 2005, hal. 4.
256 LIDYA SURYANI WIDAYATI: Pidana Tutupan dalam RUU KUHP: dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, ....
Utrecht. E. Rangkaian Sari Kuliah. Hukum
Pidana II. Jakarta: 1962.
Zara. Yuanda. Peristiwa 3 Juli 1946 (Menguak
Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia).
Media Pressindo. Yogyakarta. 2009.