Anda di halaman 1dari 9

QAULAN LAYYINA

DISUSUN OLEH:

Eka Octalia Indah Librianti (2170100004)


Enjang Tedi (217010005)

Dosen Pengampu:

Dr. H. Zainal Abidin, M.Ag

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI-REGULER)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


(UIN) SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2018 /1438 H
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk empat dimensi: sebagai
makhluk Allah, sebagai diri sendiri, sebagai makhluk yang hidup dengan sesama,
dan sebagai makhluk yang hidup di alam semesta (Hefni, 2015:59). Sebagai
makhluk social (hidup dengan sesama) manusia tidak mungkin hidup menyendiri
dan memisahkan diri dari komunitasnya.
Dalam mengarungi kehidupan, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan
yang harus dipenuhi. Kebutuhan- kebutuhan tersebut menurut al-Syatibi dibagi
kedalam tiga kategori, yaitu: dharuriyyah (kebutuhan mendasar yang harus ada
pada setiap manusia), hajiyyat (kebutuhan manusia agar hidup lebih mudah, lebih
lapang, sesuai dengan kebutuhan standar, tidak membuat seseorang menjadi susah
tetapi tidak termasuk mewah), dan tahsiniyat/takmili (kebutuhan yang terkait
dengan kenyamanan seperti makan dengan kulaitas yang baik, minum, tinggal
dengan nyaman dll). Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mungkin terwujud tanpa
adanya landasan komunikasi yang baik antar sesama manusia (Hefni, 2015:64).
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu
melalui system lambang-lambang, tanda-tanda, dan tingkah laku. Komunikasi juga
diartikan sebagai cara untuk mempertukarkan ide dengan pihak lain, baik dengan
berbincang-bincang, berpidato, menulis maupun melakukan korespondensi.
Menurut Steven, komunikasi terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi
terhadap suatu objek atau stimuli. Apakah itu berasal dari seseorang atau
lingkungan sekitarnya. Lebih khusus, komunikasi mengandung pemahaman
bagaimana Manusia berprilaku dalam penciptaan, pertukaran, dan
penginterpretasian pesan-pesan (Shobah, 2006:6).
Komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Tanpa
adanya komunikasi seseorang tidak akan mampu berinteraksi satu sama lain.
Melalui komunikasi, seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain, mengenal
mereka dan juga mengenal diri kita sendiri serta kita dapat mengungkapkan apa
yang ada pada diri kita kepada orang lain.
ebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktivitas komunikasi bisa
dikatakan sebagai aktivitas vital dalam kehidupan. Cangara yang menyimpulkan
penilaian dari banyak pakar mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai suatu
kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Komunikasi dan masyarakat merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya
tanpa masyarakat, maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan
komunikasi.
Karena pentingnya komunikasi tersebut, Islam yang mengusung prinsip
kaffah atau komprehensif dalam ajarannya tidak membiarkan umat yang
meyakininya berkomunikasi tanpa panduan. Tentunya panduan komunikasi yang
dimaksud adalah komunikasi yang Islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah
atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang
bersumber kepada Al-Quran dan hadis Nabi.
Dalam al-Quran maupun Hadis ditemukan berbagai panduan agar
komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai
kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam. Kaidah, prinsip,
atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam
melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal maupun interpersonal
dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, serta dalam
aktivitas-aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan
berbagai jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai
kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, salah satunya adalah qaulan layyina.
Maka makalah ini berusaha untuk menjelaskan tentang prinsip komunikasi dalam
al-qur’an berdasarkan aspek qaulan layyina.
BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Term Qaul Dalam Al-Qur’an


Dalam bahasa Indonesia, qaul diartikan dengan kata. Menurut Ibn Mandzur,
qaul adalah lafaz yang diucapkan oleh lisan baik maknanya sempurna atau tidak.
Menurut definisi Ibn Mandzur ini, maka qaul bisa berarti kata atau bisa juga berarti
kalimat, karena kata yang maknanya sempurna dalam bahasa Indonesia disebut
dengan kalimat (Ismatullah, 2006: 143).
Dalam al-Qur’an qaul disebutkan sebanyak 1.722 kali; 529 kali dalam
bentuk qala, 92 kali dalam bentuk yaqulun, 332 kali dalam bentuk qul, 13 kali
dalam bentuk qulu, 49 kali dalam bentuk qila, 52 kali dalam bentuk al-qaul, 12 kali
dalam bentuk qauluhum dan bentuk-bentuk lainnya (Hefni, 2015:80).
Term qaul, disampaikan dalam sejumlah ayat dengan setidaknya tiga ujaran;
perintah, larangan, dan berita. Namun demikian, yang disampaikan dalam bentuk
berita pun sejatinya mengandung perintah ataupun larangan. Perintah, yang berada
dalam kelompok ini setidaknya terdiri dari enam term: qaul ma’rûf (QS al-Nisâ`/4:
5 dan 8; al-Ahzab/33: 32), qaul sadîd (QS al-Ahzab/33: 70 dan alNisâ`/4: 9), qaul
layyin (QS Thaha/20: 44), qaul balîgh (QS al-Nisâ`/4: 63), qaul karîm (QS al-
Isra`/17: 23), dan dûn al-jahr min al-qaul (QS al-A’râf/7:205); Larangan mencakup
Qaul al-Zûr (QSal-Hajj/22:30), Al-Sû`min al-Qaul (QS alNisâ`/4: 148); Berita,
mencakup Qaul Ma’rûf (QS al-Baqarah/2:263), Al-Qaul alTsâbit (QS.
Ibrâhîm/14:27), Al-Thayyib min al-Qaul (QS al-Hajj/22:24), LahnalQaul (QS
Muhammad/47: 30), Munkar min al-Qaul (QS. Al-Mujâdalah/58:2), Qaul
Mukhtalif (QS.Al-Dzâriyyât/51:8), Qaul ‘Azhîm (QS al-Isrâ`/17: 40), Mâ Lâ
Yardhâ min al-Qaul (QS al-Nisâ`/4:108), Zukhruf al-Qaul (QS al-An’âm/6:112),
Zhâhir min al-Qaul (QS al-Ra’d/13: 33). (Badruzzaman, 2014).

B. Qaulan Layyina
Kata Layyin secara etimologi berarti lembut. Qaulan layyinan berarti
perkataan yang lemah lembut. Dalam komunikasi dakwah, perkataan yang lemah
lembut merupakan jenis interaksi komunikasi dai dalam mempengaruhi mad’u
untuk mencapai hikmah. Kata qaulan Layyinan digambarkan dalam surat Thaha:
43-44.
Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah
melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanyna dengan kata kata yang
lemah lembut , mudah mudahan ia ingat akan takut”.
Hasbi menafsirkan ayat di atas bahwa Allah memerintahkan Musa dan Harun
untuk pergi kepada Fir’aun dan debatlah dia dengan hujjah-hujjah yang kuat, karena
Fir’aun telah melampaui batas dengan mengaku dirinya sebagai tuhan. Menurut Hasbi
seruan ayat ini dikhususkan kepada Fir’aun, sedangkan yang sebenarnya tujuan dari
ayat ini adalah masyarakat mesir, mengingat apabila Fir’aun telah tunduk kepada seruan
itu, maka tunduk pula seluruh orang Mesir.
Musa dan Harun merupakan dua rasul yang diutus untuk umatnya Bani Israil.
Namun demikian diutusnya Musa dan Harun untuk mendebat Fir’aun tidak lain
tujuannya adalah untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan Fir’aun dan
memasukkan mereka ke dalam syariat yang benar. Berbicaralah kepada Fir’aun dengan
lemah lembut, menggunakan kata-kata yang menarik, supaya lebih berkesan pada
jiwanya. Dalam menafsirkan “qaulan layyina” Hasbi memberikan penekanan bahwa
bukan hanya sekedar lemah lembut tetapi bagaimana pembicaraan itu bisa diterima oleh
lawan bicara dan berkesan pada jiwanya (Fir’aun) yaitu dengan menggunakan kata-kata
yang menarik (Shiddieqy, 2011:491).
Karakter lawan bicara berbeda-beda. Fira’un sebagai orang yang menjadi mad’u
Nabi Musa adalah orang yang sangat keras dan kejam, bahkan sampai pada mengaku
sebagai seorang Nabi. Nabi Musa tidak bisa sembarangan menyampaikan kebenaran
padanya, karena ia juga pernah dibesarkan oleh Fir’aun. Dan sungguh indah Allah
mengajarkan bahwa sebagai anak yang pernah diasuh, Nabi Musa tidak perlu keras
terhadap Firaun, dan dituntun untuk menggunakan kata-kata yang lemah lembut.
Dengan perkataan yang lemah lembut ini diharapkan Fir’aun menjadi tersentuh dan
takut.
Ada pelajaran optimisme dari qaulan layyina. Hati manusia bukan manusia
sendiri yang menggenggamnya, namun Allah yang menguasai hati manusia. Mudah saja
bagi Allah untuk membukakan hati manusia yang keras sekalipun. Banyak orang yang
masuk Islam karena dakwah di lakukan dengan lemah lembut. Fitrah manusia jika
diajak komunikasi oleh orang lain, dia ingin diperlakukan dengan lemah lembut.
Sementara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengan-
dung anjuran, ajakan, pemberian contoh. Si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain
bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud
merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan
demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah
adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk
kekuatan.
Wahbah al-Zuhaily menafsirkan ayat tersebut dengan, “Maka katakanlah
kepadanya (Fira’un) dengan tutur kata yang lemah lembut (penuh persaudaraan) dan
manis didengar, tidak menampakkan kekasaran dan nasihatilah dia dengan ucapan
yang lemah lembut agar ia lebih tertarik. Karenanya ia akan merasa takut dengan siksa
yang yang dijadikan oleh Allah melalui lisanmu”. Maksudnya adalah agar Nabi Musa
dan Nabi Harun meninggalkan sikap yang kasar (Zuhaily, 1991:215).
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa a.s., harus berkata
lembut padahal Firaun adalah tokoh yang sangat jahat. Ada dua alasan, pertama, sebab
Musa  pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal
ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap
kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Kedua, biasanya seorang
penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan
secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.
Nabi Muhammad juga mencotohkan kepada kita bahwa beliau selalu berkata
lemah lembut kepada siapa pun, baik kepada keluarganya, kepada kaum muslimin yang
telah mengikuti nabi, maupun kepada manusia yang belum beriman. Dengan demikian
dapat ditarik suatu kesimpulan dalam komunikasi Islam, yaitu semaksimal mungkin kita
harus menghindari kata-kata yang kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan
tinggi.
Seseorang tidak diperbolehkan untuk bersuara keras yang tidak sepadan dengannya atau
yang lebih tua, apalagi jika bergaul dengan orang ramai di tempat umum. Orang yang
tidak tahu sopan santun lupa bahwa di tempat itu bukanlah dia berdua dengan temannya
itu saja yang duduk. Oleh karena itu, orang yang bersuara keras bukan pada tempatnya
diibaratkan sebagai suara keledai yang memekakkan telinga dan sangat tidak disukai
manusia. Maka tidak mengherankan jika suara keledai dipandang sebagai suara paling
buruk. Dalam Alquran ayat yang berkenaan dengan qaulan layyinaterdapat pada surah
Luqman ayat 19 Allah Swt berfirman: “Sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (Q.S.
Luqman: 19).
Hamka mengutip pendapat Mujahid yang berpendapat bahwa suara keledai
sangatlah jelek. Oleh karena itu. orang-orang yang bersuara keras, menghardik-hardik,
sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik-balik, menyerupai
suara keledai, tidak enak didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah. Seorang
Muslim dianjurkan untuk bersuara lembut dalam berkomunikasi dengan saudaranya.
Orang yang berusaha untuk bersuara lembut apalagi ketika bersama Rasulullah ternyata
mendapat pujian dari Allah. Dan akan memperoleh pahala di sisi-Nya, sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di
sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah
untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”(Q.S. Al-Hujurat: 3).
(Hamka, 1984:135).
Dalam komunikasi dakwah qaulan layyinan menjadi dasar tentang perlunya
sikap bijaksana dalam berdakwah ditandai dengan ucapan-ucapan yang santun yang
tidak menyakitkan komunikan dakwah (mad’u). Al-Maraghi (Maktabah Syamilah)
menerangkan bahwa Qaulan Layyinan berarti pembicaraan yang lemah lembut agar
lebih dapat menyentuh hati dan menariknya untuk menerima dakwah.
“Fa qula lahu qawlan layyina” yang artinya Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembu, menjadi dasar tentang perlunya sikap
bijaksana dalam berdakwah yang antara lain ditandai dengan ucapan-ucapan yang sopan
dan tidak menyakitkan sasaran mitra dakwah. Karena, Fir’aun saja, yang demikian
durhaka masih juga dihadapi dengan lemah lembut. Memang dakwah pada dasarnya
adalah ajakan lemah lembut. Dakwah adalah upaya untuk menyampaikan hidayah. Kata
“hidayah” yang terdiri dari tiga hurud “Ha”, “Dal”, dan “Ya” maknanya antara lain
adalah “menyampaikan dengan lemah lembut”. Dari sisilah, kata hidayah yang
merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati. Ini
tentu saja bukan berarti bahwa seorang juru dakwah tidak melakukan kritik, hanya saja
itu pun harus disampaikan dengan tepat, bukan saja pada kandungannya, tetapi juga
waktu dan tempatnya serta suasana kata-katanya, yakni dengan tidak memaki atau
memojokkan. Tempat lain Allah Swt mengajarkan kepada Nabi Musa redaksi kalimat
yang hendaknya beliau sampaikan kepad Fir’aun. Tersurat dalam QS. An-Naziyat : 18,
yang artinya: “Dan katakanlah (kepada Fir’aun): adakah keinginan bagimu untuk
membersihkan diri (dari kesesatan)” (Ilahi, 2010:177).
Sebagaimana yang telah digambarkan pada ayat di atas, yaitu dakwah dalam
menghadapi Fir’aun. Lemah lembut disini bukan berarti lemah, akan tetapi sarat dengan
unsur bijaksana dan mengandung hikmah. Dalam konteks komunikasi, komunikator atai
da’i haruslah dapat menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan simpati dari
komunikan dengan perkataan yang lemah lembut. Kata-kata yang disampaikan tersusun
sesuai dengan kebutuhan, dalam artian tepat waktu, tepat tempat, tepat sasaran, dan
tidak menimbulkan konfrontatif apalagi anarkis.

C. Kesimpulan
Dengan demikian, yang dimaksud qaulan layyina adalah ucapan baik yang
diungkapkan dengan lemah lembut, sehingga dapat menyentuh hati orang yang diajak
bicara. Ucapan lemah lembut dimulai dari dorongan dan suasana hati orang yang bicara.
Apabila ia berbicara dengan hati yang tulus dan memandang orang yang diajak bicara
sebagai saudara yang ia cintai, maka akan lahir ucapan yang lemah lembut. Dampak
kelemahlembutan itu akan membawa isi pembicaraan yang mudah mempengaruhi dan
menggerakkan hati orang yang diajak bicara. Komunikasi yang terjadi adalah
komunikasi dua hati yang akan berdampak pada terserapnya isi ucapan oleh orang yang
diajak bicara. Akibatnya, ucapan itu akan memiliki pengaruh yang dalam, bukan hanya
pada sampainya informasi, tetapi juga pada berubahnya pandangan, sikap, dan perilaku
orang yang diajak bicara.
DAFTAR PUSTAKA

Abad Badruzzaman, “Etika Berkomunikasi Menurut al-Qur’an (Kajian Tematik Term


Qaul dalam al-Qur’an),” Abad Badruzaman (blog), 30 Mei 2014, pada
https://abualitya.wordpress.com/2014/05/30/etika-berkomunikasi-menurut-al-
quran-kajiantematik-term-qaul-dalam-al-quran/.
Hamka, 1984. Tafsir Al-Azhar, Jakarta : Pustaka Panji  Mas, Juz. 21
Hefni, Harjani, 2015. Komunikasi Islam, Jakarta: Prenada Media Group.Ilahi, Wahyu,
2010. Komunikasi Dakwah, Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Ismatulloh, A.M, 2006. Penafsiran M. Hasbi ash-Shiddieqy terhadap Ayat-Ayat
Hukum dalam Tafsir an-Nur, dalam Jurnal Al-Tabsyir, Vol. 2, No. 2, edisi Juli –
Desember.
Nurul Shobah, 2006. Menumbuhkembangkan Kebiasaan Membaca di Perguruan
Tinggi: Suatu Analisis tentang Komunikasi Tulisan, pada Jurnal Lentera, Vol. 4,
No. 2, edisi Juli - Desember 2006.
Zuhaily, Wahbah. 1991. tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid. 15.

Anda mungkin juga menyukai