MANAJEMEN DAKWAH
BANJARMASIN
1441H/2020M
KATA PENGANTAR
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung
kita, yaitu Nabi Muhammad ﷺyang telah menyampaikan petunjuk Allah
ﷻuntuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni
Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar
bagi seluruh alam semesta.
Saya juga berharap dengan sungguh-sungguh supaya makalah ini mampu berguna
serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan mengenai metode
dakwah al-mujadallah bentuk metode al-hiwar itu sendiri.
Selain itu saya juga sadar bahwa pada makalah saya ini dapat ditemukan banyak
sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya benar-benar
menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat saya revisi dan saya tulis di masa yang
selanjutnya, sebab sekali lagi saya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa disertai saran yang konstruktif.
Di akhir, saya berharap makalah sederhana saya ini dapat di mengerti oleh setiap
pihak yang membaca. Saya pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
makalah saya terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.
2. Perumusan Masalah
a) Apa pengertian al-Mujadalah dan al-Hiwar?
b) Apa saja macam-macam al-Mujadalah
c) Apa saja landasan dan etika dalam berdialog?
d) Apa saja metode dalam berdialog?
e) Bagaimana model metode al-Mujadalah pada masa Nabi Muhammad Saw.?
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian Dasar
Dari segi etimologi (Bahasa) lafadz mujadalah berasal dari kata “jaadala” yang
bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif pada huruf jim yang mengikuti
wazan Faaala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan ”mujadalah” perdebatan.
Kata “jaadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan
sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan
lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Istilah mujadalah atau jidal dengan berbagai turunannya disebutkan dalam Al-
Qur’an sebanyak 26 kali pada 16 surah. Makna kata tersebut berkisar antara membantah,
debat, bersoal jawab dan gugatan. Dalam banyak ayat dikisahkan bahwa umat terdahulu
membantah para Rasul ketika disampaikan kepada mereka tentang keesaan Allah dan
syariat-Nya. Secara umum makna kata jidal dengan berbagai turunannya dalam ayat yang
telah disebutkan itu dalam konteks yang negatif. Itulah sebabnya pada surah An-Nahl
[16] ayat 125, Allah menyuruh berdakwah dengan debat atau dialog yang baik.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
BAB III
PEMBAHASAN
Sesungguhnya jidal berlangsung dalam konteks dialog. Dialog dalam Bahasa
Arab disebut dengan al-hiwar. Makna al-hiwar atau dialog merupakan percakapan dua
orang atau lebih berlangsung secara berimbang, tidak saling mengungguli, berjalan
dengan tenang. Sementara jidal adalah dialog dengan dalil dan argumen yang dapat
mematahkan alasan atau dalih sasaran dakwah dan membuat ia tidak dapat bertahan.
Dalam penerapan metode dakwah, menurut Natsir faktor penentu adalah pelaku
dakwah, yaitu dai yang memahami dengan baik ajaran yang didakwahkan dan mengenal
masyarakat dari berbagai segi atau bidang kehidupan. Selain itu adalah kemampuan
mengendalikan diri, dan adanya keseimbangan dalam kehidupan dai.
Penerapan metode dakwah terhadap pihak eksternal, perlu senantiasa merujuk Al-
Qur’an dan Hadits, terutamanya kepada mereka yang masih kufur, khususnya dalam
berpolemik. Hamka mengingatkan bahwa jangan sesekali menggunakan serangan akidah,
sebaliknya yang harus dilakukan adalah mencari titik temu atau persamaan. Pandangan
Hamka ini didasarkan surah Al-‘Ankabut [29] ayat 46.
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah:
"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-
Nya berserah diri".
[1154] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim Ialah: orang-orang yang
setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan
cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap
menyatakan permusuhan.
Debat di Indonesia biasanya dalam konteks Pilpres dan Pilkada, yaitu dalam adu
visi, misi dan program kerja masing-masing calon. Dalam konteks dakwah debat
dibolehkan bahkan menjadi salah satu metode dakwah. Diperlukan persiapan debat,
baik materi yang diperdebatkan maupun cara berdebat yang simpatik.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berdebat. Pertama, meluruskan
niat berdebat, yaitu dalam rangka mengemukakan kebenaran bukan untuk menunjukkan
kehebatan dirinya. Oleh sebab itu, diperlukan penguasaan yang dalam dan luas terhadap
topik yang diperdebatkan. Kedua, memilih tempat dan situasi yang tepat. Jangan mau
berdebat di sembarang tempat atau dalam kondisi yang tidak kondusif. Hal itu dapat
menurunkan martabat seorang dai. Ketiga, pandai mendengar. Mendengar secara baik isi
pembicaraan mitra bicara, memungkinkan seorang dai mampu menangkap inti persoalan.
Dengan demikian, dai dapat terhindar dari kekeliruan memahami akar persoalan.
Keempat, menemukan titik persamaan. Kemudian hal yang berbeda atau sesuatu
kesalahan yang perlu diluruskan dalam debat.
Macam-macam Al-Mujadalah
1) Al-Hiwar (Dialog)
1) Kejujuran
Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai
kebenaran, menjauhi kebohongan, kebathilan dan pengaburan. Al-Qur’an
menyebutkan berbagai macam dialog yang terjadi antar Rosul dan kaumnya,
dan antara orang-orang yang berbuat kerusakan.
3) Menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran
Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yakin
terhadap argument yang kita sampaikan. Ilustrasi berguna untuk memperjelas
setiap uraian pembicaraan.
5) Jangan marah
Seseorang yang sedang berdiskusi/berdialog kadang dihadapkan dengan
persoalan yang rumit, dimana lawan bicara tidak mau menerima atau
bahkan mencaci terhadap da’i. Oleh karena itu, da’i tidak boleh terpancing
untuk marah. Karena yang terjadi adalah kebuntuan dialog tersebut, dan ini
berarti kebuntuan dakwah. Oleh sebab itu, da’i tetap pada konsentrasi,
menyejukkan hati mad’u dan tidak boleh terpancing emosi.
“tahukah kalian semua, apabila usulan saya itu diterima, maukah kalian
mengatakan satu kalimat yang dapat menjadikan kalian semua menguasai
Bahasa arab, sementara bangsa-bangsa asing akan tunduk kepada kalian?” mau…,
“ Abu Jahal langsung berkata, “Demi ayahmu, kami mau mengatakan 1 kalimat
itu.” Kalimat apakah itu? (Abu Jahal Penasaran). Nabi Saw. kemudian menjawab,
“katakanlah kalimat lailahaillallah (tidak ada Tuhan selain Allah)”
Mendengar jawaban Nabi mereka terdiam tidak ada yang bicara apa-apa.
Akhirnya Abu Tholib berkata, “Hai kemenakanku. Katakan kalimat selain itu
saja, karena kaum kamu itu sudah membeci kalimat itu.” Nabi Muhammad
menjawab, “Hai pamanku, saya tidak akan mengatakan kalimat selain itu bahkan
seandainya mereka menghadiahkan matahari untuk saya, maka saya tidak akan
mengatakan kalimat selain itu”.
Dalam penerapan metode dakwah, menurut Natsir faktor penentu adalah pelaku
dakwah, yaitu dai yang memahami dengan baik ajaran yang didakwahkan dan mengenal
masyarakat dari berbagai segi atau bidang kehidupan. Selain itu adalah kemampuan
mengendalikan diri, dan adanya keseimbangan dalam kehidupan dai.
Dengan ayat-ayat yang tersebut diatas, terlihat dengan jelas bahwa al-Qur’an dan
as-Sunnah memberikan begitu besar perhatiannya kepada diskusi dan metodenya dalam
menghadapi serta menjelaskan terhadap lawan. Bagaimanapun bentuk lawan yang kita
hadapi dengan bantahan yang baik akan tetapi disisi lain kita membantahnya dengan
bantahan yang tegas dan lugas demi mematahkan pendapat lawan. Oleh karena itu islam
pun mengajarkan agar dalam mempergunakan dialog dapat terarah dan berhasil dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta, Rajawali Pers,2012),cet. 1, hlm 253