Anda di halaman 1dari 14

Metode Dakwah al-Mujadallah

berbentuk Metode “Al-Hiwar”

Disusun Oleh Kelompok 9 :


FITRI RABIATUL ADAWIYAH
180104030078

Mata Kuliah : METODOLOGI DAKWAH


Dosen Pengasuh : Fahriansyah,S.Ag,M.Ag
Hari/Jam : Kamis, 08.00-11.00 Wita
Kelas : MDK-18-C2
Ruang : FDIK.11

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

MANAJEMEN DAKWAH

BANJARMASIN

1441H/2020M
KATA PENGANTAR

‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬


Puji syukur kehadirat Allah ‫ ﷻ‬yang hingga saat ini masih memberikan kita
nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu
kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Metode dakwah al-
mujadallah berbentuk metode al-hiwar.”

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung
kita, yaitu Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang telah menyampaikan petunjuk Allah
‫ ﷻ‬untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni
Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar
bagi seluruh alam semesta.

Sekaligus pula saya menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya


untuk Bapak Fahriansyah,S.Ag,M.Ag selaku dosen mata kuliah Metodologi Dakwah
yang telah menyerahkan kepercayaannya kepada saya guna menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.

Saya juga berharap dengan sungguh-sungguh supaya makalah ini mampu berguna
serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan mengenai metode
dakwah al-mujadallah bentuk metode al-hiwar itu sendiri.

Selain itu saya juga sadar bahwa pada makalah saya ini dapat ditemukan banyak
sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya benar-benar
menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat saya revisi dan saya tulis di masa yang
selanjutnya, sebab sekali lagi saya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa disertai saran yang konstruktif.

Di akhir, saya berharap makalah sederhana saya ini dapat di mengerti oleh setiap
pihak yang membaca. Saya pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
makalah saya terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

‫وهللا الموفق الى اقوام الطريق‬

ُ‫َو ال َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


Banjarmasin, 6 Februari 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Salah satu syarat suatu disiplin ilmu adalah memiliki metode dalam penemuan
dan pengembangannya. Syarat ini sama pentingnya dengan syarat lainnya seperti harus
memiliki objek, baik objek materiil maupun objek formalnya. Di samping syarat lain
bahwa suatu disiplin ilmu harus bersifat universal dan memiliki nilai pragmatis, yaitu
bermanfaat atau bernilai guna bagi kehidupan manusia.
Metode berasal dari Bahasa Yunani dari kata methodos, yang berarti cara atau
jalan yang harus ditempuh. Secara terminologi metode diartikan sebagai cara atau
prosedur yang harus ditempuh dalam melaksanakan sesuatu untuk mencapai tujuan.
Sedangkan metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mengajarkan cara
atau jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan dengan hasil yang efektif dan
efisien.
Dalam setiap bidang keilmuan mempunyai metode tersendiri sebagai ciri khusus
dari disiplin ilmu yang bersangkutan. Jadi, metode atau metodologi bukanlah dominasi
dan hak milik disiplin ilmu tertentu. Tapi setiap bidang keilmuan mempunyai metode
tersendiri yang sering berbeda dengan metode keilmuan lainnya.
Metode dakwah dipahami sebagai cara dalam menyampaikan pesan dakwah,
khususnya dakwah bil-lisan. Sementara metode keilmuan dakwah berkaitan dengan
epistemologi dakwah.

2. Perumusan Masalah
a) Apa pengertian al-Mujadalah dan al-Hiwar?
b) Apa saja macam-macam al-Mujadalah
c) Apa saja landasan dan etika dalam berdialog?
d) Apa saja metode dalam berdialog?
e) Bagaimana model metode al-Mujadalah pada masa Nabi Muhammad Saw.?

3. Tujuan Penulisan Makalah


a) Untuk mengetahui apa pengertian al-Mujadalah dan al-Hiwar.
b) Untuk mengetahui apa saja macam-macam al-Mujadalah.
c) Untuk mengetahui apa saja landasan dan etika dalam berdialog.
d) Untuk mengetahui apa saja model dalam berdialog.
e) Untuk mengetahui bagaimana model metode al-Mujadalah pada masa Nabi
Muhammad Saw.

BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian Dasar
Dari segi etimologi (Bahasa) lafadz mujadalah berasal dari kata “jaadala” yang
bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif pada huruf jim yang mengikuti
wazan Faaala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan ”mujadalah” perdebatan.
Kata “jaadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan
sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan
lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Istilah mujadalah atau jidal dengan berbagai turunannya disebutkan dalam Al-
Qur’an sebanyak 26 kali pada 16 surah. Makna kata tersebut berkisar antara membantah,
debat, bersoal jawab dan gugatan. Dalam banyak ayat dikisahkan bahwa umat terdahulu
membantah para Rasul ketika disampaikan kepada mereka tentang keesaan Allah dan
syariat-Nya. Secara umum makna kata jidal dengan berbagai turunannya dalam ayat yang
telah disebutkan itu dalam konteks yang negatif. Itulah sebabnya pada surah An-Nahl
[16] ayat 125, Allah menyuruh berdakwah dengan debat atau dialog yang baik.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sedangkan menurut istilah (terminology) terdapat beberapa pengertian al-


Mujadalah (al-Hiwar). Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang
dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya susunan yang mengharuskan
lahirnya permusuhan di antara keduanya.

2. Pendapat Para Ahli

1) Menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi, al-Muajadalah (al-Hiwar) ialah suatu


upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan
argumentasi dan bukti yang kuat.

2) Menurut Tafsir an-Nasafi, kata al-Mujadalah (al-Hiwar) mengandung arti :


Berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam
bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak
dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan) yang
bisa menyadarkan hati membangunkan jiwa dan memerangi akal pikiran, ini
merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.

3) Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa al-Munadzarah,


mengartikan bahwa “al-jidal” secara Bahasa dapat bermakna pula “datang untuk
memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-Jadlu” maka berarti
pertentangan atau perseteruan yang tajam. Al-Jarisyah menambahkan bahwa, lafadz
musytaqdari lafadz “al-Qatlu” yang berarti sama-sama terjadi pertentangan, seperti
halnya terjadinya perseteruan antara dua orang yang saling bertentangan sehingga
saling melawan/menyerang dan salah satu menjadi kalah.
4) Menurut Hamka dalam penerapan metode mujadalah adalah dengan memahami
pokok persoalan dan mengenal mitra dialog.

5) Sementara menurut M.Natsir, mujadalah merupakan diskusi yang disertai dengan


alasan dan bukti, sehingga dapat mengalahkan alasan bagi yang menolaknya.

BAB III
PEMBAHASAN
Sesungguhnya jidal berlangsung dalam konteks dialog. Dialog dalam Bahasa
Arab disebut dengan al-hiwar. Makna al-hiwar atau dialog merupakan percakapan dua
orang atau lebih berlangsung secara berimbang, tidak saling mengungguli, berjalan
dengan tenang. Sementara jidal adalah dialog dengan dalil dan argumen yang dapat
mematahkan alasan atau dalih sasaran dakwah dan membuat ia tidak dapat bertahan.

Dalam penerapan metode dakwah, menurut Natsir faktor penentu adalah pelaku
dakwah, yaitu dai yang memahami dengan baik ajaran yang didakwahkan dan mengenal
masyarakat dari berbagai segi atau bidang kehidupan. Selain itu adalah kemampuan
mengendalikan diri, dan adanya keseimbangan dalam kehidupan dai.

Penerapan metode dakwah terhadap pihak eksternal, perlu senantiasa merujuk Al-
Qur’an dan Hadits, terutamanya kepada mereka yang masih kufur, khususnya dalam
berpolemik. Hamka mengingatkan bahwa jangan sesekali menggunakan serangan akidah,
sebaliknya yang harus dilakukan adalah mencari titik temu atau persamaan. Pandangan
Hamka ini didasarkan surah Al-‘Ankabut [29] ayat 46.
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah:
"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-
Nya berserah diri".

[1154] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim Ialah: orang-orang yang
setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan
cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap
menyatakan permusuhan.

Debat di Indonesia biasanya dalam konteks Pilpres dan Pilkada, yaitu dalam adu
visi, misi dan program kerja masing-masing calon. Dalam konteks dakwah debat
dibolehkan bahkan menjadi salah satu metode dakwah. Diperlukan persiapan debat,
baik materi yang diperdebatkan maupun cara berdebat yang simpatik.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berdebat. Pertama, meluruskan
niat berdebat, yaitu dalam rangka mengemukakan kebenaran bukan untuk menunjukkan
kehebatan dirinya. Oleh sebab itu, diperlukan penguasaan yang dalam dan luas terhadap
topik yang diperdebatkan. Kedua, memilih tempat dan situasi yang tepat. Jangan mau
berdebat di sembarang tempat atau dalam kondisi yang tidak kondusif. Hal itu dapat
menurunkan martabat seorang dai. Ketiga, pandai mendengar. Mendengar secara baik isi
pembicaraan mitra bicara, memungkinkan seorang dai mampu menangkap inti persoalan.
Dengan demikian, dai dapat terhindar dari kekeliruan memahami akar persoalan.
Keempat, menemukan titik persamaan. Kemudian hal yang berbeda atau sesuatu
kesalahan yang perlu diluruskan dalam debat.

Macam-macam Al-Mujadalah

1) Al-Hiwar (Dialog)

Redaksi al-Mujadalah, Allah menyebutkan sebanyak 16 kali di dalam Al-


Qur’an. Akan tetapi, redaksi al-Qur’an yang mempergunakan lafadz al-Mujadalah
tidaklah menunjukkan al-hiwar/dialog. Ayat-ayat yang mempergunakan redaksi al-
Mujadalah, secara keseluruhan menunjukkan dalam konteks pembicaraan yang tidak
menghendaki munculnya debat (membantah/bantahan).
Ini berarti menunjukkan adanya perbedaan antara “debat dan dialog”.
Biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan, meski hanya sebatas perseteruan
lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh
fanatisme terhadap pendapatnya masing-masing pihak dengan merendahkan pihak
lain.
Sedangkan dialog yang dalam redaksi al-Qur’an menggunakan lafadz “al-
Hiwar” dan disebutkan sebanyak 7 kali dalam al-Qur’an juga tidak mengisyaratkan
dialog yang diharapkan dalam pendekatan sebuah metode dakwah.
Dalam hal ini al-Qur’an menyikapinya ternyata bukan mempergunakan
redaksi al-Mujadalah / al-Hiwar akan tetapi memakai lafadz “Qaala” (dia telah
berkata), “Yaquulu” (dia sedang/akan berkata), “Qul” (katakanlah), “Qaalu” (mereka
telah berkata), “Yaquuluna” (mereka sedang/akan berkata), dan “Quuluu” (katakanlah
oleh kamu semua) diturunkan dari kata dasar “al-Qawl” yang berarti pendapat, karena
dalam dialog tersebut kedua pihak saling mengemukakan pendapatnya, dan hal ini
telah diungkapkan oleh al-Qur’an secara berulang-ulang lebih dari 1700.

Firman Allah Swt. surah An-Nahl [16] ayat 125 :

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran


yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dengan melihat kejelasan di atas, apa yang tercantum dalam lafadz “al-
Mujadalah” dalam Q.S. an-Nahl ayat 125, sebagai bagian metode dakwah yang
disampaikan oleh Allah dan disepakati oleh para ulama dan mufassir bukanlah
menunjukkan mujadalah yang sebenarnya, akan tetapi dalam konteks al-Hiwar.
Bahkan begitu besarnya perhatian Allah Swt. terhadap bantahan/dialog ini, Allah
Swt. paparkan dialog dengan ahli kitab, dialog dengan orang munafik, dialog orang
baik dan orang jahat, dialog sesama orang jahat, dan dialog dengan orang-orang
shalih.
Dalam pemahaman surah an-Nahl ayat 125, Nabi Saw. diperintahkan
berdakwah kepada golongan Yahudi, kemudian mengajak mereka berdebat jika
dakwah kurang diterima. Perdebatan senantiasa digunakan al-Qur’an dalam
menghadapi masyarakat ahli kitab. Al-Qur’an selalu mengutarakan kesalahan Ahli
Kitab serta kelemahan argumentasi mereka. Dalam perdebatan, pihak yang telah jelas
kesalahannya dan lemah argumentasinya dapat dipastikan akan mengalami
kekalahan. Selain itu, usaha para pemuka Ahli Kitab dalam mengubah ajaran agama
mereka juga menampakkan kesalahan yang nyata. Ada sisi keunggulan ketika
perdebatan digunakan untuk menghadapi Ahli Kitab. Pada saat pemuka Ahli Kitab
mengalami kekalahan, para pengikutnya yang masih awam segera berpindah
keyakinan usai melihat perdebatan. Bahkan tidak sedikit peserta debat mengakui
kesalahannya dan kemudian masuk islam.
Berdebat patut dijadikan sebagai metode dakwah. Namun, perlu diketahui
bahwa debat (Mujadalah) yang dimaksud di sini adalah debat yang baik, adu
argument dan tidak tegang (ngotot) sampai terjadi pertengkaran. Sebab salah satu ciri
berdebat adalah mencari kemenangan dan bukan mencari kebenaran, sehingga
tidak jarang terjadi bila berdebat mengakibatkan pertengkaran atau permusuhan.
Debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari kemenangan, dalam arti
menunjukkan kebenaran dan kehebatan islam. Dengan kata lain debat adalah
mempertahankan pendapat dan ideologinya agar pendapat dan ideologinya itu diakui
kebenaran dan kehebatannya oleh musuh (orang lain). Keutamaan metode debat
adalah terletak pada kemenangannya dalam mempertahankan benteng islam.

Landasan dan Etika Berdialog

1) Kejujuran
Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai
kebenaran, menjauhi kebohongan, kebathilan dan pengaburan. Al-Qur’an
menyebutkan berbagai macam dialog yang terjadi antar Rosul dan kaumnya,
dan antara orang-orang yang berbuat kerusakan.

2) Thematic dan objektif


Thematic dan objektif dalam menyikapi permasalahan, artinya tidak
keluar dari tema utama sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan
mencapai sasaran yang diinginkan.

3) Argumentatif dan logis


Dialog bertujuan akhir agar lawan menyadari dan mengikuti apa yang kita
inginkan. Maka sangatlah nisbi apabila di dalam menyuguhkan bantahan atau
alasan tidak masuk akal. Oleh sebab itu, jawaban yang argumentatif dan
logislah yang mampu membawa lawan untuk menerimanya.

4) Bertujuan untuk mencapai satu tujuan


Setiap individu atau kelompok harus mencapai satu tujuan yaitu
menampakkan dan menjelaskan kebenaran masalah yang diperselisihkan,
meskipun kebenaran itu datang dari pihak lawan.

5) Memberi kesempatan kepada pihak lawan


Memberikan kesempatan untuk memberikan alasan kepada pihak lawan
tanpa mengurangi hak bicaranya dan menjelek-jelekkan kepribadiannya. Di
samping itu, memberikan kebebasan lawan untuk menanggapi ide-ide dan
pikiran yang dituangkan adalah langkah terpuji yang harus dilaksanakan.

a. Metode Dalam Berdialog

Langkah-langkah dalam berdialog :


1) Mempersiapkan Materi
Tujuan dakwah adalah untuk mengembangkan islam dan merubah
perilaku manusia ke jalan yang baik demi kebahagiaan dunia dan akhirat
dengan cara mendorong objek dakwah untuk menerima islam sebagai
agama sekaligus pedoman dalam hidup dan kehidupan. Oleh sebab itu, dalam
penggunaan metode mujadalah, hendaklah da’i mempersiapkan sedini
mungkin dalam memahami materi sehingga dapat bertindak secara
profesional, ilmiah, dan dapat dipertanggung jawabkan agar argument yang
disampaikan dapat diterima oleh objek dakwah.

2) Mendengarkan pihak lawan dengan arif, bijak, dan seksama


Langkah ini diambil agar memberikan kesan yang pertama begitu
menggoda atau menarik, tidak menyinggung perasaan dan akhirnya da’i
bukan hanya mengerti akan tetapi memahami terhadap apa yang disampaikan
lawan bicara, sehingga langkah ini menentukan terhadap apa yang menjadi
argument da’i berikutnya.

3) Menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran
Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yakin
terhadap argument yang kita sampaikan. Ilustrasi berguna untuk memperjelas
setiap uraian pembicaraan.

4) Mematahkan pendapat/alasan dengan serangan balik


Langkah ini diambil apabila lawan sudah melampaui batas, akan tetapi
tetap memperhatikan norma dan etika dalam berdialog.

5) Jangan marah
Seseorang yang sedang berdiskusi/berdialog kadang dihadapkan dengan
persoalan yang rumit, dimana lawan bicara tidak mau menerima atau
bahkan mencaci terhadap da’i. Oleh karena itu, da’i tidak boleh terpancing
untuk marah. Karena yang terjadi adalah kebuntuan dialog tersebut, dan ini
berarti kebuntuan dakwah. Oleh sebab itu, da’i tetap pada konsentrasi,
menyejukkan hati mad’u dan tidak boleh terpancing emosi.

b. Model Metode Mujadalah Pada Masa Nabi Muhammad Saw.

Di dalam perjalanan dakwah Rasulullah, bagaimana Rosul berdialog


dengan orang-orang kafir quraisy. Menjelang wafatnya paman Nabi Saw., beliau
di datangi serombongan musyrikin quraisy yang terdiri dari, Abu Sufyan, Abu
Jahal, Al-Nadhr bin Al-Harts, Umayyah bin Khalf, Ubay bin Khalaf, Uqbah bin
Abu Muayyit, Amr bin Ash, dan Aswad bin Bukturi. Kepada Abu Tholib mereka
berkata “hai Abu Tholib, anda adalah pemimpin kami, sementara Muhammad
selalu menyakiti kami dan tuhan-tuhan kami. Kami mohon agar anda
memanggilnya sehingga kita dapat melarangnya untuk tidak lagi menyebut-
nyebut tuhan kita”.

Abu Tholib kemudian memanggil Nabi Muhammad, kemudian berkata,


“mereka itu kaum kamu dan anak-anak paman kamu”, ”mau apa mereka?”
tanya Nabi, secara serempak mereka menjawab “kami menghendaki agar kamu
tidak lagi mengajak kami untuk menyembah Tuhanmu dan kamu tidak akan
menyebut-nyebutnya lagi (berhala-berhala Tuhan kami). Kami juga tidak akan
menghalangi kamu untuk menyembah Tuhanmu.”

Abu Tholib menyela, “kaum kamu itu telah melakukan kompromi


dengan kamu. Oleh karenanya terima sajalah usulan mereka itu,”

“tahukah kalian semua, apabila usulan saya itu diterima, maukah kalian
mengatakan satu kalimat yang dapat menjadikan kalian semua menguasai
Bahasa arab, sementara bangsa-bangsa asing akan tunduk kepada kalian?” mau…,
“ Abu Jahal langsung berkata, “Demi ayahmu, kami mau mengatakan 1 kalimat
itu.” Kalimat apakah itu? (Abu Jahal Penasaran). Nabi Saw. kemudian menjawab,
“katakanlah kalimat lailahaillallah (tidak ada Tuhan selain Allah)”

Mendengar jawaban Nabi mereka terdiam tidak ada yang bicara apa-apa.
Akhirnya Abu Tholib berkata, “Hai kemenakanku. Katakan kalimat selain itu
saja, karena kaum kamu itu sudah membeci kalimat itu.” Nabi Muhammad
menjawab, “Hai pamanku, saya tidak akan mengatakan kalimat selain itu bahkan
seandainya mereka menghadiahkan matahari untuk saya, maka saya tidak akan
mengatakan kalimat selain itu”.

Mendengar jawaban Nabi ini mereka lalu mengatakan, “Bila demikian,


sekarang tidak ada pilihan lain kecuali dua hal saja. Yaitu kamu menghentikan
cercaan mu terhadap Tuhan-Tuhan kami, atau kami akan mencerca Tuhan yang
mengutusmu.” (demikian al-Wahidi Ali bin Ahmad dalam kitabnya Asbab al-
Nuzul, dan hal inilah yang menyebabkan turunnya Q.S. Al-An’am ayat 108, dan
hal ini di kutip Ali Musthafa Ya’qub)

Dengan melihat kejadian ini, ini merupakan kali pertama Rasulullah


mendengarkan betul apa yang disampaikan oleh lawan bicaranya walaupun Rosul
sendiri mengetahui bahwa yang akan menjadi lawan bicaranya adalah orang-
orang kafir Quraisy yang selama ini terkenal dengan tipu muslihatnya termasuk
Abu Jahal. Kedua, di saat Rosul diminta supaya berkompromi agar tidak
menyerukan Tauhid (menyembah Allah), ternyata Rosul tidak langsung
menjawab kalimat tersebut, malah menawarkan kepada lawan bicaranya, untuk
menerima salah satu kalimat yang apabila kalimat tersebut di ucapkan maka dapat
menaklukan bangsa Arab, bahkan bangsa lain. Hal ini tidak dimengerti Abu Jahal,
sehingga Abu Jahal langsung spontanitas mengatakan, “jangankan 1 kalimat, 10
kalimat pun ia mau.” Akan tetapi, ternyata Rosul dengan bantahan/jawaban yang
mematahkan satu kalimat tersebut adalah “Lailahaillallah”, bahkan di minta oleh
Abu Tholib supaya kalimat yang lain saja selain kalimat yang itu, namun Rosul
tidak mau, dan tetap ingin menegakkan kalimat tauhid.
BAB IV
PENUTUP
Sesungguhnya jidal berlangsung dalam konteks dialog. Dialog dalam Bahasa
Arab disebut dengan al-hiwar. Makna al-hiwar atau dialog merupakan percakapan dua
orang atau lebih berlangsung secara berimbang, tidak saling mengungguli, berjalan
dengan tenang.

Dalam penerapan metode dakwah, menurut Natsir faktor penentu adalah pelaku
dakwah, yaitu dai yang memahami dengan baik ajaran yang didakwahkan dan mengenal
masyarakat dari berbagai segi atau bidang kehidupan. Selain itu adalah kemampuan
mengendalikan diri, dan adanya keseimbangan dalam kehidupan dai.

Penerapan metode dakwah terhadap pihak eksternal, perlu senantiasa merujuk


kepada Al-Qur’an dan Hadits, terutamanya kepada mereka yang masih kufur.

Dengan ayat-ayat yang tersebut diatas, terlihat dengan jelas bahwa al-Qur’an dan
as-Sunnah memberikan begitu besar perhatiannya kepada diskusi dan metodenya dalam
menghadapi serta menjelaskan terhadap lawan. Bagaimanapun bentuk lawan yang kita
hadapi dengan bantahan yang baik akan tetapi disisi lain kita membantahnya dengan
bantahan yang tegas dan lugas demi mematahkan pendapat lawan. Oleh karena itu islam
pun mengajarkan agar dalam mempergunakan dialog dapat terarah dan berhasil dengan
baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ilmu Dakwah, (Depok:Rajawali Pers,2018)

Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta, Rajawali Pers,2012),cet. 1, hlm 253

Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, hlm 254,

Munzier Suparta, Metode Dakwah, hlm328

Anda mungkin juga menyukai