Anda di halaman 1dari 4

Kapak Perimbas sering dihubungkan dengan kapak genggam.

Meski pun secara peristilahan hampir


sama, akan tetapi kedua benda yang dimaksud adalah dua benda yang berbeda. Kapak Perimbas disebut
juga chopper (kapak penetak).

Kapak perimbas dikenal sebagai salah satu peralatan yang paling awal digunakan manusia. Jika bukan
yang paling awal, kapak perimbas mungkin adalah salah satu alat yang tertua yang dibuat umat manusia.

Para Arkeolog mengidentifikasikan Kapak Perimbas sebagai alat batu masif yang masih kasar dalam
pembuatannya.Semua batu secara kasat mata dapat diklasifikasikan sebagai kapak perimbas jika pada
tepinya menunjukan tanda-tanda telah digunakan. Temuan Kapak Perimbas yang cukup tua berasal dari
masa sekitar 2,5 juta tahun yang lalu.

Meskipun dari bentuk dan teknologi sangat sederhana, alat batu ini telah sukses mendampingi manusia
dalam segala kondisi selama beratus ratus ribu tahun. Yang paling menarik adalah, benda ini hampir
digunakan di seluruh peradaban manusia.

Persebaran Kapak Perimbas

“Kapak Oldwan, 1.8 Juta Tahun Lalu”. Foto oleh C. T.G. Clarke

“Kapak Oldwan, 1.8 Juta Tahun Lalu”. Foto oleh C. T.G. Clarke

Dalam budaya kapak perimbas dikenal istilah Oldowan, sebuah istilah para arkeolog untuk menyebut
kelompok alat-alat batu yang digunakan selama periode 2.6 Juta tahun yang lalu hingga 1.7 juta tahun
yang lalu.

Apa yang di sebut kelompok budaya oldowan ini diketemukan paling banyak di Afrika, Asia, Timur
Tengah, dan Eropa.

Wilayah Afrika merupakan gudang data bagi budaya kapak perimbas. Banyak negara-negara di Afrika
sebagai tempat diketemukan kapak perimbas seperti Wilayah mesir, Ethiopia, Kenya, Tanzania, dan di
Afrika Selatan.
Eropa juga telah menjadi rumah bagi kapak perimbas. Alat batu ini diketemukan di Swedia, Portugal,
Georgia, Bulgaria, Rusia, Spanyol, Itali, Perancis, Jerman, Hungaria, Ceko, dan Inggris.

Di Kawasan Asia dan Timur Tengah, negara tempat diketemukan kapak perimbas ini adalah Cina,
Pakistan, Israel, Iran, Thailand, Indoneisa, Myanmar, dan Malaysia.

Meskipun kapak perimbas banyak diketemukan di hampir seluruh bagian dunia, ini tidak berarti bahwa
alat batu ini memiliki bentuk dan fungsi yang sama. Perbedaan antara bentuk dan bahan dapat
menunjukan variasi antar budaya.

Lebih lanjut, kapak perimbas yang diketemukan itu dapat juga memperlihatkan bagaimana setiap
kebutuhan secara spesifik dipenuhi dengan penggunaan alat yang mereka punya berhadapan dengan
kondisi dan kekayaan alam yang berbeda

“Paleolitik; berhubungan dengan penamaan tingkat tradisi kebudayaan atas dasar teknik pembuatan
alat batu dari masa berburu dan mengumpulkan makanan.”

Movius berpendapat bahwa di kawasan Asia Tenggara dan wilayah Asia Timur memiliki perkembangan
kebudayaan Paleolitik yang berbeda dengan corak kebudayaan yang berkembang di bagian barat seperti
di wilayah Eropa, di Afrika, di Asia Barat, dan sebagian wilayah India, jika dilihat dari segi bentuk dan
teknik pembuatan alat-alat batunya.

Begitu pula dengan jenis batuan yang digunakan untuk pembuatan kapak perimbas, antara satu tempat
dengan tempat lainnya berbeda-beda. Misalnya, menggunakan fosil kayu banyak digunakan di
Myanmar, batuan kuarsa di Punjab, Cina, dan juga Malaysia. Sedangkan batuan kapur kersikan dan tufa
kersikan sering ditemukan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kapak perimbas di Indonesia.

Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia
kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah),
Sukabumi (Jawa Barat), Lahat, (Sumatra Selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak
ditemukan di daerah Pacitan, sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.

Zaman Paleolitikum berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu, manusia pada masa itu harus berjuang
untuk kelangsungan hidupnya
Peradaban manusia purba terbagi dalam beberapa masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan
makanan, masa bercocok tanam, serta masa perundagian. Setiap masa memiliki ciri khas tersendiri.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba telah mengenal alat-alat berburu
seperti kapak perimbas, alat-alat serpih, dan alat-alat tulang. Pada masa bercocok tanam, manusia
purba telah mengenal sistem kepercayaan dan telah mampu membuat bangunan besar dari batu
(Megalit), berbagai alat dari batu, gerabah, dan perhiasan. Pada masa perundagian, manusia purba telah
mengenal kehidupan sosial ekonomi dan mampu menghasilkan berbagai benda dari perunggu.

Selain di Indonesia, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kapak perimbas ini banyak ditemukan
di wilayah luar Indonesia, khususnya kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Kapak perimbas
diperkirakan sebuah peralatan awal yang dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara merampingkan pada suatu permukaan batu untuk
memperoleh tajaman. Bentuk alat ini meruncing, dan kulit batu masih melekat pada pangkal alatnya
sebagai pemegang. Pada umumnya alat ini dipersiapkan dari sebuah serpihan besar. Bentuk alat ini
mendekati bujur sangkar atau persegi empat panjang. Tajamnya dipersiapkan melalui penyerpihan terjal
pada permukaan alas menuju pinggiran batu (Poesponegoro, 2008: 96

Homo erectus (bahasa Latin, berarti "manusia yang berdiri tegak") adalah jenis manusia yang telah
punah dari genus Homo. Pakar anatomi asal Belanda, Eugene Dubois, pada tahun 1890-an
menggambarkannya sebagai Pithecanthropus erectus atau "Manusia Jawa" berdasarkan fosil tempurung
kepala dan tulang paha yang ditemukan timnya di Trinil, Ngawi, Jawa Timur.

Sepanjang abad ke-20, antropolog berdebat tentang peranan H. erectus dalam rantai evolusi manusia.
Pada awal abad tersebut, setelah ditemukannya fosil di Jawa dan Zhoukoudian, Tiongkok, para ilmuwan
mempercayai bahwa manusia modern berevolusi di Asia. Hal ini bertentangan dengan teori Charles
Darwin yang mengatakan bahwa manusia modern berasal dari Afrika. Namun demikian, pada tahun
1950-an dan 1970-an, beberapa fosil yang ditemukan di Kenya, Afrika Timur, ternyata menunjukkan
bahwa hominin (Hominidae yang berjalan dengan kaki, atau manusia minus kera besar lainnya) memang
berasal dari benua Afrika. Sampai saat ini para ilmuwan mempercayai bahwa H. erectus adalah
keturunan dari makhluk mirip manusia era awal seperti Australopithecus dan keturunan spesies Homo
awal seperti Homo habilis.

H. erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistocene awal sekitar 2,0 juta
tahun yang lalu, dan terus menyebar ke seluruh Dunia Lama hingga mencapai Asia Tenggara.

Tulang-tulang yang diperkirakan berumur 1,8 dan 1,0 juta tahun telah ditemukan di Afrika (Danau
Turkana dan Lembah Olduvai), Eropa (Georgia), Indonesia (hanya Jawa dan, mungkin, Flores), dan
Tiongkok (Shaanxi). H. erectus menjadi hominin terpenting mengingat bahwa spesies inilah yang
pertama kali meninggalkan benua Afrika.

Penemuan di Jawa bertapak di Sangiran (perbatasan Karanganyar dan Sragen), Trinil (Ngawi),
Sambungmacan (Sragen), dan Ngandong, Kradenan, Blora; semuanya di tepi Bengawan Solo. Sisa
tempurung kepala H. erectus ditemukan di Situs Patiayam, Kabupaten Kudus pada tahun 1978 oleh tim
Sartono[1]. Penemuan atap tempurung kepala pada tahun 2011 di Semedo, Kabupaten Tegal, juga
ditafsirkan sebagai bagian H. erectus[2].

Anda mungkin juga menyukai