Anda di halaman 1dari 5

INDUSTRI DAN TEKNOLOGI PADA MASA PRAAKSARA

Manusia purba diketahui telah mengembangkan teknologi, meskipun belum mengenal tulisan
ataupun bahasa. Teknologi yang dikembangkan tentunya masih sangat sederhana, yaitu bermula
dari bebatuan. Oleh manusia purba, bebatuan yang ditemukan di alam sekitar digunakan untuk
membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Teknologi bebatuan ini berkembang dalam kurun
waktu yang sangat panjang. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar para ahli membagi kebudayaan
zaman batu ke dalam tiga zaman, yaitu Paleolitikum (batu tua), Mesolitikum (batu madya), dan
Neolitikum (batu tengah).Berikut ini merupakan proses perkembangan teknologi pada masa manusia
purba di Indonesia

A. Perkembangan Teknologi
a. Teknologi Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari bahan batu dan tulang.
Teknologi sederhana ini berkembang pada Zaman Paleolitikum, yang berlangsung sekitar 600.000
tahun lalu. Pada periode ini, alat-alat batu dan tulang yang digunakan manusia purba masih sangat
sederhana dan kasar. Peralatan itulah yang menemani mereka memenuhi kebutuhan hidup, yang
masih dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan atau food gathering.

Cara hidup dengan mengumpulkan makanan atau food gathering ditemukan di zaman batu tua atau
Paleolitikum. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat zaman Paleolitikum berburu binatang
di hutan, menangkap ikan di sungai. Selain hasil berburu, makanan yang dikumpulkan juga meliputi
ubi, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang tersedia di alam.

Masyarakat zaman batu tua yang melakukan food gathering hidup berpindah-pindah. Mereka
mencari tempat tinggal yang dihuni banyak binatang buruan dan daerah yang subur serta banyak
tersedia makanan. Makanan yang dicari yaitu seperti umbi-umbian, biji-bijian, daun-daunan, atau
kayu-kayuan.

Awalnya, manusia purba masih menggunakan batu dan tulang sebagai bahan dasar pembuatan
peralatan yang dibutuhkan. Namun, peralatan manusia purba semakin lama semakin berkembang
hingga menggunakan teknologi mengolah logam. Lalu, mengapa manusia purba membuat peralatan
dari batu dan tulang?

1. Mudah ditemukan
Alasan manusia purba membuat peralatan dari batu dan tulang karena kedua bahan itu paling
mudah ditemukan di era prasejarah, khususnya pada Zaman Batu. Mereka lebih sering
menggunakan bahan alami yang bersifat keras, seperti batu dan tulang. Menurut sumber, manusia
purba telah mengembangkan peralatan dari batu sejak 2,6 juta tahun yang lalu.

Selain batu, manusia purba juga menggunakan tulang sebagai bahan dasar pembuatan peralatan.
Tulang digunakan karena juga mudah ditemukan mengingat manusia purba memakan hewan pada
masa itu. Manusia purba diperkirakan menggunakan tulang untuk membuat peralatan sejak sekitar
1,5 juta tahun yang lalu. Selain untuk membuat peralatan sehari-hari, tulang juga digunakan sebagai
benda tajam dan untuk menghaluskan kulit binatang.
2. Mudah dibentuk
Di samping mudah ditemukan, batu dan tulang juga cukup mudah untuk dibentuk. Batu dapat
dibuat menjadi kapak genggam dengan cara membelah batu sesuai dengan retakannya. Kemudian
batu itu akan diasah dengan sebaik mungkin sehingga menjadi tajam dan dibuat runcing pada bagian
ujungnya. Sementara itu, tulang dapat dilubangi dan dipotong dengan mudah menggunakan batu
yang sudah diruncingkan tersebut. Tulang dapat dibuat menjadi sisir, jarum, dan mata panah.

Batu kasar merupakan bahan dasar untuk membuat alat-alat berupa kapak, palu, parang, cangkul,
anak panah, dan lain-lain. Yang paling menonjol dan sering digunakan adalah kapak perimbas. Kapak
perimbas adalah kapak serba guna yang dapat dipakai untuk memotong, memukul, atau
mencangkul.

Adapun beberapa peninggalan peralatan dari Zaman Batu, sebagai berikut: Kapak genggam, Kapak
perimbas, Alat-alat serpih, Ujung tombak, Alat-alat dari tulang hewan, Kapak Pendek, Batu pipisan,
Kapak persegi, Kapak lonjong, Gerabah, Sarkofagus, Menhir, Punden berundak.

Hasil food gathering masyarakat zaman batu tua, seperti binatang hasil buruan dan makanan hasil
pencarian lalu dimakan langsung. Sebagian makanan juga disimpan untuk bahan makanan cadangan
hari-hari berikutnya di sekitar tinggal mereka. Masyarakat zaman batu tua tinggal di atas pohon atau
di gua.

Hasil kebudayaan manusia purba pada periode ini secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni
Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Sebab, peninggalan mereka banyak ditemukan di
dua wilayah tersebut.

 Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan Pacitan adalah kebudayaan manusia prasejarah dari Zaman Paleolitikum yang
berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Peneliti awal kebudayaan Pacitan adalah G.H.R. von
Koenigswald. Ia menemukan kebudayaan Pacitan pada 1935 di Sungai Baksoka, dekat Punung,
Kabupaten Pacitan.

Dalam penelitiannya, Koenigswald menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari
batu yang masih kasar. Alat-alat tersebut memiliki ciri menyerupai kapak, tetapi tidak bertangkai
sehingga cara penggunaannya dengan digenggam. Ujung peralatan dari batu tersebut agak runcing,
tergantung kegunaannya. Alat batu tersebut biasanya digunakan untuk menusuk binatang atau
menggali tanah saat mencari umbi-umbian.

Alat-alat Kebudayaan Pacitan berasal dari batu yang dibuat dengan sangat sederhana sehingga
masih kasar. Beberapa peninggalan yang ditemukan von Koenigswald di antaranya: Kapak genggam,
Kapak perimbas (chopper), dan Alat-alat serpih (flakes).

 Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong adalah kebudayaan manusia prasejarah yang berkembang di daerah
Ngandong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di daerah Ngandong dan Sidorejo (dekat Ngawi),
ditemukan banyak peralatan manusia purba yang terbuat dari batu, tulang hewan, dan tanduk rusa.
Alat-alat yang dimaksud di antaranya:

1.Kapak genggam dari batu

2.Alat-alat dari tulang hewan


Alat-alat dari tulang hewan dibentuk menjadi semacam alat penusuk atau belati. Beberapa di
antaranya ada yang terbuat dari tanduk rusa. Biasanya, alat-alat tersebut digunakan untuk
mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Peralatan dari tulang banyak ditemukan di wilayah situs
Ngandong. Contoh alat yang berasal dari kebudayaan Ngandong yaitu: Ujung tombak, dan Flakes

Dari alat-alat tersebut, dapat diketahui tentang penggunaannya dan kehidupan manusia pada zaman
itu. Alat-alat Kebudayaan Ngandong menunjukkan bahwa kegunaannya adalah untuk berburu,
menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan
manusianya masih mengembara dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden, tergantung pada
binatang buruan dan hasil tanah di sekitarnya. Sebab, peralatan mereka belum bisa digunakan untuk
bercocok tanam.

b. Mengenal Api
Perkembangan teknologi mengenal api merupakan proses yang sangat penting bagi manusia purba.
Sebab, dengan kehadiran api, mereka akhirnya dapat mengolah atau memasak bahan makanan
sebelum dikonsumsi. Selain itu, api dapat digunakan sebagai penghangat tubuh ketika cuaca dingin,
sumber penerangan, dan senjata untuk mengusir binatang buas. Dalam budaya yang lebih maju, api
dapat digunakan untuk membuka lahan dan mengeraskan alat-alat tulang.

Berdasarkan data arkeologi, penemuan api berlangsung sekitar 400.000 tahun lalu. Api ditemukan
pada masa paleolitikum, ketika berbagai belahan bumi dihuni oleh Homo erectus. Akan tetapi belum
dapat dipastikan apakah pada periode tersebut manusia purba membuat api atau mengambilnya
dari sumber alam. Mulanya, api dikenal dengan melihat gejala alam seperti kilat dan gunung
meletus.

Suatu waktu, ketika manusia purba sedang membuat alat dari batu, gesekan antara batu satu
dengan yang lain ternyata menimbulkan percikan api. Dengan pengalaman ini, maka pada
kesempatan lain di dekat batu yang akan dipukul ditempatkan rumput kering. Percikan dari gesekan
batu yang kemudian membakar rumput itulah yang menghasilkan api.

Sebuah penelitian yang terbit di jurnal Scientific Reports menunjukkan bahwa manusia purba
Neanderthal, menggunakan alat batu untuk membuat percikan api sejak 50.000 tahun lalu. Para
peneliti menduga, alat batu yang digunakan berupa kapak tangan yang memiliki berbagai fungsi.
Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok benda terhadap benda lain. Misalnya
sepotong kayu yang digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan
kemudian memunculkan api.

c. Revolusi teknologi
Food producing adalah corak kehidupan manusia praaksara di mana masyarakatnya mampu
mengolah atau menghasilkan makanan. Pada masa food producing, kemampuan berpikir manusia
praaksara semakin terasah untuk menjawab tantangan alam.

Masa food producing atau bercocok tanam sering disebut sebagai masa revolusi kebudayaan atau
Revolusi Neolitik, karena terjadi perubahan besar pada berbagai corak kehidupan masyarakat
praaksara. Manusia pada masa food producing sudah mulai menghasilkan makanan sendiri, tidak
lagi tergantung sepenuhnya pada Alam. Mereka telah mengembangkan kemampuan bercocok
tanam dengan membuka hutan, kemudian menanaminya dengan sayur dan buah untuk mencukupi
kehidupan sehari-hari. Tanaman yang dibiakkan pada masa ini misalnya adalah keladi, ubi, sukun,
pisang, gandum, padi, kentang, jagung, kedelai, dan beberapa jenis buah-buahan.
Masyarakat pada masa food producing tidak lagi memanfaatkan gua-gua sebagai tempat tinggal,
tetapi sudah bisa membuat rumah sendiri. Mereka menetap di perkampungan kecil yang terdiri dari
beberapa keluarga dan hidup secara gotong royong dengan sistem pembagian kerja antara
perempuan dan laki-laki. Biasanya, para laki-laki bertugas membangun rumah, sementara
perempuan membersihkan dan menghiasnya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia prasejarah pada masa food producing diperkirakan
sudah mengenal barter. Barter merupakan bentuk awal perdagangan yang memfasilitasi pertukaran
barang dan jasa ketika manusia belum mengenal ulang. Barang yang dipertukarkan umumnya dari
hasil bercocok tanam mereka.

Manusia praaksara pada masa food producing menggunakan peralatan dari batu dan tulang yang
telah diupam (diasah). Alat-alat yang umumnya diasah adalah beliung, kapak lonjong, mata panah,
dan mata tombak.

Dari penemuan berupa alat pemukul kayu, manusia pada masa food producing diduga sudah
mengenal pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Selain itu, penyelidikan arkeologi
membuktikan bahwa tradisi membuat benda-benda gerabah mulai dikenal pada masa ini.

Saat itu, gerabah terutama berfungsi sebagai wadah menyimpan makanan. Gerabah yang paling
sederhana dibentuk dengan hanya menggunakan tangan, yang berciri adonan kasar dan bagian
pecahannya dipenuhi oleh jejak-jejak tangan (sidik jari), bentuknya pun kadang tidak simetris.

Masyarakat pada masa food producing mengenal kepercayaan akan hal gaib dan orang yang
meninggal akan memasuki alam lain. Oleh karenanya, orang yang meninggal biasanya dibekali
benda-benda keperluan sehari-hari. Secara umum, sistem kepercayaan pada masa bercocok tanam
dapat dibagi ke dalam dua aliran, yaitu animisme (kepercayaan terhadap roh leluhur) dan dinamisme
(kepercayaan terhadap benda gaib).

d. Pembuatan logam/Zaman logam


Sebagai perkembangan dari zaman batu, manusia masuk ke zaman logam. Sesuai dengan namanya,
zaman logam adalah zaman berkembangnya peralatan berbahan dasar logam. Masyarakat pada
zaman ini sudah banyak yang menggunakan bahan logam untuk keperluan sehari-hari. Pada zaman
logam, sebagian orang sudah bisa membuat alat-alat dari logam di samping peralatan yang terbuat
dari batu. Lalu, sebagian orang juga sudah mengenal teknik melebur logam, kemudian mencetaknya
menjadi alat-alat yang diinginkan.

Dalam bidang pertanian, masyarakat zaman logam sudah sangat maju, dibuktikan dengan
penggunaan sistem persawahan yang lebih efektif dan efisien daripada sistem ladang.

Sesuai dengan namanya, zaman logam merupakan masa kejayaan dan perkembangan teknik
pengolahan logam. Banyak sekali peninggalan-peninggalan dari masa ini yang menggunakan bahan
dasar logam.

Hasil kebudayaan zaman logam


Zaman logam terbagi menjadi dua, yakni zaman perunggu dan besi.

Zaman perunggu

Alat-alat yang dihasilkan pada zaman perunggu, antara lain: Kapak corong atau kapak perunggu,
Nekara perunggu (moko), Bejana perunggu, dan Arca perunggu.
Zaman besi

Alat-alat yang dihasilkan pada zaman besi, yakni: Mata kapak bertungkai kayu, Cangkul, Mata sabit,
Mata pedang, dan Mata pisau

Teknik Pembuatan Logam


Teknik Bivalve

Teknik Bivalve atau setangkup adalah teknik cetak logam menggunakan cetakan yang terbuat dari
batu. Adapun batu tersebut direkatkan atau diikat dengan menggunakan tali pada kedua sisinya.
Setelah direkatkan dan diikat, lelehan dari perunggu atau jenis logam lainnya dimasukkan ke dalam
cetakan melalui lubang yang ada di bagian atas cetakan. Kelebihan teknik Bivalve adalah bisa
dikerjakan berulang-ulang, karena cetakannya yang terbuat dari batu dapat digunakan berkali-kali.
Oleh karena itu, teknik ini sangat cocok untuk pengadaan barang atau benda secara massal. Adapun
barang yang dihasilkan melalui teknik ini biasanya adalah kapak corong dan mata panah.

Teknik A Cire Perdue

Teknik Cire Perdue adalah cara pengolahan logam menggunakan cetakan yang terbuat dari lilin yang
dibungkus tanah liat. Langkah pertama teknik ini adalah membuat model barangnya dengan
memanfaatkan lilin. Setelah itu, lilin akan dilapisi dengan tanah liat untuk membuat cetakannya.
Tanah liat yang telah dilubangi pada sisi atasnya lalu dibakar supaya keras. Fungsi lubang tersebut
adalah sebagai jalan keluar dari lilin yang mencair dalam proses pembakaran. Setelah cetakan jadi,
logam yang telah dicairkan kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dan didiamkan hingga
mengeras. Untuk mengambil peralatan logam yang telah selesai dicetak, cetakan akan dipecah atau
dihancurkan. Inilah yang menjadi kekurangan A Cire Perdue, yakni merupakan teknik sekali pakai.
Apabila ingin membuat peralatan lagi, maka harus membuat cetakan baru terlebih dahulu. Barang
yang dihasilkan dari teknik mencetak A Cire Perdue biasanya berupa kapak lonjong, dan kapak
persegi.

Anda mungkin juga menyukai