Anda di halaman 1dari 12

NAMA : Puteri Salma Permatasari

KELAS : X-SOS 3

KEHIDUPAN MANUSIA PRAAKSARA INDONESIA


Kegiatan Masyarakat Pra-Aksara Di Indonesia

Pengertian Masa Pra-Aksara

Zaman pra-aksara adalah zaman ketika manusia belum mengenal tulisan, ditandai dengan belum ditemukannya
keterangan tertulis mengenai kehidupan manusia. Periode ini ditandai dengan cara hidup berburu dan
mengambil bahan makanan yang tersedia di alam. Pada zaman pra-aksarapola hidup dan berpikir manusia
sangat bergantung dengan alam. Tempat tinggal mereka berpindah-pindah berdasarkan ketersediaan sumber
makanan.Zaman pra-aksara sering disebut juga dengan zaman nirleka.Nir artinya tanpa danleka artinya
tulisan.Zaman pra-aksara berakhir ketika masyarakatnya sudah mengenal tulisan.
PERIODISASI KEHIDUPAN MASYARAKAT AWAL DI INDONESIA
Kehidupan masyarakat awal di Indonesia sebelum mengenal tulisan pengaruh Hindu-Budha disebut dengan
Zaman Prasejarah. Kehidupan masyarakat awal tersebut dibagi dalam periodisasi sebagai berikut :
1. Zaman Batu, dibagi menjadi:
a. Zaman Batu Tua (Paleolithikum)
b. Zaman Batu Madya (Mesolithikum)
c. Zaman Batu Muda (Neolitikum)
2. Zaman Logam, dibagi menjadi:
a. Zaman tembaga
b. Zaman Perunggu
c. Zaman Besi

Pembabakan Masa Pra-Aksara Indonesia

Pembabakan masa pra-aksara Indonesia telah dimulai sejak 1920-an oleh beberapa peneliti asing seperti P.V.
van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern. Pembabakan masa pra-aksara Indonesia
didasarkan pada penemuan-penemuan alat-alat yang digunakan manusia pra-aksara yang tinggal di Kepulauan
Nusantara. Para ahli arkeologi dan paleontologi membagi masa pra-aksara Indonesia ke dalam dua zaman, yaitu
zaman batu dan zaman logam.Pengetahuan tersebut diperoleh dari penggalian dan benda purbakala dan fosil
manusia Para ahli purbakala sepakat untuk membagi zaman pra-aksara di Indonesia menjadi zaman batu dan
zaman logam.Zaman batu dibagi kembali dalam beberapa zaman berdasarkan kehalusan, bentuk, jenis, dan
ukuran alat batu yang diciptakannya. Pembagian zaman batu tersebut, yaitu sebagai berikut :

A. ZAMAN BATU
1) Zaman Batu Tua (Paleolitikum)
Berdasarkan temuan geologis, arkeologis, dan paleontologis, zaman batu tua diperkirakan berlangsung selama
600.000 tahun.
1.

Penguasaan Teknologi

Selama kurun waktu tersebut, manusia hanya menggunakan alat-alat yang paling dekat dengan lingkungan
hidup mereka seperti kayu, bambu, dan batu. Mereka menggunakan batu yang masih kasar untuk berburu
binatang.Pada saat itu, batu juga berfungsi sebagai kapak yang digenggam untuk memotong kayu atau
membunuh binatang buruan.
1.

Perkembangan teknologi pada masa paleolitik

Di zaman paleolitikum atau zaman batu tua, kebudayaan dan teknologi menjadi sangat penting sebagai sarana
untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia dan ini dimungkinkan oleh perkembangan evolusi otak
manusia yang semakin baik. Hal ini berpengaruh terhadap alat-alat dan teknologi yang dipakai, waktu itu
kebudayaan manusia menjadi beraneka ragam dan perkembangan teknologi yang terjadi meningkat. Manusia
tidak hanya membuat peralatan dari berbagai macam batu, tetapi juga objek-objek lain seperti kayu, dan tulang.
Peralatan ini mereka gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari atau juga kegiatan upacara.
Pada masa berlangsungnya hidup berburu tingkat lanjut di kala pasca-plestosen, corak hidup yang berasal dari
masa sebelumnya masih sangat berpengaruh. Keadaan lingkungan hidup pada masa pasca-plestosen tidak
banyak berbeda dengan masa sekarang ini. Hidup berburu dan mengumpulkan bahan-bahan makanan yang
terdapat di lingkungan alam sekitar, dilanjutkan dengan adanya berbagai macam teknolongi yang dapat
membantu terlangsunganya kehidupan hingga sampailah pada diketemukannya api..
a). Tradisi Peralatan Oldowan
Alat-alat zaman paleolithikum tua yang usianya paling tua terletak di Jurang Olduvai dan termasuk tradisi
peralatan Oldowan (Oldowan Tool tradition). Karakteristik tradisi alat ini merupakan alat penetak untuk segala
keperluan. Cara pembuatannya adalah dengan memukul beberapa lempengan dari sebuah batu, umumnya adalah
batu kali yang terbawa oleh air, dengan menggunakan batu lain sebagai alat pemukul (hammerstone), atau
dengan memukulkan batu kali itu kepada sebuah batu besar untuk melepaskan kepingan-kepingan. Sistem ini
disebut dengan sistem benturan (percussion method). Produk akhirnya adalah sebuah alat penetak bertepi tajam,
yang digunakan secara efektif untuk memotong dan menetak. Dari bentuknya yang khas diduga bahwa alat
penetak itu digunakan untuk berbagai keperluan, seperti memotong daging, membelah tulang untuk menggambil
sum-sumnya.
Meskipun kasar, penetak dan alat Oldowan itu merupakan kemajuan teknologi yang penting bagi hominida
purba. Sebelum itu mereka tergantung pada adanya benda-benda temuan, yang tidak banyak memerlukan
modifikasi seperti tulang, tongkat, atau batu yang bentuknya sesuai dengan keperluan. Alat-alat Oldowan
membuka kemungkinan untuk menambahkan bahan-bahan makanan baru, karena tanpa alat-alat seperti itu,
pada hominida hanya dapat menyantap binatang yang dapat dikuliti dengan gigi atau kuku. Oleh karena itu,
makanan mereka yang berupa protein binatang, sangat terbatas. Penemuan alat penetak dan peralatan Oldowan
itu bukan hanya menghasilkan penghematan tenaga dan waktu, tetapi juga membuka kesempatan untuk
mendapatkan daging secara teratur. Daging juga dapat diperoleh dengan mengumpulkannya seperti yang
dilakukan oleh Australopithecus atau bahkan dengan mencurinya dari binatang-binatang pemburu. Susunan gigi
yang dimiliki oleh Australopithecus dan homo tidak sesuai jika digunakan untuk memakan daging dalam jumlah
yang besar, untuk dapat memakan daging dalam jumlah yang besar dibutuhkan gigi-gigi yang tajam seperti yang
dimiliki oleh binatang pemakan daging atau karnivor.
Permulaan pembuatan alat tersebut merupakan akibat dari proses adaptasi pada lingkungan hutan yang berubah
menjadi padang rumput. Perubahan-perubahan fisik merupakan adaptasi hominida pada daerah baru yang

berumput mendorong pembuatan alat-alat tersebut. Padang rumput Afrika adalah lingkungan dengan musim
panas yang panjang, di mana hominida yang kecil, tidak memiliki sarana biologis untuk melindungi dirinya dan
masih belum bisa untuk memakan daging. Oleh karena itu dibutuhkan cara untuk melengkapi sumber bahan
makanan yang terbatas. Penggunan alat pemotong yang tajam untuk membuka kulit antelop, alat pemukul untuk
memecah tulang panjang, atau cangkok kura-kura, alat runcing untuk menggali akan untuk menambah kuantitas
dan variasi bahan pangan yang dapat disantap secara teratur. Bagi hominida alat-alat itu juga akan berguna
sebagai senjata pertahanan.
Tradisi Oldowan itu boleh jadi menandai salah satu waktu pertama kali dan diketahui, bahwa sesuatu jenis
makhluk beradaptasi secara kultural, dan tidak secara fisik pada kondisi lingkungan.

b). Tradisi Peralatan Acheulean (Acheulean tool Tradition)


Di Asia timur alat penetak yang merupakan bagian-bagian dari alat-alat Oldowan dan Acheulean tetap bertahan
selama zaman paleolitikum. Kapak genggam adalah sebuah alat yang khas dalam tradisi Acheulean, kapak
genggam yang tertua dibuat dari gumpalan batu api. Dengan memukuli semua sisi dari gumpalan itu dengan
menggunakan batu pemukul (hammerstone). Tradisi Acheulean tubuh dari tradisi Oldowan.
Alat-alat Acheulean memiliki kemajuan dibandingkan dengan alat-alat penetak dan penyerut umum dari tradisi
Oldowan. Dalam periode ini mulailah terjadi diservikasi kebudayaan peralatan tersebut. Selain kapak genggam
Homo Erectus alat-alat tersebut untuk membelah. Jumlah peralatan yang berkembang pesat dalam tradisi
Acheulean menunjukkan bahwa Homo Erectus dapat mendayagunakan lingkungannya secara efektif. Semakin
banyak jenis yang digunakan, semakin banyak sumber alam yang dapat didayagunakan dalam waktu yang lebih
singkat, dengan tenaga yang lebih sedikit, dan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
c). Penggunaan Api
Tanda lain pekembangan Homo Erectus adalah penggunaan dan kegiatan memasak yang dipastikan dengan
penemuan batu-batu yang terbakar dan tungku di Goa Choukoutien di dekat Peking di Cina dan di Goascale di
Perancis selatan. Memasak adalah suatua adaptasi kultural yang amat penting. Penggunaan api juga penting bagi
manusia karena berbagai alasan. Panas yang dihasilkan dapat membantu mereka mengawasi hawa dingin,
karena mereka tinggal di dalam Gua di dekat Danau. Api juga dapat digunakan sebagai penghalau apabila ada
binatang buas yang mendekat.

2.

Kemajuan teknologi masa paleolitik

Kemajuan dalam teknologi pada dasarnya merupakan bentuk peningkatan intelegensi dan kesanggupan
berkomunikasi. Salah satu hal menentukannya adalah meningkatnya adaptasi terhadap suatu ekosistem yang
beraneka ragam sehinggamenuntut mereka untuk beradaptasi dengan lebih baik. Dari contoh bahwa suku
aborigin Australia dengan teknologi sederhana dan sedikit benda-benda materinya yang secara arkeologis
bertahan bahkan telah mengembangkan sistem filsafat dan sosial yang sangat kompleks dan canggih. Dapat
disimpulkan bahwa piranti sederhana mencerminkan kehidupan sosial yang dangkal atau kehidupan intelektual
yang miskin dalam teknologi piranti, ini menunjukkan bahwa tata cara kehidupan para pembuatnya tidak
berubah ke arah kompleksitas dan kecanggihan serta pengetahuan yang lebih tinggi dalam peralihan generasi.
Tetapi kemajuan-kemajuan yang sangat lamban selama awal masa pembuatan piranti merupakan masalah yang
dipersoalkan. Nampaknya bukan suatu keharusan bagi manusia untuk memperdulikan teknologi selama itu
masih berfungsi. Bertindak dengan cara lama yang sederhana sering memberi kebebasan lebih daripada
bertindak dengan cara baru yang rumit. Jika telah mencapai pada tekanan jumlah penduduk atau perubahanperubahan lingkungan yang menggangu keseimbangan maka akan memunculkan dorongan terhadap manusia
untuk meningkatkan teknologi sehingga dapat meningkatatkan kebudayaan manusia yang lebih baik. Sehingga
dalam perkembangannya di masa paleolitikum terciptalah teknik-teknik pembuatan alat-alat dari batu dengan
teknik yang semakin lebih baik mulai dari batu yang hanya dipakai begitu saja sampai akhirnya mulai ada
pemolesan-pemolesan dengan cara dibentur-benturkan.

3.

Teknologi yang dihasilkan pada masa paleolitikum

Alat-alat batu tertua yang diketahui pernah dibuat oleh homonida ditemukan di dekat Danau Turkana di Kenya,
dan di Etiopia selatan tepatnya di Jurang Olduvia, Tanzania. Munculnya alat-alat tersebut menandakan
permulaan zaman Paleozoikum Tua, yaitu bagian pertama dari zaman batu tua (paleolitikum).
Alat-alat purba itu memperlihatkan persamaan yang mencolok yang menunjukan bahwa alat-alat itu
dimungkinkan merupakan hasil produk suatu kebudayaan yang mempunyai tradisi membuat alat yang sesuai
dengan pola atau model yang ideal. Semula alat-alat yang hanya dibuat sederhana dan praktis yakni hanya
sesuai tujuannya saja seperti mengumpulkan dan mencari makanan kemudian terus berkembang sampai pada
seni lukis yang biasanya mereka lakukan pada gua-gua tempat mereka tinggal. Alat alat ini mereka buat dari
batu, kayu, tulang, dan juga alat-alat serpih. Sedangkan di indonesia dibagi menjadi 3 yakni tradisi kapak
perimbas, tradisi alat serpih dan tradisi alat tulang.
1.

Tradisi kapak perimbas

Kapak perimbas yakni adalah semacam kapak yang digenggam danberbentuk masif. Teknik pembuatannya
masih sangat kasar dan dan tidak mengalami perubahan dalam waktu perkembangan yang panjang. Alat ini di
duga diciptakan oleh manusia pithecantropus dan bukti nyatanya adalah diketemukannya alat ini di China,
Pakistan, Malaysia, Birma, dan Indonesia yang dimana tempat-tempat ini selain diketemukan alat-alat tersebut
juga di ketemukan pula fosil dari manusia pithecantropus. Alat ini dibuat dengan pemangkasan pada salah satu
sisi maupun ujungnya, atau permukaannya. Dalam tradisi kapak perimbas ini digunakan pula alat-alat lain
seperti, kapak penetak, kapak genggam, dan kapak perimbas itu sendiri.
2.

Tradisi alat serpih

Alat-alat serpih biasanya digunakan sebagai serut, gurdi, penusuk dan pisau.Teknik pengerjaan alat-alat serpih
sedikit agak maju yakni dengan menyiapkan bentuk-bentuk alat secara teliti sebelum dilepaskan dari batu
intinya, sehingga pada sejumlah alat tampak faset-faset di dataran pukulnya (teknik pseudo levallois). Alat ini
banyak di temukan di wilayah asia tenggara terutama di sangiran
3.

Tradisi alat tulang

Untuk sementara tradisi pembuatan alat-alat dari tulang banyak ditemukan di Ngandong sebagai unsur dalam
konteks Pithecantropus soloensis. Misalnya seperti tanduk dan duri ikan yang digunakan sebagai mata tombak.
Selain itu perkakas tanduk digunakan sebagai pencukil dan belati. Sedangkan di wilayah lain alat-alat dari
tulang ini jarang ditemukan.
1.

Kondisi Sosial

Kehidupan manusia pendukung zaman ini masih nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain. Kepindahan mereka bergantung pada daya dukung alam berupa tersedianya bahan makanan, terutama
binatang buruan. Jika binatang buruan dan bahan makanan yang diambil dari hutan sudah habis, mereka akan
mencari dan berpindah ke tempat yang lebih subur.Kegiatan seperti itu disebut peradaban food gathering atau
pengumpul makanan tahap awal.
1.

Manusia Pendukung

Berdasarkan temuan arkeologis, beberapa jenis manusia purba yang mendukung peradaban ini, diantaranya
Meganthropus Paleojavanicus,Pithecanthropus Robustus, Pithecanthropus Mojokertensis,Pithecanthropus
Erectus, Homo Soloensis, dan Homo Wajakensis.
1.

Hasil-Hasil Kebudayaan

Kebudayaan Pacitan

Alat-alat batu ditemukan oleh Van Koenigswald, pada tahun 1935 di kali Baksoko, Jawa Timur. Alat ini berupa
kapak genggam, kapak perimbas, kapak penetak, flake. Alat-alat dari batu tersebut berasal dari lapisan
Pleistosen Tengah.

Kebudayaan Ngandong

Alat-alat zaman ini ditemukan di Ngandong dekat Ngawi Jawa Timur. Alat ini berupa kapak genggam dan flake.
Disamping itu pada kebudayaan Ngandong ditemukan alat-alat dari tanduk. Alat dari tulang tersebut berupa alat
penusuk (belati), ujung tombak dengan gergaji pada kedua sisinya dan alat pengorek ubi dan keladi.
1.

Kepercayaan
Mulai percaya dengan kekuatan alam.

1.

Cara kehidupannya

1.

Kehidupan Bekelompok

Manusia zaman paleolithikum mengalami kehidupan yang sangat menggantungkan diri pada kondisi alam.
Mereka menempati tempat-tempat yang cukup mengandung bahan-bahan makanan dan air. Mereka hidup
berpindah-pindah. Dalam sistem perburuan mereka menciptakan alat-alat secara sederhana. Cara lain ialah
dengan membuat lubang jebakan atau menggiring hewan ke arah jurang yang terjal (Soejono, 1984 : 119).
Perburuan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama-sama. Kelompok berburu
tersusun dari keluarga kecil dimana yang laki-laki berburu dan yang perempuan mengumpulkan makanan
(Kartodirdjo, 1975 : 109).
2.

Budaya

Untuk membantu kegiatan berburu maka diperlukan alat-alat yang terbuat dari batu, kayu, tulang, dan tanduk.
Mungkin manusia zaman paleolithikum lebih banyak memanfaatkan batu sebagai bahan pembuat alat-alat dan
kapak-kapak perimbas serta serpih dan mengalami perkembangan lebih lanjut dalam bentuk dan teknik
pembuatan meskipun itu masih sangat sederhana. Bahasa sebagai alat komunikasi sudah dimulai pada zaman
berburu, mereka menciptakan sejenis alat komunikasi melalui kata-kata dan tanda-tanda dengan menggunakan
gerakan badan (Soejono, 1984 : 123).
2) Zaman Batu Tengah (Mesolitikum)
2.

Kehidupan Sosial

Ciri utama peradaban zaman ini adalah manusia pendukungnya telah bertempat tinggal menetap.Diperlukan
waktu ribuan tahun untuk mencapai taraf hidup menetap.Para ahli ilmu purbakala menyebutkan bahwa zaman
ini berlangsung kurang lebih 20.000 tahun silam.Manusia pendukung zaman ini juga bertempat tinggal di gua
yang disebut peradaban abris sous roche.
1.

Hasil Kebudayaan

Alat-alat yang digunakan manusia pendukung masa mesolitikum mendapat pengaruh dari alat-alat yang sama di
daratan Asia. Ciri utama kehidupan zaman ini adalah peninggalan sampah dapur yang
disebutkjokkenmoddinger.Peradaban ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatra, dari Aceh sampai
Sumatra bagian tengah.
a) Kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture) Banyak alat-alat batu dan tulang dari zaman batu
madya ditemukan di abri sous roche. Penelitian pertama terhadap abri sous roche dilakukan oleh Van Stein
Callenfels di gua Lawa, dekat Sampung, Ponorogo, Jawa Timur dari tahun 1928 sampai 1931. Alat-alat
mesolithik yang ditemukan dari gua tersebut adalah : alat-alat batu seperti mata panah dan flake, batu-batu
penggiling dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Bersamaan dengan alat-alat dari Sampung ini, ditemukan pula
fosil manusia Papua Melanesoide.

b) Kebudayaan TOALA (Flake Culture) Penelitian di gua-gua di Lumancong, yang masih didiami oleh suku
bangsa Toala, berhasil menemukan alat-alat serpih (flake), mata panah bergerigi dan alat-alat tulang. Van Stein
Callenfels memastikan bahwa kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang
berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.
c) Kebudayaan Kapak Genggam Sumatera (Peble Culture) Di sepanjang pesisir Sumatera Timur Laut, antara
Langsa (Aceh) dan Medan ditemukan bekas-bekas tempat tinggal manusia dari zaman Batu Madya. Temuan itu
berupa tumpukan kulit kerang yang membatu dan tingginya ada yang mencapai 7 meter. Dalam bahasa
Denmark, tumpukan kulit kerang ini disebut Kjokkenmoddinger (sampah dapur). Bersama-sama
Kjokkenmoddinger ini, Van Stein Callenfels pada tahun 1925, juga menemukan : peble (kapak genggam
Sumatera) hache courte (kapak pendek) batu-batu penggiling alu dan lesung batu pisau batu, dan sebagainya
Bone Culture terutama di abri sous roche Mesolithikum Flake Culture Pebble Culture terutama di
Kjokkenmoddinger
1.

Keberadaan Teknologi

Dari tempat sampah dapur tersebut, ditemukan juga kapak genggam yang disebut pebble.Mereka menggunakan
batu pipih dan batu landasan untuk menggiling makanan serta membuat cat yang diperkirakan ada kaitannya
dengan kepercayaan mereka. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.Perempuan
bekerja di rumah dan mendidik anak serta menyiapkan makanan.Adapun laki-laki dewasa berburu binatang dan
menangkap ikan.
1.

Manusia Pendukung

Manusia pendukung peradaban mesolitikum merupakan campuran bangsa-bangsa pendatang dari Asia. Manusia
pendukung peradaban mesolitikum juga mengunakan flakes dan microlith atau batu-batu pipih, segitiga, dan
trapesium yang ukurannya kecil.
1.

Kepercayaan
Mereka sudah mengenal kepercayaan dan penguburan mayat.
3) Zaman Batu Muda (Neolitikum)
1.

Teknologi

Ciri utama zaman batu muda adalah manusia telah menghasilkan makanan atau food producing. Menurut Dr. R.
Soekmono, ahli arkeologi Indonesia, perubahan dari food gathering ke food producing merupakan satu revolusi
dalam perkembangan zaman pra-aksara Indonesia.
1.

Kehidupan Sosial

Manusia pendukung peradaban ini sudah bertempat tinggal menetap, bercocok tanam, beternak,
mengembangkan perikanan. Dengan kata lain, telah mengembangkan kebudayaan agraris walaupun dalam
tingkatan yang masih sangat sederhana. Manusia pendukung zaman ini membuat kerajinan, membuat aturan
hidup bersama dalam satu komunitas.
Prasejarah. Pada zaman batu muda terjadi perubahan besar dalam bidang sosial budaya yang disebut dengan
Revolusi Neolitikum. Revolusi Neolitikum yaitu perubahan dari mengumpulkan makanan (food gathering)
menjadi menghasilkan makanan (food producing). Di samping itu perubahan dari kehidupan nomaden menjadi
menetap.
Masyarakat prasejarah pada masa ini menghasilkan makanan dengan cara bercocok tanam dan beternak. Jenisjenis tanaman yang mereka tanam pada awalnya berupa umbi-umbian dan selanjutnya mereka mengenal padipadian (jawawut). Hewan pertama yang mereka jinakkan anjing, kerbau, dan babi. Sementara itu, kegiatan
berburu dan menangkap ikan masih mereka lakukan pada waktu-waktu senggang.

Kehidupan bercocok tanam dan menetap memberikan banyak waktu luang bagi mereka. Waktu luang tersebut
mereka gunakan untuk berkarya meningkatkan hasil budayanya seperti membuat perahu, membuat kerajinan,
membuat anyaman dan gerabah.
Mereka juga sudah mengenal pakaian, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya alat pemukul kulit kayu. Mereka
juga telah menggunakan perhiasan, terbukti dengan ditemukannya gelang, kalung dan manik-manik dari batu
indah.
Dalam pola hidup food producing mereka menghasilkan makanan dengan cara bercocok tanam dan beternak,
meskipun dalam taraf yang sederhana. Dalam pola bertempat tinggal, manusia zaman batu muda cenderung
bertempat tinggal di dekat sumber air, seperti di dekat sungai, tepian danau, dan di pesisir.
Tempat tinggal mereka pada dasarnya berupa rumah sederhana yang berbentuk bulat dengan atap dedaunan.
Rumah-rumah jenis ini sampai sekarang masih dapat dijumpai di Timor, Kalimantan Barat, Andaman, dan
Nikobar. Kemudian berkembang bentuk rumah besar yang dibangun di atas tiang atau sering disebut rumah
panggung.
Dengan berkembangnya kehidupan sosial budaya yang lebih maju, maka mereka memerlukan alat komunikasi
yang efektif, yaitu bahasa. Menurut H. Kern, bahasa yang digunakan oleh penduduk di kepulauan Indonsia pada
zaman neolitik adalah bahasa Melayu Polinesia yang merupakan rumpun bahasa Austronesia.

1.

Manusia Pendukung

Manusia pendukung kebudayaan neolitikum ialah Proto Melayu.Manusia Proto Melayu ini hidup pada 2000
SM. Prototipe manusia Proto Melayu sekarang masih dapatditemukan pada ciri-ciri fisik Suku Sasak, Toraja,
Dayak, dan Nias.Hasil kebudayaan dan peradaban manusia ini yang relatif sudah lebih maju daripada zaman
mesolitikum.
1.

Hasil Budaya

Benda-benda yang berasal dari zaman batu muda dikembangkan menjadi peralatan yang lebih halus. Pada masa
ini sudah mulai muncul adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang disebut animisme dan dinamisme. Hal
ini dapat dilihat dari adanya peninggalan yang terkait dengan upacara ritual
1.

Kepercayaan

Masyarakat zaman neolitikum memercayai kekuatan-kekuatan gaib di luar kekuatan manusia.


Kepercayaan masyarakat neolitikum adalah animisme dan dinamisme. Animisme adalah keprcayaan tentang
adanya roh-roh yang memiliki kekuatan di alam gaib, dan dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda
yang dianggap memiliki kekuatan karena ditempati roh atau merupakan perwujudan dari roh.
Masyarakat neolitikum percaya bahwa ada kehidupan lain bagi seseorang yang sudah meninggal, untuk itu
diadakan upacara-upacara bagi seseorang terutama untuk kepala suku yang meninggal. Penguburan dilakukan
pada tempat yang dianggap sebagai tempat tinggal nenek moyang atau asal-usul anggota masyarakat.
Mayat yang dikubur tersebut diberi bekal kubur seperti perhiasan kapak yang indah, dan periuk. Puncak dari
upacara penguburan didirikan bangunan dari batu-batu besar (bangunan megalitik). Tujuan pemujaan terhadap
arwah nenek moyang adalah untuk mendapatkan kesejahteraan bagi yang masih hidup, memberikan kesuburan
tanah untuk bercocok tanam, dan agar hewan-hewan ternak dapat berkembang.

4) Zaman Batu Besar (Megalitikum)

. PERIODISASI ZAMAN MEGALITIKUM


Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung
Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundakundak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung
Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga
Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Apa yang dinyatakan dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti
kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil
kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan
terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
1.

Bidang Teknologi

Berdasarkan hasil temuan arkeologis, zaman megalitikum diperkirakan berkembang sejak zaman batu muda
sampai zaman logam.Ciri terpenting pada zaman ini adalah manusia pendukungnya telah menciptakan
bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu.Bangunan-bangunan yang berkaitan dengan sistem
kepercayaan mereka, di antaranya menhir, dolmen, sarkofagus (keranda), kubur batu, punden berundak, dan
arca.
1.

Sistem Kepercayaan

Masyarakat pendukung peradaban zaman batu besar percaya kepada nenek moyang yang kali pertama
mendirikan kampung tempat tinggal mereka.Untuk menghormati para nenek moyang tersebut, mereka
mendirikan menhir yang berupa tiang atau tugu. Mereka mendirikan dolmen atau meja batu sebagai tempat
meletakkan sesajiuntuk arwah nenek moyang.Meja batu tersebut juga berfungsi sebagai penutup sarkofagus
(peti kubur batu).Pemujaan terhadap arwah nenek moyang juga dilakukan pada punden berundak-undak atau
bangunan tumpukan batu yang bertingkat. Mereka juga membuat arca batu sebagai simbol nenek moyangnya
dengan tujuan yang sama.
2.

Hasil Kebudayaan

Kebudayaan Megalithikum adalah kebudayaan yang utamanya menghasilkan bangunan-bangunan yang terbuat
dari batu-batu besar. Kebudayaan Megalithikum muncul pada zaman neolithikum dan berkembang luas pada
zaman logam. Adapun hasil-hasil terpenting dari kebudayaan megalithikum adalah
:Menhir,Dolmen,Sarkofagus,Kubur peti batu,Waruga, Punden Berundak,Arca.
B. ZAMAN LOGAM (10.000 Tahun Silam)
Setelah melewati tahapan zaman megalitikum, sampailah manusia pra-aksara Indonesia pada zaman logam.Alatalat yang terbuat dari batu dianggap tidak efektif lagi untuk menunjang kehidupan sehari-hari.Oleh karena itu,
alat-alat tersebut secara bertahap mulai ditinggalkan.
Teknologi yang Dihasilkan
Bijih logam mungkin sudah ditemukan pada zaman batu tua.Sementara pengetahuan untuk meleburnya menjadi
lempengan logam, baru terbentuk pada zaman berikutnya.Adapun kemampuan melebur serta membuat alat-alat
yang lebih fungsional (memiliki kegunaan praktis) baru tercipta setelah kepandaian membuat alat-alat dari batu
mencapai puncaknya.Namun, tradisi penggunaan alat dari batu pun terus dipertahankan bersamaan dengan
tradisi penggunaan alat dari logam.
Peradaban zaman ini menghasilkan kapak corong, candrasa (kapak corong yang salah satu sisinya panjang),
nekara berukir yang berfungsi sebagai alat upacara, nekara yang tinggi panjang (moko), alat-alat pertanian, dan
perhiasan.Zaman pra-aksara Indonesia tidak mengenal zaman tembaga, tetapi hanya mengalami zaman
perunggu dan zaman besi.

Kehidupan Sosial
Melalui proses evolusi, peradaban pra-aksara Indonesia mengenal zaman logam, suatu zaman yang lebih maju
dibandingkan dengan zaman batu. Dengan peralatan logam, kehidupan bisa berjalan lebih baik, usaha pertanian
lebih produktif (memberi hasil).
Manusia Pendukung
Manusia pendukungnya Deutro Melayu yang hidup pada 300 SM.

Tradisi Pewarisan Budaya Masyarakat

Tradisi pewarisan budaya masyarakat akan diuraikan dalam tiga bagian, yaitu cara masyarakat merekam dan
mewariskan masa lalu, cara masyarakat mengembangkan tulisan, dan peranan folklor, mitologi, dan legenda
dalam historiografi Indonesia.

Cara Masyarakat Merekam dan Mewariskan Masa lalu

Cara masyarakat yang belum mengenal tulisan (masa pra-aksara) merekam dan mewariskan masa lalunya
dilakukan melalui tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan merupakan tradisi yang terkait dengan kebiasaan
atau adat istiadat menggunakan bahasa lisan dalam menyampaikan pengalaman sehari-hari dari seseorang
kepada orang lain.
Tradisi lisan dapat diartikan sebagai proses dapat pula sebagai produk. Sebagai proses, tradisi lisan terkait
dengan kebiasaan anggota masyarakat menyampaikan pengalaman hidup sehari-hari serta pengalaman masa lalu
melalui bahasa lisan. Sebagai produk, tradisi lisan terbentuk karena kebiasaan anggota masyarakat tersebut
menyampaikan informasi, pengalaman melalui lisan.Sebagai produk, tradisi lisan juga terlihat dalam legenda,
folklor, kisah atau mitos. Tradisi lisan dapat pula diartikan sebagai pengungkapan lisan yang disampaikan
dengan kata-kata dari satu generasi ke generasi yang lain dan seterusnya.
Tradisi lisan merupakan bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan bahasa sebagai
media/alat untuk menyampaikan pesan, gagasan, serta pengalaman. Pesan, gagasan, serta pengalaman tersebut
disampaikan secara lisan oleh siapa pun yang memiliki pesan, gagasan, dan pengalaman tersebut kepada orang
lain dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan
merupakan media untuk mewariskan pengalaman masa lalu dan masa kini untuk generasi yang hidup saat itu
dan generasi yang akan datang.

Cara Masyarakat Mengenal Tulisan dan Mengembangkan Tradisi Sejarah

Upaya masyarakat pra-aksara untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai moral, keagamaan, adat
istiadat, petuah leluhur, peribahasa, serta kejadian-kejadian sehari-hari yang dialaminyaadalah dengan tradisi
lisan. Selain itu melalui tradisi lisan nilai-nilai yang terkait dengan kehidupan mereka dapat terus terpelihara dan
dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Misalnya, nasihat para leluhur yang disampaikan secara
lisan dan turun-temurun harus tetap dijaga.Cara yang mereka lakukan ialah dengan menjaga nasihat tersebut
melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan disampaikan secara lisan.

Folklor, Mitologi, Legenda, dan Lagu

Folklor, mitologi, legenda, dan lagu-lagu di berbagai daerah dapat digolongkan ke dalam tradisi lisan yang dapat
dijadikan sebagai sumber sejarah.

Folklor merupakan bagian dari sastra lisan yang berisi cerita, kisah, adat istiadat keagamaan, upacara ritual, dan
pengetahuan pada rakyat di daerah tertentu.Sebagai sumber sejarah, folklor dapat dijadikan sebagai pelajaran,
pengajaran yang diwariskan dari masa lampau dan memberikan gambaran nyata dan benar dari pengalaman
sosial suatu kebudayaan lisan. Folklor sebagai kebudayaan dibangun dari bahan sosial, yaitu hasil abstraksi dari
pengalaman sosial suatu masyarakat.
Mitos merupakan cerita tradisional yang materinya menyangkut dewa, penciptaan dunia, dan makhluk
hidup.Dalam bahasa Yunani, mite berarti alur pemberian hubungan antara manusia, dewa, alam semesta, dan
pengalamannya.
Legenda adalah tradisi lisan masyarakat sebagai hasil rekonstruksi ingatan serta khayalan tentang lingkungan
tempat tinggal mereka.Walaupun sulit dibuktikan kebenaran tentang isinya, legenda dapat dikritisi oleh
sejarawan sebagai salah satu sumber sejarah untuk menggambarkan kebudayaan daerah yang diteliti. Sebagai
contoh di Jawa Barat terdapat legenda Sangkuriang, dan di Sumatra Barat terdapat legenda Malin
Kundang.Legenda Sangkuriang dikaitkan dengan terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu, sedangkan legenda
Malin Kundang terkait dengan kisah seorang anak yang durhaka pada orangtuanya sesuai dengan adat istiadat
masyarakat Minangkabau.Legenda-legenda tersebut berisi ajaran moral serta nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat setempat.Hampir semua daerah di Indonesia memiliki legenda tentang daerahnya.

Kebudayaan Bacson-Hoabinh

Bacson-Hoabinh merupakan sebuah pegunungan yang berdekatan dan berada di daerah Tonkin di Indo-Cina
sebagai pusat kebudayaan pra-aksara.Di sini banyak ditemukan benda peninggalan pra-aksara, seperti kapakkapak yang masih kasar sebagai peninggalan masa Mesolitikum dan kapak-kapak yang dikerjakan secara halus
karena diasah bagian ketajamannya (protoneolitikum). Di antara kapak-kapak tersebut, ada kapak Sumatra dan
kapak pendek yang disebut pebbles serta alat-alat yang dibuat dari tulang. Seorang sejarawan Prancis, M. Colani
memberi nama kebudayaan Bacson-Hoabinh. Hal ini disebabkan pada kedua tempat tersebut banyak ditemukan
benda-benda peninggalan masa mesolitikum Asia Tenggara.Dari daerah Bacson-Hoabinh kemudian menyebar
ke berbagai wilayah, termasuk ke Indonesia melalui Thailand dan Malaysia Barat.
Selain benda-benda kebudayaan di Tonkin juga ditemukan fosil manusia yang menempati daerah tersebut yang
terdiri atas dua golongan bangsa, yaitu jenis Papua Melanesoid dan Europasoid.Selain itu, ditemukan pula fosil
jenis Mongoloid dan Austroloid.Persebaran jenis Melanesoid ini sampai ke Indonesia dan Lautan Teduh. Bangsa
inilah yang melahirkan kebudayaan Bacson-Hoabinh yang menghasilkan alat-alat pebbles. Di sana pun terjadi
percampuran antara Melanesoid dan Europasoid yang melahirkan Austroloid yang pada zaman neolitikum
tersebar ke seluruh Kepulauan Indonesia. Dengan demikian, kebudayaan Neolitikum di Indonesia berasal dari
Tonkin, tepatnya di Pegunungan Bacson dan Hoabinh.

Kebudayaan Dongson

Kebudayaan Dongson merupakan bagian dari perkembangan kebudayaan pada zaman perundagian terutama
pada zaman perunggu. Kebudayaan ini berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara sejak sekitar 1000
SM sampai 1 SM bergerak ke Indonesia lalu menuju Nusantara yang berkembang di Lembah Sng Hng. Pada
1924, Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan Dongson.Dalam penggalian tersebut ditemukan
berbagai macam peralatan dari perunggu, seperti nekara, bejana, ujung tombak, kapak, dan gelang-gelang.
Berbagai peralatan yang ditemukan di Dongson memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di Indonesia.
Kesamaan tersebut di antaranya dilihat dari segi hiasan dan bahan yang digunakan.Nekara yang di temukan
umumnya dihias gambar manusia atau hewan.Adapun bahan logam yang digunakan untuk membuatnya
mengandung unsur timah yang berkualitas.Di Indonesia, bejana serupa banyak ditemukan di Kerinci,Madura
dan paling banyak ditemukan di pulau Sumatra, Jawa, dan Maluku.Hal tersebut menimbulkan dugaan adanya
hubungan budaya yang berkembang antara Dongson dan Indonesia.

Kebudayaan Sa Huynh

Kebudayaan Sa Huynh memang tidak banyak dikenal jika dibandingkan dengan kebudayaan Hoabin, Bacson,
dan Dongson. Namun ternyata kebudayaan Sa Huynh memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan Sa Huynh kebudayaan pantai yang berasal dari Vietnam yang berkembang di akhir
zaman logam sekitar 600 SM 1 M.
Teknologi yang digunakan kebudayaan Sa Huynh untuk membuat logam disinyalir merupakan hasil perkenalan
dan pengaruh dari kebudayaan Cina. Benda perunggu yang ditemukan di wilayah Sa Huynh berupa seperti
gelang dan lonceng.Dua benda logam tersebut diduga ikut mempengaruhi kebudayaan dan keberadaan lonceng
dan gelang di Indonesia.Kebudayaan Sa Huynh berasal dari kampung pesisir di selatan Da Nang, di antara Thua
Thein dan delta Sungai Dong Nai di Provinsi Quang Nam, Vietnam, dan memiliki keahlian tinggi dalam bidang
kerajinan logam, terutama perunggu. Kebudayaan Sa Huynh memiliki corak yang sangat mirip dengan
kebudayaan Dongson, yang selama ini kita kenal memiliki pengaruh kuat di Asia Tenggara. Kebudayaan Sa
Huynh ini berlangsung antara 600SM sampai 1M.
Ciri khas kebudayaan Sa Huynh yang membedakan dari kebudayaan Dong Son maupun kebudayaan lain,
adalah kubur tempayan yang merupakan prosesi penguburan dengan memasukkan jenazah ke dalam
tempayan.Setelah itu tempayan tersebut dikuburkan ke dalam tanah. Budaya inilah yang diyakini dibawa oleh
orang Cham ke Kepulauan Indonesia. Hal ini berdasarkan bukti-bukti arkeologis berupa penemuan tempayan
kubur di Laut Sulawesi yang memiliki kemiripan dengan tempayan kubur di Sa Huynh.Penemuan ini
mendukung teori jalur perkembangan kebudayaan Sa Huynh yang ada di Vietnam masuk ke
Indonesia.Kebudayaan Vietnam diyakini masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yakni jalur barat, melewati
pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan; dan jalur timur, melalui Formosa, Filipina, Sulawesi, Maluku, Irian jaya.
a)

Zaman Tembaga

Indonesia tidak mengalami zaman tembaga. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukanya peninggalanpeninggalan benda tembaga purba di Indonesia. Setelah zaman perunggu Indonesia langsung memasuki zaman
besi.
b) Zaman Perunggu
Pada zaman perunggu ini, manusia telah menemukan logam campuran yang lebih keras dari tembaga.
Campuran antara tembaga dan timah putih ini disebut perunggu. Logam campuran ini dibentuk menjadi
peralatan yang sesuai dengan kebutuhan. Disebut zaman perunggu karena pada zaman ini dihasilkan perlatan
kehidupan yang dibuat dari perunggu. Peralatan itu dibuat dengan 2 macam teknik. Ada yang dibuat dengan
teknik cetak hilang (a cire perdue) dan ada yang dibuat dengan cetak ulang (bivalve). Peralatan kehidupan yang
dibuat dari bahan perunggu ini meliputi: Nekara, Moko, Kapak corong, Arca perunggu, Bejana perunggu dan
Perhiasan perunggu.
a. Nekara
Nekara adalah genderang besar yang terbuat dari perunggu. Biasanya digunakan sebagai alat upacara untuk
mengundang hujan. Nekara terbesar ditemukan di Bali. Sekarang nekara tersebut disimpan di Pura Besakih.
Nekara ini disebut The Moon of Pejeng.
b. Moko
Moko merupakan genderang kecil terbuat dari perunggu. Biasanya digunakan sebagai alat upacara keagamaan
atau sebagai mas kawin.
c. Kapak corong
Kapak corong disebut juga kapak sepatu. Kapak itu terdiri dari berbagai ukuran. Ada yang bertangkai panjang,
ada yang melengkung ke dalam, dan ada yang cekung di pangkalnya.
d. Arca perunggu
Arca perunggu adalah arca yang terbuat dari perunggu. Bentuknya beraneka ragam seperti bentuk orang atau
binatang.

e. Bejana perunggu
Bejana perunggu mirip gitar Spanyol, tetapi tanpa tangkai. Pola hiasannya menggunakan hiasan anyaman dan
huruf J.
f. Perhiasan
Bentuk perhiasan ini berupa gelang tangan, gelang kaki, cincin dan kalung. Sebagian besar perhiasan ditemukan
sebagai bekal kubur.
c)

Zaman Besi

Pada zaman ini manusia telah dapat mengolah bijih-bijih besi untuk membuat peralatan-peralatan yang
dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Tingkat kehidupan pada zaman ini sudah jauh lebih baik dari tingkat
kehidupan zaman sebelumnya.
Teknik pembuatannya menggunakan teknik a cire perdue, namun berdasarkan penelitian Van der Hoop, teknik
pembuatanna menggunakan bivall (tangan) dan bivalve (tangan pada luar dan lilin pada dalamnya).
Zaman besi, zaman di mana manusia sudah dapat mengelola bijih-bijih besi untuk keperluan hidup yang mereka
butuhkan. Disebut zaman besi karena pada zaman ini tingkat kehidupan manusia sudah jauh lebih baik dari
masa sebelumnya, benda-benda perunggu yang ditemukan pada zaman logam dibuat dengan mengguankan
teknik bivalve (setangkup) dan teknik a cire perdue (cetak lilin).
a) Teknik a cire perdue (cetak lilin)
Pembuatan benda dengan teknik a cire perdue ini yaitu benda yang akan di cetak terlrbih dahulu di buatkan
cetakannya dari lilin. Bentuk lilin dapat diberi pola hias menurut keperluannya, setelah itu dibungkus dengan
tanah liat dan bagian atas dan bawah di beri lubang. Untuk selanjutnya dibakar agar lilin mencair. Dari lubang
atas di tuangkan perunggu cair dan dari lubang bawah mengalirkan lilin yang meleleh. Bila perunggu yang di
tuangkan sudah dingin, cetakan tersebut dipecah untuk mengambil benda yang sudah jadi. Keuntungan dari
tekinik a cire perdue ini benda yang dihasilkan halus sedangkan kerugiannya cetakan seperti ini hanya dapat
digunakan satu kali saja.
b) Teknik bivalve (setangkup)
Teknik bivalve ini menggunakan dua cetakan yang data di tangkupkan (di rapatkan terdapat garis bekas cetakan
yang di tangkupkan.), cetakan tersebut diberi lubang dari bagian atasnya, dari lubang itu di tuangkan logam cair
bila perunggu sudah cair cetakan dibuka. Bila membuat benda berongga, maka di gunakan tanah liat sebagai
intinya yang akan membentuk rongga setelah tanah liat dibuang. Keuntungan dari teknik bivalve ini cetakan
dapat digunakan berulang-ulang sedangkan kerugiannya benda yang di hasilkan

Anda mungkin juga menyukai