Anda di halaman 1dari 4

3.

4 Gudeg

Gudeg merupakan sayur berbahan dasar nangka muda yang dimasak


dengan santan dan gula kelapa. Dalam bidang pariwisata gudeg menjadi aset yang
memegang peranan penting sebagai ikon wisata kuliner dan sebagai buah tangan
khas Kota Yogyakarta bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Makanan
tradisional khas Kota Yogyakarta ini memiliki cita rasa manis dan banyak
diproduksi oleh produsen kuliner gudeg setempat. Pada umumnya gudeg
diproduksi oleh industry rumahan dan dipasarkan langsung ke konsumen lewat
display berkonsep warung makan ataupun pedagang kaki lima. Makanan ini biasa
dijadikan sebagai lauk yang dinikmati bersama dengan nasi. Hidangan gudeg
biasa disajikan dengan pelengkap areh, telur, ayam, krecek, tempe bacem dan tahu
bacem (Gardjito dan Permatasari, 2012).
Gudeg yang menjadi salah satu ciri khas dari Yogyakarta ini dikenal oleh
masyarakat Yogyakarta sendiri sejak tahun 1940-an. Dalam perkembangannya,
gudeg memang lebih sering diproduksi dalam skala rumah tangga atau
didistribusikan dengan dihidangkan langsung ke konsumen. Di Yogyakarta
sendiri, gudeg umumnya dijajakan di berbagai warung gudeg. Awalnya, pada
tahun 1942, warung gudeg yang pertama kali muncul ialah warung gudeg yang
dirintis oleh Ibu Slamet yang terletak di sebelah selatan Pkengkung Tarunasura
(Plengkung Wijilan), Yogyakarta.
Bahan baku utama gudeg ialah nangka muda atau yang biasa disebut gori
oleh masyarakat Yogyakarta. Bahan baku nangka muda inilah yang juga jadi salah
satu sebab mengapa gudeg dapat menjadi makanan khas dari Yogyakarta. Hal ini
dikarenakan pada masa lalu, bahan baku berupa nangka muda ini banyak
ditemukan di kebun-kebun milik masyarakat Yogyakarta. Walaupun masih ada
bahan baku gudeg yang lain seperti manggar atau pondoh kelapa dan rebung atau
anakan pohon bambu, tapi bahan baku berupa nangka mudalah yang lebih dikenal
sampai sekarang. Bahan-bahan baku selain nangka muda tersebut sekarang sudah
jarang digunakan sebagai bahan baku gudeg.
Rasa manis tapi gurih merupakan ciri khas dari cita rasa gudeg. Rasa
manis dari gudeg berasal dari bahan baku utamanya, yaitu nangka muda atau gori.
Rasa manis inilah yang membuat gudeg banyak digemari oleh masyarakat Jawa,
terutama Yogyakarta. Sedangkan rasa gurihnya berasal dari bumbu areh atau
santan kental dan ampas minyak kelapa atau yang biasa disebut oleh orang
Yogyakarta Klendo. Dalam penyajiannya, gudeg biasa disandingkan dengan nasi.
Hal ini dikarenakan gudeg mempunyai rasa manis yang kuat, sehingga untuk
menetralkannya disandingkan dengan nasi yang juga menjadi bahan makanan
pokok masyarakat Indonesia. Selain itu, sebagai lauk pelengkap, gudeg biasanya
dilengkapi dengan telur bebek maupun ayam yang dipindang, sayur tempe, serta
daging ayam kampung yang direbus. Cita rasa pedas pun dapat kita rasakan jika
mengkonsumsi gudeg jika gudeg tersebut diampur dengan sambal krecek. Warna
coklat dari gudeg berasal dari rempah-rempah dan aroma khas gudeg berasal dari
aroma daun jati yang dicampurkan.
Proses pembuatan gudeg dimulai dengan merebus bahan baku berupa
nangka muda di atas tungku yang bertemperatur sekitar 100 oC. Perebusan tersebut
dilakukan dalam waktu kurang lebih 24 jam. Proses merebus ini bertujuan untuk
menguapkan kuah dari nangka muda. Selain itu, kurun waktu merebus yang
hingga mencapai 24 jam bertujuan agar biji nangka muda saat disantap akan
terasa lembut serta dapat menimbulkan cita rasa yang khas dari gudeg tersebut.
Metode pengolahan ini merupakan metode pengolahan gudeg secara
konvensional.
Hingga tahun 2003, secara umum penyajian gudeg masih dijajakan di
warung-warung gudeg seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalam penyajiannya,
selain disajikan langsung dengan menggunakan piring, gudeg juga bisa dikemas
untuk selanjutnya dapat dikonsumsi oleh konsumen. Pengemasan gudeg akhir-
akhir ini menjadi semakin banyak dicari oleh masyarakat terutama yang
masyarakat yang berasal dari luar Yogyakarta. Para wisatawan yang mengunjungi
Yogyakarta umumnya ingin membawa oleh-oleh berupa gudeg sehingga dalam
penyajiannya, gudeg perlu dikemas agar bisa dibawa pulang oleh para wisatawan.
Pengemasan yang dilakukan oleh para produsen gudeg umumnya menggunakan
besek atau kendil. Besek merupakan wadah yang terbuat dari serat bambu yang
dianyam sehingga berbentuk seperti mangkuk berbentuk kubus, sedangkan kendil
ialah wadah seperti guci yang terbuat dari tanah yang dibakar.
Dalam bisnis kuliner gudeg, permasalahan utama yang harus dihadapi
produsen adalah sifat karakteristik gudeg yang memiliki umur simpan pendek.
Gudeg hanya mampu bertahan sekitar 48 jam. Dengan kadar air, protein dan
lemak tinggi gudeg rentan terhadap kerusakan di antaranya perubahan warna,
penyimpangan aroma dan rasa, serta penurunan nilai gizinya. Selain itu,
permasalahan lain yang harus dihadapi produsen gudeg yakni keluhan dari
konsumen mengenai kemasan produk gudeg yang kurang praktis ketika hendak
dibawa untuk dijadikan buah tangan.
Telah dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan utama produk
gudeg dari berbagai lintas sektor. Inovasi kemasan gudeg dengan menggunakan
kaleng dinilai sebagai solusi yang paling tepat. Kemasan kaleng dipilih sebagai
alternatif untuk memperpanjang umur simpan produk karena kemasan ini
memiliki kekuatan mekanik besar, penghalang (barrier) tinggi terhadap
kontaminan karena kedap udara, toksisitas rendah, tahan kondisi ekstrem dan
permukaan ideal untuk pelabelan. Melalui proses pengalengan maka gudeg dapat
bertahan selama satu tahun tanpa penambahan bahan pengawet. Inovasi kemasan
ini sekaligus dilakukan sebagai wujud upaya modernisasi pangan tradisional di
Yogyakarta. Modernisasi juga diupayakan oleh produsen gudeg untuk tujuan
memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan eksistensi produknya di pasaran.
Produk gudeg kaleng merupakan makanan olahan tradisional siap saji yang
dikemas dalam kemasan kaleng dan melalui proses aseptik sehingga menjadikan
produk berumur simpan panjang. Produk yang semula hanya mampu dipasarkan
secara lokal karena keterbatasan umur simpan, saat iniberpotensi untuk dapat
dipasarkan dengan jangkauan pasar nasional hingga internasional.
Gardjito, Murdjiati dan Eva L.D. Permatasari. 2012. Gudeg Yogyakarta, Riwayat, Kajian
Manfaat, dan Perkembangan untuk Pariwisata. Yogyakarta : Pusat Kajian Makanan
Tradisional Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai