Anda di halaman 1dari 20

PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP KESEIMBANGAN TUBUH

PADA LANSIA DI POSYANDU ANJ AGRI KECAMATAN SIMANGAMBAT


D
I
S
U
S
U
N
Oleh:

Nama : Kristina Simamora


NPM : 18.11.067

Dosen Pengampu :Ns. Megawati Sinambela, S.Kep, M.Kes

INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELI TUA


FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM
SARJANA
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segalah puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segalah
rahmat dan karuniannya saya dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “pengaruh
senam Terhadap Keseimbangan Tubuh pada Lansia di posyandu ANJ AGRI kecamatan
simangambat” dengan baik.Tersusunya proposal ini tentu tidak lepas dari bimbingan,saran
dan dukungan.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini masih banyak
kekurangan,oleh karena itu kritik dan saran dari semuah pihak yang bersifat membangun
selalu diharapkan demi kesempurnaan proposal ini.
Akhir kata saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan proposal ini dari awal sampai akhir.
Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua.Amin

Simangambat,28 April 2021


Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep senam lansia
2.1.1 Defenisi senam Lansia
2.1.2 Gerakan Senam Lansia
2.2 Keseimbangan Tubuh
2.2.1 Definisi Keseimbangan Tubuh
2.2.2 Faktor Keseimbangan Tubuh
2.3.1 Konsep Lansia
2.3.1 Definisi Lansia
2.3.2. Ciri-ciri lansia
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 kerangka konseptual
3.2 hipotesa
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
4,2 SARAN
4.3 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat memasuki usia lanjut,manusia mengalami beberapa kemunduran dan
kelemahan.Akumulasi deficit pada usia lanjut seperti kelemahan otot, ganguan
keseimbangan dan abnormalitas neuromuscular, berakibat turunnya mobilitas yang
dapat mengakibatkan roboh dan kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-
hari.Jatuh merupakan masalah serius bagi lanjut usia yang dapat menyebabkan
ancaman mobilitas dan independen mereka bahkan dapat menyebabkan kematian.
Pada usia diatas 80 tahun sekitar 50% lansia pernah mengalami jatuh
Senam lansia disamping memiliki dampang positif terhadap peningkatan fungsi
organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia
setelah latihan teratur. Tingkat kebugaran dievaluasi dengan mengawasi kecepatan
denyut jantung waktu istirahat yaitu kecepatan denyut nadi sewaktu istirahat.Jadi
supaya lebih bugar,kecepatan denyut jantung sewaktu istirahat harus menurun.Senam
lansia merupakan olahraga yang cocok bagi lansia karena gerakan di dalamnya
menghidari gerakan loncat-loncat, melompat, kaki menyilang,maju mundur,
menyentak-sentak, namun masih dapat memacau kerja jantng dan paru dengan
intersitas ringan sedang bersifat menyeluruh dengan gerakan yang melibatkan
sebagian besar otot tubuh,serasi gerak sehari-hari yang mengandung gerakan-gerakan
melawan beban badan dengan pemberian beban antara bagian kanan dan kiri tubuh
secara seimbang dan berimbang.Gerakan dalam senam mengadung gerakan-gerakan
yang diharapkan dapat meningkatkan komponem kebugaran kardio-respirasi,kekuatan
dan ketahan otot,kelenturan dan komposisi badan yang seimbang(suharno,2011)
Dilihat dari dampak jatuh,pencegahan terjadinya jatuh pada lansia merupakan
langkah yang perlu dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh,pasti akan menyebabkan
komplikasi,meskipun ringan tetap memberatkan kondisi lansia.perawat sebagai
bagian dari pemberi pelayanan kesehatan,mempunyai kewajiban untuk melakukan
tindakan/pencegahan jatuh pada lansia.(Darmojo,2004)

1.2 Rumusan Masalah

Jenis latihan fisik (olahraga) yang bisa di lakukan anatara lain adalah senam
lansia.senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang diikuti oleh orang lanjut usia dalam bentuk latihan fisik yang
berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia.tujuan dari senam lansia antara lain
untuk meningkatkan daya tahan,kekuatan,koordinasi tubuh, meningkatkan
keseimbangan dan memelihara kesehatan.Selain itu senam lansia juga dapat menunda
perubahan fisiologi yang biasanya terjadi pada proses penuaan
muskuloskletal,penurunan kelenturan struktur sendi,serta melindungi lansia dari jatuh

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui pengaruh senam lansia terhadap keseimbangan tubuh pada lansia di
posyandu anj agri kecamatan simangambat.mengidentifikasi angka keseimbangan
tubuh pada lansia sebelum dilakukan senam lansia.menganalisa pengaruh senam
lansia terhadap keseimbangan tubuh pada lansia di posyandu anj agri kecematan
simangmbat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 konsep Senam Lansia
2.1.1 Pengertian Senam Lansia
Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang dilakukan secara tersendiri atau berkelompok dengan maksud
meningkatkan kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut.dalam
bahasa inggris terdapat istilah exercise atau aerobic yang merupakan suatu aktifitas
fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah serta pernafasan yang
dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan perbaikan
dan manfaat kepada tubuh.Senam berasal dari bahasa yunani yaitu gymnastic
(gymnos) yang berarti telanjang,dengan maksud agar keleluasan gerak dan
pertumbuhan badan yang dilatih dapat terpantau(suroto 2004)
Dimana dengan dilepaskan noreepineprin mengakibatkan kontriksi pembuluh
darah.Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriksi.Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap norepinefrin.Meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.Dsaat yang bersamaan sistem respon rangsangan emosi,kelenjar
adrenal juga terangsang,mengakibatkan tambah aktivitas vasokontriksi.

2.1.2 Gerakan Senam Lansia


Senam lansia adalah olahraga ringan yang mudah dilakukan dan tidak
memberatkan,yang dapat diterapkan pada lansia.aktivitas olaraga ini akan membantu
tubuh lansia agar tetap bugar dan tetap segar.
Langkah -langkah senam hipertensi
1.Pemanasan
A. tekuk kepalah kesamping lalu tahan dengan tahan pada sisi yang sama
dengan arah kepala.Tahan dengan 8-10,lalu bergantian dengan sisi lain.
B. Tautkan jari-jari kedua tangan dan angkat lurus keatas kepaladengan posisi
kedua kaki dibuka selebar bahu.Tahan dengan 8-10 hitungan.
2. INTI
A. lakukan gerakan seperti jalan di tempat dengan lambaikan kedua tangan
searah dengan sisi kaki yang diangkat.lakukan perlahan dan hindari hentakan
B. Buka kedua kaki dengan jemari mengepal dan kaki di buka selebar
bahu.kedua kepalan tangan bertemu dan ulangi gerakan semampunya sambil
mengatur nafas.
C. Kedua kaki dibuka agak lebar lalu angkat tangan menyerong.sisi kaki searah
dengan sedikit ditekuk.tangan diletakan di pinggang dan kepala searah dengan
gerakan tangan.tahan 8-10 hitungan lalu gantian dengan sisi lainya.
D. Gerakan hampir sama dengan sebelumnya tapi jari mengepal dan kedua
tangan di angkat ke atas.lalu bergantian secara perlahan dan semampunya.
E. Hampir sama dengan inti 1, tapi kaki digerakan ke samping.kedua kaki
dengan jemari mengepal ke arah yang berlawanan. Ulang sisi bergantian.
F. Kedua kaki dibuka dari bahu. Satu lutut agar di bekukdan tangan yang searah
lutut di pingang tangan sisi yang lainlurus kearah lutut yang di tekuk.ulang
gerakan ke arah sebaliknya.
3. PENDINGINAN
A. Kedua kaki dibuka selebar bahu.lingkaran satu tangan keleher dan tahan
dengan tangan lainya.hitung 8-10 kali dan lakukan pada sisi lainnya.
B. Posisi tetap taukan kedua tangan lalu gerakan kesamping dengan gerakan
setengah putaran. Tahan 8-10 hitungan lalu arahkan kesisi lainnya.

2.2 Keseimbangan Tubuh

2.2.1 Definisi Keseimbangan Tubuh

Keseimbangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia agar Dapat


hidup mandiri. Keseimbangan adalah istilah umum yang menjelaskan
kedinamisan
postur tubuh untuk mencegah seseorang terjatuh.9 Secara garis besar
keseimbangan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengontrol pusat massa
tubuh atau pusat gravitasi terhadap titik atau bidang tumpu, maupun kemampuan
untuk berdiri tegak dengan dua kaki penting dalam diri seseorang dan sebagai
prekursor untuk inisiasi kegiatan lain hidup sehari-hari, terutama bagi manula.
Sistem pengaturan keseimbangan semakin lama semakin memburuk seiring
dengan bertambahnya usia. Penurunan dalam pengaturan keseimbangan dan gaya
berjalan yang memburuk adalah faktor kunci dalam kejadian jatuh dan masalah
motorik lainnya pada lanjut usia.1 Sayangnya, cedera dan hilangnya nyawa
karena jatuh pada manula adalah faktor yang utama yang dihadapi manula.
Perasaan "takut jatuh" adalah awal penyebab umum aktivitas fisik yang menurun
disertai dengan penurunan kekuatan otot tungkai bawah, yang semakin
mengakibatkan seseorang untuk jatuh lagi.(Supriyono,2015).

2.2.2 Faktor Keseimbangan Tubuh

Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.


Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri orang tersebut misalnya dari
lingkungan sekitar.

1. Faktor Intrinsik
a. Usia

Letak titik berat tubuh berkaitan dengan pertambahan usia. Pada anakanak
letaknya lebih tinggi karena ukuran kepala anak relatif lebih besar dari kakinya
yang lebih kecil. Keadaan ini akan berpengaruh pada keseimbangan tubuh,
dimana semakin rendah letak titik berat terhadap bidang tumpu akan semakin
mantap atau stabil posisi tubuh.

b. Sistem muskuloskeletal

Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi perubahan pada jaringan


penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi.

1). Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,


kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan dan penurunan
hubungan tarikan linear sehingga terjadi penurunan mobilitas pada jaringan
tubuh karena penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif dan
kuantitatif pada kolagen sehingga terjadi penurunan daya mekanik, daya elastik dan
timbul kekakuan (Timiras & Navazio, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa
nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke
berdiri, jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan aktivitas setiap
hari (Lewis & Bernstein, 1996). Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi
aktivitas sehari – hari pada lansia.

2). Kartilago

Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan


akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk regenerasi 9
berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang
merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap.
Kartilago di persendian mengalami kalsifikasi, sehingga fungsinya sebagai peredam
kejut dan permukaan sendi yang berpelumas menurun, sehingga kartilago pada
persendian rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi
besar penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi mudah mengalami
peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap
hari (Sri Surini & Utomo, 2002).
3). Tulang

Secara fisiologis penuaan berdampak pada menurunnya kepadatan tulang.


Trabecula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali,
sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan
yang lain berupa penurunan estrogen sehingga produksi osteoklast tidak terkendali,
penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang
keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya
menyebabkan kekakuan dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak
munculnya osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri, deformitas dan
fraktur (Timiras & Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi kemampuan
dari lansia dan menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam aktivitas fisiknya
sehari – hari.

4). Otot

Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada masing – masing orang.
Perubahan tersebut meliputi penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada
beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain,
peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain mengakibatkan
efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, otot penurunan fleksibilitas
otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan
kemampuan fungsional.
Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan

1. Penurunan jumlah serabut otot


2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi
pada beberapa serabut otot yang lainnya.
3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch)
4. Penumpukan lipofusin.
5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung.
6. Adanya ringbinden.
7. Adanya badan sitoplasma
8. Degenerasi miofibril
9. Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot 11

5). Sendi
Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada lansia
mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan partikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan
kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya
yang berdampak pada penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan sendi.

2.3.1 Konsep Lansia

2.3.1 Definisi Lansia


Lansia adalah seseorang yang telah mencapai 60 tahun ke atas. Batasan lansia
menurut World Health Organization (WHO) dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: usia
pertengahan antara 45-59 tahun, lansia lanjut usia antara 60-74 tahun, lansia sangat
tua (very old) = lebih dari 90 tahun.
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk melakukan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan dalam
memenuhi kebutuhan dalam hidup (Priyoto, 2014).

2.3.2. Ciri-ciri lansia :

Menurut Keliat dalam Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik


sebagaiberikut:
a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13
tentangkesehatan)
b. Kebutuan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

Karakteristik penyakit yang dijumpai pada lansia diantaranya:

1. Penyakit yang sering multipel, saling berhubungan satu sama lain


2. Penyakit bersifat degeneratif, serta menimbulkan kecacatan
3. Gejala sering tidak jelas, berkembang secara perlahan
4. Masalah psikologis dan sosial sering terjadi bersamaan
5. Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut
6. Sering terjadi penyakit yang bersifat iatrogenic

BAB III
KERANGKA KOSEP
3.1 kerangka konseptual
Kerangka konsep adalah kerangka pengaruh antara konsep-konsep yang ingin
diamati atau diukur penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,2010)

Sempurna
senam lansia

Keseimbangan
tubuh
Senam lansia

Tidak sempurna
senam lansia
Faktor yang mempengaruhi
keseimbangan tubuh:
Faktor intrisik:
Faktor usia
Sistem muskuloskeletal
Sistem saraf
Sistem kardiovaskuker
Sistem indera
Kekuatan otot
Faktor ekstrinsik
Lingkungan
Aktifitas fisik
1. A.

Dapat dijelaskan mekanisme pengaru senam lansia terhadap keseimbangan tubuh pada
lansia.Ada dua faktor yang mempengaruhi keseimbangan tubuh pada lansia yaitu faktor
intrinsic dan faktor ekstrinsik.Faktor intriksi yaitu usia,penurunan system
muskuloskeletal,sistem saraf,sestem vestibular dan penurunan sistem kekuatan
otot.sedangkan faktor ekstrinsik yaitu faktor lingkungan dan aktifitas fisik.

3.2 Hipotesa

Berdasarkan urain pada latar belakang masalah serta menurut pendapat para ahli,
maka rumusan Ho pada penelitian ini : ada pengaruh senam lansia terhadap
keseimbangan tubuh pada lansia di Posyandu Mawar Desa Janggan Kecamatan Poncol
Kabupaten Magetan tahun 2018.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian keseimbangan tubuh pada lansia di posyandu anj agr kecamatan
simagambat sebelum melakukan senam keseimbangan tubuh pada lansia cukup rendah
denagn jumlah 32 orang.

4.2 SARAN
Diharapkan lansia lebih aktif dalam mengikuti senam posyandu lansia.untuk keluarga
diharapkan untuk mau menghantarkan lansia ke posyandu untuk mengikuti manfaat senam itu
sendiri untuk lansia.

4.2 DAFTAR PUSTAKA

Arinda, Ryan. 2014. “Hubungan Keseimbangan Tubuh dengan Riwayat Jatuh

Pada Lansia”. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

http://eprints.ums.ac.id/30486/11/NASKAH_PUBLIKASI.pdf. diakses

28 Maret 2017 jam 13.45 WIB.

Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan

menggunakan Skala

Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia Puskesmas Tebet. Tesis.

Jakarta:FKUI.
Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention

in primary

care. Journal Hospital Physician, 55-66

Darmojo, Boedhi. 2004. “Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 4”.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Harsuki,2010;Sumintarsih,2006) “manfaat senam bagi kesehatan lansia”.

Kane, R.L., Ouslander, J.G., & Abrass, I.B. (1989). Essentials of Clinical

Geriatrics. (2ndEdition). US: McGraw-Hill.

Nursalam. (2013). “Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu

Keperawatan”. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho,2011 dalam survey pembuatan norma kesegaran jasmani pada usia

lanjut 1992-1993

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Jakarta : PT Rinek

Cipta.

Oscar Primadi, 2013”Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia”Data dan

Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakart Juli 201.

Priyoto. 2014. “NIC (Nursing Intervention Classification) Dalam Keperawatan

Gerontik”. Ponorogo : Salemba Medika.


Nama :Kristina Simamora
NPM :18.11.067
Dosen Pembimbing : Ns.Friska Ernita Sitorus, M.Kep

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit diare sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian. Hampir seluruh daerah geografis dunia dan semua kelompok usia diserang diare,
tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama didapatkan pada bayi dan anak
balita. Di negara Amerika Utara anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali pertahun (Pitono
et al, 2006) sementara menurut Zubir et al (2006) diare menyebabkan kematian sebesar 15-
34% dari semua kematian, kurang lebih 300 kematian per tahun. Berdasarkan hasil penelitian
Ratnawati et al (2009) menunjukkan bahwa 35% dari seluruh kematian balita disebabkan oleh
diare akut.
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Beberapa faktor yang berkaitan
dengan kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja,
kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan perorangan
dan lingkungan yang jelek, penyiapan makanan kurang matang dan penyimpanan makanan
masak pada suhu kamar yang tidak semestinya (Sander, 2005). Banyak faktor yang secara
langsung maupun tidak langsung menjadi pendorong terjadinya diare yaitu faktor agent,
penjamu, lingkungan dan perilaku. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling dominan
yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor berinteraksi bersama
dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare
serta terakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat, maka penularan diare dengan
mudah dapat terjadi (Zubir et al, 2006).

Sanitasi adalah keadaan atau kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan terutama
mengenai kotoran manusia dan infeksi yang secara khusus berkaitan dengan drainase,
pembuangan kotoran dan sampah dari rumah tangga (World Health Organization, 1992).
Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang dapat mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan pada prevalensi sanitasi yang buruk, kontrol
kondisi lingkungan yang buruk, dan penyediaan air bersih yang tidak memadai (Kementerian
Kesehatan RI, 2016).

Sanitasi mempunyai peranan penting dalam mewujudkan rumah sehat dan sebagai
penunjang untuk mencegah berbagai penyakit yang berbasis lingkungan. Dari laporan (WHO
2015) tentang sanitasi ada 2,4 milyar manusia di dunia menggunakan fasilitas sanitasi yang
buruk. Data dari(Kementerian Kesehatan RI, 2015), presentase rumah tangga yang memiliki
akses terhadap sanitasi layak adalah sebesar 62,14%. Dilihat dari data tersebut belum
mencapai target rencana Kementrian Kesehatan yaitu sebesar 75%. Provinsi dengan
presentase rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak tertinggi terdapat di DKI Jakarta
sebesar 86,81%, Yogyakarta sebesar 82,54%, sedangkan presentase terendah terdapat pada
provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 23,90%.

B. Perumusan Masalah

1. Masalah umum
Apakah ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009?
2. Masalah khusus
a. Apakah ada hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Pukesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009?
b. Apakah ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009?
c. Apakah ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Pukesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009?
d. Apakah ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Pukesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun
2009.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi instansi terkait


Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan tentang hubungan antara sanitasi
lingkungan dengan kejadian penyakit diare sehingga dapat meningkatkan penyuluhan dan
pembinaan terhadap masyarakat luas.

2. Bagi masyarakat
Menambah pengetahuan tentang hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian
penyakit diare sehingga masyarakat dapat lebih meningkatkan sanitasi lingkungannya.

3. Bagi peneliti lain


Sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang hubungan sanitasi
lingkungan dengan kejadian penyakit diare.

4. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan memberi pengalaman langsung dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang dimiliki

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian diare

Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>
3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau
lendir (Suraatmaja, 2007). Menurut WHO (2008), diare didefinisikan sebagai berak cair tiga
kali atau lebih dalam sehari semalam. Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua,
yaitu diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik (≥ 2 minggu) (Widoyono, 2008).

2. Klasifikasi diare

Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:


a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari).
Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian
bagi penderita diare.
b. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia,
penurunan berat badan dengan cepat, kemungkinan
terjadinya komplikasi pada mukosa.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.
Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.

3. Etiologi diare

Menurut Widoyono (2008), penyebab diare dapat dikelompokan menjadi:

a. Virus: Rotavirus.
b. Bakteri: Escherichia coli, Shigella sp dan Vibrio cholerae.
c. Parasit: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Cryptosporidium.
d. Makanan (makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, sayuran mentah
dan kurang matang).
e. Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, dan protein.
f. Alergi: makanan, susu sapi.
g. Imunodefisiensi.

4. Gejala diare
Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi.
b. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.
d. Anusnya lecet.
e. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.
f. Muntah sebelum atau sesudah diare.
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
h. Dehidrasi.

5.Distribusi penyakit diare

Distribusi penyakit diare berdasarkan orang (umur) sekitar 80% kematian diare tersebut
terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data Tahun 2004 menunjukkan bahwa dari sekitar
125 juta anak usia 0-11 bulan, dan 450 juta anak usia 1-4 tahun yang tinggal di negara
berkembang, total episode diare pada balita sekitar 1,4 milyar kali per tahun. Dari jumlah
tersebut total episode diare pada bayi usia di bawah 0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anak
usia 1-4 tahun sekitar 925 juta kali per tahun (Amiruddin, 2007).
6. Penularan diare

Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh kuman seperti virus


dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui jalur fekal oral yang terjadi karena:

a. Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan
sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran ini terjadi
bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air
pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.
b. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi, mengandung virus atau bakteri
dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang
tersebut hinggap dimakanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang
memakannya (Widoyono, 2008). Sedangkan menurut (Depkes RI, 2005) kuman penyebab
diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, yaitu:
tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan,
menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air
minum yang tercemar, tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar, tidak
mencuci tangan sesudah membuang tinja anak, tidak mencuci tangan sebelum atau sesudah
menyuapi anak dan tidak membuang tinja termasuk tinja bayi
dengan benar.

7. Penanggulangan diare

Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare antara lain:

a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini) Pengamatan yang
dilakukan untuk memperoleh data tentang jumlah penderita dan kematian serta penderita baru
yang belum dilaporkan dengan melakukan pengumpulan data secara harian pada daerah fokus
dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai risiko tinggi terjangkitnya penyakit
diare. Sedangakan pelaksanaan SKD merupakan salah satu kegiatan dari surveilance
epidemiologi yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB (Kejadian
Luar Biasa) diare.

b. Penemuan kasus secara aktif


Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan
karena diare pada saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di masyarakat.

c. Pembentukan pusat rehidrasi


Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan pada
keadaan tertentu misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas atau rumah sakit.

d. Penyediaan logistik saat KLB


Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya KLB diare.
e. Penyelidikan terjadinya KLB
Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan pengamatan intensif
baik terhadap penderita maupun terhadap faktor risiko.
f. Pemutusan rantai penularan penyebab KLB Upaya pemutusan rantai penularan penyakit
diare pada saat KLB diare meliputi peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan
penyuluhan kesehatan.

8. Pencegahan diare

Menurut Depkes RI (2000), penyakit diare dapat dicegah melalui


promosi kesehatan antara lain:

a. Meningkatkan penggunaan ASI (Air Susu Ibu).


b. Memperbaiki praktek pemberian makanan pendamping ASI.
c. Penggunaan air bersih yang cukup.
d. Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan.
e. Penggunaan jamban yang benar.
f. Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak dan bayi yang benar.
g. Memberikan imunisasi campak.

B.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Diare

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit diare antara lain :

1. Faktor sanitasi lingkungan


a. Sumber air minum
Air merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Kebutuhan manusia akan air sangat
komplek antara lain untuk minum, masak, mencuci, mandi dan sebagainya. Di antara
kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh
karena itu, untuk keperluan minum (termasuk untuk memasak) air harus mempunyai
persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia termasuk
diare.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah:

1) Mengambil air dari sumber air yang bersih.


2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup, serta menggunakan
gayung khusus untuk mengambil air.
3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang, anak-anak, dan
sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan sumber pengotoran (tangki
septik), tempat pembuangan sampah dan air limbah harus lebih dari 10 meter.
4) Menggunakan air yang direbus.
5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan cukup (Depkes RI,
2000).
Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari, maka masyarakat menggunakan
berbagai macam sumber air bersih menjadi air minum. Sumber-sumber air minum tersebut
seperti :
1) Air hujan atau Penampungan Air Hujan (PAH)
Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Tetapi air hujan ini tidak
mengandung kalsium. Oleh karena itu, agar dapat dijadikan air minum yang sehat perlu
ditambahkan kalsium di dalamnya
2) Air sungai dan danau
Menurut asalnya sebagian dari air sungai dan air danau ini juga dari air hujan yang
mengalir melalui saluran-saluran ke dalam sungai atau danau. Kedua sumber air ini sering
disebut air permukaan.
3) Mata air
Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah yang muncul secara
alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air ini, bila belum tercemar oleh kotoran sudah dapat
dijadikan air minum langsung, tetapi karena belum yakin apakah betul belum tercemar, maka
sebaiknya air tersebut direbus terlebih dahulu sebelum diminum.
4) Air sumur dangkal
Air ini keluar dari dalam tanah, maka juga disebut air tanah. Dalamnya lapisan air ini
dari permukaan tanah dari tempat yang satu ke tempat yang lain berbeda-beda. Biasanya
berkisar antara 5 sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah.
5) Air sumur dalam
Air ini berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya dari permukaan tanah
biasanya di atas 15 meter. Oleh karena itu, sebagian besar air minum dalam ini sudah cukup
sehat untuk dijadikan air minum yang langsung (tanpa melalui proses pengolahan

b. Kualitas fisik air bersih


Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau.
Menurut Notoatmodjo (2003), syarat-syarat air minum yang sehat adalah sebagai berikut:

1) Syarat Fisik
Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak berwarna), tidak
berasa, tidak berbau, suhu dibawah suhu udara di luarnya, sehingga dalam kehidupan sehari-
hari cara mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik tidak sukar.
2) Syarat Bakteriologis
Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri
patogen. Cara untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen
adalah dengan memeriksa sampel air tersebut. Bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat
kurang dari empat bakteri E. coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan
C.Kepemilikan Jamban
Jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat buang air besar.
Sehingga sebagai tempat pembuangan tinja,
jamban sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi masyarakat
yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan estetika, kenyamanan dan
kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2003), suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1) Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut.


2) Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
3) Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
4) Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan binatang-binatang
lainnya.
5) Tidak menimbulkan bau.
6) Mudah digunakan dan dipelihara.
7) Sederhana desainnya.
8) Murah.
9) Dapat diterima oleh pemakainya.
Menurut Entjang (2000), macam-macam kakus atau tempat pembuangan tinja, yaitu:

1) Pit-privy (Cubluk)
Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80-120
cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu atau bata, dan dapat ditembok
ataupun tidak agar tidak mudah ambruk. Lama pemakaiannya antara 5-15 tahun. Bila
permukaan penampungan tinja sudah mencapai kurang lebih 50 cm dari permukaan tanah,
dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk yang penuh ditimbun dengan tanah. Ditunggu 9-12
bulan. Isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan lubangnya dapat dipergunakan kembali.

2) Aqua-privy (Cubluk berair)


Terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat pembuangan
tinja. Proses pembusukannya sama seperti halnya pembusukan tinja dalam air kali. Untuk
kakus ini, agarberfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik sedang
dipergunakan atau tidak.

3) Watersealed latrine (Angsa-trine)


Jamban jenis ini merupakan cara yang paling memenuhipersyaratan, oleh sebab itu
cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk
leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat, sehingga
bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus.

4) Bored hole latrine


Sama dengan cubluk, hanya ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang
tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.
5) Bucket latrine (Pail closet)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di tempat lain,
misalnya untuk penderita yang tidak dapat meninggalkan tempat tidur.

6) Trench latrine
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat penampungan tinja. Tanah
galiannya dipakai untuk menimbuninya.

7) Overhung latrine
Kakus ini semacam rumah-rumahan yang dibuat di atas kolam, selokan, kali dan rawa.

8) Chemical toilet (Chemical closet).


Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga dihancurkan
sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakandalam kendaraan umum, misalnya pesawat
udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam rumah sebagai pembersih tidak
dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet paper).
Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo,2004) jenis tempat pembuangan tinja yang terbanyak
digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa (68,3%), sedangkan 7,9%
menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak memiliki jamban.
2. Faktor perilaku
Faktor perilaku yang dapat menyebabkan kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya
diare (Depkes RI, 2005). Perilaku-perilaku itu antara lain:

a. Tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4-6 bulan.
b. Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh kuman karena
botol susu susah dibersihkan.
c. Menggunakan air minum yang tercemar.
d. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang
tinja anak.
e. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar.

D. Prinsip Tatalaksana Penderita Diare


Intervensi untuk menurunkan angka kematian dan angka kesakitan adalah melaksanakan
tatalaksana penderita diare, yaitu:
1. Mencegah terjadinya dehidrasi
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan
minum lebih banyak dengan cairan rumah tangga yang dianjurkan.

2. Mengobati dehidrasi
Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas
kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang lebih cepat dan tepat,
yaitu dengan oralit.

3. Memberi makanan
Memberikan makanan selama serangan diare sesuai yang dianjurkan dengan
memberikan makanan yang mudah dicerna. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering
diberi ASI. Setelah diare berhenti, pemberian makanan diteruskan selama dua minggu untuk
membantu pemulihan berat berat badan anak.
4. Mengobati masalah lain
Apabila diketemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka diberikan
pengobatan sesuai anjuran, dengan tetap mengutamakan
Reliability

Case Processing Summary


Hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada
Rangkuman Hasil Analisis Bivariat Hubungan Sumber
Air Minum, Kualitas Fisik Air Bersih, Kepemilikan
Jamban dan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Diare
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari
Kabupaten Boyolali Tahun 2009
No Variabel Nilai p Hipotensi
1 Sumberair minum
2 Kualitas fisik 0,307 Tidak ada
hubungan
3 Kepemilikan jamban 0,705 Ada hubungan
4 Jenis lantai rumah 0,036 Ada hubungan

Anda mungkin juga menyukai