KEPERAWATAN
FUNGSI PERENCANAAN
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
PRODI S1 KEPERAWATAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengorganisasian adalah hal penting untuk dipelajari, pengorganisasian
mencakup hal-hal yang diatur untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Antara
pimpinan dan bawahan, atau antara ketua dan staf memiliki saling keterkaitan
tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Pengorganisasian adalah fungsi
manajemen yang juga mempunyai peranan penting seperti halnya fungsi perencanaan.
Dengan fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimiliki oleh intitusi
pelayanan kesehatan (manusia dan bukan manusia) diatur penggunaannya secara
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan institusi.
Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan
mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-tugas pokok dan wewenang
dan pendelegasian wewenang oleh pimpinan kepada staf untuk mencapai tujuan
organisasi. Rumah sakit merupakan sebuah institusi perawatan kesehatan profesional
yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan
lainnya.
Pengorganisasian dalam manajemen keperawatan mempunyai banyak aktifitas
penting, antara lain bagaimana asuhan keperawatan dikelola secara efektif dan efisien
untuk sejumlah pasien di rumah sakit dengan jumlah staf keperawatan dan fasilitas
yang ada. Untuk diperlukan pembagian tugas, kerja sama, dan koordinasi sehingga
semua pasien mendapatkan pelayanan yang optimal. Oleh karena itu menejer
keperawatan perlu menetapkan kerangka kerja, yaitu dengan cara: mengelompokan
dan membagi kegitan yang harus dilakukan, menentukan jalinan hubungan kerja
antara tenaga dan menciptakan hubungan antara kepala-staf melalui penugasan,
delegasi dan wewenang.
Suatu rumah sakit memerlukan pengorganisasian untuk melancarkan suatu
tujuan dengan sukses. Organisasi rumah sakit memiliki pemimpin dan staf-staf yang
bergerak dibidangnya agar organisasi di rumah sakit mampu mejalankan pelayanan
yang optimal. Pengorganisasian dalam manajemen keperawatan mempunyai
banyak aktifiaspenting, antara lain bagaimana asuhan keperawatan dikelola
secara efektif dan efisien untuk sejumlah pasien di rumah sakit dengan jumlah
staf keperawatan dan fasilitas yang ada.
Pengorganisasian pelayanan keperawatan secara optimal akan menentukan
mutu pelayanan keperawatan yang diberikan yang menjadi bahasan dalam pelayaan
keperawatan diruang rawat meliputi: struktur organisai ruang rawat, pengelompokkan
kegiatan (metode pengawasan), koordinasi kegiatan dan evaluasi kegiatan kelompok
kerja yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang struktur organisasi dalam
pelayanan keperawatan untuk mencapai tujuan.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi pengorganisasian
2. Untuk mengetahui fungsi pengorganisasian
3. Untuk mengetahui tujuan pengorganisasian
4. Untuk mengetahui prinsip pengorganisasian
5. Untuk mengetahui proses pengorganisasian
6. Untuk mengetahui struktur pengorganisasian
1.3 Manfaat
1. Mahasiswa memahami tentang pengorganisasian keperawatan di rumah sakit
2. Mahasiswa paham tentang proses pengorganisasian di pelayan kesehatan yang
ada pada rumah sakit
3. Menambah wawasan mahasiswa tentang pengorganisasian pada rumah sakit
BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Perencanaan
Perencanaan merupakan usaha sadar dan pembuatan keputusan yang telah diperhitungkan
secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan dalam dan oleh suatu
organisasi dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Siagian, 2007).
Perencanaan adalah sejumlah keputusan yang menjadi pedoman untuk mencapai suatu tujuan
tertentu (Hasibuan, 2005).
1) Pengertian
Perencanaan SDM adalah kegiatan merencanakan tenaga kerja agar sesuai dengan
kebutuhan organisasi serta efektif efisien dalam membantu terwujudnya tujuan
(Hasibuan, 2005). Perencanaan SDM kesehatan adalah proses estimasi terhadap jumlah
SDM berdasarkan tempat, keterampilan, dan perilaku yang dibutuhkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan (Ilyas, 2004).
BAB 3
RINGKASAN ARTIKEL
A. LATAR BELAKANG
Banyaknya tuntutan masyarakat dengan pelayanan keperawatan serta munculnya
persaingan pada banyak instansi. Hal ini mendesak perawat harus bisa berlomba-lomba
meningkatkan kualitas jasa pelayanan, terutama pada pelayanan keperawatan di rawat
inap. Pelayanan keperawatan adalah hal yang harus mendapat perhatian, penjagaan dan
peningkatan kualitasnya sesuai dengan standarnya yang berlaku. Masyarakat selaku klien
atau pasien dirumah sakit akan merasakan pelayanan keperawatan yang memuaskan, jika
pelayanannya berkualitas (Asmuji, 2013).
Pekerjaan seorang perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan tidak terlepas
dari peraturan jam kerja disuatu rumah sakit yang lebih dikenal dengan istilah shift kerja.
Pada system shift kerja akan menimbulkan berbagai dampak positif, namun adanya shift
kerja malam dapat menimbulkan akibat yang cukup mengganggu pekerja khususnya,
seperti mengalami kurang tidur.
Fungsi manajemen keperawatan yang pertama merupakan fungsi perencanaan. Fungsi
manajemen perencanaan ialah tahapan penting dan salah satu yang diutamakan dalam
fungsi manajemen yang lainnya. Ketidaklayakan perencanaan dapat menimbulkan
kegagalan dalam proses manajemen (Maurits, 2011).
B. RINGKASAN ARTIKEL
Tujuan dari studi ini yaitu Untuk melihat hubungan fungsi perencanaan kepala ruangan
dengan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan di ruang rawat inap
RSUD Samarinda. Metodologi yang digunakan ialah Pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling. Metode yang digunakan yaitu cross sectional dengan uji bivariat Chi
Square dengan taraf signifikan α 0,05 dan CI 95 %. Hasilnya menunjukan analisis
hubungan antara fungsi perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat di RSUD
Samarinda diperoleh nilai P Value 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 berarti hipotesa nol
(Ho) ditolak yaitu ada hubungan signifikan antara fungsi perencanaan dengan kinerja
perawat. Terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi perencanaan kepala ruangan
dengan kinerja perawat di RSUD Samarinda. Manfaatnya Sebagai panutan dan referensi
pada penelitian yang akan diteliti berhubungan dengan fungsi perencanaan dan kinerja
perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan.
C. PEMBAHASAN
Kegiatan perencanaan kepala ruang ialah menjalankan tujuan, standard, prosedur,
kebijakan atau peraturan yang bersangkutan dengan keselamatan pasien dan perawat.
Sangat diperlukannya perencanaan kerena hal ini menjadi tumpuan bagi perawat dalam
bekerja. (Gillies,2012). Rumah Sakit Umum Daerah Samarinda mempunyai 3 ruang
rawat inap dengan jumlah perawat 72 orang. Berdasarkan hasil wawanccara dari 11
perawat dan 3 kepala ruangan pada tanggal 15 Juli 2018 telah didapatkan 7 perawat
(63,6%) pelaksanaan fungsi perencanaan masih belum maksimal yaitu kepala ruangan
masih belum bisa dalam merencanakan jadwal roling dinas dengan baik sehingga ada
yang saling bentrok. Selain itu 4 perawat (36,4%) mengatakan dalam merencanakan
amprahan barang ruangan, kepala ruang kurang mengetahui kebutuhan barang ruangan
sehingga selalu saja ada yang belum terpenuhi. Kemudian 8 perawat (72,7%) yang
menyatakan kurang puas dengan fungsi perencanaan karena kepala ruangan tidak
merencanakan jadwal supervise dengan tepat dan sering berubah sehingga kurang
maksimal persiapan sehingga merugikan perawat pelaksana dalam peningkatan jenjang
karir. Sedangkan dari 3 kepala ruangan didapatkan 2 karu (66,7%) mengatakan belum
bisa memenuhi fungsi perencanaan dengan baik karena terbatasnya SDM perawat
pelaksana sehingga jadwal roling ada yang berlebih. Selain itu 1 karu (33,3%)
mengatakan untuk fungsi perencanaan di ruangannya sudah dilaksanakan dengan baik.
Dalam kinerja perawat di RSUD dari 11 perawat, 9 perawat (81,82%) menyatakan
terkadang menukar shift tanpa pengetahuan atasan, 6 perawat (54,54%) menyatakan
jarang merespon keluhan pasien (kepanasan, mengeluh ingin diganti plestter infusnya dan
sebagainya), dan 10 perawat (90,91%) menyatakan tidak pernah mengenalkan namanya
saat pertama kali bertemu pasien dan perawat memperkenalkaan nama jika berbincang
setelah sudah akrab dengan pasien.Kurangnya perencanaan dari kepala ruang
mengakibatkan kualitas pelayanan keperawatan kurang optimal. Hal itu terjadi karena
terjadi kesalahpahaman antara kepala ruang dengan perawat pelaksanan yang berakibat
perawat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya kepada pasien tidak optimal.Dengan
fenomena ini peneliti tertarik untuk menelitian dengan judul hubungan fungsi
perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam memberikan Pelayanan
keperawatan di ruang rawat inap RSUD Samarinda.
Kemudian Karakteristik berdasarkan 61 responden sebagian besar usia responden
adalah 26-35 tahun sebanyak 40 orang (65.6%), sebagian besar responden adalah
perempuan sebanyak 47 orang (77.0%), sebagian besar responden memiliki masa kerja
kurang dari 5 tahun sebanyak 24 orang (39.3%), sebagian besar responden adalah
pendidikan D III Keperawatan sebanyak 51 orang (83.6%).Hasil fungsi perencanaan
kepala ruangan didapatkan sebagian besar baik sebanyak 32 orang (52.5%) dan tidak
kurang sebanyak 29 orang (47.5%).Hasil kinerja perawat didapatkan sebagian besar baik
sebanyak 37 orang (60,7%) dan kurang baik sebanyak 24 orang (39.3%).Hasil uji statistik
diperoleh p value 0,000 (<0,05%) yang artinya ada hubungan antara fungsi perencanaan
kepala ruangan dengan kinerja perawat di RSUD Samarinda.
Implementasi dari fungsi perencanaan ini Menurut analisis bahwa kinerja dipengaruhi
oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan masa kerja. Hal ini terjadi karena
sebagian besar perawat pelaksana adalah perempuan. Oleh sebab itu perawat untuk tetap
meningkatkan kinerja dalam menerapkan manajemen yang telah diberkan oleh kepala
ruangan masing-masing. Hasil analisa bivariat didapatkan p value 0,000 (<0,05%) yang
artinya ada hubungan antara fungsi perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat
di RSUD Samarinda. Kemudian didapatkan OR (Odd Ratio) yang artinya fungsi
perencanaan berpengaruh 5,80 kali terhadap kinerja perawat di RSUD. Menurut Asumsi
akan mudah mencapai tujuan bila fungsi perencanaan dilaksanakan dengan baik, manajer
dan staff akan mengetahui tujuan dengan jelas. Menempatkan staf bedasarkan
kemampuan, pendidikan, pengalaman, kepribadian adalah salah satu fungsi perencanaan
sehingga dapat memenuhi penempatan pada jabatannya dengan waktu dan gaji yang
tepat.
A. Critical Appraisal
Apa hasil penelitian ini dan apakah hasil itu Hasil penelitian menjawab pertanyaan
dapat menjawab pertanyaan penelitian? penelitian. Berdasarkan fungsi perencanaan
kepala ruangan didapatkan sebagian besar
baik sebanyak 32 orang (52.5%) dan tidak
baik sebanyak 29 orang (47.5%). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Perceka (2017)
bahwa fungsi perencanaan di RS.
Pameungpeuk Garut sebagian besar baik
sebanyak 51.5%.Peneliti berasumsi bahwa
akan mudah mencapai tujuan apabila
perencanaan telah dilaksanakan. Agar dapat
mengetahui tujuan yang jelas harus
terlaksana dengan perencanaan yang baik.
Berdasarkan kinerja perawat didapatkan
sebagian besar baik sebanyak 37 orang
(60,7%) dan tidak baik sebanyak 24 orang
(39.3%)
Apakah hasil penelitian dapat dipercaya? Ya, karena didapatkan OR (Odd Ratio) yang
artinya fungsi perencanaan berpengaruh 5,80
kali terhadap kinerja perawat di RSUD.Hasil
pada penelitian ini sesuai dengan penelitian
Rohmawati (2016), terdapat hubungan yang
signifikan antara pelaksanaan asuhan
keperawatan yang baik dengan fungsi
perencanaan kepala ruangan yang efektif
dengan hasil p value 0,001. adapun penelitian
dari Saputra (2013), bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara budaya
organisasi dengan motivasi kerja perawat
pelaksana dengan hasil p value (0,000).
Penelitian ini serasi pada pendapat Gillies
(2010), mengemukakan bahwa kepala
ruangan yang optimal dalam melakukan
fungsi perencanaan bisa memberikan tujuan
kepada perawat pelaksana, meminimalisir
peralihan yang terjadi, hal yang berlebih, dan
menentukan standar yang akan pergunakan
dalam melaksanakan pengawasan dan
peraihan tujuan.
Apa kesimpulan yang ditarik pada penelitian Kesimpulan sudah berdasarkan hasil
ini, dan apakah kesimpulan tersebut penelitian yaitu dimana disebutkan bahwa
berdasarkan hasil penelitian? Terutama, hasil fungsi perencanaan kepala ruangan
apakah penjelasan alternative sudah didapatkan sebagian besar baik sebanyak 37
dieksplorasi? orang (60,7%) dan kurang baik sebanyak 24
orang (39.3%). Hasil uji statistik diperoleh p
value 0,000 (<0,05) yang artinya ada
hubungan antara fungsi perencanaan kepala
ruangan dengan kinerja perawat di RSUD
Samarinda. Kemudian didapatkan OR (Odd
Ratio) yang artinya fungsi perencanaan
berpengaruh 5,80 kali terhadap kinerja
perawat di RSUD.
a. Strenghts (kekuatan)
- Berdasarkan usia sebagian besar usia responden adalah 26-35 tahun sebanyak 40
orang (65.6%). Hal ini menunjukkan banyak perawat pelaksana di RSUD
Samarinda merupakan usia yang produktif dalam bekerja.
- 1 karu (33,3%) mengatakan untuk fungsi perencanaan di ruangannya sudah
dilaksanakan dengan baik.
- Hasil fungsi perencanaan kepala ruangan didapatkan sebagian besar baik
sebanyak 32 orang (52.5%) dan tidak kurang sebanyak 29 orang (47.5%).
- Hasil kinerja perawat didapatkan sebagian besar baik sebanyak 37 orang (60,7%)
dan kurang baik sebanyak 24 orang (39.3%).
- Sekitar 70 % perawat berjenis kelamin perempuan dan sisanya 30 % berjenis
kelamin laki-laki
b. Weakness (kelemahan)
- Didapatkan 7 perawat (63,6%) pelaksanaan fungsi perencanaan masih belum
maksimal yaitu kepala ruangan masih belum bisa dalam merencanakan jadwal
roling dinas dengan baik sehingga ada yang saling bentrok.
- Didapatkan 4 perawat (36,4%) mengatakan dalam merencanakan amprahan
barang ruangan, kepala ruang kurang mengetahui kebutuhan barang ruangan
sehingga selalu saja ada yang belum terpenuhi.
- Didapatkan 8 perawat (72,7%) yang menyatakan kurang puas dengan fungsi
perencanaan karena kepala ruangan tidak merencanakan jadwal supervise dengan
tepat dan sering berubah sehingga kurang maksimal persiapan yang dapat
merugikan perawat pelaksana dalam peningkatan jenjang karir.
- Dari 3 kepala ruangan didapatkan 2 karu (66,7%) mengatakan belum bisa
memenuhi fungsi perencanaan dengan baik karena terbatasnya SDM perawat
pelaksana sehingga jadwal roling ada yang berlebih.
- Dalam kinerja perawat di RSUD dari 11 perawat, 9 perawat (81,82%) menyatakan
terkadang menukar shift tanpa pengetahuan atasan, 6 perawat (54,54%)
menyatakan jarang merespon keluhan pasien (kepanasan, mengeluh ingin diganti
plestter infusnya dan sebagainya), dan 10 perawat (90,91%) menyatakan tidak
pernah mengenalkan namanya saat pertama kali bertemu pasien dan perawat
memperkenalkaan nama jika berbincang setelah sudah akrab dengan pasien.
- Sebagian besar responden pendidikan D III Keperawatan yaitu 51 orang (83.6%)
dan S1 Keperawatan Ners hanya 10 orang (16.4%).
- Berdasarkan masa kerja responden didapatkan kerja kurang dari 5 tahun lebih
banyak yaitu 24 orang (39.3%), 5-10 tahun sebanyak 20 orang (32.8%) dan lebih
dari 10 tahun sebanyak 17 orang (27,9%).
c. Opportunities (peluang)
- Banyaknya tuntutan dan harapan dari masyarakat untuk dapat menerima
pelayanan keperawatan yang professional, hal ini dapat memicu semangat para
perawat untuk berlomba-lomba dalam meningkatkan kualitas jasa pelayanan,
terutama pada pelayanan keperawatan di rawat inap.
d. Threats (ancaman)
- Munculnya persaingan pada banyak instansi
C. Implikasi Keperawatan
a. Jurnal 1
1) Judul : Implementation of Nursing Rounds and Discharge
Planning in Fatmawati Hospital Jakarta
2) Latar Belakang
Proses discharge planning dilakukan secara komprehensif dan melibatkan
kegiatan multidisiplin yang mencakup semua penyedia layanan kesehatan
yang terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, serta
pelibatan pasien dan keluarga.. Perencanaan pemulangan diperlukan, terkait
dengan karakteristik pasien di RS Fatmawati dari seluruh provinsi dan terjadi
peningkatan proporsi pasien dengan tingkat keparahan 3 (hingga 30-40%
kasus), yang berarti pasien yang datang memiliki penyakit dengan tingkat
komplikasi utama.
Berdasarkan observasi selama kurang lebih 3 bulan, perawat mengalami
masalah diantaranya: kurangnya integrasi antar caregiver untuk pelaksanaan
discharge planning. Di Selain itu, tidak semua pengasuh profesional secara
konsisten merencanakan perencanaan pemulangan, jadi perkiraan lama rawat
inap seringkali tidak dapat ditentukan, dan lama rawat inap pasien menjadi
memanjang. Putaran keperawatan efektif dalam meningkatkan kualitas
perawat kinerja dan peningkatan kepuasan pasien terhadap pelayanan
keperawatan. Putaran dengan langsung interaksi dengan pasien dapat
membantu mengidentifikasi kebutuhan pasien, kondisi dan lingkungan yang
akan mendukung pemulihan pasien dan menjadi solusi pemecahan masalah.
Perlu ada sosialisasi pelaksanaan ronde dan keterlibatan pengurus dalam
managers proses optimalisasi perencanaan pemulangan.
3) Tujuan
mengidentifikasi optimalisasi putaran keperawatan dan pelaksanaan
discharge planning di RS Fatmawati Jakarta.
4) Metode
Inovasi yang disepakati dengan perawat manajer berupa pelaksanaan ronde
keperawatan yang diharapkan berdampak pada penyempurnaan pelaksanaan
discharge planning, serta revisi standar operasional prosedur dan formulir
discharge planning sesuai dengan Standar Akreditasi Nasional.
5) Hasil
Hasil penelitian mengidentifikasi adanya kendala dalam pelaksanaan
discharge planning yang berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan
discharge planning dan penetapannya dari lama tinggal. Hasil adalah
peningkatan pengetahuan kepala perawat dan manajer perawatan klinis
terkait manajemen keperawatan putaran (49,25%) dan mengalami
peningkatan (39,13%). Manajer keperawatan menyetujui standar prosedur
operasional draft discharge planning dan formulir discharge planning.
Sosialisasi debit perencanaan kepada dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, dan
tenaga kesehatan lainnya diperlukan untuk mendukung pasien keamanan dan
kenyamanan sebelum pulang.
6) Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sosialisasi ronde manajemen
keperawatan adalah efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan
pengalaman pasien. Ronde keperawatan dapat membantu perawat dalam
menemukan solusi pemecahan masalah yang kompleks terkait dengan asuhan
keperawatan termasuk pemulangan perencanaan.
7) Rekomendasi
Saran penulis mungkin diperlukan untuk perbaikan mutu dalam pelaksanaan
discharge planning oleh manajemen keperawatan dengan melibatkan seluruh
staf untuk menindaklanjuti permasalahan yang terjadi saat melakukan
discharge planning. Rekapitulasi angka penerimaan kembali harus
didokumentasikan setiap bulan untuk: mengevaluasi keberhasilan
perencanaan pemulangan. Selain itu, pelaksanaan pelepasan perencanaan
terkait pendidikan perlu dilakukan. Manajer memberikan motivasi kepada
staf atas dasar pelaksanaan discharge planning kepada pasien sebelum pulang
dengan komunikasi yang efektif.
8) Daftar Pustaka
Sihura, Sancka Stella Ganiasnda. Dkk. 2019. Implementation of Nursing
Rounds and Discharge Planning in Fatmawati Hospital Jakarta. International
Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), Volume 2, Issue 1, March
2019, hal. 117-128.
b. Jurnal 2
1) Judul : Analisis Ketidaksinambungan Dokumentasi Perencanaan
Asuhan Keperawatan : Metode Ishikawa
2) Latar Belakang
Perencanaan asuhan keperawatan merupakan kunci dari continuity of care.
Dokumentasi perencanaan asuhan keperawatan yang tidak saling
berkesinambungan dalam rekam medis berdampak pada kualitas asuhan
pasien. Oleh sebab itu dilakukan studi kasus manajemen keperawatan untuk
mencari akar masalah ketidaksinambungan tersebut dan melakukan pemetaan
sebagai upaya meningkatkan mutu perencanaan asuhan keperawatan primer.
Pembahasan hasil telusur ini akan menganalisis upaya-upaya peningkatkan
kualitas POC terintegrasi melalui fungsi manajemen keperawatan
3) Tujuan
Tujuan studi ini adalah menganalisis penyebab fenomena ketidaksinambungan
tersebut sehingga dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan bagi
pelayanan asuhan keperawatan.
4) Metode
Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan analisis gap
antara kondisi yang terjadi dengan kondisi ideal. Studi ini menganalisis
fenomena berdasarkan pendekatan fungsi manajemen keperawatan dan
metode Ishikawa. Teknik pengumpulan datanya adalah dengan cara
wawancara, observasi dan data sekunder dari studi dokumentasi data rumah
sakit. Responden dipilih dengan cara tehnik purposive sampling sejumlah
sembilan orang manajer keperawatan.
5) Hasil
Hasil analisis Ishikawa menemukan penyebab utama adalah lembar POC pada
awalnya diberlakukan oleh pokja akreditasi rumah sakit sehingga setelah
penilaian akreditasi selesai keberlanjutannya terhambat. Selain itu ditemukan
juga masalah lain sepertipengetahuan perawat tentang metode penugasan
perawat primer, ketenagaan dan supervisi rekam medis POC yang belum
optimal
6) Kesimpulan
Kesimpulan dari analisis fungsi manajemen keperawatan diperoleh bahwa
fungsi pengarahan dan fungsi pengendalian perlu ditingkatkan agar
dokumentasi perencanaan asuhan keperawatan lebih optimal.
7) Rekomendasi
Kepala ruang juga direkomendasikan untuk mengajukan pengadaan papan
berjalan untuk setiap rekam medis di ruang ICU agar lembar POC, flowsheet
dan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) menjadi satu kesatuan
yg utuh tidak terpisah-pisah.
8) Daftar Pustaka
Christina, Purnama. Dkk. 2019. Analisis Ketidaksinambungan Dokumentasi
Perencanaan Asuhan Keperawatan : Metode Ishikawa. Jurnal Ilmiah
Kesehatan (JIK) Vol XII, No II, September 2019.
c. Jurnal 3
1) Judul : Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang Dengan
Penerapan Patient Safety Culture Di Rumah Sakit
Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2) Latar Belakang
Langkah awal yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk memperbaiki
mutu pelayanan terkait keselamatan pasien adalah dengan menerapkan patient
safety culture. Patient safety culture harus dimulai dari pemimpin, hal ini
sejalan seperti yang diungkapkan oleh National Quality Forum (NQF), 2006.
Manajemen fungsi kepala ruang merupakan salah satu faktor penting yang
berperan dalam keberhasilan program patient safety culture.
3) Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala
ruang dengan penerapan patient safety culture oleh perawat pelaksana di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
4) Metode
Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner checklist dengan
menyebarkan angket, analisis hubungan fungsi manajemen kepala ruang
dengan penerapan patient safety culture menggunakan uji chi square.
5) Hasil
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara fungsi
manajemen kepala ruang pada perencanaan, pengorganisasian, pengaturan
staf, dan pengendalian dengan penerapan patient safety culture. Tidak ada
hubungan yang signifikan antara fungsi pengarahan kepala ruang dengan
penerapan patient safety culture. Kepala ruang perlu untuk selalu
meningkatkan fungsi pengarahan dan pengendalian dalam upaya
membudayakan patient safety sehingga akan terciptanya kualitas keselamatan
pasien.
6) Kesimpulan
Hasil analisa uji statistik penelitian menemukan bahwa antara fungsi
manajemen kepala ruang dengan penerapan patient safety culture
menunjukkan ada hubungan yang bermakna pada fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pengaturan staf dan pengendalian, sedangkan hasil analisa
statistik pada fungsi pengarahan menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna.
7) Rekomendasi
Perawat pelaksana diharapkan untuk melakukan asuhan keperawatan yang
aman bagi pasien, meningkatkan pengetahuan tentang keselamatan pasien
melalui pelatihan dan mengupayakan untuk meningkatkan pendidikan
keperawatan berlanjut serta membudayakan patient safety di unit ruang rawat
masing- masing.
8) Daftar Pustaka
Anwar. Dkk. 2016. HUBUNGAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA
RUANG DENGAN PENERAPAN PATIENT SAFETY CULTURE DI
RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH. Idea
Nursing Journal Vol. VII No. 1 2016
BAB 5
A. Kesimpulan
Fungsi perencanaan pada pelaksanaan pelayanan keperawatan, sangat penting dan
dibutuhkan dalam melakukan kegiatan sehari-hari perawat. Untuk mencapai tujuan yang
sudah di tetapkan, harus ada perencenaan yang matang agar tepat sasaran. Dari beberapa
jurnal yang kami dapatkan dapat disimpulkan, fungsi perencaan terdapat hubungan
dalam manajemen kepala ruangan untuk mengendalikan pengarahan dan pengendalian
dalam upaya membudayakan kualitas keselamatan pasien, mengoptimalkan dokumentasi
asuhan keperawatan pasien oleh perawat, dan juga meningkatkan kinerja perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Sehingga akan tercapainya tujuan pelanyanan
keperawatan secara komprehensif oleh perawat dalam suatu Rumah Sakit.
B. Saran
Diharapkan perawat bisa menjalankan perencanaan yang sudah dibuat oleh Rumah
Sakit ataupun Kepala Ruangan, dalam memberikan pelayanan sehari-hari kepada pasien
sehingga tercapainya tujuan Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan keperawatan
secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
1. PENDAHULUAN
Banyaknya tuntutan masyarakat dengan pelayanan keperawatan serta munculnya persaingan pada banyak
instansi. Hal ini mendesak perawat harus bisa berlomba-lomba meningkatkan kualitas jasa pelayanan,
terutama pada pelayanan keperawatan di rawat inap. Pelayanan keperawatan adalah hal yang harus mendapat
perhatian, penjagaan dan dpeningkatan kualitasnya sesuai dengan standarnya yang berlaku. Masyarakat selaku
klien atau pasien dirumah sakit akan merasakan pelayanan keperawatan yang memuaskan, jika pelayanannya
berkualitas (Asmuji, 2013).Hal ini terkait dengan adanya perawat yang bertugas selama 24 jam melayani
pasien, serta jumlah perawat yang mendominasi tanaga kesehatan dirumah sakit, yaitu berkisar 40 – 60 %.
Karena itu, rumah sakit haruslah memiliki perawat yang berkinerja baik yang menunjang kinerja rumah sakit
sehingga dapat tercapai kepuasaan klien/ pasien (Swanburg, 2014). Pekerjaan seorang perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan tidak terlepas dari peraturan jam kerja disuatu rumah sakit yang lebih
dikenal dengan istilah shift kerja. Pada system shift kerja akan menimbulkan berbagai dampak positif, namun
adanya shift kerja malam dapat menimbulkan akibat yang cukup mengganggu pekerja khususnya, seperti
mengalami kurang tidur (Maurits, 2011).
Kinerja ialah hasil kerja yang melihat kualitas dan kuantitas yang diraih karyawan dalam melakukan kegiatan
sesuai acuan. Kinerja merupakan tindakan yang dilaksanakan setelah hasil kerja yang diraih seseorang atau
kelompok dalam suatu organisasi sesuai dengan pedoman untuk mencapai tujuan organisasi berkaitan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika (Usman, 2011). Fungsi manajemen
keperawatan yang pertama merupakan fungsi perencanaan. Fungsi manajemen perencanaan ialah tahapan
penting dan salah satu yang diutamakan dalam fungsi manajemen yang lainnya. Ketidaklayakan perencanaan
dapat menimbulkan kegagalan dalam proses manajemen.
Kegiatan perencanaan kepala ruang ialah menjalankan tujuan, standard, prosedur, kebijakan atau peraturan
yang bersangkutan dengan keselamatan pasien dan perawat. Sangat diperlukannya perencanaan kerena hal ini
menjadi tumpuan bagi perawat dalam bekerja. (Gillies,2012). Rumah Sakit Umum Daerah Samarinda
mempunyai 3 ruang rawat inap dengan jumlah perawat 72 orang. Berdasarkan hasil wawanccara dari 11
perawat dan 3 kepala ruangan pada tanggal 15 Juli 2018 telah didapatkan 7 perawat (63,6%) pelaksanaan
fungsi perencanaan masih belum maksimal yaitu kepala ruangan masih belum bisa dalam merencanakan
jadwal roling dinas dengan baik sehingga ada yang saling bentrok. Selain itu 4 perawat (36,4%) mengatakan
dalam merencanakan amprahan barang ruangan, kepala ruang kurang mengetahui kebutuhan barang ruangan
sehingga selalu saja ada yang belum terpenuhi. Kemudian 8 perawat (72,7%) yang menyatakan kurang puas
dengan fungsi perencanaan karena kepala ruangan tidak merencanakan jadwal supervise dengan tepat dan
sering berubah
sehingga kurang maksimal persiapan sehingga merugikan perawat pelaksana dalam peningkatan jenjang karir. Sedangkan
dari 3 kepala ruangan didapatkan 2 karu (66,7%) mengatakan belum bisa memenuhi fungsi perencanaan dengan baik karena
terbatasnya SDM perawat pelaksana sehingga jadwal roling ada yang berlebih. Selain itu 1 karu (33,3%) mengatakan untuk
fungsi perencanaan di ruangannya sudah dilaksanakan dengan baik. Dalam kinerja perawat di RSUD dari 11 perawat, 9
perawat (81,82%) menyatakan terkadang menukar shift tanpa pengetahuan atasan, 6 perawat (54,54%) menyatakan jarang
merespon keluhan pasien (kepanasan, mengeluh ingin diganti plestter infusnya dan sebagainya), dan 10 perawat (90,91%)
menyatakan tidak pernah mengenalkan namanya saat pertama kali bertemu pasien dan perawat memperkenalkaan nama jika
berbincang setelah sudah akrab dengan pasien.Kurangnya perencanaan dari kepala ruang mengakibatkan kualitas pelayanan
keperawatan kurang optimal. Hal itu terjadi karena terjadi kesalahpahaman antara kepala ruang dengan perawat pelaksanan
yang berakibat perawat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya kepada pasien tidak optimal.Dengan fenomena ini peneliti
tertarik untuk menelitian dengan judul hubungan fungsi perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat dalam
memberikan Pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Samarinda.
2. METODOLOGI
Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi kuantitatif yang mengunakan rancangan deskriptif dengan pendekatan cross
sectional, dimana variabel independen dan variabel dependen dilakukan bersamaan diwaktu yang sama (Nursalam, 2008).
Penelitian ini dilaksanakan pada perawat pelaksana dan kepala ruangan di ruang rawat inap. Dengan tujuan mengetahui
hubungan antara fungsi manajemen kepala ruangan untuk mengetahui pendapat atau pemahaman perawat pelaksana
sekaligus mengevaluasi kinerja perawat. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 72 responden di RSUD
Samarinda. Jumlah sampel yaitu 61 responden.
Berdasarkan dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 61, terdapat 11 orang (18.0 %) yang berusia 17 – 25 tahun, sedangkan di
usia 26 – 35 tahun terdapat 40 orang (65.6 %) dan 10 orang (16.4%) berusia 36 – 45 tahun.Berdasarkan jenis kelamin dari 61
responeden terdapat 14 orang (23.0 %) berjenis kelamin laki – laki sedangkan ada 47 orang ( 77.0 %) berjenis kelamin
perempuan.Berdasarkan lama kerja dapat dilihat 61 orang, terdapat 24 orang (39.3 %) bekerja kurang dari 5 tahun adapula
yang bekerja 5 tahun - 10 tahun terdapat 20 orang (32.8 %), sedangkan 17 orang (27.9 %) sudah bekerja lebih 10
tahun.Berdasarkan pendidikan dapat dilihat bahwa dari 61 responden, tedapat 51 orang (83.6 %) lulusan D III Keperawatan
dan 10 orang ( 16.4 %) lulusan S1 Keperawatan + Ners.
Fungsi perencanaan kepala ruangan didapatkan sebagian besar baik sebanyak 32 orang (52.5%) dan tidak kurang sebanyak 29
orang (47.5%).
Tabel 3: Distribusi Kinerja Perawat di RSUD Samarinda
No Kinerja Perawat Frekuensi Persentase
1. Tidak baik 24 39.3 %
2. Baik 37 60.7 %
Total 61 100.0 %
Pada Tabel 3 dengan variabel dependen kinerja pada perawat ada dua kategori yaitu tidak baik dan baik. Dapat dilihat bahwa
kinerja perawat di RSUD I.A. Moeis Samarinda baik sebanyak 37 orang ( 60.7 %) sedangkan yang tidak baik sebanyak 24
orang (39.3%).
Hasil analisa bivariat didapatkan p value 0,000 (<0,05) yang artinya ada hubungan antara fungsi perencanaan kepala ruangan
dengan kinerja perawat di RSUD Samarinda. Kemudian didapatkan OR (Odd Ratio) yang artinya fungsi perencanaan
berpengaruh 5,80 kali terhadap kinerja perawat di RSUD.
Berdasarkan pendidikan responden didapatkan sebagian besar responden adalah D III Keperawatan yaitu 51 orang (83.6%)
dan S1 Keperawatan Ners sebanyak 10 orang (16.4%). Pendidikan ialah suatu penilian yang dapat melihat kemampuan
pegawai untuk dapat menuntaskan suatu pekerjaan. Pendidikan melatar belakangi seseorang yang dianggap mampu
memegang jabatan (Hasibuan, 2015). Oleh sebab itu peneliti menyarankan kepada kepala ruangan untuk bisa lebih
memfasilitasi SDM dengan meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, sehingga perawat pelaksana bisa mendapatkan ilmu
terbaru dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Dan perawat yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi diharapkan
agar dapat menuntaskan tugasnya dengan memikirkan berbagai arah yang berkaitan pada pekerjaan tersebut, sehingga
pelaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ada. Berdasarkan fungsi perencanaan kepala ruangan didapatkan
sebagian besar baik sebanyak 32 orang (52.5%) dan tidak baik sebanyak 29 orang (47.5%). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Perceka (2017) bahwa fungsi perencanaan di RS. Pameungpeuk Garut sebagian besar baik sebanyak
51.5%.Peneliti berasumsi bahwa akan mudah mencapai tujuan apabila perencanaan telah dilaksanakan. Agar dapat
mengetahui tujuan yang jelas harus terlaksana dengan perencanaan yang baik. Berdasarkan kinerja perawat didapatkan
sebagian besar baik sebanyak 37 orang (60,7%) dan tidak baik sebanuak 24 orang (39.3%). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Farah (2013) sebagian besar kinerja perawat baik sebesar 54,9%.Menurut analisis bahwa kinerja dipengaruhi oleh
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan masa kerja. Hal ini terjadi karena sebagian besar perawat pelaksana adalah
perempuan. Oleh sebab itu perawat untuk tetap meningkatkan kinerja dalam menerapkan manajemen yang telah diberkan
oleh kepala ruangan masing-masing.Hasil analisa bivariat didapatkan p value 0,000 (<0,05) yang artinya ada hubungan
antara fungsi perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat di RSUD Samarinda. Kemudian didapatkan OR
(Odd Ratio) yang artinya fungsi perencanaan berpengaruh 5,80 kali terhadap kinerja perawat di RSUD.Hasil pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian Rohmawati (2016), terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan
asuhan keperawatan yang baik dengan fungsi perencanaan kepala ruangan yang efektif dengan hasil p value 0,001.
adapun penelitian dari Saputra (2013), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan
motivasi kerja perawat pelaksana dengan hasil p value (0,000). Penelitian ini serasi pada pendapat Gillies (2010),
mengemukakan bahwa kepala ruangan yang optimal dalam melakukan fungsi perencanaan bisa memberikan tujuan
kepada perawat pelaksana, meminimalisir peralihan yang terjadi, hal yang berlebih, dan menentukan standar yang
akan pergunakan dalam melaksanakan pengawasan dan peraihan tujuan.Menurut Asumsi akan mudah mencapai
tujuan bila fungsi perencanaan dilaksanakan dengan baik, manajer dan staff akan mengetahui tujuan dengan jelas.
Menempatkan staf bedasarkan kemampuan, pendidikan, pengalaman, kepribadian adalah salah satu fungsi
perencanaan sehingga dapat memenuhi penempatan pada jabatannya dengan waktu dan gaji yang tepat.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibuat maka dapat ditarik suatu kesimpulan, antara lain. Karakteristik
berdasarkan 61 responden sebagian besar usia responden adalah 26-35 tahun sebanyak 40 orang (65.6%), sebagian
besar responden adalah perempuan sebanyak 47 orang (77.0%), sebagian besar responden memiliki masa kerja
kurang dari 5 tahun sebanyak 24 orang (39.3%), sebagian besar responden adalah pendidikan D III Keperawatan
sebanyak 51 orang (83.6%).Hasil fungsi perencanaan kepala ruangan didapatkan sebagian besar baik sebanyak 32
orang (52.5%) dan tidak kurang sebanyak 29 orang (47.5%).Hasil kinerja perawat didapatkan sebagian besar baik
sebanyak 37 orang (60,7%) dan kurang baik sebanyak 24 orang (39.3%).Hasil uji statistik diperoleh p value 0,000
(<0,05) yang artinya ada hubungan antara fungsi perencanaan kepala ruangan dengan kinerja perawat di RSUD
Samarinda. Kemudian didapatkan OR (Odd Ratio) yang artinya fungsi perencanaan berpengaruh 5,80 kali terhadap
kinerja perawat di RSUD.
REFERENSI
Asmuji. (2013). Manajemen Keperawatan Konsep dan Aplikasi Arruz Madia. Yogyakarta.
Farah Ahmad, Shahnaz Dar, Nosheen Zehra. 2013. Original Article : Extrinsic Factors Strong Motivators for Nurses
in the Tertiary Care Hospitals.
Gillies, D. A. (2010). ManajemenKeperawatan Suatu Pendekatan Sistem Edisi Kedua. Terjemahan Illiois W. B.
Saunders Company
Gillies, D.A. (2012). Manajemen Keperawatan: Suatu Pendekatan Sistem. Edisi kedua. Philadelphia: W. B. Saunders.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Depkes RI.
Dessler, Gary, 2004, Manjemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kesembilan, Jilid 1, PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Hasibuan, P.S. Malayu. 2015. Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit : PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Maurits L S K. 2011 Selintas Tentang Kelelahan Kerja. Yogyakarta : Amara Books.
Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.
Nursalam. 2011. Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan. Jakarta : Salemba Raya.
P.Siagian, Sondang. 2012. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta. Rineka Cipta.
Parmin. (2010). Hubungan Pelaksanaan Fungsi Manajemen Keperawatan Kepala Ruangan dengan Motivasi Perawat
Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUP Undata Palu.http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20284809-T
%20Parmin.pdf.
Perceka, andikha lungguh. 2017. Hubungan Perencanaan dan Pengarahan Kepala Ruangan Dengan Motivasi Kerja
Perawat di RS Pameungtepeuk Garut Tahun 2017, JIAP Vol. 4, No.1, Hal. 59-65. STIKes Karsa Husada, Garut,
Jawa Barat, Indonesia.
Rohmawati, T. 2016. Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruangan Menurut Persepsi Perawat Pelaksana dan
Karakteristik Individu dengan Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di Ruang Instalasi Rawat Inap RSUD Sumedang.
Thesis, , Jakarta: PPS FIK UI.
Saputra. (2013). Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai. Cimahi
Swanburg, Russel C. (2014). Pengantar Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan Untuk Perawat Klinis. Alih
Bahasa Samba S, Dkk. Jakarta : EGC
Usman, Husaini. 2011. Manajemen. Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta : Bumi Askara.
ISSN : 2087-2879
ABSTRAK
Langkah awal yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk memperbaiki mutu pelayanan terkait
keselamatan pasien adalah dengan menerapkan patient safety culture. Manajemen fungsi kepala ruang
merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam keberhasilan program patient safety culture.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan
patient safety culture oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh. Penelitian berbentuk kuantitatif dengan desain cross- sectional. Penelitian dilaksanakan di ruang
rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terhadap 75 orang perawat
pelaksana (simple random sampling). Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner checklist
dengan menyebarkan angket, analisis hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan
patient safety culture menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan
bermakna antara fungsi manajemen kepala ruang pada perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf,
dan pengendalian dengan penerapan patient safety culture. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
fungsi pengarahan kepala ruang dengan penerapan patient safety culture. Kepala ruang perlu untuk
selalu meningkatkan fungsi pengarahan dan pengendalian dalam upaya membudayakan patient safety
sehingga akan terciptanya kualitas keselamatan pasien.
Kata Kunci : manajemen fungsi kepala ruang, patient safety culture, perawat
ABSTRACT
The first thing that has to be done by hospitals in order to improve the service quality related to
patient safety is to implement patient safety culture. Managerial function of head nurse is one of the
essensial factors that play a role in the success of patient safety culture program.The objective of the
research was to find out the correlation of head nurse management function with the implementation of patient
safety culture by associate nurses at dr. Zainoel Abidin Regional General Hospital Banda Aceh. The research
used quantitative method with cross sectional design. It was conducted at dr. Zainoel Abidin Regional
General Hospital Banda Aceh on 75 associate nurses (simple random sampling). Method of data
collection using a questionnaire checklist with distribution questionnaires, analysis of the correlation
between the head nurse management function with the implementation of patient safety culture with chi square
test. The result of research shown there was significant correlation between head nurse management
functions on planning, organizing, staffing, and controlling the application of patient safety culture.
There was not any significant correlation between the direction of head nurse with the implementation of
patient safety culture. It was recommended that the head nurse improve the function of directing and
controlling all the time in order to entrench patient safety for a quality patient safety.
Keywords : managerial function of head nurses, patient safety culture, nurses
PENDAHULUAN keyakinan, dimana nilai mengacu pada sesuatu
Keselamatan pasien telah menjadi isu global yang diyakini oleh anggota organisasi untuk
yang sedang hangat dibahas di seluruh negara. mengetahui apa yang benar dan apa yang salah,
Adanya kekhawatiran mengenai keselamatan sedangkan keyakinan mengacu pada sikap
pasien, telah meningkat secara signifikan selama tentang cara bagaimana seharusnya bekerja
dekade terakhir (Silverstone, 2013), sehingga dalam organisasi. Dengan adanya nilai dan
organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2011 keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan
mengembangkan dan mempublikasikan pasien yang ditanamkan pada setiap anggota
Kurikulum Panduan Keselamatan Pasien organisasi, maka setiap anggota akan mengetahui
(Patient Safety Curriculum Guide), yang apa yang seharusnya dilakukan dalam penerapan
menyoroti kebutuhan di seluruh dunia, untuk keselamatan pasien. Dengan demikian, perilaku
meningkatkan keselamatan pasien dan untuk tersebut pada akhirnya menjadi suatu budaya
mengajarkan keterampilan yang berorientasi yang tertanam dalam setiap anggota organisasi
pada keselamatan pasien (Tingle, 2011). berupa perilaku patient safety culture.
Kesalahan medis dan efek samping telah menjadi Langkah awal yang harus dilakukan oleh rumah
perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir sakit untuk memperbaiki mutu pelayanan terkait
bagi pembuat kebijakan kesehatan dan penyedia keselamatan pasien adalah dengan menerapkan
layanan kesehatan dunia. Menurut statistik patient safety culture. Komitmen pemimpin akan
tahunan, di Amerika Serikat saja sekitar 98.000 keselamatan merupakan hal pertama yang harus
kasus kematian pasien dilaporkan karena diperhatikan dalam menerapkan patient safety
kesalahan medis (Castle, 2006). Program culture (Singer, 2005). Pemimpin yang efektif
pengamatan lima tahun yang dilaksanakan oleh dalam menanamkan budaya yang jelas,
Baldo et al. (2002) mengungkapkan bahwa mendukung usaha staf, dan tidak bersifat
perawat bertanggung jawab untuk 78% dari efek menghukum sangat dibutuhkan dalam
samping. Selain itu penelitian juga membuktikan menciptakan patient safety culture yang kuat dan
bahwa kematian akibat cidera medis 50% menurunkan KTD. Aspek kepemimpinan yang
diantaranya sebenarnya dapat dicegah (Cahyono, dimaksud di sini adalah kepemimpinan pada
2012). Laporan yang diterbitkan oleh Institut of tingkat dasar, seperti kepala ruangan atau kepala
Mediciene (IOM) Amerika Serikat tahun 2000 unit. Hal ini dikarenakan keselamatan pasien
tentang “To Err is Human, Building to Safer dipengaruhi oleh kebiasaan staf atau error yang
Health System” terungkap bahwa rumah sakit di terjadi (WHO, 2009).
Utah dan Colorado ditemukan KTD (Kejadian Patient safety culture harus dimulai dari
Tidak Diharapkan) sebesar 2,9% dan 6,6% pemimpin, hal ini sejalan seperti yang
diantaranya meninggal, sedangkan di New York diungkapkan oleh National Quality Forum
ditemukan 3,7% KTD dan 13,6% diantaranya (NQF), 2006 yaitu peran pemimpin senior
meninggal. Lebih lanjut, angka kematian akibat merupakan elemen kunci untuk merancang,
KTD pada pasien rawat inap di Amerika Serikat mereboisasi, dan memelihara budaya
berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000 keselamatan, kepemimpinan sebagai subkultur
jiwa sampai 98.000 jiwa. Depkes, (2006) penting. Cara ini telah dicontohkan oleh
menyebutkan bahwa pada tahun 2004 WHO National Quality Forum (NQF) dengan
mempublikasikan KTD rumah sakit di berbagai “meningkatkan keselamatan pasien dengan
negara yaitu Amerika, Inggris, Denmark dan menciptakan budaya keselamatan" dengan
Australia terjadi dengan rentang 3,2 -16,6%. berfokus pada struktur kepemimpinan dan
Upaya yang sangat penting untuk dilakukan sistem.
dalam meningkatkan keselamatan pasien adalah Kepala ruang merupakan manajer keperawatan
menciptakan patient safety culture. Hal tersebut yang langsung berhubungan dengan kegiatan
sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh pelayanan kesehatan pada pasien. Kepala ruang
Sashkein & Kisher, dalam Tika (2006) bahwa sebagai lower manager dalam keperawatan harus
budaya (culture) mengandung dua komponen mampu menjalankan fungsi manajemen sehingga
yaitu nilai dan tujuan organisasi dapat tercapai. Manajemen
keperawatan merupakan rangkaian fungsi dan
aktivitas yang secara simultan saling
berhubungan
dalam menyelesaikan pekerjaan melalui anggota melakukan pelaporan insiden keselamatan pasien
staf keperawatan untuk meningkatkan efektifitas sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan oleh
dan efisiensi pelayanan keperawatan yang rasa malu dan takut disalahkan, takut diberikan
berkualitas (Gillies, 1996; Marquis & Huston, sanksi tertentu atau dikucilkan oleh atasan,
2015). Kualitas pemberian asuhan keperawatan perawat dan profesi lain. Hambatan lainnya yaitu
bagi pasien dapat dilihat dari pemberian asuhan belum optimalnya supervisi dan promosi
keperawatan yang aman. Tujuan pelayanan keselamatan pasien baik oleh kepala ruang
keperawatan yang berkualitas dapat tercapai maupun oleh Komite Mutu dan Keselamatan
apabila manajer keperawatan mampu Pasien. Sedangkan Hand over, kerjasama dalam
melaksanakan fungsi manajemen dengan baik. unit dan antar unit dinilai sudah berjalan dengan
Berdasarkan wawancara dengan staf sekretariat baik.
Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP)
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada
METODE PENELITIAN
tanggal 7 September 2015 diperoleh data bahwa
terdapat angka pelaporan kejadian keselamatan Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
pasien oleh perawat sebanyak 20 insiden non-eksperimental, dengan pendekatan
keselamatan pasien yang dilaporkan sejak kuantitatif dengan metode deskriptif korelasi.
Januari – Agustus 2015 dengan rincian sebanyak Populasi penelitian adalah perawat pelaksana
6 laporan terjadi kesalahan pada cara pemberian di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum
obat yaitu dosis obat, jenis dan waktu Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
pemberian, 1 laporan kesalahan dalam sebanyak 75 perawat. Pengambilan data
melakukan tindakan operasi, 3 laporan infeksi dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
nasokomial pasien post operasi, 4 laporan Analisa data menggunakan analisa univariat,
kesalahan dalam mengidentifikasi pasien dalam
bivariate dengan uji Chi Square.
pemberian tindakan medis, 2 laporan pasien jatuh
dan 4 laporan terjadi karena kesalahan
komunikasi saat hand over antar unit. Dari 20 HASIL PENELITIAN
laporan tersebut, baru satu laporan yang Data Demografi
dilakukan root cause analysis (RCA). Hambatan
dalam pelaksanaan patient safety culture yaitu Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia
masih banyak dijumpai tindakan menyalahkan perawat pelaksana paling banyak berada dalam
terhadap perawat yang melakukan kesalahan dan kategori dewasa awal, yaitu 18- 40 tahun dengan
dukungan manajemen terhadap keselamatan rata- rata umur 30, 52 tahun dengan jenis kelamin
pasien yang dinilai belum optimal, hal ini terkait didominasi oleh perempuan dibandingkan laki-
dengan minimnya pelatihan keselamatan pasien laki. Lama bekerja di Rumah Sakit Umum
yang diberikan terhadap kepala ruang dan Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terbesar
perawat pelaksana. jumlahnya adalah ≤ 5 tahun dengan rata- rata
Wawancara yang peneliti lakukan dengan salah lama kerja sebesar 5,57 tahun dengan tingkat
seorang case manager, sebelumnya yang pendidikan rata- rata diploma III Keperawatan.
bersangkutan menjabat sebagai kepala ruang, Perawat pelaksana yang pernah mengikuti
diperoleh data bahwa pada Juni 2015 terjadi training keselamatan pasien lebih banyak
perombakan struktur organisasi diruang rawat dibandingkan dengan perawat yang belum pernah
inap, rata- rata kepala ruang rawat inap dijadikan mengikutinya.
sebagai case manager, dan kepala ruang yang
berganti jabatan tersebut digantikan oleh wakil Tabel 4.1
kepala ruang atau perawat yang lain, sehingga Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat
mutasi ini membutuhkan proses adaptasi bagi Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
kepala ruang yang baru dalam menerapkan Zainoel Abidin Banda Aceh (n=75)
fungsi manajemennya terhadap penerapan
patient
safety culture. Wawancara lain yang peneliti
lakukan terhadap dua orang perawat pelaksana Karakteristik
No Perawat Pelaksana f %
didapatkan hasil serupa bahwa perawat belum
1. Usia : Kepala Ruang
Dewasa Awal (18 – 72 96 a. Baik 9 92
40 tahun) b. Kurang 6 8
Dewasa Madya (41 – 3 4 2 Fungsi perencanaan
60 tahun) c. Baik 8 90,7
Dewasa Lanjut (> 60 0 0 d. Kurang 7 9,3
tahun) 3 Fungsi
2. Jenis kelamin pengorganisasian
Laki- Laki 18 24,0 a. Baik 60 80,0
Perempuan 57 76,0 b. Kurang 15 20,0
3. Masa kerja 4 Fungsi pengaturan
≤ 5 tahun 43 57,3 staf
6- 10 tahun 23 30,7 a. Baik 65 86,7
> 10 tahun 9 12,0 b. Kurang 10 13,3
4. Pendidikan 5 Fungsi pengarahan
SPK 0 0 a. Baik 70 93,3
Diploma III Kep 39 52 b. Kurang 5 6,7
S1 Keperawatan 10 13,3 6 Fungsi Pengendalian
Ners 26 34,7 a. Baik 65 86,7
S2 Keperawatan 0 0 b. Kurang 10 13,3
Pernah Mengikuti Total 75 100
5. Training
Keselamatan Pasien
Pernah 42 56,0 Penerapan Patient Safety Culture
Tidak Pernah 33 44,0 Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat
Total 75 100 yang mempersepsikan penerapan patient safety
culture kurang lebih rendah dibandingkan
Fungsi Manajemen Kepala Ruang perawat yang mempersepsikan penerapan
patient safety culture baik yaitu sebesar 28%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel
fungsi manajemen kepala ruang dipersepsikan Tabel 3
baik oleh 92% responden. Manajemen fungsi Gambaran penerapan patient safety culture di
kepala ruang mempunyai sub- sub variabel yang Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
terdiri dari lima variabel meliputi fungsi Banda Aceh (n=75)
perencanaan, pengorganisasian, Penerapan
pengaturan staf, No Patient Safety f %
pengarahan, dan pengendalian. Perawat yang Culture
memiliki persepsi baik terhadap fungsi a. Baik 5 72
perencanaan kepala ruang sebanyak 90,7%. 4
Fungsi pengorganisasian dipersepsikan baik b. Kurang 21 28
sebesar 80%, fungsi pengaturan staf baik Total 75 100
sebanyak 86,7% perawat, sebanyak 93,3%
perawat mempersepsikan baik terhadap fungsi Hubungan Fungsi Manajemen Kepala
pengarahan kepala ruang dan 86% perawat Ruang Dengan Penerapan Patient Safety
menilai baik fungsi pengendalian kepala ruang. Culture
Hasil uji Chi Square didapatkan bahwa nilai p-
Tabel 2 value < 0,05 yaitu 0,000 sehingga dapat ditarik
Gambaran fungsi manajemen kepala ruang di kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin signifikan antara fungsi manajemen kepala
Banda Aceh (n=75) ruang dengan penerapan patient safety culture
di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
No Variabel f % Abidin Banda Aceh. Berikut ini dijelaskan hasil
1 Fungsi Manajemen penelitian tentang hubungan fungsi manajemen
kepala ruang yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, Dari hasil penelitian, perawat yang
pengarahan, dan pengendalian dengan penerapan mempersepsikan penerapan patient safety
patient safety culture. culture baik lebih banyak dari perawat yang
mempersepsikan penerapan patient safety
Hasil nilai statistik dengan uji chi square culture kurang yaitu sebesar 72%. Hasil ini
menunjukkan nilai p-value < 0,05, yaitu 0,002 sesuai dengan penelitian Dewi (2011) yang
yang berarti bahwa ada hubungan yang menunjukkan persentase perawat perawat
signifikan antara perencanaan dengan penerapan pelaksana dalam menerapkan keselamatan pasien
patient safety culture. Pada hubungan antara lebih banyak yang mempersepsikan baik
fungsi pengorganisasian dengan penerapan dibanding dengan perawat yang mempersepsikan
patient safety culture didapatkan nilai p- value kurang.
0,023 sehingga dapat diartikan bahwa ada Hasil penelitian yang menunjukkan gambaran
hubungan yang signifikan antara keduanya. Pada perawat pelaksana dalam menerapkan patient
uji hubungan antara fungsi pengaturan staf safety culture ini perlu mendapatkan perhatian
dengan penerapan patient safety culture serius dari pihak manajemen rumah sakit.
menunjukkan hasil p- value sebesar 0,025 Meskipun persentase perawat yang
sehingga disimpulkan juga mempunyai hubungan mempersepsikan dirinya menerapkan patient
yang signifikan. Sedangkan pada fungsi safety culture secara baik lebih tinggi daripada
pengarahan tidak ada hubungan yang signifikan perawat yang mempersepsikan dirinya kurang
dengan penerapan patient safety culture dimana dalam menerapkan patient safety culture, namun
hasil yang didapatkan yaitu 0,130. Uji statistik masih ada 28% yang menilai dirinya menerapkan
pada fungsi pengendalian didapatkan hasil p- patient safety culture kurang. Asumsi peneliti
value sebesar 0,000 sehingga dapat diambil jumlah ini relatif banyak, hal ini menandakan
kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat bahwa belum seluruh perawat pelaksana
signifikan antara fungsi pengendalian kepala menerapkan patient safety culture dengan baik.
ruang dengan penerapan patient safety culture.
Hubungan Fungsi Manajemen dengan
PEMBAHASAN Penerapan Patient Safety Culture
Gambaran Fungsi Manajemen Kepala Ruang Dari penelitian ini, didapatkan hasil bahwa
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perawat terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi
lebih banyak mempersepsikan kepala ruang telah manajemen kepala ruang dengan penerapan
menjalankan fungsi manajemen dengan baik. Hal patient safety culture (p value= 0,000). Hasil
ini merupakan modal positif bagi kepala ruang penelitian ini sesuai dengan pendapat Handiyani
dalam memimpin dan menggerakkan perawat (2003) yang menyatakan bahwa adanya
pelaksana untuk senantiasa memberikan asuhan hubungan yang bermakna antara peran dan
keperawatan yang menjamin keselamatan pasien. fungsi manajemen dengan faktor keberhasilan
Sejalan dengan penelitian Dewi (2011) yang pengendalian infeksi nosokomial dengan
menyatakan bahwa lebih banyak perawat yang presentase fungsi pengarahan mencapai 90,45 %
mempersepsikan fungsi manajemen kepala ruang (baik).
baik di banding perawat yang mempersepsikan Nivalinda dkk (2013) juga menyatakan bahwa
kurang. kepala ruang dapat mempengaruhi strategi dan
Selain itu, Mustofa (2008) menyatakan bahwa upaya menggerakkan perawat dalam lingkup
sikap dan kepribadian perawat akan menentukan wewenangnya untuk bersama- sama menerapkan
kinerjanya. Pendapat lain Burns (2009) budaya keselamatan pasien. Sejalan dengan
menyatakan kepala ruang sebagai manajer lini pendapat Anugrahini (2010) yang menyatakan
harus memahami perilaku orang- orang tertentu ada hubungan bermakna antara kepemimpinan
agar dapat mempengaruhinya untuk bekerja kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam
sesuai dengan yang diinginkan rumah sakit. menerapkan pedoman patient safety di RSAB
Gambaran Penerapan Patient Safety Culture Harapan Kita Jakarta. Pendapat ini dikuatkan
oleh Perwitasari (2013) yang menyatakan bahwa
ada hubungan kepemimpinan dengan
penerapan budaya patient safety di Instalasi Hubungan Fungsi Pengaturan Staf dengan
Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Penerapan Patient Safety Culture
Panembahan Senopati Bantul, kepemimpinan
berkontribusi terhadap budaya patient safety di Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum bermakna antara fungsi pengaturan staf kepala
Daerah Panembahan Senopati Bantul sebesar ruang dengan penerapan patient safety culture (p
22,9%. Hasil penelitian Pratiwi (2014) juga value= 0,025). Hasil ini sesuai dengan pendapat
mengungkapkan bahwa kepemimpinan efektif Aiken, et al. (2002) yang menyebutkan bahwa
kepala ruang tergolong tinggi dalam penerapan terdapat hubungan langsung antara staffing
budaya keselamatan pasien. perawat dan dampaknya terhadap keselamatan
pasien, hasil, dan kepuasan perawat profesional
Hubungan fungsi perencanaan dengan di rumah sakit. Hasil penelitian Dewi (2011) juga
penerapan patient safety culture mengungkapkan hal yang sama bahwa terdapat
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan hubungan yang signifikan antara pengaturan staf
yang bermakna antara fungsi perencanaan dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,008;
dengan penerapan patient safety culture (p α 0,05). Disamping itu, Gotlieb (2003)
value= 0,002). Hal ini sesuai dengan penelitian berpendapat bahwa jam kerja perawat yang
Dewi (2011) yang menunjukkan bahwa ada panjang dapat menimbulkan kelelahan,
hubungan fungsi perencanaan dengan penerapan menurunkan produktivitas dan meningkatkan
keselamatan pasien, sejalan dengan penelitian resiko terjadinya kesalahan yang dapat
Fenny (2007) yang menyatakan bahwa ada membahayakan pasien.
hubungan antara perencanaan dengan kinerja
perawat pelaksana. Namun berbeda dengan hasil
yang didapatkan dari penelitian Ratnasih (2001) Hubungan fungsi pengarahan dengan
yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan penerapan patient safety culture
antara fungsi perencanaan kepala ruang dengan
kinerja perawat pelaksana. Pada penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
Ratnasih kualitas kinerja perawat pelaksana tidak hubungan yang bermakna antara fungsi
dipengaruhi oleh kemampuan kepala ruang pengarahan kepala ruang dengan penerapan
dalam melaksanakan fungsi perencanaan. patient safety culture (p value= 0,130). Yahya
Warsito (2006) juga menunjukkan bahwa tidak (2006) menyebutkan bahwa komunikasi
ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana merupakan salah satu bentuk fungsi pengarahan
tentang fungsi perencanaan kepala ruang dengan dalam fungsi manajemen keperawatan. Hasil
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di penelitian ini sesuai dengan penelitian Mulyadi
ruang rawat inap RSJD Dr. Amino (2005) yang menyatakan bahwa tidak terdapat
Gondohutomo Semarang. hubungan antara komunikasi dengan kinerja
perawat pelaksana dalam mengendalikan mutu
Hubungan Fungsi Pengorganisasian dengan pelayanan keperawatan di ruang rawat inap
Penerapan Patient Safety Culture RSKM Cilegon. Handiyani (2003) semakin
memperkuat hasil penelitian dengan mengatakan
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara
yang bermakna antara fungsi pengorganisasian peran informasional kepala ruang dengan
dengan penerapan patient safety culture (p keberhasilan kegiatan upaya pengendalian infeksi
value= 0,023). Makinen, Kivimaki, Elovainio, nasokomial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Virtanen dan Bond (2003) menyatakan bahwa Jakarta.
fungsi pengorganisasian merupakan faktor yang Wardhani (2013) juga menegaskan bahwa hasil
berpengaruh dengan kepuasan kerja perawat di uji hubungan antara komunikasi dengan
beberapa rumah sakit Finlandia. Maryam (2009) penerapan budaya keselamatan pasien
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
penerapan patient safety dengan kepuasan antara komunikasi yang dimiliki oleh kepala
perawat pelaksana. ruangan dengan penerapan budaya keselamatan
pasien (p=0,532, p>0,05).
Penelian lain oleh Hidayati (2015) juga dikerjakan dengan baik dapat menjamin segala
mengungkapkan bahwa pengaruh motivasi sesuatu dilaksanakan sesuai instruksi yang telah
perawat dan bidan secara parsial tidak signifikan diberikan serta prinsip- prinsip yang telah
terhadap penerapan budaya patient safety di diberlakukan. Hal ini semakin diperkuat oleh
RSIA Aisyiyah Klaten. Dewi (2011) yang menyatakan bahwa hasil
Hasil penelitian berbeda diungkapkan oleh penelitiannya menunjukkan adanya hubungan
Warouw (2009) yang menunjukkan bahwa yang bermakna antara fungsi pengendalian
motivasi yang diberikan oleh kepala ruang dengan penerapan keselamatan pasien (p=0,008;
memiliki hubungan dengan kinerja perawat α 0,05). Berbeda dengan hasil penelitian Warsito
pelaksana. Senada dengan pendapat tersebut, (2006) yang mengemukakan bahwa tidak ada
Dewi (2011) juga menyatakan terdapat hubungan hubungan antara persepsi perawat pelaksana
yang bermakna antara fungsi pengarahan kepala tentang fungsi pengendalian kepala ruang dengan
ruang dengan penerapan keselamatan pasien pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di
(p=0,008; α 0,05). Penelitian Marpaung (2005) ruang rawat inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo
turut menegaskan pendapat tersebut yang Semarang.
menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna
antara komunikasi kepala ruang dengan budaya
kerja perawat pelaksana (p value < 0,05).
SIMPULAN DAN SARAN
Dari paparan diatas, terdapat pendapat yang Simpulan
mendukung dan bertolak belakang dengan hasil Mayoritas perawat mempersepsikan baik
penelitian sehingga dapat ditarik kesimpulan terhadap fungsi manajemen yang dilakukan oleh
bahwa tingginya persepsi baik oleh perawat kepala ruang terhadap fungsi perencanaan,
pelaksana terhadap fungsi pengarahan kepala pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan,
ruang bisa saja memberikan hasil uji hubungan dan pengendalian. Gambaran perawat pelaksana
yang berbanding terbalik yaitu tidak yang mempersepsikan baik dalam menerapkan
berhubungan secara signifikan antara fungsi patient safety culture lebih tinggi persentasenya
pengarahan kepala ruang dengan penerapan dibandingkan dengan perawat yang
patient safety culure. Peneliti berasumsi bahwa mempersepsikan kurang.
persepsi perawat terhadap fungsi pengarahan Hasil analisa uji statistik penelitian menemukan
tidak semata- mata karena pengarahan yang bahwa antara fungsi manajemen kepala ruang
diberikan oleh kepala ruang, namun ada faktor- dengan penerapan patient safety culture
faktor lain yang memberikan pengaruh seperti menunjukkan ada hubungan yang bermakna pada
kecakapan individu perawat itu sendiri, fungsi perencanaan, pengorganisasian,
pengalaman kerja, dan kesadaran diri perawat pengaturan staf dan pengendalian, sedangkan
terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam hasil analisa statistik pada fungsi pengarahan
upaya keselamatan pasien. Pelatihan keselamatan menunjukkan tidak ada hubungan yang
pasien juga memberikan pengaruh terhadap bermakna. Secara umum, penelitian ini
persepsi perawat dalam membangun kesadaran menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan
diri untuk selalu mengedepankan keselamatan yang signifikan antara fungsi manajemen kepala
pasien. ruang dengan penerapan patient safety culture.
Saran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
Hubungan fungsi pengendalian dengan pengembangan keilmuan dalam administrasi
penerapan patient safety culture keperawatan, meningkatkan keilmuan tentang
peran perawat dalam keberhasilan program
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penerapan patient safety culture. Patient safety
hubungan yang sangat bermakna antara fungsi culture supaya dapat dimasukkan menjadi bagian
pengendalian kepala ruang dengan penerapan kurikulum administrasi keperawatan atau pada
patient safety culture (p value= 0,000). Hasil manajemen keperawatan. Kepada manajemen
penelitian ini sesuai dengan pendapat Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa Banda Aceh diharapkan agar
pengendalian yang
menggerakkan seluruh kepala ruang untuk lebih Leadership mechanisms Practice Nursing, Vol
meningkatkan fungsi pengarahan dan 20, No 12.
pengendalian dalam upaya membudayakan Cahyono, J. B & Suhardjo B. (2012).
patient safety culture sehingga akan terciptanya Membangun budaya keselamatan pasien dalam
keselamatan pasien yang akhirnya dapat praktek kedokteran. Yogyakarta: Kanisius.
menjamin mutu pelayanan asuhan keperawatan. Castle, N. G. (2006). Nurse aides’ ratings of the
Perawat pelaksana diharapkan untuk melakukan resident safety culture in nursing homes. Int J
asuhan keperawatan yang aman bagi pasien, Qual Health C, 18(5):370-76.
meningkatkan pengetahuan tentang keselamatan Depkes RI. 2006). Utamakan keselamatan
pasien melalui pelatihan dan mengupayakan pasien. Diakses tanggal 2 februari 2014, dari:
untuk meningkatkan pendidikan keperawatan http://rsbt.or.id.
berlanjut serta membudayakan patient safety di Dewi, S. C. (2011). Hubungan fungsi
unit ruang rawat masing- masing. Peneliti juga manajemen kepala ruang dan karakteristik
menyarankan kepada peneliti selanjutnya supaya perawat dengan
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data penerapan keselamatan pasien di IRNA I RSUP
awal untuk penelitian berikutnya tentang patient dr. Sardjito Yogyakarta. Tesis. FIK UI.
safety culture dengan sampel yang lebih besar Fenny, Y. A. (2007). Hubungan persepsi
dan dengan menggunakan tehnik observasi. perawat tentang perencanaan jangka pendek
Penelitian berikutnya supaya dapat meneliti kepala ruangan dengan kinerja perawat
secara lebih spesifik dengan mengambil salah pelaksana di ruangan rawat
satu dari komponen fungsi manajemen yang inap RSUP Fatmawati Jakarta.
terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, Jakarta: FIK UI.
pengaturan staf, Gillies, D. A. (1996). Manajemen keperawatan
pengarahan, dan atau pengendalian yang suatu pendekatan sistem. (2nd Edition) Illinois.
dihubungkan dengan salah satu sub variabel Gotlieb, S. (2003). Patient s are at risk because
penerapan patient safety culture yaitu of nurses long hours, says report. Diakses
keterbukaan, keadilan, pelaporan, dan atau tanggal 27 Juni 2015, dari: http://www.bmj.com.
budaya belajar. Handiyani, H. (2003). Hubungan peran dan
fungsi manajemen kepala ruang dengan
DAFTAR RUJUKAN keberhasilan upaya kegiatan pengendalian
infeksi nasokomial di RSUPN Dr. Cipto
Aiken, L.H., Clarke, S.P., Sloane, D.M., et al. Mangunkusumo Jakarta. Tesis Tidak
(2002). Hospital nurse staffing and patient Dipublikasikam. FIK UI.
mortality, nurse burnout, and job dissatisfaction. Hidayati, R. I. (2015). Pengaruh pengetahuan,
JAMA. 23 – 30 motivasi, sikap perawat dan bidan terhadap
Oktober. 288(16). penerapan budaya patient safety di RSIA
Anugrahini (2010) Hubungan faktor individu dan ‘Aisyiyah Klaten. Tesis Pascasarjana.
organisasi dengan kepatuhan perawat dalam Yogyakarta: UMY.
menerapkan pedoman patient safety di RSAB Institute of Medicine. (2000). To err is human:
Harapan Kita Jakarta. Tesis. Depok: Magister Building a safer health system. Kohn, L.T.,
Keperawatan FIK UI. 2010. Corrigan, J.M., Donaldson, M.S. (Ed).
Baldo V, Floreani A, Dal Vecchio L, Washington DC: National Academy Press.
Cristofoletti M, Carletti M, Majori S, Di Makinen, A., Kivimaki, M., Elovainio, M.,
Tommaso AD. and Trivello R. (2002). Virtanen, M., & Bond, S. (2003). Organization
Occupational risk of blood- borne viruses in of nursing care as a determinant of job
healthcare workers: A 5-Year Surveillance satisfaction among hospital nurses. Journal of
Program. Infect Control Hospital Epidemiology. Nurses Management, 11, 299-306
Burns, D. (2009). Clinical leadership for general
practice nurses, 3 :
Marpaung, J. (2005). Persepsi perawat pelaksana tentang kepemimpinan
efektif kepala ruang dan hubungannya dengan budaya kerja perawat pelaksana
dalam pengendalian mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSUP
Adam Malik Medan. FIK UI. Tesis tidak dipublikasikan.
Marquis, B. L., & Huston, C. J. (2015). Leadership role and management functions in nursing: Theory and
application eight edition: Philadelphia: Lippincott.
Mulyadi. (2005). Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruang dengan kinerja perawat pelaksana dalam
pengendalian mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSKM Cilegon. Tesis. Depok: Universitas
Indonesia.
Mustofa. (2008). Analisis pengaruh faktor individu, psikologi dan organisasi terhadap kinerja perawat
pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Amino Gondohutomo Semarang. Tesis Pascasarjana. Semarang:
Universitas Diponegoro.
National Quality Forum. (2006). Safe practices for better healthcare.washington DS. National Quality Forum.
Nivalinda, dkk. (2013). Pengaruh motivasi perawat dan gaya kepemimpinan kepala ruang terhadap
penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana pada rumah sakit pemerintah di Semarang.
Semarang: FK UNDIP.
Notoatmodjo, S. (2003). Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Pratiwi.R. E. Anggraeni. R., & Maidin. A. M. (2014). Gambaran kepemimpinan efektif kepala ruangan
instalasi rawat inap dalam penerapan budaya keselamatan pasien di RSUD Haji. Tesis. Makassar: FKM
UNHAS.
Ratnasih, R. (2001). Hubungan antara kemampuan kepala ruang dalam melaksanakan fungsi- fungsi
manajemen dengan kinerja perawat pelaksana di ruangan rawat inap RS Kepolisian Pusat Raden Said
Sukanto Jakarta. Tesis tidak diplubikasikan. Jakarta: FIK UI.
Silverstone, P. (2013). The safe clinical assessment: A patient safety focused approach to clinical
assessment. New Open Access Journal. The Postgraduate Medical Institute. United Kingdom: Anglia
Ruskin University.
Singer, S. J., & Tucker, A. L. (2005). Creating a culture of safety in hospital. Diakses pada tanggal 23
februari 2014, dari:
http://healthpolicy.stanford.edu.
Tingle, J., & Bark, P. (2011). Patient safety, law policy and practice. Routledge, London.
Warouw, H.J. (2009). Hubungan pengarahan kepala ruang dengan kinerja perawat pelaksana di
ruang rawat inap RSUD Budhi Asih Jakarta. FIK- UI. Tesis. Jakarta.
Wardhani. N., Noor. B. N., Pasinringi. A.
S. (2013) Hubungan kepemimpinan efektif kepala ruangan dengan penerapan budaya keselamatan pasien
di instalasi rawat inap RS UNHAS tahun 2013. Unhas Makassar.
Warsito. E. B., Mawarni. A. (2006). Pengaruh persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala
ruang terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSJD dr. Amino
Gondohutomo Semarang. Jurnal manajemen keperawatan. Vol I, no1, tahun 2007.
WHO. (2009). Human factor in patient safety: reviews on topics and tool. Diakses pada tanggal 23
februari 2014, dari: http://www.who.int.
Yahya, A. (2006). Konsep dan program patient safety. Bandung: Disampaikan pada konvensi nasional
mutu rumah sakit ke VI.
© 2019 International Journal of Nursing and Health Services
This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0
International License which permits unrestricted non-commercial use, distribution, and reproduction in any
medium, provided the original work is properly cited
Abstract
The results of the study identified the existence of obstacles in the implementation of discharge planning which
had an impact on the lack of optimization of discharge planning implementation and the determination of the
length of stay. The author uses the case study method. The innovation agreed upon with the nursing manager
was in the form of implementing a nursing round which was expected to have an impact on improving the
implementation of discharge planning, as well as revisions to the standard operating procedures and the
discharge planning form in accordance with National Accreditation Standards. The result is an increase in
knowledge of the head nurse and clinical care manager related to nursing management rounds (49.25%) and
experience improvement (39.13%). The nursing manager agrees upon standard operational procedure of
discharge planning draft and discharge planning form. Socializing discharge planning to doctors, nurses,
nutritionists, pharmacists, and other health workers is needed to support patient safety and comfort before
returning home.
1. Introduction
Discharge planning is a preparation process before a patient leaves from one level of service
to another level of service or exits from a service unit to the home, which is carried out
during the treatment process, to decide what is the best action for the patient's health after
leave the hospital (9). The discharge planning process is carried out comprehensively and
involves multidisciplinary activities that cover all health care providers involved in providing
health services to patients, as well as the involvement of patients and families (12). Discharge
planning is done holistically including bio-psychosocial, cultural, and spiritual that needs to
be achieved (2).
Fatmawati hospital as a national referral hospital for people throughout Indonesia sets a
standard for health workers to plan a patient return, in accordance with national (KARS) and
international (JCI) accreditation standards and supports the implementation of patient care
standards related to Access to Care and Continuity to Care (ACC). Fatmawati hospital has
clear guidelines regarding discharge planning, standard operational procedure, and flow
that are already available well, along with the forms that are available to help
implementation. Discharge planning is needed, related to the characteristics of patients
in Fatmawati Hospital from across the province and there is an increase in the proportion of
patients with severity level 3 (up to 30-40% of cases), meaning patients who come have a
disease with a major complication rate (11).
Based on observations about 3 months, nurses experienced problems including the lack of
integration between caregivers for the implementation of discharge planning. In addition,
not all professional caregivers consistently plan a discharge planning, so estimates of the
length of stay often cannot be determined, and the patient's length of stay becomes
elongated. Nursing rounds are effective in improving the quality of a nurse's performance
and increasing patient satisfaction with nursing services. Rounds with direct interaction with
patients can help identify patient needs, conditions and environment that will support
patient recovery and become problem-solving solutions. There needs to be socialization of
the implementation of rounds and the involvement of managers in the process of
optimizing discharge planning.
2. Objectives
The objective of this study is to identify optimization of nursing rounds and implementation
of discharge planning in Fatmawati Hospital in Jakarta.
3. Method
The method used is in the form of case studies by reviewing documents, interviews, and
questionnaires distributed to nursing staff that has worked for more than three years in
unit Teratai of Fatmawati Hospital in Jakarta. This study is an innovation legalized by a
permit number DM 01.01/ VII.2/ 1361/ 2019 to collect data and publish the research
result conducted in Fatmawati Hospital in Jakarta.
Situation analysis is carried out with a SWOT analysis to identify strengths, weaknesses,
threats, and opportunities related to discharge planning, then plans of action are made
together with the head of the room, clinical care manager, installation coordinator,
nursing committee and nursing field based on existing problems. The basis of analysis is
based on the role and function of management. Innovations that will be carried out based on
existing problems are in the form of nursing rounds and policy revisions related to discharge
planning as the embodiment of ongoing health services (continuum of care).
4. Result
Based on the results of the documentation review, there is incomplete documentation of
discharge planning. For example on the status of Mr. A, in the remarks column has not been
explained in detail regarding family members who care for patients at
home. Information about hazard at home and return transportation has not been filled.
Estimated length of stay cannot be determined. The results of the documentation review on
Mrs. C with the patient's status returning, the nurse is sufficiently complete to screen the
patient's risk factors to go home. In the remarks column, the nurse writes that there is a
patient's concern before discharge, but does not explain in detail the reason the patient is
worried about returning home and family members who care for the patient at home. Also
not explained about the number of children who are still the responsibility of the patient and
the type of follow-up needed. Based on interviews with inpatients at Unit Teratai, nurses
have carried out patient education in the form depend on needs and questions posed by
the patient, but some patients say that nurses have not given education related to care needs.
Based on the results of the questionnaire, it was found that most (50.98%) nurses
understood the discharge planning function appropriately, namely to prepare a follow-up
plan from admission to return to home.
The results of the questionnaire showed that nurses did not feel clear about filling in form
discharge planning. In addition, the nurse said that the means to support the implementation
of the discharge planning were inadequate. The means referred to here are for example
leaflets, brochures, CDs, and so on. The Health Promotion and Public Relations Installation
(IPKH) stated that several leaflets had been made in accordance with the disease that often
appeared but incomplete. In addition, most nurses (73.3%) knew that all caregivers gave
discharge planning; include doctors, nurses, nutritionists, pharmacists, and rehabilitation.
But in fact, nurses only fill discharge-planning form. Suggestions put forward by nurses
regarding the implementation of discharge planning are the socialization carried out by
management to all staffs’ involved and increased commitment to the sustainable
implementation of discharge planning.
Based on interviews with the Head of Monitoring and Evaluation Nursing, Fatmawati
Hospital formed the Access and Continuity to Care Team to identify problems, monitor, and
evaluate the discharge planning implementation so that it was carried out continuously in
accordance with established standards. There isn’t a nursing round, but there is a Case
Reflection and Discussion (DRK) activity conducted at least once a month by each room at
Teratai Unit to discuss specific cases specifically including the repatriation plan that will be
given.
Because the Teratai Unit has held Case Reflection and Discussions (DRK), the nursing rounds
are not carried out in this unit. In fact, nurse, the head nurse, and PN only carried out case
reflection discussions, by inviting the nursing coordinator. Complicated problems that occur
in the room cannot be directly conveyed to top management without nursing rounds.
The author makes a TOWS matrix to find solutions to problem solving using opportunities
and strengths that exist both inside and outside the organization, as well as conducting target
setting and activities with the balance scorecard. Innovations agreed upon by low, middle,
and top managers based on the results of discussions are the implementation of nursing
rounds and new drafts containing standard operational
procedure and discharge planning forms based on National Accreditation Standards and
JCI.
Standard operational procedure and form are socialized to the head nurse and PN. The input
given is in the form of a more representative and efficient form in writing related to
Fatmawati Hospital, which will use a computerized system. Additional points in accordance
with National Accreditation Standards are agreed. The discharge planning draft is stated to
be more complex and complete and facilitates filling in according to the authority of each
caregiver professional. The standard operational procedure and the form are received by the
ACC team and will be submitted to the medical service field for the revisions. The follow-up
plans that will be carried out include the revision and ratification of the standard operational
procedure and form this month. The target that cannot be implemented is to socialize the
implementation of discharge planning to all staff of professional caregivers because they
plan to conduct socialization to all professional caregivers after completing revisions.
After socializing the nursing round to low, middle, and top management, there are
differences in understanding and experience regarding the implementation of rounds before
and after socialization. It can be seen that the knowledge of the head nurse and clinical care
manager regarding the round has increased as much as 49.25% , and the experience of the
head nurse and clinical care manager in the round has increased by 39.13%.
The knowledge of the head nurse and clincinal care manager
regarding the round has increased as much as 49.25%
100
50
The experience of the head nurse and clincinal care manager in the round has
increased by 39.13%
100
50
5. Discussion
Fatmawati Hospital uses the primary nurse (PN) method. Nursing care based on the PN
method, also called relationship-based nursing, has the principle that the nurse has
responsibility or authority from the beginning of the patient's admission to the hospital until
repatriation preparation, and for 24 hours is responsible for providing nursing care. The
nurse examines the patient's needs so that discharge planning can be done immediately (8).
Discharge planning is one of the points of assessment in a patient-centered care scenario and
integrated patient care (16). It is important to do the nursing round. Matron rounds are
carried out by going around to one room to another room with the aim of asking about the
patient's condition and checking the standards of care for care, hygiene, tidiness, and
checking the quality of nurses in implementing nursing care (4). Required roles and
functions of the manager to carry out nursing rounds to ensure the implementation of
patient-centered care. Nursing management always begins with the process of planning,
organizing, staffing, direction, and supervision (18).
Planning is a result of all sequences of thoughts about what will be done in accordance with
agreed objectives. Planning consists of what, how, where, when, and why it is done. With
good planning, assignments that are more specific and detailed can be determined by the
staff, so that managers can carry out appropriate monitoring or
supervision in accordance with the indicators of achieving organizational goals. Points from
planning compile organizational policies and formulate organizational performance
standards. The policies compiled in the form of guidelines, standard operational procedure,
guidelines regarding the nursing round and the standard operational procedure of discharge
planning.
In addition, there is a need to revise the discharge planning implementation policy. In the
assessment, identified patients who need discharge planning with several criteria such as
age, mobilization inability, the need for nursing assistants, and need assistance for an activity
daily living (ADL). It also identified the needs of social assistance, nutrition, finance,
psychology, transportation, and the need for preventive efforts at home. Caregivers
professionals are also required to review patient and family expectations regarding hospital
care until home return (16). Discharge planning implementation includes special education
or training needed by patients and families for continuity of care outside the hospital.
Hospital refers patients to health practitioners where patients live if patients come from
other communities or regions. Families are contributed in the return planning process (6).
The form can be added by identifying activities that allowed to be done at home
according to the daily living activity based on the value of patient dependence (17). In
addition, signatures and identities of recipients of information can be added to prevent the
provision of repeated information and to ensure the accuracy of the information.
The organizing function focuses on implementing a range of controls in the implementation
of discharge planning care. Organizing focuses on the structure of the job description of each
individual at each level (5). In the organizing function, clearly written about the
organizational structure, meaning clearly stated the function of each staff, to whom he must
be responsible, and how their flow to communicate. This also applies to the implementation
of a nursing round.
In the major rounds of nursing, the top manager plays the main role in carrying out the
round followed by the nursing committee, the installation coordinator, the head nurse and
the clinical care manager. The person in charge of the patient is tasked with ensuring optimal
discharge planning implementation as well as overseeing the completeness of the discharge
planning documentation, conveying matters that are obstacles to the implementation of
discharge planning to the nursing field during the nursing round. This is so that the top
manager knows clearly about the problems that exist to determine the most appropriate
problem solving that can be done. On the other hand, the quality committee is significantly
responsible for carrying out documentation audits including complete documentation of
discharge planning.
Actuating is how methods are carried out by managers to organizational members to carry
out their roles in accordance with their authority (19). Effective communication and strong
motivation help a direction to go well. In motivation, there needs to be a positive
reinforcement that can be used by managers to increase strong incentives. Actuating in this
innovation includes re-socializing rounds and brainstorming between leaders in planning
and obstacles that may occur during the round. The purpose of the nursing round is
understood together, namely increasing patient safety, identifying patient
needs, communication inability between nurses and patients, and increasing patient
satisfaction. Nursing rounds are proven to improve the skills and knowledge of a nurse so
that the quality of nursing care will also increase (3).
Controlling is a way of evaluating staff performance to run according standards. The
object of supervision is in the form of managerial abilities and nursing care. The findings
from the basis for providing alternative improvements that must be done together, and
preventing similar problems happened again. The function of supervision (controlling) is
carried out to maintain or improve the quality of organizational performance. Knowledge
evaluation can be done through the questionnaire method, study documentation,
observation, or assessment of procedures carried out directly. Questionnaires distributed
to participants who took part in the nursing round socialization showed that there was an
increase in knowledge and experience from round participants.
Effective leadership can influence the behavior of others so that the goals of the organization
can be achieved (5). Managers increase the role of discharge planning implementation by
nursing staff. Speaking of the role of manager, managers need to evaluate the motivation of
each staff because the levels of motivation vary by individual. Mintzberg said that giving
motivation is one of the interpersonal roles of a leader (10). Motivation of each individual
can be assessed depending on what needs are underlying (13).
According to Douglas Mc Gregor, it is said that managers have two perspectives on their
staff, namely the theory X says that some staff have a dislike nature of work so
managers need to direct and motivate staff in full, while Y theory states that some staff
have a creative and responsible nature. Fredrick Herzberg said that there are two things that
become motivations in a person, namely extrinsic factors such as supervision, wages, and
work conditions, and intrinsic factors such as responsibility and achievement. Managers
need to review this to find out the right follow-up for all members of the organization.
Managers need to know the need for achievement, strength, and affiliation so that staff has
self-efficacy to devote themselves to their work both physically, mind and emotion; deepen
their role in work and are fully committed to their work (13).
The informational role of a manager is one of them related to effective communication.
Communication consists of transfers and understanding. This means that the message must
arrive at an understanding so that communication is said to be effective if the sender and
recipient of the message have one common understanding. The direction of communication
that can be done by a manager, namely on the staff in the form of instructions, work
direction, policy information, or work procedures. Staff provides feedback for information
that has been submitted. Managers play a decisive role when together with staff discuss
issues and solve the right problem. This discussion can be done in a nursing management
round. Shared commitment is needed so that the implementation of the round continues
every month, with the involvement of the nursing field in making a monthly schedule for
implementing nursing rounds according to guidelines, standard operational procedure, flow,
and round assessment instruments that have been prepared. Ratification of the round guide
by the nursing field and the president director is a follow-up
plan, so that the implementation of the nursing round is not only carried out in one
installation but also throughout the care unit in Fatmawati Hospital.
6. Conclusion
This study concluded that the socialization of nursing management rounds was effective in
increasing patient knowledge and experience. Nursing rounds can help nurses in finding
complex problem-solving solutions related to nursing care including discharge planning. The
drafting of the discharge planning policy according to National Accreditation Standards is
approved by low-middle-top nursing management and will be taken into consideration in the
making of the revised standard operational procedure. Managers need to implement
managerial roles and functions appropriately so that the discharge planning process can be
carried out effectively and efficiently.
7. Recommendation
Continuous and well-structured discharge planning is one of the manifestations of patient-
centered care. Therefore, the author's recommendations may be needed to improve quality
in the implementation of discharge planning. Commitment to the implementation of the
nursing round scheduled by top management of nursing can improve cooperation involving
all staff to follow up on problems that occur while conducting discharge planning.
Recapitulation of readmission numbers should be documented every month in order to
evaluate the success of discharge planning. In addition, the implementation of discharge
planning related education needs to be carried out. Managers provide motivation to staff
on the basis of implementing discharge planning to patients before returning home with
effective communication.
TOWS Matrix
Strength Weakness
1. The formation of the ACC team that identifies the problem, 1. Some nurses do not understand about the
supervises, evaluates the implementation of discharge format and content of discharge planning
planning 2. There is no agreement between health care
2. Availability of guidelines and standard operational team to determine expected discharge date
procedure related to the implementation and 3. Revisions to standard operational procedure
documentation of discharge planning and discharge planning form have never been
3. The existence of discharge planning form issued by the done
Medical Services Field 4. Re-socialization regarding the implementation
4. There are DRK activities carried out in each Teratai Unit to of discharge planning has not been carried out
discuss specific diseases 5. There is no commitment to implementing
5. The Health Promotion and Public Relations Installation discharge planning together in an integrated
facilitates discharge planning manner
6. Fatmawati Hospital has been accredited by KARS and JCI 6. The big round of nursing has not been carried
out
Opportunity SO Strategy WO Strategy
1. KARS and JCI provide the necessity for every a. Improve the performance of the ACC POKJA team related to a. Revised standard operational procedure and
hospital to carry out discharge planning to discharge planning to meet the high demand of the discharge planning form to support the
improve service quality community for knowledge about what to do after returning achievement of service quality standards in
2. The high public need for knowledge about what home\ accordance with JCI and KARS
to do after returning home b. Optimizing the performance of The Health Promotion and b. Re-socialize the implementation of discharge
3. There is support from the government to the Public Relations Installation for the procurement of P3 planning to improve the quality
Hospital under KEMENKES supporting facilities using government support
(KEMENKES)
International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), Volume 2, Issue 1, March 2019 125
PLAN OF ACTION
NO Indicator Activity Strategy Audience
1 Availability of agreed Discus with top 1. Meeting to discuss SPO and existing DP forms with the top management of Top management 2018
upon with the field of management of medical and nursing services
top management nursing 2. Making the standard operational procedure and form draft according to SNARS
2018
3. Meeting with the head nurse and clinical care manager to discuss the standard
operational procedure and form draft that has been made
4. Submission of proposals to the top management
5. Conducting SPO testing and form that have been approved
2 Implementation of Implementation 1. Conduct perceptual equations with nursing top management related to the Clinical care November anagement of
nursing rounds of nursing rounds in Teratai implementation of nursing rounds manager and 2018 nursing
installations 2. Socialize nursing rounds to clinical care manager and head nurse head nurse
3. Carry out the nursing round
4. Conduct evaluations related to nursing rounds
3 Discharge planning
Implementation 1. Discussing with the management of medic services related to re-socialization of Management of November anagement of
re-socialization to all professional of discharge discharge planning to all caregivers professionals medical services, nursing staff, 2018 nursing
interdisciplinary planning re- 2. Conducting discharge planning re-socialization caregivers
socialization 3. Evaluate after the re-socialization process
International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), Volume 2, Issue 1, March 2019 126
Reference
1. Alligood, Martha Raile. (2014). Nursing Theories and Their Work. Elsevier Mosby:
USA.
2. Alligood, Martha Raile. (2014). Nursing Theories and Their Work. Elsevier Mosby:
USA
3. Clement, Karen. (2011). Innovativeness of Nurse
Leaders. USA https://doi.org/10.1111/j.1365-
2834.2010.01199.x
4. Close & Castledine. (2005). Nursing Rounds Part I : Marton Rounds. British
Journal of Nursing, 2005,Vol 14, No 15. 137.189.171.235
5. Gillies, Ann. (2000). Nursing Management: A System Approach. W.B. Saunders
Company : U.K
6. Joint Commission International. (2017). Accreditation Standards for
Hospitals 6th Edition. Department of Publications Joint Commission
Resources: USA.permissions@jcrinc.comemic
7. Health Ministry of Republic Indonesia. Situation of Indonesian Nursing
Workers. Center for Data and Information.
Http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
infodatin%20perawat%202017.pdf
8. Marquis & Huston. (2015). Leadership Roles and Management Function in
Nursing: Theory and Application. Lippincott: UK
9. McMartin. (2013). Discharge Planning in Chronic Conditions: an Evidence-Based
Analysis. Ont Health Technol Assess Ser. 2013 Sep 1;13(4):1-72. e-Collection
2013.
10. Mintzberg, H. (1973). The Nature of Managerial Work. Harper and Row: New York
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs)
12. 4Potter & Perry. (2011). Fundamental of Nursing 7th Edition. English : Elsevier
13. Robbins, Stephen P. (2017). Organizational Behaviour. England : Pearson
Education.
14. Shalchi, Z. (2009). Factors Influencing Hospital Readmission Rates After Acute
Medical Treatment.Clinical Medicine 2009, Vol 9, No 5: 426–30
15. Ji In Shin. (2016).The Effect of Social Capital on Job Satisfaction and Quality
of Care Among Hospital Nurses in South Korea. Journal of Nursing Management.
Volume 24, Issue 7.https://doi.org/10.1111/jonm.12401
16. Sutoto. (2018). National Accreditation Standards Republic of Indonesia: Hospital
Accreditation Commission
17. Sutoto (2016). Practice Guide for Case Manager in Hospitals: Hospital
Accreditation Commission.
18. Swansburg, R. (1996). Management and leadership for nurse managers.
Boston: Jones and Bartlett Publishers.
19. Whitehead, Weiss,& Tappen. (2010). Essentials of Nursing Leader. F.A. Davis
Company
International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), Volume 2, Issue 1, March 2019 127
Analisis Ketidaksinambungan Dokumentasi Perencanaan Asuhan
Keperawatan : Metode Ishikawa
Abstrak
Perencanaan asuhan keperawatan merupakan kunci dari continuity of care.Dokumentasi
perencanaan asuhan keperawatan yang tidak saling berkesinambungan dalam rekam medis
berdampak pada kualitas asuhan pasien. Tujuan studi ini adalah menganalisis penyebab
fenomena ketidaksinambungan tersebut sehingga dapat memberikan rekomendasi untuk
perbaikan bagi pelayanan asuhan keperawatan. Metode yang digunakan adalah studi kasus
dengan pendekatan analisis gap antara kondisi yang terjadi dengan kondisi ideal. Studi ini
menganalisis fenomena berdasarkan pendekatan fungsi manajemen keperawatan dan metode
Ishikawa. Teknik pengumpulan datanya adalah dengan cara wawancara, observasi dan data
sekunder dari studi dokumentasi data rumah sakit. Responden dipilih dengan cara tehnik
purposive sampling sejumlah sembilan orang manajer keperawatan. Hasil analisis Ishikawa
menemukan penyebab utama adalah lembar POC pada awalnya diberlakukan oleh pokja
akreditasi rumah sakit sehingga setelah penilaian akreditasi selesai keberlanjutannya
terhambat. Selain itu ditemukan juga masalah lain sepertipengetahuan perawat tentang
metode penugasan perawat primer, ketenagaan dan supervisi rekam medis POC yang belum
optimal. Kesimpulan dari analisis fungsi manajemen keperawatandiperoleh bahwa fungsi
pengarahan dan fungsi pengendalian perlu ditingkatkan agar dokumentasi perencanaan
asuhan keperawatan lebih optimal.
Abstract
2. Kepala Instalasi
Tugas dan wewenang Instalasi lebih kepada Instalasi tidak berfokus pada
ICU
pelayanan dan pengadaan fasilitas sumber daya Asuhan Keperawatan.
ICU.
3. Komite
Peran serta Komite Keperawatan terhadap Proses kredensial oleh Subkomite
Keperawatan
nursing care plan adalah rekomendasi terkait kredensial telah berjalan sesuai
kompetensi dan kewenangan klinis perawat primer dengan perencanaan komite
dan perawat pelaksana. keperawatan.
4. Bidang
a. Supervisi pelaksanaan asuhan keperawatan a. Ada kegiatan supervisi
Keperawatan
primer didelegasikan dari Kepala ruang rekam medis terbuka dari
kepada clinical instructor (CI). Bidang Keperawatan.
b. Evaluasi implementasi MAKP tahun 2018 b. Telusur rekam medis lembar
belum terlaksana POC masih menilai sebatas
c. Perawat primer mendokumentasi nursing care ada atau tidak saja.
plan di POC saat awal masuk pasien. Kualitas POC dan
d. Belum ada petujuk tehnik bagaimana kesinambungan POC
pengisian POC terutama mengenai assesmen selama pasien dirawat
lanjutan. belum terlaksana.
e. Form POC berasal dari Pokja ARK saat
masa Akreditasi, bukan dari Bidang
keperawatan.
f. Nursing care plan pada lembar POC di
ruangICU ditentukan minimal lima masalah
keperawatandengan syarat harus
dilaksanakan secara komprehensif. Namun
seringnya dipersepsikan hanya membuat
limacare plan saja dilembar POC.
3. Fungsi Manajemen Keperawatan baik. Hal ini dibuktikan dengan
Perencanaan Bidang Keperawatan adanya regulasi Metode Asuhan
terkait metode penugasan asuhan Keperawatan Primer (MAKP),
keperawatan sudah berjalan sangat Panduan MAKP dan Panduan
Asuhan Keperawatan (PAK) yang berada dibawah tanggung jawab
berlaku di Rumah Sakit. Organisasi subkomite kredensial. Kredensial
MAKP juga sudah terbentuk disetiap menjamin ketersediaan perawat sesuai
ruang ranap inap. Staffing perawat kompetensi dan kewenangan klinis
primer dan perawat asosiet dirasa berdasarkan standar MAKP.
cukup memadai meskipun belum
sesuai dengan kebutuhan yang Kepala ruangan berperan dalam
sesungguhnya. Hasil supervisi rekam pencanaan kebutuhan tenaga,
medis terbuka menunjukkan ruang penyusunan jadwal bulanan dan
ICU mencapai hasil diatas 90%. ketersediaan PAK (Panduan Asauhan
Penilaian supervisi rekam medis Keperawatan) serta SPO (Standar
terbuka salah satunya adalah format Prosedur Operasional). Kepala
POC, akan tetapi masih sebatas ada ruangan bersama clinical instructor (CI)
atau tidak saja. Monitoring evaluasi merencanakan dan
POC belum kepada kualitas dan melaksanakan evaluasi mutu asuhan
kesinambungan asuhan keperawatan keperawatan. CI bertanggung jawab
mulai dari pengkajian, diagnosa, dalammemberikan bimbingan dan
perencanaan, implementasi hingga evaluasi impementasi MAKP. CI
evaluasi asuhan keperawatan. bersama dengan perawat primer
mengevaluasirekam medis
Komite Keperawatan berperan berdasarkan instrumen evaluasi
merencanakan kredensial bagi seluruh implementasi MAKP.
perawat. Pelaksanaan kredensialing
4. Analisis Ishikawa
Analisis terkait perencanaan asuhan
keperawatan di ruang intensif anak
menggunakan diagram Ishikawa
berdasarkan beberapa komponen
yaitu man, mathods, materials,
machine, measurement
dan environment.
Diagram 1 Ishikawa Method :