Anda di halaman 1dari 43

PERCOBAAN II

TEOREMA THEVENIN NORTHON

OLEH :

FAIRUZ RIZQULLAH (03320190077)

ANANDA NURUL CHUMAERAH (03320190078)

NILA ARMILA (03320190079)

HARFIANA (03320190081)

LABORATORIUM LISTRIK DASAR DAN ELEKTRONIKA

JURUSAN ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jika kita berbicara tentang rangkaian elektronika, maka kita tidak lepas kaitannya
dengan berbagai jenis rangkaian elektronika, mulai dari rangkaian elektronika yang kompleks
hingga ranngkaian yang lebih sederhana. Khusus untuk menyederhanakan suatu rangkaian
dari rangkaian yang rumit menjadi rangkaian yang lebih sederhana, maka ada rangkaian
tersendiri yang membahasnya. Rangkaian inilah yang disebut dengan rangkaian setara
Thevenin-Northon.
Pengertian hambatan secara tidak hanya digunakan pada dua hambatan paralel, akan
tetapi untuk segala macam hubungan antara beberapa buah hambatan. Dengan menggunakan
rangkaian setara, kita dapat membahas perilaku suatu alat elektronika berdasarkan
pengukuran pada keluaran tanpa mengetahui rangkaian di dalamnya. Selain itu, kita juga
dapat mengetahui pengaruh beban terhadap tegangan dan kuat arus output dari rangkaian
elektronika dengan menggunakan teorema thevenin dan northon.
Terkadang seseorang membuat terobosan dalam bidang sains dan teknik dan
membawa kita menuju sesuatu yang baru. Seorang insinyur Perancis, ML Thevenin membuat
suatu loncatan saat dia menemukan teorema. Untuk menyederhanakan suatu rangkaian
kompleks yang ingin ditentukan parameter-parameternya namun tidak diketahui isinya, maka
pengukuran langsung pada gerbang keluarannya adalah metode terbaik dapat dilakukan
berdasarkan teorema Thevenin dan Northon.
Menurut Theori Thevenin, sembarang rangkaian linier dengan ujung terbuka dapat
digantikan dengan sumber tegangan yang diseri dengan suatu resistor. VTH = tegangan
terbuka yang ada pada ujung terbuka rangkaian asli, sedangkan RTH = resistansi/impedans
antara ujung terbuka rangkaian asli, dimana semua sumber internal dibuat harga nol (sumber
tegangan diganti short circuit, sumber arus diganti open circuit).
Menurut Theori Northon, sembarang rangkaian linier dengan dua ujung terbuka dapat
digantikan dengan sumber arus yang diparalel dengan suatu resistor. Ada dua bentuk
rangkaian setara, yaitu rangkaian setara Thevenin dan rangkaian setara Northon.
Definisi Tegangan dan Hambatan Thevenin, VTH, didefinisikan sebagai tegangan
yang melewati terminal beban saat hambata beban terbuka. Karena ini, tegangan Thevenin
terkadang disebut dengan tegangan rangkaian terbuka.
1.2. Tujuan Percobaan
Adapun tujuan percobaan ini yakni mahasiswa dapat membuktikan teori equivalent
Thevenin dan teori equivalent Northon.
1.3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Pelaksanaan Praktikum Fisika Teknik ini dilakukan secara daring melalui aplikasi
Zoom dan WhatsApp pada hari/tanggal : Minggu, 12 Juli 2020 jam 09.00 WITA sampai
selesai.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Singkat


Dalam elektronika ada beberapa pengertian dasar yang benar-benar perlu dikuasai,
yaitu rangkaian setara dan arus transien. Dengan menggunakan rangkaian setara, kita dapat
melakukan pengukuran pada masukan dan keluaran suatu piranti elektronik tanpa mengetahui
rangkaian di dalamnya. Ada dua rangkaian setara yang lazim digunakan yakni Rangkaian
Setara Thevenin dan Rangkaian Setara Norton. Pengertian hambatan setara tidak hanya
digunakan untuk dua hambatan paralel saja, akan tetapi untuk segala macam hubungan antara
beberapa buah hambatan.
Pengertian hambatan setara tidak hanya digunakan untuk dua hambatan. Dalam hal
suatu rangkaian listrik yang mengandung sumber tegangan atau sumber arus, atau kedua-
duanya serta mengandung hambatan, kapasitor, dioda, transistor, transformator dan
sebagainya dapat menggunakan pengertian rangkaian setara, untuk mempermudah kita
membahas perilaku rangkaian dalam hubungannya dengan beban atau rangkaian lain.
Ada dua bentuk dasar rangkaian setara yakni rangkaian Setara Thevenin dan Setara
Norton. Rangkaian Setara Thevenin menggunakan sumber tetap yakni suatu sumber tegangan
ideal dengan tegangan, keluaran yang tidak berubah, berapa pun arus yang diambil darinya.
Rangkaian Setara Norton menggunakan sumber arus tetap, yang dapat menghasikan arus
tetap berapa pun besar hambatan yang dipasang pada keluarannya (Sutrisno, 1989).
M.L Thevenin telah membuat suatu rangkaian kemajuan ketika ia menemukan sebuah
teorema rangkaian yang sekarang disebut dengan teorema Thevenin. Teorema Thevenin
menunjukkan bahwa keseluruhan jaringan listrik tertentu, kecuali beban dapat diganti dengan
sirkuit yang hanya mengandung suatu sumber tegangan listrik independen dengan sebuah
resistor yang terhubung secara seri. Pada rangkaian pengganti Thevenin, tahanan beban
merasakan sebuah tahanan sumber yang terhubung seri dengan sebuah sumber tegangan.
Tegangan Thevenin adalah tegangan yang tampak pada terminal-teminal beban bila tekanan
beban dilepaskan. Tegangan thevenin biasa disebut dengan tegangan rangkaian terbuka
(Malvino, 2003).
Untuk menghitung arus pada suatu rangkaian atau hambatan pada setiap nilai tahanan
R, yaitu dengan mengombinasikan secara seri dan parallel tahanan-tahanan tersebut untuk
mendapatkan tahanan total yang dirasakan oleh sumber tegangan. Kemudian untuk
menghitung arus total yang bekerja kearah beban yaitu dengan membagi-bagi arus hingga
akhirnya diperoleh arus beban dan bias diselesaiakan dengan pesamaan simulasi dari loop
Kirchoff. Bila diberikan rangkaian Thevenin, maka teorema Norton mengatakan bahwa kita
dapat menggantinya dengan rangkaian Norton (Prihatno, 2009).

2.2. Teorema Thevenin


Pada teorema ini berlaku bahwa :
Suatu rangkaian listrik dapat disederhanakan dengan hanya terdiri dari satu buah sumber
tegangan yang dihubungserikan dengan sebuah tahanan ekivelennya pada dua terminal yang
diamati.
Tujuan sebenarnya dari teorema ini adalah untuk menyederhanakan analisis rangkaian,
yaitu membuat rangkaian pengganti yang berupa sumber tegangan yang dihubungkan seri
dengan suatu resistansi ekivalennya.

Gambar 2.1 Teorema Substitusi

Pada gambar diatas, dengan terorema substitusi kita dapat melihat rangkaian sirkuit B
dapat diganti dengan sumber tegangan yang bernilai sama saat arus melewati sirkuit B pada
dua terminal yang kita amati yaitu terminal a-b.
Setelah kita dapatkan rangkaian substitusinya, maka dengan menggunakan teorema
superposisi didapatkan bahwa :
1. Ketika sumber tegangan V aktif/bekerja maka rangkaian pada sirkit linier A tidak aktif
(semua sumber bebasnya mati diganti tahanan dalamnya), sehingga didapatkan nilai
resistansi ekivalennya.
Gambar 2.2 Sirkit Linier A
2. Ketika sirkit linier A aktif/bekerja maka pada sumber tegangan bebas diganti dengan
tahanan dalamnya yaitu nol atau rangkaian short circuit.

Gambar 2.3 Rangkaian Short Cicuit

Dengan menggabungkan kedua keadaan tadi (teorema superposisi) maka didapatkan:

Pada saat terminal a-b di open circuit (OC), maka i yang mengalir sama dengan nol (i = 0),
sehingga :

Gambar 2.3 Rangkaian Short Cicuit i = 0


Dari persamaan (1) dan (2) , didapatkan :

Cara memperoleh resistansi penggantinya (Rth) adalah dengan mematikan atau


menonaktifkan semua sumber bebas pada rangkaian linier A (untuk sumber tegangan tahanan
dalamnya = 0 atau rangkaian short circuit dan untuk sumber arus tahanan dalamnya = ∞ atau
rangkaian open circuit).
Jika pada rangkaian tersebut terdapat sumber dependent atau sumber tak bebasnya, maka
untuk memperoleh resistansi penggantinya, terlebih dahulu kita mencari arus hubung singkat
(isc), sehingga nilai resistansi penggantinya (Rth) didapatkan dari nilai tegangan pada kedua
terminal tersebut yang di-open circuit dibagi dengan arus pada kedua terminal tersebut yang
di- short circuit.
Langkah-langkah penyelesaian dengan teorema Thevenin :
1. Cari dan tentukan titik terminal a-b dimana parameter yang ditanyakan.
2. Lepaskan komponen pada titik a-b tersebut, open circuit kan pada terminal a-b kemudian
hitung nilai tegangan dititik a-b tersebut (Vab = Vth).
3. Jika semua sumbernya adalah sumber bebas, maka tentukan nilai tahanan diukur pada titik
a-b tersebut saat semua sumber di non aktifkan dengan cara diganti dengan tahanan
dalamnya (untuk sumber tegangan bebas diganti rangkaian short circuit dan untuk sumber
arus bebas diganti dengan rangkaian open circuit) (Rab = Rth).
4. Jika terdapat sumber tak bebas, maka untuk mencari nilai tahanan pengganti Theveninnya
didapatkan dengan cara

5. Untuk mencari Isc pada terminal titik a-b tersebut dihubungsingkatkan dan dicari arus
yang mengalir pada titik tersebut (Iab = Isc).
6. Gambarkan kembali rangkaian pengganti Theveninnya, kemudian pasangkan kembali
komponen yang tadi dilepas dan hitung parameter yang ditanyakan.
2.3. Theorema Northon
Pada teorema ini berlaku bahwa :
Suatu rangkaian listrik dapat disederhanakan dengan hanya terdiri dari satu buah sumber
arus yang dihubungparalelkan dengan sebuah tahanan ekivelennya pada dua terminal yang
diamati.

Tujuan untuk menyederhanakan analisis rangkaian, yaitu dengan membuat rangkaian


pengganti yang berupa sumber arus yang diparalel dengan suatu tahanan ekivalennya.

Gambar 2.4 Theorema Northon

Langkah-langkah penyelesaian dengan teorema Norton :


1. Cari dan tentukan titik terminal a-b dimana parameter yang ditanyakan.
2. Lepaskan komponen pada titik a-b tersebut, short circuit kan pada terminal a-b kemudian
hitung nilai arus dititik a-b tersebut (Iab = Isc = IN).
3. Jika semua sumbernya adalah sumber bebas, maka tentukan nilai tahanan diukur pada titik
a-b tersebut saat semua sumber di non aktifkan dengan cara diganti dengan tahanan
dalamnya (untuk sumber tegangan bebas diganti rangkaian short circuit dan untuk sumber
arus bebas diganti dengan rangkaian open circuit) (Rab = RN = Rth).
4. Jika terdapat sumber tak bebas, maka untuk mencari nilai tahanan pengganti Nortonnya
didapatkan dengan cara
5. Untuk mencari Voc pada terminal titik a-b tersebut dibuka dan dicari tegangan pada titik
tersebut (Vab = Voc).Gambarkan kembali rangkaian pengganti Nortonnya, kemudian
pasangkan

6. Kembali komponen yang tadi dilepas dan hitung parameter yang ditanyakan.
2.4. Arus Hubung Singkat (Short Circuit)
Istilah dalam bahasa Inggris adalah “Short Circuit” dan “Korstluiting” adalah bahasa
Belanda. Karena itu muncul istilah korsleting, korslet atau konslet, seperti yang biasa kita
gunakan sehar-hari. Karena hubung singkat ini menimbulkan arus listrik yang sangat besar
maka ada juga yang menggunakan istilah hubung singkat arus listrik.
Secara teknis, hubung singkat adalah gangguan yang terjadi pada sistem kelistrikan
dimana ada 2 penghantar yang memiliki beda tegangan terhubung dengan kondisi hambatan
listrik yang rendah sehingga timbul arus listrik yang besar.
2.4.1 Sifat Arus Listrik
Jika sumber tenaga listrik yang bertegangan dihubungkan dengan suatu beban listrik
dalam rangkaian tertutup, maka akan timbul arus listrik yang mengalir sepanjang rangkaian
tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.5 Rangkaian Tertutup

Lampu menyala pada kondisi rangkaian tertutup. Jika rangkaian diputus maka arus listrik
tidak ada dan lampu akan mati.

Gambar 2.5 Rangkaian Terbuka


2.4.2 Hukum Ohm
Perlu dicatat bahwa beban listrik (contoh diatas adalah lampu) memiliki hambatan atau
impedansi. Hubungan antara tegangan (yang berasal dari sumber tenaga listrik), arus listrik
dan impedansi digambarkan dalam hukum Ohm berikut ini :

Gambar 2.6 Segitiga Tegangan, Arus dan Hambatan

Bila “I” adalah simbol untuk arus , “V” adalah tegangan dan “R” adalah hambatan
(Resistance) atau impedansi, maka dapat dikatakan bahwa besar arus diperoleh dari tegangan
dibagi dengan hambatannya.
Jadi misalnya tegangan 220 Volt dihubungkan dengan beban listrik yang memiliki
hambatan misalnya 2200 Ohm, maka besar arus listriknya :
I = 220/2200

= 0,1 A

Seperti penjelasan diawal, hubung singkat adalah gangguan yang terjadi pada sistem
kelistrikan dimana ada 2 penghantar yang memiliki beda tegangan terhubung dengan kondisi
hambatan listrik yang rendah sehingga timbul arus listrik yang besar.
Gambar 2.7 Short Circuit

Untuk rangkaian seperti ini, hambatannya (R) hanya ada di penghantar dan nilainya
sangat kecil, mungkin hampir mendekati nol. Bila diasumsikan nilainya sekitar 0,01 Ohm,
maka besar arus menjadi :

I = 220/0,01
= 22000 A atau 22 kA.
Ini adalah nilai arus sangat besar yang mengaliri penghantar, melebihi kemampuan
hantar arus penghantar tersebut. Jika penghantar atau kabel listrik yang mempunyai Kuat
Hantar Arus (KHA) tidak lebih dari 50A dialiri arus sebesar 22kA dalam waktu beberapa
detik saja, maka akan terjadi kerusakan pada penghantar tersebut.
Nilai arus hubung singkat sebesar itu akan menimbulkan panas yang mampu
melelehkan lapisan isolasi dan membuat logam konduktor panas membara sebelum meleleh
juga. Akibat paling buruk, dalam kondisi tertentu, adalah timbulnya api.
Jadi kalau ada yang menyatakan bahwa hubung singkat arus listrik tidak berbahaya
bagi suatu instalasi listrik maka dapat dikatakan bahwa itu adalah pernyataan yang tidak
benar.

2.4.3 Proteksi Hubung Singkat Arus Listrik


Menimbang akan dampaknya, arus hubung singkat seperti itu harus segera diputus
secepat mungkin. Karena itulah MCB (Miniature Circuit Breaker) dipasang dalam suatu
instalasi listrik sebagai alat proteksi atau pengaman dari gangguan hubung singkat ini. MCB
mempunyai komponen yang mendeteksi adanya arus hubung singkat dan melakukan
pemutusan rangkaian listriknya sehingga arus hubung singkat tidak membahayakan instalasi
listrik.
Karena fungsinya yang sangat penting ini maka pastikan MCB yang terpasang harus
bagus kualitasnya. Penjelasan mengenai MCB dapat dilihat pada artikel berikutnya “MCB
sebagai Proteksi Instalasi Listrik”
Secara umum hubung singkat terjadi saat dua penghantar yang bertegangan terhubung
dengan impedansi yang rendah. Kemungkinan penyebabnya antara lain :

1. Isolasi penghantar yang sudah terkelupas atau kondisi jelek.


2. Penghantar tanpa isolasi terkena air dan terhubung dengan penghantar lainnya. Perlu
dicatat bahwa air dalam kuantitas tertentu dapat menjadi konduktor juga.

2.4.4 Jenis-jenis hubung singkat


A. Hubung singkat simetri
Hubung singkat ini terjadi pada sistem 3 fasa saja. Hubung singkat ini terjadi pada
ketiga konduktor berarus terhubung singkat secara bersamaan. Jenis hubung singkat
simetri hanya untuk hubung singkat 3 fasa dengan atau tanpa ke tanah. Hanya 5%
dari total kejadian gangguan hubung singkat adalah hubung singkat 3 fasa.
B. Hubung singkat tidak simetri
Hubung singkat ini terjadi pada sistem 1 dan 3 fasa. Hubung singkat ini terjadi di
antara konduktor berarus dengan atau tanpa ke tanah.
Hubung singkat tidak simetri ini dibagi menjadi
1. Fasa ke fasa tanpa ke tanah
2. Fasa ke fasa dengan ke tanah
3. Fasa ke tanah (80% dari total gangguan hubung singkat)
Diagram hubung singkat ditunjukkan seperti dibawah:
Gambar 2.8 hubung singkat : a. 3 Fasa b. Fasa ke fasa c. Fasa-fasa ke tanah d. Fasa
ke tanah

2.4.5 Perhitungan Arus Hubung Singkat


Perhitungan arus hubung singkat bisa menggunakan beberapa metode :
1. Metode impedansi
2. Metode komposisi
3. Metode konvensional
4. Metode komponen simetri
2.5 Impedansi
Impedansi adalah hasil gabungan dari nilai resistor dan reaktansi(hambatan dan Y)
dalam rangkaian AC (alternating current). Nilai reaktansiberasal dari nilai hambatan yang ada
pada kapasitor dan induktor.
Impedansi adalah ukuran resistansi pada sumber arus bolak-balik (AC) jadi secara
sederhana impedansi adalah resistansi yang lebih kompleks dan akurat pada arus AC.
Walaupun dalam speker terdapat impedansi dan tidak mempengaruhi kualitas secara
keseluruhan, tetapi secara otomatis akan mempengaruhi kerja sebuah system audio. Speaker
mobil biasanya mempunyai impedansi sekitar 4 Ohm, sedangkan speaker home audio
biasanya memiliki nilai 8 Ohm. Jika ditinjau lebih lanjut, satuan Ohm yang ada pada
impedansi sama dengan satuan untuk tahanan resistor. Padahal dalam hal in dipastikan sangat
berbeda.
Secara umum, impedansi memiliki definisi perhitungan secara total dalam Ohm dari
seluruh rangkaian elektrikal untuk signal langsung, yang termasuk diantaranya resistansi,
reaktansi, kapasitansi dan seluruh factor mekanika yang menimbulkan hambatan dari transfer
energy dalam sebuah sistem. Hal tersebut dapat diartikan kebanyakan driver dipastikan
mempunyai nilai dasar nominal impedansi dalam resistansi DC voicecoilserta pergerakan
mekanika. Dalam hambatan telah terdapat istilahnya sendiri yaitu: Hambatan = Resistensi
(R) sedangkan impedansi memiliki lambing Z. Namun keduanya memiliki satuan yang sama
yaitu Ohm.
Impedansi bukan hanya semata-mata hambatan. Impedansi adalah gabungan dari hasil
reaksi hambatan (R, resistensi) dan kapasitas electron (C, capacitance). Maka, dalam bahasa
di literature elektronika Indonesia lama, impedansi ini pernah coba diimpedansi ini pernah
coba diindonesiakan sebagai Reaktansi. Mungkin hendak menunjukkan impedansi sebagai
hasil reaksi hambatan dan kapasitansi secara bersamaan.
Efek impedansi berhubungan dengan arus. Semakin besar impedansi maka akan
semakin kecil arus yang bisa lewat, dan sebaliknya. Seberapa besar arus yang bisa mengalir
ternyata mempengaruhi daya maksimal yang bisa dikeluarkan oleh suatu rangkaian. Jadi,
daya maksimal yang bisa dikeluarkan ini ternyata ada hubungannya dengan volume kekuatan
suara maksimal yang bisa dikeluarkan.
Impedansi itu merupakan nilai resistansi yang tidak murni, berbeda dengan nilai
resistansi suatu komponen resistor itu bia kita ukur dengan alat multimeter jarum atau
multimeter digital. Tetapi jika nilai impedansi tidak bisa diukur dengan multimeter, bisa
dicoba dengan cara mengambil sebuah driver speaker yang nilai impedansinya 8 Ohm, ukur
dengan multimeter (saklar selector multimeter di set ke satuan ohm), pasti nilai yang terukur
di multimeter tidak akan menunjukkan nilai 8 Ohm. Jadi impedansi itu bukan suatu nilai
resistansi/tahanan murni. Mengukur impedansi speaker itu bisa dilakukan dengan rangakaian
ukur yang melibatkan: sine generator, baik audio generator.
2.5.1 Komponen Rangkaian RLC
Salah satu jenis rangkaian listrik adalah terdiri dari resistor, induktor, dan kapasitor.
Karena terdiri dariresistor (R), induktor (L), dan kapasitor (C), makarangkaian tersebut
dinamakan rangkaian RLC. Rangkaianini membentuk osilasi harmonik dan akan
beresonansi dalam cara yang sama sebagai rangkaian LC. Sebelum masuk ke
pembahasan rangkaian RLC, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu komponen-
komponen pada rangkaian RLC :

A. Resistansi, Reaktansi, dan Impedansi


Resistansi adalah hambatan yang diberikan olehresistor. Reaktansi adalah hambatan
yang bersifat reaksi terhadap perubahan arus dan tegangan. Nilainya berubah-ubah
tergantung dengan perbedaan fase dari arus dantegangan. Sedangkan impedansi
adalah keseluruhan darisifat hambatan terhadap arus, baik mencakup
resistansi,reaktansi, atau keduanya. Impedansi sering juga disebut hambatan dalam.
Satuan ketiga jenis hambatan ini adalah ohm (Ω).

B. Induktor dan Kapasitor


Induktor adalah komponen listrik yang menyimpan energi listrik dalam bentuk
energi magnetik. Induktor menghambat arus dengan cara menurunkan
tegangan,berbanding lurus dengan laju perubahan arus. Menuruthukum Lenz,
tegangan terinduksi selalu dalam polaritas sedemikian sehingga menjaga nilai arus
sama seperti sebelumnya. Jadi, ketika arus meningkat, tegangan terinduksi akan
melawan aliran elektron. Sedangkan ketika arus menurun, polaritas akan berbalik
dan mendorong aliran elektron. Hal ini disebut sebagai reaktansi. Dalam indukor,
energi disimpan pada medan magnetnya.
2.5.2 Perbedaan impedansi dengan resistansi
Secara umum, impedansi memiliki definisi perhitungan secara total dalam ohm
dari seluruh rangkaian elektrikal untuk signal langsung, yang termasuk diantaranya
resistansi, reaktansi, capasitansi dan seluruh factor mekanikal yang menimbulkan
hambatan dari transfer energy dalam sebuah system. Hal tersebut dapat diartikan
kebanyakan driver dipastikan mempunyai nilai dasar nominal impedansi dalam
resistansi DC voice coil serta pergerakan mekanikal.
Dalam hambatan telah terda[at istilahnya sendiri yaitu :
Hambatan = Resistensi (R)
sedangkan Impedansi memiliki lambangkan Z. Namun keduanya memiliki ‘satuan’
yang sama yaitu OHM.
Impedansi ternyata bukan hanya semata-mata hambatan. Dia adalah gabungan dari
hasil reaksi hambatan (R, resistensi) dan kapasitas elektron (C, capacitance). Maka,
dalam bahasa di literatur elektronika Indonesia lama, impedansi ini pernah coba di-
Indonesianisasi sebagai REAKTANSI. Mungkin hendak menunjukkan impedansi
sebagai hasil reaksi hambatan dan kapasitansi secara bersamaan
Impedansi bisa dilihat sebagai reaksi, dengan contoh jika menghubungkan sebuah
pre amp ke amplifier. Sampai volume mentok, suaranya tetapi pelan, ini bisa terjadi
karena suara tertahan (terhambat, R) akibat impedansi yang tidak sesuai. Bisa juga,
akibat impedansi tidak sesuai, suara menjadi muddy atau mendem. Ini berarti lebih
berhubungan ke persoalan frekuensi suara, dan frekuensi suara dekat sekali
hubungannya dengan kapasitor dan kapasitansi.
Tapi dalam impedansi keduanya tidak pernah bekerja sendiri, selalu bersamaan.
Suara yang pelan atau tertahan, akan diiringi dengan tone frekuensi yang aneh.
Begitupun sebaliknya. Ini juga ada hubungannya dengan Low Impedance dan High
Impedance, juga bisa dipahami dengan lebih mudah sebagai beban. Hal ini sering
terjadi pada subwoofer dan amplifie
2.5.3 Mengukur impedansi
Yang namanya Impedansi itu merupakan nilai resistansi yang tidak murni, berbeda
dengan nilai resistansi suatu komponen Resistor. Nilai resistansi komponen Resistor itu
bisa kita ukur dengan alat multimeter jarum atau multimeter digital. Tapi kalau nilai
Impedansi tidak bisa di ukur dengan Multimeter. Bisa dicoba dengan cara mengambil
sebuah driver speaker yang nilai Impedansinya 8 ohm, ukur pakai multimeter (saklar
selektor multimeter di set ke satuan ohm), pasti nilai yang terukur di multimeter tidak
akan menunjukan nilai 8 ohm. Jadi Impedansi itu bukan suatu nilai resistansi / tahanan
murni.
Mengukur Z speaker itu bisa dilakukan dengan rangkaian ukur yang melibatkan :
Sine generator, baik audio generator, function generator, atau CD berisi rekaman
gelombang sinus 1 Khz. Selanjutnya pengukuran bisa dilakukan dengan konsep voltage
devider ( Lain waktu akan penulis sampaikan rangkaian pengukurannya).
Bisa juga dengan menggunakan alat ukur impedansi khusus, bisa berupa LCR meter,
dengan frekuensi di set ke 1 KHz, atau ala ukur portable yang memang khusus
mengukur Impedansi.
2.5.4 Reaktansi Kapasitif, Induktif dan Kombinasi
A. Reaktansi kapasitif
Sebuah kapasitor ialah sebuah perangkat yang dapat menyimpan muatan listrik,
dan juga kemudian melepaskannya. Hal tersebut biasanya terdiri dari bahan non-
konduktor, maupun isolator, terjepit diantara dua pelat logam. Sebagai bagian dari
rangkaian tersebut, memungkinkan muatan untuk dapat tersimpan pada isolator dan
juga efektif menyimpan energi dalam medan listrik. Dengan meningkatnya muatan,
arus tersebut akan berkurang. Setelah waktu tertentu, kapasitor tidak akan mampu
untuk menyerap muatan lebih dan juga arus akan turun menjadi nol, di mana pada
titik itu akan dapat melepaskan, menghasilkan aliran elektron dalam arah yang
berlawanan.
Tetapi m jika frekuensi AC tinggi, arus akan tetap mengubah arah dalam waktu
kurang dari kapasitor yang diperlukan untuk dapat “mengisi.” disebabkan karena
arus berada pada maksimum pada awal siklus, pasokan AC frekuensi tinggi akan
hampir tidak terpengaruh oleh kapasitor. Sebaliknya, jika frekuensi rendah, hal
tersebut akan memberikan waktu untuk dapat beberapa muatan dapat terkumpul
dalam kapasitor, yang dapat menyebabkan penurunan arus sebelum siklus
berikutnya. Kapasitor yang digunakan di banyak perangkat populer dan juga gadget,
serta reaktansi kapasitif sehingga biasanya merupakan salah satu faktor penting
dalam impedansi.
B. Reaktansi induktif
Induktansi ialah kecenderungan dari perubahan arus yang mengalir melalui
kawat yang akan dapat melawan arus lawan di dekat konduktor. Hal tersebut terjadi
karena arus listrik yang berubah dapat menghasilkan medan magnet yang berubah,
yang pada gilirannya akan menyebabkan elektron mengalir dalam materi. Ketika
kawat tersebut dililitkan ke koil, akan membentuk sebuah induktor, dan juga akan
menghasilkan aliran elektron yang berlawanan, maupun gaya gerak listrik (ggl)
dalam dirinya sendiri. Tegangan dari ggl yang diinduksi terus meningkat seiring
dengan laju perubahan tegangan suplai, sehingga akan meningkatkan frekuensi AC
akan dapat meningkatkan reaktansi induktif.
C. Kombinasi Kapasitor dan juga induktor
Ketika kedua perangkat ini yang terdapat dalam sirkuit, efek tersebut tidak
hanya tergantung pada frekuensi AC, namun juga pada bagaimana mereka yang
terhubung. Jika kapasitor dan juga induktor dihubungkan secara seri, arus awalnya
akan meningkat dengan frekuensi, yang mencapai maksimum pada titik tertentu,
yang dikenal ialah sebagai frekuensi resonansi, dan juga jatuh setelahnya. Jika
mereka terhubung secara paralel, arus jatuh saat meningkatnya frekuensi tersebut
sampai tercapai suatu titik di mana tidak mengalir. Di luar titik ini, aliran naik lagi.
2.5.5 Percent Impedance
Impedansi transformator merupakan total jumlah keseluruhan perlawanan terhadap
arus AC didalam sebuah peraltan mesin listrik. Untuk menetahui nilai Impedansi
sebuah transformator dapat dilakukan dengan metode sederhana tanpa harus menelaah
impedansi pada masing - masing belitan didalam transformator tersebut. Cara untuk
mendapatkan nilai impedansi sebuah transformator adalah dengan
menghubungsingkatkan (short circuit) pada salah satu sisi transformator dan meinjeksi
tegangan pada sisi yang lainnya dalam jangka waktu singkat. Dengan keadaan salah
satu sisi belitan terhubung singkat, maka akan mengalir arus beban penuh sesuai
dengan rating transformator tersebut. Nilai tegangan yang diterapkan pada salah satu
sisi transformator untuk mendapatkan aliran arus beban penuh tersebut kita kenal
sebagai tegangan impedansi transformator (Voltage Impedance).

Gambar 2.9 Transformator


Nilai impedansi sebuah tranformator umumnya dicantumkan pada name plate
transformator itu sendiri dalam satuan persen (%) , misalnya 2% , 3% dst. Pengertian
nilai tersebut adalah , bahwa drop tegangan yang timbul karena impedansi adalah
sekian persen dari tegangan yang diterapkan. Sebagai contoh, sebuah transformator
dengan rasio 2.400 / 240 volt memiliki persen impedansi (Z%) sesuai name plate
sebesar 3%, maka drop tegangan pada transformator tersebut adalah :
Vdrop = V x Z(%) ,
Vdrop = 2400 x 3/100
Vdrop = 72 V
Dari hasil perhitungan diatas didapat nilai voltage drop adalah sebesar 72V, hal ini
berarti akan ada penurunan tegangan sebesar 72-volt disisi belitan tegangan tinggi yang
ditimbulkan karena rugi - rugi pada belitan dan intri transformator ketika transformator
tersebut dibebani penuh.
Kembali ke penjelasan awal, metode pengujian dengan menghubung singkatkan
salah satu sisi tranformator dan menerapkan suplay tegangan dengan nilai
tertentu pada sisi yang lain hingga arus beban penuh mengalir merupakan metode
untuk mencari drop tegangan ketika sebuah tranformator tersebut dibebani penuh. Nilai
voltage drop sebesar 72 V yang telah didapat dari hasil perhitungan diatas merupakan
nilai tegangan yang didapat apabila transformator 2400/240 volt diuji dengan metode
tersebut. Sehingga persen impedansi yang tertera diname plate transformator 2.400/240
V , merupakan hasil pengujian yang dibagi terhadap tegangan transformator dikali
dengan 100%, sbb :
Z(%) = ( Vdrop/ V ) x 100 %
Z(%) = (72 / 2400 ) x 100 %
Z(%) = 3%
Dari nilai persen impedansi sebesar 3% tersebut, hanya 1% - 2% yang merupakan
nilai yang ditimbulkan oleh nilai impedansi pada inti transformator (rugi - rugi inti) ,
sisanya sebesar 98% lebih disebabkan karena impedansi yang timbul pada belitan
tranformator itu sendiri (rugi - rugi belitan). Untuk operasional yang aman,
tranformator jarang dioperasikan degan beban penuh (100% rating) , sehingga drop
teganganpun menjadi rendah
Untuk mengetahui berapa nilai sebenarnya dari persen impedansi transformator
tersebut, dapat dilakukan dengan perhitungan sbb :
Z = Vdrop/ I
Z = 72 / 100 A
Z = 0.02 ohm
Nilai arus sebesar 100 A, didapat dari nilai pengukuran arus beban penuh yang
ketika dilakukan metode pengujian dimana salah satu sisi transformator dihubung
singkat. Atau bisa dilihat dari name plate transformator itu sendiri, dimana disana
dicantumkan nilai arus saat beban penuh.
Perlu dingat, impedansi merupakan penjumlahan nilai resistif dan reaktif suatu
komponen, sehingga nilai impedansi yang didapat diatas (0,72 ohm) terdiri dari unsur
resitif dan reaktif.
2.6 Tegangan
Tegangan Listrik adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan
unit muatan listrik dari satu tempat ke tempat lainnya. Tegangan listrik yang
dinyatakan dengan satuan Volt ini juga sering disebut dengan beda potensial listrik
karena pada dasarnya tegangan listrik adalah ukuran perbedaan potensial antara
dua titik dalam rangkaian listrik. Suatu benda dikatakan memiliki potensial listrik
lebih tinggi daripada benda lain karena benda tersebut memiliki jumlah muatan
positif yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah muatan positif pada
benda lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Potensial listrik itu sendiri
adalah banyaknya muatan yang terdapat dalam suatu benda.
Tegangan listrik dapat juga dianggap sebagai gaya yang mendorong
perpindahan elektron melalui konduktor dan semakin tinggi tegangannya semakin
besar pula kemampuannya untuk mendorong elektron melalui rangkaian yang
diberikan. Muatan listrik dapat kita analogikan sebagai air di dalam sebuah tangki
air, sedangkan Tegangan listrik dapat kita analogikan sebagai tekanan air pada
sebuah tangki air, semakin tinggi tangki air di atas outlet semakin besar tekanan
air karena lebih banyak energi yang dilepaskan. Demikian juga dengan tegangan
listrik, semakin tinggi tegangan listriknya maka semakin besar energi potensial
yang dikarenakan semakin banyak elektron yang dilepaskan.
Apabila pada saat dua distribusi muatan listrik yang dipisahkan oleh jarak
tertentu, maka akan terjadi kekuatan listrik diantara keduanya. Jika distribusinya
memiliki muatan yang sama (kedua-duanya positif atau kedua-duanya negatif)
maka saling berlawanan atau saling tolak menolak. Namun apabila dua distribusi
muatan berbeda (satu positif dan satunya lagi negatif) maka akan menyebabkan
gaya yang saling tarik-menarik. Pada saat kedua distribusi muatan tersebut
disambungkan dengan rangkaian atau beban yang unit positifnya sedikit maka unit
positif tersebut akan dipengaruhi oleh kedua distribusi muatan tersebut.
Sebuah sumber tegangan listrik yang konstan biasanya disebut dengan
tegangan DC (tegangan searah) sedangkan sumber tegangan listrik yang bervariasi
secara berkala dengan waktu disebut dengan tegangan AC (tegangan bolak balik).
Tegangan listrik diukur dengan satuan Volt yang dilambangkan dengan simbol
huruf “V”. 1 Volt (satu Volt) dapat didefinisikan sebagai tekanan listrik yang
dibutuhkan untuk menggerakan 1 Ampere arus listrik melalui konduktor yang
beresistansi 1 Ohm. Istilah “VOLT” ini diambil dari nama fisikawan Italia yang
menemukan baterai volta (Voltaic Pile) yaitu Alessandro Volta (1745-1827).
Baterai dan pencatu daya (power supply) merupakan contoh sumber yang
menghasilkan tegangan DC (tegangan searah) yang stabil seperti menghasilkan
tegangan DC 1,5V, 3V, 5V, 9V, 12V dan 24V. Sementara sumber tegangan AC
(tegangan bolak-balik) tersedia untuk keperluan peralatan rumah tangga dan
industri. Tegangan AC standar yang digunakan di Indonesia adalah 220V,
sedangkan di negara lain ada yang menggunakan 100V, 110V ataupun 240V.
2.7 Modul Rangkaian
Modul rangkaian teorema thevenin dan norton yang digunakan pada
praktikum dapat dilihat pada gambar dibawah. Rangkaian dibawah menggunakan
4 buah resistor dan beberapa kaber jumper untuk terhubung ke catu daya.

Gambar 2.10 Modul rangkaian teorema thevenin dan norton


2.8 Multimeter
Multimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur tegangan listrik,
hambatan dan juga arus listrik. Alat ukur yang satu ini merupakan alat yang paling
sering digunakan oleh banyak teknisi.
Hal tersebut dikarenakan kepraktisan yang diberikan oleh alat ini, dimana
teknisi bisa melakukan tiga pengukuran hanya dengan satu alat saja.
- Jenis-jenis Multimeter dan Fungsinya
1. Multimeter Analog
Multimeter analog merupakan avometer yang menggunakan jarum sebagai
penunjuk ukuran dari rangkaian listrik yang diukur. Jenis ini bisa dikatakan
sebagai jenis multimeter manual dimana anda harus membaca skala yang ditunjuk
jarum untuk mengetahui hasil ukur.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat ketepatan pengukuran
multimeter analog ini adalah penggunanya sendiri. Hal ini dikarenakan
kemampuan pengguna dalam membaca skala pada layar avometer ini sangat
mempengaruhi hasil yang didapat. Pengukuran menggunakan avometer analog ini
sangat terbatas, karena memiliki tingkat maksimum ukuran selebar skala pointer.
Walaupun demikian, alat ukur listrik yang satu ini sangat baik untuk
mengukur sinyal yang tidak stabil. Meski demikian tetap dibutuhkan ketelitian saat
mengamati hasil ukuran yang ditunjukkan oleh jarum. Jika tidak teliti, maka
hasil dari pengukuran bisa saja salah atau kurang akurat.
Prinsip kerja dari jenis analog ini terletak pada kumparan yang ditempatkan
diantara dua kutub magnet. Kumparan tersebut memiliki jarum yang berguna
sebagai penunjuk hasil yang bergerak saat dialiri listrik. Listrik tersebut dialiri dari
ujung multimeter yang berwarna hitam untuk terminal negatif dan merah untuk
terminal positif.
2. Multimeter Digital
Multimeter digital merupakan jenis dari multimeter yang hasil dari
pengukurannya dapat langsung muncul dalam bentuk angka digital. Oleh sebab
itu, tingkat keakuratannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan avometer analog.
Tetapi harga dari jenis multimeter yang satu ini lebih mahal, sehingga banyak
yang lebih memilih jenis analog.
Selain memiliki tingkat keakuratan yang tinggi, multimeter jenis ini juga
memiliki kelebihan yang lain. Kelebihan tersebut adalah sudah dilengkapi dengan
auto polaritas, sehingga anda tidak perlu khawatir apabila salah dalam
menyambungkan terminal. Walau demikian, kinerja dari multimeter digital sangat
bergantung pada kondisi baterai. Sangat disarankan untuk menggunakan
multimeter digital dalam kondisi baterai penuh untuk performa yang maksimal.
- Prinsip Kerja Multimeter dan Bagian-bagianya
Prinsip kerjanya adalah multimeter ini mengambil daya dari baterai agar bisa
digunakan. Alat ini mempunyai dua buah kawat yang digunakan untuk
menghubungkan dengan objek yang akan diukur. Arus listrik yang mengalir
melalui kawat tersebut akan diubah menjadi sebuah informasi digital dan akan
muncul pada layar dalam bentuk angka.
2.9 Resistor
Resistor merupakan salah satu komponen yang paling sering ditemukan dalam
Rangkaian Elektronika. Hampir setiap peralatan Elektronika menggunakannya.
Pada dasarnya Resistor adalah komponen Elektronika Pasif yang memiliki nilai
resistansi atau hambatan tertentu yang berfungsi untuk membatasi dan mengatur
arus listrik dalam suatu rangkaian Elektronika. Resistor atau dalam bahasa
Indonesia sering disebut dengan Hambatan atau Tahanan dan biasanya disingkat
dengan Huruf “R”. Satuan Hambatan atau Resistansi Resistor adalah OHM (Ω).
Sebutan “OHM” ini diambil dari nama penemunya yaitu Georg Simon Ohm yang
juga merupakan seorang Fisikawan Jerman.
Untuk membatasi dan mengatur arus listrik dalam suatu rangkaian
Elektronika, Resistor bekerja berdasarkan Hukum Ohm. Resistor yang digunakan
pada praktikum adalah fixed resistor. Beberapa jenis resistor yaitu fixed resistor,
variable resistor, LDR (Light Dependent Resistor).
- Fixed Resistor
Fixed Resistor adalah jenis Resistor yang memiliki nilai resistansinya tetap.
Nilai Resistansi atau Hambatan Resistor ini biasanya ditandai dengan kode warna
ataupun kode Angka.
- Variable Resistor
Variable Resistor adalah jenis Resistor yang nilai resistansinya dapat berubah
dan diatur sesuai dengan keinginan. Pada umumnya Variable Resistor terbagi
menjadi Potensiometer, Rheostat dan Trimpot.
- LDR (Light Dependent Resistor)
LDR atau Light Dependent Resistor adalah jenis Resistor yang nilai
Resistansinya dipengaruhi oleh intensitas Cahaya yang diterimanya.
- Fungsi-fungsi Resistor
Fungsi-fungsi resistor di dalam Rangkaian Elektronika diantaranya adalah
sebagai berikut :
 Sebagai Pembatas Arus listrik
 Sebagai Pengatur Arus listrik
 Sebagai Pembagi Tegangan listrik
 Sebagai Penurun Tegangan listrik
BAB III
METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


1. Power Supply
2. Beberapa buah resistor
3. Alat ukur
4. Multimeter
5. Kabel Penghubung
3.2. Gambar Percobaan

1. Rangkaian Pertama

A B

R1 R4

VS R2 R3
Loop I

Loop II

2. Rangkaian Kedua

3. Rangkaian Ketiga
3.3. Prosedur Percobaan
1. Pilih beberapa buah resistor dan rangkai seperti pada gambar
2. V1 dan V2 dishort kemudian ukur RAB
3. V2 hort sumber tegangan pada V1, ukur VAB
4. V1 short sumber tegangan pada V2, ukur VAB
5. Uukur IN
6. Ulangi percobaan diatas dengan sumber yang berbeda
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM

4.1. Tabel Percobaan


1. Rangkaian Pertama
Sumber
R1 Ω R2 Ω R3 Ω R4 Ω VAB RAB IN
DC

3V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 0,2 V 66 Ω 0,007 A

6V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 1V 66 Ω 0,007 A

9V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 5,9 V 66 Ω 0,03 A

Sumber
R1 Ω R2 Ω R3 Ω R4 Ω VAB RAB IN
AC

6V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 3,69 V 32 Ω 0,005 A

9V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 5,36 V 32 Ω 0,0012 A

12 V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 7,04 V 32 Ω 0,019 A

2. Rangkaian Kedua
Sumber
R1 Ω R2 Ω R3 Ω VAB RAB IN
DC

6V 23 Ω 56 Ω 27 Ω 6,20 V 20,7 Ω 0,023 A

9V 23 Ω 56 Ω 27 Ω 9,64 V 20,7 Ω 0,064 A

12 V 23 Ω 56 Ω 27 Ω 12,28 V 20,7 Ω 0,087 A

Sumber
R1 Ω R2 Ω R3 Ω VAB RAB IN
AC

6V 23 Ω 56 Ω 27 Ω 6,50 V 20,7 Ω 0,016 A

9V 23 Ω 56 Ω 27 Ω 9,33 V 20,7 Ω 0,027 A


12 V 23 Ω 56 Ω 27 Ω 12,38 V 20,7 Ω 0,039 A

3. Rangkaian Ketiga
Sumber
AC R1 Ω R2 Ω R3 Ω R4 Ω VAB RAB IN
VS1 VS2
3V 6V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 1,4 V 95,3 Ω 0,01 A
9V 12 V 23 Ω 56 Ω 20 Ω 27 Ω 1V 71,4 Ω 0,01 A

4.2. Analisa Data Perhitungan

1. Rangkaian Pertama

A B

R1 R4

VS R2 R3
Loop I

Loop II

a. Sumber DC

- VS = 3 V

RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4


1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)


RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 3
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 3
= I1 = 3/( 79 + 56 )
= I1 = 3/135 = 0,022 A = 2,22 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 3
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 3
= I2 = 3/( 47 + 27 )
= I2 = 3/74 = 0,041 A = 4,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 2,22 mA x 56 = 124,32
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

124,32
IN = = 4,47
27,78

- VS = 6 V
RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4


1/RP2 = 1/20 + 1/27
RP2 = 20 x 27/20 + 27
= 11,48 Ω
- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)
RTH = RP1 + RP2
= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω

Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 6
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 6
= I1 = 6/( 79 + 56 )
= I1 = 6/135 = 0,044 A = 4,4 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 6
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 6
= I2 = 6/( 47 + 27 )
= I2 = 6/74 = 0,081 A = 8,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 4,4 mA x 56 = 246,4
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

246,6
IN = 27,78 = 8,87

- Vs = 9 V
RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)
1/RP1 = 1/R1 + 1/R2
1/RP1 = 1/23 + 1/56
RP1 = 23 x 56/23 + 56
= 16,30 Ω

- (R3//R4)
1/RP2 = 1/R3 + 1/R4
1/RP2 = 1/20 + 1/27
RP2 = 20 x 27/20 + 27
= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)


RTH = RP1 + RP2
= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω

Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 9
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 9
= I1 = 9/( 79 + 56 )
= I1 = 9/135 = 0,066 A = 6,66 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 9
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 9
= I2 = 9/( 47 + 27 )
= I2 = 9/74 = 0,121 A = 12,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 6,66 mA x 56 = 372,96
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

372,96
IN = = 13,42
27,78

b. Sumber AC

- V=6V
RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 6
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 6
= I1 = 6/( 79 + 56 )
= I1 = 6/135 = 0,044 A = 4,4 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 6
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 6
= I2 = 6/( 47 + 27 )
= I2 = 6/74 = 0,081 A = 8,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 4,4 mA x 56 = 246,4
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻
246,6
IN = 27,78 = 8,87

- V=9V
RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)
1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 9
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 9
= I1 = 9/( 79 + 56 )
= I1 = 9/135 = 0,066 A = 6,66 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 9
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 9
= I2 = 9/( 47 + 27 )
= I2 = 9/74 = 0,121 A = 12,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 6,66 mA x 56 = 372,96
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

372,96
IN = = 13,42
27,78

- Vs = 12 V

RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 12
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 12
= I1 = 12/( 79 + 56 )
= I1 = 12/135 = 0,0888 A = 8,88 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 12
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 12
= I2 = 12/( 47 + 27 )
= I2 = 12/74 = 0,162 A = 16,2 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 8,88 mA x 56 = 497,28
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

497,28
IN = = 17,90
27,78

2. Rangkaian Kedua

a. Sumber DC

- V=6V
RTH = R1 // [ R2 + ( R2 // R3 ) ]
- ( R2 // R3 )

1/RP1 = 1/R2 + 1/R3

1/RP1 = 1/56 + 1/27

RP1 = 56 x 27/56 + 27

= 1512/83 = 18,21 Ω
- [ R2 + ( R2 // R3 ) ]

[ R2 + RP1 ]

RS = [ R2 + RP1 ]

= [ 56 + 18,21 ] = 74,21

- RTH = R1 // [ R2 + ( R2 // R3 ) ]

RTH = R1 // RS

RTH = R1 // RS

RTH = 1/R1 + 1/RS

= 1/23 + 1/74,21

= 23 x 74,21/23 + 74,21

= 1706,83/97,21 = 17,55
Loop 1 = I1 ( R1 + R2 + R3 ) = Vs
Loop 1 = I1 ( R1 + R2 + R3 ) =6V
= I1 ( 23 + 56 + 27 ) = 6 V
= I1 = 6/( 23 + 56 + 27 )
= I1 = 6/106 = 0,0566 A = 56,6 mA
VTH = I1 x R3
= 56,6 x 27 = 1528,2
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

1528,2
= = 87,07
17,55

- V=9V
RTH = R1 // [ R2 + ( R2 // R3 ) ]
- ( R2 // R3 )

1/RP1 = 1/R2 + 1/R3

1/RP1 = 1/56 + 1/27

RP1 = 56 x 27/56 + 27

= 1512/83 = 18,21 Ω
- [ R2 + ( R2 // R3 ) ]

[ R2 + RP1 ]

RS = [ R2 + RP1 ]

= [ 56 + 18,21 ] = 74,21

- RTH = R1 // [ R2 + ( R2 // R3 ) ]

RTH = R1 // RS

RTH = R1 // RS

RTH = 1/R1 + 1/RS

= 1/23 + 1/74,21

= 23 x 74,21/23 + 74,21

= 1706,83/97,21 = 17,55
Loop 1 = I1 ( R1 + R2 + R3 ) = Vs
Loop 1 = I1 ( R1 + R2 + R3 ) =9V
= I1 ( 23 + 56 + 27 ) =9V
= I1 = 9/( 23 + 56 + 27 )
= I1 = 9/106 = 0,0849 A = 84,9 mA
VTH = I1 x R3
= 84,9 x 27 = 2292,3
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

2292,3
= = 130,6
17,55

- V = 12 V
RTH = R1 // [ R2 + ( R2 // R3 ) ]
- ( R2 // R3 )

1/RP1 = 1/R2 + 1/R3

1/RP1 = 1/56 + 1/27

RP1 = 56 x 27/56 + 27

= 1512/83 = 18,21 Ω
- [ R2 + ( R2 // R3 ) ]

[ R2 + RP1 ]

RS = [ R2 + RP1 ]

= [ 56 + 18,21 ] = 74,21

- RTH = R1 // [ R2 + ( R2 // R3 ) ]

RTH = R1 // RS

RTH = R1 // RS

RTH = 1/R1 + 1/RS

= 1/23 + 1/74,21

= 23 x 74,21/23 + 74,21

= 1706,83/97,21 = 17,55
Loop 1 = I1 ( R1 + R2 + R3 ) = Vs
Loop 1 = I1 ( R1 + R2 + R3 ) = 12 V
= I1 ( 23 + 56 + 27 ) = 12 V
= I1 = 12/( 23 + 56 + 27 )
= I1 = 12/106 = 0,113 A = 113 mA
VTH = I1 x R3
= 113 x 27 = 3051
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

3051
= 17,55 = 173,8

b. Sumber AC

- V=6V

RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 6
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 6
= I1 = 6/( 79 + 56 )
= I1 = 6/135 = 0,044 A = 4,4 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 6
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 6
= I2 = 6/( 47 + 27 )
= I2 = 6/74 = 0,081 A = 8,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 4,4 mA x 56 = 246,4
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

246,6
IN = 27,78 = 8,87

- V=9V

RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 9
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 9
= I1 = 9/( 79 + 56 )
= I1 = 9/135 = 0,066 A = 6,66 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 9
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 9
= I2 = 9/( 47 + 27 )
= I2 = 9/74 = 0,121 A = 12,1 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 6,66 mA x 56 = 372,96
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

372,96
IN = = 13,42
27,78

- Vs = 12 V

RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

- (R1//R2)

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23 + 56

= 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 12
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 12
= I1 = 12/( 79 + 56 )
= I1 = 12/135 = 0,0888 A = 8,88 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 12
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 12
= I2 = 12/( 47 + 27 )
= I2 = 12/74 = 0,162 A = 16,2 mA
VTH = I1 x R2
VTH = 8,88 mA x 56 = 497,28
𝑉
IN = 𝑅𝑇𝐻
𝑇𝐻

497,28
IN = = 17,90
27,78

3. Rangkaian Ketiga

a. Sumber AC

- VS1 = 3 V ; VS2 = 6 V
RTH = ( R1 // R2 ) + ( R3 // R4 )
- ( R1 // R2 )

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23+ 56

= 1288/79 = 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 540/27 = 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78 Ω


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 3
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 3
= I1 = 3/( 23 + 56 )
= I1 = 3/79 = 0,0379 A = 37,9 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 6
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 6
= I2 = 6/( 20 + 27 )
= I2 = 6/47 = 0,127 A = 127 mA
VTH1 = I1 x R2
VTH1 = 37,9 mA x 56 = 2122,4
VTH2 = I2 x R3
VTH2 = 127 mA x 20 = 2540
𝑉𝑇𝐻1
IN1 = 𝑅𝑇𝐻
2122,4
IN1 = = 76,40
27,78
𝑉𝑇𝐻2
IN2 =
𝑅𝑇𝐻
2540
IN2 = 27,78 = 91,43

- VS1 = 9 V ; VS2 = 12 V
RTH = ( R1 // R2 ) + ( R3 // R4 )
- ( R1 // R2 )

1/RP1 = 1/R1 + 1/R2

1/RP1 = 1/23 + 1/56

RP1 = 23 x 56/23+ 56

= 1288/79 = 16,30 Ω

- (R3//R4)

1/RP2 = 1/R3 + 1/R4

1/RP2 = 1/20 + 1/27

RP2 = 20 x 27/20 + 27

= 540/27 = 11,48 Ω

- RTH = (R1//R2) + (R3//R4)

RTH = RP1 + RP2

= 16,30 + 11,48 = 27,78


Loop 1 = I1 ( R1 + R2 ) – I2 ( 0 ) = 9
Loop 1 = I1 ( 23 + 56 ) – I2 ( 0 ) = 9
= I1 = 9/( 23 + 56)
= I1 = 9/79 = 0,113 A = 113 mA
Loop 2 = I2 ( R3 + R4 ) – I1 ( 0 ) = 12
Loop 2 = I2 ( 20 + 27 ) – I1 ( 0 ) = 12
= I2 = 12/( 20 + 27 )
= I2 = 12/47 = 0,255 A = 255 mA
VTH1 = I1 x R2
VTH1 = 113 mA x 56 = 6328
VTH2 = I2 x R3
VTH2 = 255 mA x 20 = 5100
𝑉𝑇𝐻1
IN1 = 𝑅𝑇𝐻
6328
IN1 = 27,78 = 277,78
𝑉𝑇𝐻2
IN2 = 𝑅𝑇𝐻
5100
IN2 = 27,78 = 183,58
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang bisa disampaikan dari hasil praktikum teorema thevenin
dan norton adalah:
1. Percobaan teorema thevenin dan Norton bertujuan untuk menentukan arus yang
mengalir dalam resistor variable dan untk membandingkan hasil antara eksperimen
dan perhitungan.
2. Rangkaian ekivalen seri dan parallel untuk hambatan, sumber arus, dan sumber
tegangan akan dikombinasikan menjadi suatu rangkaian ekivalen yang disebut
sebagai teorema Thevenin dan Norton
3. Teorema Thevenin menyatakan bahwa dimungkinkan untuk menyederhanakan
suatu rangkaian yang linier, seberapa rumit sekalipun rangkaian itu, menjadi sebuah
rangkaian ekivalen yang berisi sumber tunggal yang disusun seri dengan sebuah
beban (resistor).
4. Sedangkan Teorema Norton menyatakan bahwa dimungkinkan untuk
menyederhanakan suatu rangkaian yang linier, tidak peduli seberapa kompleks
rangkaian itu, menjadi sebuah rangkaian ekivalen yang terdiri dari sebuah sumber
arus yang disusun paralel dengan sebuah resistansi yang biasanya dihubungkan juga
ke beban.
5.2. Saran
Adapun saran yang bisa disampaikan praktikan dari hasil praktikum fisika teknik
ini adalah:
1 Pada Bab 2 Landasan Teori sebaiknya tidak memberikan batasan lembaran untuk
materinya karena dari berbagai sumber baik itu wordpress, blogspot, Wikipedia,
jurnal, academia.edu atau situs edukasi lainnya hampir semua menampilkan materi
yang sama, mengingat juga kondisi pandemic seperti sekarang ini membatasi kita
untuk pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi lainnya.
2 Pada video praktikum yang diberikan akan lebih baik jika dijelaskan bahan yang
digunakan misalnya nilai resistansi yang digunakan pada masing-masing job
praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Dokumen. 2018. TEOREMA THEVENIN DAN TEOREMA NORTON.


Dikutip 21 Juli 2020 dari https://dokumen.tips/download/link/teorema-thevenin-dan-
teorema-norton
Dichson, Kho. 2020. PENGERTIAN IMPEDANSI LISTRIK. Dikutip 21 Juli 2020
dari https://teknikelektronika.com/pengertian-impedansi-listrik-electrical-impedance/
Setiawan, Parta. 2020. PENGERTIAN IMPEDANSI. Dikutip 23 Juli 2020 dari
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-impedansi/
Unknown. 2020. PERCENT IMPEDANCE (PERSEN IMPEDANSI)
TRANSFORMATOR. Dikutp 23 Juli 2020 dari
https://direktorilistrik.blogspot.com/2014/02/Percent-Impedance-Persen-Impedansi-
Transformator.html
Pertiwi, Kumala. Puspita, Chandra. Indarto, Bachtera. 2018. TEOREMA THEVENIN
DAN NORTON. Dikutip 23 Juli 2020 dari
https://www.academia.edu/16756785/TEOREMA_THEVENIN_dan_NORTON

Anda mungkin juga menyukai