Anda di halaman 1dari 46

MANAJEMEN AIRWAY DAN BREATHING

Makalah
Untuk memenuhi matakuliah Keperawatan Kritis
Yang dibimbing oleh Bapak Arif Mulyadi, S.Kep., Ns., M.Kep.
COVER

Oleh Kelompok 7 :
1. Rony Anik Ernawati (P17212205015)
2. Mohammad Irfan (P17212205018)
3. Misbakul Munir (P17212205025)
4. Widiastuti (P17212205031)
5. Muhammad Irfan B (P17212205043)
6. Ilun Chairunisyah (P17212205056)
7. Vivian Yessica (P17212205057)
8. Rheviani Atrisha (P17212205073)
9. Uly Hayuni R (P17212205074)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Manajemen Airway dan Breathing tepat waktu.

Makalah Manajemen Airway dan Breathing disusun guna memenuhi


tugas pada matakuliah Keperawatan Kritis di Poltekkes Kemenkes Malang
yang dibimbing oleh Bapak Arif Mulyadi, S.Kep., Ns., M.Kep. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang Manajemen Airway dan Breathing.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak


Arif Mulyadi, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen matakuliah Keperawatan
Kritis. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Malang, Agustus 2020

Penulis

i
ii
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB I PENDHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2

1.3 Tujuan....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi..................................................3

2.2 Pengertian Airway dan Breathing Manajemen........................................9

2.3 Tujuan Airway Dan Breathing Manajemen..............................................9

2.4 Sumbatan Jalan Nafas...........................................................................9

2.5 Teknik Manajemen Jalan Nafas (Airway dan Breathing)......................10


BAB III MANAJEMEN AIRWAY DAN BREATHING..........................................18

3.1 Manajemen Airway dan Breathing........................................................18

3.1.1 Pengkajian Airway.........................................................................18

3.1.2 Pengkajian Breathing....................................................................19

3.2 Askep Gangguan Sistem Pernafasan:GBS..........................................20

3.2.1 Pengkajian.....................................................................................20

3.2.2 Diagnosa Keperawatan.................................................................24

3.2.3 Intervensi Keperawatan.................................................................26


BAB IV PENUTUP.............................................................................................38

4.1 Kesimpulan...........................................................................................38

4.2 Saran....................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................39

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Respirasi................................................................3
Gambar 2.2 Anatomi Organ Respirasi Bagian Atas (Hidung)...............................3
Gambar 3.3 Anatomi Faring.................................................................................4
Gambar 2.4 Anatomi Laring.................................................................................5
Gambar 2.5 Anatomi Trakhea Bagian Dalam dan Luar........................................6
Gambar 2.7 Anatomi Paru-Paru...........................................................................7
Gambar 2.8 Anatomi Bronkus..............................................................................8
Gambar 2.9 Anatomi Alveoli.................................................................................8
Gambar 2.10 Head tilt, chin, lift, dan jaw thrust..................................................10
Gambar 2.11 Bag Valve Mask Ventilation..........................................................11
Gambar 2.12 OPA dan NPA..............................................................................11
Gambar 2.13. Laryngeal Mask Airway (LMA).....................................................12
Gambar 2.14 Kombitube....................................................................................12
Gambar 2.15 Macintosh dan Miller.....................................................................13
Gambar 2.16 ETT (Endo Tracheal Tube)...........................................................14

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Penyebab Sumbatan Jalan Nafas Bagian Atas......................................9

v
BAB I
PENDHULUAN

1.1 Latar Belakang

Airway management adalah prosedur medis yang dilakukan untuk


mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas terbuka
antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan membuka
jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh
lidah, saluran udara itusendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri,
seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi. Menurut ATLS (Advance
Trauma Life Support, 2008), Airway manajemen adalah hal yang terpenting
dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam
penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang
harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan
nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Kejadian yang berupa
kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih dapat
dicegah, dan dapat disebabkan oleh kegagalan mengetahui adanya
kebutuhan airway, ketidakmampuan untuk membuka airway, kegagalan
mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru, perubahan letak
airway yang sebelumnya telah dipasang, kegagalan mengetahui adanya
kebutuhan ventilasi dan aspirasi isi lambung.

Pengendalian jalan napas yang tidak baik telah diidentifikasi menjadi


penyebab kecacatan bahkan kematian yang dapat dicegah pada pasien
trauma dan henti jantung. Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab
kematian yang cepat. Kondisi inidapat diakibatkan karena masalah sistem
pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat darigangguan sistem tubuh
yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke
dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera.
Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan
otak permanen lebih dari 1" menit akan menyebabkan kematian. Oleh
karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting
dilakukan secara efektif dan efisien.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini membahas mengenai:


1. Bagaimana anatomi fisiologi pada sistem respirasi?
2. Bagaimana konsep manajemen airway dan breathing?
3. Bagaimana asuhan keperawatan kritis pada manajemen airway dan
breathing?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu:


1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi pada sistem respirasi.
2. Untuk mengetahui konsep pelaksaan manajemen airway dan
breathing.
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan kritis pada manajemen airway
dan breathing.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Respirasi


1. Hidung

Gambar 2.2 Anatomi Organ Respirasi Bagian Atas (Hidung)

Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan


pembuluh darah, bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir
semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung.
Daerah pernapasan dilapisi epitelium silinder dan sel epitel berambut yang
mengandung sel cangkir atau sel lendir. Sekresi sel itu membuat permukaan
nares basah dan berlendir. Di atas septum nasalis dan konka, selaput lendir
ini paling tebal. Tiga tulang kerang (konka) yang diselaputi epitelium

3
pernapasan, yang menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam rongga,
sangat memperbesar permukaan selaput lendir tersebut.
Sewaktu udara masuk melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu
yang terdapat di dalam vestibulum. Karena kontak dengan permukaan lendir
yang dilaluinya, udara akan menjadi hangat dikarenakan penguapan air dari
permukaan selaput lendir. Hidung menghubungkan lubang-lubang sinus
udara paranasalis yang masuk ke dalam rongga-rongga hidung, dan juga
menghubungkan lubang-lubang nasolakrimal yang menyalurkan air mata
dari mata ke dalam bagian bawah rongga nasalis
2. Faring (tekak)

Gambar 3.3 Anatomi Faring

Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan usofagus pada ketingigian tulang rawan krikoid.
Faring terletak di belakang hidung (nasofaring), di belakang mulut
(orofaring) dan di belakang laring (faring-laringeal). Nares posterior adalah
muara rongga-rongga hidung ke nasofaring.

4
3. Laring (tenggorok)

Gambar 2.4 Anatomi Laring

Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikatkan bersama


oleh ligamen dan membran. Yang terbesar di antaranya ialah tulang rawan
tiroid dan di sebelah depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal
sebagai jakun yaitu di sebelah depan leher. Laring terdiri dari dua lempeng
atau lamina yang bersambung di garis tengah. Di tepi atas terdapat lekukan
berupa V. Tulang rawan krikoid terletak di bawah tiroid, bentuknya seperti
cincin mohor. Tulang rawan lainnya adalah kedua tulang rawan aritenoid
yang menjulang di sebelah belakang krikoid , kanan dan kiri tulang rawan
aritenoid yang menjulang di sebelah belakang krikoid, kanan dan kiri tulang
rawan kuneiform, dan tulang rawan kornikulata yang sangat kecil.
Di puncak tulang rawan tiroid terdapat epiglotis. Epiglotis adalah
katup tulang rawan yang membantu menutup laring jika waktu menelan
makanan. Laring dilapisi oleh selaput lendir yang sama dengan di trakea.
Pita suara dan epiglotis dilapisi oleh sel epitalium berlapis.
Pita suara terletak di sebelah dalam laring, berjalan dari tulang rawan
tiroid di sebelah depan sampai di kedua tulang rawan aritenoid. Dengan
gerakan dari tulang rawan aritenoid yang ditimbulkan oleh berbagai otot
laringeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan. Dengan demikian lebar
sela-sela anatar pita-pita atau rima glotidis berubah-ubah sewaktu bernapas
dan berbicara. Suara yang dihasilkan karena getaran pita yang disebabkan

5
udara yang melalui glotis. Berbagai otot yang terkait pada lating
mengendalikan suara, dan juga menutup lubang atas laring sewaktu
menelan.
4. Trakhea
Trakhea atau batang tenggorok kira-kira sembilan sentimeter
panjangnya. Trakhea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian
vertebra torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus
(bronki). Trakhea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran tak
lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan
fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakhea, selain
itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakhea dilapisi selaput lendir
yang terdiri dari epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergerak menuju
keatas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus
lainnya yang turun masuk bersama dengan pernapasan dapat dikeluarkan.
Tulang rawan berfungsi mempertahankan agar trakhea tetap terbuka,
karena itu, di sebelah belakangnya tidak tersambung, yaitu di tempat
trakhea menempel pada esofagus, yang memisahkan dari tulang belakang.

Gambar 2.5 Anatomi Trakhea Bagian Dalam dan Luar

Trakhea servikalis yang berjalan melalui leher disilang oleh isthmus


kelenjar tiroid, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisi-sisi trakhea.
Trakhea torasika berjalan melintasi mediastinum, di belakang sternum,
menyentuh arteri inominata dan arkus aorta. Usofagus terletak di belakang
trakhea.

6
5. Paru-paru
Paru kanan memiliki tiga lobus (Lobi superior, medius dan inferior)
yang dipisahkan oleh Fissura obliqua dan Fissura horizontalis. Paru-paru
kiri hanya memiliki dua lobus (Lobi superior dan inferior) yang dipisahkan
oleh Fissura obliqua. Paru lingula yang dari lobus superior setara dengan
lobus tengah paru kanan dan membentuk ekstensi seperti satongue
inferior ke kardiaka Incisura. Volume paru-paru kanan meliputi 2 – 3 L,
selama maksimal dalam spirasi genap 5 – 8 L. Volume ini setara dengan
luas pertukaran gas 70-140 m2. Karena posisi jantung bergeser ke kiri,
volume paru-paru kiri lebih kecil 10 -20%. Puncak paru (Apex pulmonis)
adalah bagian kranial, dasar luas paru (Basis pulmonis) adalah bagian
kaudal paru. Permukaan paru-paru ditutupi oleh Pleura visceralis dan
memiliki tiga garis permukaan. Facies costalis terletak secara lateral dan
berlanjut di Margo inferior sebagai Facies diaphragmatica. Pada Margo
anterior dan Margo posterior yang tumpul terus berlanjut sebagai Facies
mediastinalis menuju Mediastinum.

Gambar 2.6 Anatomi Paru-Paru

6. Bronkus
Bronkus utama selanjutnya terbagi menjadi tiga dan dua lobar
bronkus (Bronchi lobares) masing-masing di sisi kanan dan kiri. Bronkus
lobar menimbulkan bronkus segmental (Bronchi segmentales). Paru-paru
kanan memiliki 10 segmen dan 10 segmental bronkus. Di paru-paru kiri,
segmen 7 dan masing-masing Bronkus hilang. Bronkus selanjutnya
membelah enam hingga dua belas kali sebelum berlanjut sebagai

7
bronkiolus. Bronkiolus memiliki diameter lebih kecil dari 1 mm dan tidak
memiliki tulang rawan dan kelenjar di dindingnya. Setiap bronkiolus
dikaitkan dengan lobulus paru (Lobulus pulmonis) dan selanjutnya
membelah tiga sampai empat kali sebelum dilanjutkan sebagai bronkiolus
terminal (terminal bronchioli). Ini mewakili segmen terakhir dari bagian
penghantar udara dari sistem pernapasan yang memiliki volume 150 - 170
ml. Setiap Bronchiolus terminalis membuka ke acinus paru (Acinus
pulmonis) yang menghasilkan 10 generasi tambahan Bronchioli respiratorii
dengan Ductus dan Sacculi alveolares. Semua bagian asinus mengandung
alveoli dan, dengan demikian, asinus milik bagian penukar gas dari sistem
pernapasan.

Gambar 2.7 Anatomi Bronkus

7. Alveoli

8
Gambar 2.8 Anatomi Alveoli

Alveoli terletak pada dinding-dinding infundibulum. Alveoli terdiri


atas satu lapis tunggal sel epitelium yang pipih, dan disinilah darah hampir
langsung bersentuhan dengan udara dimana suatu jaringan pembuluh
darah kapiler mengitari alveoli dan pertukaran gas pun terjadi

2.2 Pengertian Airway dan Breathing Manajemen


Menrut Bingham (2008), airway manajemen adalah adalah prosedur
media yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan nafas untuk
memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar.
Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support, 2008), airway
manajemen adalah hal terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam pelaksanaan keadaan gawat darurat, oleh
karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas,
yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila, fraktur laring
atau trakea.

9
2.3 Tujuan Airway Dan Breathing Manajemen
1. Membersihkan atau membypass sumbatan jalan nafas
2. Mencegah aspirasi
3. Membantu pernafasan
4. Mengambil alih pernafasan spontan dengan bantuan mesin ventilator
Sumbatan jalan nafas bagian atas adalah kegawatdaruratan yang
mengamcam nyawa. Penilaian yang cepat dan upaya mempertahankan
jalan nafas adalah penting walaupun belum diketahui penyebab atau
diagnostik spesifik.

2.4 Sumbatan Jalan Nafas


Penyebab sumbatan jalan nafas bagian atas dijelaskan pada tabel
seperti berikut:
Tabel 1. Penyebab Sumbatan Jalan Nafas Bagian Atas
Kongenital/Geneti
Infeksi Medical Trauma/Tumor
k
Tonsil yang besar Tosilitis Cyctic fibrosis Laryngeal trauma
Abses
Makrogosila Angioedema Hematoma/abses
peritonsil
Abses Laringospasm
Mikrognati Inhalasi asap
retrofiring e
Abses Relaksasi otot
Massa leher Luka bakar
pretrakeal jalan nafas
Epiglottitis,
Adenoid yang besar laryngitis, Inflamas, asma Benda asing
angina Ludwig

2.5 Teknik Manajemen Jalan Nafas (Airway dan Breathing)


Teknik yang dapat dilakukan untuk mengelola jalan nafas meliputi
tindakan yang non Invasif atauinvasif tergantung dari sumbatan di atas atau
di bawah glottis, dan apakah bersifat surgical atau nonsurgical. Teknik yang
dipilih tergantung dari masing-masing situasi, yang merupakan konsekuensi
dari interaksi faktor kondisi pasien, alat yang tersedia, dan pengalaman
tenaga medis.
1. Teknik Non Invasif
a. Tanpa Alat
Pada kondisi dimana tidak ada alat maka yang dilakukan
upaya membebaskan jalan nafas secara manual dengan cara triple
airway manuver: ekstensi kepala (Head Tilt), angkat dagu (Chin lift),

10
dan mendorong mandibular/rahang bawah. Upaya ini dilakukan
untuk mengangkat lidah yang jatuh menutupi saluran nafas. Jika
terdapat benda asing di jalan nafas maka dapat dilakukan upaya
sapuan menggunakan jari tangan. Jika ventilasi tidak adekuat maka
dilakukan upaya pernafasan dari mulut ke mulut.

Gambar 2.9 Head tilt, chin, lift, dan jaw thrust

b. Bag-Mask Ventilation
Kombinasi antara tripel airway maneuver dengan ventilasi
menggunakan bag mask merupakan upaya yang sangat dasar
dalam menangani jalan nafas. Caranya: tangan kiri melakukan jaw
trust sambil memegang sungkup muka sementara tangan kanan
memompa baging. Berbagai jenis sungkup muka tersedia tetapi
yang disarankan adalah yang transparan sehingga dapat melihat
langsung keadaan mulut dan hidung serta ada tidaknya sumbatan.
Kunci utama teknik ini adalah kemampuan mempertahankan seal
antara sugkup muka dan wajah pasien, jika tidak maka akan terjadi
kebocoran sehingga ventilasi tidak adekuat. Komplikasi dari teknik
ini adalah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi paru.

Gambar 2.10 Bag Valve Mask Ventilation

c. Oro dan Nasofaringeal Airway


Pada pasien yang tidak sadar, obstruksi terjadi akibat
ketidakmampuan untuk mempertahankan tonus lidah sehingga
akan jatuh menutupi jalan nafas. Orofaringeal airway (OPA)
/gudel/mayo dapat menahan lidah pada posisi yang seharusnya.

11
Cara memasukkan gudel adalah dengan memasukkan pada posisi
lengkungannya menghadap ke atas sampai menyentuh palatum
kemudian diputar 180osambil didorong.
Nasofaringeal airway (NPA) terbuat dari karet atau plastik
yang lembut, yang dimasukkan melalui lubang hidung dan
diteruskan sampai faring posterior. Komplikasi pemasangan NPA
adalah epistaksis, aspirasu, laringospasme, dan masuk ke
esophagus.

Gambar 2.11 OPA dan NPA

d. Laryngeal Mask Airway (LMA)


Alat ini dimasukkan ke mulut sampai dengan faring,
kemudian cuffnya diisi udara sehingga akan terjadi seal. Berbeda
dengan ETT alat ini tidak dimasukkan ke dalam trakea hanya ada
lubang pipa nafas di depan glotis/pita suara.

Gambar 2.12. Laryngeal Mask Airway (LMA)

e. Kombitube (Oesofageal-trakeal double lumen airway)


Alat ini merupakan kombinasi dari dua pipa, satu untuk
esophagus dan yang satunya untuk trakea. Dimasukkan secara
blind ke dalam esophagus dan kemudian belon udara
dikembangkan.

12
Gambar 2.13 Kombitube
2. Teknik Invasif
a. Intubasi trakea
Pada kondisi gawat darurat jalan nafas merupakan
komponen yang paling penting dan menjadi prioritas utama dalam
penangannya. Banyak sekali pasien yang tidak sadar maupun yang
sadar yang tidak dapat mempertahankan jala nafasnya terbuka,
tidak mampu mengeluarkan secret, mencegah aspirasi, dan
membutuhkan bantuan ventilasi mekanik.
Tujuan utama dari penatalaksanaan jalan nafas darurat
adalah mempertahankan integritas jalan nafas, meyakinkan
ventilasi adekuat, dan mencegah aspirasi. Semua tujuan tersebut
data dicapai dengan bantuan intubasi trakea. Indikasi utama
intubasi trakea pada situasi gawat darurat adalah:
1. Koreksi hipoksia atau hiperkarbia
2. Mencegah ancaman hipoventilasi
3. Mempertahankan patensi jalan
4. Jalan untuk pemberian obat-obatan emergensi seperti
lidokasin, stropin, nalokson, dan epinefrin.
Sebelum melakukan intubasi, persiapan alat yang
merupakan hal yang sangat penting, jika terjadi malfungsi alat atau
tidak tersedianya alat yang dibutuhkkan karena persiapan kurang
baik, maka akan sangat membahayakan keselamatan dan nyawa
pasien, untuk menghindari hal itu maka setiap alat harus
dipersiapkan dengan baik, lengkap dan dilakukan pengecekan
terhadao fungsinya.
Untuk mempermudah dan agar tidak ada alat yang
terlewatkan maka dibuatlah singkatan untuk persiapan alat yaitu:
“STATICS”
1. S (Scope)

13
Scope terdiri dari laringoskop dan stetoskop. Berdasarkan
bentuk bilahnya terdapat dua macam laringoskop dengan berbagai
ukura dari bayi sampai dewasa, yaitu bilah yang melengkung
(macintosh) dan bila yang lurus (miller/magil).

Gambar 2.14 Macintosh dan Miller

Tidak ada perbedaan fungsi diantara keduanya,


perbedaannya adalah bilah lurus digunakan untuk visualisasi pita
suara dnegan cara mengangkat epiglottis sedangkan boilah
lengkung tidak mengangkat epiglottis secara langsung tetapi
dengan cara menempatkan ujung bila di dalam valeula dan
mengangkat epiglottis secara tidak langsung dengan menarik
frenulumnya tanpa menyentuh epiglotis. Penggunaannya
tergantung dari situasi klinis dan kondisi pasien. Bilah lengkung
lebih sedikit menyebabkan trauma karena sama sekali tidak
menyentuh laring serta membeirkan ruang yang lebih besar untuk
visualisasi saat menematkan ETT sehingga sangat berguna untuk
pasien yang gemuk. Sedangkan bilah lurus lebih mudah
dimasukkan terutama pada bayi dan lebih mudah mencari pita
suara karena secara langsung mencari epiglotis dan
mengangkatnya.
Stetoskop dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap
penempatan dan kedalaman ETT. Jika terdengar suara baging di
paru-paru berarti ETT berada diposisi yang benar yaitu di trakea,
sedangkan bila terdengar suara baging di lambung berarti ETT
pada posisi yang salah, harus segera ditarik da dilakuan intubasi
ulang. Stetoskop juga digunakan untuk mengecek kedalaman ETT,
jika terlalu dalam maka ETT akan masuk ke bronkus kanan

14
sehingga suara nafas di paru kanan lebih keras daripada paru kiri,
ETT harus ditarik pelan-pelan 1-2cm sambal terus didengarkan
suara nafas dan jika suara nafas paru kiri dan kanan telah sama
maka penarikan dihentikan dan batas ETT di mulut dilihat
panjangnya kemudian ETT difiksasi di level tersebut atau di bibir.
2. T (Tube)
ETT tersedia adalam bebgai jenia dan ukuran. Bersadarkan
bahan pembuatannya ada yang dibuat dari karet dan ada pula dari
PVC, berdasarkan ada tidaknya cuff (balon), ada yang memakai
balon ada pula yang tidak memakai balon, berdasarkan
kemngkinan tertekuk dan tergigit, ada yang bisa tertekuk dan ada
pula yang tidak bisa tertekuk karena disekeliling ETT dilapisi oleh
spiral yang terbuat dari logam.

Gambar 2.15 ETT (Endo Tracheal Tube)

Tube atau pipa nafas (ETT) harus dipilih sesuai dengan


ukuran trakea pasien, jika ukuran digunakan terlalu kecil maka akan
terjadi kebocoran, begitu pula jika ukuran ETT terlalu besar maka
tidak akan masuk ke trakea dan bisa menimbulkan cedera apabila
dipaksakan.
Pemelihan yang tepat berdasarkan umur dan jenis kelamin,
biasanya wanita mempunyai ukuran trakea yang lebih kecil dari laki-
laki. Rumus yang dapat digunakan untuk anak-anak adalah; 4+
(umur dalam tahun/4) atau secara sederhana dapat dilihat dari
ukuran jari kelingking pasien. Ukuran untuk pasien laki-laki dewasa
adalah 7,2-8, sedangkan untuk wanita 7-7,5, setelah didapatkan
satu ukuran yang pas harus pula disiapkan 1 ukuran di bawahnya
dan 1 ukuran di atasnya, misalnya ukuran yang akan dipakai adalah
nomor 7 maka disiapkan pula nomor 6,7 dan 7,5.
3. A (Airway)

15
Segala peralatan yang digunakan untuk membuka dan
mengamankan jlaan nafas sementara harus disipakan seperti OPA
dan NPA. Ukuran NPA disesuaikan dengan ukuran jalan nafas,
panjangnya NPA yang dibutuhkan diukur jarak dari sudut bibir
samai ke bagian depan liang telinga.
4. T (Tape)
Tape (plester) berguna untuk melakukan fiksasi setelah
intubasi selesai dilakukan. Tanpa fiksasi kemungkinan ETT akan
tercabut atau terdorong akan lebih besar sehingga perlu difiksasi
dengan plester ke pipi atau wajah pasien.
5. I (Introducer)
Introducer digunakan untuk membantu intubasi. Alat yang
biasa digunakan adalah mandarin yaitu kawat yang bisa
dimasukkan ke dalam ETT dan dibentuk/ dilengkungkan sesuai
denggan anatomi jalan napas. Sehingga akan memudahkan
mengarahkan ujung ETT melewatu pita suara. Alat ini adalah klem
magil, berupa klem yang bisa menjepit ETT di dalam rongga mulut
untuk diarahkan ke mulut pita suara

6. C (Conector)
Merupakan alat untuk menghubungkan ETT dengan alat
lainnya yaitu baging, ventilator dll. Conector ini mempunyai ukuran/
diameter yang standar sehingga dapat dihubungkan ke semua alat.
7. S (Suction)
Suction lengkap dengan kateter suction digunakan untuk
menghisap lendir, sekret ataupun darah yang berada di dalam
rongga faring dan menghalangi pandangan.
Dalam melakukan intubasi trakea seorang tenaga medis
harus melakukan evaluasi terhadap anatomi jalan nafas meliputi:
pemeriksaan gigi gerigi, ukuran rongga mulut, jarak tiroid dan os
mentalis mandibula, mobilitas leher dan mandibula. Evaluasi
tersebut untuk menyingkirkan kemungkinan sulit intubasi.
Setelah semua perlengkapan disiapkan dengan baik dan
lengkap, pasien diposisikan dalam posisi snifing position, yaitu fleksi

16
pada leher bagian bawah dengan ekstensi pada atlantoocipital joint.
Posisi ini akan menyebabkan aksis orofaringeolaringeal berada
dalam satu garis dan memudahkan visualisasi pita suara.
Penambahan bantal atau kain yang dilipat setinggi 6 – 10 cm akan
sangat membantu menempatkan pasien pada snifing position.
Setelah posisi pasien benar maka diteruskan dengan
preoksigenasi, yaitu pemberian oksigen 100% selama beberapa
menit melalui baging. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen di dalam darah dan paru-paru pasien sehingga
mencegah tejadinya hipoksia selama tindakan intubasi.
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri, kemudian bilah
dimasukkan dari sudut mulut pasien sebelah kanan menyusuri
lidah. Setelah mendekati pangkal lidah, laringoskop digeserkan ke
sebelah kiri sampai berada di garis tengah dengan menyingkirkan
lidah ke sebelah kiri. Jika menggunaka bilah lengkung (macintosh)
maka ujung bilah ditempatkan di dalam velekul pada pangkal
epiglotis, sedangkan jika menggunakan bilah lurus, maka ujung
bilah ditempatkan di bawah epiglotis secara langsung. Setelah itu
epiglotis diangkat untuk melihat/ visualisasi pita suara. Setelah pita
suara telihat maka tangan kanan memasukkan ETT. Untuk
membantu melakukan visualisasi pita suara dapat dilakukan
tindakan menekan jakun atau kartilago tiroid agar glotis turun
sehingga pita suara terlihat.
Setelah ETT masuk ke dalam trakea, balon udara
dikembangkan sampai tidak terdengar kebocoran di rongga mulut.
Untuk konfirmasi posisi ETT dilakukan auskultasi pada dada kiri
kanan serta lambung. Setelah suara nafas di paru kiri dan kanan
sama, lakukan fiksasi dengan menggunakan plester di wajah atau
pipi. Kemudian ETT dihubungkan dengan manual baging atau
ventilator.
Komplikasi Intubasi: Tindakan laringoskopi dapat
mengakibatkan trauma jalan napas jika tidak dilakukan dengan hati-
hati. Cidera pada bibir atau gigi patah merupakan kejadian yang
sering terjadi. Tindakan laringoskopi merupaka tindakan yang
menyakitkan. Untuk itu perlu diberikan analgetik atau anastetik

17
lokal. Jika nyeri ini terjadi maka dapat mengakibatkan gangguan
irama jantung sampai henti jantung. Tindakan intubasi juga
mempunyai komplikasi ringan sampai berat yang dapat
membahayakan nyawa pasien. Edema pada pita suara yang
mengakibatkan nyeri dan suara serak, ETT yang didorong terlalu
dalam sehingga masuk ke bronkus sebelah kanan dapat
mengakibatkan hipoksia dan hiperkarbia. Begitu pula ETT yang
msuk ke dalam esofagus menyebabkan distensi lambung sampai
perforasi. Untuk itu posisi ETT harus diyakinkan berada pada posisi
yang tepat.
b. Krikotirodotomi
Merupakan upaya emergensi untuk membypass sumbatan
dengan membuat lubang pada membran krikoid. Dalam keadaan
emergensi dapat dilakukan penusukan membran krikoid dengan
menggunakan abocath no 14.
c. Trakeostomi
Trakeostomi dilakukan jika tidak memungkinkan untuk
dilakukan intubasi. Trakeostomi merupakan upaya bypass jalan
napas dengan membuat lubang secara langsung pada cincin
trakea.

18
BAB III
MANAJEMEN AIRWAY DAN BREATHING

3.1 Manajemen Airway dan Breathing


3.1.1 Pengkajian Airway
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas
paten (longgar) atau mengalamo obstruksi total atau partial sambil
mempertahankan tulang servikal. Pada kasus non trauma dan korban
tidak sadar, buatlah posisi kepala headtilt dan chin lift (hiperekstensi)
sedangkan pada kasus trauma kepala sampai dada harus terkontrol
atau mempertahankan tulang servikal posisi kepala.
Pengkajian pada jalan nafas dengan cara membuka mulut
korban dan lihat: Apakah ada vokalisasi, muncul suara ngorok;
Apakah ada secret, darah, muntahan; Apakah ada benda asing
seperti gigi yang patah; Apakah ada bunyi stridor (obstruksi dari
lidah). Apabila ditemukan jalan nafas tidak efektif maka lakukan
tindakan pembebasan jalan nafas. Pembebasan jalan nafas dapat
dilakukan dengan cara antara lain:
1. Penyebab : pangkal lidah jatuh
Tindakan manual : perbaiki posisi kepala
a) Non trauma
- Head tilt
- Chin lift
- Jaw thrust
b) Trauma (hati-hati kemungkinan adanya patah leher)
- Chin lift
- Jaw thrust
Bantuan alat : pipa orofaring (pipa mayo/guedel)
2. Penyebab : adanya benda asing
a) Manual : finger swab
b) Alat : suction
c) Pada kasus tersedak (chocking)
- Lakukan pukulan punggung pada bayi dan anak (back
blows)

19
- Lakukan hentakan pada abdomen atau abdominal
thrust (Heimlich maneuver) atau hentakan pada thorax
(thoracal thrust)
3.1.2 Pengkajian Breathing
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah
pengkajian jalan nafas. Pengkajian pernafassan dilakukan dengan
cara inspeksi dan palpasi, bila diperlukan auskultasi dan perkusi.
a. Inspeksi : jumlah, ritme, dan tipe pernafasan; kesimetrisan
pengembangan dada; jejas/kerusakan kulit; retraksi
intercostalis.
b. Palpasi : adakah nyeri tekan; adakah penurunan ekspansi paru.
c. Auskultasi : bagaimana bunyi nafas (norma atau vesikuler
menurun); adakah suara nafas tambahan seperti ronchi,
wheezing, pleural friksionrub.
d. Perkusi : dilakukan didaerah dada dengan hati-hati, beberapa
hasil yang akan diperoleh seperti sonor (normal), hipersonor
atau timpani; bila ada udara di thorak akan muncul suara pekak
atau dullness bila ada konsolidasi atau cairan.
Cara lain untuk mengetahui gangguan ventilasi antara lain :
a) Look/lihat
- Sianosis
- Frekuensi nafas cepat (takhipnea)
- Penurunan kesadaran (status mental)
- Distensi vena leher (tension pneumothorax)
- Gerakan dan bentuk asimetris dada (hematothorax,
pneumothorax)
- Tidak tampak gerakan (paralisis otot nafas)
b) Listen/dengar
- Tidak bisa nafas/sulit nafas
- Terdengar stridor, wheeze (seperti pasien asthma)
- Terjadi penurunan atau hilang suara nafas
Tanda kedaruratan pernafasan :
1) Pada pasien dewasa
- RR < 10 atau > 40 x/menit
- Pernafasan irregular

20
- GCS kurang dari sama dengan 8
2) Pada pasien anak-anak
- RR < 20 x/menit atau > 90 x/menit usia < 12 bulan
- RR < 20 x/menit atau > 70 x/menit usia > 12 bulan
Cara pemberian ventilasi :
1) Tanpa alat
- Mouth to mouth
- Mouth to nose
- Mouth to mouth and nose
2) Dengan alat
- Fask mask/pocket mask
- Laryngeal mask
- Bag-valve mask

3.2 Askep Gangguan Sistem Pernafasan:GBS


3.2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian
psikososial.Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-
menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui
pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena
profunda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi
dan paralisis.
1. Anamnesis
a) Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat,
pekerjaan, agama, pendidikan, dan sebagainya
b) Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot
baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti
melemahnya otot-otot pernapasan.
c) Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal

21
napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan
gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi
pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada
aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke.
Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang
mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien
GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan
drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik
dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik)
dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh
dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
d) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret
akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi

22
atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan
paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan
dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi
saluran napas.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS
didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan
perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi
atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
3) B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
- Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis (CM).
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai
bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
keperawatan.
- Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut
disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental
klien mengalam perubahan.
- Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman

23
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralis ocular.
 Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot
wajah sehingga mengganggu proses mengunyah
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
 Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang
baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
 Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
- System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
menggaganggu moblitas fisik.
- Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
- Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
- System sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
4) B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke
ginjal.

24
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
kurang terpenuhi.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menururnkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain
sehingga perlu dilakukan mobilisasi.
e) Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
1) Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
2) Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan
spinal memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein
dengan menghitung jumlah sel normal.
3) Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls
sepanjang serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan
dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
4) Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik
terhadap cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah
ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada antigen saraf
tepi menunjang perkembangan gangguan.
5) Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga
dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai
kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat
menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

3.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sumbatan jalan nafas dan
kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lender ditandai dengan
tidak mampu batuk, sputum berlebih, ronkhi, frekuensi napas berubah
(D.0001)

25
2. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Hambatan Upaya Nafas
ditandai dengan Penggunaan Otot Bantu Pernafasan, pola nafas
abnormal, pernafasan cuping hidung (D.0005)
3. Penurunan curah jantung bitandai dengan perubahan irama jantung
ditadai dengan gambaran EKG aritmia, bradikardi/takikardi,
palpitasi(D.0008)
4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan
darah ditandai dengan parastesia, nyeri ekstremitas, nadi perifer
menurun, CRT >3 detik (D.0009)

26
3.2.3 Intervensi Keperawatan
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. (D.0001) L.01001 1. Pementauan Respirasi (I. 01014)
Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan intervensi a. Observasi
efektif b.d sumbatan jalan keperawatan selama 1x3 jam - Monitor frekuensi, irmaa, kedalaman, dan upaya naps
nafas dan kurangnya maka bersihan jalan nafas - Monitor pola napas
ventilasi sekunder terhadap meningkat dengan kriteria
- Monitor adanya produksi sputum
retensi lender ditandai hasil :
- Monitor adanya sumbatan jalan napas
dengan tidak mampu batuk, 1. Batuk efektif meningkat
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
sputum berlebih, ronkhi, 2. Produksi sputum
- Auskultasi bunyi napas
frekuensi napas berubah menurun
- Monitor saturais oksigen
3. Dyspnea menurun
- Monitor nilai AGD
4. Sianosis menurun
- Monitor hasiil x-ray toraks
5. Frekuensi napas
b. Terapeutik
membaik
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
6. Pola napas membaik
pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

27
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
- Informasikan hasil pemantauam
2. Manajemen Jalan Napas (I.01011)
a. Observasi
- Monitor pola napas
- Monitor bunyi napas tambahan
- Monitor sputum
b. Terapeutik
- Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan teknik
head-rilt dan chin-lift (jaw thrust jika ada trauma
cervical)
- Posisikan semi-fowler atau fowler
- Berikan minum air hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Lekukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan ETT
- Berikan oksigen
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forcep McGill
c. Edukasi

28
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
- Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
- Ajarkan teknik batuk efektif
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspekloran, mukolitik
jika perlu
3. Pemantauan Respirasi (I.01014)
a. Observasi
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upayanapas
- Monitor pola napas
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan npaas
- Monitor kesimetrisan ekspirasi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil x-ray
b. Terapeutik

29
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
- Dokumentasikan hasil pemeriksaan
c. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan
2. (D.0005) (L.01004) 1. Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Pola Nafas Tidak Efektif Setelah diberikan asuhan a. Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama 1x3 jam - Monitor pola napas (frekuensi , kedalaman, usaha
Hambatan Upaya Nafas diharapkan pola nafas napas)
ditandai dengan Penggunaan membaiki, dengan kriteria - Monitor bunyi napas tambahan (Mis. gurgling, mengi,
Otot Bantu Pernafasan, pola hasil: weezing, rpnkhi)
nafas abnormal, pernafasan 1. Tekanan ekspirasi dan - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
cuping hidung inspirasi meningkat b. Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt
2. Dyspnea menurun
dan chin-lift (jaw thrust jka curiga trauma cervikal)
3. Penggunaan otot bantu
- Posisikan semi-fowler atau fowler
napas menurun
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
4. Pernapasan cuping
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan ETT
hidung menurun
- Keluarkan sumbatan benda padat

30
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
5. Frekuensi napas normal - Berikan oksigen
(16 -20x/mnt)

c. Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekpektor ,
mukolitik,mukolitik, jika perlu
2. Pemantauan Respirasi (I.01014)
a. Observasi
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
- Monitor pola napas
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya roduksi sputum
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor hasil x-ray thorax
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD

31
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

b. Terapeutik
- Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
- Dokumentasikan hasi pemantauan
c. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. (D.0008) (L.02008) 1. Perawatan Jantung (I.02075)
Penurunan curah jantung Setelah diberikan asuhan a. Observasi
bitandai dengan perubahan keperawata selama 1x3 jam - Identifikasi tanda/gejala primer Penurunan curah
irama jantung ditadai dengan diharapkan curah jantung jantung (meliputi dispenea, kelelahan, adema ortopnea
gambaran EKG aritmia, meningkat, dengan kriteria paroxysmal nocturnal dyspenea, peningkatan CPV)
bradikardi/takikardi, palpitasi hasil: - Identifikasi tanda /gejala sekunder penurunan curah
1) Kekuatan nadi perifer jantung (meliputi peningkatan berat badan,
meningkat hepatomegali ditensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
2) Palpitasi menurun basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
3) Bradikardi menurun - Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah
4) Takikardi menurun ortostatik, jika perlu)
5) Distensi vena jugularis - Monitor intake dan output cairan

32
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
menurun - Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
6) Tekanan darah membaik - Monitor saturasi oksigen
7) Crt membaik (<2 detik) - Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi,
radiasi, durasi, presivitasi yang mengurangi nyeri)
- Monitor EKG 12 sadapoan
- Monitor aritmia (kelainan irama dan frekwensi)
- Monitor nilai laboratorium jantung (mis. Elektrolit, enzim
jantung, BNP, Ntpro-BNP)
- Monitor fungsi alat pacu jantung
- Periksa tekanan darah dan frekwensi nadisebelum dan
sesudah aktifitas
- Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi sebelum
pemberian obat (mis. Betablocker, ACEinhibitor,
calcium channel blocker, digoksin)
b. Terapeutik
- Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan
kafein, natrium, kolestrol, dan makanan tinggi lemak)
- Berikan oksigen untuk memepertahankan saturasi
oksigen >94%

33
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
c. Edukasi
- Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
- Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
- Anjurkan berhenti merokok
- Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan
harian
- Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan
output cairan harian
d. Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
- Rujuk ke program rehabilitasi jantung
2. Perawatan Jantung Akut : Akut( I.02076)
a. Observasi
- Identifikasi karakteristik  nyeri dada (meliputi faktor
pemicu dan dan pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala,
durasi dan frekuensi)
- Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
- Monitor Aritmia( kelainan irama dan frekuensi)

34
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
- Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan resiko
aritmia( mis. kalium, magnesium serum)
- Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-MB, Troponin T,
Troponin I)
- Monitor saturasi oksigen
- Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut(mis.
Skor TIMI, Killip, Crusade)
b. Terapiutik
- Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
- Pasang akses intravena
- Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas
dan stres
- Sediakan lingkungan yang kondusif untuk
beristirahat dan pemulihan
- Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika
perlu
c. Edukasi
- Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
- Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis.

35
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Mengedan sat BAB atau batuk)
- Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
- Ajarkan teknik menurunkan kecemasan dan
ketakutan
d. Kolbaorasi
- Kolaborasi pemberian antiplatelat, jika perlu
- Kolaborasi pemberian antianginal (mis.
Nitrogliserin, beta blocker, calcium channel bloker)
- Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
- Kolaborasi pemberian inotropik, jika perlu
- Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah
manuver Valsava (mis., pelunak, tinja, antiemetik)
- Kolaborasi pemberian trombus dengan
antikoagulan, jika perlu
- Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada , jika perlu
2. Perfusi perifer tidak efektif Setelah diberikan asuhan Perawatan Sirkulasi (I.02079)
berhubungan dengan keperawatan selama 1x3 jam 1. Observasi
peningkatan tekanan darah diharapkan perfusi perifer b. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer, edema, pengisian
ditandai dengan parastesia, meningkat dapat teratasi kapiler, warna, suhu)

36
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
nyeri ekstremitas, nadi dengan kriteria hasil: c. Identifikais faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. Diabetes,
perifer menurun, CRT >3 1. Denyut nadi perifer perokok, orang tua, hipertensi, kolesterol tinggi)
detik (D.0009) meningkat d. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada

2. Nyeri ekstremitas ekstremitas

menurun 2. Terapeutik
a. Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area
3. Parastesia menurun
keterbatasan perfusi
4. Kelemahan otot menurun
b. Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas
5. Kram otot menurun
dengan ketebatsan perfusi
6. Tekanan darah systole
c. Hindari pemasangan dan penekanan tourniquet pada area
dan diastole membaik
yang cedera
7. Turgor kulit membaik d. Lakukan pencegahan infeksi
8. CRT membaik <2 detik e. Lakukan perawatan kaki dan kuku lakukan hidrasi
2. Edukasi
a. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
antikoagulan, penurunan kolesterol, jika perlu
b. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat
c. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
dilaporkan
Perawatan Sensasi Perifer (I.06195)

37
No DX.Kep Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Observasi
a. Identifikasi penyebab perubahan sensai
b. Periksa perbedaan sensai tajam dan tumpul
c. Periksa perbedaan sensai panas dan dingin
d. Monitor terjadinya paresthesia, jika perlu
e. Monitor perubahan kulit
2. Terapeutik
Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya
3. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgesic, jika pelru
b. Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu

38
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Anatomi dan fisiologi system pernafasan terdiri dari hidung, faring, laring,
trachea, bronkus bronkeolus, dan alveous. Di alveolus, darah hampir langsung
bersentuhan dengan udara dimana suatu jaringan pembuluh darah kapiler
mengitari alveoli dan pertukaran gas pun terjadi.
airway manajemen adalah hal terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam pelaksanaan keadaan gawat darurat, oleh
karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Asuhan keperawatan kritis pada manajemen airway dan breathing lebih
diprioritaskan dalam pengkajian dan intervensi pada sistem pernafasan dimana
diberikan asuhan keperawatan secara cepat dan tepat pada system pernafasan
demi menangani kondisi pasien yang kritis.
4.2 Saran
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, perawat mampu lebih akurat
dan efektif melakukan asuhan keperawatan kritis airway manajemen dan
breathing dan dapat menambah referensi kepada mahasiswa tentang airway
manajemen dan breathing.

39
DAFTAR PUSTAKA

Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors. 2015. 8th Edition.

Bingham, Robert M.: Proctor, Lester T. 2008. Airway Manejement Pediatric


Clinics of North America. 55(4):873-886.

Hamarno, Rudi., Tyas, Maria DC., & Farida, Ida. 2016. Keperawatan
Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta Selatan : Pusdik SDM
Kesehatan

JMS, Direktur. 2013. Jakarta Medical Service 119 Training Division. Jakarta
Selatan.

Rifai, A., & Sugiyarto. (2019). Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode
Simulasi Pertolongan Pertama (Management Airway) pada Penyintas
Dengan Masalah Sumbatan Jalan Nafas pada Masyarakat Awam di
Kec.Sawit Kab. Boyolali. Jurnal Keperawatan Global, 4(2), 74-120.

Paulsen, F & Wasschke, J. 2018. Sobotta Atlas of Human Anatomi Ed. 24.
Munchen : Saunders Elsevier.

40

Anda mungkin juga menyukai