Anda di halaman 1dari 3

Mengenal Tari Pakarena, Ragam Seni

Tradisional dari Sulawesi Selatan


Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan ragam seni dan budayanya. Salah satu kesenian yang
terkenal di Indonesia adalah seni tari.

Setiap daerah memiliki ragam tarinya masing-masing. Salah satu ragam tari yang terkenal di
daerah Sulawesi Selatan yakni Tari Pakarena.
Tari Pakarena adalah tari tradisional yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan. Tarian ini
banyak hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Ara sebagai tarian yang selalu dibawakan
oleh para tulolo (gadis) dalam upacara adat, terutama dalam adat perkawinan.
Bagaimana penyajian dan perlengkapan Tari Pakarena? Apa yang membedakannya dengan
ragam tari lain? Agar lebih memahaminya simaklah penjelasan berikut.
Penyajian Tari Pakarena
Tempat penyajian tari pakarena umumnya dilakukan di barung-barung, bangunan berbentuk panggung
yang dibangun berdempetan atau sejajar dengan bangunan rumah induk. Barung-barung ini sifatnya
sementara, jika upacara adat telah usai tempat ini pun dibongkar kembali.

Mengutip dari buku Seni Tradisional di Sulawesi Selatan oleh Kemdikbud, Tari Pakarena dihadirkan
berdasarkan urutan-urutannya dalam upacara adat perkawinan. Urutan tersebut di antaranya karena
tedong, karena siusiri, dan karena salonreng.

Karena tedong disajikan sebagai awal atau pembuka dalam upacara adat perkawinan. Karena siusiri
disajikan pada pertengahan acara pesta adat. Karena siusiri ini sekaligus menjadi puncak atau klimaks
dari acara pesta adat. Sedangkan karena salonreng merupakan acara penutup dari seluruh rangkaian
upacara adat perkawinan.

Perlengkapan Tari Pakarena


Setiap ragam tari pasti memiliki perlengkapan khas yang membedakannya satu sama lain. Dalam Tari
Pakarena, para penari (tulolo) menggunakan selendang sebagai perlengkapannya.

Selendang ini dalam bahasa setempat dikenal dengan nama tambong. Selendang atau tambong
umumnya berwarna hijau dan pada ujungnya terdapat pemberat biji yang dinamakan ati-ati.

Pakaian yang digunakan penari atau tulolo umumnya berwarna merah. Untuk bawahannya,
penari menggunakan kain (sarung) samarenda sutra yang halus. Sarung samarenda yang dipakai
penari juga umumnya berwarna merah.
Ciri khas lain yang dikenakan penari adalah hiasan kepala yang dinamakan rakkasua. Dahulu,
rakkasua digunakan masyarakat setempat untuk menunjukan status seseorang yang berasal dari
golongan atas.
Rakkasua biasanya dibuat dengan seni ukir dan ornamen yang khas. Ini dilakukan supaya
terdapat ciri khas dari Tari Pakarena itu sendiri.
(MSD)
Sumpah Setia Tradisi Angngaru
Angngaru berasal dari kata dasar aru, yang artinya adalah sumpah. Sedangkan angngaru
(bersumpah) adalah ikrar yang diucapkan orang – orang Gowa pada jaman dulu. Tradisi ini
biasanya diucapkan oleh abdi raja kepada rajanya, atau sebaliknya, oleh raja kepada rakyatnya.

Pada saat tampil dihadapan Sombayya (Raja/Pemerintah), tubarani yang akan angngaru
berlutut dengan posisi badan yang tegap. Tangan kanan memegang badik yang terhunus. Dengan
wajah yang menatap ke arah depan dengan kemantapan dan keyakinan hati, sebagai tanda
kesetiaan kepada sombayya.

Pada jaman dahulu, angngaru dilakukan sebelum prajurit berangkat ke medan perang. Para
prajurit terlebih dahulu harus mengucapkan sumpah aru (sumpah setia) di depan sombayya.
Prajurit bersumpah untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran, dan tak akan
mundur selangkah pun sebelum mengalahkan musuh yang dihadapi.

Tradisi angngaru ini dapat membakar semangat prajurit sebelum berlaga di medan perang.
Tradisi ini akan menumbuhkan jiwa ksatria pada tiap individu. Begitulah tradisi angngaru
dilakukan pada masa peperangan.

Selepas masa perang berakhir, tradisi ini masih dilakukan. Para pejabat kerajaan yang baru
dilantik harus melakukan tradisi ini. Pejabat baru mengucapkan sumpah di depan sombayya.
Bahwa mereka akan bersungguh – sungguh dalam melaksanakan tugas – tugas pemerintahan
kerajaan dan menjunjung tinggi kemuliaan raja.

Tradisi ini berisi pesan moral, penjagaan terhadap bahaya, dan kesiagaan perlindungan.
Pesan yang dibawa tercermin dari gerakan pangraru (pelaku angraru) yang disertai dengan
ucapan lantang.

Hanya orang – orang tertentu yang bisa membawakan tradisi ini. Tidak sembarang orang
bisa membawakan tradisi ini, karena dibutuhkan keahlian khusus. Dalam pementasannya, pelaku
angngaru juga memainkan senjata khas Sulawesi Selatan. Senjata yang digunakan yakni Badik.
Dalam filosofinya badik dianggap sebagai simbol penjagaan dan perlindungan.

Pada masa sekarang, angngaru sering dipertunjukkan dalam kegiatan adat, kegiatan
pemerintahan, maupun dalam penyambutan tamu – tamu kehormatan. Bahkan dalam upacara
pernikahan pun angngaru sering ditampilkan.

Ritual ini menyampaikan simbol jika tamu yang berkunjung akan dijamin keselamatan dan
kenyamanannya selama berada di daerah yang dikunjungi.

Anda mungkin juga menyukai