Anda di halaman 1dari 14

OLEH:

DENNI KHAS JULIANA BR NAINGGOLAN


NIM : 05. 17. 201

Dosen Pengampu : Dr.Albet Saragih, MA.,M.Pd.K


Mata Kuliah : Colloquium Didacticum

PASCASARJANA PROGRAM DOKTORAL


KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SEKOLAH TINGGI TEOLOGIA SUMATERA UTARA
MEDAN 2019

BAB I
PENDAHULUAN

Berbicara tentang ukuran sebuah nilai tentu akan membahas angka-angka. Karena di
dalam sebuah pendidikan tolak ukur lulus/tidak lulusnya seorang anak didik ditentukan oleh
sebuah prestasi atau hasil belajar. Hal tersebut sebenarnya menjadi dilema/masalah bagi para
pendidik kristen, dikarenakan karakter tidak dapat diukur oleh sebuah prestasi apalagi tentang
iman. Tujuan Pendidikan agama kristen secara umum adalah membawa anak didik mengenal
siapa Yesus Kristus dan kebenaranNya sehingga berdampak ke dalam hidup mereka untuk
menjadi saksi dan pengikutNya yang setia. Sangat kontras ketika seorang pendidik
diperhadapkan sebuah pilihan yang bersifat nilai kepada anak didik yang memiliki prestasi
baik secara kognitif (pengetahuan) tetapi tidak memiliki karakter moral yang baik.

Dewasa ini, hal yang di atas merupakan tugas penting bagi para pendidik. Bagaimana
kita melihat generasi muda saat ini sebagian besar tidak lagi mementingkan karakter moral
kristus tetapi kepada keinginan daging mereka, seperti kita melihat maraknya seks bebas,
penyalahgunaan NARKOBA, pindah agama demi harta, jabatan maupun cinta buta, dll.
Dengan demikian pendidik harus menyeimbangkan antara nilai yang bersifat formatif dengan
nilai yang bersifat normatif. Agar terciptanya generasi-generasi kristus yang berdampak pada
peningkatan atau membangun karakter moral kristus yang berdampak positif kepada bangsa.
Dan kurikulum menjadi dasar ataupun tolak ukur dalam mendidik anak didik ke jalan yang
benar melalui pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Ketika kurikulum tidak
sejalan dengan nilai-nilai PAK/kristiani yang secara Alkitabiah maka tidak heran kita akan
melihat banyaknya generasi kristen yang berhasil di dunia tetapi tidak berhasil di akhirat
(surga kekekalan). Nah, disini kita akan membahas nilai-nilai PAK apa saja yang dapat
membangun karakter moral bangsa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Kristen

Seyogianya, membangun karakter peserta didik sebenarnya bukanlah pekerjaan mutlak


oleh para pendidik tetapi adanya hubungan yang signifikan dengan didikan orangtua di
rumah. Tetapi memberikan nilai-nilai PAK kepada peserta didik itu adalah kewajiban dari
pendidik kristen baik dari tingkat pendidikan terendah sampai tingkat pendidikan tertinggi.
Pendidik/pengajar PAK harus terlebih dahulu mengetahui panggilanNya yaitu amanat kita
sebagai guru langsung dari kata-kata terakhir Yesus di bumi (Matius 28:18-20). Sehingga ada
4 panduan untuk menjadi guru yang berharga yaitu jadilah terang, jadilah transparan, jadilah
pencari harta (bukan materiil tetapi bagaimana pengajar menemukan kunci pada diri anak
didik untuk membuka pintu hatinya mengenal Allah) dan jadilah orang yang dapat
dipercaya.1 Jika hal tersebut sudah menjadi amanat yang dijalankan para pendidik/pengajar
maka terlebih dahulu mereka sudah menjadi teladan bagi para muridnya untuk menjadi
pelaku nilai-nilai kristiani yang diajarkannya. Nilai-nilai yang dibangun tentu memiliki
tahapan, tidak serta merta disamakan kepada seluruh peserta didik. Dan nilai-nilai
PAK/Kristiani tentunya tidak terlepas dari sifat-sifat Allah. Pengajaran Kristus
mengotentikkan klaim kemesiasanNya; Ia mengindikasikan bahwa kata-kata yang
diajarkanNya berasal dari Bapa yang mengutus Dia (Yoh 12:49).2 Firman Tuhan mengatakan
hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu yang disurga adalah sempurna. Nilai-Nilai yang
ada pada diri Tuhan Yesus itu diantaranya: 

 Kebenaran (Truth). Yaitu kita harus memegang kebenaran dan mengajarkannya dalam
kebenaran berdasar kepada Alkitab. Kebenaran ini juga terletak integritas dan
kejujuran, yaitu ada keselarasan antara apa yang dikatakan dan dilakukan. (Mat. 5:37)
 Kesalehan (Righteousness)
Disini setiap orang percaya harus hidup berfokus dan berpusat pada Allah Bapa
didalam nama Tuhan Yesus Kristus. Kesalehan berbicara tentang hubungan atau
relasi antara kita dengan Allah dan kesederhanaan hidup. (Ayub 29:4).

1
Jody Capehart, Touching Heart Changing Live, (Jakarta: Metanoia,2012), hal 18
2
Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology,(Malang: SAAT, 2008), hal 283
 Kekudusan (Holiness)
Ini merupakan syarat seseorang dapat melihat Allah, dan masuk menghadap hadirat
nya. Orang kristen telah dipisahkan dari dunia yang gelap ini untuk tujuan khusus
yaitu sebagai garam dan terang dunia. (Mat. 5:8)
 Kesetiaan (Faithfulness)
Sifat setia sangat diharapkan untuk dapat dimiliki oleh setiap orang percaya.
Kesetiaan orang kristen harus didasarkan kepada Kesetiaan Allah sendiri dengan
senantiasa menyertai kita. (Why. 2:10b).
 Keutamaan (Excellency)
Semangat untuk memberikan yang terbaik untuk Tuhan dan sesama tentunya di
ilhami oleh Allah sendiri yang telah memberikan pemberian yang terbaik, yaitu Anak-
Nya Yang Tunggal bagi dunia. (Yak. 1:17)
 Kasih (Love)
Ini merupakan ciri kehidupan umat Kristiani yang selalu di nantikan oleh orang-orang
di sekitar kita. Kasih yang dinyatakan dengan kesediaan untuk menerima orang lain,
mengampuni yang bersalah, dan menyalurkan berkat Tuhan bagi mereka yang
membutuhkan. (Mat. 22:37-39)

Selain di atas, nilai-nilai PAK juga dijelaskan dalam Galatia 5:22-23 yaitu tentang buah
Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Mendorong pembentukan hubungan-hubungan harus
menjadi prioritas untuk para pendidik Kristen, bahkan dalam latar ruang kelas formal. Dalam
konteks hubungan-hubungan inilah nilai-nilai alkitabiah disampaikan, sebagian besar melalui
imitasi. Walaupun pengajaran di dalam kelas memberikan isi penting untuk iman.3

Disini ada beberapa tahapan pengajaran nilai-nilai PAK/kristiani yang dibangun yaitu:

1. Nilai-nilai PAK usia dini/PAK Anak : di usia dini pendidikan agama diajarkan agar
anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki karakter dan
moral yang baik sejak usia dini. Moral adalah pengajaran tentang kebiasaan tentang
baik dan buruknya sesuatu seperti perilaku, sikap, budi pekerti, perbuatan dan lain
sebagainya. Sehingga anak dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Menurut Piaget (dalam Slavin, 2006:51)4 dalam teori perkembangan moral terdapat 2
3
Anthony, Michael. Foundations of Ministry, (Jakarta: Gandum Mas,2012),hal 89
4
Slavin, R.E. Educational Psychology Theory and Practice. (United States of
America: Johns Hopkins University, 2006). Hal 51 
tahap, yaitu : Heteronomous Morality. Usia 5 – 10 tahun. Anak sudah mengetahui apa
itu moral tetapi anak masih belum bisa merubah atau mengembangkan moralnya.
Anak belum bisa mengikuti aturan dan anak belum menyadari moralnya. Autonomous
Morality. Usia 10 tahun ke atas. Anak sudah memiliki moral dan anak sudah mulai
bisa merubah atau mengembangkan moralnya. Anak sudah mengikuti aturan dan
sudah sadar akan moralnya. Sejatinya, pendidikan agama dan moral sangat berkaitan
di dalam kehidupan, terlebih dalam kehidupan anak usia dini. Jika agama anak baik,
maka moral si anak juga akan baik. Begitu juga dengan pembagian ajaran kepada
anak dapat dibagi dalam beberapa bagian,yaitu:

Usia 2-3 Tahun


Tentang Allah:
“Allah Mengasihi Aku"
"Allah Menjaga Aku"
Tentang Yesus:
"Yesus Mengasihi Aku"
Tentang Keluarga:
"Allah Memberi Orang Tua"
"Aku Harus Menaati Orang Tua"
Usia 4-5 Tahun
Tentang Allah:
"Allah Mengasihi Aku dan Orang Lain"
"Allah ada di mana-mana"
Tentang Yesus:
"Yesus mengasihiku dan Ia adalah sahabat terbaiku"
"Yesus ingin semua anak mengasihi-Nya"
Tentang Keluarga:
"Allah memberikan keluarga untuk memperhatikan dan mengajarku"
Usia 6-7 tahun
Tentang Allah:
"Allah Mengasihiku dan Keluargaku dan Teman-temanku"
"Allah ingin kita berdoa dan membaca Alkitab"
Tentang Yesus:
"Yesus adalah Anak Allah"
Tentang Keluarga:
"Orangtua adalah Pemimpin dari Allah bagi kita di dunia"
Usia 8-9 tahun
Tentang Allah:
"Allah berkuasa, bijaksana, dan ada di mana-mana"
Tentang Yesus:
"Yesus adalah Anak Allah dan Juruselamat"
Tentang Keluarga:
"Orang tua punya aturan untuk saya untuk ditaati, tetapi mereka juga harus punya
aturan Allah untuk diikuti”.
Usia 10-11 Tahun
Tentang Allah:
"Allah adalah Roh, Ia ada di mana-mana, tetapi rumah-Nya ada di Surga"
Tentang Yesus:
"Yesus menunjukan pada kita bagaimana hidup bagi Allah, sebab kesempurnaan
Yesus adalah contoh bagi semua manusia"
Tentang Keluarga:
"Rumahku dan keluargaku adalah bagian dari rencana Allah bagi ku".5

1. Nilai –nilai PAK Remaja/Pemuda : Ada berbagai batasan usia tentang remaja. Istilah
yang biasanya dipakai dalam istilah psikologi perkembangan
adalah “adolescense” yang dimulai kira-kira pada usia 12 tahun sampai 18 tahun.
Untuk masa adolescense ini dibagi lagi menjadi  dua yaitu:
Early adolescense (Remaja awal) 12-15 tahun. 
Middle adolescense (Remaja Madya) 16-18 tahun.
Masa remaja/pemuda memiliki masa yang kompleks karena pada masa ini terjadinya
masa transisi atau masa yang amat meresahkan di dalam kehidupan seseorang.
Menurut Erik Erikson, justru pada masa remajalah seseorang individu mulai melihat
atau menyadari akan dirinya sendiri, mempunyai masa lalu dan masa depan yang
secara eksklusif merupakan dirinya sendiri. Masa remaja adalah masa di mana
seseorang membuat kenangan dan antisipasi tentang masa depan. Suatu masa di mana
seorang individu mencari identitas yang khusus. Pencarian ini terdiri dari suatu rasa
kesadaran tentang keunikan pribadi, yang berusaha memiliki pengalaman yang
berkesinambungan dan solidaritas dengan ideal-ideal kelompok. Pada masa inilah
seorang anak mencoba meninggalkan hal-hal yang kekanak-kanakan dalam usahanya
untuk menjadi seorang dengan identitas yang unik.

Dalam hal inilah kita dapat melihat bahwa masa remaja memberikan kepada
kita suatu kesempatan yang luas dan istimewa untuk melakukan pengajaran PAK.
Karena pada masa inilah begitu banyak pilihan dipertimbangkan, perubahan
dilakukan, dan kehidupan dibentuk. Pemikiran yang masih muda dan iman yang
sedang tumbuh mempunyai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang
jujur. Anak-anak remaja ini sedang berusaha membangun diri sendiri sebagai individu
yang layak untuk menerima kasih Allah.

2. Nilai-nilai PAK Dewasa : PAK Dewasa adalah seluruh aspek pendidikan yang
didasarkan pada tinjauan Alkitabiah teologis, dan kerohanian, dalam hal kerohanian

5
V. Gilbert Beers, Family Bible Library (Nashville: Southwestern, 1971), 10, 14-15,
18-19, 22-23, 26-27.
orang dewasa yang mengarahkan orang dewasa agar dapat menjalani kehidupan
spiritual dengan baik dan benar sehingga menjadi berdampak positif bagi orang lain,
baik dalam gereja, masyarakat dan dimanapun berada. Niai PAK bagi orang dewasa
adalah semua aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam
kehidupan sehari-hari yang hanya menggunakan sebagian waktunya dan tenaga untuk
memperoleh atau menambahkan intelektualnya.6 PAK Dewasa memberikan
dasar/prinsip kebenaran Firman Tuhan. Mengajarkan pengajaran yang benar sesuai
dengan Alkitab (lebih dari sekedar mendengarkan kotbah) dan pendeta/pembimbing
membantu keluarga menjajagi Firman Allah secara sistematis untuk menemukan
berita kebenaran Firman Allah untuk generasi ini.  Keluarga Kristen ditolong untuk
hidup sebagaimana Kristus menghendaki dan mampu mengaplikasi Firman Tuhan
yang dipelajari itu dalam kegiatan sehari-hari dan menolong memecahkan masalah-
masalah yang timbul karenanya. Bagi keluarga Kristen PAK Dewasa membangun
kasih untuk memberitakan keselamatan kepada  keluarga atau orang-orang lain yang
terhilang.
3. Nilai-nilai PAK Lansia : Memasuki masa lansia bukanlah sesuatu yang menakutkan
jika kita memasukinya bersama Tuhan. Walau sudah lanjut usia, kita masih dapat
bersukacita karena Allah berjanji, Ia tidak akan meninggalkan kita."Sampai masa
tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.
Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu
dan menyelamatkan kamu" (Yesaya 46:4). Mutu usia tua seseorang bergantung
terutama pada kemampuannya untuk memahami maknanya dan menghargai nilainya,
baik pada tingkat manusiawi semata-mata maupun pada tingkat iman. Oleh sebab itu,
kita harus meletakkan usia tua dalam konteks penyelenggaraan Allah sendiri yang
adalah kasih. Setiap orang harus menyambutnya sebagai tahap dalam perjalanan yang
digunakan oleh Kristus untuk menuntun kita ke rumah Bapa (lih. Yoh 14:2). Hanya
dengan diterangi iman dan diperkuat oleh pengharapan yang tidak akan sia-sia
(lih Rm 5:5), kita akan mampu menyambut usia tua dengan cara-cara yang benar
kristiani, baik sebagai anugerah maupun tugas.
Kehadiran para lansia harus diakui sebagai anugerah. Bagaimana pun
kekehadiran para lansia tetap memberikan sumbangan bagi generasi zaman ini untuk
menemukan kembali makna utama hidup. Berkat pengalamannya para lansia mampu
 
6
http://strategipak.blogspot.com/2013/11/strategi-pak-dalam-pelayanan-dewasa.html (8/5/20
15)
menjadikan masyarakat dan kebudayaan lebih manusiawi dan sangat berharga.
Berikut merupakan karisma-karisma khas usia tua, yaitu: 1) Sikap tanpa
pamrih. Kebudayaan zaman ini mengukur nilai tindakan-tindakan seseorang menurut
kriteria-kriteria efisiensi dan kesuksesan dengan mengabaikan sikap tanpa pamrih:
memberi sesuatu tanpa mengharapkan balasan. Para lansia dapat mengingatkan
masyarakat yang terlalu sibuk akan perlunya meretas rintangan-rintangan dari sikap
acuh tak acuh yang memerosotkan. 2) Ingatan. Generasi muda sedang kehilangan
kesadaran bersejarah dan akibatnya kesadaran akan jati diri mereka sendiri.
Masyarakat yang mengabaikan masa lalu lebih mudah beresiko mengulangi
kesalahan-kesalahannya. Hal ini antara lain disebabkan oleh sistem kehidupan yang
telah menyingkirkan dan mengasingkan kaum lansia. 3) Pengalaman. Dewasa ini
orang hidup dalam dunia yang rupanya telah menggantikan nilai pengalaman kaum
lansia sepanjang hidup mereka dengan ilmu dan teknologi. Kedua hal tersebut tidak
boleh menghalangi para lansia, sebab bagaimanapun juga mereka masih memiliki
banyak hal untuk dikatakan kepada generasi muda dan dibagikan kepada mereka.
4) Kebergantungan satu sama lain. Orang-orang lanjut usia, dalam usaha mereka
mencari kawan, menantang masyarakat yang kerap kali meninggalkan mereka yang
lebih lemah. Kaum lansia mengingatkan kita akan kodrat sosial manusia dan perlunya
memperbaiki tata susun hubungan antar pribadi dan sosial. 5) Visi hidup yang lebih
lengkap. Usia lansia merupakan usia kesederhanaan dan kontemplasi. Nilai-nilai
afektif, moral dan religius yang hidup dalam diri kaum lansia merupakan sumber daya
yang sangat diperlukan untuk memupuk keselarasan masyarakat, keharmonisan
keluarga dan keserasian individu. Nilai-nilai ini mencakup kesadaran yang
bertanggungjawab, iman akan Allah, persahabatan, sikap tidak memihak pada
kekuasaan, pertimbangan, kebijaksanaan, kesabaran dan keyakinan batin yang dalam
akan perlunya menghormati alam ciptaan dan memupuk kedamaian.  

B. Nilai-nilai Kristiani Membangun Karakter Moral Bangsa

Karakter sangat berkaitan dengan kekuatan moral. Orang yang berkarakter pasti
memiliki moral yang positif. Dan ruang lingkup pembentukan karakter pertama sekali adalah
keluarga/rumah tangga. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali
menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang
penuh cinta sejati dan kasih sayang (yang tertulis Ulangan 6:1-9). Sedangkan pendidikan
karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih
dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain
sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada
yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya
mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk.

Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri.
Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka
akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan
karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. 

Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:

1.       Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari
kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa.
Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu
menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
2.      Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan
ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki
potensi.  Kemanusiaan yang adil dan beradap;
3.       Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi,
mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan,   Persatuan Indonesia;
4.       Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan
adanya penjajahan manusia oleh manusia.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.       Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi
proporsional.   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memang ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu
mengukuhkannya, dan karena itu pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar,
memperkukuh karakter seseorang.
Dalam konteks membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang yang
harus dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa. Dan yang pertama nilai-nilai tersebut harus
disepakati karena setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, apakah
dijalankan atau tidak. Misalnya seorang perampok, akan menilai bahwa mengambil hak
orang lain adalah tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolok ukur hubungan antar masyarakat.
Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan diri yang
bersangkutan sendiri.  Tetapi di sisi lain, jika kita tidak memberi kesempatan kepada manusia
untuk memilih, maka ketika itu kita telah menjadikannya bagaikan mesin bukan lagi 
manusia yang memiliki kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita.  Manusia harus memiliki
pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan orang perorang secara individu, tetapi pilihan
mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat secara kolektif bebas memilih pandangan
hidup, nilai-nlai, dan tolok ukur moralnya dan hasil pilihan  itulah yang dinamai Jati diri
bangsa. 
Dengan demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang
terbentuk melalui proses yang panjang. Memang  rumusannya dicetuskan oleh
kearifan thefounding fathers bangsa, tetapi itu mereka  gali dari masyarakat dan karena itu
pula maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah
Pancasila.

Kedua nilai-nilai PAK harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan nilai dapat
berfungsi dalam kehidupan ini.  Hanya dengan penghayatan karakter dapat terbentuk. Tidak
ada gunanya berteriak sekuat tenaga atau menulis panjang lebar tentang nilai-nilai dan
keindahannya, jika hanya terbatas sampai di sana. Ini bagaikan seseorang yang memuji-muji
kehebatan obat, tetapi obat itu  tidak  ditelannya sehingga tidak mengalir ke seluruh tubuhnya
dan tidak menjadi bagian dari dirinya. Ia harus menelannya, lalu membiarkan darah
mengalirkan obat itu ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh dan mengobati bagian-bagian
dirinya yang sakit,  bahkan lebih memperkuat lagi yang telah kuat.
Selanjutnya, karena nilai-nilai yang dihayati membentuk karakter, maka nilai-nilai
yang dihayati seseorang atau satu bangsa dapat   diukur melalui karakternya. Perubahan yang
terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut  atas dasar kesadaran
mereka, dan bisa juga karena terperdaya atau lupa  oleh satu dan lain sebab. Dari sini
diperlukan nation and character building. Membangun kembali karakter bangsa mengandung
arti upaya untuk memperkuat ingatan kita tentang nilai-nilai luhur yang telah kita sepakati
bersama dan yang menjadi landasan pembentukan bangsa, – dalam hal ini adalah Pancasila,
disamping membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar pandangan bangsa.  Inilah yang dapat menjamin keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, serta kelestarian Pancasila sebagai falsafah dan pandangan
hidup bangsa.
Semakin matang dan dewasa satu masyarakat, semakin mantap pula pengejewan-
tahan nilai-nilai yang mereka anut dalam kehidupan mereka. Masyarakat yang belum dewasa,
adalah yang belum berhasil dalam pengejewantahannya dan masyarakat yang sakit adalah
yang mengabaikan nilai-nilai PAK tersebut. Penyakit bila berlangsung tanpa diobati akan
mempercepat kematian masyarakat. Bila penyakit masyarakat berlanjut tanpa pengobatan,
maka kematian masyarakat tidak dapat terelakan.
Bila terdapat hal-hal dalam   diri angggota masyarakat yang bertentangan dengan jati
diri dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga terjadi
keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat. Sekali lagi terlihat
disini betapa pentingnya melaklukan apa yang diistilahkan dengan  Character and Nation
Building “

Masyarakat kristen melakukan hal tersebut melalui pendidikan agama kristen (PAK) . 
Disinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan.  Karena itu pula  ukuran
keberhasilan lembaga pendidikan – khususnya  Perguruan Tinggi-  bukan saja melalui 
kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para staf pengajarnya tetapi juga pada kecerdasan 
emosi dan spiritual civitas akademikanya. Kecerdasan   intelektual-  jika   tidak dibarengi
dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia bahkan kemanusiaan seluruhnya akan
terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya jika kecerdasan intelektual dibarengi oleh
kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang untuk menggunakan
pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya menghasilkan aneka buah segar
yang bermanfaat bagi diri, masyarakat bahkan kemanusiaan seluruhnya.

Pembentukan karakter bangsa harus bermula dari individu anggota-anggota


masyarakat bangsa, karena masyarakat adalah kumpulan individu  yang hidup di satu tempat
dengan   nilai-nilai yang  merekat  mereka. Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak
individu yang terbentuk   berdasar tujuan yang hendak mereka capai. Ini karena setiap
individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budaya
dan nilai-nilainya, yang lahir dari pilihan dan  kesepakatan mereka .

Membentuk karakter individu bermula dari pemahaman tentang diri  sebagai manusia,
potensi positif dan negatifnya serta  tujuan kehadirannya di pentas bumi ini. Selanjutnya
karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, ber-Ketuhan Yang Maha Esa, maka
tentu saja pemahaman tentang tentang hal-hal tersebut harus bersumber dari Tuhan Yang
Maha Esa / ajaran agama.
Untuk mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan  lingkungan yang kondusif,
pelatihan dan pembiasaan, presepsi terhadap pengalaman hidup dan lain-lain. Disisi lain
karakter yang baik  harus terus diasah dan  diasuh, karena ia adalah proses pendakian tanpa
akhir. Dalam bahasa Alkitabiahnya penganugerahan Tuhan tidak terbatas. Tuhanpun
memerintahkan manusia pilihanNya untuk terus memohon tambahan pengetahuan tetapi yang
terpenting adalah Takut akan Tuhan adalah permulaan Pengetahuan (Amsal 1:7). 

Praktek ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang
baik, tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu  dari  aneka pengaruh negative yang
bersumber dari dalam diri manusia dan  dari lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara
untuk mendaki menuju puncak karakter terbaik, yang dalam ajaran Kristen adalah upaya
untuk meneladani sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karena itu ibadah harus terus
berlanjut hingga akhir hayat, dan karena itu pula pembentukan karakter adalah  suatu proses
tanpa henti.

Kalau merujuk kepada pendidikan agama dan keberhasilan para nabi/rasul serta
penganjur kebaikan, maka ditemukan sekian banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya
mengantar kepada keberhasilan mereka.  Tentu tidak mudah hal itu  dipaparkan  secara utuh
dalam kesempatan ini. Namun yang jelas, mereka tidak sekedar menyampaikan informasi
tentang makna  baik  dan  buruk. Memang ini diperlukan untuk mewujudkan pemahaman
yang mengantar kepada perubahan positif, tetapi jika terbatas hanya sampai disana, maka  ini 
hanya mengantar kepada pengetahuan yang menjadikan pemiliknya pandai berargumentasi
tentang kebaikan sesuatu- walau mereka tidak mengerjakannya  atau mengeritik keburukan
yang mereka jumpai –walau mereka sendiri melakukannya. Hal serupa inilah yang kini tidak
jarang terjadi dalam masyarakat kita.
Para nabi/rasul dan pendidik di samping menjelaskan dan mengingatkan tentang baik
dan buruk, mereka justru lebih banyak melakukan olah jiwa dan pembiasaan,  dengan aneka
pengamalan yang  kalau perlu  pada mulanya dibuat-buat — bukan oleh dorongan
kemunafikan tetapi — agar menjadi kebiasaan dan watak. Mereka juga  mengemukakan 
aneka pengalaman sejarah masyarakat dan  tokoh-tokoh masa lampau.  Disamping itu,
mereka  berusaha sekuat kemampuan untuk mengurangi sedapat mungkin pengaruh negative
lingkungan, karena  melalui lingkungan, watak dapat berubah menjadi  positif atau negatif.
Hanya saja perlu dicatat bahwa pada umumnya pengaruh negatif lingkungan lebih mudah
diserap daripada pengaruh positifnya.

BAB III
KESIMPULAN

Nilai-nilai kristiani akan membatasi diri seseorang untuk tidak melakukan perbuatan
yang negatif karena nilai-nilai kristiani jika dilakukan akan membentuk karakter Kristus.
Karakter yang tidak mempermalukan dirinya sendiri dan bahkan dapat membentuk moral
yang baik. Sehingga Pendidikan Agama Kristen akan membangun karakter moral bangsa itu
sendiri dengan kokoh. Apabila suatu bangsa dihuni oleh manusia yang bermoral dan
bermartabat, maka pastilah kehiduan serta peradapan dalam bangsa tersebut akan berjalan
mulus dan jauh ke depan. Yang nantinya akan membawa bangsa kepada kehidupan yang jauh
lebih layak dan jauh dari keterpurukan, kemiskinan dan krisis moral yang berkepanjangan.

Dari uraian di atas menggambarkan bahwa betapa pentingnya nilai-nila kristiani pendidikan
agama kristen dalam membangun karakter moral pada putra-putri bangsa sebagai pedoman
untuk membangun bangsa yang bermoral dan bermartabat, serta menciptakan integrasi social
yang nantinya berimplikasi terhadap masa depan bangsa Indonesia sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab, LAI
Jody Capehart, Touching Heart Changing Live, (Jakarta: Metanoia,2012)

Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology,(Malang: SAAT, 2008)

Anthony, Michael. Foundations of Ministry, (Jakarta: Gandum Mas,2012)

Slavin, R.E. Educational Psychology Theory and Practice. (United States of America: Johns
Hopkins University, 2006)
V. Gilbert Beers, Family Bible Library (Nashville: Southwestern, 1971)

 http://strategipak.blogspot.com/2013/11/strategi-pak-dalam-pelayanan-dewasa.html (8/5/201
5)

Anda mungkin juga menyukai