Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PENGKAJIAN NORTON SCALE

KABUPATEN MUSI BANYUASIN

OLEH:

Vivin Marlia

20149011006

Dosen Pemimbing :

Abu Bakar Sidiq S.Kep.,M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA

TA. 2020/2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi..................................................................................................... i
Bab I Konsep Menua……........................................................................3
A. Definisi Lansia..................................................................................... 3
B. Batasan Lansia.................................................................................... 3
C. Proses Menua...................................................................................... 4
D. Kebutuhan Hidup Lansia…………………………….………………6
E. Perubahan Perubahan yang terjadi pada lansia………………….. 7
Bab II Aspek Legal Etik Dalam Keperawatan Gerontik......................10
A. Aspek Legal Keperawatan Gerontik.................................................10
B. Etik Keperawatan Gerontik…………………………………………11
Bab III Screening Norton.........................................................................14
A. Pengertian Norton Scale.....................................................................14
1. Pengertian......................................................................................14
2. Tujaun Penggunaan Norton Scale...............................................15
3. Keunggulan Penggunaan Norton Scale......................................15
4. Faktor Resiko Dekubitus..............................................................16
5. Faktor Yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus.....18
6. Pengkajian dengaan penggunaaan scale norton........................22
Datar Pustaka…….....................................................................................24
BAB I

KONSEP MENUA (LANSIA)

A. Definisi Lansia
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di
mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau
beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Secara biologis lansia adalah proses
penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian
(Wulansari, 2011).

B. Batasan Lansia
Batasan usia lansia menurut WHO meliputi (Santi, 2009 ):
a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old) : antara 75 dan 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun

Batasan Lansia menurut Depkes RI (2009) meliputi :


a. Menjelang usia lanjut (45-54 thn) : masavibrilitas 22
b. Kelompokusialanjut (55 – 64 thn) : masapresenium
c. Kelompokusialanjut (> 64 thn) : masasenium

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Sosial membagi lansia ke dalam 2 kategori
yaitu usia lanjut potensial dan usia lanjut non potensial. Usia lanjut potensial adalah usia
lanjut yang memiliki potensi dan dapat membantu dirinya sendiri bahkan membantu
sesamanya. Sedangkan usia lanjut non potensial adalah usia lanjut yang tidak memperoleh
penghasilan dan tidak dapat mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (Hayati,
2010).
C. Proses Menua
Proses menua menurut (Santi, 2009), (aging) adalah suatu keadaan alami selalu berjalan
dengan disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun
kesehatan jiwa. Secara individu, pada usia di atas 55 tahun terjadi proses menua secara
alamiah. Menua didefinisikan sebagai perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses
menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional 23 limitations),
ketidakmampuan (disability) dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan
dengan proses kemunduran. Proses menua dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis.
Apabila seseorang mengalami proses menua secara fisiologis maka proses menua terjadi
secara alamiah atau sesuai dengan kronologis usianya (penuaan primer). Proses menua
seseorang yang lebih banyak dipengaruhi faktor eksogen, misalnya lingkungan, sosial
budaya dan gaya hidup disebut mengalami proses menua secara patologis (penuaan
sekunder). Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya
dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikososial.
Secara umum teori biologi dan psikososiologis dijelaskan sebagai berikut (Stanley, 2008) :
a. Teori Biologi
1) Teori Genetika Teori sebab-akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama dipengaruhi
oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut
teori genetik, penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang
berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata
lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya.
2) Teori Wear and Tear 24 Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metebolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga
mendorong malfungsi molecular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori
ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal.
3) Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya
karsinogen dari industry, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa
perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat
mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan
bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.
4) Teori Imunitas Teori Imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun
yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka
terhadap orgenisme sering mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk
menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya
fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh.
5) Teori Neuroendokrin Para ahli menyatakan bahwa penuaan terjadi karena suatu
perlambatan dalam suatu sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada
reaksi yang diatur oleh suatu sistem saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar
hipofisis, tiroid, adrenal dan reproduksi.

b. Teori Psikososiologis
1) Teori Kepribadian Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur
dalam tahun-tahun akhir kehidupannya. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek
pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.
2) Teori Tugas Perkembangan Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai
penuaan yang sukses. Pada kondisi tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah
menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk mengalami
penyesalan atau putus asa.
3) Teori Disengagement Teori Disengagement (teori pemutusan hubungan)
menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan
tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi,
sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat
yang sedang tumbuh. Manfaat pengurangan kontak sosial untuk lansia adalah agar ia
dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk
menghadapi harapan yang tidak terpenuhi.
4) Teori Aktivitas Menurut teori ini, jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan
cara tetap aktif. Berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara
mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik
dan mental orang tersebut. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pentingnya aktivitas
mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan
pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia. 5) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan, merupakan suatu
kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak
kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai
kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada
kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk
memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun
usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada
saat orang tersebut bertambah tua.

D. Kebutuhan Hidup Lansia Secara lebih detail


kebutuhan lansia terbagi atas (Subijanto et al, 2011) :
a. Kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan.
b. Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan mendapatkan perhatian
lebih dari sekelilingnya.
c. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
d. Kebutuhan ekonomi, meskipun tidak potensial lansia juga mempunyai kebutuhan secara
ekonomi sehingga harus terdapat sumber pendanaan dari luar, sementara untuk lansia
yang potensial membutuhkan adanya tambahan keterampilan, bantuan modal dan
penguatan kelembagaan.
e. Kebutuhan spiritual, spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang
manusia dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan spiritual
diidentifikasi sebagai kebutuhan dasar segala usia. Fish dan Shelly mengidentifikasi
kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan akan makna dan tujuan, akan cinta dan keterikatan
dan akan pengampunan (Stanley, 2008).

E. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Lansia


Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut (Stanley, 2008) :
a. Perubahan Fisik
Perubahan penampilan Saat seseorang memasuki usia lanjut, penampilan secara fisik
akan berubah. Misal sudah mulai terlihat kulit keriput, bentuk tubuh berubah, rambut
mulai menipis.
b. Perubahan fungsi fisiologis
Perubahan pada fungsi organ juga terjadi pada lansia. Perubahan fungsi organ ini yang
menyebabkan lansia tidak tahan, terhadap temperatur yang terlalu panas atau terlalu
dingin, tekanan darah meningkat, berkurangnya jumlah waktu tidur.
c. Perubahan panca indera
Perubahan pada indera berlangsung secara lambat dan bertahap, sehingga setiap individu
mempunyai kesempatan untuk melakukan penyesuain dengan perubahan tersebut. Misal,
kacamata dan alat bantu dengar hampir sempurna untuk mengatasi penurunan
kemampuan melihat atau kerusakan pendengaran.
d. Perubahan seksual
Pada lansia, terjadi penurunan kemampuan seksual karena pada fase ini klimakterik pada
lansia laki – laki dan menopause pada wanita. Tapi, hal itu juga tidak membuat potensi
seksual benar – benar menurun. Ini disebabkan penurunan atau peningkatan potensi
seksual juga dipengaruhi oleh kebudayaan, kesehatan dan penyesuain seksual yang
dilakukan di awal.
e. Perubahan Kemampuan Motorik
a) Kekuatan Terjadi penurunan kekuatan otot. Hal ini menyebabkan lansia lebih cepat
capai dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk memulihkan diri dari keletihan
dibandingkan orang yang lebih muda.
b) Kecepatan Kecepatan dalam bergerak nampak sangat menurun setelah usia enam
puluhan.
c) Belajar keterampilan baru Lansia yang belajar keterampilan baru cenderung lebih
lambat dalam belajar dibanding dengan yang lebih muda dan hasil akhirnya juga
cenderung kurang memuaskan.
d) Kekakuan Lansia cenderung canggung dan kagok, yang menyebabkan sesuatu yang
dibawa dan dipegangnya tertumpah dan jatuh. Selain itu, lansia juga melakukan
sesuatu dengan tidak hati – hati dan dikerjakan secara tidak teratur.
f. Perubahan Kemampuan Mental
a) Belajar Lansia lebih berhati – hati dalam belajar, memerlukan waktu yang lebih banyak
untuk dapat mengintegrasiakan jawaban mereka dan kurang mampu mempelajari hal –
hal baru yang tidak mudah diintegrasikan dengan pengalaman masa lalu.
b) Berpikir dalam memberi argument Secara umum terdapat penurunan kecepatan dalam
mencapai kesimpulan, baik dalam alasan induktif maupun deduktif.
c) Kreativitas Kapasitas atau keinginan yang diperlukan untuk berpikir kreatif bagi lansia
cenderung berkurang.
d) Ingatan Lansia pada umumnya cenderung lemah dalam mengingat hal – hal yang baru
dipelajari dan sebaliknya baik terhadap hal – hal yang telah lama dipelajari.
e) Mengingat kembali Kemampuan dalam mengingat ulang banyak dipengaruhi oleh
faktor usia dibanding pemahamam terhadap objek yang ingin diungkapkan kembali.
Banyak lansia yang menggunakan tanda – tanda, terutama simbol visual, suara, dan
gerakan, untuk membantu kemampuan mereka dalam mengingat kembali.
f) Mengenang Kecenderungan untuk mengenang sesuatu yang terjadi pada 31 masa lalu
meningkat semakin tajam sejalan dengan bertambahnya usia.
g) Rasa humor Kemampuan lansia dalam hal membaca komik berkurang dan perhatian
terhadap komik yang dapat mereka baca bertambah dengan bertambahnya usia.
h) Perbendaharaan kata Menurunnya perbendaharaan kata yang dimiliki lansia menurun
dengan sangat kecil, karena mereka secara konstan menggunakan sebagian besar kata
yang pernah dipelajari pada masa anak – anak dan remajanya.
i) Kekerasan mental Kekerasan mental tidak bersifat universal bagi usia lanjut.
j) Perubahan Minat
(1.) Minat Pribadi Minat pribadi meliputi minat terhadap diri sendiri, minat terhadap
penampilan, minat pada pakaian dan minat pada uang. Minat terhadap diri sendiri
pada lansia cenderung meningkat, sedangkan minat terhadap uang dan
penampilan cenderung menurun. Untuk minat terhadap pakaian, disesuaikan
dengan kegiatan sosial lansia.
(2.) Minat Kegiatan Sosial Dalam bertambahnya usia mengakibatkan banyak orang
yang merasa menderita karena jumlah kegiatan sosial yang dilakukannya semakin
berkurang. Hal ini lazim diistilahkan sebagai lepas dari kegiatan kemasyarakatan
(social disengagement).
(3.) Minat Rekreasi Lansia cenderung untuk tetap tertarik pada kegiatan rekreasi yang
biasa dinikmati pada masa mudanya, dan mereka hanya akan mengubah minat
tersebut kalau betul – betul diperlukan.
(4.) Minat Kegiatan Keagamaan Sikap sebagian besar lansia terhadap agama mungkin
lebih sering dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan atau apa yang telah
diterima pada saat mencapai kematangan intelektualnya. Bagaimanapun juga,
perubahan minat dan sikap terhadap kegiatan keagamaan merupakan ciri orang
berusia lanjut dalam beberapa kebudayaan dewasa ini. Beberapa perubahan
keagamaan selama usia lanjut memberi pengaruh pada usia lanjut, antara lain
dalam hal toleransi keagamaan dan ibadat keagamaan. Terdapat bukti-bukti
bahwa kualitas keanggotan dalam tempat peribadatan memainkan peranan yang
lebih penting bagi penyesuaian individual pada usia lanjut dibanding keanggotan
itu sendiri. Mereka yang aktif di tempat peribadatan secara sukarela di waktu
masih muda cenderung dapat menyesuaikan diri dengan pada masa tuanya
dibanding mereka yang minat dan kegiatannya dalam perkumpulan keagamaan
terbatas.
(5.) Minat Mengenai Kematian Semakin lanjut usia seseorang, biasanya mereka
menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan akherat dan lebih
mementingkan tentang kematian itu sendiri serta kematiannya sendiri.
BAB II

ASPEK LEGAL ETIK DALAM KEPERAWATAN GERONTIK

A. ASPEK LEGAL KEPERAWATAN GERONTIK


Aspek legal yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di : Indonesia.
UU RI No 13 Th 1998, tentang kesejahteraan lansia (GBHN’98-2003). Undang-undang nomor
4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor
2747). Salah satu pasalnya berbunyi “seseorang dapat dinyatakan orang jompo atau lanjut usia
setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai pekerjaan atau tidak
mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang
lain.”

Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :


a) Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kelembagaan.

b) Upaya pemberdayaan.

c) Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial.

d) Pelayanan terhadap Lanjut Usia.

e) Perlindungan sosial.

f) Bantuan sosial.

g) Koordinasi.

h) Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.

i) Ketentuan peralihan.

Arah pembangunan : Peningkatan kualitas penduduk lansia untuk mewujudkan integritas sosial
penduduk lansia dengan masyarakat lingkungannya.
a. Hak Lansia

1. Meningkatkan kesejahteraan sosial, meliputi :

a. Pelayanaan keagamaan dan mental spiritual.

b. Pelayanan kesehatan.

c. Kesempatan kerja.

d. Diklat.

e. Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan prasarana umum.

f. Mengamalkan dan mentransformasikan kemampuannya ke generasi penerus.


g. Memberi keteladanan dalam segala aspek kehidupan untuk generasi penerus.

2. Sama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

b. Kebijakan Khusus untuk Lansia


1. PBB NO 045/206 TH 1991 ; 1 Oktober “International Day For The Elderly’.
2. PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology, 14 Desember 1984).
3. GBHN 1993 : Lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan.
4. HALUN : Mulai Th 1996, 29 Mei 1945, Radjiman Widiodiningrat (Lansia) : “Perlu
falsafah Negara (Pancasila), pandangan jauh ke depan dan wawasan luas.

B. ETIK KEPERAWATAN GERONTIK


Kode Etik dalam Praktik Keperawatan :
a. Tanggung jawab terhadap klien.

b. Tanggung jawab terhadap tugas.

c. Tanggung jawab terhadap sesama perawat.

d. Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan.

e. Terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air.

Hal yang Perlu Diperhatikan oleh Perawat berkaitan dengan kode etik :
a) Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan suku, ras,
golongan, pangkat, jabatan, status sosial, masalah kesehatan.
b) Menjaga rahasia klien.

c) Melindungi klien dari campur tangan pihak lain yang tidak kompeten, tidak etis, praktik
illegal.

d) Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya.

e) Perawat menjaga kompetensi keperawatan.

f) Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya.

g) Kompetensi individu serta kualifikasi dalam meberikan konsultasi.

h) Berpartisipasi aktif dalam meningkatkan standar professional.

i) Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatan lain atau ahli dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk lansia.

Prinsip Etika Keperawatan Lansia :


Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia adalah (Kane et al,
1994, Reuben et al, 1996) :
a. Empati :

Istilah empati menyangkut istilah “simpati atas dasar pengertian yang dalam” artinya upaya
pelayanan pada lansia harus memandang seseorang lansia yang sakit dengan pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.

b. Non Malefience dan beneficence.

Pelayanan lansia selalu didasarkan pada keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderitaan. Sebagai contoh, upaya pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu) yang
cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah
dan praktis untuk dikerjakan.

c. Otonomi

yaitu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan
mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, tetapi
dibidang geriatric hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah lansia dapat membuat
keputusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringkali ini dibantu oleh
pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi
penderita yang fungsional masih kapabel (sedangkan nonmalificence dan beneficence lebih
bersifat melindungi penderita yang inkapabel).

d. Keadilan

yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua.
Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan
pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.

e. Kesungguhan hati
yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang lansia.
BAB III
NORTON SCALE

1.1 Pengertian Norton Scale

Pada awal tahun 1960, Norton memperkenalkan skala pengkajian dekubitus untuk

memprediksi timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan

berdasarkan pengalaman klinik yang mencakup lima variabel. Variabel tersebut adalah :

a). kondisi fisik, b) kondisi mental, c) aktifitas, d) mobilitas, dan e) inkontinensia.

Maksimum skor yang dapat dicapai pada skala ini adalah 20. Skor lebih dari 18 berarti

risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari

10 termasuk kategori risiko sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh

beberapa studi dengan menampilkan sensitivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-

beda. Penelitian yang dilakukan  oleh Carville (2007), apabila mencapai skor 14 sudah

dinyatakan diambang resiko pressure ulcer dan bila skor ≤ 12, dinyatakan beresiko tinggi

terjadinya pressure ulcer.

1.2 Tujuan Penggunaan Norton Scale

Skala ini bertujuan mengidentifikasi risiko tinggirendahnya kemungkinan untuk

terjadinya dekubitus dan segera melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi

dekubitus di kemudian hari sesuai tingkatan risiko. Karena skala ini menurut kalangan

profesional Keperawatan memiliki efektifitas tinggi dalam menentukan risiko terjadinya

dekubitus.

1.3 Keunggulan Penggunaan Norton Scale


Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk digunakan dan tidak

memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya.

1.4 Faktor Resiko Dekubitus

Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi

predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu:

a) Gangguan Input Sensorik

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan

beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang

sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap

nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan

tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi,

mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.

b) Gangguan Fungsi Motorik

Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi

terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak

mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut.

Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang

mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik.

Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula

spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan


dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller & Cooney,

1981 dalam Potter & Perry, 2005).

c) Perubahan Tingkat Kesadaran

Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak

mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau

disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidakmampu memahami

bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan

tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada

pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi

binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi

dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi.

d) Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya.Pasien yang

menggunakan gips beresikotinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi

eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik

kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat

dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga

leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal

bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga

leher ini. Sebuah studi yang dilakukan plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah

tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh emapt

jenis penyangga leher yang berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan

upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa
penyangga leher, terdapat tekananyang menutup kapiler. Perawat perlu waspada

terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini.

Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat

penopang (braces), atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda

kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005)

1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Luka Dekubitus

Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat

tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi

luka dekubitus yang terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut

Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus

diantaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam,

gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia, dan usia.

a) Gaya Gesek

Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel

terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2005). Gaya

ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat

tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada

posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan

subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang

bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan

memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry,

2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh
tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan

mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis

pada lapisan jaringan. Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat

tidur dibawah 30 derajat dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya

gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992 dalam

Potter & Perry, 2005 mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa

disertai friksi.

b) Friksi

Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada

permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter &

Perry, 2005) . Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi

mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika

pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atautumit

(Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter & Perry, 2005).Cedera ini terjadi pada

pasien gelisah, pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang,

dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan tempat tidur

selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).

Tindakan keperawatan bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai

berikut: memindahkan klien secara tepat dengn mengunakan teknik mengangkat

siku dan tumit yang benar, meletakkan benda-benda dibawah siku dan tumit seperti

pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan

hidrokoloid untuk melindungi kulit, dan menggunakan pelembab untuk

mempertahankan hidrasi epidermis (Potter &


Perry, 2005) .

c) Kelembaban

Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan

integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan

dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry,

2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti

tekenan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2005). Pasien imobilisasi yang tidak

mampumemenuhi kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit

pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam

rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat,

kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah,

dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan inkontensia

menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada

pasien (Potter & Perry, 2005)

d) Nutrisi Buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang

serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan

diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan

meningkat pada jaringantersebut. Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami

defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan

vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).Pasien

dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminunea (level albumin

serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983 ; Steinberg 1990 dalam Potter &
Perry, 2005). Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah

3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan

lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991).

e) Anemia

Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin

mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi

jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu

metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).

f) Kakeksia

Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan

dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker

dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko

luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan

jaringan adiposeyang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan

( Potter& Perry, 2005).

g) Obesitas

Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil

berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan.

Padaobesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi

yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang

berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi (Potter

& Perry, 2005).


h) Infeksi

Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami

demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat

jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami

iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain

itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban

kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter &

Perry, 2005).

i) Gangguan Sirkulasi Perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami

kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit

vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor

(Potter & Perry, 2005).

j) Usia

Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus oleh karena

berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan

lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi

akan memperlancar resiko terjadinya dekubitus pada lansia. Imobilsasi

berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000)

menurut pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu:

1) Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-

penyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh).

2) Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan


3) Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau

peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap

tertentu.

1.6 Pengkajian Dengan Penggunaan Tabel Skor Norton

Tabel Penilaian Skala Norton

Nama pasien:

Indikator Temuan Skor

Kondisi fisi Baik 4

Cukup baik 3

Buruk 2

Sangat buruk 1

Kondisi mental Waspada 4

Apatis 3

Bingung 2

Stupor/pingsan/tidak sadar 1

Kegiatan Dapat berpindah 4

Berjalan dengan bantuan 3

Terbatas di kursi 2

Terbatas di tempat tidur 1

Mobilitas Penuh 4

Agak terbatas 3

Sangat terbatas 2

Tidak/sulit bergerak 1

Inkontinensia Tidak ngompol 4

Kadang – kadang 3
Biasanya urine 2

Kencing dan kotoran 1

Total

Total
Interpretasi:
 Niali maksimum 20
 Nilai minimum 5
 Pasien berisiko dekubitus jika nilai < 14

DAFTAR PUSTAKA

Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan menggunakan Skala
Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia Puskesmas Tebet. Tesis.
Jakarta:FKUI.

Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention in primary
care. Journal Hospital Physician, 55-66

Darmojo, R.B.& Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Feder, G., Cryer, C., Donovan, S., & Carter, Y. (2000). Guideline for the prevention of
falls in people over 65. British Medical Journal, 321, 1007-1011.

Kane, R.L., Ouslander, J.G., & Abrass, I.B. (1989). Essentials of Clinical Geriatrics. (2nd
Edition). US: McGraw-Hill.

Newton, R.A.(2003). Balance and falls among older people. Journal The American
Society on Aging, 1, 27-31.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya


Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia.

Shobha, S.R. (2005). Prevention of falls in older patients. American Academy of Family
Physicians, 72, 81-8, 93-4.

UU Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut

Anonim.2016.Http://repository.unhas.ac.id/bitsream/handle/123456789/6604/Buku
%2520Kerja%2520Praktek%2520Profesi%2520Keperawatan%2520Gerontik.pdf
diakses pada 10 Okt 2017 pukul 19:00 WIB

Brunner & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC

Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2012– 2014.
Jakarta : EGC.

Hidayat, A. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia 2. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, A& Uliyah, M.(2012).Buku Ajar Kebutuhan Manusia : Pendekatan Kurikulum


Berbasis KBK. Surabaya: Health Books Publishing.

Maas, M., Buckwalter, K., & Hardy, M. (2014). Asuhan Keperawatan Geriatrik: Diagnosa
NANDA, Kriteria Hasil NOC & Intervensi NIC. Jakarta: EGC.

Maryinani, Anik. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia. Bogor: IN MEDIA.

Potter, Patricia & Perry, Anne. (2010). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Buku 2.
Singapura: Elsevier.

Rosdahl, Caroline & Kowalski, Mary. (2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Edisi 10.
Jakarta: EGC.

Wilkinson, & Ahern. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan NANDA, Intervensi NIC, Hasil
Kriteria NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai