OLEH:
Vivin Marlia
20149011006
Dosen Pemimbing :
TA. 2020/2021
DAFTAR ISI
Daftar Isi..................................................................................................... i
Bab I Konsep Menua……........................................................................3
A. Definisi Lansia..................................................................................... 3
B. Batasan Lansia.................................................................................... 3
C. Proses Menua...................................................................................... 4
D. Kebutuhan Hidup Lansia…………………………….………………6
E. Perubahan Perubahan yang terjadi pada lansia………………….. 7
Bab II Aspek Legal Etik Dalam Keperawatan Gerontik......................10
A. Aspek Legal Keperawatan Gerontik.................................................10
B. Etik Keperawatan Gerontik…………………………………………11
Bab III Screening Norton.........................................................................14
A. Pengertian Norton Scale.....................................................................14
1. Pengertian......................................................................................14
2. Tujaun Penggunaan Norton Scale...............................................15
3. Keunggulan Penggunaan Norton Scale......................................15
4. Faktor Resiko Dekubitus..............................................................16
5. Faktor Yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus.....18
6. Pengkajian dengaan penggunaaan scale norton........................22
Datar Pustaka…….....................................................................................24
BAB I
A. Definisi Lansia
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di
mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau
beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Secara biologis lansia adalah proses
penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian
(Wulansari, 2011).
B. Batasan Lansia
Batasan usia lansia menurut WHO meliputi (Santi, 2009 ):
a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old) : antara 75 dan 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Sosial membagi lansia ke dalam 2 kategori
yaitu usia lanjut potensial dan usia lanjut non potensial. Usia lanjut potensial adalah usia
lanjut yang memiliki potensi dan dapat membantu dirinya sendiri bahkan membantu
sesamanya. Sedangkan usia lanjut non potensial adalah usia lanjut yang tidak memperoleh
penghasilan dan tidak dapat mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (Hayati,
2010).
C. Proses Menua
Proses menua menurut (Santi, 2009), (aging) adalah suatu keadaan alami selalu berjalan
dengan disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun
kesehatan jiwa. Secara individu, pada usia di atas 55 tahun terjadi proses menua secara
alamiah. Menua didefinisikan sebagai perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses
menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional 23 limitations),
ketidakmampuan (disability) dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan
dengan proses kemunduran. Proses menua dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis.
Apabila seseorang mengalami proses menua secara fisiologis maka proses menua terjadi
secara alamiah atau sesuai dengan kronologis usianya (penuaan primer). Proses menua
seseorang yang lebih banyak dipengaruhi faktor eksogen, misalnya lingkungan, sosial
budaya dan gaya hidup disebut mengalami proses menua secara patologis (penuaan
sekunder). Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya
dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikososial.
Secara umum teori biologi dan psikososiologis dijelaskan sebagai berikut (Stanley, 2008) :
a. Teori Biologi
1) Teori Genetika Teori sebab-akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama dipengaruhi
oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut
teori genetik, penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang
berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata
lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya.
2) Teori Wear and Tear 24 Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metebolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga
mendorong malfungsi molecular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori
ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal.
3) Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya
karsinogen dari industry, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa
perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat
mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan
bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.
4) Teori Imunitas Teori Imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun
yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka
terhadap orgenisme sering mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk
menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya
fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh.
5) Teori Neuroendokrin Para ahli menyatakan bahwa penuaan terjadi karena suatu
perlambatan dalam suatu sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada
reaksi yang diatur oleh suatu sistem saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar
hipofisis, tiroid, adrenal dan reproduksi.
b. Teori Psikososiologis
1) Teori Kepribadian Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur
dalam tahun-tahun akhir kehidupannya. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek
pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.
2) Teori Tugas Perkembangan Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan harus
dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai
penuaan yang sukses. Pada kondisi tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah
menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk mengalami
penyesalan atau putus asa.
3) Teori Disengagement Teori Disengagement (teori pemutusan hubungan)
menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan
tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi,
sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat
yang sedang tumbuh. Manfaat pengurangan kontak sosial untuk lansia adalah agar ia
dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk
menghadapi harapan yang tidak terpenuhi.
4) Teori Aktivitas Menurut teori ini, jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan
cara tetap aktif. Berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara
mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik
dan mental orang tersebut. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pentingnya aktivitas
mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan
pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia. 5) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan, merupakan suatu
kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak
kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai
kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada
kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk
memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun
usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada
saat orang tersebut bertambah tua.
b) Upaya pemberdayaan.
c) Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial.
e) Perlindungan sosial.
f) Bantuan sosial.
g) Koordinasi.
i) Ketentuan peralihan.
Arah pembangunan : Peningkatan kualitas penduduk lansia untuk mewujudkan integritas sosial
penduduk lansia dengan masyarakat lingkungannya.
a. Hak Lansia
b. Pelayanan kesehatan.
c. Kesempatan kerja.
d. Diklat.
Hal yang Perlu Diperhatikan oleh Perawat berkaitan dengan kode etik :
a) Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan suku, ras,
golongan, pangkat, jabatan, status sosial, masalah kesehatan.
b) Menjaga rahasia klien.
c) Melindungi klien dari campur tangan pihak lain yang tidak kompeten, tidak etis, praktik
illegal.
i) Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatan lain atau ahli dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk lansia.
Istilah empati menyangkut istilah “simpati atas dasar pengertian yang dalam” artinya upaya
pelayanan pada lansia harus memandang seseorang lansia yang sakit dengan pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
Pelayanan lansia selalu didasarkan pada keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderitaan. Sebagai contoh, upaya pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu) yang
cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah
dan praktis untuk dikerjakan.
c. Otonomi
yaitu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan
mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, tetapi
dibidang geriatric hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah lansia dapat membuat
keputusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringkali ini dibantu oleh
pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi
penderita yang fungsional masih kapabel (sedangkan nonmalificence dan beneficence lebih
bersifat melindungi penderita yang inkapabel).
d. Keadilan
yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua.
Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan
pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
e. Kesungguhan hati
yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang lansia.
BAB III
NORTON SCALE
Pada awal tahun 1960, Norton memperkenalkan skala pengkajian dekubitus untuk
memprediksi timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut. Skala ini diciptakan
berdasarkan pengalaman klinik yang mencakup lima variabel. Variabel tersebut adalah :
Maksimum skor yang dapat dicapai pada skala ini adalah 20. Skor lebih dari 18 berarti
risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari
10 termasuk kategori risiko sangat tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh
beberapa studi dengan menampilkan sensitivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-
beda. Penelitian yang dilakukan oleh Carville (2007), apabila mencapai skor 14 sudah
dinyatakan diambang resiko pressure ulcer dan bila skor ≤ 12, dinyatakan beresiko tinggi
terjadinya pressure ulcer.
terjadinya dekubitus dan segera melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi
dekubitus di kemudian hari sesuai tingkatan risiko. Karena skala ini menurut kalangan
dekubitus.
Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan
beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit dari pada pasien yang
sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persesi sensorik yang utuh terhadap
nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan
tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi,
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi
mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau
tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada
binggung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang operasi
eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik
kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat
leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal
bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga
leher ini. Sebuah studi yang dilakukan plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah
tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh emapt
jenis penyangga leher yang berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan
upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa
penyangga leher, terdapat tekananyang menutup kapiler. Perawat perlu waspada
terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini.
Perawat harus mengkaji kulit yang berada di bawah penyangga leher, alat
tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi
luka dekubitus yang terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut
Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus
diantaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam,
a) Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel
terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2005). Gaya
ini terjadi saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat
tempat tidur dengan cara didorong atau di geser kebawah saat berada pada
posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan
subkutan menempel pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang
bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan
memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry,
2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh
tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan
gesek (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Brayan dkk, 1992 dalam
Potter & Perry, 2005 mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa
disertai friksi.
b) Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada
permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter &
Perry, 2005) . Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi
mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika
pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atautumit
(Wysocki & Bryant, 1992 dalam Potter & Perry, 2005).Cedera ini terjadi pada
pasien gelisah, pasien yang gerakan nya tidak terkontrol, seperti kondisi kejang,
dan pasien yang kulitnya diseret dari pada diangkat dari permukaan tempat tidur
selama perubahan posisi (Maklebust & Siegreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
siku dan tumit yang benar, meletakkan benda-benda dibawah siku dan tumit seperti
pelindung dari kulit domba, penutup kulit, dan membran transparan dan balutan
c) Kelembaban
dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry,
2005). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti
tekenan atau gaya gesek (Potter & Perry, 2005). Pasien imobilisasi yang tidak
pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam
rencana perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat,
dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan inkontensia
menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan pada
d) Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang
serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan
diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan
defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan
vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).Pasien
serum dibawah 3g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983 ; Steinberg 1990 dalam Potter &
Perry, 2005). Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan
lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991).
e) Anemia
metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
f) Kakeksia
dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker
luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan
g) Obesitas
berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan.
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami
iskemi akibat (Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain
kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter &
Perry, 2005).
j) Usia
lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu imobilisasi
menurut pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu:
1) Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-
penyakit neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh).
tertentu.
Nama pasien:
Cukup baik 3
Buruk 2
Sangat buruk 1
Apatis 3
Bingung 2
Stupor/pingsan/tidak sadar 1
Terbatas di kursi 2
Mobilitas Penuh 4
Agak terbatas 3
Sangat terbatas 2
Tidak/sulit bergerak 1
Kadang – kadang 3
Biasanya urine 2
Total
Total
Interpretasi:
Niali maksimum 20
Nilai minimum 5
Pasien berisiko dekubitus jika nilai < 14
DAFTAR PUSTAKA
Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan menggunakan Skala
Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia Puskesmas Tebet. Tesis.
Jakarta:FKUI.
Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention in primary
care. Journal Hospital Physician, 55-66
Darmojo, R.B.& Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Feder, G., Cryer, C., Donovan, S., & Carter, Y. (2000). Guideline for the prevention of
falls in people over 65. British Medical Journal, 321, 1007-1011.
Kane, R.L., Ouslander, J.G., & Abrass, I.B. (1989). Essentials of Clinical Geriatrics. (2nd
Edition). US: McGraw-Hill.
Newton, R.A.(2003). Balance and falls among older people. Journal The American
Society on Aging, 1, 27-31.
Shobha, S.R. (2005). Prevention of falls in older patients. American Academy of Family
Physicians, 72, 81-8, 93-4.
Anonim.2016.Http://repository.unhas.ac.id/bitsream/handle/123456789/6604/Buku
%2520Kerja%2520Praktek%2520Profesi%2520Keperawatan%2520Gerontik.pdf
diakses pada 10 Okt 2017 pukul 19:00 WIB
Brunner & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2012– 2014.
Jakarta : EGC.
Maas, M., Buckwalter, K., & Hardy, M. (2014). Asuhan Keperawatan Geriatrik: Diagnosa
NANDA, Kriteria Hasil NOC & Intervensi NIC. Jakarta: EGC.
Potter, Patricia & Perry, Anne. (2010). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Buku 2.
Singapura: Elsevier.
Rosdahl, Caroline & Kowalski, Mary. (2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Wilkinson, & Ahern. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan NANDA, Intervensi NIC, Hasil
Kriteria NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC.