Anda di halaman 1dari 5

Empat Belas Hari Yang Menjadi Titik Balik

Genap sudah empat belas hari batas waktu bagi Fahri untuk memutuskan kelanjutan
perkara rumah tangganya. Hitamkah atau putihkah?

“Bang, susu formula buat anak kita tinggal sedikit lagi. Persediaan beras tinggal dua
cangkir. Mau makan apa kita besok dan seterusnya?”
“Sabar ya dek, doakan hari ini dagangan laku supaya ada modal buat nyambung hidup
besok.” Ujar Fahri pada istrinya.
Keduanya bercakap dengan wajah saling mengkhawatirkan. Pandemi Covid-19 sangat
berpengaruh pada keadaan ekonomi keluarga mereka. Keluarga ini hanya mengandalkan
penghidupan dari hasil jualan dagang cilok keliling di gang-gang rumah terdekat.
Sebelumnya Fahri adalah seorang buruh pabrik yang punya penghasilan perbulan. Meski
hanya seorang buruh dengan gaji yang terbilang cukup, ya cukup untuk makan, cukup untuk
bayar listrik, cukup untuk beli pamper dan susu si kecil, setidaknya pendapatan akan selalu
ada setiap bulan. Akibat pandemi inilah ia jadi salah satu orang yang kena PHK. Banyak
pabrik yang memecat pegawainya secara besar-besaran akibat produksi barang yang juga ikut
menurun. Tentu saja, para pengusaha pun tak ingin rugi. Padahal, Fahri ini sebenarnya
lulusan SMK jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan). Persaingan mendapat pekerjaan yang
layak sangat sulit. Namun Fahri memilih menjalani apa yang ada daripada menganggur
pikirnya.
“Dek, abang berangkat dulu untuk makan hari ini makanlah dulu apa yang ada, lalu
untuk Putri baiknya gunakan saja sisa tabungan kita. Kebutuhan anak lebih penting dari
segalanya.”
“Tabungan kita sudah menipis, makan untuk besok pun kita belum tentu, ditambah
lagi modal untuk dagang besok dan masih banyak lagi hal yang harus dipikirkan biayanya.
Capek aku ngatur-ngatur uang tiap hari!” Hani langsung kembali ke kamarnya mendatangi
Putri yang masih tertidur lelap pagi itu. Sebenarnya masih banyak unek-unek dalam
pikirannya yang ingin ia lampiaskan pada suaminya itu. Sementara Fahri hanya mampu
menghela napas dan pergi mendorong gerobak sambil berjalan gontai. Semua ini juga berat
baginya apalagi sebagai kepala rumah tangga ia punya tanggung jawab yang besar bagi anak
istrinya itu.
Fahri dan istrinya yang bernama Hani itu umurnya hanya terpaut jarak dua tahun,
mereka berkenalan sejak sekolah sebagai senior dan junior. Atas dasar sama-sama cinta,
mereka memutuskan menikah muda. Kini usia pernikahan mereka barulah tiga tahun. Anak
mereka satu-satunya pun masih berusia 1 tahun. Saat mengandung Putri, Hani memutuskan
untuk resign dari pekerjaannya, ia memilih mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga saja.
Di daerah lingkungan tempat tinggalnya ada banyak pasangan-pasangan muda seperti Hani
dan Fahri. Hani berhubungan baik dengan para tetangganya baik kalangan ibu-ibu katakanlah
ibu senior maupun para ibu muda yang sebaya dengan dirinya. Setiap membutuhkan teman
mengobrol, Hani selalu mendatangi temannya yang seorang janda yaitu Seli. Dikarenakan
adanya imbauan dari pemerintah untuk isolasi mandiri di rumah, Hani tidak bisa menemui
sahabatnya itu.
***
Sekembalinya Fahri berjualan, ia melihat istrinya yang memasang muka masam dan anaknya
yang sedang memainkan bebek karet dipangkuan istrinya itu. Bagaimana tidak, Hani sudah
melihat gerobak cilok suaminya yang masih terisi penuh. Hani mulai tertekan dan merasa
tercekik akibat masalah ekonomi ini. Fahri tahu, istrinya masih muda pasti ingin bebas
bermain, liburan pelesiran ke berbagai tempat, mempercantik diri, punya uang belanja yang
lebih, membeli berbagai perabotan rumah dan lain hal. Ia tahu itu. Selama ini Hani hanya
mampu hidup sederhana untuk mendampingi Fahri seorang dengan menyesuaikan berbagai
kebutuhan. Harus bagaimana lagi hidup berkekurangan ditambah pandemi hanya semakin
menyengsarakan mereka dan perlahan merusak kerharmonisan rumah tangga mereka.
“Dek, hari ini cuman dapat tiga puluh ribu...” Kata Fahri memulai pembicaraan
dengan hati-hati. Namun Hani tak bergeming, ia hanya terlihat jengkel dan mengutuki nasib
hidupnya dalam hati.
“Maafkan suamimu ini yang belum bisa memenuhi segala kebutuhanmu. Semoga
kamu masih bisa bersabar dan bertahan.” Ujar Fahri yang terlihat lelah dan pasrah akan
keadaan.
“Sudah sejak lama aku banyak bersabar bang! Harus sesabar apalagi aku sekarang?”
Tanya Hani dengan nada serius dan tinggi. Fahri terkejut dengan nada tinggi istrinya itu,
apalagi anaknya sedang berada di pangkuan Hani. Putri mulai menangis saat ada ketegangan
antara orang tuanya itu. Sebenarnya akhir-akhir ini Hani sedang dipenuhi dengan berbagai
pemikiran dan kekalutan hati yang hanya mampu ia pendam seorang diri.
Sebelum suaminya pulang, Hani sedang mengobrol dengan Bu Beti tetangganya yang baru
pulang dari kota dan melihat ramainya kantor agama mengurus perceraian disana-sini.
“Neng! Tadi ibu lewat kantor agama, yang tua yang muda banyak yang cerai toh.
Masalah ekonomi kali yee.”
“Masa sih bu?” Tanya Hani dengan tawa yang canggung.
“Ya iya lah orang jaman sekarang udah pada mikir realistis, hidup kan butuh duit.
Emangnya jaman dulu, semua cukup dengan cinta.”
“Iya juga sih bu hampir semua urusan butuh uang.”
Begitulah obrolan singkat antara Bu Beti dan Hani. Hani mulai memikir-mikirkan
masalah rumah tangganya. Pikirannya sudah dipenuhi kebencian akan situasinya saat ini.
Kata cerai terus muncul dalam pikirannya. Banyak hal yang ia pertimbangkan, ia merasa
tidak ada ruginya ia bercerai. Sebab, ia masih muda, anaknya satu dan masih kecil, lagian
body masih oke, kulit masih kencang, mumpung masih mudalah. Hani juga terpikir akan
keputusannya dahulu menikah muda adalah pilihan yang salah. Kini ia merasa menyesal
terburu-buru menikah bermodalkan cinta saja. Pikirannya kini sudah dipenuhi hal-hal negatif.
Lalu, kebetulan saat Hani sedang berdiam diri saja di rumah mengurus Putri, tiba-tiba ada
panggilan telepon dari sahabatnya yang tak lain adalah Seli.
“Han, kau sudah dengar kabar heboh terkini? Menarik yah banyak kasus perceraian
sekarang ini.” Ucap Seli sambil tertawa geli.
“Ah! Panjang umur kau Sel, baru saja aku ingin meneleponmu.” Sahut Hani dengan
nada yang sedikit terkejut.
“Jadi kapan kau cerai?” Tanya Seli yang hanya tertawa diujung sana.
“Toxic kali kau ini kebetulan hatiku sedang gundah gulana.”
Akhirnya mereka asyik mengobrol lewat telepon. Hani yang awalnya ragu akan perasaan dan
pikirannya kini mulai yakin dan menemukan titik cerah akan permasalahan pribadinya
menurut “versinya sendiri”. Ia mantap ingin bercerai. Batinnya merasa tak apa cerai yang
penting hidup bisa terus berlangsung, menikahi duda kaya adalah pilihan yang lebih baik dan
realistis. Hani sekarang masih cantik, badannya mungil dan kulitnya putih, masih laku jika
memikat laki-laki lain. Rasa cintanya pada Fahri juga sudah lama memudar, sejak keuangan
mulai jadi duri dalam rumah tangga mereka.
***
Fahri berjualan dijalan-jalan yang biasa ia lalui. Berkeliling berpindah-pindah tempat
dari gang satu ke gang lainnya untuk menjajakan cilok dagangannya. Meski adanya imbauan
isolasi mandiri, Fahri terpaksa tetap berjualan ke luar sebab terdesak kebutuhan hidup. Maka
dari itu ia tidak berjualan di jalan-jalan besar lagi atau ke kota, akibatnya penghasilan yang ia
dapat sangat sedikit. Pandemi Covid-19 membuat kompetisi bertahan hidup semakin tinggi.
Hal ini sangat terasa bagi para masyarakat kalangan menengah ke bawah seperti Fahri.
“Mang! Ciloknya beli lima ribu, dua bungkus ya!” Teriak seorang anak kecil dari
jendela rumahnya. Anak itu merasa terpanggil setelah Fahri membunyikan bel keras-keras
sambil melewati rumah-rumah di jalanan itu.
Saat itu cuaca sedang terik, Fahri duduk sambil mengibas-ibaskan tangannya yang kosong ke
lehernya. Duduk menunggu datangnya pelanggan yang sukarela membeli ciloknya di siang
hari terik begini. Saat itu juga Fahri teringat akan pertengkaran dengan istrinya malam
kemarin.
“Bang! Kalau hidup kita begini terus lebih baik kita cerai. Aku lebih baik kembali ke
kampung halamanku membawa anakku.”
“Astagfirullah! Kenapa kamu kepikiran begitu dek?” Fahri sangat terkejut mendengar
pernyataan istrinya.
“Maaf bang! Aku lelah hidup susah! Ini surat cerai kita, kalau abang merasa tidak
sanggup memenuhi kebutuhan anak istri silakan tanda tangani sekarang juga. Tapi, kalau
abang sanggup berubah dan lebih berusaha aku beri waktu selama 14 hari kedepan.”
Perbincangan semalam cukup membuat langit serasa runtuh seketika menindih
bahunya. Fahri merasa gagal membina rumah tangga. Tentu saja, Fahri tak ingin anaknya
berkekurangan, Fahri ingin memastikan anaknya mendapat cukup nutrisi dan mampu
berbahagia dengan layak seperti anak-anak pada umumnya. Mengingat Putri anak semata
wayangnya itu, Fahri mulai menitikkan air mata.
Selama waktu menuju perceraian yang ditentukan istrinya itu, Fahri merasa terpuruk dan
memikirkan berbagai hal. Perkataan istrinya ada benarnya juga, semua butuh biaya, di sisi
lain Fahri merasa salah memilih istri. Dipikir-pikir dulu ia memilih Hani karena
kecantikannya. Ia tak tahu segala hal dan watak Hani dari berbagai sisi dirinya. Namun lagi-
lagi ia juga sadar jika saja ia mampu memenuhi kebutuhan keluarga dengan layak semua ini
tak akan terjadi. Keretakkan rumah tangga justru disebabkan oleh lembaran kertas yang
sangat diagungkan pada zaman kini, persoalannya bukan lagi orang ketiga.
***
Selama menuju penghabisan empat belas hari yang tersisa, Hani dan Fahri sudah jarang
berbicara. Di rumah pun hanya sekedar berpapasan dan seolah berada di dunia masing-
masing. Fahri mulai merasa yakin menyetujui keinginan Hani untuk bercerai. Ia merasa salah
memilih pendamping hidup. Hingga genap sudah empat belas hari waktu yang tersedia bagi
mereka untuk memutuskan hubungan rumah tangga. Fahri menandatangani surat itu,
akhirnya mereka bercerai. Fahri yang memilih pergi meninggalkan rumah. Sementara Putri
bersama Hani menetap di rumah itu. Lalu dalam perjalanan mencari pekerjaan, ia bertemu
temannya semasa SMK. Temannya berkata perusahaan tempat ayahnya bekerja sedang
sangat mencari orang yang berbakat dalam mengoperasikan komputer seperti Fahri. Katanya
ia akan langsung dikontrak bekerja dan dibayar tiga juta per bulan.
“Wah! Skenario hidup benar-benar tak terduga!” kata Fahri dalam hati.
Hidup sungguh penuh kejutan bukan?

Anda mungkin juga menyukai